Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 96

WP/9/2015

WORKING PAPER

PEMETAAN DAN STRATEGI PENINGKATAN


DAYA SAING UMKM DALAM MENGHADAPI
MEA 2015 DAN PASCA MEA 2025

Yunita Resmi Sari


Noviarsono Manullang
Titik Anas
Dionisius A. Narjoko
Andre Simangunsong
Wini Purwanti
Lisa Khulasoh
Fadila Paramitha

2015

Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis


dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis
dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank
Indonesia. 0
PEMETAAN DAN STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING
UMKM DALAM MENGHADAPI MEA 2015 DAN
PASCA-MEA 2025
Titik Anas, Dionisius A. Narjoko, Andre Simangunsong, Yunita Resmi Sari,
Noviarsano Manullang, Wini Purwanti, Lisa Khulasoh, Fadila Paramitha

Abstrak
Kajian ini dilaksanakan dalam rangka mengetahui posisi daya saing
UMKM Indonesia dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya dan
menyusun strategi peningkatan daya saing UMKM Indonesia dalam
menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Kajian ini dilaksanakan dengan
menggunakan data sekunder mengenai perkembangan UMKM di ASEAN dan
Forum Group Discussion (FGD) dengan pelaku usaha. Secara umum,
kinerja UMKM Indonesia masih relatif rendah jika dibandingkan dengan
negara-negara ASEAN dengan tingkat pembangunan yang relatif sama,
terutama dari segi produktivitas, kontribusi terhadap ekspor, partisipasi
dalam jaringan produksi global dan regional, serta kontribusi terhadap nilai
tambah. Selain itu, rendahnya partisipasi UMKM dan perusahaan Indonesia
dalam GVC juga disebabkan oleh faktor pendukung GVC yang belum optimal,
yaitu infrastruktur dan penggunaan teknologi komunikasi dan informasi,
keandalan dan efisiensi jasa logistik, serta tingginya hambatan
perdagangan. Tingkat upah yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan
negara ASEAN lainnya juga menjadi hambatan untuk meningkatkan efisiensi
produksi. Demikian juga dengan ketatnya persyaratan untuk mendapatkan
akses pembiayaan eksternal dari perbankan. Untuk meningkatkan daya
saing UMKM Indonesia secara umum dan untuk meningkatkan partisipasi
UMKM dalam GVC, faktor internal dan eksternal yang menentukan daya
saing UMKM serta tingkat partisipasi dalam GVC perlu menjadi perhatian
pemerintah. Faktor internal mencakup aspek-aspek yang dapat
meningkatkan produktivitas UMKM Indonesia, yaitu sumber daya manusia
(human resource), strategi pemasaran, dan inovasi. Sementara itu, faktor
eksternal merupakan berbagai aspek di luar UMKM yang dapat memengaruhi
dan mendukung daya saing UMKM. Faktor tersebut adalah kemudahaan
berusaha di Indonesia (ease of doing business), akses finansial dan
permodalan, akses pasar, infrastruktur, dan kondisi makroekonomi.

Key word : UMKM, Global Value Chain

JEL Classification : L6, F16

1
I. PENDAHULUAN

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang telah dipersiapkan oleh negara-


negara anggota ASEAN sejak lama untuk ditetapkan pada tahun 2015 ini sudah di
depan mata. MEA, seperti tertuang dalam cetak biru pendiriannya (ASEAN
Economic Community Blueprint), bertujuan untuk menjadikan ASEAN sebagai
kawasan basis produksi dan pasar tunggal (pilar 1), kawasan yang berdaya saing
(pilar 2), kawasan yang mengedepankan pembangunan yang merata (pilar 3), dan
kawasan yang terintegrasi dengan pasar global (pilar 4).

Dalam mewujudkan ASEAN sebagai basis produksi dan pasar tunggal (pilar
1), secara bersama-sama dan bertahap, negara-negara anggota ASEAN
membebaskan bea masuk dan menghilangkan hambatan nontarif lainnya bagi
sesama negara ASEAN apabila barang yang akan diperdagangkan memenuhi
persyaratan yang telah ditetapkan secara bersama-sama. Disamping itu, negara-
negara ASEAN juga menurunkan hambatan perdagangan jasa di antara sesama
negara ASEAN antara lain dengan memberikan batasan modal asing yang semakin
tinggi. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa berdasarkan Cetak Biru MEA,
modal dan tenaga kerja terampil akan lebih bebas berpindah di antara negara-
negara ASEAN.

Dalam mewujudkan kawasan yang berdaya saing (pilar 2) dan berdasarkan


cetak biru pembentukan MEA, negara-negara ASEAN akan memiliki kebijakan
persaingan usaha, perlindungan konsumen, dan perlindungan IPR (Intelllectual
Property Rights) yang secara bersama membangun infrastruktur, membenahi
sistem perpajakan, dan menggiatkan e-commerce.

Dalam mewujudkan pembangunan ekonomi yang merata (pilar 3), negara-


negara ASEAN bekerja sama dalam membangun UMKM negara-negara ASEAN dan
membuat berbagai inisiatif untuk mencapai kawasan yang terintegrasi. Dalam
pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), ASEAN menerbitkan
cetak biru kebijakan pengembangan UMKM 2004–2014. Cetak biru pengembangan
UMKM itu bertujuan secara bersama membangun UMKM ASEAN menjadi UMKM
yang berdaya saing, lebih tangguh, dan berkontribusi besar dalam perekonomian
ASEAN.

Dalam mewujudkan ASEAN yang terintegrasi dengan ekonomi global (pilar


4), ASEAN membuat kesepakatan kerja sama ekonomi dan perdagangan dengan

2
negara-negara partner utama, seperti ASEAN+1 dan RCEP dengan
mengedepankan ASEAN centrality serta meningkatkan partisipasi dalam jaringan
produksi global.

Perkembangan pencapaian cita-cita ASEAN yang tertuang dalam Cetak Biru


MEA tersebut ditinjau ulang secara periodik dalam beberapa tahun terakhir ini.
Hasil tinjau ulang terhadap pencapaian MEA menunjukkan banyak cita-cita ideal
MEA, seperti yang tercantum dalam cetak biru tersebut, belum tercapai
sepenuhnya pada penghujung tahun 2015 ini. Namun, ASEAN telah berproses
menuju pencapaian sebagian dari target cetak biru tersebut. Pada ASEAN
Framework Agreement in Services (AFAS) paket ke-8 rata-rata tingkat liberalisasi
modal asing meningkat sekitar 21 persen—jika dibandingkan dengan paket ke-7—
menjadi 65,4 persen dari yang ditargetkan (Narjoko, 2015).

Di ambang pengukuhan MEA pada akhir tahun ini, bagaimanakah kondisi


UMKM Indonesia terhadap UMKM di negara-negara ASEAN lainnya? Apakah
UMKM Indonesia sudah dapat bersaing dengan UMKM negara-negara ASEAN
lainnya? Apakah UMKM Indonesia telah dapat memanfaatkan akses pasar yang
lebih terbuka, baik akses terhadap input yang lebih bervariatif dan lebih murah
serta akses terhadap konsumen yang lebih besar?

Kajian ini bertujuan untuk:

a. membuat pemetaan posisi UMKM Indonesia saat ini yang dibandingkan


dengan UMKM peer country di ASEAN;
b. mengidentifikasi strategi UMKM Indonesia untuk meningkatkan daya saing
dalam menghadapi MEA 2015; dan
c. memberikan rekomendasi strategi peningkatan daya saing UMKM pasca-MEA
2015–2025.

Mengingat data mengenai perkembangan UMKM di ASEAN tidak sedalam,


selengkap, dan terkini sebagaimana data ekonomi secara umum, banyak indikator
kinerja UKM yang tidak dapat dibandingkan antarnegara secara setara. Oleh
karena itu, kajian ini menggunakan metode policy gap analysis, yaitu
membandingkan kondisi UMKM di Indonesia dengan UMKM di negara ASEAN
lainnya dengan menggunakan data sekunder yang tersedia. Kajian ini juga melihat
literatur terkait faktor-faktor yang dapat meningkatkan daya saing UMKM di

3
negara-negara lain. Dengan demikian, isu-isu strategis dapat diidentifikasi dan
dipetakan sebagai bahan penyusunan kebijakan pemerintah pada masa yang akan
datang dalam menghadapi MEA 2025.

4
II. STUDI LITERATUR: KARAKTERISTIK DAN DAYA SAING UMKM

2.1 Karakteristik UMKM dan Pengaruh Perjanjian Perdagangan Bebas


(FTA, Free Trade Agreement)

Pemetaan terhadap karakteristik dan daya saing UMKM dilakukan sebagai


dasar dalam melakukan gap analysis. Jika kondisi terkini UMKM Indonesia sudah
diketahui, benchmarking bisa dilakukan dengan membandingkan kondisi ideal
atau target-target yang ingin dicapai dalam kerangka Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA). Ketimpangan (gap) antarkondisi saat ini, berdasarkan hasil pemetaan,
menjadi kerangka dasar untuk menyusun strategi mencapai kondisi ideal yang
ditargetkan.

Beberapa literatur studi menyatakan bahwa kemampuan UMKM bersaing di


era global tergantung pada beberapa variable karakteristik. Nicolescu (2009)
membagi variabel tersebut menjadi variabel internal dan eksternal (Gambar 1).
Variabel internal memasukkan faktor seperti besaran perusahaan, stakeholder
personality, dan latar belakang pendidikan (pemilik dan pekerja), serta budaya
perusahaan. Sementara itu, faktor eksternal yang dapat memengaruhi kinerja
adalah budaya nasional, sistem ekonomi suatu negara, integrasi ekonomi regional,
dan daya beli masyarakat.

Lebih lanjut Nicolescu (2009) menyatakan bahwa faktor-faktor internal lebih


memengaruhi kinerja dari UMKM daripada faktor eksternal dengan
mempertimbangkan skala ekonomi dari UMKM tersebut. Kombinasi dari variabel
eksternal dan internal dapat menjadi contoh bagaimana hal tersebut dapat
berpengaruh terhadap survivability dari UMKM. Usaha sedang atau menengah
cenderung mempunyai kemampuan bertahan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan usaha kecil.

Kemampuan diversifikasi usaha dengan didukung aset yang lebih besar


membuat UMKM tingkat menengah mempunyai fleksibilitas dalam mengantisipasi
fluktuasi permintaan. Sementara itu, usaha kecil cenderung hanya mempunyai
satu unit usaha sehingga penurunan permintaaan dapat menyebabkan
penghentian aktivitas operasional UMKM tersebut. Oleh karena itu, secara umum
UMKM mempunyai tingkat survivability yang lebih tinggi dibandingkan
perusahaan yang lebih besar.

5
Sumber: Nicolescu (2009)
Gambar 1. Determinan Aktivitas UMKM

Isu mengenai globalisasi merupakan salah satu faktor eksternal yang


dampaknya dapat beragam terhadap UMKM. Globalisasi, melalui implementasi
FTA sebagai contoh, membuka akses pasar dalam negeri bagi produk negara mitra
FTA sehingga dapat memberikan dampak negatif terhadap UMKM yang
mempunyai daya saing rendah. Sebaliknya, dampak positif juga dapat dirasakan
UMKM dengan terbukanya peluang untuk memperluas pasar produk domestik ke
negara mitra. Dengan demikian, karakteristik UMKM yang dapat memanfaatkan
peluang terbukanya akses ke pasar (atau market access dalam jargon literatur
ekonomi internasional) di pasar internasional perlu didalami. Karakteristik
tersebut akan berguna dan menjadi benchmark ideal untuk menyusun strategi
dalam memperbaiki daya saing UMKM Indonesia.

Analisis yang dilakukan oleh U.S. International Trade Commission (USITC)


pada 2010 menyatakan bahwa UMKM di Amerika Serikat yang melakukan

6
aktivitas ekspor mempunyai kinerja yang lebih baik daripada yang melakukan
jenis usaha yang sama yang terfokus pada pasar domestik. Kinerja direfleksikan
oleh rata-rata pendapatan per perusahaan, pertumbuhan pendapatan, dan
pendapatan per pekerja. Hasil analisis menjelaskan bahwa UMKM yang
melakukan aktivitas ekspor memiliki kinerja lebih tinggi daripada UMKM yang
berfokus pada pasar domestik.

Temuan lain yang signifikan terkait dengan pola ekspor UMKM dibandingan
dengan perusahaan multinasional yang mayoritas menggunakan afilisasi
internasional adalah USITC (2010) yang memperkirakan bahwa pada tahun 2007,
total nilai tambah ekspor yang dilakukan oleh UMKM di Amerika Serikat sebesar
480 miliar USD. Sekitar 50 persen dari nilai tersebut merupakan ekpor langsung
tanpa menggunakan perantara, dan sisanya—dengan porsi yang hampir sama—
merupakan ekspor tidak langsung atau berlaku sebagai barang input antara
(intermediate atau factor inputs) bagi perusahaan lain yang melakukan ekspor.

Dalam studi yang berbeda untuk menganalisis dampak FTA U.S.–Korea,


USITC menemukan bahwa sektor UMKM Amerika Serikat mengalami peningkatan
penjualan yang signifikan ke Korea Selatan setelah FTA diberlakukan (Allen et al.).
Analisis dilakukan terhadap beberapa UMKM yang melakukan ekspor pada bidang
pertanian, manufaktur, dan jasa. Akan tetapi, dampak positif tersebut juga diikuti
oleh persepsi negatif bahwa hambatan nontarif disertai dengan beban administratif
yang meningkat akibat FTA tersebut.

Perspektif lain mengenai permasalahan ini dianalisis oleh Cheong (2014).


Dalam kajian mengenai utilisasi FTA yang dilakukan oleh Korea, didapatkan
bahwa pemanfaatan FTA, terutama untuk ekspor, dari sektor UMKM lebih rendah
jika dibandingakan dengan perusahaan besar. Dari 50.068 UMKM yang
melakukan ekspor pada tahun 2013, hanya 29 persen yang menggunakan fasilitas
FTA. Sementara itu, rata-rata utilisasi FTA untuk ekspor dan impor secara
keseluruhan adalah 70 persen untuk ekspor dan 73 persen untuk impor. Cheong
(2014) mencatat bahwa rendahnya margin antara tarif FTA dan non-FTA,
kurangnya informasi terkait FTA, dan biaya administratif merupakan kendala
rendahnya pemanfaatan FTA oleh UMKM.

7
2.2 Daya Saing UMKM dan Global Value Chain (GVC)

Seiring dengan berkembangnya perjanjian-perjanjian perdagangan bebas di


kawasan Asia Timur sejak tahun 2000, perdagangan produk final di kawasan
tersebut semakin berkurang dan sebaliknya berkembang tren perdagangan
barang-barang intermediate. Hal tersebut dipicu oleh tumbuhnya pola produksi
yang beberapa tahapan produksinya dilakukan secara terpisah di beberapa negara
sehingga terbentuk pola jaringan rantai produksi secara regional, atau bahkan
global, untuk memproduksi suatu produk. Literatur menyebutnya sebagai regional
production network atau GVC. Lebih lanjut, pola produksi seperti itu berkembang
pesat pada produk permesinan, elektronik, dan alat transportasi (Kimura, 2009).

Setidaknya terdapat empat faktor yang menjadi tantangan bagi UMKM agar
dapat memanfaatkan keuntungan melalui kerja sama dengan perusahaan
multinasional tersebut (Yuhua dan Bayhaqi, 2013). Pertama, UMKM perlu
meningkatkan kemampuan teknis dan operasional untuk mencapai standar
global perusahaan multinasional. Terkait dengan hal tersebut, UMKM perlu
mendapatkan akses modal yang memadai agar dapat melakukan investasi pada
proses produksi. Tantangan selanjutnya adalah sumber daya manusia (SDM).
Dengan budaya dan struktur kerja informal serta tidak adanya rencana karier
yang jelas, UMKM sangat sulit dalam meningkatkan kualitas SDM atau menarik
SDM yang profesional. Sementara itu, perubahan dalam business practices
merupakan tantangan terakhir yang harus dihadapi oleh UMKM untuk
meningkatkan daya saing dalam global value chain (GVC). Tantangan tersebut
meliputi efisiensi dalam operasional perusahaan serta pertimbangan dampak
sosial dan lingkungan dari proses produksi.

ADB (2015) menyebutkan bahwa dua faktor untuk sukses dalam GVC ialah
daya saing perusahaan dan konektivitas perusahaan. Keduanya merupakan
sarana bagi perusahaan untuk terhubung dengan rantai nilai. Perusahaan yang
memilik daya saing dan terhubung akan dapat tergabung dan memperoleh
manfaat dari GVC.

Anton et al. (2015) menemukan bahwa daya saing UKM bersumber pada
level inovasi, kewirausahaan, modal manusia, sumber dana, potensi pasar, dan
strategi bisnis. UKM juga membutuhkan bantuan pemerintah untuk
mengembangkan jaringan pemasaran dan akses terhadap lembaga keuangan.
Dalam kasus di Indonesia Tambunan (2009) menemukan bahwa daya saing UKM
dapat ditingkatkan melalui sumber daya manusia, modal kerja, serta keahlian

8
manajemen dan teknologi. Berdasarkan hasil penelitian Tambunan (2009), terlihat
bahwa tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan
perusahaan. Pemilik UKM dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi terbukti
lebih memahami bisnis mereka, contohnya adalah UKM pada sektor peralatan
rotan yang berorientasi ekspor. Selain itu, kemampuan pemilik UKM dalam
memahami tren pasar terbaru lebih berpengaruh terhadap produktivitas
dibandingkan dengan kurangnya keahlian.

Pembiayaan merupakan salah satu masalah utama bagi UMKM di


Indonesia dalam meningkatkan daya saing. Pada umumnya di negara
berkembang, termasuk Indonesia, pembiayaan UMKM masih didominasi oleh
perbankan. Namun, alternatif pembiayaan dalam bentuk equity financing, seperti
angel investors, modal ventura, atau private equity sudah tersedia tanpa perlu
adanya collateral (jaminan). Perkembangan tersebut, walaupun pada awalnya
hanya tersedia di negara maju, sudah mulai tumbuh di negara berkembang.
Tanzania mempunyai Tanzania Venture Capital yang terdiri atas modal ventura
swasta dan lembaga keuangan asing. Sementara itu, untuk ASEAN sudah terdapat
SME Investment and Restructuring Fund (SIRF) di Thailand serta Mekong SME Fund
(MSMEF) untuk mendanai UMKM di Laos, Kamboja, dan Vietnam.

Peningkatan akses keuangan merupakan persoalan penting untuk


mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan. Dalam rangka meningkatkan akses
keuangan, pemerintah telah menempuh berbagai kebijakan. Berdasarkan hasil
survei ADB (2015), beberapa kebijakan untuk meningkatkan akses keuangan UKM
tersebut adalah skema penjaminan kredit oleh pemerintah, subsidi suku bunga
kredit bank bagi UKM, pendirian lembaga keuangan khusus bagi UKM, dan skema
insentif pajak bagi sektor UKM prioritas. Sementara itu, untuk perusahaan yang
telah bergabung dalam GVC, kebijakan utama yang diperlukan sama dengan UKM,
yaitu skema penjaminan kredit dan subsidi tingkat suku bunga kredit bank untuk
UKM. Selain itu, kebijakan lain untuk meningkatkan akses keuangan perusahaan
yang telah terhubung dalam GVC adalah adanya kewajiban penyaluran kredit
UKM oleh bank dan dukungan untuk meningkatkan peran modal ventura. UKM
yang disurvei, termasuk perusahaan yang sudah tergabung dalam GVC,
menyadari pentingnya akses keuangan untuk meningkatkan partisipasi aktif
dalam rantai pasok global.

Terkait dengan kemampuan teknis dan operasional UKM, penelitian Agbola


(2013) di Ghana menemukan bahwa penerapan total quality management (TQM)

9
secara signifikan berhubungan positif dengan performa keuangan serta organisasi
UKM tersebut. Implikasi dari studi itu adalah pemerintah Ghana harus membuat
kebijakan yang dapat mendorong pelatihan dan pengembangan skill pemilik UKM
serta turut mencipatkan lingkungan yang memungkinkan terjadinya
pengembangan teknologi yang pada akhirnya akan mengubah proses bisnis dari
industri-industri utama. Selain itu, pemerintah juga harus dapat memastikan
bahwa kualitas dari barang dan jasa yang dihasilkan memenuhi standar
internasional. Hal itu akan mendorong inovasi dan pengembangan produk untuk
pasar domestik dan ekspor. Peningkatan pada kualitas dan mutu manajemen
UKM akan meningkatkan daya saing di dalam negeri atau internasional.

Berdasarkan hasil penelitian di Malaysia, Arudchelvan dan Wignaraja (2015)


menemukan bahwa skala UKM berperan penting dalam menentukan
keikutsertaan dalam GVC dan FTA. UKM yang cukup besar mempunyai skala
ekonomis dan sumber daya yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan biaya
tetap (fix cost) pada awal UKM masuk dalam rantai pasok. Selain skala usaha,
perolehan lisensi atas teknologi luar negeri serta investasi dalam penelitian dan
pengembangan juga berpengaruh positif terhadap bergabungnya UKM dalam GVC.
Oleh karena itu, UKM perlu terus melakukan inovasi dalam teknologi, produksi,
dan prosesnya. Tereksposnya UKM dengan perdagangan yang dihitung dari
proporsi ekspor terhadap penjualan dan proporsi impor bahan baku juga
berpengaruh secara positif terhadap keikutsertaan UKM dalam GVC dan FTA.
Semakin terekspos UKM terhadap perdagangan internasional, keuntungan yang
didapat akan semakin tinggi karena adanya preferensi FTA. Namun, kurangnya
informasi merupakan alasan utama UKM kurang memanfaatkan preferensi FTA
dan kurang tertarik untuk melakukan perdagangan dengan mitra FTA. Oleh
karena itu, dibutuhkan adanya penyuluhan dan konsultasi untuk mengatasi
kekurangan informasi yang berpotensi menjadi penghalang menuju FTA.

Terkait dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN, keberadaan FTA di antara


negara-negara anggota ASEAN serta FTA ASEAN dan mitra strategis membuka
peluang UMKM untuk menjadi terintegrasi dengan GVC. Sebagaimana yang
dijabarkan oleh Tambunan dan Chandra (2014), peluang UMKM untuk dapat
terintegrasi terhadap rantai pasok global salah satunya berasal dari penurunan
tarif perdagangan. Hilangnya hambatan tarif bisa dimanfaatkan untuk
meningkatkan kompetisi UKMM dan mendorong ekspansi pasar. FTA juga
menawarkan kesempatan bisnis agar UMKM dapat berpartisipasi dalam rantai

10
pasok pada tingkat regional, yaitu negara ASEAN lainnya. Untuk mendukung hal
tersebut, pemerintah perlu mendorong efisiensi prosedur dan transparansi dalam
penggunaan dan pemanfaatan dokumen FTA ASEAN dan FTA dengan negara
lainnya. Sebagai faktor pendukung, akses terhadap keuangan juga perlu
diperhatikan sebagai salah satu isu penting yang dapat mendorong UMKM untuk
berkembang. Liberalisasi sektor keuangan dan perbaikan akses terhadap institusi
pemberi modal cukup potensial untuk mengatasi permasalahan akses keuangan,
khususnya di daerah. Selain adanya reformasi sektor keuangan, infrastruktur
keuangan juga penting dikembangkan guna menstimulasi UMKM.

