Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 7

BAB I

PENDAHULUAN

I.A. LATAR BELAKANG


Ilmu kalam sebagaimana diketahui membahas ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama.
Di dalam ilmu kalam itu terdapat sub bahasan yang tentang perbandingan antara
aliran-aliran serta ajaran-ajarannya. Dari perbandingan antar aliran ini, kita dapat
mengetahui, menela’ah dan membandingkan antar paham aliran satu dengan aliran
yang lain. Sehingga kita memahami maksud dari segala polemik yang ada.

I.B. RUMUSAN MASALAH

Dalam makalah ini penulis akan memaparkan pembahasan tentang


Perbandingan antara aliran-aliran yang ikut berperan dalam ilmu kalam seperti
pembahasan di bawah ini.

1. Aliran apa saja yang membahas tentang isi makalah ini?

I.C. TUJUAN

Dari penjelasan makalah ini penulis bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Studi Teologi Islam di samping itu untuk memperdalam pemahaman mahasiswa agar
mempunyai wawasan yang luas tentang pemikiran aliran-aliran dalam ilmu kalam dan
bisa menentukan mana yang terbaik bagi mereka.
BAB II
PEMBAHASAN

II.A. AKAL DAN WAHYU

1. Pengertian Akal

Kata “akal” yang telah menjadi kosa kata bahasa Indonesia, secara etimologis berasal
dari bahasa Arab, yaitu al‘aql ( ‫ ) العقل‬yang berarti: ikatan, pikiran, pemahaman dan
pengertian. Kata ‫ عقل‬dapat diartikan sebagai cahaya rohaniah yang dengannya dapat
dijangkau sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh indra.

Secara terminologis, kata akal dapat diartikan sebagai, daya pikir yang memberikan
kekuatan kepada manusia untuk merancang dan mengoreksi serta mengukuhkan
sesuatu dan menetapkan keputusan di antara berbagai macam hal yang ditemui
manusia dalam mencapai apa yang diinginkan.
Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa akal yang terdapat dalam diri manusia,
merupakan suatu daya yang dengannya manusia dapat hidup bermutu dan dinamis,
karena tingkah laku dan perbuatan manusia dilakukan atas dasar pengertian atau
pengetahuan dan motivasi untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.

2. Pengertian Wahyu

Kata “wahyu” berasal dari bahasa Arab yaitu ‫ الوحي‬yang berarti suara, api dan
kecepatan. Di samping itu, kata wahyu juga berarti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab.
Selanjutnya, ia juga mengandung makna pemberitahuan secara sembunyi dan dengan
cepat.

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa akal dapat dimiliki oleh setiap
manusia dan inheren dalam dirinya. Sedangkan wahyu merupakan informasi dari
Tuhan yang berada di luar diri manusia. Namun, fungsi kedua alat ini samasama
untuk menghasilkan pengetahuan, meskipun tingkat kebenarannya berbeda. Dalam
hal ini, kebenaran yang diperoleh dari wahyu bersifat absolut, sedangkan kebenaran
yang diperoleh melalui akal bersifat relatif. Wahyu bersumber dari Allah, sedangkan
akal bersumber dari manusia.

II.B. KONSEP WAHYU DAN AKAL ALIRAN MU’TAZILAH, ASY’ARIYAH


DAN MATURIDIYAH

Wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan
keterangan – keterangan tentang Tuhan dan kewajiban – kewajiban manusia terhadap
Tuhan. Konsepsi ini berarti bahwa Tuhan berdiri dipuncak alam wujud dan manusia
dikakinya berusaha dengan akalnya untuk sampai kepada Tuhan, dan Tuhan sendiri
dengan belas-kasihan-Nya terhadap kelemahan manusia, diperbandingkan ke Maha
Kuasaan Tuhan, menolong manusia dengan menurunkan wahyu melalui Nabi-nabi
dan Rasul-rasul.

Konsepsi mengenai wahyu dan akal bagi aliran terutama Mu’tazilah, Asya’riyah dan
Maturidiyah memiliki beberapa perbedaan dari masing-masing aliran. Ada yang
menempatkan akal lebih utama dibandingkan dengan wahyu, ada juga seimbang
antara keduanya.

 Aliran Mu’tazilah

Aliran mu’tazilah masih dipandang sebagai aliran yang menyimpang dari islam
dan dengan demikian tak disenangi oleh sebagian umat islam, terutama di Indonesia.
Mu’tazilah adalah salah satu aliran pemikiran dalam islam yang banyak terpengaruh
dengan filsafat barat sehingga berkecenderungan menggunakan rasio sebagai dasar
argumen dan mereka dikenal sebagai “Kaum Rasionalis Islam”.

Abu Al-Huzail dengan tegas mengatakan bahwa sebelum turunnya wahyu , orang
telah berkewajiban mengetahui Tuhan. Dan jika dia tidak berterima kasih pada Tuhan ,
orang demikian akan mendapat hukuman. Baik dan jahat menurut pendapatnya, juga
dapat diketahui melalui akal. Dengan demikian, orang wajib mengerjakan yang baik
dan menjauhi yang jahat adalah hal yang wajib juga.

Berkaitan soal baik dan buruk, Abdul Jabbar menegaskan, bahwasannya akal
memang tidak bisa mengetahui seluruh yang baik. Menurut beliau pula, akal bisa
mengetahui kewajiban-kewajiban hanya pada garis besarnya saja, akal tidak akan bisa
mengetahui secara rincinya, baik yang bersangkutan dengan manusia di akhirat nanti
ataupun berkaitan dengan hidup didunia ini.

