Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 22

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap kelompok dalam satu organisasi, dimana didalamnya terjadi
interaksi antara satu dengan lainnya, memiliki kecenderungan timbulnya
konflik. Dalam institusi layanan kesehatan terjadi kelompok interaksi, baik
antara kelompok staf dengan staf, staf dengan pasien, staf dengan keluarga
dan pengunjung, staf dengan dokter, maupun dengan lainnya yang mana
situasi tersebut seringkali dapat memicu terjadinya konflik. Konflik sangat
erat kaitannya dengan perasaan manusia, termasuk perasaan diabaikan,
disepelekan, tidak dihargai, ditinggalkan, dan juga perasaan jengkel karena
kelebihan beban kerja. Perasaan-perasaan tersebut sewaktu-waktu dapat
memicu timbulnya kemarahan. Keadaan tersebut akan mempengaruhi
seseorang dalam melaksanakan kegiatannya secara langsung, dan dapat
menurunkan produktivitas kerja organisasi secara tidak langsung dengan
melakukan banyak kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja. Dalam
suatu organisasi, kecenderungan terjadinya konflik, dapat disebabkan oleh
suatu perubahan secara tiba-tiba, antara lain: kemajuan teknologi baru,
persaingan ketat, perbedaan kebudayaan dan sistem nilai, serta berbagai
macam kepribadian individu.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Pegertian Manajemen Keperawatan
a. Bagaiamana Pengertian Manajemen dan Manajemen Keperawatan?
b. Bagaimana Fungsi Manajemen Keperawatan ?
c. Bagaiamana Kepala Ruangan sebagai Manajer Keperawatan ?
1.2.2 Kepemimpinan
a. Bagaimana Pengertian kepemimpian ?
b. Bagaimana Teori kepemimpinan ?
1.2.3 bagaimana Gaya Kepemimpinan dalam Keperawatan ?
1.2.3 Manajemen Konflik
a. Bagiamana Definisi konflik?

1
b. Bagaimana Sejarah Terjadinya Konflik?
c. Bagimana Sumber Konflik?
d. Bagaimana Kategori konflik?
e. Bagaimana Penyebab konflik?
f. Bagaimana Proses konflik?
g. Bagaimana Pengelolaan Konflik?
h. Bagaimana Penyelesaian Konflik?
i. Bagaimana Aspek positif dalam konflik ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Pegertian Manajemen Keperawatan
a. Mengetahui Pengertian Manajemen dan Manajemen Keperawatan?
b. Mengetahui Fungsi Manajemen Keperawatan ?
c. Mengetahui Kepala Ruangan sebagai Manajer Keperawatan ?
1.3.2 Kepemimpinan
a. Mengetahui Pengertian kepemimpian ?
b. Mengetahui Teori kepemimpinan ?
1.3.3 Mengetahui Gaya Kepemimpinan dalam Keperawatan ?
1.3.4 Manajemen Konflik
a. Mengetahui Definisi konflik?
b. Mengetahui Sejarah Terjadinya Konflik?
c. Mengetahui Sumber Konflik?
d. Mengetahui Kategori konflik?
e. Mengetahui Penyebab konflik?
f. Mengetahui Proses konflik?
g. Mengetahui Pengelolaan Konflik?
h. Mengetahui Penyelesaian Konflik?
i. Mengetahui Aspek positif dalam konflik ?

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PENGERTIAN MANAJEMEN KEPERAWATAN
2.1.1 Pengertian Manajemen dan Manajemen Keperawatan
Manajemen merupakan suatu pendekatan yang dinamis dan proaktif dalam
menjalankan suatu kegiatan di organisasi. Manajemen mencakup kegiatan
POAC (planning, organizing, actuating, controlling) terhadap staf, sarana,
dan prasarana dalam mencapai tujuan organisasi (Grant dan Massey dalam
Nursalam, 2009).
Swanburg (2000) menyatakan bahwa, manajemen keperawatan
berhubungan dengan perencanaan (planning), pengorganisasian
(organizing), pengaturan staf (staffing), kepemimpinan (leading), dan
pengendalian (controlling) aktivitas-aktivitas upaya keperawatan atau divisi
departemen keperawatan dan dari sub unit departemen.
2.1.2 Fungsi Manajemen Keperawatan
Fungsi manajemen keperawatan menurut Marquis dan Huston (2010)
sebagai berikut:
1. Perencanaan : dimulai dengan penerapan filosofi, tujuan,
kebijaksanaan, prosedur, dan peraturan ; termasuk perencanaan jangka
pendek dan jangka panjang ; menentukan tindakan fiskal ; dan
mengelola perubahan terencana.
2. Pengorganisasian : meliputi pembentukan struktur untuk melaksanakan
perencanaan, menetapkan metode pemberian asuhan keperawatan
kepada pasien yang paling tepat, mengelompokkan kegiatan untuk
mencapai tujuan unit serta melakukan peran dan fungsi dalam
organisasi dan menggunakan
3. kekuatan serta otoritas dengan tepat. 3) Ketenagaan : meliputi merekrut,
mewawancarai, mengontrak, dan orientasi dari staf baru, penjadwalan,
pengembangan staf, sosialisasi staf dan pembentukan tim.
4. Pengarahan : mencangkup tanggung jawab dalam mengelola sumber
daya manusia seperti motivasi untuk semangat, manajemen konflik,
pendelegasian, komunikasi, dan memfasilitasi kolaborasi

