Eksperimen Bab 1-3

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 20

PROPOSAL PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA

JUDUL PROGRAM
PENGARUH METODE STORYTELLING DALAM MENINGKATKAN
PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK MASA PERTENGAHAN DI
KOTA BUKITTINGGI

BIDANG KEGIATAN:
PKM-PENELITIAN

Diusulkan oleh :
Arina Mujahidah 15011165/2015

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

BUKITTINGGI

2017

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ……………………………………………………………… i


DAFTAR TABEL………………………………………………………..... iii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………….... iv

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………. 1
A. Latar Belakang …………………………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah ………………………………………………….. 3
C. Tujuan Penelitian…………………………………………………… 3
D. Manfaat Penelitian …………………………………………………. 3
E. Luaran Penelitian …………………………………………………….. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………...... 4


A. Perilaku Prososial...................………………………………………. 4
B. Storytelling.....................................…………………………………. 8
C. Hubungan Antara Perilaku Prososial dengan Metode Strorytelling…. 9
D. Kerangka Konsep ………............…………………………………... 10
E. Hipotesis ……….........................…………………………………... 10

BAB III METODE PENELITIAN………………………………………. 11


A. Jenis Penelitian ………………..........………………………………. 11
B. Variabel Penelitian …………………………………………....……. 11
C. Defenisi Operasional ………………………………………………. 12
D. Populasi dan Sampel ……………………………………………….. 12
E. Desain Penelitian ......................................………………………… 13
F. Teknik Pengumpulan Data...........................................…………… 13
G. Teknik Analisis Data ...................................................…………… 15

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN………...................……………... 17


A. Deskripsi Data ……………………………………………………….. 17
B. Analisis Data dan Pembahasan ………………………..…………… 20

BAB V PENUTUP ……......……………………………………………… 26


A. Kesimpulan ……………………………………….……………….. 26
B. Saran ………………………..……........................................……… 26

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….. 27


DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blueprint Perilaku Prososial …………………………............... 14

Tabel 2. Karaktteristik subjek …..……..................................................... 17

Tabel 3. Tahap Kegiatan Penelitian …..……............................................ 19

Tabel 4. Frekuensi Perilaku Prososial Subjek 1 ..........…..……............... 20

Tabel 5. Frekuensi Perilaku Prososial Subjek 2...........…..……............... 20

Tabel 6. Mean Frekuensi Perilaku Prososial Subjek 1 & 2........................ 21


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Observasi Subjek 1.........…………………………….. 30

Lampiran 2. Lembar Observasi Subjek 2.........…………………………….. 38

Lampiran 3. Biaya Dan Jadwal Kegiatan....................................................... 46

Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian ……........................………………… 47


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berdasarkan data pokok dinas pendidikan kota Bukittinggi (2016), Bukittinggi
telah memiliki sarana dan prasarana pendidikan yang cukup memadai karena saat
ini telah tersedia 101 Satuan PAUD, 68 Sekolah Dasar, 17 setingkat SLTP, 30
setingkat SLTA, baik yang dikelola pemerintah maupun swasta. Jangkauan
pelayanan pendidikan tidak hanya untuk putra daerah kota Bukittinggi saja, akan
tetapi meliputi wilayah Sumatera Barat bagian utara, sebagian Riau, Sumatera
Utara dan Jambi. Demikian juga tenaga guru/dosen telah memadai sehingga
prestasi akademik pelajar kota ini sangat membanggakan.

Seperti data yang disebutkan, terdapat 68 Sekolah Dasar di Bukittinggi. Sekolah


dasar merupakan salah satu sarana pendidikan yang sangat bermanfaat bagi
perkembangan anak masa pertengahan. Dimana, pada sekolah dasar, selain
mengembangkan kemampuan akademik anak, sekolah dasar juga merupakan suatu
sarana untuk mengembangkan keterampilan sosial anak khususnya perilaku
prososial pada anak masa pertengahan.

Sejalan dengan itu, menurut Eisenberg, dkk (dalam Papalia, 2008), pada ranah
perkembangan psikososial, anak masa pertengahan yakni usia 6 sampai 11 tahun
menjadi lebih empati dan lebih condong kepada perilaku prososial. Perilaku
prososial adalah tanda-tanda penyesuaian yang positif. Anak prososial cenderung
bertindak sesuai dengan situasi sosial, relatif bebas dari emosi negatif dan
menghadapi masalah secara konstruktif. (Papalia, 2008). Selain itu, Menurut
McGrath & Brown (2008) menyatakan bahwa seiring bertambahnya usia anak-
anak, mereka menjadi semakin sadar akan manfaat materi dan sosioemosional bagi
orang yang berperilaku prososial. Perilaku prososial adalah tanda-tanda
penyesuaian yang positif. Anak prososial cenderung bertindak sesuai dengan situasi
sosial, relatif bebas dari emosi negatif dan menghadapi masalah secara konstruktif.

