Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 25

BLOK MEDICAL EMERGENCY

JIGSAW SMALL GROUP DISCUSSION


LAPORAN TERSTRUKTUR
“Alergi pada Kedokteran Gigi”

Dosen Pembimbing :
drg. Dian Noviyanti Agus Iman, M.D.Sc

Disusun Oleh:
Salsabila Nuha Zafira G1G014001 Vania Wirawati G1G014032
Wenny Afrisa G1G014005 Abiyyu Widya P. G1G014036
Anggih Nawwira P. G1G014009 Mochammad Reza T. G1G014040
Aisyah Nadiyah G1G014013 Bella Citra Panggih G1G014044
Nila Sari G1G014017 Dimas Suya Arga G1G014049
Annida Fatiya Zahra G1G014022 Reza Farabi G1G013041
Minda Anita G1G014028 Prasetyo Adi N. G1G013065
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PURWOKERTO

2018

A. Keracunan Merkuri
1. Gambaran Umum
Dalam kedokteran gigi, bahan merkuri terdapat pada bahan tambal gigi yakni
amalgam. Amalgam merupakan campuran merkuri dengan paduan logam (alloy)
perak, timah, tembaga, dan seng. Beberapa logam lain sering ditambahkan pada
produk amalgam untuk memperbaiki sifat amalgam. Keberhasilan penggunaan
amalgam sebagai bahan tambal gigi sangat bergantung dari manipulasi material
amalgam saat penumpatan. Manipulasi amalgam memiliki beberapa tahapan yakni :
a. Proportioning
b. Trituration
c. Condensation
d. Trimming, Carving, Bunishing
e. Finishing, Polishing (Craig, 1997).
Kandungan merkuri dalam amalgam ini memiliki resiko terjadi pencemaran
dan toksisitas. Hal ini disebabkan karena merkuri bebas yang dapat terjadi karena
proses manipulasi yang kurang baik. Namun dalam beberapa penelitian telah
menyebutkan bahwa merkuri dapat lepas dalam ikatan kimiawi sehingga menjadi
merkuri bebas yang toksik bagi tubuh. Rata-rata untuk tiap tumpatan amalgam
mengandung lebih dari 0,5 gram merkuri. Ginjal dianggap sebagai organ target yang
penting dalam paparan kronis terhadap uap merkuri (Irnamanda, 2013).
2. Patofisiologi
Pada kasus keracunan merkuri reaksi yang ditimbulkan merupakan reaksi
hipersensititas tipe IV atau delayed hypersensitivity yang terjadi setelah 48 jam (1-3
hari). Merkuri berikatan dengan afinitasnya untuk membentuk ikatan
kovalen dengan gugus sulfhidril yang akan mengganggu sistem enzim dalam organ.
Merkuri tidak dapat dikenali oleh sistem imun (sel T reseptor), yang diekspresikan
oleh limfosit T, Ion merkuri sangat reaktif dan akan mengikat self-protein di epitel
oral yang akan menginduksi perubahan transformasi protein. Selanjutnya pasangan
merkuri-protein tidak akan disangka diri sendiri, dan akan diikuti proses pinocytosis
oleh APC (makrofag) yang akan menurunkan kompleks protein ke oligopeptida. APC
yang teraktivasi akan matang melalui migrasi ke nodus limfe regional dan mulai
mengekpresikan peptida yang mengandung merkuri bersama dengan molekul Klas II
pada permukaan sel. Proses pengenalan antigen dipertimbangkan terbatas pada
molekul Klas II. Di nodus limfe, interaksi antara penggabungan molekul Klas II dan
peptida mengandung merkuri di APC dan TCR diekspresikan pada limfosit T antigen-
spesifik akan terlihat. Interaksi ini dikenal sebagai sinyal awal proses antigen-
presenting. Sinyal kedua terdiri dari interaksi selular lebih lanjut. Pada reaksi
hipersensitivitas, histamin dilepas dan menyebabkan gatal-gatal (Baratawijaya, 2006).
3. Manifestasi Klinis
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa merkuri dari amalgam mungkin
menyebabkan gejala toksisitas ringan seperti ingatan koordinasi, kecepatan motorik
dan konsentrasi yang lemah. Pada oral, terdapat gambaran delayed hypersensitivity
berupa :
a. Eritema
b. Edema
c. Lesi pruritik
d. Oral Lichenoid (Lichen Planus)
e. Burning Mouth Syndrome (Kal, 2008).
4. Tatalaksana
Tatalaksana keracunan merkuri yakni dengan menghilangkan sumber alergi
yakni merkuri pada amalgam. Sehingga lebih baik bahan tambal diganti menjadi GIC
atau komposit atau bahan tumpatan lain yang tidak menimbulkan efek alergi dan
keracunan. Selain itu pasien juga dapat diberikan antihistamin untuk mengurangi
reaksi hipersensitivitas dan kortikosteroid topikal untuk mengobati lesi oral.
Sedangkan untuk mencegah paparan merkuri yang berlebih, praktisi dapat
menggunakan APD, ventilasi ruangan yang memadai, manipulasi yang baik (terutama
pada proses triturasi) dan skin test untuk deteksi awal reaksi hipersensitivitas
(Prajitno, 1997).