3
5. Pengawasan/pengendalian meliputi penilaian kinerja, tanggung gugat
fiskal, pengawasan mutu, pengawasan hukum dan etika, dan
pengawasan hubungan profesional dan kolegial.
2.1.3 Kepala Ruangan sebagai Manajer Keperawatan
Kepala ruangan adalah seorang tenaga perawatan profesional yang diberi
tanggung jawab dan wewenang dalam mengelola kegiatan pelayanan
keperawatan di satu ruang rawat (Depkes, 1994 dalam Hutahaen, 2009).
Tugas pokok kepala ruangan adalah mengawasi dan mengendalikan
kegiatan pelayanan keperawatan di ruang rawat yang berada di wilayah
tanggung jawabnya.
Adapun fungsi manajemen keperawatan kepala ruangan adalah:
a. Melaksanakan fungsi perencanaan, meliputi :
1. Merencanakan jumlah dan kategori tenaga perawatan serta tenaga
lain sesuai kebutuhan,
2. Merencanakan jumlah jenis peralatan perawatan yang diperlukan,
3. Merencanakan dan menentukan jenis kegiatan/asuhan keperawatan
yang akan diselenggarakan sesuai kebutuhan pasien.
b. Melaksanakan fungsi pergerakan dan pelaksanaan, meliputi
1. Mengatur dan mengkoordinasi seluruh kegiatan pelayanan di ruang
rawat.
2. Menyusun dan mengatur daftar dinas tenaga perawatan dan tenaga
lain sesuai dengan kebutuhan dan ketentuan/peraturan yang berlaku
(bulanan, mingguan, harian).
3. Melaksanakan program orientasi kepada tenaga keperawatan satu
atau tenaga lain yang bekerja di ruang rawat.
4. Memberi pengarahan dan motivasi kepada tenaga perawatan untuk
melaksanakan asuhan perawatan sesuai standart.
5. Mengkoordinasikan seluruh kegiatan yang ada dengan cara bekerja
sama dengan sebagai pihak yang terlibat dalam pelayanan ruang
rawat.

4
6. Mengenal jenis dan kegunaan barang peralatan serta mengusahakan
pengadaannya sesuai kebutuhan pasien agar tercapainya pelayanan
optimal.
7. Menyusun permintaan rutin meliputi kebutuhan alat, obat, dan
bahan lain yang diperlukan di ruang rawat.
8. Mengatur dan mengkoordinasikan pemeliharaan peralatan agar
selalu dalam keadaan siap pakai.
9. Mempertanggungjawabkan pelaksanaan inventaris peralatan.
10. Melaksanakan program orientasi kepada pasien dan keluarganya
meliputi tentang peraturan rumah sakit, tata tertib ruangan, fasilitas
yang ada dan cara penggunaannya.
11. Mendampingi dokter selama kunjungan keliling untuk memeriksa
pasien dan mencatat program.
12. Mengelompokkan pasien dan mengatur penempatannya di ruang
rawat untuk tingkat kegawatan, injeksi dan non injeksi, untuk
memudah pemberian asuhan keperawatan.
13. Mengadakan pendekatan kepada setiap pasien yang dirawat untuk
mengetahui keadaan dan menampung keluhan serta membantu
memecahkan masalah berlangsung.
14. Menjaga perasaan pasien agar merasa aman dan terlindungi selama
pelaksanaan pelayanan berlangsung.
15. Memberikan penyuluhan kesehatan terhadap pasien/keluarga dalam
batas wewenangnya.
16. Menjaga perasaan petugas agar merasa aman dan terlindungi
serlama pelaksanaan pelayanan berlangsung.
17. Memelihara dan mengembangkan sistem pencatatan data pelayanan
asuhan keperawatan dan kegiatan lain yang dilakukan secara tepat
dan benar.
18. Mengadakan kerja sama yang baik dengan kepala ruang rawat inap
lain, seluruh kepala seksi, kepala bidang, kepala instansi, dan
kepala UPF di rumah sakit.

5
19. Menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik antara
petugas, pasien dan keluarganya, sehingga memberi ketenangan.
c. Melaksanakan fungsi pengawasan, pengendalian dan penelitian,
meliput
1. Mengawasi dan menilai pelaksanaan asuhan keperawatan yang
telah ditentukan.
2. Melaksanakan penilaian terhadap upaya peningkatan pengetahuan
dan keterampilan di bidang perawatan.
3. Melaksanakan penilaian dan mencantumkan ke dalam Daftar
Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai (DP3) bagi pelaksana
keperawatan dan tenaga lain di ruang yang berada di bawah
tanggung jawabnya untuk berbagai kepentingan (naik
pangkat/golongan, melanjutkan sekolah).
4. Mengawasi dan mengendalikan pendayagunaan peralatan
perawatan serta obat–obatan secara efektif dan efisien, mengawasi
pelaksanaan sistem pencatatan dan pelaporan kegiatan asuhan
keperawatan serta mencatat kegiatan lain di ruang rawat.

2.2 KEPEMIMPINAN
2.2.1 Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah hubungan antara pemimpin dan pengikut dimana
pemimpin mempengaruhi pengikut atau pihak lain atau bawahannya untuk
bekerjasama sukarela dalam mengerjakan tugas-tugas yang berhubungan
dengan tugasnya untuk mencapai hal-hal yang diinginkan oleh pimpinan
(Ali, 2010). Menurut Gillies (1994), mendefinisikan kepemimpinan
berdasarkan kata kerjanya, yaitu to lead, yang mempunyai arti beragam,
seperti untuk memandu (to guide), untuk menjalankan dalam arah tertentu
(to run in a specific direction), untuk mengarahkan (to direct), berjalan di
depan (to go at the head of), menjadi yang pertama (to be first), membuka
permainan (to open play), dan cenderung ke hasil yang pasti (to tend toward
a definite result).