Dalam rangka mendorong UMKM, beberapa negara di ASEAN, yaitu


Malaysia dan Thailand, sudah melakukan positioning terhadap sektor UMKM di
negaranya masing-masing, setiap UMKM di sektor tersebut didorong untuk
menjadi bagian dari GVC. Malaysia menitikberatkan strategi GVC terhadap
industri elektronika sementara Thailand pada industri komponen otomotif. Strategi
tersebut memosisikan UMKM sebagai pemasok (supplier) perusahaan
multinasional yang berorientasi ekspor. Produk UMKM akan dipakai sebagai
intermediary inputs bagi perusahaan multinasional yang mempunyai konsumen di
berbagai negara (Gambar 2).

Sumber: Abonyi (2005) dikutip dari Harvie et al. (2010)


Gambar 2. UMKM (SME) Sebagai Bagian dari GVC
11
Malaysia telah memulai strategi ini pada dekade 1970-an dengan
meningkatkan keahlian dan kapasitas sumber daya manusia UMKM yang
mempunyai prospek menjadi pemasok di industri elektronika. Faktor skills and
knowledge merupakan prasyarat bagi UMKM agar dapat memenuhi kriteria dan
standar yang diperlukan perusahaan multinasional.

Thailand mulai mendorong agar UMKM mempunyai linkage yang kuat pada
sektor otomotif mulai tahun 2000 melalui program SME Promotion Plan. Fokus
kebijakan tersebut adalah bagaimana meningkatan jumlah tenaga kerja,
memperkuat modal UMKM, mendorong ekspor, dan meningkatkan keterkaitan
dengan perusahaan besar. Terkait dengan permodalan pada tahun 2002
pemerintah Thailand mendirikan Small and Medium Enterprise Development Bank
of Thailand untuk meningkatan dan mempermudah akses finansial UMKM
(Caiyuth, 2008) 1 . Contoh implementasi dari Malaysia dan Thailand dapat
memberikan arah untuk meningkatkan daya saing UMKM Indonesia dalam
menghadapi FTA.

Strategi peningkatan daya saing UMKM yang dilaksanakan di beberapa


negara seperti Thailand, Malaysia, dan juga beberapa negara Eropa
menitikberatkan pada pengembangan kemitraan antara UMKM dan perusahaan
multinasional atau industri besar yang sudah memiliki sumber daya cukup untuk
bersaing secara global. Salah satu cara yang dapat dipergunakan adalah
pengembangan klaster industri yang sudah ada agar dapat terhubung dan
menggunakan input dari usaha yang lebih kecil dan mengoptimalkan klaster
UMKM pada sektor tertentu.

Swiss, Jerman, dan Italia menggunakan strategi pengembangan klaster


untuk mendorong sektor UMKM. Strategi tersebut dimulai dengan identifikasi
klaster yang sudah ada dan berpotensi untuk menjadi industri strategis. Hal itu
dapat dilihat pada sektor industri logam dan permesinan di Jerman dan
terbentuknya klaster industri teknologi tinggi (aglomerasi) di Silicon Valley,
Amerika Serikat. Pengembangan klaster industri mendorong konsentrasi beberapa
perusahaan yang selanjutnya membentuk jaringan antar-perusahaan (inter-firm
network) dalam penggunaan teknologi, peningkatan keterkaitan antar-industri,
dan penurunan biaya pemasaran produk. Hal tersebut pada akhirnya mendorong
pencapaian economic of scale dalam penggunaan input, teknologi, dan pemasaran

1 Dikutip dari Yuhua dan Bayhaqi (2013)

12
(OECD, 2010). Pengembangan klaster industri, yang di dalamnya termasuk
UMKM, dapat meningkatkan produktivitas, penerapan inovasi, dan tingkat
kompetisi perusahaan. Jejaring dalam klaster juga dapat meningkatkan kuantitas
dan kualitas aliran informasi antara perusahaan besar dan UMKM.

Keberadaan klaster industri yang melibatkan UMKM ternyata tidak cukup


untuk meningkatkan daya saing. UMKM pada umumnya mempunyai keterbatasan
dalam membangun hubungan industri dan sosial, mobilitas sumber daya, akses
terhadap informasi, dan pengembangan sumber daya (Broughton, 2011).
Permasalahan utama yang terjadi jika UMKM ingin menjadi pemasok pada
perusahaan multinasional adalah bagaimana memenuhi standar kualitas,
konsistensi pasokan, dan adaptasi produk. Permasalahan tersebut terkait dengan
terbatasnya akses permodalan. UMKM sering kali tidak menyadari bahwa faktor-
faktor tersebut sangat penting dalam meningkatkan kualitas produk yang dapat
menghambat UMKM menjadi pemasok perusahaan multinasional.

Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan public-private partnership


(kerja sama swasta dan publik–pemerintah) untuk mendorong dan membantu
pengembangan daya saing UMKM. Kerja sama tersebut dapat diwujudkan dalam
bentuk kebijakan pemerintah untuk membentuk forum dialog atau komunikasi
antara perusahaan multinasional dan UMKM atau antar-UMKM yang berada
dalam satu sektor dengan tujuan mengidentifikasi peluang dan permasalahan
dalam mengintegrasikan bisnis. Dialog antarsektor swasta juga dapat difasilitasi
oleh pemerintah untuk memetakan stakeholders dalam industri tersebut. Hal itu
dapat meningkatkan kolaborasi antar-UMKM dan antara UMKM dan perusahaan
besar atau multinasional.

Perbaikan dalam komunikasi dan pembentukan jaringan atau klaster


industri dapat membantu UMKM bersaing dengan perusahaan yang lebih besar.
Kolaborasi tersebut akan mendorong terjadinya GVC pada klaster industri yang
mendorong efisiensi. Salah satu contoh kolaborasi di dalam klaster adalah
pembentukan asosiasi penjamin kredit bersama, sinergi dalam strategi promosi,
atau perbaikan dalam divisi bisnis dan pekerja dalam perusahaan (OECD, 2010).

Terdapat dua dampak positif yang dapat diperoleh jika UMKM menjadi
bagian dari GVC, yaitu keuntungan untuk UMKM itu sendiri dan keuntungan bagi
ekonomi nasional. Dampak positif terhadap sektor UMKM diperoleh dengan
meningkatnya kemampuan teknis. Keterlibatan dalam GVC membutuhkan
standar kualitas yang tinggi yang secara otomatis meningkatkan produktivitas

13
dengan penguasaan teknologi dan efisiensi produksi. Dampak positif lainnya dari
partisipasi adalah perbaikan akses informasi dan model bisnis terbaru. Hal-hal
tesebut dapat memperbaiki citra UMKM sehingga memberikan dampak positif
lainnya, seperti kemudahaan akses terhadap sumber dana eksternal (Yuhua dan
Bayhaqi, 2013).

Lebih lanjut, partisipasi dalam GVC meningkatkan kontribusi sektor UMKM


terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Dengan demikian,
keterlibatan dalam GVC akan membantu UMKM dalam memanfaatkan peluang di
negara lain dan bersaing di pasar domestik dengan cara meningkatkan daya saing.

Jika melihat peluang yang sangat menjanjikan apabila UMKM dapat


menjadi bagian dari GVC, pertanyaan selanjutnya adalah apa yang diperlukan
UMKM untuk bergabung ke dalam rantai produksi tersebut. Harvie et al. (2010)
menunjukkan beberapa karakteristik yang dimiliki UMKM yang berpartisipasi
dalam GVC. Pertama adalah skala usaha. Semakin besar skala usaha, semakin
besar pula peluang untuk mencapai tingkat produksi yang ekonomis sehingga
pada akhirnya struktur biaya produksi dapat ditekan. Kedua adalah usia
perusahaan (kematangan usaha). Perusahaan yang sudah lama berdiri
menunjukkan bahwa perusahaan tersebut sudah mempunyai pengalaman dan
jam terbang yang cukup tinggi sehingga diasumsikan berhasil meningkatkan
efisiensi produksi sepanjang waktu. Iklim usaha yang mendukung survival rate
perusahaan di suatu industri menjadi sangat penting dalam variabel ini.

Faktor ketiga adalah kepemilikan asing. Suatu perusahaan yang sahamnya


juga dimiliki oleh asing, khususnya perusahaan joint venture, diproyeksikan akan
memperoleh transfer teknologi dan kemudahan akses pada pinjaman dari investor
asing tersebut. Keempat adalah produktivitas. Suatu UMKM perlu mempelajari
dan mencapai standar kualitas yang diminta oleh perusahaan yang berada pada
jenjang produksi lebih tinggi (upper-tier suppliers) agar peluang masuk GVC
semakin besar. Kelima adalah akses pada pembiayaan. Tambahan modal mutlak
diperlukan UMKM untuk mengembangkan usahanya dan berhasil mencapai
tingkat produktivitas yang dibutuhkan sesuai dengan permintaan produksi.
Tantangannya sekarang adalah bagaimana UMKM menyiasati masalah agunan
atau pencatatan keuangan yang diminta oleh lembaga keuangan sebelum
menyediakan kredit investasi.

Faktor keenam adalah inovasi, baik inovasi produk maupun proses


produksi. Penelitian dan pengembangan sangat penting untuk meningkatkan

14
produktivitas suatu perusahaan. Selain itu, pelatihan tenaga kerja dan
penggunaan teknologi baru juga berperan besar dalam mendukung tingkat
produktivitas. Faktor terakhir adalah lokasi. Peluang suatu UMKM untuk
berpartisipasi dalam GVC akan semakin besar apabila lokasi usaha dekat dengan
suatu kawasan industri atau export processing zones (EPZs) atau pelabuhan.
Apabila saat ini sudah terdapat kumpulan UMKM yang jauh dari kawasan
tersebut, pemerintah dapat menyiasatinya dengan mengembangkan infrastruktur
logistik agar komponen yang diproduksi UMKM bisa mencapai kawasan itu dengan
cepat dan tepat waktu.

15
III. Pemetaan Daya Saing UMKM Indonesia

3.1 Perkembangan UMKM Indonesia dan ASEAN

Menurut data dari Kementerian Koperasi dan UMKM, pada tahun 2013
UMKM mampu menyumbangkan 5.440 triliun rupiah (atas dasar harga berlaku)
terhadap PDB nasional, menyerap tenaga kerja 114,14 juta orang, dan menarik
1.655,2 triliun rupiah investasi dengan total jumlah usaha sebanyak 57,8 juta
unit. Gambar 3 menyajikan kontribusi UMKM dalam perekonomian nasional
tahun 2013–2014.

Sumber: Kementerian Koperasi dan UMKM, Sandingan data UMKM 2012–2014


Gambar 3. Kontribusi UMKM terhadap Perekonomian Nasional Tahun 2013
dan 20142

Kontribusi UMKM terhadap PDB nasional pada tahun 2013 adalah 57,6
persen (atas dasar harga konstan) yang 30,3 persen berasal dari usaha mikro; 12,8
persen dari usaha kecil; dan 14,5 persen berasal dari usaha menengah (Gambar
3). Hingga saat ini belum ada data terbaru mengenai kontribusi UMKM terhadap
PDB pada tahun 2014. Apabila UMKM dibandingkan dengan usaha skala besar,
kesenjangannya sangat besar. Dengan jumlah usaha skala besar hanya 0,11

2Kemenkop menerbitkan data 2014 hanya untuk penyerapan tenaga kerja dan jumlah
usaha

16
persen dari total usaha nasional, usaha besar mampu berkontribusi sebesar 42,4
persen terhadap PDB. Namun, UMKM masih dominan dalam hal penyerapan
tenaga kerja. Pada tahun 2014 UMKM mampu menyerap 96,7 persen dari total
tenaga kerja nasional yang 87 persen tenaga kerjanya diserap oleh usaha mikro.

Statistik UMKM tahun 2013 menunjukkan bahwa partisipasi UMKM dalam


ekspor masih relatif rendah. Usaha skala besar masih mendominasi ekspor
nonmigas. Sekitar 84,32 persen ekspor nonmigas disumbangkan oleh usaha besar,
sedangkan usaha mikro hanya menyumbang 1,38 persen, usaha kecil 2,76 persen,
dan usaha menengah sebesar 11,54 persen. Hal itu menunjukkan bahwa akses
ekspor UMKM, khususnya usaha mikro dan kecil masih rendah.

*) Data pertumbuhan PDB Nasional diambil dari BPS


Sumber: Kementerian Koperasi dan UMKM, Sandingan data UMKM
Gambar 4. Distribusi dan Pertumbuhan PDB Berdasarkan
Usaha 2008–2013

Secara umum, dalam masa 5 tahun terakhir ini, kontribusi UMKM terhadap
PDB nasional mengalami penurunan, dari 58,3 persen pada tahun 2008 menjadi
57,6 persen pada tahun 2013 (Gambar 4). Hal itu disebabkan oleh kontribusi
usaha mikro yang semakin menurun. Trend pertumbuhan nilai tambah UMKM

17
menunjukkan peningkatan dari 4,6 persen pada tahun 2009 menjadi 7,2 persen
tahun 2011, tetapi mengalami penurunan menjadi 5,75 persen pada tahun 2013.
Meskipun mengalami perlambatan, nilai pertumbuhan PDB UMKM masih lebih
tinggi 0,02 persen dari pertumbuhan PDB nasional.

Dari segi jumlah, tenaga kerja yang bekerja di UMKM mengalami


peningkatan, yaitu dari 94 juta pada tahun 2008 menjadi 123,2 juta pada tahun
2014 (Gambar 5). Namun, jika dilihat dari kontribusinya terhadap penyerapan
tenaga kerja nasional, proporsi penyerapan tenaga kerja di UMKM mengalami
penurunan, yaitu dari 97,2 persen pada tahun 2008 menjadi 96,7 persen pada
tahun 2014. Rata-rata pertumbuhan penyerapan tenaga kerja UMKM pada tahun
2009–2014 adalah 4,63 persen per tahun. Nilai itu masih lebih rendah jika
dibandingkan dengan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja usaha besar dan
penyerapan tenaga kerja nasional yang secara berturut-turut adalah sebesar 7,47
dan 4,72 persen.

140
Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja (Juta

4
120 5
4 7
4
3 6
3
3 5
100 3
3
3
3
4
3 3 4
3 4
4

80
Orang)

60
111
100 105
90 92 95
88
40

20

00
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Usaha Mikro (UMi) Usaha Kecil (UK) Usaha Menengah(UM) Usaha Besar (UB)

Sumber: Kementerian Koperasi dan UMKM, Sandingan data UMKM


Gambar 5. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja 2008–2014

Gambar 6 menunjukkan perkembangan jumlah unit usaha pada tahun


2008–2014. Jumlah unit usaha mikro, kecil, dan menengah pada tahun 2014

18
mengalami peningkatan, yaitu dari 51,4 juta pada tahun 2008 menjadi 59,3 juta
pada tahun 2014 yang 99,9 persen di antaranya adalah UMKM. Secara umum
pertumbuhan usaha mikro relatif sama pada tahun 2007–2014 dengan rata-rata
pertumbuhan 2,37 persen. Rata-rata pertumbuhan unit usaha yang paling tinggi
adalah usaha menengah sebesar 6,2 persen. Sementara itu, rata-rata
pertumbuhan unit usaha nasional untuk tahun 2007–2014 adalah sebesar 2,4
persen per tahun.

16
Laju Pertumbuhan Unit Usaha (%)

14 13.7
12
10.7
10

8
5.5 6.0
6 4.7 4.7 4.5 6.3
4.0 5.4 3.9 4.2
4 4.1 3.8 4.1
2.3 2.5 2.6 2.6 2.4 2.4 2.4
2 1.6 2.0
2.3 2.5 2.6 2.5 2.4 2.4 2.3
2.0
0
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Tahun

Usaha Mikro Usaha Kecil Usaha Menengah Nasional

Sumber: Kementerian Koperasi dan UMKM, Sandingan data UMKM


Gambar 6. Pertumbuhan Jumlah Unit Usaha 2008-2014

Rata–rata produktivitas tenaga kerja UMKM masih jauh tertinggal


dibandingkan usaha besar (Tabel 1). Pada periode 2006–2008 produktivitas tenaga
kerja UMKM adalah 12,2 juta rupiah dan periode 2009–2013 meningkat menjadi
13,3 juta rupiah. Sementara itu, produktivitas usaha besar mencapai 334,8 juta
rupiah pada tahun 2009–2013, sedangkan rata-rata produktivitas usaha mikro
hanya 7,8 juta rupiah. Sementara itu, usaha kecil masih mencapai 64,7 juta dan
usaha menengah 112,4 juta rupiah pada tahun 2009–2013.

Tabel 2 menunjukkan perbandingan kontribusi UMKM terhadap


perekonomian di negara ASEAN. Secara umum dapat dilihat bahwa di Indonesia
proporsi UMKM terhadap keseluruhan unit usaha ternyata paling tinggi jika

19
dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, yaitu sekitar 99,9 persen,
kemudian Kamboja dan Laos sebesar 99,8 persen. Demikian juga dalam hal
penyerapan tenaga kerja, UMKM di Indonesia menyerap lebih banyak tenaga kerja
jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Di Laos jumlah penduduk yang
bekerja di UMKM adalah 82,9 persen, Thailand 81 persen, dan Kamboja 71,8
persen.

Tabel 1. Produktivitas Tenaga Kerja (dalam juta rupiah)

Klasifikasi 2006–2009 2010–2013


Rata-rata UMKM 12,2 13,3
Usaha Mikro 7,4 7,8
Usaha Kecil 62,0 64,7
Usaha Menengah 104,5 112,4
Usaha Besar 309,9 334,8
Rasio Usaha Besar/ UMKM 25,3 25,1

Sumber: Kementerian Koperasi dan UMKM, Statistik UMKM

Dari sisi kontribusi UMKM terhadap PDB nasional, UMKM di Indonesia


mampu menyumbang 57,6 persen, sedangkan UMKM di Brunei Darussalam,
Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand berturut-turut adalah 24; 33,1; 36;
45; dan 37,4 persen. Namun, Kontribusi UMKM Indonesia terhadap ekspor masih
relatif rendah jika dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia. UMKM di
Thailand berkontribusi terhadap 25,5 persen total ekspor dan UMKM Malaysia
sekitar 19 persen, sedangkan UMKM Indonesia berkontribusi terhadap 15,7
persen total ekspor (Tabel 2).

20
Tabel 2. Perbandingan Kontribusi UMKM terhadap Perekonomian di Negara
ASEAN
Penyerapan Kontribusi
Unit Usaha Ekspor
Tenaga Kerja terhadap PDB
Negara
Share Share Share Share
Tahun Tahun Tahun Tahun
(%) (%) (%) (%)
Brunei
98,2 2010 59 2010 24 2010 n/a n/a
Darussalam
Kamboja 99,8 2014 71,8 2014 n/a n/a n/a n/a
Indonesia 99,9 2013 96,9 2013 57,6 2013 15,7 2013
Laos 99,8 2013 82,9 2013 n/a n/a n/a n/a
Malaysia 97,3 2011 57,5 2013 33,1 2013 19 2010
Myanmar 87,4 2014 n/a n/a n/a n/a n/a n/a
Filipina 99,6 2012 64,9 2012 36 2006 10 2010
Singapura 99,4 2012 68 2012 45 2012 n/a n/a
Thailand 97,2 2013 81 2013 37,4 2013 25,5 2013
Vietnam 97,7 2012 46,8 2012 n/a n/a n/a n/a
Sumber: Asian Development Bank dan Kementerian Koperasi dan UMKM

Statistik sebaran UMKM berdasarkan sektor menunjukkan bahwa sebagian


besar UMKM Indonesia, yaitu sekitar 48,9 persen bergerak dalam bidang usaha
primer (pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan). UMKM yang bergerak
dalam bidang perdagangan adalah sekitar 28,8 persen, sedangkan yang bergerak
dalam industri pengolahan hanya 6,4 persen, dan sisanya sekitar 2,1 persen
tersebar di sektor lain (Gambar 7). Struktur usaha ini relatif berbeda dengan
negara lain di ASEAN yang UMKM-nya kebanyakan berada pada sektor
perdagangan, jasa, dan industri pengolahan. Lebih dari 40 persen UMKM di
Malaysia, Thailand, dan Filipina berada pada sektor jasa, bahkan untuk Malaysia
jumlah UMKM yang berada pada sektor jasa mencapai 93,1 persen. UMKM di
Kamboja, Laos, dan Vietnam kebanyakan berada pada sektor perdagangan dengan
porsinya berturut-turut adalah 59,6 persen; 62,9 persen; dan 39,8 persen.
Sementara itu, UMKM pada sektor industri pengolahan banyak ditemukan di
Thailand dengan share sebesar 23,7 persen; Filipina sebesar 16,6 persen, dan
Vietnam sebesar 15,7 persen.

21
Sumber: Asia SME Finance Monitor 2014, ADB
Gambar 7. Distribusi UMKM Menurut Sektor Usaha di 7 Negara ASEAN

Berdasarkan data SME landscape pada Asia SME Finance Monitor 2014 yang
dikeluarkan oleh Asian Development Bank (ADB), pertumbuhan tenaga kerja
Indonesia masih berada di bawah Kamboja pada tahun 2014. Pertumbuhan
penyerapan tenaga kerja UMKM di Kamboja sebesar 16,1 persen, sedangkan
Indonesia hanya sebesar 8 persen. Sementara itu, untuk negara ASEAN lainnya,
pada tahun 2012 pertumbuhan penyerapan tenaga kerja UMKM adalah 27,3
persen untuk Filipina, 6,3 persen untuk Malaysia, dan 2,4 persen untuk Vietnam.
Data yang tersedia untuk Thailand adalah data tahun 2013 yang pertumbuhan
penyerapan tenaga kerja UMKM-nya mencapai 3,3 persen. Untuk produktivitas
tenaga kerja UMKM, data yang tersedia hanya untuk Malaysia, Thailand
(produktivitas UMKM saja), dan Indonesia. Produktivitas tenaga kerja UMKM di
Indonesia jauh berada di bawah produktivitas Thailand dan Malaysia. Pada tahun
2012 produktivitas UMKM di Indonesia hanya $1.355, sedangkan UMKM Malaysia
mencapai $20.609 dan Thailand $12,263. Rata-rata pertumbuhan produktivitas
tahun 2009–2012 untuk Indonesia, Thailand, dan Malaysia berturut-turut adalah
sebesar 4,9 persen, 6,1 persen, dan 9,5 persen.