Seiring dengan penjelasan sebelumnya, Menurut Hurlock (1999) peningkatan


perilaku sosial cenderung paling menyolok pada masa kanak-kanak awal hingga
pertengahan. Hal ini disebabkan oleh pengalaman sosial yang semakin bertambah,
dan anak-anak mempelajari pandangan pihak lain terhadap perilaku mereka dan
bagaimana pandangan tersebut mempengaruhi tingkat penerimaan dari kelompok
teman sebaya. Akan tetapi, ada beberapa bentuk perilaku yang menjadi tidak sosial
atau antisosial sebagai lawan dari perilaku prososial

1
2

Berdasarkan hasil wawancara peneliti terhadap salah seorang guru di Sekolah


Dasar Negeri 09 Belakang Balok Bukittinggi, masih ada siswa yang menunjukkan
perilaku prososial yang rendah baik dari kelas 1 sampai dengan kelas 6 (Listanti,
2017). Hal ini sejalan dengan pendapat Amini & Saripah (2016) bahwa siswa
sekolah dasar sebagian besar belum dapat menampilkan kemampuannya dalam
berperilaku prososial. Terdapat beberapa faktor yang membuat perkembangan
perilaku prososial terhambat, salah satunya adalah lingkungan dan teman sebaya.
Dengan itu, untuk membentuk perilaku prososial, dan membantu menyiapkan anak
memasuki lingkungan pergaulan yang luas, dibutuhkan upaya bantuan baik dari
orang tua maupun dari guru sekolah.

Menurut Susanti, dkk. (2016) dalam skripsinya mengatakan ada berbagai


macam metode yang digunakan untuk mengajarkan nilai perilaku prososial kepada
anak, antara lain bimbingan dan motivasi, penjelasan pentingnya nilai perilaku,
instruksi langsung, pemberian contoh perilaku melalui situasi sehari-hari maupun
pembelajaran nilai perilaku melalui pembacaan cerita, lagu, video dan kegiatan
simulasi atau bermain peran. Pembelajaran nilai perilaku dalam lingkungan
keluarga dan sekolah yang memperkuat pembiasaan dalam diri anak, meningkatkan
pemahaman anak mengenai perspektif orang lain dan mengembangkan empati anak
memperkuat perkembangan perilaku prososial (Susanti, 2016).

Berdasarkan hasil penelitian Adlis (2011) dalam skripsinya mengatakan bahwa


pembacaan cerita yang disampaikan oleh guru sebagai partisipan terbukti efektif
digunakan untuk meningkatkan perilaku prososial pada anak. Menurut Danandjaja
(dalam Anggarini, 2014) Storytelling atau mendongeng adalah cerita khayali yang
dianggap tidak benar-benar terjadi, baik oleh penuturnya maupun oleh
pendengarnya. dongeng tidak terikat oleh ketentuan normatif dan faktual tentang
pelaku, waktu, dan tempat. Namun, berdasarkan hasil wawancara peneliti terhadap
salah seorang guru di Sekolah Dasar Negeri 09 Belakang Balok Bukittinggi
menyatakan bahwa siswa jarang dibacakan suatu cerita di kelas, cerita terkadang
hanya diberikan ketika matapelajaran tertentu seperti agama (Listanti, 2017).

Berdasarkan hal tersebutlah, kami tertarik untuk melakukan penelitian dengan


menerapkan salah satu metode yang disebutkan di atas yakni melalui pembacaan
cerita (storytelling). Storytelling yang dimaksud adalah yang mengandung nilai
edukatif bertemakan persahabatan sekaligus disesuaikan dengan tugas-tugas
perkembangan perilaku prososial agar anak-anak pada masa usia pertengahan ini
dapat menuntaskannya. Hal ini dikarenakan persahabatan memiliki kaitan dengan
perilaku prososial pada anak. Pendapat ini didukung oleh hasil penelitian Sebanc,
dkk. (2007) yang menyatakan bahwa memiliki teman terbaik diprediksi positif
berdasarkan usia dan penerimaan teman sebaya dan juga sedikit dipengaruhi oleh
perilaku prososial. Dengan menceritakan suatu dongeng khayali yang menyangkut
3