6
Gardner dikutip dari Marquis dan Huston (2010) mendefinisikan
kepemimpinan sebagai proses persuasif dan peneladanan oleh individu (atau
tim kepemimpinan) yang mempengaruhi suatu kelompok untuk mengikuti
arahan pimpinan atau diberikan oleh pimpinan kepada bawahannya. Merton
dikutip dari Swanburg (2000) menguraikan kepemimpinan sebagai suatu
transaksi masyarakat dimana seseorang anggota mempengaruhi yang
lainnya. Ia menyatakan bahwa lebih baik bila seseorang dengan posisi
sedang berkuasa mengkombinasikan antara kekuasaan dan kepemimpinan
untuk membantu organisasi dalam mencapai tujuan.

Merton menguraikan kepemimpinan yang efektif akan memenuhi empat


keadaan yaitu :
1. Seseorang akan mengerti apabila menerima suatu komunikasi.
2. Orang ini mempunyai pedoman apa yang harus dilakukan yang diminta
dalam komunikasi tersebut.
3. Orang ini percaya bahwa perilaku yang diminta adalah sesuai dengan
kehendak perorangan dengan nilai yang baik.
4. Orang ini percaya bahwa hal itu sesuai dengan tujuan organisasi.
McGregor dikutip dari Swanburg (2000) menyatakan ada empat variabel
besar untuk memahami kepemimpinan :
1. Karakter pimpinan.
2. Sikap, kebutuhan, dan karakteristik lainnya dari bawahan.
3. Karakteristik dari organisasi, seperti tujuan, strukur organisasi, keadaan
organisasi yang akan dibentuk.
4. Keadaan sosial, ekonomi, dan politik lingkungan. McGregor
menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan hubungan yang sangat
kompleks yang selalu berubah dengan waktu seperti perubahan yang
terjadi pada manajemen, serikat kerja atau kekuatan dari luar.
Berdasarkan penjelasan di atas peneliti dapat menyimpulkan bahwa
kepemimpinan adalah kegiatan memimpin yang pada hakikatnya meliputi
suatu hubungan antara yang antara pemimpin dan yang dipimpin agar mau
bekerja ke arah pencapaian tujuan tertentu.

7
2.2.2 Teori Kepemimpinan
1. Teori Sifat (The Great Man Theory)
Teori ini menekankan bahwa setiap orang adalah pemimpin (pemimpin
dibawa sejak lahir bukan didapatkan) dan mereka mempunyai karakteristik
tertentu yang membuat mereka lebih baik dari yang lain, teori ini disebut
“Great Man Theory”. Banyak penelitian tentang riwayat kehidupan Great
Man Theory, tetapi menurut teori kontemporer, kepemimpinan seseorang
dapat dikembangkan bukan hanya dari pembawaan sejak lahir, dimana teori
ini mengabaikan atau pengaruh dari siapa yang mengasuh, situasi, dan
lingkungan lainnya (Marquis & Huston, 2010). The Great Man Theory dari
filsuf Aristotle, menyatakan bahwa beberapa orang dilahirkan untuk
menjadi pemimpin, sedangkan orang lain dilahirkan untuk dipimpin. Teori
sifat menyatakan bahwa beberapa orang memiliki karakteristik atau sifat
individu tertentu yang membuat mereka memimpin lebih baik daripada yang
lainnya (Marquis dan Huston, 2010).
Swanburg (2000) menyatakan ciri-ciri pemimpin menurut teori sifat adalah:
1. Inteligensi : sifat bawaan berkaitan dengan kecerdasan, termasuk
pengetahuan, menentukan sesuatu dan kelancaran berbicara. Menyadari
bahwa pengetahuan dan kompetensi dalam pekerjaan tertentu adalah salah
satu faktor terpenting dalam keefektifan pemimpin. Pemimpin kompeten
mempunyai kekuatan istimewa apabila dipakai untuk mengilhami
bawahan untuk mengatasi penampilannya.
2. Kepribadian : sifat bawaan dalam kepribadian seperti mudah
menyesuaikan diri, mempunyai keyakinan diri, kreatif, dan bisa
menyatukan diri adalah merupakan sifat pemimpin yang efektif. Pemimpin
adalah seseorang yang efektif dan mengetahui bagaimana memotivasi para
pegawai untuk mencapai tujuan dari organisasi dan.
3. Kemampuan : seorang pemimpin mempunyai cukup kepopuleran, wibawa
dan keterampilan diri untuk dipakai sebagai simbol dalam menyampaikan
segala sesuatu, dan bisa pula menanamkan kesatuan dengan secara
mendalam diantara anggota-anggota dari suatu sistem organisasi.
2. Teori Perilaku (Behaviour Theory)

8
Kepemimpinan dapat dipelajari berdasarkan pola–pola kelakuan para
pemimpin. Seorang pemimpin tidak berkelakuan sama ataupun melakukan
kegiatan yang identik dengan seorang pemimpin yang lainnya dalam suatu
situasi yang sama (Winardi, 2000). Nursalam (2009) menyatakan bahwa
teori perilaku lebih menekankan pada apa yang dilakukan pemimpin dan
bagaimana seorang manajer menjalankan fungsinya. Perilaku sering dilihat
sebagai suatu rentang dari sebuah perilaku otoriter ke demokratis atau dari
fokus suatu produksi ke fokus pegawai. Vestal dikutip dari Nursalam (2009)
menyatakan teori perilaku dinamakan dengan gaya kepemimpinan seorang
manajer dalam satu organisasi. Bersamaan dengan berkembangnya teori
kepemimpinan, para peneliti mulai menekankan pada apa yang telah
pemimpin lakukan (gaya kepemimpinan). Lewin (1951) dan White &
Lippitt (1960) mengeluarkan terobosan baru yaitu memisahkan gaya
kepemimpinan menjadi otoriter, demokratis dan Laissez-faire (Gillies,
1994).
McGregor menyatakan bahwa setiap manusia merupakan kehidupan
individu secara keseluruhan yang mengadakan interaksi inividu dengan
lingkungannya. Apa yang terjadi dengan orang tersebut merupakan akibat
dari perilaku orang lain. Sikap dan emosi orang lain mempengaruh orang
tersebut. Bawahan sangat tergantung pada atasan dan berkeinginan untuk
diberlakukan adil. Suatu hubungan akan berhasil apabila dihendaki kedua
pihak, juga tergantung pada prakarsa yang diambil atasan (Swanburg,
2000).