22
Catatan:
1. Untuk gambar pertumbuhan tenaga kerja: tahun data untuk tiap negara bervariasi,
Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam tahun 2012; Thailand 2013; Indonesia,
Kamboja, dan Myanmar tahun 2014.
2. Data untuk Indonesia diambil dari Kementerian KUKM, sedangkan negara lain
diambil dari Asia SME Financial Monitor.
3. Untuk Myanmar dan Thailand digunakan data UKM, sedangkan untuk negara lain
digunakan data UMKM.
4. Konversi mata uang lokal ke US$ menggunakan data exchange rate World Bank
Sumber: Asia SME Financial Monitor 2014, ADB, dan Kementrian KUKM
(www.depkop.go.id), diolah
Gambar 8. Kinerja UMKM di beberapa negara ASEAN

Berdasarkan data World Bank Enterprise Survey, dalam hal pengembangan


tenaga kerja (Tabel 3), persentase usaha di Indonesia yang memberikan pelatihan
formal kepada tenaga kerja hanya berada pada kisaran 2,8 persen untuk usaha
kecil dan 13,2 persen untuk usaha menengah dengan rata-rata cakupan pelatihan
52,9 persen. Jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan ASEAN, persentase
tersebut sangat rendah. Sebagai contoh, jumlah perusahaan yang memberikan
pelatihan formal di Thailand mencapai 30,9 persen untuk usaha kecil dan 63,3
persen untuk usaha menengah.

Tabel 3. Pelatihan Tenaga Kerja


Proporsi unskilled
Persentase perusahaan Proporsi pekerja yang workers (dari total
yang memberikan diberikan pelatihan tenaga kerja produksi)
pelatihan formal formal (%) (%)
Negara Tahun Kecil Menengah Besar Kecil Menengah Besar Kecil Menengah Besar
Indonesia 2009 2,8 13,2 37,5 56,5 55,6 39,7 19,4 23,1 38,1
Kamboja 2013 66,0 68,8 85,9 59,1 61,5 67,2 46,4 49,2 56,2
Laos 2012 15,7 36,4 76,3 n,a, 41,5 29,5 17,9 40,4 39,0

23
Tabel 3. (lanjutan)
Proporsi unskilled
Persentase perusahaan Proporsi pekerja yang
workers (dari total
yang memberikan diberikan pelatihan
tenaga kerja produksi)
pelatihan formal formal (%)
(%)
Negara Tahun Kecil Menengah Besar Kecil Menengah Besar Kecil Menengah Besar
Myanmar 2014 10,3 25,6 31,4 62,5 49,3 38,9 20,5 31,2 59,2
Malaysia 2007 17,0 40,7 79,7 26,8 33,4 32,3 63,6 65,8 64,9
Filipina 2009 14,7 32,1 60,0 59,5 70,9 71,8 7,8 11,6 13,4
Thailand 2006 30,9 63,3 94,9 n.a n.a n.a 79,7 82,3 85,4
Vietnam 2009 11,6 49,1 53,2 66,0 62,3 70,7 10,5 24,3 21,6
Catatan: Tahun data untuk tiap negara bervariasi. Indonesia, Filipina, dan Vietnam
menggunakan data tahun 2009; Malaysia tahun 2007; Laos tahun 2012,
Kamboja tahun 2013; Myanmar tahun 2014.
Sumber: World Bank Enterprises Survey

Penguasaan teknologi dan inovasi UMKM Indonesia masih lebih rendah dari
rata-rata negara ASEAN. Menurut data World Bank Enterprises Survey, pada tahun
2009 jumlah perusahaan kecil yang memiliki sertifikat mutu internasional hanya
1,6 persen, sedangkan perusahaan menengah 6,3 persen (Gambar 9). Nilai
tersebut berada jauh di bawah Filipina dan Vietnam. Pada tahun yang sama 8,6
persen usaha kecil dan 18,6 persen usaha menengah di Filipina memiliki sertifikat
mutu internasional. Kepemilikan sertifikat mutu internasional di Vietnam untuk
usaha kecil adalah 6 persen dan usaha menengah 13,2 persen.

24
Catatan: Tahun data untuk tiap negara bervariasi. Indonesia, Filipina, dan Vietnam
menggunakan data tahun 2009; Malaysia tahun 2007; Laos tahun 2012,
Kamboja tahun 2013; Myanmar tahun 2014.
Sumber: World Bank Enterprises Survey
Gambar 9: Distribusi Perusahaan yang Memiliki Sertifikat Mutu
Internasional

Rendahnya pemanfataan teknologi informasi dapat pula dilihat pada


Gambar 10 dan Gambar 11. Kepemilikan laman (website) dan pemanfaatan pos-el
(e-mail) pada usaha kecil di Indonesia merupakan yang paling rendah di kawasan.
Perusahaan kecil yang memiliki website sendiri hanya 4,2 persen, sedangkan yang
memanfaatkan e-mail hanya 9,4 persen. Hal tersebut sangat kontras dengan
negara lain di kawasan, misalnya Filipina dan Vietnam. Pada kedua negara
tersebut kepemilikan website pada usaha kecil di atas 20 persen dan pemanfaatan
e-mail di atas 40 persen.

25
Sumber: World Bank Enterprises Survey
Catatan: Tahun data untuk tiap negara bervariasi. Indonesia, Filipina, dan
Vietnam menggunakan data tahun 2009; Malaysia tahun 2007; Laos
tahun 2012, Kamboja tahun 2013; Myanmar tahun 2014.
Gambar 10. Persentase Perusahaan yang Memiliki Website

Sumber: World Bank Enterprises Survey


Catatan: Tahun data untuk tiap negara bervariasi. Indonesia, Filipina, dan
Vietnam menggunakan data tahun 2009; Malaysia tahun 2007; Laos
tahun 2012, Kamboja tahun 2013; Myanmar tahun 2014.
Gambar 11. Persentase Pemanfaatan E-mail dalam Operasional Usaha

26
3.2 UMKM dan Industri Manufaktur

Dari perbandingan sebaran UMKM di negara-negara ASEAN pada Gambar


7, dapat disimpulkan bahwa mayoritas sektor UMKM di negara lain terkonsentrasi
pada sektor manufaktur serta perdagangan dan jasa. Namun, tidak demikian
dengan Indonesia, persebaran terbesar UMKM terdapat pada sektor primer, seperti
pertanian dan perkebunan. Sementara itu, jumlah UMKM yang terdapat di
industri manufaktur hanya mencapai 6,4 persen. Oleh karena itu, perlu dilihat
secara mendalam peran sektor manufaktur dalam perekonomian dan potensi
UMKM di sektor tersebut.

Tabel 4. Sektor Manufaktur ASEAN (harga konstan 2005 USD)


Negara 2010 2011 2012 2013 2014
Brunei Darussalam 1,079,648,092 1,116,655,978 1,124,602,478 1,145,401,578 -
Indonesia 95,176,714,177 101,134,296,683 106,817,817,508 111,618,936,480 116,791,460,619
Laos 396,732,836 437,965,590 481,443,062 529,889,190 587,849,492
Malaysia 44,958,246,284 47,064,347,930 49,311,718,932 51,025,170,986 54,184,059,400
Filipina 29,503,174,763 30,898,551,942 32,563,981,395 35,905,068,207 38,818,527,654
Vietnam 16,897,267,299 18,755,965,830 19,843,783,408 21,320,160,231 23,121,717,696
Kamboja 1,617,207,187 1,878,660,644 2,007,510,605 2,204,690,483 2,359,314,676
Singapura 47,745,099,997 51,473,178,656 51,637,614,930 52,496,354,009 -
Thailand 76,425,822,475 73,169,472,148 78,219,891,495 78,298,187,194 77,450,031,395
Sumber: World Development Indicators

Jika dibandingkan dengan negara lain di ASEAN, sektor manufaktur


Indonesia mempunyai nilai PDB terbesar, seperti dapat dilihat pada Tabel 4, nilai
sektor tersebut pada tahun 2014 mencapai 116,8 juta dollar. Angka tersebut jika
dibandingan dengan data tahun sebelumnya mengalami kenaikan cukup
konsisten pada angka 4–6 persen per tahun. Negara ASEAN lainnya juga
mengalami pertumbuhan bertahap di sektor manufaktur, seperti Kamboja,
Malaysia, Vietnam, dan Singapura. Hanya Thailand yang mengalami kontraksi
pada sektor tersebut akibat instabilitas politik pada tahun 2011.

Jika dilihat dari kontribusi terhadap perekonomian, sektor manufaktur di


Thailand tetap memberikan kontribusi terbesar jika dibandingkan dengan negara
ASEAN lainnya. Tiga negara ASEAN yang mempunyai kontribusi sektor
manufaktur terbesar adalah Thailand, Malaysia, dan Indonesia dengan kontribusi
terhadap PDB masing-masing 32,5 persen, 24,9 persen, dan 21,6 persen pada
tahun 2014 (Gambar 12).

27
35

30

25

20 2011

15 2012
2013
10

0
Brunei Indonesia Laos Malaysia Filipina Vietnam Kamboja Singapura Thailand

Sumber: World Development Indicators

Gambar 12. Kontribusi Sektor Manufaktur Terhadap PDB (%)

Selain terhadap PDB, sektor manufaktur juga berkontribusi signifikan


terhadap ekspor negara-negara ASEAN. Jika dibandingkan dengan sektor
pertanian, kontribusi manufaktur masih lebih besar di seluruh negara ASEAN.
Ekspor manufaktur menyumbang sekitar 40 persen dari total ekspor barang
Indonesia pada tahun 2014 (Gambar 12). Persentase tersebut lebih tinggi daripada
sektor pertanian (agriculture) yang berkontribusi hanya 25 persen total ekspor.
Mayoritas negara ASEAN lainnya, kecuali Brunei dan Indonesia, mempunyai
kontribusi ekspor manufaktur lebih besar dari 50 persen terhadap total ekspor
barang.

100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
2013 2014 2012 2013 2013 2014 2013 2014 2013 2014 2013 2014 2013 2014 2013 2014
Brunai Kamboja Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Vietnam

Manufaktur Pertanian

Sumber: WITS database


Gambar 13. Kontribusi Sektor Manufaktur dan Pertanian terhadap Ekspor

28
Jika melihat lebih detail performa UMKM pada sektor manufaktur
Indonesia, dapat disimpulkan bahwa peran UMKM sangat lemah dan sejalan
dengan kecilnya jumlah UMKM di sektor manufaktur. UMKM hanya berkontribusi
12,9 persen terhadap total tenaga kerja manufaktur Indonesia pada tahun 2012.
Angka tersebut turun cukup signifikan jika dibandingkan dengan tahun 2009
yang mencapai 16,4 persen. Lebih lanjut, kontribusi nilai tambah UMKM pada
sektor manufaktur di Indonesia tidak pernah melebihi 10 persen selama periode
2009–2012.

Kontribusi Ekspor (%) Kontribusi Nilai Tambah (%)


100 100
90 90
80 80
70 70
60 60
96.91 96.77 92.36 92.54 93.34 90.03 91.64 90.86
50 50
40 40
30 30
20 20
10 7.46 10 9.12
3.09 3.23 7.64 6.57 9.94 8.35
0 0 0.096 0.032 0.018 0.019
2009 2010 2011 2012 2009 2010 2011 2012

Menengah Besar Mikro dan Kecil Menengah Besar

Kontribusi Tenaga Kerja (%) Produktifitas (Rp)


100 250
Millions

90
80 200
70
60 83.62 150
85.58 86.33 87.06
50
40 100
30
20 50
10 15.43 14.23 13.58 12.86
0 0.95 0.19 0.10 0.07 0
2009 2010 2011 2012 2009 2010 2011 2012

Mikro dan Kecil Menengah Besar Mikro dan Kecil Menengah Besar

Sumber: Statistik UKM


Gambar 14. Beberapa Indikator UMKM pada Sektor Manufaktur Indonesia

Dari sisi ekspor hanya usaha menengah sektor manufaktur yang kontribusi
ekspornya dapat dihitung. Data tersebut sejalan dengan karakteristik dari UMKM
itu sendiri, yaitu usaha mikro dan kecil mengalami hambatan biaya dan akses

29
pasar untuk melakukan ekspor langsung. Pada tahun 2012 kontribusi ekspor
usaha menengah tercatat mencapai 7,46 persen pada sektor manufaktur.
Persentase tersebut mencapai lebih dari dua kali lipat daripada kontribusi ekspor
pada tahun 2009 yang hanya mencapai 3,09 persen. Pada periode yang sama,
walaupun produktivitas usaha mikro dan kecil jauh lebih rendah daripada skala
usaha yang lebih besar, terdapat tren yang stabil dan meningkat dibandingkan
usaha menengah dan besar. Hal tersebut menunjukkan adanya potensi yang
cukup besar bagi UMKM di sektor manufaktur.

3.3 UMKM dan Jaringan Produksi Global

Studi Wignaraja (2012) menunjukkan bahwa partisipasi UMKM Indonesia


dalam jaringan produksi global masih rendah (Tabel 5). Dengan menggunakan
data World Bank Enterprise Survey yang mencakup 5.900 perusahaan pada lima
negara ASEAN, yaitu Malaysia, Thailand, Filipina, Indonesia, dan Vietnam, dapat
disimpulkan bahwa jumlah UMKM Indonesia yang terlibat dalam produksi global
hanya 6,3 persen. Angka tersebut jauh berada di bawah UMKM Malaysia,
Thailand, Vietnam, dan Filipina yang secara berturut-turut jumlah UMKM yang
terlibat dalam jaringan produksi global adalah 46,2; 29,6; 21,4; dan 20,1 persen.

Tabel 5. Keterlibatan Usaha Kecil dan Menengah ASEAN pada Jaringan


Produksi Global

Catatan: Data Malaysia dan Thailand untuk tahun 2006 sementara di Indonesia, Vietnam,
dan Filipina survei dilakukan pada tahun 2009.
Sumber: Wignaraja (2012)

Dalam studi yang sama dijelaskan pula bahwa kontribusi ekspor UMKM
Indonesia adalah yang terendah dibandingkan dengan empat negara ASEAN lain
yang diikutsertakan dalam kajian (Gambar 15). Kontribusi ekspor UMKM

30
Indonesia hanya 9,3 persen, kontras dengan UMKM Thailand, Filipina, dan
Malaysia yang mampu berkontribusi diatas 28 persen terhadap total ekspor.
Bahkan kontribusi UMKM Indonesia terhadap total ekspor masih tertinggal
dibawah UMKM Vietnam dengan kontribusi sebesar 16,8 persen.

Sumber: Wignaraja, 2012


Gambar 15. Kontribusi Ekspor UMKM dan Perusahaan Besar
terhadap Total Ekspor

Tingkat partisipasi yang rendah dalam jaringan produksi global tidak hanya
terjadi pada UMKM Indonesia, tetapi terjadi pada industri keseluruhan. Studi
presisi Indonesia pada tahun 2014 memperlihatkan bahwa tingkat partisipasi
Indonesia secara umum dalam jaringan produksi global memang rendah. Apabila
dilihat dari beberapa indikator untuk mengukur tingkat partisipasi suatu negara
dalam GVC, partisipasi Indonesia dalam GVC ternyata masih lebih rendah jika
dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan.

31
Sumber: COMTRADE, diolah
Gambar 16. Proporsi Perdagangan Barang Mesin terhadap Perdagangan
Barang Manufaktur (Rata-Rata 2010–2013)

Jika dilihat dari proporsi nilai perdagangan peralatan mesin Indonesia


terhadap total barang manufaktur atau nilai perdagangan barang parts &
component (Gambar 16 dan 17), tingkat partisipasi Indonesia memang lebih
rendah jika dibandingkan dengan sebagian besar negara-negara di kawasan.
Demikian pula dengan indeks perdagangan intraindustri atau intra industry trade
index (iit index) atau indeks partisipasi GVC (Gambar 18) memperlihatkan hasil
yang sama.

Sumber: COMTRADE, diolah


Gambar 17: Perdagangan Parts dan Components (Rata-Rata 2010–2013)
32
Sumber: OECD, Trade in Value Added database, diolah.

Gambar 18. Tingkat Partisipasi GVC

Literatur mengenai GVC pada Bab 2 menunjukkan bahwa tingkat


partisipasi suatu negara dalam GVC sangat ditentukan oleh tiga hal, yaitu
keandalan teknologi komunikasi, logistik, dan keterbukaan ekonomi (aturan
perdagangan dan investasi). Indonesia masih tertinggal dalam ketiga aspek
tersebut,bahkan tidak hanya ketiga aspek tersebut, diskusi dengan beberapa
pengusaha di Indonesia menunjukan bahwa tingkat upah yang relatif tinggi jika
dibandingkan dengan negara tetangga menjadi hambatan untuk meningkatkan
efisiensi produksi. Demikian halnya dengan suku bunga yang tinggi.

Secara spesifik keterlibatan pengusaha dalam jaringan produksi global juga


terhambat faktor-faktor yang spesifik di dalam sektornya. Misalnya, industri
makanan dan minuman mengalami kesulitan dalam (i) memenuhi standar produk
internasional, (ii) memenuhi spesifikasi barang yang berbeda antarnegara, dan (iii)
memperoleh bahan baku lokal yang sesuai dengan permintaan konsumen global.

3.4 Permodalan UMKM

Sumber permodalan bagi UMKM di Indonesia masih didominasi oleh sektor


perbankan. Tabel 6 memperlihatkan perbandingan aset dan modal yang
disalurkan oleh beberapa lembaga keuangan di Indonesia. Perbankan merupakan

33
institusi keuangan yang terbesar yang diperlihatkan oleh perbandingan besaran
aset dan dana yang dapat disalurkan oleh perbankan dibandingkan lembaga
keuangan lainnya. Hanya perusahaan yang memiliki rekam jejak dan/atau
memiliki jaminan dan/atau dukungan dari pembelinya yang dapat mengakses
pembiayaan dari perbankan.

Modal ventura merupakan sumber pembiayaan alternatif bagi usaha/


pengusaha baru yang tidak memiliki jaminan, tetapi memiliki usaha yang
berpotensi. Hanya saja jumlah perusahaan modal ventura masih sangat terbatas,
yaitu hanya 69 perusahaan pada tahun 2014 (Direktori Lembaga Pembiayaan,
OJK) dengan aset total hanya sebesar 9 triliun rupiah. Modal ventura merupakan
pembiayaan dengan risiko bagi investornya sehingga investor (perusahaan modal
ventura) harus mengerti dan memahami usaha yang dijalankan oleh perusahaan
yang akan dibiayai.

Sulitnya mengakses perbankan dan jumlah modal ventura yang relatif


terbatas mendorong pemerintah mendirikan Permodalan Nasional Madani (PNM)
dengan tujuan untuk membantu pendanaan UMKM. Namun, PNM mensyaratkan
rekam jejak yang baik bagi UMKM yang akan dibiayai. Berbagai model pembiayaan
baru lainnya juga timbul dalam kondisi sulitnya mengakses sumber pembiayaan
bagi UMKM. Model pembiayaan seperti crowd-funding dan pembiayaan mikro
lainnya sudah mulai tersedia. Hanya saja, model tersebut masih dalam tahap awal
perkembangan.

UMKM juga memiliki akses permodalan untuk pembiayaan ekspor melalui


perbankan dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Namun, persentase
kredit perbankan untuk ekspor sangat rendah. Demikian juga dengan LPEI,
lembaga tersebut hanya mengalokasikan 10 persen portfolio pendanaan untuk
UMKM. Pendanaan itu lebih banyak dilakukan secara tidak langsung, yaitu
melalui pembiayaan modal ventura.

34
Tabel 6: Sumber-Sumber Pendanaan (dalam triliun rupiah)
Modal
PNM ** Multifinance ***
Perbankan* Ventura****
Tahun
Bank
Umum BPR Total

Total Aset

2007 1,987 28 2,014 2 - 127


2008 2,311 33 2,343 2 - 168
2009 2,534 38 2,572 3 - 174
2010 3,009 46 3,055 3 3.33 230
2011 3,653 56 3,709 3 3.62 291
2012 4,263 67 4,330 7 3.78 342
2013 4,954 77 5,032 8 4.95 401
2014 5,615 90 5,705 9 5.09 420

Dana yang disalurkan


2007 1,703 27 1,729 2 - 46
2008 2,015 31 2,047 2 - 59
2009 2,282 36 2,318 3 - 56
2010 2,766 44 2,810 3 0.005 82
2011 3,412 54 3,466 4 0.005 99
2012 4,173 65 4,237 4 0.002 105
2013 4,823 75 4,898 6 0.002 112
2014 5,469 87 5,556 7 0.002 123
Sumber:
* Statistik Perbankan Indonesia Otoritas Jasa Keuangan
** PT Permodalan Nasional Madani (PNM) Annual Report
*** Factbook 2011 Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dan Statistik
Lembaga Pembiayaan Otoritas Jasa Keuangan (2013–2014)
**** Statistik Lembaga Pembiayaan Otoritas Jasa Keuangan (2013–2014)

Modal Ventura

Modal ventura merupakan salah satu sumber pendanaan yang mungkin


diakses oleh perusahaan yang baru berdiri. Modal ventura adalah model
pembiayaan berupa penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan swasta sebagai
pasangan usaha (investee company) untuk janga waktu tertentu. Pada umumnya
investasi ini dilakukan dalam bentuk penyerahan modal secara tunai yang

35
ditentukan dengan sejumlah saham pada perusahaan pasangan usaha. Terdapat
empat jenis pembiayaan modal ventura, yaitu sebagai berikut.

1. Equity financing, yaitu perusahaan modal ventura yang melakukan penyertaan


secara langsung pada perusahaan pasangan usaha dengan cara mengambil
bagian dari jumlah saham milik perusahaan pasangan usaha.

2. Semi equity financial, yaitu perusahaan modal ventura yang membeli obligasi
konversi yang diterbitkan oleh perusahaan pasangan usaha.

3. Pendirian perusahaan baru, yaitu perusahaan modal ventura bersama-sama


dengan perusahaan pasangan usaha mendirikan usaha yang baru.

4. Bagi Hasil.

Pertumbuhan modal ventura dalam lima tahun terakhir cukup tinggi. Dana
yang disalurkan naik dari 3 triliun rupiah pada tahun 2009 menjadi 6,5 triliun
rupiah pada tahun 2014. Sumber dana modal ventura berasal dari dalam
perusahaan sendiri yang berupa setoran modal pemegang saham, cadangan laba
ditahan, laba ditahan, dan dari pihak luar, baik investor perseorangan, pinjaman
dari lembaga perbankan, maupun dari lembaga asuransi dan dana pensiun.

PT Penanaman Modal Madani (PNM)

Pada tahun 1999 pemerintah mendirikan PT Permodalan Nasional Madani


(Persero) atau PNM dengan mandat membantu pembiayaan dan peningkatan
kapasitas para pelaku UMKM. Modal awal PNM berasal dari APBN. Sejak tahun
2009 PNM mendiversifikasi sumber pendanaannya melalui kerja sama dengan
pihak ketiga, yaitu perbankan dan pasar modal. Pada tahun 2014 total aset PNM
tercatat sebesar 5 triliun rupiah.

PNM memberikan jasa pembiayaan secara langsung kepada usaha mikro


kecil (UMK) melalui kantor-kantor Unit Layanan Modal Mikro (ULaMM) dengan
besaran pinjaman dari 1 juta rupiah hingga 200 juta rupiah. Di samping itu, PNM
juga menyalurkan dana secara tidak langsung melalui Bank Perkreditan Rakyat/
Bank Perkreditan Syariah (BPR/BPRS), Koperasi, dan Lembaga Keuangan
Mikro/Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKM/LKMS) lainnya, termasuk
pembiayaan channeling melalui LKM/LKMS.