dengan kehidupan anak-anak, diharapkan dapat meningkatkan perilaku prososial


pada anak yang menjadi subjek peneliti. Berdasarkan permasalahan di atas, peneliti
ingin meneliti dengan mengangkat judul “Pengaruh metode storytelling dalam
meningkatkan perilaku prososial pada anak usia pertengahan”.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perilaku prososial pada anak-anak masa pertengahan di
Bukittinggi?
2. Bagaimana penerapan metode storytelling pada anak-anak masa
pertengahan di Bukittinggi?
3. Bagaimana pengaruh metode storytelling terhadap perilaku prososial pada
anak-anak masa pertengahan di Bukittinggi ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat :
1. Perilaku prososial pada anak-anak masa pertengahan di Bukittinggi.
2. Penerapan metode storytelling pada anak-anak masa pertengahan di
Bukittinggi.
3. Pengaruh metode storytelling terhadap perilaku prososial pada anak-anak
masa pertengahan di Bukittinggi.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
pengembangan pengetahuan tentang storytelling khususnya dalam hal
meningkatkan perilaku prososial anak-anak masa pertengahan.
2. Manfaat Praktis
Dengan adanya penelitian ini, diharapkan pihak pendidik di sekolah dan
orang tua dapat menerapkan metode storytelling dalam pembelajaran untuk
meningkatkan perilaku prososial pada anak.

E. Luaran Penelitian
Laporan penelitian ini akan ditulis dalam bentuk artikel ilmiah yang lebih
ringkas yang kemudian akan dipublikasikan pada jurnal Riset Aktual Psikologi
(RAP) UNP. Luaran lain berupa produk buku cerita serta boneka tangan yang
nantinya akan bermanfaat bagi pihak yang bersangkutan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Perilaku Prososial

1) Definisi Perilaku Prososial


Baron & Byrne (2002) memberikan definisi perilaku prososial sebagai perilaku
yang memberikan keuntungan pada orang lain, namun tidak memberikan
keuntungan yang jelas bagi individu yang bersangkutan. Brighan (1997)
memberikan definisi tentang perilaku prososial yaitu perilaku yang diharapkan
memberikan keuntungan fisik atau psikologis bagi orang lain. Perilaku prososial ini
berawal dari tindakan altruisme yang berarti tindakan sukarela yang dilakukan
seseorang atau sekelompok orang untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan
imbalan apapun dan tidak mementingkan diri sendiri.

Dari uraian diatas peneliti menyimpulkan bahwa prososial adalah suatu kegitan
menolong orang lain yang dilakukan dengan sukarela atas keinginan pelaku sendiri.

2) Aspek-aspek Perilaku Prososial


Baron & Byrne memberikan definisi perilaku prososial sebagai perilaku yang
memberikan keuntungan pada orang lain, namun tidak memberikan keuntungan
yang jelas bagi individu yang bersangkutan. Menurut Baron & Byme terdapat tiga
aspek perilaku prososial, antara lain:

a) Menolong orang lain yang kesulitan (helping a stranger distress)


Pengaruh kehadiran orang ain (bystander effect) membuat seseorang
cenderung kurang memberikan bantuan pada orang asing yang mengalami
kesulitan. Semakin banyak orang yang hadir, semakin kecil kemungkinan
individu yang benar-benar memberikan pertolongan. Terdapat dua variabel
yang bisa mendukung dan menghambat individu untuk menolong orang lain
yang mengalami kesulitan, yaitu penyebaran tanggung jawab dan menghindari
kesalahan.
1. Penyebaran tanggung jawab
Bila tanggung jawab sosial merupakan keyakinan normatif yang jelas bagi
kelompoknya, maka kehadiran orang lain menyebabkan meningkatnya
kemungkinan dalam berperilaku prososial.
2. Menghindari kesalahan
Kehadiran orang lain bisa menjadi penghambat berperilaku prososial,
karena individu yang berada dalam kelompok orang banyak takut apabila
mereka melakukan kesalahan sosial. Apabila individu sedang sendiri, maka