2.3 GAYA KEPEMIMPINAN


Gaya kepemimpinan adalah sekumpulan ciri yang digunakan untuk
mempengaruhi bawahan agar sasaran organisasi tercapai atau dapat pula
dikatakan gaya kepemimpinan adalah pola perilaku dan strategi yang disukai
dan sering diterapkan oleh seorang pemimpin. Gaya kepemimpinan
merupakan pola menyeluruh dari tindakan seorang pemimpin, baik yang
tampak maupun tidak tampak oleh bawahannya. Gaya kepemimpinan
menggambarkan kombinasi yang konsisten dari falsafah, keterampilan, sifat

9
dan sikap yang mendasari perilaku seseorang (Rivai, 2003). Gaya
kepemimpinan adalah adanya pendekatan yang dapat digunakan untuk
memahami suksesnya kepemimpinan dimana lebih memusatkan perhatian
apa yang dilakukan oleh pemimpin tersebut (Winardi, 2000). Berdasarkan
uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa gaya kepemimpinan adalah
sekumpulan pola perilaku yang dimiliki oleh seorang pemimpin dalam
mempengaruhi perilaku orang lain.
Gillies (1994) mengatakan gaya kepemimpinan berdasarkan wewenang
dan kekuasaan dibedakan menjadi empat yaitu : otoriter, demokratis,
partisipatif dan bebas tindak atau Laissez–Faire.
Gaya kepemimpinan otoriter adalah gaya seorang pemimpin yang
berorientasi pada tugas, menggunakan jabatan kekuasaan posisi dan
kekuasaan dalam memimpin, mempertahankan tanggung jawab untuk semua
perencanaan tujuan dan pembuatan keputusan serta memotivasi bawahan
dengan menggunakan penghargaan (reward) dan kesalahan (punishment)
(Gillies, 1994).
Gaya kepemimpinan demokratis merupakan kepemimpinan yang
menghargai sifat dan kemampuan setiap staf. Membuat rencana dan
pengontrolan dalam penerapannya informasi diberikan seluas - luasnya dan
terbuka (Nursalam, 2007). Gaya kepemimpinan ini menggunakan kekuatan
pribadi dan kekuatan jabata untuk menarik gagasan dari para pegawai dan
memotivasi anggota kelompok untuk menentukan tujuan sendiri,
mengembangkan rencana dan mengontrol praktek mereka sendiri (Gillies,
1994).
Gaya kepemimpinan partisipatif merupakan gabungan antara otoriter dan
demokratis, yaitu pemimpin yang menyampaikan hasil analisis masalah dan
kemudian mengusulkan tindakan tersebut kepada bawahannya. Staf diminta
saran dan kritiknya serta mempertimbangkan respon staf terhadap usulannya,
dan keputusan akhir ada pada kelompok (Nursalam, 2007).
Gaya kepemimpinan Laissez–Faire atau bebas tindak merupakan
pimpinan offisial dimana pemimpin melepaskan tanggung jawabnya,
karyawan menentukan sendiri kegiatan tanpa pengarahan, supervisi dan

10
koordinasi dan memaksa mereka untuk merencanakan, melakukan, dan
menilai pekerjaan mereka yang menurut mereka tepat (Gillies, 1994).
Gaya kepemimpinan Laissez–Faire atau bebas tindak merupakan
pimpinan offisial dimana pemimpin melepaskan tanggung jawabnya,
karyawan menentukan sendiri kegiatan tanpa pengarahan, supervisi dan
koordinasi dan memaksa mereka untuk merencanakan, melakukan, dan
menilai pekerjaan mereka yang menurut mereka tepat (Gillies, 1994).

2.4 MANAJEMEN KONFLIK


2.4.1 Definisi Konflik
Deutsch dikutip dari Monica (1998) mendefinisikan konflik sebagai suatu
perselisihan atau perjuangan yang timbul akibat terjadinya ancaman
keseimbangan antara perasaan, pikiran, hasrat, dan perilaku seseorang.
Konflik terjadi akibat adanya pertentangan pada situasi keseimbangan yang
terjadi pada diri individu ataupun pada tatanan yang lebih luas, seperti antar–
individu, antar-kelompok, atau antar–masyarakat (Arwani, 2006). Marquis &
Huston (2010) mendefinisikan konflik sebagai perselisihan internal atau
ekternal akibat adanya perbedaan gagasan, nilai, atau perasaan antara dua
orang atau lebih.
Walton dalam Winardi (2001) mengatakan konflik timbul apabila terdapat
ketidaksesuaian paham pada sebuah situasi sosial mengenai persoalan-
persoalan substansi dan atau antagonisme emosional. Konflik-konflik
substansi biasanya berpusat pada ketidakcocokan dengan tujuan-tujuan dan
alat-alat. Konflik-konflik emosional mencakup perasaan marah,
ketidaksenangan, perasaan takut, penolakan, dan benturan-benturan
kepribadian.
Berdasarkan uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa konflik adalah
suatu kondisi yang ditimbulkan karena adanya perbedaan pendapat atau
perbedaan cara pandang antara individu yang saling berinteraksi yang dimulai
dari dalam individu itu sendiri, antarkelompok dan antarorganisasi.