B. Resin Komposit
1. Gambaran Umum
Komposisi resin komposit tersusun dari beberapa komponen. Kandungan
utama yaitu matriks resin dan partikel pengisi anorganik. Selain itu terdapat juga
terdapat bahan coupling. Pada matriks komposit terdapat monomer yang
berfungsi untuk mengurangi pengerutan polimerisasi. Monomer ini yang biasanya
menyebabkan reaksi alergi pada pasien maupun pada dokter gigi ataupun tekniker
gigi. Monomer pada komposit mengandung methacrylate yang sering kali
menyebabkan alergi. Monomer yang mengandung methacrylate yaitu Bis-GMA,
UDMA, TEGDMA. Methacrylate yang tidak terpolimerisasi sempurna tersebut
dapat menyebabkan reaksi alergi pada pasien. Sekarang ini methacrylate yang
tidak terpolimerisasi hanya sekitar 1,5% - 5%. Walaupun jumlah tersebut kecil
namun dapat menyebabkan sitotoksisitas (Khan, dkk., 2014). Prevalensi
terjadinya kontak alergi pada methacrylate adalah sebanyak 1% (Syed, dkk.,
2015). Reaksi alergi yang terjadi pada alergi komposit adalah hipersensitivitas
tipe IV yang tanda dan gejalanya muncul 1-3 hari setelah paparan (Goldberg,
2008).
2. Manifestasi Klinis
Manifestasi dapat muncul pada intraoral maupun ekstraoral. Manifestasi
pada intraoral umumnya terjadi pada pasien yang menggunakan restorasi
komposit. Gambaran yang terjadi dapat berupa bengkak, sakit, kemerahan,
burning mouth syndrome (BMS), nekrosispada mukosa, serta dapat juga terdapat
seperti lichenoid pada bibir. Manifestasi pada ekstraoral umumnya terjadi pada
dental praktisioner seperti dokter gigi, perawat gigi, dan tekniker gigi. Manifestasi
tersebut umumnya terdapat pada tangan dengan gambaran bengkak, kemerahan,
gatal, dan sakit. Meskipun dental praktisioner telah menggunakan sarung tangan
atau handscoon namun tetap dapat terjadi reaksi alergi tersebut karena sarung
tangan lateks dan vinyl memberikan proteksi yang buruk terhadap methacrylate.
Selain reaksi local yang ditimbulkan, dapat pula timbul gejala umum seperti sakit
kepala dan sakit pada sendi dan otot (Goldberg, 2008).
Selain reaksi alergi pada kulit, dapat juga terjadi masalah pada mata dan
asma. Hal tersebut dapat terjadi ketika dokter gigi membongkar tumpatan
komposit, sehingga serbuk pembongkaran dapat mengenai mata dan masuk ke
dalam respirasi (Khan, dkk., 2014)
3. Tatalaksana
a. Hentikan penggunaan material penyebab alergi
b. Tinjau riwayat medis pasien mengenai kejadian serupa
c. Dapat dilakukan patch test untuk mengetahui allergen dari reaksi alergi
tersebut. Patch test dilakukan dengan meletakkan minimal 2 bahan pada
lengan atau punggung pasien. Kedua bahan tersebut yaitu bahan yang
dicurigai menjadi penyebab terjadinya alergi dan bahan dari material lain yang
digunakan sebagai kontrol.
d. Ketika allergen sudah diketahui, maka ganti seluruh bahan restorasi yang
menggandung allergen dengan bahan yang tidak mengandung allergen.
Selama prosedur pembongkaran perlu menggunakan rubber dam dan suction
yang adekuat untuk mencegah bahan yang mengandung allergen kontak
dengan mukosa dan mencegah inhalasi partikel pengeboran. Pasien perlu di
tutupi dengan celemek plastic agar partikel pengeboran tidak mengenai baju
ataupun kulit (Nathanson, dkk., 1979).
4. Pencegahan
a. Menggunakan rubber dam selama proses restorasi untuk mencegah bahan
berkontak dengan mukosa
b. Menggunakan bonding dengan viskositas rendah serta memperhatikan jumlah
bonding supaya bahan bonding tidak keluar dari kavitas dan mengenai
mukosa. Penggunaan suction diperlukan untuk mengurangi uap
c. Menggunakan matriks band untuk mengurangi kebocoran servikal sebagai
physical barrier.
d. Untuk mengurangi sisa monomer :
i. Komposit diaplikasikan layer by layer yang tipis agar dapat
terpolimerisasi hingga bagian dalam
ii. Light curing yang cukup
iii. Intensitas cahaya minimal 400 mW/cm2
iv. Polishing dengan sempurna untuk menghilangkan lapisan penghambat
oksigen
v. Menggunakan gogles dan apron untuk menghindari terjadinya reaksi pada
mata.
vi. Menggunakan water-cooling ketika polishing dan pembongkaran
komposit supaya pertikel tidak terinhalasi.
C. Nikel Kromium

1. Gambaran Umum

Nikel adalah suatu logam yang dapat memberikan sifat kuat pada logam
tersebut. Dalam logam tidak hanya ada nikel tetapi terdapat kromium, silica, boron,
karbon, mangan, dan besi (Pawiru dan Machmud (2009). Kandungan kromium dalam
logam berfungsi sebagai mencegah korosif pada logam. Meskipun demikina sifat
korosif dalam logam masih ada namun sedikit. Dalam kehidupan sehari-hari nikel
kromium digunakan dalam pembuatan baterai, kawat (stainless steel), koin, perhiasan
logam dan barang lain yang terbuat dari logam (Rahilly dan Price, 2003).
Di bidang kedokteran gigi contoh alat yang mengandung nikel kromium
adalah kawat ortodonti, diagnostik set, braket, dan instrumen lainnya. Kawat
(stainless steel) mengandung 71% besi, 18% kromium, 8% nikel dan <2% karbon
(Singh, 2007). Walaupun kandungan nikel kromium bukan terbanyak dalam logam
namun, nikel dan kromium dapat memicu reaksi alergi yaitu hipersensitivitas tipe IV
atau delayed hipersensitisation reaction) yang sering digunakan pada bidang
ortodonsi dan prostodonsi (Pawiru dan Machmud (2009).

2. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang dapat dijumpai pada penderita alergi nikel tampak
sebagai dermatitis yaitu terdapat eritema, edema, vesikel. Selain itu pasien juga bisa
merasakan bruning sensation, glossodynia, kebas, nyeri pada area yang terlokalisir,
angular cheilitis, serta gingivitis berat pada pengguna alat ortodonsi (Iswari dan
Sianita (2011).

3. Penatalaksanaan

Tata laksana pada pasien alergi nikel dapat dilakukan sebagai berikut.
a. Pemeriksaan Subjektif dan Objektif secara detail
b. Patch test (menunjukkan alergi)
c. Hindari atau buang alergen dengan cara mengganti bahan. Bahan yang dapat
dijadikan pengganti yaitu keramik (alumina polikristal atau zirconia),
braket emas, polikarbonat (Syed dkk. (2015).
d. Medikasi gejala klinis diberikan analgesik dan kortikosteroid
e. Evaluasi gejala klinis dan keluhan pasien.
(Nishigawa dan Hosoki, 2011).
4. Pencegahan

Pencegahan dan diagnosis yang dapat dilakukan yaitu dengan cara melakukan
patch test. Berikut cara melakukan patch test.