4
5

tidak akan ragu-ragu dalam melakukannya. Namun, saat ada beberapa orang
di temapt, kecenderungannya adalah menunggu perintah daripada membuat
kesalahan dan terlihat kebodohannya. Individu yang menolong orang yang
mengalami kesulitan juga mempertimbangkan hadiah dan kerugian yang
diperoleh, suasana hati individu pada waktu itu, empati dan karakteristik
individu.
b) Mengurangi suatu tindak pelanggaran deterring a wrongdoer)
Adanya keinginan untuk menciptakan keamanan dengan mengurangi
pelanggaran dan adanya rasa tanggung jawab untuk memberikan bantuan
terhadap orang yang mengalami tindak pelanggaran. Komitmen utama terhadap
tanggung jawabnya akan meningkatkan kemungkinan untuk ikut serta dalam
berperilaku prososial.
c) Menahan godaan (resist temptation)
Individu seringkali dihadapkan pada pilihan antara melakukan apa yang
diketahui dengan mempertahankan perilaku moral atau melakukan cara
penyelesaian yang mudah melalui berbohong, berbuat curang, atau mencuri.
Hal tersebut sangat menggoda individu untuk melanggar aturan yang ada agar
memperoleh keuntungan dengan segera. Individu nampaknya lebih menyukai
melakukan kejahatan sederhana jika keuntungan yang diperoleh secara
potensial tinggi dan jika kemungkinan diketahui atau diungkap dan kerugian
yang diperoleh rendah. Meskipun demikian ada sejumlah orang yang
melakukan tindakan ilegal atau tidak bermoral namun masih banyak orang yang
mampu menahan goadaan tersebut.

3) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial


Menurut Sears, dkk. (1985), secara garis besar ada tiga kategori hal yang
mempengaruhi tindakan perilaku prososial, yakni:
a) Faktor situasi
1. Kehadiran orang lain
Menurut Bibb Latane & John Darley (dalam Sears, 1985)
mengemukakan bahwa kehadiran orang lain yang begitu banyak
mungkin telah menjadi alasan bagi tiadanya usaha untuk memberikan
pertolongan. Alasan mengapa kehadiran orang lain kadang-kadang
dapat menghambat perilaku menolong antara lain:
a. Penyebaran tanggung jawab
Bila hanya satu orang yang menyaksikan korban yang mengalami
kesulitan, maka orang tersebut mempunyai tanggungjawab penuh
untuk memberikan reaksi terhadap situasi tersebut dan akan
menanggung rasa salah dan rasa sesal bila tidak bertindak. Bila
orang lain juga hadir, pertolongan bisa muncul dari beberapa orang.
6

b. Ambiguitas
Analisis pengambilan keputusan menyatakan bahwa penolong
kadang-kadang tidak yakin apakah situasi tertentu benar-benar
merupakan situasi darurat.
c. Rasa takut dinilai
Menurut Baumeister (dalam Sears, 1985) bila kita mengetahui
bahwa orang lain memperhatikan perilaku kita, kita berusaha
melakukan apa yang menurut kita diharapkan oleh orang lain dan
memberikan kesan yang baik.
2. Kondisi lingkungan
Sejumlah penelitian membuktikan pengaruh kondisi lingkungan seperti
cuaca, ukuran kota, dan derajat kebisingan terhadap pemberian bantuan.
a. Cuaca
Dalam penelitian Cunningham (dalam Sears,1985) mengemukakan
bahwa orang lebih cenderung membantu bila hari cerah dan bila
suhu udara cukup menyenangkan (relatif hangat di musim dingin
dan relatif sejuk di musim panas). Dan dalam penelitian Ahmed
(dalam Sears,1985) mengamati bahwa orang lebih cenderung
menolong dalam cuaca cerah dari pada dalam cuaca mendung.
b. Ukuran kota
Menurut Amato (dalam Sears,1985) menemukan bahwa persentase
orang yang memberi bantuan lebih besar di kota kecil dari pada
dikota besar.
c. Kebisingan
Menurut hasil penelitian Mathews & Canon (dalam Sears,1985)
menyatakan bahwa suara bising yang keras menyebabkan orang
mengabaikan orang lain disekitarnya dan memotivasi mereka untuk
meninggalkan situasi tersebut secepatnya, sehingga menciptakan
penonton yang tidak begitu suka menolong.
3. Tekanan waktu
Berdasarkan hasil penelitian Batson, dkk. (dalam Sears,1985)
mengemukakan bahwa seseorang yang tergesa-gesa mempunyai
kecenderungan yang lebih kecil untuk menolong orang lain dibanding
mereka yang tidak mengalami tekanan waktu.
4. Model-model prososial
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa menurut teori belajar
sosial, bahwa tingkah laku prososial dapat mendorong seseorang untuk
memunculkan tindakan menolong kepada orang lain. Disamping model
prososial dalam dunia nyata, model-model yang menolong dalam media
7