PNM juga menyalurkan pembiayaan modal ventura melalui anak


perusahaan PT PNM Venture Capital dengan memberikan dukungan permodalan

36
langsung kepada usaha kecil dan menengah (UKM) dalam bentuk pembiayaan bagi
hasil kepada perusahaan patungan usaha (PPU).

PNM memberikan layanan nonpembiayaan berupa jasa manajemen atau


capacity building kepada UMK melalui unit Pengembangan Kapasitas Usaha (PKU)
dan kepada lembaga keuangan mikro/lembaga keuangan makro syariah
(LKM/LKMS), antara lain BPR/BPRS, koperasi (KSP/USP), dan BMT. Jasa
manajemen memiliki kegiatan berupa pelatihan, konsultasi, dan pendampingan
usaha yang ditujukan untuk meningkatkan kinerja dan nilai tambah pelaku
UMKM serta LKM/LKMS yang dikelolanya.

PNM juga memiliki Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL).


Penyaluran dana program kemitraan dilakukan dengan pola pembiayaan
konvensional dan syariah. Dana program kemitraan ini dimaksudkan sebagai
modal kerja, investasi, atau pembelian aktiva dalam rangka meningkatkan
kapasitas produksi dan penjualan. Dana kemitraan PNM disalurkan kepada mitra
binaan, baik yang berbadan hukum maupun yang bersifat individual atau
kelompok, termasuk di dalamnya lembaga keuangan mikro dan koperasi.

Sayangnya penerima manfaat dana kemitraan diprioritaskan bagi mitra


binaan yang belum memenuhi persyaratan perbankan (non-bankable), tetapi
memiliki usaha prospektif yang sudah berjalan minimal 1 tahun. Dengan demikian,
perusahaan-perusahaan yang baru berdiri tidak dapat mengakses pendanaan dari
PNM.

Crowd Funding

Kesulitan mengakses sumber pendanaan formal menimbulkan beberapa


model pendanaan alternatif, seperti crowd funding. Crowd funding secara garis
besar dapat digambarkan sebagai pendanaan ramai-ramai (patungan) terhadap
satu proyek. Satu proyek, baik komersial maupun sosial dapat didanai oleh
ratusan bahkan ribuan orang. Keberadaan crowd funding masih dalam tahap dini
di Indonesia sehingga pendataan terhadap crowd fuding itu belum sistematis
seperti perbankan dan modal ventura. Beberapa crowd funding yang ada di
Indonesia adalah sebagai berikut.

37
1. KitaBisa (kitabisa.com)

KitaBisa adalah website untuk menggalang dana (fundraising) secara online


untuk berbagai macam kebutuhan, mulai dari program yayasan/NGO, inisiatif
komunitas, gagasan mahasiswa, bantuan bencana alam, hingga patungan
untuk pribadi yang membutuhkan. Beberapa proyek yang pendanaannya digalang
melalui KitaBisa antara lain adalah Pergerakan SaveMaster. Pergerakan
SaveMaster berhasil mengumpulkan total 137 juta rupiah (USD10.600) untuk
membantu menyelamatkan sebuah gedung sekolah yang seharusnya
diruntuhkan.

2. Wujudkan

Wujudkan.com adalah crowd funding lain yang dapat diakses oleh pemula
atau oleh individu yang memiliki ide/proyek kreatif untuk mendapatkan
pendanaan. Wujudkan.com mengambil 5 persen dari setiap proyek yang berhasil
didanai. Proyek dengan dana tertinggi sampai saat ini adalah film dokumenter
Atambua 39° Celsius dengan total pendanaan 312 juta rupiah (USD32.800).

3. Ayopeduli

Ayopeduli.com adalah crowd funding yang memiliki misi membantu


memecahkan permasalahan pendanaan dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan
lingkungan. Proyek paling sukses dari AyoPeduli hingga saat ini adalah Rumah
Harapan yang mengangkat 20 juta rupiah (USD1.500) untuk membantu sebuah
organisasi yang mengurus anak-anak yang sakit keras.

4. GandengTangan

GandengTangan memiliki konsep yang berbeda dari situs crowd funding


lainnya. GandengTangan memiliki platform sebagai crowd lending, yaitu
pemrakarsa proyek meminjam uang dari crowd, tetapi setelah proyek tersebut
direalisasikan dan berjalan serta mendapatkan keuntungan, inisiator diharapkan
untuk membayar kembali dana awal yang telah dikumpulkan dari crowd tersebut.

Pendanaan lainnya

Alternatif pendanaan lainnya pada prinsipnya merupakan praktik


meminjamkan uang kepada individu yang tidak berhubungan dan tanpa melalui
perantara keuangan tradisional, seperti bank atau lembaga keuangan tradisional
lainnya. Pinjaman ini berlangsung secara online pada website perusahaan

38
pinjaman peer-to-peer menggunakan platform pinjaman yang berbeda dan
berbagai alat kredit untuk menghitung credit rating. Salah satu contoh dari skema
ini adalah UangTeman.com yang memberikan kreditur mikro tidak lebih dari 2 juta
rupiah (USD136) dengan rentang hingga 30 hari sebelum harus dilunasi jangka
pendek secara online.

Peminjam tidak memerlukan kartu kredit ataupun sejarah kredit untuk


mendapatkan pinjaman, tidak seperti di bank tradisional. Pinjaman muncul dalam
akun peminjam dalam waktu 24 jam jika peminjam baru pertama kali melakukan
pinjaman, tetapi jauh lebih cepat jika peminjam adalah peminjam lama. Peminjam
bebas memilih pinjaman untuk setiap waktu antara 10 dan 30 hari. UangTeman
meminta pengguna membayar kembali pinjaman mereka pada akhir periode tenor
yang mereka pilih, termasuk jumlah pokok ditambah bunga yang masih harus
dibayar.

Untuk pinjaman pertama, tingkat bunga adalah satu persen per hari, dan
dapat menurun dari waktu ke waktu apabila kinerja kredit baik. Biaya lainnya
termasuk biaya perpanjangan Rp180.000,00 (USD12), biaya keterlambatan
pembayaran sebesar Rp50.000,00 (USD3,40) ditambah Rp10.000,00 (USD0,68) per
hari setelahnya, dan biaya penagih utang sebesar 10 persen dari pembayaran
jumlah. Hanya saja UangTeman hanya memberikan pinjaman kepada individu
yang memiliki penghasilan minimum Rp 3 juta per bulan dan memiliki rekening
tabungan di bank. Prosedur pengajuan pinjaman juga tidak sulit, semua
dilakukan secara transparan dan melalui sistem online.

39
IV. KEBIJAKAN UMKM INDONESIA DAN ASEAN

4.1 Kebijakan UMKM ASEAN

Kebijakan mengenai UMKM di ASEAN merupakan salah satu implementasi


dari kerangka ASEAN Equitable Economic Development dalam pilar ASEAN
Economic Community. Dalam kerangka tersebut usaha kecil dan menengah (UKM)
merupakan komponen utama dalam mencapai pertumbuhan inklusif dan
pengurangan kemiskinan3. Dalam rangka pengembangan UKM di ASEAN beberapa
panduan dan kerangka kerja telah disepakati. ASEAN Policy Blueprint for SMEs
Development (APBSD) 2004–2014 yang merupakan panduan untuk pengembangan
kebijakan untuk membangun UKM ASEAN yang berdaya saing, dinamis, dan
inovatif disahkan dalam Sidang AEM ke-36 di Jakarta, 3 September 2004.
Berbagai aktivitas dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut dilakukan melalui
ASEAN Small and Medium Enterprise Agencies Working Group (SMEWG).

ASEAN Policy Blueprint for SMEs Development (APBSD) kemudian


dilanjutkan dengan ASEAN Strategic Action Plan for SME Development (SAP-SMED)
2010–2015 yang memuat kegiatan spesifik yang akan dilakukan dalam jangka
pendek dan menengah, seperti kegiatan penyebaran informasi yang lebih luas
mengenai kegiatan yang ada di regional untuk UKM di ASEAN, implementasi
kebijakan, serta program UKM, baik nasional maupun regional. Kelanjutan dari
SAP-SMED 2010–2015 adalah post 2015 SAP-SMED. Dalam pertemuan ASEAN
SMEWG yang diadakan di Yogyakarta 4–5 November 2015 lalu, disusun ASEAN
Strategic Action Plan for SME Development (SAP-SMED) 2016–2025 yang memuat
lima strategic goals yang menjadi pedoman dalam pengembangan UKM di ASEAN.

Dalam rangka pemonitoran kebijakan UKM di ASEAN, seluruh negara


anggota ASEAN telah sepakat menyusun ASEAN SME Policy Index untuk
mengukur delapan indikator yang terkait dengan kebijakan UMKM. Indeks
tersebut diadopsi dari metode penilaian kebijakan UMKM yang sudah dilakukan
oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Walaupun
indeks tersebut terkait dengan kebijakan, ASEAN SME Policy Index dapat
memberikan gambaran mengenai daya saing UMKM di negara-negara anggotanya.

3Penyebutan UKM di sini juga mencangkup usaha mikro. Walaupun selalu disebutkan
UKM, kebijakan-kebijakan di ASEAN juga relevan bagi usaha mikro

40
Tabel 7 merangkum hasil seluruh indikator dalam ASEAN Policy Index. Jika
dibandingkan dengan kebijakan negara anggota ASEAN lainnya, kekuatan sektor
UMKM Indonesia terletak pada institutional framework dan kemudahan dalam
memulai usaha. Hal tersebut menjelaskan bahwa sektor UMKM Indonesia
mempunyai lingkup dan definisi yang jelas serta tidak terdapat hambatan yang
berarti dalam memulai usaha UMKM di Indonesia. Namun, pada tataran
implementasi banyak hal yang jauh berada di bawah nilai ideal, seperti koordinasi
kebijakan yang sering dianggap gagal.

Dalam aspek operasional dan pendukung kegiatan, institusi pengembangan


UMKM di Indonesia termasuk yang masih lemah. Banyak program yang tindak
berkelanjutan seperti Business Development Centres yang pernah dibangun di
1.096 lokasi di seluruh Indonesia tidak lagi ditemui eksistensinya. Demikian juga
bantuan untuk e-commerce seperti online portal untuk UMKM tidak dapat di akses
oleh UMKM.

Pada aspek Cheaper and Faster Start Up, Indonesia mendapatkan skor 4,4.
Namun, berdasarkan diskusi dengan Kementerian Perdagangan, prosedur dan
biaya pengurusan izin sudah dipermudah dan tanpa biaya, tetapi belum semua
UMKM memformalkan usahanya karena jangkauan sosialisasi kementerian yang
terbatas, selain keengganan UMKM sendiri memformalkan usahanya karena salah
satunya terkait dengan konsekuensi pembayaran pajak.

Dalam hal akses keuangan, Indonesia juga belum termasuk baik. Meskipun
Indonesia memiliki perbankan yang baik, kredit yang disalurkan kepada UMKM
masih rendah. Sementara itu, lembaga keuangan bukan bank juga masih terbatas.
Demikian juga dengan akses terhadap pasar modal, Indonesia belum memberikan
akses bagi UMKM untuk mendapatkan modal dari pasar modal.

Dalam aspek teknologi dan transfer teknologi, skor untuk Indonesia hanya
3,8. Kebanyakan inisiatif masih dalam tahap awal, misalnya pembangunan science
parks. Infrastruktur yang diperlukan untuk pengembangan teknologi juga belum
memadai, seperti broadband internet dan perlindungan HAKI.

Dalam aspek ekspansi pasar internasional ditunjukkan bahwa kinerja dan


pelaksanaan kebijakan yang mendukung ekspansi UMKM Indonesia ke pasar
internasional mendapat peringkat lima dengan skor 4,2. Hal itu disebabkan
kebijakan yang tumpang tindih dan kurangnya koordinasi lintas kementerian/
lembaga terkait UMKM. Di samping itu, kurangnya sumber daya dan kapasitas

41
Indonesia Trade and Promotion Centre (ITPC) juga berkontribusi pada rendahnya
kemampuan melakukan ekspansi pasar.

Dalam hal promosi pendidikan kewirausahaan, skor Indonesia adalah 3,9.


Pendidikan kewirausahaan belum mengarus utama dalam kurikulum pendidikan
Indonesia. Dalam aspek efektivitas representasi kepentingan UKM, skor Indonesia
paling rendah di antara 8 aspek yang dievaluasi. Asosiasi yang merupakan
representasi UKM secara nasional baru berdiri pada tahun 2014 setelah SME
policy index dibuat. Efektivitasnya dalam menyuarakan kepentingan UMKM masih
perlu dievaluasi.

Tabel 7. ASEAN SME Policy Index


No. Indikator BRN CAM IND LAO MMR MYS PHL SGP THA VNM ASEAN
1 Institutional 2.6 2.6 4.4 2.6 2.9 4.6 3.7 5.4 3.9 3.8 3.7
Framework
2 Access to 3.3 2.4 4.0 2.3 2.7 4.8 3.8 5.4 3.8 3.6 3.6
Support
Services
3 Cheaper and 3.1 2.1 4.4 2.7 2.9 4.8 3.0 5.0 4.2 4.1 3.6
Faster Start up
4 Access to 3.0 2.5 4.3 2.5 2.1 4.6 3.6 5.6 4.3 3.4 3.6
Finance
5 Technology 3.2 1.9 3.8 2.0 2.4 4.9 3.6 5.6 4.3 3.6 3.5
and
Technology
Transfer
6 International 3.2 3.3 4.2 3.1 3.3 5.0 4.4 6.0 4.7 4.0 4.1
Market
Expansion
7 Promotion of 3.0 2.1 3.9 2.3 2.9 4.2 3.7 5.0 3.1 2.9 3.3
Entrepreneurial
Education
8 More effective 2.3 2.5 3.0 3.0 4.5 5.7 4.7 5.0 4.4 4.0 3.8
representation
of SME’s
interest
Sumber: ERIA (2014)

Sementara itu, jika dilihat dari beberapa indikator kebijakan UMKM:


definisi, keberadaan institusi, sektor kunci UMKM, dan kebijakan utama UMKM
seperti pada Tabel 8, dapat dilihat bahwa tiap-tiap negara ASEAN memiliki
kebijakan yang berbeda-beda. Definisi UMKM antar negara berbeda-beda. Di
Indonesia definisi UMKM tidak dibedakan antara satu sektor dan sektor yang lain,

42
seperti halnya di Malaysia dan Thailand. Indonesia juga merupakan salah satu
negara ASEAN yang tidak memiliki master plan kebijakan pengembangan UMKM.

43
Tabel 8. Rangkuman Beberapa Indikator Kebijakan Negara-Negara ASEAN
Negara Definisi UMKM Institusi Utama Sektor Kunci UMKM Kebijakan Utama UMKM
Pemerintah
Indonesia  Mikro: aset $5.500; Kementerian UMKM 1. Manufaktur  Kredit Usaha Rakyat (KUR)
penjualan $33.002 2. Perdagangan  Peningkatan kapasitas SDM
 Kecil: aset $5.500–55.000; 3. Industri Primer UMKM
penjualan $33.002-275.014  Peningkatan akses pasar dan
 Menengah: aset $1,1 juta; dukungan untuk partisipasi
penjualan ($275.014– pameran internasional
$5.500.290
Malaysia Manufaktur: 1.National SME 1. Jasa Malaysia memiliki SME
 Mikro: penjualan < $91.645; Development 2. Manufaktur Masterplan 2020. Target
pekerja < 5 orang Council (NSDC) 3. Pertanian kontribusi:
 Kecil: penjualan $91.645–4,5 2.Small and Medium 1. GDP: 41%
juta; pekerja 5–74 orang Industries 2. Pekerja: 62%
 Menengah: penjualan $4,5– Development 3. Exports: 25%
15,3 juta; pekerja 75–200 Corporation
orang (SMIDEC) Fokus kebijakan pada:
 Inovasi dan Teknologi
Jasa dan Sektor lainnya:  Pengembangan SDM
 Mikro: penjualan < $91.645;  Akses finansial
pekerja < 5 orang  Akses pasar
 Kecil: penjualan $91.645–  Regulasi dan Peraturan
$916.449; pekerja 5–29  Infrastruktur
orang
 Menengah: penjualan
$916.449–$6,1 juta; pekerja
30–75 orang
Thailand Terbagi menjadi empat grup Office of Small and 1. Perdagangan dan  Pengembangan SDM
(manufaktur, perdagangan Medium Enterprises pemeliharaan  Peningkatan inovasi dan IP
besar, perdagangan kecil, dan Promotion (OSMEP) 2. Jasa  Peningkatan faktor
jasa), yang mempunyai 3. Manufaktur pendukung (database,
kategori untuk usaha kecil marketing, finance)

44
Negara Definisi UMKM Institusi Utama Sektor Kunci UMKM Kebijakan Utama UMKM
Pemerintah
atau menengah menurut  Implementasi dari “Third SME
jumlah pekerja dan aset. Promotion Master Plan (2012–
 Kecil: pekerja 15 orang 2016)
untuk perdagangan retail
s.d. 50 orang untuk sektor
lainnya; Aset maksimal 30
juta bath (retail)–50 juta bath
(lainnya)
 Menengah: pekerja 16 orang
(retail) s.d. 50 orang (sektor
lainnya); Aset 60 juta bath
(retail)–200 juta bath
(lainnya)
Singapura Perusahaan dengan penjualan SPRING (di bawah Hampir seluruh sektor Menyediakan dukungan pada 5
tahunan tidak lebih dari SGD Ministry of Trade and ekonomi (terutama jasa) area:
100 juta (USD 73,53) juta atau Industry)  Self-help toolkits (customer
jumlah pekerja maksimal 200 services, financial
orang management, SDM, marketing,
productivity)
 Innovation & Capability
Voucher
 Insentif pajak
 Grand & Loan
Brunai Tidak ada definisi detail 1. Ministry of  Pengembangan usaha mikro
Darussalam Industry and  Pengembangan dan
Primary Resources Meningkatkan UMKM baru
2. Brunei Economic  Dukungan untuk
Development internasionalisasi dan
Board (BEDB) komersialisasi
Filipina  Mikro: Aset ≤ $67 ribu Bureau of Small and 1. Perdagangan kecil MSME Development Plan 2011–
 Kecil: Aset $67 ribu–$333 Medium Enterprises dan besar 2016:
ribu Development 2. Jasa perbaikan  Iklim usaha

45
Negara Definisi UMKM Institusi Utama Sektor Kunci UMKM Kebijakan Utama UMKM
Pemerintah
 Medium: Aset ≥ $333 ribu– (BSMED) kendaraan bermotor  Akses finansial
$2,222 juta 3. IT  Akses pasar
 Medium: Aset ≥ $2.22 juta 4. Finansial dan  Efisiensi dan Produktivitas
Asuransi
Vietnam Kategori mikro menggunakan 1. Central level: Hampir seluruh sektor  Mendirikan SME Development
tenaga kerja ≤ 10 orang. Agency for ekonomi (perdagangan, Fund
Untuk kategori kecil dan Enterprise jasa, manufaktur,  Mempromosikan aplikasi
menengah terbagi menjadi 3 Development konstruksi) teknologi dan inovasi
ukuran UMKM menurut 3 2. Provincial level:  Menformulasikan inkubator
sektor ekonomi: Department of bisnis
1. Pertanian, kehutanan, dan Planning and  Merumuskan model dukungan
kelautan Investment komprehensif untuk UMKM
 Menengah: pekerja 11–  Mendorong industrial cluster
200 orang; aset ≤ VND dan economic linkage
20 milyar
 Besar: pekerja 201–300;
aset ≥ VND 20 milyar–
100 VND milyar
2. Industri dan konstruksi
 Menengah: pekerja 11–
200 orang; aset ≤ VND
20 milyar
 Besar: pekerja 201–300;
aset ≥ VND 20 milyar–
100 VND milyar
3. Perdagangan dan jasa
 Menengah: pekerja 11–
50 orang; aset ≤ VND 10
milyar
 Besar: pekerja 51–100;
aset ≥ VND 10 milyar–
VND 50 milyar

46
Negara Definisi UMKM Institusi Utama Sektor Kunci UMKM Kebijakan Utama UMKM
Pemerintah
Kamboja  Mikro: pekerja < 10 orang; The General 1. Jasa dan  Mengurangi jumlah perizinan
Aset < $50 ribu Department of Perdagangan UMKM
 Kecil: pekerja 11–50 orang; Industry (GDI), pada 2. Pemrosesan produk  Merumuskan business
aset $50 ribu–250 ribu Ministry of Industry, pertanian, environment yang kondusif
 Medium: pekerja 51–100 Mines, and Energy manufaktur, dan  Meningkatan kapasitas SDM
orang; aset $250 ribu–$500 pertambangan dan transfer teknologi
ribu
Laos  Kecil: pekerja ≤19 orang; Aset Department of SME 1. Perdagangan  Memperbaiki regulasi dan
≤ $ 30.271; turnover/tahun ≤ Promotion, Ministry of 2. Jasa system administrasi kegiatan
$48.433 Industry and ekonomi
 Menengah: >19–99 orang; Commerce  Meningkatkan akses finansial
Aset ≤ $145.300  Mendorong pengusaha baru
Myanmar Salah satu kriteria adalah Industrial 1. Pertanian, Tidak ada Kebijakan khusus
pekerja: Development pertenakan, dan terkait UMKM
 Mikro: pekerja < 10 orang Committee perikanan
 Kecil: pekerja 10–50 orang 2. Manufaktur
 Medium: pekerja 51–100
orang
Sumber: SME Directory, ASEAN Secretariat (2015)
Catatan: Mata Uang dalam USD, kecuali disebutkan lain; konversi nilai tukar tukar berdasarkan data nilai tukar World Bank tahun 2010

47
4.2 Perjanjian Perdagangan Sektor Jasa di ASEAN

Di samping kebijakan UMKM di ASEAN yang telah dijelaskan sebelumnya,


ASEAN juga memiliki kerangka perjanjian yang mengatur perdagangan
antarnegara anggota ASEAN di sektor jasa yang terdapat perlakuan yang berbeda
terhadap UMKM. Perjanjian tersebut dinamakan ASEAN Framework Agreement on
Services (AFAS). AFAS mencakup empat mode perdagangan pada sektor jasa. Mode
1 dan Mode 2 merupakan metode perdagangan jasa antarnegara tanpa
membentuk badan usaha di negara lain, sedangkan Mode 3 merupakan metode
perdagangan jasa dengan membentuk badan usaha di negara lain sehingga mode
ini berfokus pada liberalisasi di bidang investasi, tenaga kerja, dan kesamaan hak
usaha antara operator jasa domestik dan asing. Mode 4 merupakan mobilitas
tenaga kerja asing untuk mendukung keberlangsungan usaha investasi asing.

