Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pioderma merupakan penyakit yang sering dijumpai. Di bagian ilmu
penyakit kulit dan kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
insidennya menduduki posisi ketiga, dan berhubungan erat dengan keadaan
sosial- ekonomi.
Impetigo berasal dari bahasa Latin yang berarti serangan, dan telah
digunakan untuk menjelaskan gambaran seperti letusan berkeropeng yang biasa
nampak pada daerah permukaan kulit. Selain disebabkan oleh bakteri gram
positif, dapat juga disebabkan oleh bakteri gram negatif. Penyebab yang umum
ialah bakteri gramm positif, yaitu Streptococcus dan Staphylococcus.

1.2 Tujuan
1. Untuk memenuhi tugas makalah ilmu penyakit kulit.
2. Untuk mengetahui lebih rinci tentang impetigo dan cara
penanganannya.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Impetigo adalah bentuk pioderma superfisialis (yang paling sederhana)
yaitu terbatas pada epidermis.

Gambar 1. Impetigo krustosa

2.2 Epidemiologi

Penyakit infeksi kulit masih merupakan masalah utama penyebab


tingginya angka morbiditas pada anak-anak terutama di negara-negara
berkembang dan wilayah beriklim tropis.1 Penyakit infeksi ini sering di jumpai
pada anak karena daya tahan kulit terhadap invasi kuman patogen belum
sesempurna orang dewasa. Sebanyak 18 studi prevalensi populasi umum di
Negara berkembang melaporkan prevalensi yang tinggi untuk penyakit infeksi
kulit (21- 87%). Gangguan yang paling umum pada anak adalah pioderma (0,2-
35%) di ikuti dengan tinea kapitis (1-19,7%), skabies (0,2-24%), dan gangguan
kulit akibat virus (0,4-9%).
Pioderma merupakan suatu infeksi bakteri kulit yang sering di derita
anakanak. Pioderma adalah infeksi kulit yang disebabkan oleh kuman
staphylococcus aureus dan streptococcus. Dari 18 penelitian bakteriologi
menunjukan bahwa streptococcus group A merupakan etiologi utama pioderma
di banyak Negara berkembang tropis diikuti staphylococcus aureus.
Impetigo dapat mengenai semua umur, namun yang paling sering dikenai
adalah anak-anak usia 2-6 tahun. Di Amerika Serikat, kurang lebih 9 – 10 %

2
dari anak-anak yang datang ke klinik kulit menderita impetigo. Perbandingan
antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah sama. Impetigo lebih
sering menyerang anak-anak, jenis yang terbanyak (kira-kira 90%) adalah
impetigo bullosa yang terjadi pada anak yang berusia kurang dari 2 tahun.

Impetigo biasanya ditularkan melalui kontak langsung. Dalam sebuah


penelitian di Inggris, menyebutkan bahwa insiden dari impetigo adalah 2,8%
terjadi pada anak-anak di usia di bawah 4 tahun dan 1,6% pada anak-anak usia
5-15 tahun. Impetigo non bulosa meliputi kira-kira 70% dari semua kasus
impetigo. Pasien dapat menyebarkan infeksinya ke bagian kulit lain atau orang
lain setelah menggaruknya. Infeksi sering menyebar dengan cepat melalui
sekolah dan tempat penitipan anak. Walaupun anak-anak sering terinfeksi
melalui kontak langsug dengan anak lain yang terinfeksi, fomites (pakaian,
barang-barang dan benda lain yang sering bersentuhan dengan kulit) juga
menjadi bagian penting dalam penyebaran impetigo. Insiden terbanyak terjadi
pada musim panas, dan infeksi sering terjadi di daerah dengan kebersihan yang
buruk dan tepat tinggal yang padat penduduk.
Hampir semua anak pernah mengalami infeksi kulit. Terjadinya infeksi
kulit terutama pioderma mempunyai hubungan erat dengan beberapa faktor
predisposisi antara lain higiene perorangan yang buruk dan sanitasi lingkungan
yang kurang, gizi di hubungkan dengan berat badan serta aktifitas fisik anak
sehari-hari, kondisi imunologis menurunnya daya tahan karena kurang gizi,
anemia, penyakit keganasan, penyakit menahun, diabetes mellitus, dan telah
adanya penyakit lain di kulit sehingga fungsi kulit terganggu dan memudahkan
terjadi infeksi.