juga. berkontribusi pada pembentukan norma sosial yang mendukung


tingkah laku prososial (Baron & Byrne, 2005).
b) Faktor Penolong
1. Kepribadian
Tampaknya hanya ciri-ciru kepribadian tertentu yang dapat mendorong
orang untuk memberikan pertolongan dalam beberapa jenis situasi dan
tidak dalam situasi yang lain. Misalnya, Satow (dalam Sears,1985)
mengamati bahwa orang yang mempunyai tingkat kebutuhan tinggi
untuk diterima secara sosial, tetapi hanya bila orang lain menyaksikan.
2. Suasana hati
Ada sejumlah bukti bahwa orang lebih terdorong untuk memberikan
bantuan bila mereka berada dalam suasana hati yang baik. Misalnya,
orang lebih cenderung menolong bila menemukan sekeping uang
ditempat telepon (Isen & Simmonds, dalam Sears 1985). Sebaliknya,
menurut Thompson, dkk. (dalam Sears,1985) bila suasana hati yang
buruk menyebabkan kita memusatkan perhatian pada diri kita sendiri
dan kebutuhan kita sendiri, maka keadaan itu akan mengurangi
kemungkinan untuk membantu orang lain.
3. Rasa bersalah
Keadaan psikologis yang mempunyai relevansi khusus dengan perilaku
prososial adalah rasa bersalah, perasaan gelisah yang timbul bila kita
melakukan sesuatu yang kita anggap salah. Keinginan untuk
mengurangi rasa bersalah bisa menyebabkan kita menolong orang lain
yang kita rugikan atau menghilangkannya dengan melakukan tindakan
yang baik.
4. Distres diri dan rasa empatik
Yang dimaksud distres diri adalah reaksi pribadi kita terhadap
penderitaan orang lain seperti perasaan terkejut, takut, cemas, prihatin,
tidak berdaya atau perasaan apapun yang kita alami. Sebaliknya yang
dimaksud dengan rasa empatik adalah perasaan simpati dan perhatian
terhadap orang lain, khususnya untuk berbagai pengalaman atau secara
tidak langsung merasakan penderitaan orang lain. Perbedaan yang
utamanya adalah bahwa penderitaan diri terfokus pada diri sendiri,
sedangkan rasa empatik terfokus pada si korban.
c) Orang yang Membutuhkan
1. Menolong orang yang kita sukai
Dalam penelitian tentang perilaku prososial menyimpulkan bahwa
karakteristik yang sama juga mempengaruhi pemberian bantuan.
Setidaknya dalam beberapa situasi, mereka yang memiliki daya tarik
fisik mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk menerima
8

bantuan. Perilaku prososial juga dipengaruhi oleh jenis hubungan antara


orang seperti yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Tidak peduli
apakah karena rasa suka, kewajiban sosial, kepentingan diri atau empati,
kita lebih suka menolong teman dekat daripada orang asing.
2. Menolong orang yang pantas ditolong
Seseorang akan lebih ingin menolong orang yang pantas di tolong dari
pada yang tidak. Mungkin seseorang akan merasa simpati dan prihatin
terhadap orang lain yang mengalami penderitaan bukan karena
kesalahannya sendiri, mungkin seseorang akan merasa marah dan benci
terhadap mereka yang bertanggungjawab atas masalah mereka sendiri.

B. Storytelling
1) Definisi Storytelling
Menurut Danandjaja (dalam Anggarini, 2014) storytelling atau mendongeng
adalah cerita khayali yang dianggap tidak benar – benar terjadi, baik oleh
penuturnya maupun oleh pendongarnya. Dongeng tidak terikat oleh ketentuan
normatif dan faktual tentang pelaku, waktu dan tempat. Pelakunya adalah makhluk
– makhluk khayali yang memiliki kebijaksanaan atau kekurangan untuk mengatur
masalah manusia dengan segala macam cara. Dongeng diceritakan terutama untuk
hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran atau bahkan moral.

2) Jenis-jenis Storytelling
Sumarjo dan Suratmi (dalam Anggarini, 2014) membagi dongeng menjadi
beberapa bagian yaitu, legenda, fabel, mite, dan sage.

a) Legenda
Legenda adalah jenis dongeng yang berhubungan dengan peristiwa sejarah
atau kejadian alam, misalnya tejadinya sesuatu nama tempat dan bentuk
topografi suatu daerah, yaitu bentuk permukaan suatu daerah (bukit, jurang,
dan sebagainya.
b) Fabel
Cerita binatang (fables, fabel) adalah salah satu bentuk cerita (tradisional)
yang menampilkan binatang sebagai tokoh cerita. Binatang – binatang
tersebut dapat berpikir dan berinteraksi layaknya komunitas manusia, juga
dengan permasalahan hidup layaknya manusia.
c) Mite
Mite atau mitos adalah dongeng yang mengandung unsur – unsur misteri,
dunia gaib, dan alam dewa yang dianggap benar – benar terjadi oleh
masyarakat pemilik mite tersebut.
d) Sage
9