1) Nikel sulfat 5% dicampur dengan petrolatum dan diletakkan diatas bad aid

2) Asepsis lengan atas pasien bagian medial menggunakan alkohol swab

3) Letakkan band aid yang berisikan campuran nikel sulfat 5% + petrolatum di


lengan atas

bagian medial

4) Band aid dibiarkan selama 48 jam


5) Pasien diinstruksikan untuk tidak membasahi area lengan yang diberikan band
aid

6) Setelah 48 jam, band aid dilepas dan dapat dilihat hasil setelah 20 menit dengan
gambaran:

a) Eritema

b) Eritema dan papula ++

c) Eritema, papula, dan vesikel +++

d) Edema dengan vesikel ++++

*keterangan: + = tingkat keparahan reaksi inflamasi pada kulit


(Iswari dan Sianita (2011).

5. Contoh Kasus

Seorang wanita berusia 71 tahun mengeluhkan adanya eritema dan dermatitis


pruritis di kulitnya sudah selama 2 tahun terakhir. Penanganan yang diberikan pleh
dokter hanya berupa penggunaan triamcinolone acetonoide krim, menghentikan
penggunaan sabun mandi, detergen, pelembut baju dan mengganti pakaian dengan
bahan yang 100% katun. Selama 3 bulan penggunaan krim tersebut kondisi pasien
membaik akan tetapi setelah ia berhenti menggunakan krim tersebut eritema dan
dermatitis pruritis tersebut kembali muncul. Pemeriksaan rongga mulut pasien
ternyata menunjukkan adanya tumpatan amalgam dan pasien tersebut sudah
menggunakan removable partial denture dari metal selama 10 tahun terakhir ini.
Eritema ternyata juga muncul di rongga mulut pada area denture, lidah dan mukosa
bukal. Dokter gigi yang menanganinya melakukan patch test pada lengan tangannya
dengan menggunakan bahan nikel 2,5 % dan bahan yang lain kemudian dilihat
hasilnya selama 48 jam, dari patch test tersebut terlihat 2+ pruritis, vesicular
eczematous (Hubler dan Hubler, 1983).
Tindakan yang dilakukan dokter gigi pasien tersebut adalah meminta pasien
untuk melepas terlebih dahulu removable partial denture miliknya selama 24 jam,
hasilnya menunjukkan pasien merasa membaik dan akhirnya dilanjutkan selama 3.
Pasien dijelaskan bahwa ia alergi dengan bahan nikel dari removable partial denture
yang ia gunakan, akhirnya dokter gigi tersebut mengganti bahannya menjadi akrilik
dan pasien hanya menggunakan petrolatum sebagai lubrikan. Setelah 1 bulan
penggantian bahan pasien merasakan eritema di rongga mulut dan kulitnya mulai
berkurang dan setelah 3 bulan pasien benar-benar sembuh (Hubler dan Hubler, 1983).

D. SODIUM HIPOKLORIT

1. Gambaran Umum

Sodium hipoklorit (NaOCl) merupakan larutan irigasi endodontik. NaOCl


memiliki kemampuan antibakteri, viskositas rendah, mampu melarutkan jaringan,
melicinkan saluran akar, sehingga menjadi larutan yang efektif sebagai irigasi saluran
akar. Dilain hal, kerugian pemakaian NaOCl adalah bersifat sitotoksik pada jaringan
vital (Averbach dan Kleier, 2006).
2. Manifestasi Klinis
Saat NaOCl mengenai jaringan akan mengalami pembengkakan yang cepat
baik intraoral maupun ekstraoral. Pembengkakan dapat ditandai dengan adanya
edema, hemoragi, dan proses inflamasi akut. Ekimosis dan memar dapat terjadi
hingga perdarahan yang memasuki jaringan intersisil. Pada area mukosa akan
mengalami nekrosis akibat bahan kimia pada NaOCl yang timbul dalam menit
maupun jam setelah terpapar (Gernhardt dkk., 2004).
Beberapa kasus dapat mengenai saluran nafas atas. Hal tersebut dapat terjadi
apabila melibatkan spasia submental dan sublingual. Gejala adanya obstruksi saluran
nafas atas adalah stridor, penurunan dasar mulut, sulit bernafas, dan menurunnya
saturasi oksigen. Tanda-tanda alergi pada umumnya menunjukkan hipotensi, nafas
pendek, edema, dan urtikaria (Al-Sebaei dkk., 2015).
3. Tata Laksana
1. Menjelaskan kepada pasien apa yang terjadi dan mendokumentasikan segala
prosedur yang telah dilakukan serta tanda-tanda yang timbul pada pasien.
2. Nyeri yang dirasakan pasien dapat diberikan anestesi long-acting dan analgesik
seperti NSAID dan parasetamol. Apabila nyeri parah dapat diberikan ibuprofen
dan parasetamol selama 4 jam.
3. Pemberian antibiotik profilaksis untuk mencegah infeksi sekunder seperti nekrosis
jaringan dan hematoma.
4. Pemberian steroid sebagai penekan proses inflamasi akut, seperti dexamethasone.
5. Terganggunya saluran nafas atas dapat ditangani dengan intubasi dan injeksi
steroid dan antihistamin I.V. dan dirujuk ke rumah sakit untuk penanganan
selanjutnya.
4. Pencegahan
1. Pemakain NaOCl seminimal mungkin namun tetap efekstif sebagai larutan irigasi.
2. Pemakaian rubber dam pada setiap perawatan endodontik untuk mencegah
terkena jaringan lunak sekitar.
3. Memerhatikan kondisi gigi, apakah ada perforasi, resorpsi, atau apikal belum
sempurna.
4. Menggunakan jarum irigasi dengan bevel di samping dan disemprotkan dengan
perlahan.
5. Anamnesa pasien dengan menanyakan pertanyaan apakah sensitif terhadap
pemutih atau pernah mengalami senstif saat berenang.
6. Penggunaan NaOCl dapat digantikan dengan larutan saline, EDTA, atau povidone
iodine.