3
2.3 Etiologi

Bakteri staphylococcus aureus dan streptococcus beta-hemolitikus grup


A (Group A betahemolytic streptococci / GABHS) atau sering dikenal sebagai
streptococcus pyogenes, baik dapat sebagai penyebab tunggal atau bersamaan
adalah penyebab yang paling tersering.

Gambar 2. Streptococcus pyogenes

2.4 Klasifikasi

Impetigo diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu:


2.4.1 Impetigo krustosa
Impetigo krustosa disebut juga impetigo kontagiosa, impetigo
vulgaris, dan impetigo Tillbury Fox. Biasanya disebabkan oleh
Streptococcus β hemolyticus.

Gambar 3. Impetigo krustosa

4
Gejala klinis
Tidak disertai dengan gejala umum, hanya terdapat pada anak –
anak. Tempat predileksi di daerah wajah, yaitu disekitar mulut dan
lubang hidung karena dianggap sumber infeksi dari daerah tersebut.
Kelainan kulit berupa eritema dan vesikel yang cepat pecah sehingga jika
penderita datang berobat yang terlihat ialah krusta tebal berwarna kuning
madu. Jika dilepaskan tampak erosi dibawahnya. Sering krusta menyebar
ke perifer dan sembuh di bagian tengah.

Diagnosa Banding
Ektima

Gambar 4. Ektima

Pengobatan
Jika krusta sedikit, dilepaskan dan diberi salap antibiotik. Pada
krusta yang lebih banyak diberikan antibiotik sistemik.

5
2.4.2 Impetigo bulosa
Sedangkan impetigo bulosa disebut juga impetigo vesiko-
bulosa, dan cacar monyet.

Gambar 5. Impetigo bulosa

Gejala klinis
Tempat predileksi di ketiak, dada, punggung. Sering bersama-sama
miliaria. Terdapat pada anak dan orang dewasa. Kelainan kulit berupa
eritema, bula dan bula hipopion. Kadang-kadang saat penderita datang
berobat, vesikel/bula telah pecah sehingga yang tampak hanya koleret
dan dasarnya masih eritematosa.

6
Diagnosis Banding
Jika vesikel atau bula telah pecah dan hanya terdapat koleret dan
eritema, maka mirip dermatofitosis. Pada anamnesis hendaknya
ditanyakan, apakah sebelumnya terdapat lepuh. Jika ada, diagnosisnya
adalah impetigo bulosa.

Gambar 6. Dermatofitosis
Pengobatan
Jika terdapat hanya beberapa vesikel/bula, dipecahkan lalu diberi
salap antibiotik atau cairan antiseptik. Jika banyak, berikan antibiotik
sistemik.

2.4.3 Impetigo Neonatorum


Penyakit ini merupakan impetigo bulosa yang terdapat pada
neonatus. Kelainan kulit yang sama hanya saja lokasi pada neonatus
menyeluruh dan dapat disertai demam.

Gambar 7. Impetigo neonatorum

7
Diagnosis Banding
Diagnosa banding dari impetigo neonatorum adalah Sifilis
kongenital. Pada penyakit ini bula juga terdapat pada telapak tangan dan
kaki, adanya snuffle nose, saddle nose dan pseudo paralisis parrot.

Gambar 8. Sifilis kongenital

Pengobatan
Pada pengobatan diberikan antibiotik secara sistemik dan bedak
salisil 2% secara topikal.