Sage merupakan dongeng yang mengandung unsur sejarah, dilengkapi


dengan unsur kesaktian dan keajaiban.
3) Manfaat Storytelling
Banyak sekali manfaat yang bisa kita peroleh melalui dongeng menurut
Asfandiyar (dalam Kusumastuti, 2010) antara lain:
a) Penanaman nilai-nilai
Storytelling merupakan sarana untuk “mengatakan tanpa mengatakan”,
maksudnya storytelling dapat menjadi sarana untuk mendidik tanpa perlu
menggurui. Pada saat mendengarkan dongeng, anak dapat menikmati
cerita dongeng yang disampaikan sekaligus memahami nilai-nilai atau
pesan yang terkandung dari cerita dongeng tersebut tanpa perlu diberi tahu
secara langsung atau mendikte. Pendongeng hanya mendongengkan tanpa
perlu menekankan atau membahas tersendiri mengenai nilai-nilai yang
terkandung dalam cerita dongeng tersebut.
b) Mampu melatih daya konsentrasi
Storytelling sebagai media informasi dan komunikasi yang digemari
anak-anak, melatih kemampuan mereka dalam memusatkan perhatian
untuk beberapa saat terhadap objek tertentu. Ketika seorang anak sedang
asyik mendengarkan dongeng, biasanya mereka tidak ingin diganggu. Hal
ini menunjukkan bahwa anak sedang berkonsentrasi mendengarkan
dongeng.
c) Mendorong anak mencintai buku dan merangsang minat baca anak
Storytelling dengan media buku atau membacakan cerita kepada anak-
anak ternyata mampu mendorong anak untuk mencintai buku dan gemar
membaca. Anak dapat berbicara dan mendengar sebelum ia belajar
membaca. Tulisan merupakan sistem sekunder bahasa, yang pada awal
membaca harus dihubungkan dengan bahasa lisan. Oleh karena itu,
pengembangan sistem bahasa yang baik sangat penting untuk
mempersiapkan anak belajar membaca. Storytelling dapat menjadi contoh
yang efektif bagi anak mengenai cara membaca. Storytelling dengan
media buku dapat menjadi stimulasi yang efektif, karena pada saat itu
minat baca anak mulai tumbuh.

C. Hubungan Antara Perilaku Prososial dengan Metode Strorytelling


Dari hasil penelitian Susanti, dkk. (2016) mengatakan ada berbagai macam
metode yang digunakan untuk mengajarkan nilai perilaku prososial kepada anak,
antara lain bimbingan dan motivasi, penjelasan pentingnya nilai perilaku, instruksi
langsung, pemberian contoh perilaku melalui situasi sehari-hari maupun
pembelajaran nilai perilaku melalui pembacaan cerita, lagu, video dan kegiatan
simulasi atau bermain peran. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Adlis (2011)
10

dalam skripsinya mengatakan bahwa Cerita berjenis fabel yang disampaikan oleh
guru sebagai partisipan terbukti efektif digunakan untuk meningkatkan perilaku
prososial pada anak. Hal ini dapat dilihat dari perubahan yang terjadi secara
kuantitatif dan secara kualitatif.
Berdasarkan beberapa hasil tersebut, dapat dikatakan bahwa pembacaan cerita
(storytelling) memiliki pengaruh terhadap perilaku prososial atau dapat dikatakan
bahwa kedua variabel ini memiliki hubungan.

D. Kerangka Konsep
Dengan dibacakan sebuah cerita diharapkan dapat meningkatkan perilaku
prososial pada anak usia 9-10 tahun, maka kerangka pemikiran dapat
digambarkan sebagai berikut :

Pretest Posttest
Pembacaan cerita
1&2 1&2

Perilaku Perilaku
Prososial Prososial
Meningkat

E. Hipotesis
H0 : Tidak terdapat pengaruh metode storytelling dalam meningkatkan perilaku
prososial pada anak usia pertengahan.
Ha : Terdapat pengaruh metode storytelling dalam meningkatkan perilaku prososial
pada anak usia pertengahan.
11

BAB III
METODELOGI

A. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kuantitatif yaitu metode
penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi
atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat
kuantitatif/statistik, dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono,
2013). Jenis penelitian ini adalah kuantitatif eksperimen yang menurut Yusuf (2010) merupakan
suatu tipe penelitian yang digunakan untuk melihat pengaruh antara satu atau beberapa ubahan
dengan satu atau beberapa ubahan yang lain.
Penelitian ini ditujukan untuk melihat sejauh mana pengaruh suatu variabel terhadap variabel
lain. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel independen atau variabel X adalah metode
storytelling, sedangkan yang menjadi variabel dependen atau variabel Y adalah perilaku prososial.