E. Latex
1. Gambaran Umum
Latex berasal dari getah pohon karet (Hevea Brasiliensi). Kegunaan bahan
latex dalam dunia kedokteran gigi sangat beragam diantaranya latex gloves, latex bite
blocks, rubber dam, rubber file stops, orthodontics elastics dan lain-lain (Field dan
Fay, 1995). Individu yang memiliki resiko lebih tinggi terhadap alergi latex adalah
praktisi kesehatan, individu dengan riwayat atopi, anak-anak dengan spina bifida dan
individu dengan kelainan congenital urinary tract. Umumnya individu yang memiliki
alergi latex juga mengalami alergi pada beberapa buah-buahan seperti alpukat, pisang,
kacang, kiwi, kentang dan tomat karena buah-buah an tersebut memiliki antigen yang
hampir sama dengan latex (Spina dan Leveve, 1999).
Latex mengandung protein, lipid, karbohidrat, kalium, magnesium dan seng,
namun yang menyebabkan alergi adalah kandungan proteinnya. Latex memiliki 200
protein yang berbeda, namun hanya protein yang paling memberikan dampak alergi
seperti acidic protein, prohavein dan patatin homolog. Alegi latex dapat menunjukkan
gelaja seperti eritema, edema dan panas apabila terjadi hipersensitifitas IV tipe
lambat. Selain itu alergi latex juga dapat menunjukkan gejala syok anafilaktik apabila
terjadi hipersensitifitas I tipe cepat (Shoup A, J., 1997).
2. Manifestasi
Pada hipersensitifitas tipe IV (delayed reaction)
a. Eritema
b. Edema
c. Papulovesikel
d. Terasa panas
Pada hipersensitifitas tipe I (fast reaction)
a. Pruritus
b. Rhinitis
c. Congjutivitis
d. Ashma
e. Hipotensi
f. Brakikardi
g. Anafilaksis
3. Pencegahan
a. Skin test
b. Mengganti semua peralatan yang menggandung latex, berbagai alternative
yang dapat dipilih dijabarkan pada gambar berikut.
Gambar 1. Contoh dari produk kedokteran gigi berbahan latex beserta alternatifnya
Sumber: Kean dan MCNally, 2009

4. Tata Laksana
a. Pada gejala hipersensitifitas tipe IV (delayed reaction) dapat diberikan
kortikosteroid topikal seperti hidrokortison dengan mengoleskannya 2-4 kali
sehari.
b. Pada gejala hipersensitifitas tipe I (fast reaction) dapat melakukan prinsip
ABC yaitu airways, breathing dan circulation. Kemudian memberikan
oksigen high flow dan epineprin 1:1.0000 dengan dosis 0,3-0,5 mg melalui
subkutan atau intramuscular (Spina dan Leveve, 1999).

5. Contoh Kasus
Pasien anak-anak berumur 9 tahun dating untuk memeriksakan gigi kepada
dokter gigi. Ketika dilakukan anmnesa ibu dari pasien tersebut menyatakan bahwa
anaknya mengalami alergi terhadap latex. Kemudian sang dokter berinisitif untuk
mengganti semua produk yang mengandung latex untuk menghindari alergi. Dokter
mengganti sarung tangan berbahan latex dengan sarung tangan berbahan vinil,
kemudian rubber dam berbahan latex diganti menggunakan sarung tangan berbahan
vinil yang pada bagian jari-jarinya dipotong kemudian dijadikan rubber dam. Selain
itu, dokter gigi mengganti suction saliva berbahan latex menjadi suction saliva yang
berbahan metal. Pasca tindakan, tidak ada tanda-tanda alergi yang dialami oleh pasien
karena dokter sudah mengganti semua yang mengandung latex sehingga pasien
terbebas dari alergi (Daniela, dkk., 2010).
F. Anestesi
1. Gambaran Umum
Anestesi berasal dari bahasa Yunani, yaitu an- yang berarti “tanpa” dan
aisthesi yang berarti sensasi. Fungsi anestesi yaitu penghilang sensasi, oleh karena itu
anestesi umumnya digunakan untuk pasien yang akan menjalani operasi, dimana
dalam kedokteran gigi biasa digunakan sebelum dilakukan tindakan pencabutan atau
pembedahan minor seperti odontektomi, insisi, atau gingivektomi. Anestesi yang
digunakan dalam kedokteran gigi biasanya berupa anestesi lokal, seperti lidokain.
Golongan anestesi local dapat dikategorikan menjadi dua kelas, yaitu amida dan ester.
Beberapa golongan amida misalnya lidokain, bupivakain, prilokain, ropivakain,
artikain, dan mepivacain. Sedangkan untuk golongan ester seperti benzokain, kokain,
prokain, dan tetrakain (Selcuk, 1996).
Alergi pada anestesi dapat terjadi apabila pasien memiliki hipersensitivitas
terhadap bahan anestesi. Alergi pada amida jarang terjadi, pada golongan ester lebih
sering terjadi alergi, karena metabolisme menjadi PABA atau para amino benzoic
acid yang merupakan senyawa alergi. Anestesi lokal ester yang biasa digunakan yaitu
benzokain, yang biasa digunakan sebagai anestesi topikal (Haas, 2002).

2. Manifestasi klinis
Alergi pada anestesi dapat berupa tipe I atau tipe IV. Reaksi alergi tipe I
biasanya berupa anafilaksis yang dimediasi oleh antibodi IgE. Beberapa tanda dan
gejala alergi tipe I umumnya muncul secara cepat, diantaranya seperti:
a. Bibir daerah periorbital yang membengkak (angioedema)
b. Dada sesak dengan bunyi bising dan sesak nafas
c. Penurunan tekanan darah
d. Nadi cepat
e. Kulit ruam dan kemerahan
f. Urtikaria
g. Pruritis
Alergi tipe IV atau reaksi hipersensitivitas tertunda dimediasi oleh kepekaan
limfosit, tanda yang muncul diantaranya:
a. Lokal di tempat injeksi
b. Biasanya dinyatakan sebagai dermatitis kontak (Ball, 1999).
3. Tata laksana
Pasien yang mengalami syok anafilaktit dapat dilakukan beberapa tindakan,
diantaranya:
a. Posisikan pasien pada posisi supine dengan kaki lebih tinggi dari kepala untuk
meningkatkan aliran darah untuk memerpbaiki curah jantung dan menaikkan
tekanan darah.
b. Perhatikan tingkat kesadaran pasien, jika pasien kehilangan kesadaran dan
ditemukan keadaa cardiac arrest lakukan RJP.
c. Memberikan tindakan definitif berupa adrenalin 0,5 ml dengan cara injeksi
intramuscular tiap 5-15 menit sampai tekanan darah menunjukan perbaikan.
Selnajutnya pemberian antihistamin untuk menghambat vasodilatasi dan
pengingkatan permeabilitas vascular yang disebabkan oleh pelepasan mediator
seperti diphenhidramin intravena 50 mg secara perlahan 5-10 menit diulang 6-8
jam. Selain itu pilihan lain seperti simetidin 300 mg atau ranitidin 150 mg yang
diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dapat diberikan dalam waktu 5 menit.
Selanjutnya pemberian kortikosteroid juga dapat diberikan untuk menurunkan
respon radang, metilprednisolon 125 mg secara IV diberikan tiap 4-6 jam atau
hidrokortison IV 7-10 mg/kgBB atau dexamethasone 2-6 mg/kgBB.
d. Monitoring pasien selama 24 jam sampai keadaan membaik serta melakukan
penilaian keadaan umum pasien, kesadaran, tanda vital, produksi urin, dan
keluhan lainnya (Taylor dan Godhill, 1992)