8
2.5 Patogenesa

Impetigo adalah infeksi yang disebabkan oleh Streptococcus beta


hemolyticus grup A (GABHS) atau Streptococcus aureus. Organisme tersebut

9
masuk melalui kulit yang terluka melalui transmisi kontak langsung. Setelah
infeksi, lesi yang baru mungkin terlihat pada pasien tanpa adanya kerusakan
pada kulit. Seringnya lesi ini menunjukkan beberapa kerusakan fisik yang tidak
terlihat pada saat dilakukan pemeriksaan. Impetigo memiliki lebih dari satu
bentuk. Beberapa penulis menerangkan perbedaan bentuk impetigo dari strain
Staphylococcus yang menyerang dan aktivitas eksotoksin yang dihasilkan.
Streptococcus masuk melalui kulit yang terluka dan melalui transmisi
kontak langsung, setelah infeksi, lesi yang baru mungkin terlihat pada pasien
tanpa adanya kerusakan pada kulit. Bentuk lesi mulai dari makula eritema yang
berukuran 2 – 4 mm. Secara cepat berubah menjadi vesikel atau pustula.
Vesikel dapat pecah spontan dalam beberapa jam atau jika digaruk maka akan
meninggalkan krusta yang tebal, karena proses dibawahnya terus berlangsung
sehingga akan menimbulkan kesan seperti bertumpuk-tumpuk, warnanya
kekuning-kuningan. Karena secara klinik lebih sering dilihat krusta maka
disebut impetigo krustosa. Krusta sukar diangkat, tetapi bila berhasil akan
tampak kulit yang erosif.
Impetigo bulosa adalah suatu bentuk impetigo dengan gejala utama
berupa lepuh-lepuh berisi cairan kekuningan dengan dinding tegang, terkadang
tampak hipopion.
Mula-mula berupa vesikel, lama kelamaan akan membesar menjadi bula yang
sifatnya tidak mudah pecah, karena dindingnya relatif tebal dari impetigo
krustosa. Isinya berupa cairan yang lama kelamaan akan berubah menjadi
keruh karena invasi leukosit dan akan mengendap. Bila pengendapan terjadi
pada bula disebut hipopion yaitu ruangan yang berisi pus yang mengendap, bila
letaknya di punggung, maka akan tampak seperti menggantung.

10
2.5.1. Patogenesa Pada Impetigo Krustosa
Cara infeksi pada impetigo krustosa ada 2, yaitu infeksi primer dan
infeksi sekunder.

a. Infeksi Primer
Infeksi primer, biasanya terjadi pada anak-anak. Awalnya, kuman
menyebar dari hidung ke kulit normal (kira-kira 11 hari), kemudian
berkembang menjadi lesi pada kulit. Lesi biasanya timbul di atas kulit
wajah (terutama sekitar lubang hidung) atau ekstremitas setelah trauma.

b. Infeksi sekunder
Infeksi sekunder terjadi bila telah ada penyakit kulit lain
sebelumnya (impetiginisasi) seperti dermatitis atopik, dermatitis statis,
psoriasis vulgaris, SLE kronik, pioderma gangrenosum, herpes simpleks,
varisela, herpes zoster, pedikulosis, skabies, infeksi jamur dermatofita, gigitan
serangga, luka lecet, luka goresan, dan luka bakar, dapat terjadi pada semua
umur. Impetigo krustosa biasanya terjadi akibat trauma superfisialis
dan robekan pada epidermis, akibatnya kulit yang mengalami trauma
tersebut menghasilkan suatu protein yang mengakibatkan bakteri dapat
melekat dan membentuk suatu infeksi impetigo krustosa. Keluhan biasanya
gatal dan nyeri. Impetigo krustosa sangat menular, berkembang dengan
cepat melalui kontak langsung dari orang ke orang. Impetigo banyak
terjadi pada musim panas dan cuaca yang lembab. Pada anak-anak
sumber infeksinya yaitu binatang peliharaan, kuku tangan yang kotor,
anak-anak lainnya di sekolah, daerah rumah kumuh, sedangkan pada dewasa
sumbernya yaitu tukang cukur, salon kecantikan, kolam renang, dan dari anak-
anak yang telah terinfeksi.

11
2.6 Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa dan gambaran klinis dari
lesi. Kultur dilakukan bila terdapat kegagalan pengobatan dengan terapi
standar, biopsy jarang dilakukan. Biasanya diagnose dari impetigo dapat
dilakukan tanpa adanya tes laboratorium. Namun demikian, apabila diagnosis
tersebut masih dipertanyakan, tes mikrobiologi pasti akan sangat menolong.

2.6.1 Pemeriksaan Kulit dan Gambaran Klinis


a. Impetigo Krustosa
Impetigo krustosa disebabkan oleh streptococcus B hemolyticus.
Padanya tidak disertai gejala umum yang khas, namun hanya terdapat
pada anak. Tempat predileksi di wajah, yakni di sekitar lubang hidung
dan mulut karena dianggap sumber infeksi dari daerah tersebut.
Kelainan kulit berupa eritema dan vesikel yang cepat memecah
sehingga jika penderita datang berobat yang terlihat ialah krusta tebal
berwarna kuning seperti madu. Jika dilepaskan tampak erosi di
bawahnya. Sering krusta menyebar ke perifer dan sembuh di bagian
tengah.