11
2.4.2 Sejarah Terjadinya Konflik
Sejarah terjadinya suatu konflik pada suatu organisasi dimulai seratus
tahun yanglalu, di mana konflik adalah suatu kejadian yang alamiah dan
peristiwa yang pastiterjadi di organisasi. Pada awal abad ke-20, konflik
diindikasikan sebagai suatukelemahan manajemen pada suatu organisasi yang
harus dihindari. Keharmonisansuatu organisasi sangat diharapkan, tetapi
konflik selalu akan merusaknya. Ketikakonflik mulai terjadi pada suatu
organisasi, meskipun dihindari dan ditolak,namun harus tetap diselesaikan
secepatnya. Konflik sebenarnya dapat dihindaridengan mengarahkan staf
kepada tujuan yang jelas dalam melaksanakan tugas danmemfasilitasi agar
staf dapat mengekspresikan ketidakpuasannya secara langsung,sehingga
masalah tidak menumpuk dan bertambah banyak.
Pada pertengahan abad ke-19, ketika ketidakpuasan staf dan umpan balik
dariatasan tidak ada, maka konflik diterima secara pasif sebagai suatu kejadian
yang normaldalam organisasi. Oleh karena itu, seorang manajer harus belajar
banyak tentangbagaimana menyelesaikan konflik tersebut daripada berusaha
menghindarinya.Meskipun konflik dalam organisasi merupakan suatu unsur
penghambat staf dalam melaksanakan tugasnya, tetapi diakui bahwa konflik
dan kerja sama dapat terjadi secara bersamaan.
Teori interaksi pada tahun 1970 mengemukakan bahwa konflik merupakan
suatu hal yang penting, dan secara aktif mengajak organisasi untuk
menjadikan konflik sebagai salah satu pertumbuhan produksi. Teori ini
menekankan bahwa konflik dapatmengakibatkan pertumbuhan produksi
sekaligus kehancuran organisasi, keduanyatergantung bagaimana manajer
mengelolanya. Mengingat konflik adalah sesuatu yangtidak dapat dihindarkan
dalam organisasi, maka manajer harus dapat mengelolanyadengan baik.
Konflik dapat berupa sesuatu yang kualitatif atau kuantitatif. Meskipun
konflikberakibat terhadap stres, tetapi dapat meningkatkan produksi dan
kreativitas.Manajemen konflik yang konstruktif akan menghasilkan
lingkungan yang kondusifuntuk didiskusikan sebagai suatu fenomena utama,
komunikasi yang terbuka melaluipengutaraan perasaan, dan tukar pikiran serta

12
tanggung jawab yang menguntungkandalam menyelesaikan suatu perbedaan
(Erwin, 1992).
2.4.3 Sumber Konflik
Beberapa sumber konflik dalam organisasi dapat disebabkan oleh
beberapa halberikut.
1) Keterbatasan sumber daya.
2) Perbedaan tujuan.
3) Ketidakjelasan peran.
4) Hubungan dalam pekerjaan.
5) Perbedaan antar individu.
6) Masalah organisasi.
7) Masalah dalam komunikasi
2.4.4 Kategori Konflik
Marquis & Huston (2010) mengatakan ada tiga kategori konflik yang utama :
intrapersonal, interpersonal, dan interkelompok.
1. Konflik intrapersonal : konflik yang terjadi pada individu sendiri.
Keadaan ini merupakan masalah internal untuk mengklarifikasi nilai dan
keinginan dan konflik yang terjadi. Hal ini sering dimanifestasikan
sebagai akibat dari kompetensi peran (Nursalam, 2009). Bagi manajer,
konflik intrapersonal dapat disebabkan oleh berbagai area tanggung
jawab yang terkait dengan peran manajemen (Marquis & Huston, 2010).
2. Konflik interpersonal : konflik terjadi antara dua orang atau lebih dimana
nilai, tujuan dan keyakinan berbeda. Konflik ini sering terjadi karena
seseorang secara konstan berinteraksi dengan orang lain, sehingga
ditemukan perbedaan–perbedaan (Nursalam, 2009). Ruang lingkup ini
sangat tidak terbatas, konflik bisa terjadi antara atasan dengan bawahan
secara individu dalam suatu perusahaan (Bachtiar, 2004).
3. Konflik interkelompok : konflik yang terjadi antara dua atau lebih dari
kelompok orang, departemen, atau organisasi. Sumber konflik ini adalah
hambatan dalam mencapai kekuasaan dan otoritas (kualitas jasa layanan),
serta keterbatasan prasarana (Marquis & Huston, 2010). Konflik