B. Variabel Eksperimen

Variabel dalam penelitian:

(1) Variabel bebas


Variabel bebas pada penelitian ini adalah pembacaan cerita (storytelling). Dimana
pembacaan cerita dalam penelitian ini adalah cerita berjenis fabel yang mengandung
pendidikan prososial bertemakan persahabatan yang mana subjek di instruksikan untuk
mendengarkan dan memperhatikan peneliti bercerita menggunakan boneka tangan.
(2) Variabel terikat
Variabel terikat pada peelitian ini adalah perilaku prososial pada anak. Perilaku prososial
yang dimaksud adalah perilaku prososial yang tampak selama di lingkungan sekolah.
(3) Variabel sekunder
Variabel sekunder pada penelitian ini adalah :
a. Jenis kelamin (dikontrol dengan teknik randomisasi, yaitu memilih subjek secara acak,
dimana kedua subjek terdiri dari perempuan dan laki-laki)
b. Kelas (dikontrol dengan konstansi, yaitu memilih subjek yang berada pada kelas yang
sama).

C. Definisi Operasional
1) Perilaku prososial
Perilaku prososial merupakan suatu bentuk perilaku yang memberikan keuntungan pada orang
lain, namun tidak memberikan keuntungan yang jelas bagi individu yang bersangkutan yang
12

mencakup perilaku menolong orang lain yang kesulitan, mengurangi suatu tindak pelanggaran,
dan dapat menahan goadaan pada anak usia pertengahan dalam lingkungan sosialnya.
2) Metode storytelling
Metode storytelling merupakan suatu metode dengan menceritakan suatu dongeng khayali atau
menyampaikan peristiwa dalam kata-kata dan suara sering diberi improvisasi dan menambah-
nambahi. Dalam penelitian ini, metode storytelling yang digunakan adalah berjenis fabel yang
mengandung pendidikan prososial bertemakan persahabatan.

D. Populasi dan Sampel


1) Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempuyai
kualitas dan karakter yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik
kesimpulannya (Sugiyono, 2013). Populasi dalam penelitian ini adalah siswa Sekolah Dasar
Negeri 09 Belakang Balok Kota Bukittinggi. Hal ini dikarenakan sesuai dengan wawancara yang
peneliti lakukan bahwa pada sekolah ini masih ada anak yang bermasalah dalam perilaku prososial.

2) Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut
(Sugiyono, 2013). Sejalan dengan itu, sampel menurut Yusuf (2010) adalah sebagian dari populasi
yang terpilih dan mewakili populasi tersebut, jadi sampel merupakan perwakilan dari populasi
yang telah menggambarkan atau mewakili sesuai dengan kriterianya. Teknik pengambilan sampel
dalam penelitian ini adalah purposive sampling.
Teknik purposive sampling menurut Yusuf (2010) ialah penentuan sampel yang dilandasi
tujuan dan pertimbangan-pertimbangan tertentu terlebih dahulu atau didasarkan pada maksud yang
telah ditetapkan sebelumnya. Karakteristik sampel dalam penelitian ini adalah:
a) Siswa Sekolah Dasar Negeri 09 Belakang Balok yang masih aktif bersekolah.
b) Siswa Sekolah Dasar Negeri 09 Belakang Balok yang berumur 8-10 tahun
c) Siswa Sekolah Dasar Negeri 09 Belakang Balok yang memiliki perilaku prososial
bermasalah.
Dalam memilih siswa yang bermasalah dalam perilaku prososial, peneliti mengambil sampel
yang telah direkomendasikan oleh wali kelas yang bersangkutan di Sekolah Dasar Negeri 09
tersebut.

E. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian eksperimen time series design. Time series
design merupakan desain penelitian eksperimen dimana dalam desain ini pengukuran
dilakukan berulang-ulang, baik sebelum manipulasi maupun sesudah diberikan manipulasi
(Seniati, dkk., 2005). Dimana dalam penelitian ini hanya terdapat satu kelompok yang
diberikan perlakuan/intervensi yang disebut kelompok eksperimen. Dalam kelompok ini, akan
diberikan pretest dan posttest. Dimana pretest dan posttest ini dilakukan dengan metode
13

observasi. Di antara pretest dan posttest akan dilakukan intervensi ke kelompok eksperimen
ini.