12
Impetigo krustosa dapat terjadi di mana saja pada tubuh, tetapi
biasanya pada bagian tubuh yang sering terpapar dari luar misalnya
wajah, leher, dan ekstremitas. Impetigo Krustosa diawali dengan
munculnya eritema berukuran kurang lebih 2 mm yang dengan cepat
membentuk vesikel, bula atau pustul berdinding tipis. Kemudian
vesikel, bula atau pustul tersebut rupture menjadi erosi kemudian
eksudat seropurulen mengering dan menjadi krusta yang berwarna
kuning keemasan (honey-colored) dan dapat meluas lebih dari 2 cm.
Lesi biasanya berkelompok dan sering konfluen meluas secara
irreguler. Pada kulit dengan banyak pigmen, lesi dapat disertai
hipopigmentasi atau hiperpigmentasi. Krusta pada akhirnya
mengering dan lepas dari dasar yang eritema tanpa pembentukan
jaringan scar. Lesi dapat membesar dan meluas mengenai lokasi baru
dalam waktu beberapa minggu apabila tidak diobati. Pada beberapa
orang lesi dapat remisi spontan dalam 2-3 minggu atau lebih lama
terutama bila terdapat penyakit akibat parasit atau pada iklim panas
dan lembab, namun lesi juga dapat meluas ke dermis membentuk
ulkus (ektima).

b. Impetigo Bulosa
Keadaan umum tidak dipengaruhi. Tempat predileksi di aksila,
dada, punggung. Sering bersama-sama milaria. Terdapat pada anak
dengan dan orang dewasa. Kelainan kulit berupa eritema, bula, dan
bula hipopion. Kadang-kadang waktu penderita datang berobat,
vesikle/bula telah memecah sehingga yang tampak hany koleret dan
dasarnya masih eritematosa.

13
c. Impetigo Neonatorum
Penyakit ini merupakam varian impetigo bulosa yang terdapat
pada neonatus. Kelainana kulit berupa impetigo bulosa hanya
lokasinya menyeluruh, dapat disertai demam.

2.6.2 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan darah rutin
lekositosis ringan hanya ditemukan pada 50% kasus pasien
dengan impetigo. Pada kasus-kasus yang kronik dan sukar sembuh
dilakukan kultur dan tes resistensi. Ada kemungkinan penyebabnya
bukan stafilokokus atau streptokokus melainkan kuman negatif gram.
Hasil tes resistensi hanya bersifat menyokong, in vivo tidak sesuai
dengan in vitro. Pemeriksaan urinalisis perlu dilakukan untuk
mengetahui apakah telah terjadi glomerulonefritis akut pasca

14
streptococcus (GNAPS), yang ditandai dengan hematuria dan
proteinuria.

b. Pemeriksaan imunologis
Pada impetigo yang disebabkan oleh streptococcus dapat
ditemukan peningkatan kadar anti deoksiribonuklease (anti DNAse) B
antibody.
c. Pemeriksaan mikrobiologis
Eksudat yang diambil di bagian bawah krusta dan cairan yang
berasal dari bulla dapat dikultur dan dilakukan tes sensitivitas. Hasil
kultur bisa memperlihatkan S. pyogenes, S. aureus atau keduanya. Tes
sensitivitas antibiotic dilakukan untuk mengisolasi metisilin resisten S.
aureus (MRSA) serta membantu dalam pemberian antibiotik yang
sesuai. Pewarnaan gram pada eksudat memberikan hasil gram positif.

Gambar 9. Pewarnaan gram (+) dan gram (-)

2.7 Diagnosis Banding

Pada impetigo krustosa yang dapat dijadikan diagnosa banding adalah


ektima. Pada impetigo bulosa, jika vesikel/bula telah pecah dan hanya terdapat
koleret dan eritema, maka mirip dermatofitosis. Pada anamnesis hendaknya

15
ditanyakan, apakah sebelumnya terdapat lepuh. Jika ada, diagnosisya ialah
impetigo bulosa.