4. Pencegahan
Menurut Nahak (2013) pencegahan syok anafilaktik dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
a. Melakukan anamnesa dengan lebih teliti tentang riwayat penyakit dan riwayat
alergi
b. Pemberian obat harus tepat indikasi
c. Melakukan skin test
d. Harus selalu siap sedia obat penawar dan alat bantu resusitasi.
G. TITANIUM
1. Gambaran Umum
Titanium merupakan salah satu logam yang paling banyak digunakan dalam
bidang medis dan bidang kedokteran gigi. Titanium yang dilambangkan dengan
simbol Ti, memiliki komposisi Ti 79%, Mo 1%, Mn dan Zn. Titanium merupakan
logam transisi dan mempunyai nomor atom 22 dan berat atom 47,90. Titanium
berwarna abu – abu putih keperakan. Selain itu, titanium juga memiliki tingkat
massa jenis yang rendah, keras tahan karat, mudah diproduksi. Titanium memiki sifat-
sifat yang sangat baik seperti resisten terhadap korosi dan biokompatibilitasnya
sangat baik sehingga menjadikannya ideal untuk digunakan sebagai bahan dental
diantaranya sebagai instrumen implan gigi, kawat ortodontik, crown, bridge dan
untuk menyatukan tulang yang fraktur (Anusavice, 2003)
Titanium merupakan bahan dental implan yang paling sering digunakan karena
kemampuannya melekat ke tulang berfungsi untuk menghalangi cairan fisiologis,
protein dan jaringan lunak maupun keras masuk ke permukaan logam. Proses tersebut
disebut osseointegrasi, proses tersebut menjadikan jaringan dan implan lebih
terstruktur dan bersatu secarafungsional. Osseointegrasi merupakan standar yang
harus di penuhi suatu dental implan yang baik. Dalam pemakaian dental implan
maupun kawat ortodonti, titanium. Biokompatibilitas dental implandidasarkan pada
terbentuknya suatu lapisan berupa Titanium Oksida (Ti02) dimana bersifat resisten
terhadap korosi dan memudahkan osseointegrasi terhadap tulang. Biokompatibilitas
kawat ortodontididasari oleh tidak adanya reaksi alergi antara permukaan kawat dan
respon. Titanium masih merupakan material yang amat aman digunakan baik sebagai
dental implan maupun kawat ortodonti dan efektif digunakan dengan resiko minimal
dan titanium dapat dijadikan pilihan dalam pemakaian bahan (Goenharto, 2005)
2. Manifestasi Klinis
Gejala klinis alergi titanium yang sering terjadi diantaranya adalah :
1) Urtikaria
2) Eczema
3) Edema
4) Kemerahan
5) Pruritus pada kulit dan mukosa
6) Atopik dermatitis
7) Nyeri
8) Nekrosis pada area implan
9) Nonkeratinisasi
10) Proliferasi jaringan hiperplastik (Goutam dkk., 2014).
3. Tatalaksana
Pada pasien yang memiliki alergi terhadap titanium perlu dilakukan substitusi
menggunakan bahan lain yang tidak alergen, diantaranya dapat diganti menggunakan
baja nirkarat atau keramik untuk breket ortodonti (Goenharto dan Sjafei, 2005) dan
polytheretherketone (PEEK) untuk implan gigi (Kusumadewi, 2017). Tatalaksana
gejala sitemik dapat dilakukan dengan pemberian steroid dan antihistamin untuk
meredakan urtikaria (Hadijev, 2003).
Ada beberapa tes diagnostik alergi titanium yaitu sebagai berikut:
1) Patch test
Patch test memiliki sensitivitas 75% terhadap alergi logam tipe IV. Reagen
yang digunakan berupa larutan titanium sulfat 0,1% dan 0,2% dan titanium
klorida 0,1% dan 0,2%.
2) MELISA (Memory lymphocyte immuno-stimulation assay test)
Tes MELISA dapat dilakukan untuk mendeteksi sentisisasi terhadap titanium
dan logam-logam lain.
3) Tes darah
Tes darah membantu mendiagnosis alergi tipe IV.
4) Tes transformasi limfosit
Tes ini mengukur proliferasi limfosit setelah terjadi kontak dengan alergen
yang didasarkan pada penggabungan thymidine oleh limfosit (Goutam dkk.,
2014).