13
interkelompok menyebabkan tugas koordinasi dan integrasi kegiatan-
kegiatan tugas menjadi sulit (Winardi, 2007).
2.4.5 Penyebab Konflik
Konflik dapat terjadi karena manusia mempunyai sifat yang terbagi dalam
kuadran yaitu :
1. dominasi (dominance), sifat yang paling mendasar dalam diri manusia
yang dapat menimbulkan konflik. Dominasi muncul karena manusia
ingin mempertahankan kehidupan pribadi dan sosialnya dimata orang
lain atau ingin menguasai orang lain agar menuruti keinginannya yang
tujuannya untuk mencapai kepuasan diri.
2. Kepengaruhan (persuasiveness), hal ini terjadi jika seseorang berusaha
mempengaruhi orang lain agar mau menuruti apa yang dipengaruhkan
kepadanya, jika pengaruh tersebut membawa dampak negatif pada
dirinya maka akan terjadi konflik.
3. Keteguhan hati (steadiness), merupakan cerminan sikap egois dalam diri
manusia, yang bila bersentuhan dengan kepentingan dan harga diri
manusia lain bisa menimbulkan konflik.
4. Kepatuhan (compliance), diartikan sebagai kepatuhan seseorang terhadap
nilai-nilai dan aturan-aturan yang berlaku di lingkungannya. Jika ada
karyawan yang tidak patuh sedangkan karyawan yang lain sudah patuh
akan memicu timbulnya konflik (Bachtiar, 2004).
Beberapa alasan yang paling umun yang menyebabkan terjadinya
konflik di lingkungan kerja yaitu : kompetisi diantara kelompok, beban
kerja yang meningkat, peran ganda, ancaman identitas profesional dan
lingkungan, ancaman keamanan dan keselamatan, sumber daya yang
kurang, budaya yang berbeda, dan kondisi ruangan (Tappen, 2004). Arwani
(2006) mengatakan banyak faktor yang menyebabkan terjadinya konflik
diantaranya perilaku yang menentang, stress, kondisi ruangan, kewenangan
dokter-perawat, keyakinan, ekslusifisme, kekaburan tugas, kekurangan
sumber daya, proses perubahan, imbalan dan masalah komunikasi.
Berikut ini uraian faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik
tersebut :

14
a. Perilaku menentang, sebagai bentuk dari ancaman terhadap suatu dialog,
dapat menimbulkan gangguan protokol penerimaan untuk berinteraksi
dengan orang lain. Perilaku ini dapat berupa verbal dan nonverbal.
Terdapat tiga macam perilaku menentang, yaitu : competitive bomber
yang dicirikan perilaku yang mudah menolak, menggerutu dan
menggumam, mudah untuk tidak masuk kerja, dan merusak secara
agresif yang disengaja. Tipe perilaku menentang kedua adalah martyred
acomodation, yang ditunjukkan dengan penggunaan kepatuhan semu
atau palsu dan kemampuan bekerjasama dengan orang lain, namun
sambil melakukan ejekan dan hinaan. Tipe perilaku menentang ketiga
adalah avoider, yang ditunjukkan dengan pengghindaran kesepakatan
yang telah dibuat dan menolak untuk berpartisipasi.
b. Banyaknya stressor yang muncul dalam lingkungan kerja seseorang
menimbulkan terjadinya stress. Stres dapat mengakibatkan tekanan fisik
maupun tekanan mental hal ini akan mudah memicu terjadinya konflik
c. Kondisi ruangan yang terlalu sempit atau tidak kondusif untuk
melakukan kegiatan–kegiatan rutin dapat memicu terjadinya konflik. Hal
yang memperburuk keadaan dalam ruangan dapat berupa hubungan yang
monoton atau konstan diantara individu yang terlibat di dalamnya, terlalu
banyaknya pengunjung pasien dalam suatu ruangan atau bangsal mampu
memperparah kondisi ruangan yang mengakibatkan terjadinya konflik.
d. Kewenangan dokter–perawat yang berlebihan dan tidak saling
mengindahkan usulan–usulan di antara mereka, juga dapat
mengakibatkan munculnya konflik. Dokter yang tidak mau menerima
umpan balik dari perawat, atau perawat yang merasa tidak acuh dengan
saran–saran dari dokter untuk kesembuhan klien yang dirawatnya, dapat
memperkeruh suasana.
e. Perbedaan nilai atau keyakinan antara satu orang lain dengan yang
lainnya dapat menyebabkan terjadinya konflik. Perawat begitu percaya
dengan persepsinya tentang pendapat kliennya sehingga menjadi tidak
yakin dengan pendapat yang diusulkan oleh profesi atau tim kesehatan
lainnya. Keadaan ini akan semakin kompleks jika perbedaan keyakinan,

15
nilai, dan persepsi telah melibatkan pihak di luar tim kesehatan yaitu
keluarga pasien
f. Ekslusifisme yaitu adanya pemikiran bahwa kelompok tertentu memiliki
kemampuan yang lebih dibandingkan kelompok lain.
g. Kekaburan tugas atau peran ganda yang disandang seseorang (perawat)
dalam bangsal keperawatan sering mengakibatkan konflik. Seorang
perawat yang berperan lebih dari satu peran pada waktu yang hampir
bersamaan masih merupakan fenomena yang jamak ditemukan dalam
tatanan pelayanan kesehatan baik di rumah sakit maupun komunitas.
h. Kekurangan sumber daya manusia sering memicu terjadinya persaingan
yang tidak sehat dalam suatu tatanan organisasi.
i. Proses perubahan yang terlalu cepat atau proses perubahan yang terlalu
lambat dapat memunculkan konflik. Individu yang tidak siap dengan
perubahan memandang perubahan sebagai suatu ancaman.
j. Imbalan jika dikaitkan dengan pembagian yang tidak merata antara satu
orang dengan orang lain dapat menyebabkan munculnya konflik.
Pemberian imbalan yang tidak didasarkan atas pertimbangan profesioanal
sering menimbulkan masalah yang pada akhirnya menimbukan suatu
konflik.
k. Masalah komunikasi, penyampaian informasi yang tidak seimbang,
hanya orang tertentu yang diajak berbicara oleh manajer, penggunaan
bahasa yang tidak efektif, dan penggunaan media yang tidak tepat sering
berujung terjadinya konflik.
2.4.6 Proses Konflik
Proses konflik ada enam tahapan yaitu : pertama, kondisi yang
mendahului, konflik yang dipersepsi, konflik yang dirasakan, perilaku yang
dinyatakan, penyelesaian atau penekanan konflik, dan penyelesaian akibat
konflik (Filley dikutip dari Monica 1998). Kondisi yang mendahului
merupakan penyebab terjadinya konflik (tahap kedua). Kondisi yang ada di
antara pihak yang terlibat atau di dalam diri dapat menyebabkan terjadinya
konflik. Tahapan ketiga konflik akan dipersepsikan adalah konflik
intelektual dan sering melibatkan isu serta peran. Konflik ini dikenali secara