Negosiasi AFAS dimulai sejak tahun 1997 dan target liberalisasi masing-
masing mode diharapkan dapat tercapai pada akhir 2015. Untuk perdagangan
jasa Mode 1 dan Mode 2, AFAS menargetkan penghilangan semua hambatan
perdagangan dan untuk Mode 3 AFAS menargetkan peliberalan kepemilikan asing
sebesar maksimal 70 persen atau lebih, sedangkan untuk Mode 4, AFAS belum
mempunyai konsensus untuk membawa ke tingkat liberalisasi yang lebih tinggi
sehingga saat ini yang terpenting adalah regulasi dalam hal pemberian visa kerja
tenaga kerja asing yang terkait dengan investasi asing di suatu negara. Hingga
saat ini ASEAN telah mempublikasikan 8 paket AFAS, yaitu paket negosiasi paket
ke-8 disetujui pada tahun 2010.

Perjanjian AFAS ini tidak hanya memberikan peluang bagi UMKM untuk
mengembangkan usahanya di ASEAN, tapi juga menawarkan proteksi bagi UMKM
di dalam negeri dari persaingan di kawasan. Proteksi tersebut khususnya terdapat
pada Mode 3, baik dari akses pasar (market access), maupun dari kesamaan hak
usaha antara operator jasa domestik dan asing (national treatment). Hal itu
disebabkan ruang negosiasi yang paling luas pada AFAS terdapat pada Mode 3.

Bentuk-bentuk proteksi bagi UMKM tersebut pada umumnya adalah


sebagai berikut. Dari market access, misalnya, investor asing harus melakukan
joint venture dengan operator lokal, sedangkan dari sisi national treatment,
misalnya, terdapat regulasi bahwa operator asing harus melakukan kolaborasi
dengan sejumlah operator lokal. Keterangan yang lebih detail atas sektor dan
bentuk komitmen yang diidentifikasi memberikan proteksi pada UMKM dapat
dilihat pada tabel di Lampiran 1. Bentuk-bentuk proteksi itu memperlihatkan

48
bahwa AFAS mencoba menghambat persaingan langsung antara operator lokal
dan asing. Di sisi lain, bentuk komitmen di atas memperlihatkan bahwa AFAS
mencoba memfasilitasi kerja sama antarkedua pihak sehingga pada akhirnya
terjadi peralihan teknologi atau bahkan informasi untuk mengakses pasar di
negara asal operator asing tersebut.

Tabel pada Lampiran 1 juga memetakan negara-negara yang cenderung


sangat protektif dan yang cenderung terbuka, khususnya jika dilihat dari jumlah
sektor dengan komitmen yang berpengaruh terhadap UMKM. Indonesia dan
Malaysia merupakan negara yang berkomintmen dalam memberikan proteksi pada
UMKM lokal. Terdapat 69 sektor jasa di Indonesia dan 57 sektor di Malaysia, dari
total 128 sektor yang dinegosiasikan di AFAS. Sementara itu, negara yang
cenderung tidak protektif adalah Myanmar (1 sektor), Kamboja (5 sektor), dan Laos
(6 sektor).

4.3 Perjanjian Penanaman Modal (ASEAN Comprehensive Investment


Agreement/ACIA)

Cetak biru MEA juga memasukkan perjanjian terkait penanaman modal,


ASEAN Comprehensive Agreement (ACIA) yang merupakan konsolidasi dari dua
perjanjian investasi di kawasan ASEAN yang telah ada sebelumnya, yaitu
Perjanjian Kawasan Investasi ASEAN (AIA, 1998) dan Perjanjian Jaminan Investasi
ASEAN (IGA, 1987). Sama halnya dengan AFAS, dalam restriction list ACIA,
beberapa negara termasuk Indonesia juga tercantum pengecualian terkait UMKM.

ACIA bertujuan untuk menjadikan kawasan ASEAN sebagai kawasan


investasi yang terbuka serta mendukung transparansi dan kompetitif. ACIA tidak
hanya mencakup penanaman modal asing langsung (FDI), tetapi juga investasi
portofolio. ACIA mencakup sektor industri pengolahan, pertanian, perikanan,
kehutanan, penggalian dan pertambangan, serta tambahan sektor lain setelah
perjanjian ditandatangani.

Liberalisasi penanaman modal di ASEAN bersifat progresif karena secara


bertahap sektor-sektor yang terbuka terhadap investasi dari ASEAN semakin
meningkat. Bagi sektor-sektor yang telah dibuka dalam ACIA, penanaman modal
yang berasal dari negara-negara ASEAN (baik warga negara ASEAN maupun
investasi dari entitas bisnis yang berlokasi di ASEAN) berlaku status most favoured
nation (MFN), national treatment, dan tidak berlaku persyaratan kinerja bagi

49
penanaman modal. Hal tersebut konsisten dengan persyaratan WTO. Selain itu,
ACIA juga menjamin transparansi dan kepastian peraturan, kebijakan, dan
prosedur penanaman modal. Namun, pada tahun 2015 ini liberalisasi penanaman
modal masih terbatas, seperti yang diperlihatkan oleh panjangnya daftar
pembatasan (restriction list) beberapa negara ASEAN (Lampiran 2).

ACIA juga memberikan pelindungan bagi investor dan investasi di ASEAN.


Pelindungan tersebut berupa kebebasan melakukan transfer dana, pelindungan
keamanan, jaminan tidak ada expropriation atau nasionalisasi dengan beberapa
pengecualian, yaitu untuk kepentingan publik, nondiskriminatif, kompensasi yang
efektif, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jika terjadi
perselisihan antara investor dan salah satu negara ASEAN, ACIA juga memiliki
ASEAN Protocol on Enhanced Dispute Settlement Mechanism yang terdiri atas
beberapa alternatif, seperti mediasi, konsiliasi, negosiasi, pengadilan domestik,
dan arbitrase (ICDS, UNCITRAL, dan aturan lain yang disepakati).

Dalam kerangka ACIA, negara-negara ASEAN bekerja sama dalam


mempromosikan kawasan ASEAN sebagai kawasan penanaman modal. Untuk
mempromosikan ASEAN sebagai destinasi investasi telah dibuat website investasi
ASEAN (http://investasean.asean.org/). ASEAN juga memublikasikan panduan
ACIA bagi sektor bisnis (ACIA: A Guidebook for businesses) dan panduan ACIA bagi
kantor promosi investasi negara-negara ASEAN (ACIA Handbook for ASEAN
Investment Promotion Agencies). Publikasi itu disertai dengan seminar ACIA di
Malaysia, Myanmar, dan Filipina. Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan
pemahaman dan pemanfaatan ACIA bagi investor. Promosi investasi ASEAN juga
dilakukan melalui kunjungan promosi investasi ke luar kawasan ASEAN. Pada
awal tahun 2014 delegasi negara-negara anggota ASEAN secara bersama
melakukan promosi investasi ke Kanada. Selain itu, ada pula kegiatan seperti The
Annual ASEAN-China Expo dan promosi investasi ASEAN di Australia. Sama halnya
dengan AFAS, dalam restriction list ACIA beberapa negara, termasuk Indonesia,
juga dicantumkan pengecualian terkait UMKM.

50
V. FAKTOR UTAMA YANG MEMENGARUHI DAYA SAING UMKM

Mengapa kinerja UMKM Indonesia masih relatif berada di bawah UMKM


beberapa negara tetangga yang tingkat pembangunan ekonominya relatif sama?
Berdasarkan analisis literatur, data sekunder, dan masukan dari beberapa
kementerian terkait sebagai pelaksana kebijakan, asosiasi pengusaha, industri
perbankan nasional, dan pihak swasta lainnya dapat disimpulkan bahwa banyak
faktor yang memengaruhi daya saing UMKM.

Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor


internal mencakup aspek-aspek yang menentukan daya saing perusahaan yang
bersifat internal perusahaan seperti produktivitas dan inovasi. Aswicahyono dan
Hill (2014) menunjukan bahwa produktivitas tenaga kerja Indonesia memang
masih relatif rendah. Beberapa pengusaha dan asosiasi dalam FGD yang
diselenggarakan untuk keperluan penulisan laporan ini juga mengakui
permasalahan tersebut. Hal yang sama terjadi pula pada tingkat inovasi yang
masih rendah.

Rendahnya tingkat inovasi di Indonesia ditunjukkan oleh peringkat


(ranking) indeks inovasi global, Indonesia berada pada posisi 87 dari 143 negara
yang disurvei oleh Cornell University, INSEAD, dan WIPO (2014). Pada indeks yang
sama, Malaysia dan Singapura masing-masing berada pada posisi 33 dan 7.
Indikator lainnya dapat dilihat melalui jumlah neto produk yang tidak lagi
diproduksi dan jumlah produk baru dalam perusahaan manufaktur (net add-drop
products) yang relatif rendah pada industri manufaktur. Hal itu menunjukkan
bahwa meskipun terdapat inovasi, perkembangan dan jumlah produk masih
sangat terbatas (Presisi Indonesia, 2015).

Beberapa faktor sangat berpengaruh pada tingkat produktivitas dan inovasi


perusahaan, yaitu kualitas sumber daya manusia (human resource), budaya
perusahaan, latar belakang pendidikan pemilik dan pekerja, serta karakter
pemangku kepentingan dalam perusahaan. Beberapa indikator pemetaan yang
ditunjukkan pada Bab 3 mengonfirmasi permasalahan tersebut.

Sementara itu, berbagai faktor eksternal juga memengaruhi dan


mendukung daya saing UMKM. Faktor tersebut, antara lain, adalah kemudahaan
berusaha di Indonesia (ease of doing business), akses finansial dan permodalan,
akses pasar, infrastruktur, serta kondisi makroekonomi secara umum.

51
Penilaian awal mengenai kebijakan UMKM di Indonesia mengindikasikan
bahwa saat ini belum terdapat kebijakan komprehensif yang optimal dalam
mendorong atau memperbaiki aspek kinerja UMKM. Kebijakan UMKM yang
tersedia saat ini bersifat parsial dan mempunyai keterkaitan yang lemah antara
satu kebijakan dan kebijakan yang lain. Pada beberapa kementerian program dan
kegiatan dalam rangka mendukung UMKM bersifat temporer dan tidak
berkelanjutan karena hanya berfokus pada sektor binaan dari tiap-tiap
kementerian (ERIA, 2014).

Bagian selanjutnya akan membahas faktor-faktor internal dan eksternal


tersebut secara lebih mendalam.

5.1 Faktor Internal: Produktivitas dan Inovasi

Saat ini sumber daya manusia UMKM Indonesia merupakan salah satu
faktor yang menghambat kinerja UMKM. Beberapa aspek yang dapat
mencerminkan lemahnya sumber daya manusia di sektor UMKM antara lain
adalah sebagai berikut.

1. Penguasaan teknologi yang rendah, terutama untuk usaha mikro dan


kecil. Indikator terhadap hal ini dapat dilihat melalui persentase kepemilikan
website dan pemanfaatan e-mail pada Gambar 10 dan Gambar 11 di atas.
Penggunaan laman (website) dan pemanfaatan pos-el (e-mail) dapat
meningkatkan efisiensi operasional dan volume penjualan UMKM melalui
cakupan pasar yang lebih luas.
2. Kesadaran (Awareness) untuk memperluas jangkauan pemasaran melalui
e-commerce. Jangkauan pemasaran dari UMKM mayoritas hanya terbatas
pada lingkup domestik pada lingkungan sendiri, yaitu dibatasi oleh daerah
dan lingkungan pertemanan atau keluarga. Keterbatasan pada penguasaan
teknologi untuk menjangkau lingkungan pembeli potensial yang baru bisa
dibantu melalui e-commerce. Hal tersebut sudah dilakukan oleh beberapa
website e-commerce yang sudah ada. Banyak produk yang dipasarkan
merupakan produk UMKM. Oleh karena itu, pengenalan pada metode ini
sangat diperlukan untuk memperluas jangkauan pemasaran produk.
3. Rendahnya kepemilikan sertifikasi internasional atau nasional (SNI).
Sertifikasi umumnya terkait dengan proses produksi dan kemasan suatu

52
produk. Adanya standardisasi yang sesuai dengan sertifikasi dapat
meningkatkan produktivitas dan mendorong inovasi UMKM.

Di samping itu terdapat keterkaitan keahlian yang rendah antara


kebutuhan (demand) tenaga kerja UMKM dan lulusan (supply) Sekolah Menengah
Kejuruan juga masih lemah. Ketidaksesuaian kriteria tenaga kerja banyak
dikeluhkan oleh UMKM, terutama yang membutuhkan keahlian khusus untuk
menjalankan usahanya. Umumnya, UMKM tersebut harus memberikan pelatihan
tersendiri agar lulusan SMK dapat terlibat langsung dalam proses produksi dan
operasional perusahaan. Pemberian kurikulum terkait dengan soft-skills juga perlu
dilakukan terkait dengan komunikasi langsung dan tidak langsung serta keahlian
mengenai strategi pemasaran produk.

5.2 Faktor Eksternal (Faktor Pendukung)

5.2.1 Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business)

Selain dalam bentuk usaha informal perseorangan, untuk melakukan usaha


di Indonesia, UMKM dapat memilih beberapa bentuk badan usaha (legal entity),
seperti badan usaha perseorangan, persekutuan komanditer (CV), firma, atau
perseroaan terbatas (PT), sebagai contoh, pada umumnya UMKM di Indonesia
merupakan usaha atau perusahaan perseorangan dalam bentuk usaha dagang
(UD). Namun, mayoritas pemilik UMKM di Indonesia lebih memilih untuk tidak
melakukan formalisasi atau legalisasi usahanya. Organisasi yang sederhana,
kemudahan dalam menjalankan usaha, dan prosedur perpajakan yang rumit
merupakan alasan utama untuk tetap mempertahankan status sebagai usaha
informal. Pertimbangan-pertimbangan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.

1. Banyaknya prosedur dan waktu yang harus dilewati. Berdasarkan World


Bank Doing Business 2016, untuk memulai usaha, dari pendirian badan
usaha sampai dengan pendaftaran izin operasional (Tanda Daftar Perusahaan
dan Surat Izin Usaha Perdagangan), dibutuhkan 13 prosedur dengan total
waktu yang diperlukan 46 hari. Hal tersebut tentu saja menjadi penghalang
bagi sektor UMKM yang memiliki sumber daya terbatas.

2. Tingginya biaya yang harus dikeluarkan. Untuk melakukan reservasi nama


perusahaan, pemilik perusahaan harus mengeluarkan Rp200.000,00 yang
dibayarkan kepada Kementerian Hukum dan HAM. Setelah itu, biaya sebesar
Rp1.000.000,00 dan Rp580.000,00 harus dikeluarkan dalam proses validasi

53
perusahaan sebagai badan hukum dan pengumuman dalam Berita Negara.
Keseluruhan biaya yang dikeluarkan merupakan penerimaan negara bukan
pajak (PNBP). Di luar PNBP terdapat pengeluaran untuk menyewa jasa
notaris dalam pendirian perusahaan.

3. Terbatasnya modal untuk membentuk badan usaha formal. Jika UMKM


ingin meningkatkan status menjadi perseroan terbatas (PT), terdapat
persyaratan modal dasar minimum sebesar 50 juta rupiah dan persyaratan
modal disetor sebesar 25 persen dari modal dasar.

4. Kekhawatiran terhadap pelaporan dan pembayaran pajak. Dari hasil FGD


dan interviu langsung yang sudah dilakukan, banyak pemilik UMKM tidak
berkeinginan untuk melegalisasi usahanya karena kewajiban pelaporan
pembayaran pajak dan prosedur pembayaran pajak yang rumit. Banyaknya
jenis pajak yang harus dibayar juga dianggap dapat menurunkan margin
usaha secara signifikan. Meskipun beberapa kementerian telah memfasilitasi
pengurusan perizinan, proporsi usaha informal yang berpindah menjadi
formal masih rendah.

5.2.2 Akses Permodalan (Access to Finance)

Banyak penelitian mengenai UMKM memperlihatkan bahwa dalam memulai


usaha, UMKM mengandalkan permodalan sendiri atau dari pinjaman/bantuan
orang-orang terdekat mereka. Sumber dana dari eksternal diperlukan ketika
UMKM melakukan ekspansi. Sementara itu, terdapat juga permasalahan
mendasar dalam fasilitasi pembiayaan ekspor. Oleh karena itu, kajian ini mencoba
menjelaskan lebih detail kedua faktor tersebut.

Perbankan

Meskipun perbankan masih merupakan sumber pendanaan yang paling


besar, selain kelayakan usaha itu sendiri, banyak persyaratakan dari perbankan
yang harus dipenuhi oleh UMKM untuk mendapatkan pendanaan dari perbankan,
terutama terkait aspek prudensial perbankan seperti berikut.

1. Agunan tambahan atas pinjaman yang disalurkan. Jaminan ini dapat


berupa aset tetap seperti tanah, bangunan, dan kendaraan atau aset dari
usaha itu sendiri, yaitu operating cash flow yang baik.

54
2. Legalitas perusahaan. Aspek ini penting untuk melihat prospek bisnis UMKM
dan kepatuhan usaha tersebut sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

Berdasarkan FGD yang kami selenggarakan, ada beberapa hal yang penting
untuk dicatat terkait kredit perbankan, yaitu sebagai berikut.

1. Bank-bank hanya dapat menyalurkan pinjaman kepada calon debitor (usaha)


yang telah berumur setidaknya 6 bulan.

2. Agunan tambahan tidak menjadi keharusan pada bank yang memiliki skema
value chain financing untuk nasabah yang memenuhi kriteria, yaitu
merupakan supplier dari perusahaan lain yang lebih besar dan established.

Dengan demikian, masalah akses terhadap pendanaan dari perbankan


khususnya dihadapi oleh:

1. usaha/pengusaha yang tidak memiliki jaminan dan bukan supplier


perusahaan yang lebih besar dan established; dan

2. usaha pemula (kurang dari 6 bulan).

Saat ini pemerintah juga mempunyai program kredit usaha rakyat (KUR)
untuk mendorong penyaluran kredit UMKM tanpa mempersyaratkan jaminan.
KUR tersebut disalurkan oleh beberapa bank yang sudah ditetapkan oleh
pemerintah dengan tingkat bunga yang sudah disubsidi, yaitu sebesar 12 persen
per tahun. Pemerintah juga memberikan penjaminan sebesar 70%–80% dari kredit
yang disalurkan melalui PT Askrindo dan PT Jamkrindo.

Walaupun telah tersedia KUR dengan bunga rendah dan dijamin oleh
pemerintah, ada beberapa hal yang masih perlu menjadi perhatian terkait
pendanaan perbankan, yaitu sebagai berikut.

1. Keterbatasan sumber dana KUR

Saat ini sumber dana KUR berasal dari perbankan itu sendiri. Pemerintah
hanya menyediakan besaran dana subsidi bunga, yaitu sebesar selisih tingkat
bunga kredit umum dikurangi tingkat bunga KUR. Oleh karena itu, kapasitas
perbankan menyalurkan KUR bersubsidi dibatasi oleh ketersediaan dana di bank-
bank pemerintah yang telah ditunjuk.

55
2. Peran swasta dalam penjaminan KUR

Keterlibatan pihak swasta dalam guarantee scheme KUR juga sudah


ditetapkan oleh pemerintah melalui Kementerian Perekonomian. Namun, pada
penerapannya belum ada perusahaan asuransi swasta yang ikut menjamin KUR
akibat masih belum jelasnya petunjuk teknis dari pemerintah. Meskipun begitu,
jika kebijakan tersebut efektif, keterbatasan kapasitas penjaminan oleh PT
Askrindo dan PT Jamkrindo dapat diatasi.

3. Tidak adanya sistem informasi terpadu UMKM yang dapat diakses setiap
bank

Sektor perbankan memerlukan data UMKM yang potensial untuk diberi


kredit. Namun, saat ini belum ada database (sistem informasi) yang dapat
digunakan oleh perbankan sebagai dasar penilaian. Hasil FGD menunjukkan
bahwa hanya Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang sudah mempunyai database yang
cukup besar dan mungkin dijadikan sebagai proyek percontoh (pilot project)
pembuatan sistem informasi UMKM.

Pembiayaan Ekspor

Terkait dengan pembiayaan ekspor bagi UMKM, instrumen yang tersedia


juga masih terbatas. Kredit ekspor yang disalurkan oleh perbankan tidak lebih
dari 2 persen. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) merupakan satu-
satunya lembaga pembiayaan, khusus yang mendukung aktivitas ekspor UMKM.
Namun, masih terdapat permasalahan mendasar dari LPEI, yaitu sebagai berikut.:

1. Terbatasnya sumber daya LPEI, baik infrastruktur maupun manusia dalam


menjangkau UMKM di daerah-daerah potensial. Sampai saat ini, LPEI hanya
terdapat di lima kota besar di Indonesia (Jakarta, Medan, Surabaya, Makassar,
dan Solo). Untuk menjangkau daerah atau provinsi lainnya, LPEI
menggunakan pihak lain atau lembaga keuangan lain.

2. LPEI mengalami kesulitan untuk memberikan bantuan kepada UMKM yang


melakukan aktivitas ekspor.

3. Sumber modal LPEI terbatas pada APBN. Oleh karena itu, perlu dicari
alternatif sumber pembiayaan ekspor dari pihak lain.

LPEI, berdasarkan Paket Deregulasi IV, mengemban mandat pembiayaan


ekspor UMKM dan modal kerja UMKM yang melakukan aktivitas ekspor. Namun,

56
dari hasil diskusi dengan pihak LPEI, mandat tersebut belum operasional karena
belum adanya petunjuk pelaksanaan dari Kementerian Keuangan.

Pembiayaan Lainnya

Selain perbankan, alternatif pembiayaan melalui lembaga keuangan


nonbank juga masih perlu ditingkatkan. UMKM di negara lain, seperti Korea
Selatan, India, Malaysia, Thailand, dan Cina telah mendapatkan akses ke pasar
modal. Dalam rangka memberikan alternatif akses pendanaan bagi UMKM di
Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Indonesia baru-baru ini juga
mengeluarkan kebijakan untuk memfasilitasi akses UMKM ke pasar modal dengan
rencana penambahan papan (board) khusus untuk UMKM, selain trading board
reguler.

Sementara itu, sumber dana dari lembaga keuangan nonbank juga terbatas.
Beberapa hal yang membuat lembaga keuangan nonbank kurang berkembang di
Indonesia, antara lain, adalah keterbatasan ketersediaan dana dan sistem hukum
yang belum mendukung, seperti dasar hukum untuk modal ventura.

Crowd funding juga mulai berkembang sebagai alternatif pembiayaan


nonbank di Indonesia walaupun masih sangat terbatas. Namun, pertumbuhan
crowd funding tidak secepat di Amerika Serikat karena masih kurangnya ‘trust’
antara investor dan debitur serta ketakutan akan penipuan online.

5.2.3 Akses Pasar

Kemudahan akses pasar, baik domestik maupun internasional, sangat


mendukung peningkatan daya saing UMKM Indonesia. Sehubungan dengan
karakteristik UMKM yang lemah dalam pemanfaatan teknologi dan inovasi,
lingkup pemasaran produk-produk UMKM di pasar domestik umumnya terbatas
berada di wilayah UMKM tersebut dan lingkup pemasaran pun cenderung localized
di wilayah tertentu.