Pada impetigo neonatorum, dapat didiagnosa banding dengan sifilis


kongenital. Pada penyakit ini bula juga terdapat di telapak tangan dan kaki,
terdapat pula snuffle nose, saddle nose, dan pseudo paralisis Parrot.

2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Umum
 Menjaga kebersihan agar tetap sehat dan terhindar dari infeksi
kulit
 Mengganti pakaian tiap berkeringat dan mandi dengan air bersih
 Tidak saling tukar menukar dalam menggunakan peralatan
pribadi (handuk, pakaian, alat cukur, dan lain-lain)
 Memperkuat daya tahan tubuh, seperti mengonsumsi buah-
buahan, multivitamin, dan beristirahat cukup

2.8.2 Khusus
Berbagai obat dapat digunakan sebagai pengobatan pioderma.

2.8.2.1 Topikal
1. Penisilin G prokain dan semisintetiknya
a. Penisilin G prokain
Dosis 1,2 juta per hari, i.m. Obat ini tidak dipakai lagi karena tidak
praktis, diberikan i.m. dengan dosis tinggi, dan makin sering terjadi syok
anafilaktik

16
b. Ampisilin
Dosis 4 x 500 mg, diberikan sejam sebelum makan

Dewasa Anak
- 250 – 1000 mg – tiap 6 jam Setengah dosis dewasa

Sediaan : KapTab 250 mg, 500 mg, Dry Syrup 125 mg/5 ml, 250 mg/ 5
ml, Serbuk Inj. 500 mg/vial, 1000 mg/ vial.

c. Amoksisilin
Dosis sama dengan ampisilin, keuntungan lebih praktis karena
dapat diberikan setelah makan. Juga cepat diabsorbsi dibandingkan dengan
ampisilin sehingga konsentrasi dalam plasma lebih tinggi.

Dewasa Anak
3 x 250-500 mg 15 mg/KgBB/hari terbagi dalam 3
dosis , selama 5-7 hari

Pemakaian : 3 x / hari
Sediaan : Kapsul 250 mg, KapTab 500 mg, Dry Syrup 125 mg/5 ml, 250
mg/ 5 ml

17
d. Golongan obat penisilin resisten penisilinase
Yang termasuk golongan ini, contohnya : oksasilin, kloksasilin,
dikloksasilin, flukloksasilin. Dosis kloksasilin 3 x 250 mg per hari
sebelum makan. Golongan obat ini mempunyai kelebihan karena juga
berkhasiat bagi staphylococcus aureus yang telah membentuk penisilinase.

Dewasa Anak
4 x 250 mg – 500 mg / hari selama 50 mg/KgBB/hari terbagi dalam 4
5-7 hari dosis, selama 5-7 hari

2. Linkomisin dan klindamisin


Dosis linkomisin 3 x500 mg sehari. Klindamisin diabsorbsi lebih baik
karena itu dosisnya lebih kecil, yakni 4 x 150 mg sehari per oral. Pada infeksi
berat dosisnya 4 x 300-450 mg sehari. Obat ini efektif untuk pioderma di
samping golongan obat penisilin resisten penisilinase.Efek samping yang
disebut di kepustakaan berupa kolitis psudomembranosa, belum pernah penulis
temukan. Linkomisin tidak dianjurkan lagi dan diganti dengan klindamisin
karena potensi antibakterianya lebih besar, efek samping lebih sedikit, pada
pemberian oral tidak terlalu dihambat oleh adanya makanan dalam lambung.

18
3. Eritromisin
Dosisnya 4x500 mg sehari per oral. Efektivitasnya kurang dibandingkan
dengan linkomisin/klindamisin dan obat golongan penisilin resisten
penisilinase. Obat ini cepat menyebabkan resistensi. Sering memberi rasa tak
enak di lambung.

Dosis dewasa Dosis Anak


4 x 250-500 mg/hari Dosisi lazim th/ = < 2 thn : 125 mg (tiap
ATAU 500-1000 mg (tiap 12 jam) 6 jam)
- 2-8 thn : 250 mg (tiap 6 jam)
Dosis max = 4 g/ hari - > 8 Thn : sama dgn Dosis Dewasa
Atau
20-50 mg/KgBB/hari

Pemakaian : 2 – 4 x / hari
Sediaan : Kapsul 250 mg. 500 mg, Syrup 200 mg / 5 ml

4. Sefalosporin
Pada pioderma yang berat atau yang tidak memberi respons dengan obat-
obat tersebut di atas, dapat digunakan sefalosporin. Ada empat generasi yang
berkhasiat untuk kuman gram positif ialah generasi 1, juga generasi IV.
Contohnya cefadroksil dari generasi I dengan dosis untuk orang dewasa 2 x
500 mg atau 2 x 1000 mg sehari.