16
logis dan tidak melibatkan perasaan orang lain yang terlibat konflik. Konflik
yang dirasakan ketika konflik melibatkan emosi. Emosi yang dirasakan
antara lain rasa bermusuhan, takut, tidak percaya dan marah. Konflik ini
mungkin juga dipersepsikan bukan dirasakan, karena orang juga dapat
merasakan konflik tetapi tidak mengetahui masalahnya (Marquis & Huston,
2010). Pada tahapan keempat konflik akan dimanifestasikan ataupun ada
perilaku yang dinyatakan seperti agresif, pasif, asersif, persaingan, debat,
atau beberapa individu memecahkan konflik. Langkah selanjutnya (tahap
lima) yang dilakukan terhadap terjadinya konflik adalah perilaku untuk
menyelesaikan atau menekan konflik tersebut. Perilaku tersebut dapat
berupa perjanjian di antara yang terlibat atau kadang melakukan tindakan
penaklukan salah satu pihak. Suatu penyelesaian masalah dengan cara
memuaskan semua orang yang terlibat di dalamnya dengan prinsip win–win
solution. Pada tahap terakhir dalam proses konflik adalah akibat konflik.
Konflik akan selalu menimbulkan dampak negatif dan positif. Jika konflik
dikelola secara baik, orang yang terlibat di dalam konflik akan percaya ia
akan diberlakukan secara adil. Jika konflik tidak terselesaikan akan
menimbulkan konflik yang lebih besar dari konflik yang utama (Nursalam,
2009).
2.4.7 Pegelolaan Konflik

Konflik dapat dicegah atau dikelola dengan:

1. Disiplin: Mempertahankan disiplin dapat digunakan untuk mengelola


dan mencegah konflik. Manajer perawat harus mengetahui dan
memahami peraturan-peraturan yang ada dalam organisasi. Jika belum
jelas, mereka harus mencari bantuan untuk memahaminya.
2. Pertimbangan Pengalaman dalam Tahapan Kehidupan: Konflik dapat
dikelola dengan mendukung perawat untuk mencapai tujuan sesuai
dengan pengalaman dan tahapan hidupnya. Misalnya; Perawat junior
yang berprestasi dapat dipromosikan untuk mengikuti pendidikan
kejenjang yang lebih tinggi, sedangkan bagi perawat senior yang
berprestasi dapat dipromosikan untuk menduduki jabatan yang lebih
tinggi.

17
3. Komunikasi: Suatu Komunikasi yang baik akan menciptakan
lingkungan yang terapetik dan kondusif. Suatu upaya yang dapat
dilakukan manajer untuk menghindari konflik adalah dengan
menerapkan komunikasi yang efektif dalam kegitan sehari-hari yang
akhirnya dapat dijadikan sebagai satu cara hidup.
4. Mendengarkan secara aktif: Mendengarkan secara aktif merupakan hal
penting untuk mengelola konflik. Untuk memastikan bahwa
penerimaan para manajer perawat telah memiliki pemahaman yang
benar, mereka dapat merumuskan kembali permasalahan para pegawai
sebagai tanda bahwa mereka telah mendengarkan.
2.4.8 Strategi Penyelesaian Konflik
Seorang pemimpin bertugas mengenali manajemen konflik atau strategi
penyelesaian masalah yang paling tepat untuk setiap situasi. Pilihan strategi
yang tepat tergantung pada banyak variabel, misalnya situasi itu sendiri,
kekuatan atau status pihak yang terlibat dan kedewasaan orang yang terlibat
dalam konflik (Marquis & Huston, 2010). Ada beberapa strategi yang
digunakan dalam penyelesain konflik yaitu kompromi atau negosiasi,
kompetisi, akomodasi, smoothing, menghindar, dan kolaborasi (Nursalam,
2009).
a. Kompromi atau negosiasi : suatu strategi penyelesaian konflik dimana
semua yang terlibat saling menyadari dan sepakat pada keinginan
bersama. Penyelesaian strategi ini sering diartikan sebagai lose–lose
situation kedua unsur yang terlibat menyepakati hal yang telah dibuat
(Nursalam, 2009). Kompromi bekerja menuju kepuasan parsial, semua
pihak mencari sebuah solusi yang dapat diterima dan bukan yang
optimal dengan demikian tidak ada pihak yang menang maupun kalah
secara mutlak (Winardi, 2007). Strategi ini dapat dilakukan ketika
tujuan-tujuannya penting, ketika pihak lawan dengan persamaan
kekuasaan sepakat untuk mencapai tujuan bersama. Strategi ini dapat
dilakukan dengan tujuannya untuk mencapai penyelesaian sementara
untuk isu-isu yang kompleks, untuk mencapai solusi yang bijaksana,