H. FORMALDEHID
1. Gambaran Umum
Formaldehid adalah suatu bahan kimia dengan rumus umum HCHO. Pada suhu
normal dan tekanan atmosfer berbentuk gas tidak berwarna dengan berat molekul
30,03. Dalam perdagangan, umumnya berbentuk larutan yang dikenal dengan nama
formalin atau formol, larutan formaldehid dalam bentuk padat diperdagangkan
dikenal sebagai Trioxane (CH2O)3, yaitu bentuk polymer formaldehid, dengan
formaldehid 8 -100 unit. Pada suhu diatas 150° C formaldehid akan terdekompsisi
menjadi metanol dan karbon monoksida (Naria, 2004).
Formaldehid banyak digunakan dalam perawatan endodontik sebagai intrakanal
medikamen. Derivat fomaldehid yang sering dipakai adalah formokresol yang
mengandung formaldehid 19-37% dan trikresol formalin yang komposisinya terdiri
atas 10% trikresol dan 90% formaldehid. Bila ditempatkan di saluran akar akan
mempunyai akses ke jaringan periradikuler dan sirkulasi sitemik. Selain dapat
menimbulkan reaksi alergi, formaldehid memiliki tosisitas yang tinggi serta
berpotensi mutagenik dan karsinogenik (Mattulada, 2010).
2. Manifestasi Klinis
Dalam kedokteran gigi, formaldehid biasa digunakan sebagai treatment
endodontik yaitu root canal-filling material. Tidak semua pasien memiliki kecocokan
terhadap bahan yang mengandung formaldehid tersebut. Formaldehid dapat
menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe I. Namun reaksi formaldehid termasuk
reaksi yang delayed karena formaldehid harus menembus dentin, melalui ruang pulpa,
baru kemudian menyebar. Formaldehid akan menjadi sangat reaktif dan menjadi
alergen yang lengkap ketika berikatan dengan protein pada ruang pulpa (Koch dkk.,
2001). Karakteristik yang muncul apabila seseorang terkena alergi formaldehid yaitu
syok anafilaktik disertai urtikaria angioedema dan edema lokal. Manifestasi yang
paling sering muncul dari reaksi alergi formaldehid yaitu adanya dermatitis kontak
alergi (Maya dkk., 2012).
3. Tatalaksana
Untuk mecegah terjadinya alergi terhadap formaldehid, langkah-langkah yang
dapat dilakukan adalah dengan melakukan anamnesa lengkap terhadap pasien,
kemudian dilakukan patch test. Pasien dapat dinyatakan alergi terhadap formaldehid
apabila di sekitar jaringan terdapat eritema dan pembengkakan (Jang dkk., 2017).
Selain menggunakan patch test, alergi formaldehid dapat didiagnosa dengan
melakukan pengecekan kadar IgE (Kijima dkk., 2007). Tata laksana terhadap pasien
alergi formaldehid yaitu dapat diberikan obat steroid sistemik dan antihistamin.
Apabila terdapat pasien yang alergi, bahan treatment dapat diganti dengan natrium
hipoklorit 3%, kalsium hidroksida, timol dan kresol (Jang dk., 2017).
I. Alergi Bahan Cetak/Allergy of Impression Material
1. Gambaran Umum
Pada bidang kedokteran gigi misalnya dalam pembuatan gigi tiruan sebagian
(GTS), gigi tiruan lengkap (GTL), alat orthodonsi, mahkota, dan jembatan, proses
pembuatannya dilakukan di luar rongga mulut pasien. Pembuatan alat tersebut
memerlukan tiruan atau model jaringan rongga mulut pasien. Model ini dibuat dengan
cara mencetak jaringan rongga mulut pasien, dengan demikian diperlukan material
cetak. Alergi dan reaksi hipersensitivitas terhadap bahan cetakan gigi dapat terjadi di
seluruh perawatan gigi, dengan beragam manifestasi dari eritema ringan sampai sakit
parah dan mulut terbakar disertai stomatitis, di mana gejala biasanya mulai setelah 24
jam. Reaksi alergi ini tergolong hipersensitivitas tipe 4 atau delayed reaction. Dapat
juga menjadi hipersensitivitas tipe 1 atau fast reaction apabila reaksi yang
ditimbulkan merupakan syok anafilaksis (Mittermuller dkk., 2012).
Reaksi alergi terlihat pada pengujian patch di mana komponen dari pasta katalis
menyebabkan alergi dan ketika komponen ini diganti, tidak ada reaksi alergi. Studi
retrospektif lain mendokumentasikan hasil beberapa tes alergi dengan material cetak
polieter dan komponen-komponennya. Hasil uji patch menunjukkan reaksi positif
terhadap material cetak polieter campuran, pasta dasar atau komponen dasar. Alginat
merupakan bahan cetak yang terbuat dari ekstrak rumput laut yang tersusun dari asam
alginic (terutama complex polymer polysaccharide) (Syed dkk., 2016).

2. Manifestasi Oral:
a. Eritema
b. Gatal
c. Edema
d. Ulserasi
e. Burning Mouth Sensation
f. Nyeri
g. Sariawan

h. Bengkak
3. Tata Laksana:
a. Menggunakan bahan cetak non alginat
b. Kortikosteroid topikal (Betamethasone valerate salep 0,1%)
c. Antihistamin (Mittermuller dkk., 2012, Syed dkk., 2015).
4. Contoh Kasus:
Kasus alergi telah dilaporkan di mana pasien mengalami reaksi hipersensitivitas
terhadap material polysulfide dalam bentuk kemerahan, gatal, dan edema setelah
pencetakan sekunder untuk gigi tiruan lengkap rahang atas dan rahang bawah. Pasien
pulih setelah diobati dengan kortikosteroid topikal (Betamethasone valerate salep
0,1%). Sebuah kasus retrospektif juga telah dilaporkan terkait syok anafilaksis fatal
akibat material cetak alginat (Syed dkk., 2015). Syok anafilaksis akibat material cetak
dapat menyebabkan penyakit kardiovaskuler, penyakit paru-paru, atau bahkan
kematian jika tidak ditangani dengan tepat. Penanganannya dapat menggunakan
epinephrine atau adrenaline (Syed dkk., 2016).
Kasus lain dijelaskan seorang pasien ingin dilakukan pencetakan, kemudian
pasien tersebut merasakan pruritus pada muka, telinga, tenggorokan, dan
ekstrimitasnya setelah 5-6 jam selesai pencetakan. Pasien kembali ke dokter gigi yang
merawatnya dan diberikan antihistamin. Esok harinya pasien merasakan susah
bernapas dan eritema semakin menyebar ke seluruh tubuhnya. Pasien kembali ke
dokter gigi dan diberikan ventilase serta typtase 5 mg/mL. Pasien sembuh setelah 1
minggu perawatan. Setelah itu pasien melakukan tes alergi dan didapatkan pasien
negatif alergi terhadap lateks, obat-obatan, dan makanan, tetapi positif alergi terhadap
alginat ditandai dengan kemerahan disekitar patch. Dokter menyarankan untuk tidak
lagi memakai bahan alginat sebagai bahan cetak untuk perawatan selanjutnya dan
selalu tersedia antihistamin.