Dewasa Anak
2 x 500 – 1000 mg/hari selama 5-7 hari 10-25 mg/KgBB/hari terbagi dalam 3
dosis, selama 5-7 hari

19
Pilihan Terapi :
a. Pilihan Pertama ( Golongan ß lactam )
Golongan Penicillin ( Bakterisid)
 Amoksisilin + asam klavulanat
Dosis 2 X 250-500 mg/hari (25 mg/kgBB) selama 10 hari.

Golongan Sefalosporin generasi ke 1 (bakteriasid)


 Sefaleksin
Dosis 4 X 250-500 mg/hari (40-50 mg/kgBB) selama 10 hari
 Kloksasilin
Dosis 4 x 250-500 mg/hari selama 10 hari

b. Pilihan kedua
Golongan makrolida (bakteriostatik)
 Eritromisin
Dosis 30-50 mg/kgBB/hari
 Azitromisin
Dosis 500mg/hari untuk hari ke 1 dan 250 mg/hari ke 2 sampai hari
ke 4.

2.8.2.2 Terapi topikal


Penderita diberikan AB topical bila lesi terbatas, terutama pada
wajah dan penderisa sehat secara fisik. Pemberian obat topical ini sebagai
prolaksis terhadap penularan infeksi pada saat anak melakukan aktivitas di
sekolah atau tempat lain. Antibiotik topikal diberikan 2-3 kali sehari
selama 7-10 hari.
 Mupirocin
Muficin (pseudomonic acid) merupakan AB yang berasal dari
Pseudomonas fluorescent. Mekanisme kerja mupirocin yaitu
menghambat sintesis protein (Asam amino) dengan mengikat isoleusil-
tRNA sintetase sehingga menghambat aktivitas coccus Garam positif

20
seperti Staphylococcus dan sebagian besar Streptococcus. Salap
mupirocin 2% diindikasikan untuk pengobatan impetigo yang
disebabkan Staphylococcus dan streptococcus Pyogenes.
 Asam fusidat
Merupakan antibiotik yang berasal dari fusidium coccineum.
Mekanisme kerja asam fusidat yaitu menghambat sintesi protein. Salap
atau krim asam fusidat 2% aktif melawan Gram positif dan telah teruji
sama efektif dengan mupirocin topikal.
 Bacitracin
Bacitracin merupakan antibiotik polipeptida siklik yang berasal dari
Strain Bacillus Subtilis. Mekanisme kerjanya yaitu menghambat
sintesis dinding sel bakteri dengan menghambat defosforilasi ikatan
membrane lipid pirofosfat sehingga aktif melawan coccus Gram positif
seperti Staphylococcus dan Streptococcus. Bacitricin topikal efektif
untuk pengobatan infeksi bakteri superficial kulit seperti impetigo.
 Retapamulin
Retapamulin bekerja menghambat sintesis protein dengan berikatan
dengan subunit 50S ribosom pada protein L3 dekat dengan peptidil
trnsferase. Salap Retapamulin 1% telah diterima oleh food and Drug
Administraion (FDA) pada tahun 2007 sebahai terapi impetigo pada
remaja dan anak-anak tiatas 9 bulan dan telah menunjukkan
aktivitasnya melawan kuman yang resisten terhadap beberapa obat
seperti metisilin, eritromisin, asam fusidat, mupirosin, azitromisin.

Sebagian obat topikal juga kompres terbuka, contohnya : larutan PK


1/5000, larutan rivanol 1% dan yodium povidon 7,5% yang dilarutkan 10 kali.
Yang terakhir ini lebih efektif, hanya pada sebagian kecil mengalami
sensitisasi karena yodium. Rivanol mempunyai kekurangan karena mengotori
pakaian.