O1 O2 Intervensi O3 O4

Di awal, Pretest dilakukan sebanyak dua kali dengan tujuan melihat seberapa besar perilaku
prososial yang dimiliki anak. Peneliti akan melakukan observasi behavioural untuk melihat
perilaku prososial anak. Selanjutnya peneliti akan memberikan metode storytelling sebagai
bentuk intervensi kepada anak yang diharapkan dapat meningkatkan perilaku prososial pada
anak. Cerita yang dijadikan intervensi adalah storytelling berjenis fabel. Dan di akhir
penelitian, akan dilakukan posttest sebanyak dua kali pula untuk melihat hasil dari intervensi
yang telah dilakukan. Posttest dilakukan sama halnya dengan pretest dilakukan. Hasil posttest
dan prestest nantinya yang akan dianalisa untuk hasil penelitian.

F. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
observasi. Observasi merupakan sebuah proses melihat dan mencatat informasi tentang tingkah
laku secara sistematik untuk tujuan membuat keputusan (Cartwright & Cartwright, 1984).
Observasi akan dilakukan selama jam sekolah dasar berlangsung. Data observasi akan
dikumpulkan dengan menggunakan frekuensi rendahnya perilaku prososial yang terjadi dengan
form tally atau yang biasa disebut behavior tallying, yaitu prosedur perhitungan observasi
perilaku dengan jalan menghitung frekuensi perilaku dan waktu terjadi perilaku (Cartwright &
Cartwright, 1974).
Sebelumnya peneliti melakukan tahap persiapan yang berupa kegiatan observasi untuk
pengambilan data awal, penentuan subjek penelitian, penyususnan instrumen penelitian,
pembuatan media yang digunakan untuk pembacaan cerita berupa boneka tangan, disiapkan
desain buku panduan pembacaan cerita agar sesuai dengan tujuan awal penelitian ini.

Tabel 1. Blueprint Perilaku Prososial


Sub Aspek
No. Aspek Perilaku
(Indikator)
1. Menolong Penyebaran  Menghibur teman yang
orang lain tanggungjawab sedang menangis
yang kesulitan  Menolong teman
(helping a menyelesaikan tugas
stranger  Mengambilkan
distress). makanan/barang untuk
teman
 Melihat guru saat
menerangkan
14

 Berbagi kue/makan
siang dengan teman
 Meminjamkan pena
 Membantu guru
membagikan buku tulis
 Mengajak bermain
bersama
 Bercerita tentang dirinya
(dengan teman ataupun
guru)
 Mendengarkan teman
berbicara.
Menghindari  Meletakkan mainan
kesalahan yang dimainkan
ketempat semula tanpa
diperintah
 Bermain bergiliran
2. Mengurangi Tidak melanggar  Memasuki kelas secara
suatu tindak aturan bergiliran
pelanggaran  Keluar kelas secara
(Deterring a bergiliran
wrongdoer).  Merapikan barisannya
 Ikut bermain tanpa
membuat masalah/gaduh
 Tidak menyontek
Menegur teman yang  Menegur teman yang
berbuat salah mengganggu teman
yang lain
 Menegur teman yang
tidak mau bergiliran,
dan
 Menegur teman yang
tidak membereskan
mainan setelah bermain.
Mengantri  Mengantri saat membeli
makanan,
Menghargai  Tidak menghina teman,
pekerjaan teman  Tidak merebut mainan
teman,
15

 Tidak merusak mainan


teman.
3. Menahan Mempertahankan  Tidak menanggapi
godaan (resist perilaku bermoral teman yang mengajak
temptation). berkelahi.
 Menolak ajakan teman
untuk menjaili teman
lain.
Melakukan cara  Mengakui kesalahan
penyelesaian yang  Meminta maaf
baik

G. Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang digunakan adalah dilakukan secara kuantitaif dilakukan dengan
menggunakan grafik frekuensi perubahan perilaku. Penggunaan grafik sebagai teknik analisa dan
interpretasi data, merujuk pada penjelasan Cartwright & Cartwright (1974), bahwa informasi yang
diperoleh dari tally frekuensi perilaku ataupun pencatatan durasi waktu perilaku, pada umumnya
akan lebih mudah dalam penggunaan dan dalam interpretasi data ditransfer kedalam bentuk grafik
(chart), sehingga untuk menganalisis data dilakukan dengan menganalisis frekuensi perilaku
subjek penelitian.

You might also like