 Aliran Asy’ariyah

Kaum asy’ariyah berpendapat akal memang dapat mengetahui adanya Tuhan.


Tetapi akal tidak dapat mengetahui cara berterimakasih kepada Tuhan. Untuk
mengetahui hal-hal tersebut diperlukan wahyu. Melalui wahyu manusia bisa
mengetahuinya. Tanpa wahyu, manusia tidak akan tahu.

Menurut Al-Asy’ari bahwa kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui


wahyu. Akal tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi
yang buruk adalah wajib bagi manusia.

Dengan demikianlah Asy’ariyah tidak terlalu mengagung-agungkan akal,


meskipun Al-Asy’ari sendiri tidak dapat menjauhkan dirinya dari pemakaian akal
sebagai alat argumentasi pikiran. Menurut beliau akal tidak mampu menentukan
untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia. Untuk itulah wahyu diperlukan.
Wahyu sebagai alat untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan diwajibkannya
segala sesuatu terhadap manusia, sedangkan akal sebagai alat untuk menela’ah dan
mengkaji apa yang disampaikan Allah dalam wahyunya dan juga akal menurut
Asy’ariyah mampu mengetahui perbuatan baik atau jahat.

 Aliran Maturidiyah

Nama aliran ini identik dengan pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad
Ibnu Mahmud al Maturidy. Dalam faham teologinya, al Maturidy banyak
terpengaruh oleh pemikiran Imam Abu Hanifah, yang juga banyak menggunakan
rasio dalam pandangan keagamaannya.
Dalam kaitannya dengan pembahasan tentang akal dan wahyu ini aliran
Maturidiyah terbagi kepada dua kelompok, yaitu Maturidiyah Samarkand dan
Maturidiyah Bukhara.

1. Maturidiyah Samarkand.

Aliran ini dianggap oleh beberapa kalangan lebih dekat corak pemikirannya
kepada Mu‘tazilah dalam bidang teologi dari pada ke Asy‘ariyah.

Dalam pandangannya tentang otoritas akal dan wahyu, kaitannya dengan keempat
masalah pokok tersebut, Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa akal dapat
mengetahui eksistensi Tuhan, oleh karena Allah sendiri yang memerintahkan manusia
untuk menyelidiki dan merenungi alam ini. Hal ini menunjukkan bahwa akal manusia
dapat mencapai ma‘rifatullah. Oleh karen itu, akal sudah mengetahui tentang
kewajiban mengetahui Tuhan sebelum datangnya wahyu. Sehingga akan berdosa bila
tidak percaya kepada Tuhan sebelum datangnya wahyu.

Demikian halnya dengan kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, menurut


Maturidiyah Samarkand, akal dapat mengetahui keawajiban manusia untuk berterima
kasih kepada Tuhan, meski tanpa bantuan wahyu.

Begitu pula mengenai baik dan buruk, akal pun dapat mengetahui sifat baik yang
terdapat di dalamnya, dan sifat buruk yang terdapat dalam yang buruk. Dengan
demikian, akal juga dapat mengetahui bahwa yang buruk adalah buruk dan berbuat
baik adalah baik. Akal selanjutnya akan membawa kepada kemuliaan dan melarang
manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang membawa kepada kerendahan.
Perintah dan larangan dengan demikian menjadi wajib dengan kemestian akal. Namun,
yang diketahui akal hanyalah sebab wajibnya perintah dan larangan itu. Adapun
mengenai kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk, akal tidak berdaya untuk
mewajibkannya. Karena kewajiban tersebut hanya dapat diketahui oleh wahyu.

2. Maturidiyah Bukhara

Jika Maturidiyah Samarkand ditokohi oleh Abu Mansur al Maturidy sendiri,


maka Maturaidiyah Bukhara, tokohnya adalah Abu Yusr Muhammad al Bazdawy.
Pemikiran teologi dari kedua tokoh ini sedikit berbeda dan tidak terlalu mendasar.
Perbedaannya hanya pada sekitar masalah kewajiban-kewajiban manusia dalam
hubungannya dengan Tuhan.

Al Bazdawy mengatakan bahwa akal tidak dapat mengetahui kewajiban


mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk, karena akal hanya dapat
mengetahui baik dan buruk saja. Sedangkan yang menentukan kewajiban mengenai
yang baik dan buruk itu adalah Tuhan sendiri. Demikian halnya dengan kewajiban
mengetahui Tuhan. Akal hanya mampu mengetahui Tuhan, tetapi ia tidak dapat
mengetahui dan menentukan kewajiban mengetahui Tuhan. Dalam hal ini, yang
mengetahui dan menentukannya adalah wahyu.
Pada prinsipnya, akal menurut paham aliran Maturidiyah Bukhara, tidak dapat
mengetahui kewajiban-kewajiban, melainkan hanya dapat mengetahui sebab-sebab
dari proses kewajiban itu menjadi wajib. Oleh karenanya, mengetahui Tuhan dalam
arti berterima kasih kepada Tuhan, sebelum turunnya wahyu tidaklah wajib bagi
manusia. Bahkan mereka (para alim ulama Bukhara) berpendapat bahwa sebelum
datangnya Rasul, percaya kepada Tuhan tidaklah wajib dan tidak percaya kepada
Tuhan bukanlah suatu dosa. Dari sini, kelihatan bahwa Maturidiyah Bukhara lebih
mendekati faham Asy‘ariyah yang lebih memfungsikan wahyu ketimbang akal.
BAB III
PENUTUP

You might also like