18
dan sebagai cadangan ketika gaya kolaborasi dan kompetisi tidak
berhasil (Rivai, 2003).
b. Kompetisi : strategi ini dapat diartikan sebagai win–lose penyelesaian
konflik. Penyelesaian ini menekankan bahwa hanya ada satu orang atau
kelompok yang menang tanpa mempertimbangkan yang kalah. Akibat
negatif dari strategi ini adalah kemarahan putus asa dan keinginan
untuk memperbaiki di masa mendatang (Nursalam, 2009). Strategi ini
sering digunakan apabila keputusankeputusan cepat dan desisif
diperlukan sekali misalnya dalam situasi darurat dan persoalan-
persoalan penting (Rivai, 2003).
c. Akomodasi : strategi ini digunakan untuk memfasilitasi dan
memberikan wadah untuk menampung keinginan pihak yang terlibat
konflik. Dengan cara ini dimungkinkan terjadi peningkatan kerjasama
dan pengumpulan data–data yang akurat dan signifikan untuk
pengambilan suatu kesepakatan bersama (Arwani & Supriyanto, 2006).
Strategi ini bertujuan untuk memelihara kerjasama, membangun
penghargaan sosial bagi isu-isu berikutnya, meminimalkan kerugian,
keharmonisan dan stabilitas dipandang lebih penting, dan memberi
kesempatan kepada bawahan berkembang dengan belajar dari kesalahan
(Rivai, 2003)
d. Smoothing : strategi ini sering digunakan manajer agar seseorang
mengakomodasikan atau bekerjasama dengan pihak lain. Smoothing
terjadi ketika satu pihak dalam konflik berupaya untuk memuji pihak
lain atau berfokus pada hal yang disetujui bersama, bukan pada
perbedaan. Pendekatan ini tepat digunakan pada perselisihan yang kecil
(Marquis & Huston, 2010).
e. Menghindar : semua pihak yang terlibat dalam konflik menyadari
masalah yang dihadapi tetapi memilih untuk menghindar atau tidak
menyelesaikan masalah (Nursalam, 2009). Strategi ini biasanya dipilih
jika isu tidak gawat atau bila kerusakan yang potensial tidak akan
terjadi dan lebih banyak menguntungkan (Swanburg, 2000).

19
f. Kolaborasi : strategi ini merupakan strategi win–win solution, dalam
kolaborasi kedua belah pihak menentukan tujuan bersama dan bekerja
sama dalam mencapai suatu tujuan, karena keduanya meyakini akan
tercapainya suatu tujuan yang telah ditetapkan dan masing–masing
pihak yang terlibat meyakininya (Nursalam, 2009).
2.4.9 Aspek Positif Dalam Konflik
Konflik bisa jadi merupakan sumber energi dan kreativitas yang positif
apabila dikelola dengan baik. Misalnya, konflik dapat menggerakan suatu
perubahan :
 Membantu setiap orang untuk saling memahami tentang perbedaan
pekerjaan dan tanggung jawab mereka.
 Memberikan saluran baru untuk komunikasi.
 Menumbuhkan semangat baru pada staf.
 Memberikan kesempatan untuk menyalurkan emosi.
 Menghasilkan distribusi sumber tenaga yang lebih merata dalam
organisasi.

Apabila konflik mengarah pada kondisi destruktif, maka hal ini dapat
berdampak pada penurunan efektivitas kerja dalam organisasi baik secara
perorangan maupun kelompok, berupa penolakan, resistensi terhadap
perubahan, apatis, acuh tak acuh, bahkan mungkin muncul luapan emosi
destruktif, berupa demonstrasi.

20
BAB 3

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Hubungan interpersonal antara perawat dengan, kolega, kelompok,


keluarga pasen maupun orang lain dapat merupakan sumber terjadinya
konflik, oleh sebab itu perawat harus mengetahui dan memahami manajemen
konflik. Penyebab konflik meliputi: ketidakjelasan uraian tugas, gangguan
komunikasi, tekanan waktu, standar, kebijakan yang tidak jelas, perbedaan
status, dan harapan yang tidak tercapai. Konflik dapat dicegah atau diatur
dengan menerapkan disiplin, komunikasi efektif, dan saling pengertian
antara sesama rekan kerja.

Untuk mengembangkan alternatif solusi agar dapat mencapai satu


kesepakatan dalam pemecahan konflik ,diperlukkan komitmen yang sungguh
sungguh . Ada beberapa stragtegi yang dapat digunakan, antara lain ;
akomodasi, kompetisi, kolaborasi, negosiasi, dan kompromi. Diharapkan
Manajer Perawat dapat memahami dan menggunakan keahliannya secara
khusus untuk mencegah dan mengatur konflik.

3.2 SARAN
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama bagi
penulis itu sendiri, kami mengharapkan kritik dan saran untuk membangun
makalah ini mejadi lebih baik lagi.

21
DAFTAR PUSTAKA

Ann, Dee Gillies,2000. Manajemen Keperawatan: Sebagai Suatu Pendekatan


Sistem. Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran:
Bandung
Gillies, D.A, (1994). Nursing Management: System approach. (3th ed),
philadelpia: W. B. Saunders Co.
Marquis BL & Huston CJ (1998). Manajement Decision Making. 3rd, Jakarta:
Salemba Medika
Marquis, B.L & Huston, C.J. (2010). Kepemimpinan Dan Manajemen
Keperawatan: Teori Dan Aplikasi. Edisi keempat. Jakarta: EGC.
Nursalam. 2009. Manajemen Keperawatan : Aplikasi Dalam Praktik Keperawatan
Profesional .Ed. 3. Jakarta: Salemba Medika
Nursalam, 2011. Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam Praktik Keperawatan
Profesional, Ed 2. Jakarta: Salemba Medika
Swanburg, R, (1993). Introductory Manajement and Leadership for Clinical
Nurses. Jakarta: EGC
Vestal, K.W , 1994. Nursing Management: Control and Issues. 2nd Ed.
Philadelphia: J.B Lippincott
Zuhriana, Nurhayani, Balqis, 2012. Faktor yang Berhubungan Dengan Kinerja
Perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah (Rsud) Bula
Kabupaten Seram Bagian Timur. Skripsi FKM Unhas Makassar.

22

You might also like