Dari FGD yang sudah dilakukan, beberapa kementerian teknis sudah


melaksanakan program-program yang mendukung aspek pemasaran UMKM di
pasar domestik. Misalnya, program yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan
seperti pembentukan forum dagang lokal yang berfungsi sebagai penghubung
antara UMKM antar daerah, kemitraan UMKM dengan usaha retail modern, dan

57
dukungan untuk mengimplementasikan sistem penjualan secara online melalui e-
catalogue atau mengimplementasikan e-marketing. Program-program yang sangat
membantu akses pasar UMKM itu sering kali berskala kecil sehingga dampaknya
kurang optimal. Tantangan bagi pemerintah adalah membuat program dengan
skala yang lebih besar agar berdampak luas. Program-program online seperti e-
catalogue dan e-marketing perlu menjadi fokus perhatian.

Ketika memasuki pasar global, UMKM pasti memiliki tantangan lain karena
melakukan ekspor, tidak semudah dan semurah ketika memasuki pasar domestik
akibat faktor risiko dan biaya yang lebih tinggi. Biaya untuk mendapatkan pasar
ekspor merupakan sunk cost, yaitu biaya yang harus dikeluarkan tetapi tidak
dapat ditarik kembali apabila ekspor tidak terealisasi. Pemerintah melalui
Kedutaaan Besar, Atase Perdagangan, dan Indonesia Trade Promotion Centre (ITPC)
telah berusaha mendapatkan informasi dan menyambungkan eksportir dengan
pembeli di luar negeri. Pemerintah juga membentuk Direktorat Jenderal
Pengembangan Ekspor Nasional untuk membantu dunia usaha melakukan
ekspor. Hanya saja, efektivitas dari program dan kegiatan yang dilakukan
lembaga-lembaga tersebut sering kali belum maksimal. Tantangan bagi
pemerintah adalah bagaimana meningkatkan efektivitas lembaga-lembaga tersebut
dalam meningkatkan akses pasar ekspor terhadap pasar-pasar potensial.

5.2.4 Dukungan Infrastruktur

Keterbatasan ketersediaan infrastruktur (hard and soft infrastructure) dan


kualitas serta mahalnya layanan logistik selama ini menjadi kendala pertumbuhan
bisnis secara keseluruhan di Indonesia. Dampak kualitas infrastruktur dan
logistik terhadap biaya transaksi UMKM akan lebih besar daripada usaha besar
karena skala transaksi bisnis UMKM relatif lebih kecil.

Berdasarkan World Competitiveness Report (2015–2016), terkait


ketersediaan infrastruktur, indeks kualitas diukur dengan mempertimbangkan
infrastruktur transportasi, listrik dan telepon (fixed line dan selular), Indonesia
berada pada peringkat 62. Peringkat tersebut masih lebih rendah daripada
Singapura, Malaysia, dan Thailand yang masing-masing menduduki peringkat 2,
24, dan 44. Demikian juga kualitas logistik Indonesia lebih rendah jika
dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam (Tabel 9).

58
Tabel 9. Kualitas Logistik dan Infrastruktur di ASEAN
Logistics Performance
Index 2014* Infrastructure Index
No. Country (2015-2016)**
1-5 (worst to best)
Score Rank Score Rank
1 Brunei Darussalam
2 Cambodia 2,74 83 3,2 101
3 Indonesia 3,08 53 4,2 62
4 Lao PDR 2,39 131 3,2 98
5 Malaysia 3,59 25 5,5 24
6 Myanmar 2,25 145 2,1 134
7 Philippines 3,00 57 3,4 90
8 Singapore 4,00 5 6,5 2
9 Thailand 3,43 35 3,7 82
10 Vietnam 3,15 48 3,8 76
Sumber: *Logistic Performance Index Report 2014; ** Global Competitiveness Report 2015–
2016

Biaya logistik Indonesia masih sekitar 27 persen dari PDB, jauh lebih tinggi
jika dibandingkan dengan negara-negara seperti Singapura, Malaysia, dan
Thailand yang hanya dalam rentang 8 persen hingga 20 persen terhadap produk
domestik bruto (PDB). Terkait dengan kualitas telekomunikasi secara keseluruhan
(termasuk sambungan internet dan broadband access), Indonesia juga berada di
bawah Singapura, Thailand, dan Malaysia (Tabel 10).

Tabel 10. Indikator Akses terhadap Telekomunikasi di ASEAN


Telecommunication Infrastructure Index (2014)
Mobile-cellular Individual
Fixed-telephone telephone Fixed-broadband using
subscription subscription subscription internet
No. Country
per
per 10 per 100
100
Score inhabi- Score inhabi- Score Score
inhabi-
tants tants
tants
Brunei
1
Darussalam 48.249 11,40 465.767 110,06 30.259 7,15 68.77
2 Cambodia 438.100 2,84 23.900.000 155,11 31.900 0,21 9.00
3 Indonesia 29.637.557 11,72 319.000.000 126,18 3.009.185 1,19 17.14
4 Lao PDR 920.756 13,36 4.618.586 66,99 11.287 0,16 14.26

59
Tabel 10. (lanjutan)
Telecommunication Infrastructure Index (2014)
Mobile-cellular Individual
Fixed-telephone telephone Fixed-broadband using
subscription subscription subscription internet
No. Country
per
per 10 per 100
100
Score inhabi- Score inhabi- Score Score
inhabi-
tants tants
tants
5 Malaysia 4.410.200 14,61 44.928.600 148,83 3.061.000 10,14 67.50
6 Myanmar 526.792 0,98 26.575.713 49,47 143.600 0,27 2.10
7 Philippines 3.093.236 3,09 111.326.045 111,22 23.241.748 23,22 39.69
8 Singapore 1.959.800 35,52 8.724.200 158,13 1.533.000 27,79 82.00
9 Thailand 5.690.000 8,46 97.096.000 144,44 5.517.442 8,21 34.89
10 Vietnam 5.562.200 6,01 136.148.124 147,11 6.000.527 6,48 48.31
Sumber: World Telecommunication/ICT Indicators database 2015

Lebih lanjut, Indonesia belum mempunyai klaster industri yang secara


efektif bisa bersinergi dengan strategi pengembangan UMKM. Pengembangan
klaster tersebut perlu mencontoh kebijakan yang diterapkan di negara lain,
bahkan perlu didukung dengan infrastruktur dan fasilitas yang memadai.
Dukungan yang berupa peraturan, regulasi, atau dukungan dari lembaga yang
secara efektif mengimplementasikan klaster tersebut merupakan prasyarat untuk
menyinergikan UMKM dengan industri skala yang lebih besar.

Pemerintah dapat memfokuskan pada pengembangan klaster industri yang


sudah ada untuk meningkatkan daya saing UMKM daripada mengembangkan
klaster industri baru. Untuk meningkatkan probabilitas keberhasilan, pemerintah
perlu melihat industri yang berpotensi meningkatkan peran UMKM dalam proses
produksi industri besar. Klaster industri besar yang sudah ada, seperti industri
otomotif dan perkapalan di daerah Bekasi-Cikarang, Batam, dan Surabaya dapat
dijadikan model untuk pengembangan klaster tersebut. Model pengembangan
klaster industri di Indonesia saat ini lebih menitikberatkan pada Kawasan
Ekonomi Khusus (Special Economic Zone) dengan memprioritaskan perusahaan
besar. Hal tersebut tetap perlu dilakukan secara simultan karena berpotensi
untuk meningkatkan GVC sektor UMKM pada masa yang akan datang.

60
5.2.5 Siklus Bisnis

Dampak dari krisis keuangan yang masih dirasakan sampai saat ini adalah
turunnya permintaan global. Dampak tersebut juga dirasakan oleh Indonesia
dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi sejak tahun 2012. Pada kuartal
ketiga tahun 2015 pertumbuhan ekonomi hanya 4,73 persen (Gambar 19).

Sumber: BPS dan IMF (2015)


Gambar 19. Pertumbuhan Ekonomi dan PDB Per Kapita Tahun 2010–2014

Pertumbuhan yang tidak optimal, terutama dalam masa 5 tahun terakhir


ini, antara lain, disebabkan oleh berbagai faktor domestik, seperti rendahnya
tingkat ketersediaan infrastruktur dan faktor eksternal, seperti rendahnya
pertumbuhan ekonomi global dan memburuknya harga komoditas ekspor
Indonesia. Pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat, yang turun dari 5,4
persen pada tahun 2010 menjadi 3,4 persen pada tahun 2014 serta masih akan
dirasakan pada tahun 2015. Hal itu disebabkan IMF memproyeksikan
pertumbuhan ekonomi tahun 2015 adalah 3,1 persen.

61
Tabel 11. Pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN
Negara 2010 2011 2012 2013 2014 Average
Brunei Darussalam 3 4 1 -2 -2 0,6
Filipina 8 4 7 7 6 6,2
Indonesia 6 6 6 6 5 5,8
Kamboja 6 7 7 7 7 7,0
Laos 8 8 8 8 8 7,9
Malaysia 7 5 6 5 6 5,8
Myanmar 10 6 7 8 9 7,9
Singapore 15 6 3 4 3 6,4
Thailand 8 1 7 3 1 3,9
Vietnam 6 6 5 5 6 5,9
Sumber: ADB, 2015

Pertumbuhan nasional dan pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat


tersebut dipastikan juga memengaruhi kinerja UMKM, tidak hanya di Indonesia,
tetapi juga di semua negara ASEAN. Siklus bisnis yang sedang tidak baik itu dapat
dimanfaatkan untuk mempersiapkan diri menghadapi perbaikan ekonomi pada
masa yang akan datang.

62
VI. SIMPULAN DAN REKOMENDASI: STRATEGI MENINGKATKAN DAYA
SAING UMKM INDONESIA

Pendekatan pemerintah terhadap pengembangan UMKM lebih mengarah


pada kesejahteraan sosial dengan mengedepankan tujuan keadilan sosial serta
keseimbangan pembangunan antara kota dan desa serta antardaerah. UMKM
dipandang sebagai entitas yang vulnerable sehingga perlu dilindungi. Akibatnya,
banyak kebijakan dan program yang disusun dan diimplementasikan tidak
berdasarkan orientasi bisnis, tetapi lebih bersifat sosial. Pendekatan sosial tidak
akan menghasilkan UMKM Indonesia yang berdaya saing.

Pemerintah perlu mengubah cara pandang terhadap UMKM sebagai sumber


pertumbuhan yang potensial, bukan entitas bisnis yang tidak dapat bersaing
sehingga perlu dilindungi secara masif. Karena pengalaman dan skala usahanya,
UMKM tidak akan dapat bersaing dengan perusahaan sejenis yang lebih besar dan
lebih berpengalaman. Namun, UMKM bukan social charity object melainkan cikal
bakal usaha yang besar yang juga kompetitif. Dengan demikian, perlakuan
terhadap UMKM harus berbeda, yaitu mengedepankan fasilitasi untuk
mendapatkan akses yang lebih baik, terhadap input, pendanaan, dan pasar.

Beberapa hal yang menjadi penghambat pertumbuhan UMKM Indonesia


telah dibahas pada bagian sebelumnya, yang dikelompokan ke dalam dua bagian,
yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Berdasarkan evaluasi kami terhadap
faktor-faktor tersebut, ada beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah untuk
memperbaiki kinerja UMKM Indonesia, yang akan dibahas lebih detail pada bagian
ini.

6.1 Faktor Internal (Produktivitas dan Inovasi)

Apabila dibandingkan dengan negara-negara seperti Malaysia, Singapura,


dan Thailand, terlihat bahwa produktivitas UMKM Indonesia masih relatif lebih
rendah. Studi ini juga memberikan indikasi tingkat inovasi yang rendah, yang juga
didukung oleh hasil studi Presisi Indonesia pada tahun 2015. Perbaikan pada
tingkat pendidikan dan keahlian manajerial sangat berpengaruh dalam
peningkatan produktivitas UMKM. Pendidikan dalam hal ini meliputi pendidikan
formal dan nonformal yang dapat meningkatkan keahlian pekerja UMKM.

63
Sementara itu, keahlian manajerial sangat penting agar sumber daya yang dimiliki
dapat dimanfaatkan dengan efisien dan juga membantu untuk meningkatkan
skala usaha.

Di samping itu, keterkaitan keahlian yang rendah antara kebutuhan


(demand) tenaga kerja UMKM dan lulusan (supply) Sekolah Menengah Kejuruan
juga masih lemah. Hal itu banyak dikeluhkan oleh UMKM yang membutuhkan
keahlian khusus untuk menjalankan usahanya. Umumnya, UMKM tersebut harus
memberikan pelatihan tersendiri agar lulusan SMK dapat terlibat langsung dalam
proses produksi dan operasional perusahaan. Keahlian soft-skills perlu masuk ke
dalam kurikulum SMK untuk memperluas wawasan dan meningkatkan
kemampuan komunikasi dan pemasaran.

Pada tahun anggaran 2016, pemerintah, khususnya Kementerian Koperasi


dan Usaha Kecil dan Menengah mengalokasikan 50 persen dari anggaran
Kementerian untuk pengembangan sumber daya manusia. Dalam rangka
meningkatkan efektivitas program peningkatan SDM, evaluasi dan kesinambungan
program perlu dilakukan dan diperhatikan. Berdasarkan FGD dengan pemangku
kepentingan terlihat bahwa pelatihan mengenai entrepreneurship, pencatatan
laporan keuangan, dan kemampuan berbahasa Inggris dapat menjadi prioritas
dalam program tersebut karena berdasarkan hasil FGD ditemukan bahwa banyak
UMKM yang belum memiliki kemampuan dasar itu.

Demikian juga halnya dengan pelatihan, khususnya basic skills dalam era
digital ini, pelatihan terhadap kemampuan dasar perlu dilakukan secara
berkelanjutan sehingga UMKM dapat memaksimalkan penggunaan e-commerce
yang berkembang pesat saat ini. Pelatihan tersebut dapat dilakukan melalui Balai
Latihan Kerja Daerah (BLKD) dengan menyesuaikan kebutuhan UMKM di daerah
masing-masing. Pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi mengenai manfaat
penggunaan e-commerce bagi UMKM sebagai alternatif memperluas jangkauan
pemasaran produknya. Fasilitasi pertemuan antara pemilik website e-commerce
dan UMKM oleh pemerintah akan membantu terlaksananya program tersebut.

Dari hasil FGD, pendampingan terhadap usaha mikro dan kecil sangat
dibutuhkan agar pengoperasionalan usaha dapat berjalan dengan efisien dan
produktivitasnya meningkat. Beberapa bank dan yayasan yang secara khusus
menyalurkan kredit usaha mikro dan melakukan pendampingan usaha mikro
sebagai bentuk CSR (corporate social responsibility) perusahaan mengakui bahwa
pemberian kredit dan/atau bantuan keuangan bagi usaha mikro dan kecil akan

64
lebih baik bagi pertumbuhan usaha tersebut apabila ada pendampingan. Hal itu
disebabkan usaha/pengusaha mikro dan kecil mendapatkan bantuan mencari
solusi apabila ada masalah yang dihadapi dalam berusaha, misalnya membuat
business plan ketika mengajukan pinjaman ke bank, membuat laporan keuangan,
memahami kontrak sederhana, dan melakukan ekspor.

Hal lain yang juga dapat berkontribusi pada peningkatan kualitas sumber
daya manusia adalah fasilitasi pertemuan dan diskusi antara UMKM dan pengajar
SMK untuk memastikan bahwa kurikulum SMK telah memasukkan keahlian yang
diperlukan UMKM dalam proses produksinya dan UMKM dapat menyerap siswa
lulusan SMK yang sesuai dengan kebutuhannya.

Yang tak kalah pentingnya adalah fasilitasi pengurusan standar dan


sertifikasi yang diperlukan oleh UMKM dalam rangka memasuki pasar ekspor.
Pengetahuan tentang standar di negara yang dituju serta biaya pengurusan
standar dan sertifikasi relatif mahal apabila ditanggung oleh usaha mikro dan kecil
secara sendiri-sendiri dan biaya itu bersifat sunk cost sehingga apabila pemerintah
dapat memfasilitasi UMKKM maka akan menurunkan biaya transaksi UMKM dan
meningkatkan probabilitias perusahaan untuk melakukan ekspor.

Apabila bercermin pada temuan ERIA (2014) bahwa koordinasi dan


mismatch antara pelatihan yang dibutuhkan dan pelatihan yang diberikan sering
terjadi. Kementerian Koperasi dan UMKM perlu meningkatkan efektivitas
koordinasi antarlembaga dalam pemberian pelatihan serta pengembangan sumber
daya manusia UMKM secara umum serta melakukan pemonitoran dan evaluasi
atas program pengembangan SDM yang dilakukan untuk menjaga kesinambungan
program, efektivitas, dan efisiensinya.

6.2 Faktor Eksternal

Ease of Doing Business

Bahwa UMKM enggan untuk menjadi badan usaha formal merupakan


masalah yang perlu diprioritaskan untuk diperhatikan oleh pemerintah.
Berdasarkan studi empiris dan pengalaman negara lain, aspek legalitas sangat
membantu dalam mengakses sumber dana eksternal. Oleh karena itu, pengurusan
perizinan bagi UMKM perlu dipermudah dan tidak dipungut biaya (cost free).
Pemberian akses dan fasilitas khusus bagi UMKM untuk pengurusan perizinan di
seluruh Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di seluruh Indonesia perlu diinisiasi

65
oleh pemerintah. Namun, fasilitas tersebut perlu diikuti oleh kebijakan lain,
seperti kemudahan dan insentif pajak agar UMKM terdorong untuk menjadi badan
usaha formal. Dalam mengatasi hal itu, pemerintah perlu melakukan terobosan
seperti pembebasan terhadap pajak penghasilan (PPh) badan selama awal usaha.
Bagi UMKM yang telah berdiri lebih dari dua tahun, pemberian insentif atau
pengurangan pajak penghasilan untuk jangka waktu tertentu yang disertai
pendampingan compliance pajak dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan
daya saing UMKM. Kemudahan dan insentif perpajakan seperti itu diharapkan
dapat mendorong meningkatnya legalisasi entitas UMKM

Pemerintah juga perlu memperlakukan secara khusus sektor UMKM terkait


proses dan jumlah biaya yang harus dikeluarkan dalam proses legalisasi tersebut.
Pemerintah dapat memberikan fasilitas pendaftaran izin investasi yang memotong
jumlah prosedur dan mengurangi jumlah hari yang dibutuhkan bagi UMKM
tertentu. PNBP untuk UMKM, terutama usaha kecil, juga dapat dikurangi untuk
meningkatkan jumlah UMKM yang sudah mempunyai badan hukum. Ke depan,
persyaratan modal dasar dan modal disetor di dalam Undang-Undang Perseroan
Terbatas (UU PT) juga perlu direvisi untuk mengurangi hambatan permodalan.

Akses Permodalan

Program KUR yang sudah dijalankan oleh pemerintah merupakan fasilitas


yang signifikan untuk membantu akses modal UMKM. Namun, berdasarkan
pengalaman bank-bank yang menyalurkan kredit mikro, pendampingan sangat
diperlukan oleh penerima KUR sehingga pemanfaatan KUR lebih efektif.
Terbatasnya kemampuan perbankan menyalurkan kredit perlu ditopang dengan
membuka akses pasar modal bagi UMKM serta menghilangkan hambatan
terhadap berkembangnya lembaga keuangan nonbank, seperti modal ventura dan
crowdfunding. World Bank (2006) menyatakan bahwa modal ventura kurang
berkembang disebabkan oleh iklim usaha yang kurang kondusif dan modal dalam
negeri yang terbatas di samping keengganan pemilik untuk berbagi kontrol dengan
pihak luar. ADB (2014) juga menunjukkan bahwa beberapa hambatan terhadap
kurang berkembangnya crowd funding antara lain adalah belum adanya perangkat
hukum dan aturan yang jelas mengenai crowd funding ini serta keamanan
investasi serta keraguan akibat banyaknya penipuan online.

66
Akses Pasar

Seperti yang telah dijelaskan pada Bab 5, pemerintah telah memfasilitasi


UMKM untuk mendapatkan pasar di dalam negeri. Namun, skala bantuan yang
dapat diberikan sangat terbatas. Pemerintah perlu mengunakan metode-metode
baru yang inovatif untuk membantu UMKM mendapatkan pasar sehingga dengan
anggaran yang sama akan lebih banyak UMKM yang dapat difasilitasi. Misalnya,
bersinergi dengan pemerintah daerah (cost-sharing) serta menggiatkan e-catalogue
serta promosi online lainnya.

Dalam hal fasilitasi promosi ke pasar internasional, pemerintah juga perlu


lebih meningkatkan peran perwakilan Indonesia di luar negeri sebagai market
intelligent untuk mendapatkan informasi terkait pasar potensial (potensi demand,
hambatan perdagangan, termasuk standar dan sertifikasi yang diperlukan, serta
prosedur untuk masuk ke negara tersebut). Di samping itu, kerja sama yang baik
dengan kementerian teknis diperlukan untuk match-making informasi dari market
intelligent mengenai pasar potensial dengan kemampuan produsen untuk
memenuhi pasar tersebut, termasuk fasilitasi untuk mendapatkan sertifikasi dan
pengurusan standar sehingga dapat diterima di pasar tujuan.

Partisipasi UMKM dalam Global Value Chain.

Strategi ini sudah diterapkan oleh negara-negara ASEAN lain dan dapat
dilaksanakan di Indonesia. Peningkatan keterkaitan UMKM dalam GVC
memberikan manfaat yang besar bagi UMKM itu dalam hal peningkatan kualitas
dan inovasi produk, sumber daya manusia, dan terutama penjualan. Sektor lain
juga dapat merasakan dampaknya akibat dari spillover economic effect.

Seperti halnya dalam peningkatan akses pasar domestik, langkah awal yang
harus dilakukan adalah tersedianya pendanaan untuk mendukung strategi
tersebut. Public Investment, baik dari pemerintah atau pihak lain, diperlukan
untuk melakukan implementasi kebijakan yang dapat meningkatan linkage UMKM
di GVC. Program atau kebijakan tersebut antara lain adalah:

1. pemetaan (mapping) terhadap kapasitas dari UMKM yang dapat menjadi


pemasok dalam jaringan produksi global; dan

2. pemetaan (mapping) terhadap kebutuhan bahan baku (input) dalam proses


produksi UMKM skala menengah dan perusahaan besar (multinasional).

67
Pemetaan di atas perlu dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat
meningkatkan keterlibatan UMKM dalam GVC.

Sementara itu, untuk meningkatkan akses pasar bagi UMKM yang telah
melakukan ekspor secara langsung, pemerintah dapat mendukung dalam hal
penyediaan informasi terkait dengan pasar tujuan ekspor. Informasi tersebut
menjadi hasil market intelligence terhadap negara tujuan ekspor dan bertujuan
untuk menggali potensi peningkatan penjualan bagi produk yang sudah diekspor
atau bagi produk baru yang potensial dijual di negara tersebut. Informasi di dalam
market intelligence dapat meliputi sektor ekonomi kunci, daya beli masyarakat,
serta struktur ekspor dan impor negara yang dijadikan target.