21
2.9 Prognosis
Pada beberapa individu, bila tidak ada penyakit lain sebelumnya,
impetigo krustosa dapat membaik spontan dalam 2-3 minggu. Namun, bila
tidak diobati impetigo krustosa dapat bertahan dan menyebabkan lesi pada
tempat baru serta menyebabkan komplikasi berupa ektima, dan dapat menjadi
erisepelas, selulitis atau bakteriemi. Bila terjadi komplikasi glomerulonefritis
akut, prognosis anak-anak lebih baik dari pada dewasa.

2.10 Komplikasi
1. Ektima
Impetigo yang tidak diobati dapat meluas lebih dalam dan penetrasi
ke dermis menjadi ektima. Ektima merupakan ulkus superfisial dengan
krusta di atasnya yang disebabkan infeksi oleh Streptococcus.

2. Glomerulonefritis Post Streptococcal


Komplikasi utama dan serius dari impetigo krustosa yang
umumnya disebabkan oleh Streptococcus group A beta-hemolitikus ini
yaitu glomerulonefritis akut (2%-5%). Penyakit ini lebih sering terjadi
pada anak-anak usia < 6 tahun. Insiden GNA berbeda pada setiap
individu, tergantung dari strein potensial yang menginfeksi nefritogenik.
Faktor yang berperan penting pada GNAPS yaitu serotype Streptococcus
strein 49, 55, 57, 60 serta strein M-tipe 2. Periode laten berkembangnya
nefritis Setelah pioderma streptococcal sekitar 18-21 hari. Criteria
diagnostig GNAPS ini terdiri dari hematuria makroskopik atau
mikroskopik, edema yang di awali dari region wajah, dan hipertensi.

3. Osteomielitis
Sebuah inflamasi pada tulang disebabkan bakteri. Inflamasi
biasanya berasal dari bagian tubuh yang lain, yang berpindah ke tulang
melalui darah.

22
BAB III
LAPORAN KASUS

1.1. IDENTITAS PASIEN


Nama :X
Umur : 9 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pelajar SD
Alamat : Bukittinggi
Status : Belum Kawin
Suku : Minang

1.2. ANAMNESIS
Seorang anak perempuan berusia 9 tahun datang bersama orang tua ke
poliklinik kulit dan kelamin RSAM Bukittinggi pada tanggal 24 Agustus 2017
pukul 11.00 WIB.

Keluhan Utama :
Timbul korengan di dagu sejak 4 hari yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang :


 Timbul korengan di dagu sejak 4 hari yang lalu.
 Awalnya berupa bintik- bintik merah, kemudian timbul gelembung-
gelembung yang berisi cairan, mengelupas disertai rasa agak nyeri.
 Pada 4 hari sebelumnya pasien mengalami batuk pilek.
 Pasien tidak demam dan baru pertama kali mengalami sakit seperti ini.

Riwayat Penyakit Dahulu

 Pasien tidak pernah menderita penyakit yang sama sebelumnya.

23
Riwayat Penyakit Keluarga

 Adik pasien berumur 5 tahun juga mempunyai korengan di daerah lengan


bagian kanan.

1.3. PEMERIKSAAN FISIK


Status generalisata
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : composmentis cooperatif
Status gizi : baik
Pemeriksaan Thorak : diharapkan dalam batas normal
Pemeriksaan Abdomen : diharapkan dalam batas normal

Status Dermatologikus

Lokasi : dagu
Distribusi : terlokalisir
Bentuk : khas
Susunan : korimbiformis
Batas : sirkumskrip
Ukuran : milier-lentikuler
Efloresensi : Plak eritem, krusta kuning

24
Status venereologikus : tidak terdapat kelainan
Kelainan selaput : tidak terdapat kelainan
Kelainan kuku : tidak terdapat kelainan
Kelainan rambut : tidak terdapat kelainan
Kelainan kelenjar limfe : tidak terdapat kelainan

1.4. PEMERIKSAAN ANJURAN


 Pemeriksaan darah rutin diharapkan ditemukan Leukositosis
 Pewarnaan Gram : diharapkan ditemukan Coccus Gram positif (+)
 Kultur : diharapkan ditemukan koloni Staphylococcus aureus dan
Streptococcus group A beta-hemolitikus (Streptococcus pyogenes)

1.5. DIAGNOSIS

Impetigo Krustosa

1.6. DIAGNOSIS BANDING


Ektima

1.7. PENATALAKSANAAN

Umum :