J. Alergi Polymethyl Metacrylate/acrylic (PMMA)


1. Gambaran Umum
Polymethyl Metacrylate/acrylic (PMMA) merupakan bentuk polimer dari Metyl
Metacylate (MMA) sebagai komponen dari akrilik. Resin akrilik masih merupakan
bahan pilihan untuk pembuatan gigi tiruan lepasan. Bahan dasar basis gigi tiruan ini
adalah resin akrilik polimetil metakrilat jenis heat-cured. Bahan tersebut mempunyai
beberapa keuntungan yaitu proses pembuatannya mudah, estetik cukup bagus,
ekonomis, mudah direparasi, dan peralatannya sederhana. Sebagai basis gigi tiruan,
dalam pemakaiannya resin akrilik akan kontak dengan mukosa rongga mulut dalam
waktu cukup lama, sehingga persyaratan biokompatibilitas mutlak diperlukan. Bahan
kedokteran gigi harus memenuhi syarat biokompatibilitas yang dapat diterima oleh
tubuh atau dengan kata lain tidak membahayakan penderita. Idealnya syarat bahan
yang diletakkan dalam mulut antara lain tidak karsinogenik dan tidak menimbulkan
alergi. Proses polimerisasi resin akrilik tidak dapat berlangsung sempurna, sehingga
pada akhir polimerisasi masih terdapat monomer sisa, yaitu monomer yang tidak
bereaksi menjadi polimer. Resin akrilik dengan proses kuring yang benar masih
mengandung monomer sisa antara 0,2–0,5%. Adanya monomer sisa yang terlepas
dalam saliva dapat mengiritasi atau menyebabkan hipersensitifitas jaringan mukosa
rongga mulut, berupa kemerahan burning sensation, pembengkakan serta rasa sakit.
Monomer resin akrilik tertentu juga bersifat toksik. Salah satu cara uji untuk
menentukan efek toksik suatu bahan adalah uji sitotoksisitas pada suatu jaringan.
Menurut penelitian bahwa resin akrilik kuring konvensional dan gelombang mikro,
baik yang direndam maupun tanpa direndam air selama 17 jam mempunyai
sitotoksisitas yang sama. Hasil terbaik adalah kelompok resin akrilik kuring
gelombang mikro yang direndam dengan air selama 17 jam. Sehingga disarankan
untuk merendam resin akrilik pada air panas (50oC) selama 1 jam sebelum dilakukan
insersi kepada pasien. Tujuannya untuk mengurangi sisa monomer sehingga tidak
terjadi reaksi alergi yang tidak diinginkan (Munadziroh, 2004).

2. Manifestasi Oral:
a. Eritema
b. Gatal
c. Edema
d. Ulserasi
e. Burning Mouth Sensation
f. Sariawan
g. Lapisan putih disekitar akrilik
h. Penipisan papila lidah di area dekat akrilik

3. Tata Laksana:
a. Megganti bahan akrilik dengan metal
b. Injeksi methylprednisolone IM
4. Contoh kasus:
Seorang perempuan berusia 70 tahun datang ke dokter gigi mengeluhkan gigi tiruan
lengkapnya yang tidak lagi cekat. Setelah melalui evaluasi, dokter gigi tersebut
membuatkan gigi tiruan yang baru. Setelah 10 jam pasien mengeluhkan adanya
eritema, oedem pada lidah, bibir, dan kelopak mata. Pasien juga susah bernapas.
Pasien dilarikan ke ICU Millitary Hospotal Sofia dan diberikan Methylprednisolone
IM. Pasien kemudian kembali lagi ke dokter gigi yang merawatnya. Pasien dilakukan
tes alergi dan didapatkan positif alergi terhadap MMA.
Menurut dokter gigi yang merawatnya, pasien tidak merasakan alergi pada
GTLnya yang lama karena sisa monomer akan meningkat pada hari pertama
pascainsersi. Setelah 4-5 tahun tubuh akan toleransi terhadap monomer itu. Sehingga
dokter gigi menyarankan agar sebaiknya menggunakan long curing dan long boiling
untuk mengurangi terjadinya alergi (Koutis dan Freeman, 2008).