Infrastruktur

Perbaikan infrastruktur yang sedang dilakukan pemerintah Joko Widodo


sangat ditunggu-tunggu dalam mengatasi bottleneck pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Demikian juga upaya dalam menurunkan dwelling time di pelabuhan
dan biaya logistik secara keseluruhan. Diharapkan 3–5 tahun mendatang, dampak
dari investasi infrastruktur dan logistik tersebut akan menurunkan biaya
transaksi secara umum sehingga dengan sendirinya akan menurunkan biaya
transaksi UMKM Indonesia.

Pembentukkan klaster industri spesifik untuk UMKM secara signifikan


dapat memperbaiki daya saing dan meningkatkan pertumbuhan UMKM.
Infrastruktur tersebut juga dapat meningkatkan peran UMKM dalam GVC melalui
keterkaitan UMKM dengan perusahaan besar. Infrastruktur fisik dan fasilitas yang
terintegrasi untuk investasi, perdagangan, dan proses manufaktur dapat menarik
perusahaan besar. Sementara itu, fasilitas kemudahan one-stop services bagi
UMKM memberikan insentif untuk menempati area tersebut. Integrasi tersebut
secara tidak langsung dapat menjadi pendorong untuk memperbaiki kualitas
produk dan kapasitas sumber daya manusia UMKM. Pengembangan infrastruktur
nonfisik pada klaster tersebut juga perlu dikembangkan oleh pemerintah. Fasilitasi
dialog dan komunikasi di dalam klaster, antara perusahaan besar dan UMKM
merupakan faktor penting lainnya untuk meningkatkan efisiensi dan
menyelaraskan kualitas dan standar produk UMKM yang dibutuhkan oleh
perusahaan besar.

68
Siklus Bisnis

Idealnya kondisi bisnis yang lesu ini dimanfaatkan oleh UMKM dan
kementrian pembina UMKM untuk meningkatkan produktivitas dan keahlian
pelaku UMKM (seperti yang dipaparkan pada bagian 5.1) sehingga pada saat
permintaan mulai naik, UMKM Indonesia telah memiliki daya saing yang lebih
baik. Strategi-strategi jangka pendek untuk meredam laju pelemahan penjualan
tetap perlu dilakukan, seperti melakukan diversifikasi pasar tujuan penjualan
ekspor dan mencari peluang dan mengintensifkan kerja sama yang telah ada
dengan perusahaan multinasional.

6.3 Rekomendasi

Pengembangan UMKM merupakan bagian yang terintegrasi dalam


penyatuan ekonomi di antara negara-negara anggota ASEAN. Berbagai inisiatif
kerja sama untuk peningkatan kinerja UMKM tetap perlu dilakukan meskipun
Indonesia terlambat atau belum optimal memanfaatkan inisiatif tersebut, terutama
dalam implementasi kebijakan dalam negeri.

Secara umum kinerja UMKM Indonesia masih relatif rendah jika


dibandingkan dengan negara-negara dengan tingkat pembangunan yang relatif
sama, terutama dari segi produktivitas, kontribusi terhadap ekspor, partisipasi
dalam jaringan produksi global dan regional, serta kontribusi terhadap nilai
tambah.

Beberapa studi menunjukan bahwa kemampuan UMKM bersaing di era


global tergantung pada beberapa hal, yaitu faktor internal seperti skala usaha,
stakeholders personality, latar belakang pendidikan dan budaya perusahaan yang
dapat dicerminkan dari tingkat produktivitas dan inovasi dari perusahaan
tersebut, serta faktor eksternal yaitu faktor-faktor di luar perusahaan seperti akses
terhadap permodalan dan lingkungan kebijakan.

Untuk meningkatkan daya saing UKM Indonesia secara umum dan


meningkatkan partisipasi UMKM dalam GVC, faktor-faktor yang menentukan daya
saing UMKM serta tingkat partisipasi dalam GVC perlu menjadi perhatian
pemerintah. Beberapa faktor yang menentukan daya saing UMKM dapat
dikelompokan menjadi dua kelompok besar, yaitu faktor internal dan eksternal.
Faktor internal mencakup aspek-aspek yang dapat meningkatkan produktivitas
UMKM Indonesia, yaitu sumber daya manusia (human resource), strategi

69
pemasaran, dan inovasi. Sementara itu, faktor eksternal merupakan berbagai
aspek di luar UMKM yang dapat memengaruhi dan mendukung daya saing UMKM.
Faktor tersebut adalah kemudahaan berusaha di Indonesia (ease of doing
business), akses finansial dan permodalan, akses pasar, infrastruktur, dan kondisi
makroekonomi.

Beberapa studi yang mengevaluasi kebijakan pemerintah terkait UMKM


memperlihatkan bahwa pendekatan yang selama ini diambil pemerintah lebih
bersifat kesejahteraan sosial dari pada pendekatan bisnis. Kebijakan tersebut
belum mampu membuat UMKM Indonesia berdaya saing lebih tinggi.

Diperlukan paradigma berpikir yang berbeda dalam membuat kebijakan


terkait UMKM, dari pelindungan yang berlebihan menjadi fasilitasi untuk
mendapatkan akses. Untuk berkembang, UMKM memerlukan akses, baik
terhadap input yang murah dan mudah (raw materials, sumber daya manusia, dan
barang modal), dukungan keuangan atau pasar untuk produk/jasa yang
dihasilkan. Pemerintah perlu meningkatkan perannya dalam memberikan fasilitasi
tersebut, baik dalam peningkatan produktivitas dan inovasi, memberikan
kemudahan berusaha, akses keuangan, serta akses pasar, baik lokal maupun
global. Kondisi pasar dunia dan regional yang sedang melemah hendaknya disikapi
sebagai peluang untuk meningkatkan kemampuan UMKM Indonesia.

Kajian ini lebih berfokus pada kebijakan pada sektor UMKM yang perlu
diterapkan oleh pemerintah ke depan berdasarkan metode policy gap analysis.
Untuk kajian selanjutnya, metode atau analisis empiris perlu dilakukan agar
analisis terhadap kinerja, isu, dan permasalahan UMKM dapat dilakukan secara
lebih terukur. Selain itu, ketersediaan data dan analisis secara sektoral juga
diperlukan dalam rangka penyusunan kebijakan yang tepat untuk sektor yang
memiliki karakteristik berbeda. Lebih lanjut, kajian mengenai efektivitas atas
implementasi kebijakan yang telah dilakukan dalam mendorong pengembangan
UMKM perlu terus dilakukan untuk perbaikan ke depan. Cakupan kajian di atas
memerlukan tersedianya data UMKM secara detail, akurat, terkini, dan tersedia
secara series. Untuk itu, ketersediaan data UMKM pada masa yang akan datang
menjadi agenda yang penting untuk dilakukan.

70
Tabel 12. Strategi Meningkatkan Daya Saing UMKM Indonesia
Faktor yang
Mempengaruhi
No. Strategi untuk Meningkatkan Daya Saing UMKM
Daya Saing
UMKM
1. Sumber daya a. Memberikan pelatihan, khususnya tentang basic
manusia skills dalam era digital yang berkembang pesat saat
(produktivitas ini dan entrepreneurship skills agar operasional usaha
dan inovasi) bisa efisien. Pelatihan dimaksud dapat dilakukan
melalui Balai Latihan Kerja Daerah (BLKD).
b. Memberikan pendampingan bagi setiap UMKM agar
operasional usaha dapat berjalan dengan efisien dan
produktivitasnya meningkat.
c. Memfasilitasi pertemuan dan diskusi antara UMKM
dan pengajar SMK untuk memastikan bahwa
kurikulum SMK telah memasukkan keahlian yang
diperlukan UMKM dalam proses produksinya dan
UMKM dapat menyerap siswa lulusan SMK yang
sesuai dengan kebutuhannya.
d. Sosialisasi manfaat penggunaan e-commerce dalam
memperluas jangkauan pemasaran. Sosialisasi ini
perlu didampingi oleh fasilitasi pertemuan pemilik e-
commerce dengan UMKM.
e. Memberikan pelatihan, khususnya tentang basic
skills dalam era digital ini, sehingga UMKM dapat
memaksimalkan e-commerce yang berkembang pesat
saat ini. Pelatihan dimaksud dapat dilakukan melalui
Balai Latihan Kerja Daerah (BLKD).
f. Memfasilitasi pertemuan langsung antara Badan
Standarisasi Nasional (BSN) dengan UMKM yang
belum mempunyai SNI.
2. Kemudahan a. Fasilitas perizinan investasi untuk UMKM potensial (a
Berusaha fast-track investment licenses): Mengurangi prosedur
dan jangka waktu pengurusan perizinan.
b. Mengurangi tarif PNBP untuk UMKM dalam proses
pendirian badan usaha
c. Revisi UU PT untuk mengurangi persyaratan modal
dasar dan modal disetor untuk UMKM
d. Pemberian insentif atau pengurangan pajak
penghasilan dalam jangka waktu tertentu
3. Akses a. Menganjurkan bank-bank yang menyalurkan kredit
permodalan mikro untuk melakukan pendampingan yang efektif
b. Meneliti strategi untuk meningkatkan peran modal
ventura dalam pembiayaan
e. Meneliti faktor-faktor yang dapat mendukung
pertumbuah crowd funding

71
Tabel 12. (lanjutan)
Faktor yang
Mempengaruhi
No. Strategi untuk Meningkatkan Daya Saing UMKM
Daya Saing
UMKM
4. Akses pasar Pasar Domestik
a. Perluasan forum dagang lokal atau pembentukan
forum dagang nasional bagi sektor UMKM
b. Mendorong kerja sama antara retail modern dengan
UMKM
c. E-commerce: membentuk platform e-catalogue dan
memperluas implementasi e-marketing
Pasar Internasional
a. Pemetaan (mapping) kapasitas dari UMKM yang
menjadi pemasok (supplier)
b. Pemetaan mMapping) terhadap kebutuhan bahan
baku (input) dalam proses produksi UMKM skala
menengah dan perusahaan besar (multinational).
c. Informasi pasar negara tujuan ekspor (market
intelligence)
5. Infrastruktur, a. Meningkatkan ketersediaan dan kualitas
logistik dan infrastruktur fisik (jalan, jembatan, pelabuhan)
telekomunikasi
b. Implementasi klaster industri (industrial cluster)
percontohan bagi UMKM beserta fasilitasnya
c. Meningkatkan ketersediaan energy
d. Meningkatkan jangkauan dan kualitas infrastruktur
telekomunikasi, khususnya internet cepat yang
dibutuhkan untuk bisnis di era digital, termasuk
keterkaitan dalam GVC.
6. Siklus bisnis a. Diversifikasi pasar (dalam negeri dan luar negeri)
b. Menurutkan biaya produksi
c. Meningkatkan produktivitas
d. Meningkatkan akses UMKM terhadap informasi
mengenai inovasi-inovasi baru
e. Meningkatkan kegiatan-kegiatan yang dapat
menstimulasi inovasi baru (workshop, interaksi
dengan universitas dan kunjungan ke perusahaan
sejenis yang inovatif di negara lain)

72
REFERENSI

Abonyi, G. (2005). ‘Transformation of Global Production, Trade and Investment:


Global Value Chains and International Production Networks’, paper
presented to the Expert Group Meeting on SMEs’ Participation in Global and
Regional Supply Chains. UNESCAP, Bangkok, November.
Agbola, R. M. (2013). Does total quality management affect the performance of
small and medium enterprises? A case of manufacturing industry in Ghana.
World Applied Sciences Journal, 01-09(28).
Anton, S. A., Muzakan, I., Muhammad, W. F., Syamsudin, & Sidiq, N. P. (2015). An
assessment of SME Competitiveness in Indonesia. Journal of
Competitiveness, 7(2), 60-74.
Arudchelvan, M., & Wignaraja, G. (2015). SME internationalization through Global
Value Chains and Free Trade Agreements: Malaysian Evidence. ADBI
Working Papers.
Asian Development Bank (2014). Asia SME Finance Monitor 2014. Mandaluyong
City: ADB.
Asian Development Bank Institute (2015). Integrating SMEs into global value chains:
Challenges and policy actions in Asia. Mandaluyong City, Philippines: Asian
Development Bank.
Aswicahyono, H. & Hill, H. (2014). Survey of Recent Developments. Bulletin of
Indonesian Economic Studies Vol. 50, No. 3, pp. 319-346.
Aswicahyono, H. & Hill, H. (2014b). Does Indonesia have Competitiveness
Problems? Unpublished Paper
Allen, B., Johnson, K., Baldwin, K., Blair, C., Cantrell, R., Fravel, D., Gearheart, W.
U.S - Korea free trade agreement: effects on U.S small and medium-sized
enterprises USITC Publication 4393. Washington DC: U.S International Trade
Commission.
Broughton, A. (2011). SMEs in the crisis: Employment, industrial relations and local
partnerships. Dublin, Ireland: European Foundation for the Improvement of
Living and Working Conditions.
Cheong, I. (2014). Korea's policy package for enhancing its FTA. ERIA Discussion
Paper, 11, 28.
Nicolescu, O. (2009). Main features of SMEs organization system. Review of
International Comperative Management, 10(3), 9.
OECD. (2000). Local partnership, clusters, and SME globalization. Paper presented
at the Conference for Ministers responsible for SMEs and Industry Ministers,
Bologna, Italy.
Tambunan, T., & Chandra, A. C. (2014). Utilization Rate of Free Trade Agreements
(FTAs) by Local Micro-, Small-, and Medium-Sized Enterprises: A Story of
ASEAN. Journal of International Business and Economics, 2, 34.
USITC. (2010). Small and medium-sized enterprises: characteristics and performance
Investigation Paper. Washington DC: U.S International Trade Commission.
Presisi Indonesia (2015). Innovation Driven Businesses in Bandung, report for EU-
Indonesia TCF

73
World Economic Forum (2015). The Global Competitiveness Report 2015-2016.
WEF: Geneva.
Wignaraja, G., Jinjarak, Y. (2015). Why do SMEs not borrow more from banks?
Evidence from the People's Republic of China and Southeast Asia. ADBI
Working Paper 509.
Yuhua, Z., & Bayhaqi, A. (2013). SME's participation in global production chains:
APEC.
Yuhua, Z., dan Bayhaqi, A. (2013). SME's Participation in Global Production Chains.
APEC: Singapore.
Zhan, J. (2013). Public-Private Sector Partnerships to promote SME participation in
Global Value Chains. Paper presented at the Expert meeting on assessing the
impact of Public-Private Partnerships on trade and development in developing
countries, Geneve.

74
LAMPIRAN

Lampiran 1. Ringkasan Sektor dengan Komitmen di AFAS 8 yang Memproteksi UMKM

Jumlah Sektor
dengan Komitmen
No. Negara Sektor atau Subsektor Komentar
yang Berpengaruh
pada UMKM
Komunikasi; lingkungan; pendidikan; Karakter komitmennya adalah ketentuan
Brunei
1 16 turisme & jasa lainnya terkait travel; joint-venture dengan porsi kepemilikan
Darussalam
rekreasional, budaya, & olahraga investor asing terbatas
Kesehatan; turisme & jasa terkait Myanmar sangat terbuka dan hanya
2 Kamboja 5 travel lainnya; jasa pendukung semua terdapat beberapa ketentuan berbentuk
mode transportasi joint-venture
Disamping ketentuan joint-venture,
terdapat beberapa ketentuan yang secara
eksplisit menyebut UMKM:
1. Jasa perdagangan besar (wholesale)
Jasa profesional; komputer & jasa
(national treatment): bekerjasama dengan
terkait; R&D; jasa penyewaan &
100 UMKM sebagai supplier dan retailer,
leasing tanpa operator; jasa bisnis
dan memberikan pelatihan yang saling
lainnya; komunikasi; konstruksi &
menguntungkan kedua belah pihak
3 Indonesia 69 jasa terkait; distribusi; pendidikan;
lingkungan; kesehatan; jasa sosial; 2. Jasa penjualan langsung
hotel & restoran; turisme &
(national treatment): wajib memasarkan
transportasi
produk buatan lokal dan bergabung
dengan asosiasi industri sejenis
3. Jasa penginapan (motel)
(national treatment): di kawasan Indonesia
Timur, joint-venture dengan UMKM local
diperbolehkan dengan porsi asing
75
Jumlah Sektor
dengan Komitmen
No. Negara Sektor atau Subsektor Komentar
yang Berpengaruh
pada UMKM
maksimum 70 persen. Pada area selain itu
tertutup untuk asing.
4. Jasa operator penginapan internasional
(national treatment): wajib berbentuk joint-
venture dengan UMKM lokal.
5. Jasa organizer kongres profesional
(national treatment): hanya terbuka di
kawasan Indonesia Timur dan berbentuk
joint-venture dengan UMKM local. Selain
kawasan itu, tertutup untuk asing.
Laos sangat terbuka dan hanya terdapat
Jasa profesional; kesehatan; agen beberapa ketentuan berbentuk joint-venture
4 Laos 6 travel & tur; jasa penyewaan & leasing dan pada jasa akuntansi dan audit
tanpa operator terdapat ketentuan pelatihan karyawan
lokal
Jasa profesional; jasa penyewaan &
leasing; konstruksi; jasa distribusi;
pendidikan; lingkungan; kesehatan; Karakter komitmennya adalah ketentuan
5 Malaysia 57 turisme & jasa terkait travel lainnya; joint-venture dengan porsi kepemilikan
jasa literature; transportasi; jasa investor asing terbatas
pendukung semua mode transportasi;
jasa pelatihan
Myanmar sangat terbuka dan hanya
6 Myanmar 1 Jasa audiovisual terdapat 1 ketentuan berbentuk joint-
venture
7 Filipina 27 Jasa profesional; R&D; jasa Karakter komitmennya adalah ketentuan
76
Jumlah Sektor
dengan Komitmen
No. Negara Sektor atau Subsektor Komentar
yang Berpengaruh
pada UMKM
penyewaan & leasing tanpa operator; joint-venture dengan porsi kepemilikan
jasa bisnis lainnya; jasa pos; investor asing terbatas, tapi untuk jasa
telekomunikasi; jasa audiovisual teknik mekanik dalam bentuk alih
teknologi
Jasa profesional; jasa penyewaan &
leasing tanpa operator; Karakter komitmennya adalah ketentuan
8 Singapura 14 telekomunikasi; kesehatan; jasa joint-venture dengan porsi kepemilikan
sosial; turisme & jasa terkait travel investor asing terbatas
lainnya; jasa transportasi maritim
Jasa profesional; komunikasi;
pendidikan; kesehatan; jasa sosial; Disamping ketentuan tentang joint-venture,
terdapat ketentuan pembatasan jumlah
9 Thailand 21 Professional services, turisme & jasa pekerja asing yang bisa menjabat di jajaran
terkait travel lainnya; jasa transportasi direksi
darat
Jasa bisnis lainnya; jasa komunikasi; Disamping ketentuan tentang joint-venture,
jasa rekreasional, budaya, & olahraga; terdapat ketentuan-ketentuan yang ambigu
10 Vietnam 13
jasa transportasi; jasa pendukung dan berpotensi memproteksi pasar dalam
semua mode transportasi negeri

77
Lampiran 2. ACIA Reservation List

No. Negara Reservation List Terkait UKM


Sektor UKM Tertutup Untuk Investasi Terbuka dengan keharusan untuk Keterangan
Asing Partnership dengan UKM
1 Indonesia Dalam reservation list Indonesia dijelaskan bahwa National Treatment dan SMBD tidak berlaku untuk semua
peraturan dalam rangka perlakukan khusus bagi UMKM
1. Sektor Investor asing dilarang
Perikanan untuk melakukan usaha di
sektor perikanan tradisional
atau menjadi Pembudi Daya-
Ikan Kecil4 seperti yang
diatur dalam UU No. 45
tahun 2009 tentang
perikanan dan PERMEN No.
12 tahun 2009 terkait
penangkapan ikan
2. Manufaktur 1. Pemanisan dan pengawetan Kemitraan dengan
buah-buahan dan sayuran UMKM berarti
(ISIC1513) kerjasama UMKM
dengan investor
2. Industri Batik (ISIC 1712)
asing yang dapat
3. Industri Pengolahan dan berupa: joint-
pengawetan rotan, bambu dan operation (plasma-
bahan sejenis (ISIC 2010) core), sub-
4. Industri kayu Mangrove (ISIC contracting,

4Pembudi Daya-Ikan Kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan pembudidayaan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari

78
No. Negara Reservation List Terkait UKM
Sektor UKM Tertutup Untuk Investasi Terbuka dengan keharusan untuk Keterangan
Asing Partnership dengan UKM
2022 dan ISIC 2029) franchise,
distributorship,
5. Industri Minyak Atsiri (ISIC 2429)
general trading, joint
6. Bahan bangunan: (ISIC 2691; venture and
ISIC 2693) outsourcing.
7. Barang yang terbuat dari industri
semen (ISIC 2695)
8. Industri kapur dan produk yang
terbuat dari kapur (ISIC 2694)
9. Industri Perhiasan dan artikel
terkait (ISIC 3691)
10. Industri kapal kayu termasuk
alat dan peralatan untuk wisata
bahari dan perikanan (ISIC 3511)
11. industri mesin pertanian (ISIC
2921)
12. Industri multi-aneka kerajinan:
13. Daur ulang barang-barang bukan
logam (ISIC 3720)
14. paku, mur dan baut industri,
komponen dan suku cadang
untuk industri motor, pompa dan
industri kompresor (ISIC
2899,2911, 2912, 3591, 3592)
15. Industri Pengolahan Susu bubuk
dan susu kental (ISIC 1520)

79
No. Negara Reservation List Terkait UKM
Sektor UKM Tertutup Untuk Investasi Terbuka dengan keharusan untuk Keterangan
Asing Partnership dengan UKM
16. Industri Usaha Pengolahan Hasil
Perikanan - UPI (ISIC 1512)
3. Pertanian 1. pengeringan tembakau dan Kemitraan dengan
industri pengolahan awal ( ISIC UMKM berarti
0111 ) kerjasama UMKM
dengan investor
2. peternakan ulat sutra dan lebah
asing yang dapat
(ISIC 0122)
berupa: joint-
operation (plasma-
core), sub-
contracting,
franchise,
distributorship,
general trading, joint
venture and
outsourcing.
4. Jasa terkait  Perkebunan (CPC 88110): Kemitraan dengan
pertanian peramalan hama (penyakit dan UMKM berarti
serangga) peramalan , kontrol kerjasama UMKM
dan sewa peralatan dengan investor
asing yang dapat
 Pertanian (CPC 88110) tanaman berupa: joint-
pangan: persiapan lahan/tanah, operation (plasma-
panen , perontokan , Unit
core), sub-
penggilingan padi (untuk
contracting,
ditempatkan di luar Pulau Jawa);
Pengendalian hama Hortikultura franchise,
(penyakit & serangga); distributorship,
general trading, joint
 Ternak (CPC 88110) rumah
80
No. Negara Reservation List Terkait UKM
Sektor UKM Tertutup Untuk Investasi Terbuka dengan keharusan untuk Keterangan
Asing Partnership dengan UKM
pemotongan ternak/poultry; venture and
Pengolahan Daging/penjagalan outsourcing.
 Rencana Kawasan Perkebunan
(CPC 88.110): Persiapan lahan/
tanah; Perencanaan dan Survey
Landscape; pemuliaan
tanaman/transplantasi dan
pembibitan
5. Kehutanan Pengolahan Rotan, Bambu, Aquilaria Kemitraan dengan
malaccensis (gaharu) UMKM berarti
kerjasama UMKM
(ISIC 0200)
dengan investor
asing yang dapat
berupa: joint-
operation (plasma-
core), sub-
contracting,
franchise,
distributorship,
general trading, joint
venture and
outsourcing.
2 Filipina 1. National treatment dan SMBD tidak berlaku untuk semua undang-undang yang terkait dengan UKM
domestik
2. Kepemilikan asing maksimal 40% untuk usaha dengan modal disetor ≤200.000 USD
3. Directors obligation tidak berlaku untuk undang-undang yang berkaitan dengan eksplorasi,
pengembangan dan pemanfaatan sumber daya mineral. Ini mencakup namun tidak terbatas pada