 Edukasi pada keluarga pasien mengenai penyakitnya, termasuk factor


predisposisinya.
 Menjaga kebersihan agar tetap sehat dan terhindar dari penyakit infeksi
kulit lainnya.
 Mengonsumsi makanan yang bergizi serta sayur-sayuran dan minum susu
 Menghindari garukan pada daerah lesi
 Minta pasien untuk berobat sampai sembuh
 Edukasi pasien tentang cara pemakaian obat yang benar
 Memotong kuku dan menjaga kebersihan kuku

25
Khusus :
Topical :

o Kompres NaCl 0,9% 2 X sehari

Gambar 10. NaCl 0,9 %

o Krim Asam fusidat 2% oleskan pada lesi 2 x sehari

Gambar 11. Krim asam fusidat 2%

26
Sistemik:

o Amoxicilin 3 x 250 mg

Gambar 12. Amoxicillin 500 mg


o Paracetamol 3 x 250 mg

Gambar 13. Paracetamol 500 mg

PROGNOSA :
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad sanationam : Dubia et bonam
Quo ad kosmetikum : Dubia et bonam
Quo ad functionam : bonam

27
RSUD ACHMAD MOCHTAR
Ruangan Poliklinik : Kulit dan Kelamin
Dokter : dr. YR
Sip No. 123/sip/2017

Bukittinggi, 25 Agustus 2017

R/ Amoxicillin tab 500 mg No. XV


S3dd Tab 1/2
R/ Asam Fusidat Cream 2% tube No. I
Aplic loc dol
R/ Paracetamol tab 500 mg No VI
S3dd tab 1/2
R/ Nacl 0.9% kolf No. I
Kasa steril box No. I
Sue

Pro :X
Umur : 9 tahun
Alamat : Bukittinggi

28
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dari laporan kasus diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pasien
didiagnosa dengan impetigo krustosa karena dari anamnesis dan pemeriksaan
fisik mendukung kearah diagnosis tersebut. Penyebab tersering dari impetigo
adalah bakteri staphylococcus aureus dan streptococcus beta-hemolitikus grup
A. Pemeriksaan anjuran yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan kultur
untuk memastikan koloni dari bakteri. Pemberian antibiotik sangat membantu
dalam proses penyembuhan penyakit..

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Menaldi,Sri.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Badan


Penerbit FK-UI; 2015.
2. Abdoerrachman, M.H, dkk. Ilmu Kesehatan Anak 1. Edisi 11. Bagian Ilmu
Kesehatan Fakultas Kedokteran Universita Indonesia. Jakarta. 2007.p.
247-9.
3. WHO. Epidemiology and Management of Common Skin Diseases in
Children in Developing Countries. Jenewa: WHO.2005.p.v-vii. [cited on
2014 oct 7] available from:http://whqlibdoc.who.int/hq/2005/
WHO_FCH_CAH_05.12_eng.pdf.
4. https://dokmud.wordpress.com/2009/11/02/impetigo/
5. Diagnosis and Treatment of Impetigo CHARLES COLE, M.D., and JOHN
GAZEWOOD, M.D., M.S.P.H. University of Virginia School of Medicine,
Charlottesville, Virginia
6. Setiawan S, Pandeleke HEJ. Pioderma primer di Divisi Dermatologi Anak
unit rawat jalan kulit dan kelamin RSU Prof. Dr. R.D. Kandou Manado
periode 2005-2006. In: Gaspersz S, Jackqueline S, Pandeleke HEJ, Kartini
A. Penyakit kulit infeksi di divisi dermatologi anak poliklinik kesehatan
kulit dan kelamin RSUP Prof. Dr.R.D Kandou Manado. Kumpulan naskah
ilmiah PIT X PERDOSKI. 2009: 283-6.
7. Harahap J. Pola infeksi kulit pada anak di Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUP. Prof. Dr. R.D Kandou Manado tahun 2009-2011.skripsi. Fakultas
Kedokteran Unsrat.2013.
8. Benson MP, Hengge RU. Staphylococcal dan Streptococcal Pyodermas.
In: trying KS, Lupi O, Hengge RU, editor. Tropical dermatology.
Philadelphia: Elsevier Inc: 2006.p.241.
9. Cole C, Gazewood J. Diagnosis and treatment of impetigo. Am Fam
Physician 2007; 75(6): 859-64.

30

You might also like