DAFTAR PUSTAKA
Al-Sebaei, M., Halabi, O., El-Hakim, I., 2015, Sodium Hypochlorite Accident Resulting in
LifEThreatening Airway Obstruction During Root Canal Treatment: A Case Report, Clinical,
Cosmetic and Investigational Dentistry, 7: 41-44.
Al-Zahrani, M. S., Al-Zahran, A. G., 2015, Sodium Hypochlorite Accident in Endodontics: An
Update Review, International Journal of Dentistry and Oral Health, 2(2): 1-4.
Anusavice, K. J. 2005. Phillips Buku Ajar Ilmu Bahan Kedokteran Gigi. Alih bahasa.
Averbach, R. E., Kleier, D. J., 2006, Clinical Update on Root Canal Disinfection, Compendium of
Continuing Education in Dentistry, 27(5): 286-289.
Ball, I, A., 1999, Allergic reactions to lignocaine, Br Dent J ; 186: 224-26
Baratawidjaya KG, 2006, Imunologi Dasar 7thed, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia : Jakarta.
Craig RG, 1997, Restorative Dental Materials 10thed, St. Louis : Mosby.
Daniela dkk., 2010, Latex allergy in dentistry : clinical case report, J Clin Exp Dent, 2 (1) : e55-
9.
Field dan Fay, 1995, Issues of latex safety in dentistry, Br Dent J, 179-247.
Gernhardt, C. R., Eppendorf, K., Kozlowski, A., Brandt, M., 2004, Toxicity of Concentrated
Sodium Hypochlorite Used as an Endodontic Irrigant, International Endodontic Journal, 37(4):
272-280.
Goenharto, S., Sjafei, A., 2005, Breket Titanium, Maj Ked Gigi (Dent J), 38(3): 120-123.
Goldberg, M., 2008, In Vitro And In Vivo Studies On The Toxicity Of Dental Resin
Components: A Review, Clin Oral Invest, 12:1-8.
Goutam, M., Giriyapura, C., Mishra, S, K., dan Gupta, S., 2014, Titanium Allergy: A
Literature Review, Indian J Dermatol: 59(6): 630.
Haas, D, A., 2002, An update on local anaesthetics in dentistry, J Can Dent Assoc, 68(9): 546-51.
Hadjiev, B., and G. Avshalomov. Urticarial dermatitis caused by dental implant adhesive
compounds: A case report. Journ of Allergy and Clin Immun 113(2):133.
Hubler, W.R dan W. R Hubler S.R, 1983, Dermatitis from chromium dental plate, South
Browniee, Corpus Christi, Texas, USA.
Huda, Marisa Mifta; Siregar, Erwin; Ismah, Nada. Deformasi Slot Beberapa Produk
Braket Stainless Steel Akibat Gaya Torque Kawat Beta Titanium. Majalah
Kedokteran Gigi Indonesia, 20.1: 35-44.
Irnamanda DH, Elza A, Budiawan, 2013, Toksisitas Amalgam dan Kaitannya dengan
Iswari, S.H., Sianita, K.P.P., 2011, Faktor alergi pada alat ortodonti cekat, WIDYA, 310:56-59.
Jang, J.H., Seung, H.P., Hang, JJ., Sung, G.L., Jin, H.P., Jae, W.J., Chan, S.P., 2017, A
Case of Recurrent Urticaria Due to Formaldehyde Release from Root-Canal
Disinfectant, Yonsei Medical Journal, 58(1):252-254.
Kal BI, Evcin O, Dundar N, Tezel H, Unal I, 2008, An unusual case of immediate
hypersensitivity reaction associated with an amalgam restoration. Br Dent J. 205(10):547-
50.
Kean dan McNally, 2009, Latex hypersensitivity : a closer look at consideration for dentistry, J
Can Dent Assoc, 75 : 279-282.
Khan, A.A., dkk., 2014, Dental Composite Related Allergicreaction In Dentists Working In
Karachi, Pakistan Oral & Dental Journal, 34(2):381-385.
Kijima, A., Nishino, H., Umeda J., Kataoka, Y., 2007, Type 1 Allergy to Formaldehyde in
Root Canal Sealant After Dental Treatment, Arerugi, 52(6):341.
Koch, M.J., Wunstel, E., Stein, G., 2001, Formaldehyde Release from Ground Root Canal
Sealer in Vitro, J Endodontics, 27:396-397.
Koutis, D., Freeman, S., 2008, Allergic contact stomatitis caused by acrylic monomer in a
denture, Australasian Journal of Dermatology, 42(3):203-206.
Kusumadewi, Sari., 2017, Berbagai Reaksi Alergi terhadap Dental Material di
Kedokteran Gigi, Universitas Udayana.
Matttulada, Indrya, Kirana, 2010, Pemilihan Medikamen Intrakanal Antar Kunjungan
yang Rasional, Dentofasial, 9(1): 63-68
Maya, L., Angelina, K.Y., Assya, K., Mariana T. Y., Maria, D.G., 2012, Allergic Contact
Dermatitis from Formaldehyde Exposure, Journal of IMAB, 18:255-262.
Mittermuller P, Szeimies RM, Landthaler M, Schmalz G. A rare allergy to a polyether dental
impression material. Clin Oral Invest. 2012;16(4):1111-16.
Munadziroh, E., 2004, Sitotoksisitas resin akrilik jenis heat cured terhadap sel fibroblast,
Majalah Kedokteran Gigi (Dentistry Journal), 37(2):95-98.
Nahak, M.M., 2013, Shock Anafilaktik Akibat Anestesi Lokal Menggunakan Lidocaine, Jurnal
Kesehatan Gigi, 1 (2): 106-114
Naria, Evi, 2004, Resiko Pemajanan Formaldehid sebagai Bahan Pengawet Tekstil di
Lingkungan Kerja, Universitas Sumatera Utara.
Nathanson, D., dkk., 1979, Delayed Extraoral Hypersensitivity To Dental Composite Material,
Oral Surg, 47(4):329-333.
Nishigawa, K., Hosoki, M., 2011, Dental Metal Allergy, Contact Dermatitis, InTech, Europe,
China.
Noble, J., Ahing, SI., Karaiskos, N.E., Wiltshire, W.A., 2008, Nickel allergy and orthodontics, a
review and report of two cases, Br Dent J, 204(6):297-300.
Pawiru, A.S., Machmud, E., 2009, Respon jaringan periodontal terhadap penggunaan nikel
kromium sebagai komponen gigi tiruan cekat, Dentofasial, 8(1):40-47.
Polimorfisme gen CPOX4 pada Jalur Biosintesis Heme, Jurnal PDGI 62(2):48-55
Prajitno Moetmainah, 1997, Perhatian Dokter Gigi Terhadap Uap Merkuri dalam Pemrosesan
Amalgam, Majalah Kedokteran Gigi, Vol 30. No 2.
Rahilly, G., Price, N., 2003, Current Products And Practice Nickel Allergy And Orthodontics, J
Orthod, British Orthodontic Society, 30 (2): 4-171.
Selcuk, E., Ertürk, S., Afrashi A., 1996, An adverse reaction to local anaesthesia: Report of a
case, Dental Update; October 1996: 345-46.
Shetty, S.R., Bayati, S.A., Khazi, S.S., Reddy, S., El-Sayed, W.S., Devarajan, A.S., 2016,
Allergic reaction to impression materials, Pacific Joural of Medical Science, 15(02):46-
47.
Shoup A, J., 1997, Guidelines for the management of latex allergies and safe use of latex in
perioperative practice settings, AORN J, 66-76, 729:731.
Singh, G, 2007, Textbook Of Orthodontics 2nd Ed, Jaypee Brothers Medical Publishers, New
Delhi: 7-325.
Spina dan Levina, 1999, Latex allergy : a review for the dental professional, Oral Surg Oral Med
Oral Pathol Oral radiol Endod, 87 : 5-11.
Syed, M., Chopra R, Sachdev, V., 2015, Allergic reaction to dental materials-a systemic review,
Journal of Clinical and Diagnostic Research. 9(10):4-9.
Syed, M., Chopra, R., Sachdev, V., 2015, Allergic reactions to dental materials-a systematic
review, Journal of Clinical and Diagnostic Research, 9(10):ZE04-ZE09.
Syed, M., dkk., 2015, Allergic Reaction to Dental Materials – A Systematic Review, Journal of
Clinical Diagnostic Research, 9(10):04-09.
Taylor, T.H., Godhill, D.R., 1992, Standarts of care in anesthesia, Butterworth Heinemann,
Britania Raya, h.15-21

You might also like