81
No. Negara Reservation List Terkait UKM
Sektor UKM Tertutup Untuk Investasi Terbuka dengan keharusan untuk Keterangan
Asing Partnership dengan UKM
larangan saham asing dipertambangan skala kecil dan pembatasan saham asing di kegiatan
pertambangan lainnya
3 Thailand National treatment tidak berlaku untuk semua undang-undang yang terkait dengan UKM: Untuk ilustrasi
misalnya, UKM domestik Thailand dapat diberikan prioritas untuk akses tanah dan sumber daya air di
wilayah yang ditetapkan, dan partisipasi asing tidak diperbolehkan dalam usaha skala kecil/ aquaculture
4 Vietnam National treatment dan SMBD tidak berlaku untuk semua undang-undang yang terkait dengan perlakuan
khusus yang diberikan kepada UKM
Sumber: Reservation List masing-masing negara

82
No. Negara Daftar Negatif Investasi Peraturan terkait Investasi
1 Brunei  Semua PMA di sektor industri pengolahan dan pertanian dan jasa yang 1. Pada tahun 2013
Darussalam terkait didalamnya yang menggunakan lahan pemerintah harus meluncurkan Onebiz
menyertakan setidaknya 30% kepemilikan lokal. sebagai single online
window perijinan usaha.
 Kecuali logging dan penggergajian kayu, semua PMA di sektor
kehutanan dan jasa yang terkait didalamnya harus menyertakan 2. Pada tahun 2011,
setidaknya 30% kepemilikan lokal. melakukan amandemen
terhadap UU perusahaan.
 National treament tidak berlaku untuk peraturan lainnya terkait
UU yang baru
aktivitas perikanan termasuk di zona ekonomi eksklusif. Semua PMA di
mensyaratkan bahwa
sektor ini yang menggunakan lahan pemerintah harus menyertakan
salah satu direktur dari
setidaknya 30% kepemilikan lokal.
badan usaha dengan 2
 National treatment tidak berlaku kepada aktivitas yang menggunakan direktur atau minimal 2
sumber daya alam. Bisa termasuk pembatasan dalam pemberian ijin orang direktur dari badan
dan kuota. usaha dengan lebih dari 2
 National treatment tidak berlaku kepada aktivitas sektor gas dan direktur harus
perminyakan berkewarganegaraan
Brunei.
 National treatment tidak berlaku kepada aktivitas penggalian dan
pertambangan. Kepemilikan asing akan dipertimbangkan per kasus.
2 Kamboja  National treatment dan senior management board of directors obligations 1. Pada 4 april 2011
tidak berlaku industri pengolahan narkotika dan jenis psikotropika, mengeluarkan Instructive
dan produksi bahan kimia berbahaya, dan pestisida pertanian. Industri Circular No. 365 terkait
tersebut tertutup untuk penanaman modal asing. prosedur aplikasi untuk
perpanjangan,
 National treatment dan SMBD tidak berlaku untuk kebijakan yang
pembekuan,penghentian
terkait pembatasan/regulasi terhadap industri kehutanan dan industri
investasi perusahaan.
terkait kehutanan
2. 4 Maret 2011, Prakas No.
 National treatment dan SMBD tidak berlaku untuk kebijakan yang
242 mengenai prosedur
terkait industri penggalian termasuk penggalian pasir dan aktivitas
pelaksanaan UU terkait
pertambangan minyak dan gas yang dilaksanakan di Kamboja. Seluruh
operasional pabrik dan
pengolahan pasir untuk ekspor luar negeri dilarang dan ditutup.
kerajinan.

83
No. Negara Daftar Negatif Investasi Peraturan terkait Investasi
3 Laos Industri berikut hanya terbuka untuk penanaman modal dari warga 1 Maret 2011, Kebijakan
negara Laos: Presiden tentang tarif baru
pajak keuntungan, pajak
1. Produksi, pengolahan, pengawetan daging dan produk daging (sapi,
pendapatan badan, pajak
babi, domba, kuda)
penghasilan individu.
2. Pengolahan dan pembekuan ikan Berdasarkan peraturan ini
3. Pengolahan sayur dan buah-buahan pajak keuntungan
diturunkan dari 35% menjadi
4. Pengolahan minyak hewani dan nabati 28 persen.
5. Manufaktur boneka dan mainan
6. Industri alat musik tradisional
7. Industri kain tradisional
8. Pengolahan veneer seet, plywood, papan laminasi, particle board,
9. Pengolahan pestisida
10. Pengolahan es dan es krim
11. Penggilingan
12. Tepung dan produk tepung
13. Bahan makanan
14. Produk roti
15. Produk mie lokal
16. Minuman non alkohol, soft drink, dan air minum
17. Penampungan guano
18. Budi daya ikan di sungai Mekong dan daerah Laos hanya boleh
diusahakan perusahaan 100% lokal. PMA tidak diberikan kewenangan
untuk melaksanakan aktivitas perikanan untuk tujuan komersial.
4 Indonesia Manufaktur yang tertutup untuk PMA: 1. BKPM (Badan Koordinasi

84
No. Negara Daftar Negatif Investasi Peraturan terkait Investasi
1. Perikanan tradisional dan seluruh aktivitas perikanan yang diatur oleh Penanaman Modal)
otoritas kebijakan terkait meluncurkan Online
Tracking System (OTS)
2. Pengasinan/pengeringan ikan dan biota laut lainnya dan industri
untuk Pendaftaran
pengasapan ikan
Penanaman Modal, Izin
3. Industri pengolahan karet Prinsip, Izin Usaha, dan
4. Industri alat kerajinan Manual atau alat setengah mekanik untuk Surat Persetujuan
pekerjaan tangan dan pemotong Pembebasan Bea Masuk
Bahan Baku dan Barang
5. Industri kebutuhan rumah tangga dari tanah liat terutama tembikar Modal.
6. Industri Kerajinan yang mengandung aset budaya tertentu; nilai seni 2. Perpres No. 39/2014
yang menggunakan bahan alami atau buatan buatan; industri bordir; tentang daftar bidang
rotan dan industri anyaman bambu; anyaman dari tanaman lain usaha yang tertutup dan
7. Industri rotan dan bambu bidang usaha yang
terbuka dengan
8. Industri peralatan tangan yang dibutuhkan untuk pertanian, untuk persyaratan di bidang
mempersiapkan lahan, proses produksi, pasca panen dan pengolahan penanaman modal.
kecuali cangkul dan sekop
3. Keharusan untuk
9. Gula Aren perusahaan tambang
10. Olahan makanan dari biji dan umbi, sagu , kacang melinjo dan untuk menjual
industri kopra, industri kecap, makanan yang terbuat dari kedelai dan produksinya di pasar
kacang selain kecap, tempe, industri tahu, kerupuk, keripik, kerupuk domestik dalam jumlah
kacang, dan sejenisnya tertentu.

11. Industri penggergajian 4. PP No.94/2010 tentang


penghitungan penghasilan
12. Industri rotan Primer kena pajak dan pelunasan
13. Industri peralatan dapur pajak penghasilan dalam
tahun berjalan yang
14. Industri rajut terutama kain renda memberikan kewenangan
15. Industri percetakan kain terutama Batik dan pola tradisional bagi Kemenkeu untuk
memberikan tax holiday

85
No. Negara Daftar Negatif Investasi Peraturan terkait Investasi
16. Industri Serat dan Kapas ke investor baru di
industri dan lokasi
tertentu.
Tertutup ke investor asing-Pengolahan dengan basis kontrak atau sewa
1. Pengalengan Buah dan sayuran, Pelumatan, jus dan paste
2. Es krim
3. Pati singkong
4. Pengolahan dan pengawetan daging
5. Industri pengolahan ikan dan pengalengan
6. Pembekuan untuk industri ikan dan sejenisnya
7. Margarin
8. Minyak goreng
9. industri Susu
10. Industri makanan dari susu
11. Tepung sagu
12. Industri Pakan ikan
13. Industri Pakan ikan/konsentrat
14. Macaroni, mie, spaghetti, industri bihun dan sejenisnya
15. Industri tembakau
16. Industri produk kulit
17. Industri kayu dan produk kayu dan gabus, kecuali mebel ; pembuatan
artikel jerami dan bahan anyaman
18. Industri bahan kimia dan produk kimia,
19. Industri furnitur- industri mebel kayu, termasuk finishing dan design
86
No. Negara Daftar Negatif Investasi Peraturan terkait Investasi
mebel bambu dan rotan

Sektor kehutanan, penggalian dan pertambangan tertutup untuk


penanaman modal asing:
1. Eksploitasi tanaman hutan lainnya selain kayu, aren, kemiri, biji asam,
bahan baku arang, kayu manis , dll.
2. Eksploitasi sarang walet alam
3. industri primer hasil hutan selain kayu
4. Restorasi ekosistem Hutan
5. Eksploitasi sumber daya air di kawasan hutan
6. Kontraktor di bidang pemotongan kayu
7. Ekstraksi Pasir Pantai
8. Jasa pembotolan dan Pengisingan Liquefied Petroleum Gas ( LPG )
5 Malaysia Manufaktur yang tertutup untuk investasi asing: Sejak tahun 2012,
pemerintah Malaysia telah
1. Penyulingan Gula
meliberalisasi 15 sub sektor
2. Minuman keras dan minuman beralkohol jasa.
3. Pengolahan tembakau dan rokok
4. Penggulungan baja dan kawat
5. Cakram optik, termasuk CD, CD-ROM, VCD, DVD
6. Biodiesel
7. Pengumpulan, penyimpanan, pengolahan dan pembuangan limbah
berbahaya dan beracun
8. Semen OPC (non-terpadu)

87
No. Negara Daftar Negatif Investasi Peraturan terkait Investasi
9. Perikanan Tangkap

Perikanan, Kehutanan, dan Pertambangan & Penggalian:


1. Perlakuan Nasional tidak berlaku untuk setiap aktivitas yang berkaitan
dengan perikanan tuna atau yang berkaitan dengan hutan tanaman
2. kapal-kapal nelayan asing tidak diperbolehkan untuk menangkap ikan
atau percobaan menangkap ikan atau melakukan riset atau survei di
Zona Ekonomi Eksklusif Malaysia
3. Ekstraksi dan pemanenan kayu dan jasa yang terkait dengan itu
ditutup untuk investor asing di Semenanjung Malaysia dan Sabah.
4. PETRONAS diberi hak eksklusif, kekuasaan, kebebasan dan hak untuk
mengeksplorasi, mengeksploitasi, menangani dan memperoleh minyak
bumi, di darat atau lepas pantai Malaysia.
5. Perlakuan Nasional dan SMBD bisa tidak berlaku untuk setiap
tindakan yang berkaitan dengan kegiatan pertambangan dan
penggalian. Joint venture dengan negara atau BUMN terkait bisa
diperlukan.
6 Myanmar Tidak ada izin baru yang dikeluarkan untuk investor : Pada 27 Januari 2011,
pemerintah mengeluarkan UU
1. Distilasi, pencampuran, perbaikan,pembotolan dan pemasaran semua
zona ekonomi khusus,
jenis sprits, minuman dan non - minuman
dimana terdapat 24 zona
2. Industri anggur, malt dan malt minuman keras, bir dan produk pengembangan. UU ini
pembuatan bir lainnya mengatur tentang dasar
3. Industri minuman ringan , produk aerasi dan non - aerasi hukum, pembetukan struktur
perusahaan, manfaat khusus
4. Industri rokok bagi investor, penggunaan
5. Industri gulungan lembaran besi galvanis lahan, manajemen keuangan
dan bank, asuransi usaha,
6. Industri produk roti dan persyaratan terkait

88
No. Negara Daftar Negatif Investasi Peraturan terkait Investasi
7. Industri pulp, kertas dan kertas karton tenaga kerja.
Hanya diperbolehkan untuk perusahaan milik negara :
1. Industri obat farmasi dan jasa terkait
2. Operasi kegiatan kilang minyak dan penyulingan .
3. Produksi dan ekstraksi kayu dari hutan alam
Hanya diperbolehkan untuk Pemerintah :
1. Penerbitan Surat Kabar dan usaha terkait
2. Reproduksi media rekaman
3. Eksplorasi dan ekstraksi dan jasa yang berkaitan dengan gas alam dan
minyak bumi
Tertutup untuk orang asing
1. Pencarian, eksplorasi dan pertambangan batu permata
7 Filipina National treatment dan SMBD tidak berlaku untuk: 1. Executive Order(EO) No.
29 tahun 2011 terkait
1. Industri petasan dan perangkat piroteknik lainnya
‘open skies policy’ yang
2. Industri senjata dan bahan peledak semakin meliberalisasi
3. Industri obat berbahaya jasa penerbangan.

4. Industri besi dan baja 2. Penyederhanaan


perijinan dan
5. Pembentukan, instalasi, penambahan dan pengelolaan kayu atau memperkenalkan
pabrik pengolahan hasil hutan registrasi online Business
6. Ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan dan keadilan sosial, Name Registration System
peningkatan pendapatan dan profitabilitas, daya saing global dan (BNRS)
keberlanjutan
7. Pemanfaatan, eksploitasi, pekerjaan, kepemilikan, atau melakukan
aktivitas apapun dalam setiap lahan hutan dan penggembalaan, tetapi

89
No. Negara Daftar Negatif Investasi Peraturan terkait Investasi
modal asing hanya diperbolehkan hingga 40%, dengan persetujuan
pemerintah
8. Eksplorasi, pengembangan dan pemanfaatan sumber daya mineral - ini
harus mencakup -namun tidak terbatas pada- larangan modal asing di
industri kecil pertambangan dan pembatasan modal asing di aktivitas
pertambangan lainnya
9. Warisan Nasional dan hak-hak masyarakat adat budaya sesuai dengan
pembangunan nasional.
8 Singapura 1. National treatment dan SMBD tidak berlaku untuk pengolahan, 1. Review UU perusahaan
pemanfaatan, penjualan, pergudangan, transportasi, impor, ekspor dan
2. Pada 1 Juli 2012
kepemilikan Industri senjata dan bahan peledak .
mengeluarkan UU
2. National treatment tidak berlaku untuk pembuatan : Transaksi Elektronik
sehingga sejalan dengan
 Beer dan gemuk , cerutu dan rokok, dan permen karet
perkembangan
 Produk dari baja internasional, fasilitasi
layanan e-Government
 Korek api dan petasan
yang lebih efektif, dan
 Compact disk, digital video meningkatkan netralitas
teknologi.
3. National treatment tidak berlaku untuk ternak babi, penggalian, dan
penerbitan dan percetakan koran 3. Mempersiapkan Regulasi
pajak baru untuk
pembiayaan syariah.
9 Thailand 1. Tertutup untuk orang asing: 1. Pemerintah mengurangi
pajak badab usaha dari 23
 Industri gula dari tebu
persen pada tahun 2012
2. Asing tidak diizinkan untuk memiliki penyertaan modal 50% atau lebih menjadi 20% pada tahun
dari modal terdaftar. 2013.
 Percetakan koran 2. Menyusun insentif pajak
untuk perusahaan yang
menjadikan Thailand
90
No. Negara Daftar Negatif Investasi Peraturan terkait Investasi
 Ekstraksi bumbu Thailand sebagai Regional Operating
Headquarters
 Membuat atau casting gambar Buddha dan mangkuk sedekah
biarawan
 pertanian padi, pertanian atau perkebunan
 Peternakan Hewan
 Kehutanan dan fabrikasi kayu dari hutan alam
 Perikanan untuk hewan air di perairan Thailand dan dalam zona
ekonomi eksklusif Thailand
 Budidaya tanaman dan propagasi termasuk propagasi buatan dan
transplantasi, dan pemuliaan
3. Lebih dari 50% dari penyertaan modal Thai diperlukan, tetapi orang
asing diperbolehkan untuk memperoleh 50% atau lebih dari subjek
modal terdaftar dengan kondisi:
 kayu berukir
 benang sutra Thailand, tenun sutra Thailand atau pencetakan pola
sutra Thailand
 alat musik Thai
 perlengkapan Emas, perak, nielloware, barang perunggu atau alat
lacquer
 Peralatannya seni dan budaya Thailand
 Fabrikasi Kayu untuk mebel dan perkakas produksi
 Penggilingan beras
 Plywood, papan veneer, chipboard atau hardboard
 Jeruk nipis

91
No. Negara Daftar Negatif Investasi Peraturan terkait Investasi
 Budidaya ulat dan jasa yang terkait dengan budidaya ulat
 Pertanian garam, termasuk garam bawah tanah dan layanan yang
terkait dengan itu
 Perhutanan dari hutan tanaman
10 Vietnam Tidak ada lisensi investasi yang akan dikeluarkan untuk investor asing di 1. Vietnam mengeluarkan
sektor berikut: Keputusan 57/2012 / ND-
CP yang (i) menentukan
1. Produksi:
sistem keuangan bagi
 Petasan termasuk kembang api dan lentera lembaga dan cabang bank
asing yang didirikan,
 bahan peledak
terorganisir, dan
 Semua penerbitan produk dan percetakan - buku, brosur, buku dioperasikan di bawah UU
musik, surat kabar, jurnal dan majalah, media rekaman Lembaga Kredit; dan (ii)
memperkenalkan prinsip-
 Rokok dan cerutu, minuman beralkohol dan minuman ringan, dan
prinsip baru lembaga
produksi tembakau
manajemen keuangan di
 Kaca konstruksi, batu bata tanah liat, peralatan produksi semen, lembaga kredit,
dan pambakaran batu bata dan ubin 2. Vietnam meliberalisasi
 Tabung Fluorescent dan lampu pendidikan dan pelatihan
kejuruan dan
 Kapal kargo 10000DWT; kontainer di bawah 800 kapal TEU; kapal mengeluarkan Keputusan
kecil dan berpenumpang kurang dari 500 penumpang 73/2012 / ND-CP yang
 Gula tebu menentukan ketentuan
kerjasama luar negeri dan
 Budidaya, memproduksi atau memproses tanaman langka atau investasi termasuk
berharga; pembibitan atau peternakan dari hewan pelatihan bersama,
langka/berharga; dan pengolahan tanaman/hewan langka pembentukan lembaga-
termasuk hewan liar (termasuk hewan yang hidup dan materi yang lembaga pendidikan
diambil dari hewan) dengan modal asing, dan
2. Jasa yang berkaitan dengan: pembentukan kantor
perwakilan pendidikan
92
No. Negara Daftar Negatif Investasi Peraturan terkait Investasi
 Memproduksi gas industri seperti oxy, nitro, CO2 (padat atau cair) asing di doemstik
soda kaustik NaOH (cair), insektisida dan cat yang umum 3. Vietnam merelaksasi
digunakan pelaksanaan Economic
 Pengolahan susu, produksi tebu, bir dan minuman pengolahan, Need Test (ENT) untuk
produk tembakau pembentukan outlet ritel
dari perusahaan asing.
 Pemancingan di air tawar, perikanan laut, eksploitasi karang dan
mutiara alami dan jasa yang berkaitan dengan produksi jaring ikan 4. UU Pajak Sumber Daya
dan benang untuk perikanan, memperbaiki dan memelihara kapal Alam diberlakukan. Pajak
nelayan, memanfaatkan perikanan air tawar, dan kontrol kualitas ini berlaku untuk proyek-
dari budidaya dan pengolahan produk proyek investasi baru pada
tanggal 1 Juli 2010.
3. Pertambangan dan Penggalian:
 Jasa yang terkait dengan penerapan ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk produksi
 Jasa yang terkait dengan pengujian, menyesuaikan, memperbaiki
dan mempertahankan ukuran industri dan peralatan kontrol
untuk sektor minyak dan gas
 Jasa gudang minyak dan gas dan persediaan
 Katering dan jasa penunjang termasuk makanan dan bahan
makanan, air bersih dan sayur untuk fasilitas konstruksi lepas
pantai
 Jasa pasokan Tenaga Kerja termasuk tenaga profesional,
keterampilan dan pelatihan bahasa asing untuk tenaga kerja yang
akan dikirim ke negara-negara asing, jasa penandatanganan
kontrak tenaga kerja dengan perusahaan asing
 Jasa yang berhubungan dengan pengolahan gas
 Jasa yang terkait dengan pengeboran geologi dan eksplorasi
 Penilaian risiko, termasuk bidang survei, pengumpulan data,

93
No. Negara Daftar Negatif Investasi Peraturan terkait Investasi
penggunaan software khusus pada penilaian dampak frekuensi
dan kepekaan, pengusulan langkah-langkah mitigasi
 Jasa Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

94
Lampiran 3. World Bank Enterprise Survey

Enterprise Survey merupakan survei pada tingkat perusahaan yang


diselenggarakan oleh Wold Bank Group. Sejak tahun 2002 Wold Bank telah
melakukan survei terhadap 130.000 perusahaan di 135 perekonomian yang
respondennya adalah pemilik atau top manager perusahaan. Survei itu
mengumpulkan informasi terkait iklim usaha, termasuk di dalamnya akses
terhadap pembiayaan, korupsi, infrastruktur, kriminalitas, persaingan usaha, dan
kinerja perusahaan.

Perusahaan yang diwawancara adalah perusahaan swasta yang berada


pada sektor industri pengolahan dan jasa. Perusahaan dengan kepemilikan 100
persen pemerintah tidak dimasukkan sebagai responden. Klasifikasi survei
didasarkan pada tiga kriteria, yaitu ukuran perusahaan, sektor usaha, dan
wilayah geografis di negara yang disurvei. Ukuran perusahaan yang digunakan
dalam survei ini menggunakan indikator tenaga kerja, perusahaan dengan 5–19
orang tenaga kerja (perusahaan kecil); perusahaan dengan 20–99 orang tenaga
kerja (perusahaan menengah); dan perusahaan dengan lebih dari 100 orang
tenaga kerja (perusahaan besar) (http://www.enterprisesurveys.org/methodology).

Sayangnya World Bank Enterprise Survey tidak diselenggarakan pada tahun


yang sama untuk semua negera seperti hal-nya survei Ease of Doing Business
ataupun Logistic Performance Survey sehingga perbandingan yang setara sulit
dilakukan.

95

You might also like