S2 2014 324082 Chapter1

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 9

I.

PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang

Merbau (Intsia spp.) memiliki harga yang tinggi di pasar nasional

maupun internasional. Menurut Departemen Kehutanan (Nadeak, 2009) sampai

tahun 2009 kayu gergajian dan kayu bulat dihargai sebesar US$ 850 dan US$ 360

per m3. Pada kabupaten/kota di Papua harga kayu gergajian merbau berkisar

antara Rp. 2 juta sampai 4 juta m3. Menurut Damayanti (2007), tahun 2004 kayu

merbau curian dari Papua dihargai Rp 1,2/m3, ketika dimuat di kapal. Ketika tiba

di China harganya Rp. 2,4 juta, sesudah diolah menjadi lantai kayu dan dijual ke

Eropa dan Amerika, harganya naik menjadi Rp. 20 juta.

Sebanyak 300.000 m3 merbau diselundupkan ke luar Papua setiap

bulan (Telapak dan EIA, 2010). Jumlah ini belum ditambah dengan nilai produksi

secara legal yang tercatat dalam Laporan Hasil Produksi setiap HPH di Papua per

tahunnya. Apabila dirinci dengan baik, akan didapati ratusan ribu bahkan ratusan

juta batang kayu merbau telah ditebang dari hutan Papua sejak awal tahun 1980-

an hingga akhir tahun 2012.

Eksploitasi kayu merbau, jenis komersil lain dan pemekaran kabupaten

baru telah mengakibatkan kerusakan parah pada ekosistem hutan Papua. Menurut

Telapak dan EIA (2010), Papua telah mengalami kerusakan sejak tahun 1990-an

hingga awal tahun 2000-an yang mengakibatkan 25% hutannya hilang. Telah

terjadi deforestasi dan aforestasi sebesar 32 juta hektar hingga menjadi 23 juta

hektar. Tahun 2000-2005 rata-rata laju kerusakan hutan Papua 144 ribu Ha/tahun

1
 

 
(Kemenhut Republik Indonesia, 2011). Dalam kurun waktu 2003-2009 telah

terjadi kerusakan hutan lebih dari 5,8 juta Ha di Papua, selain itu tahun 2003-

2007, luas hutan yang rusak akibat penebangan kayu, pembukaan perkebunan

sawit dan HTI di Papua kurang lebih 16 juta Ha. Umumnya kerusakan hutan

akibat penebangan, kurang tegasnya pengawasan pemerintah dan buruknya

kinerja HPH/IUPHHK-HA. Harian Bisnis Indonesia (2008), melaporkan bahwa

62,4% HPH/IUPHHK-HA di Papua berkinerja buruk secara teknis dan dalam

kebijakannya kurang melibatkan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan.

Besarnya kerusakan hutan dan tingginya volume kayu merbau yang

diambil dari hutan alam Papua setiap tahunnya, menimbulkan kekuatiran jenis ini

akan punah pada beberapa tahun mendatang. Kekuatiran tersebut telah mendorong

WWF dan LSM Green Peace ingin memasukan jenis merbau dalam daftar

Appendix III CITES setelah melakukan beberapa studi tentang merbau di Papua

dan memperhatikan hasil investigasi Telapak dan EIA tahun 2005. Namun

ancaman terhadap merbau (Intsia spp.) masih dapat dicegah melalui upaya

konservasi, rehabilitasi dan pembangunan hutan tanaman merbau. Strategi

pengembangannya mencakup konservasi ek-situ maupun in-situ, pembangunan

model hutan tanaman/rakyat, penyiapan benih dan silvikultur serta penyiapan

kelembagaan.

Merbau merupakan salah satu genera tumbuhan penting dalam struktur

dan komposisi hutan hujan tropis Papua. Pattiselano et al., (2011) melaporkan

bahwa ada 32 jenis burung diurnal di Taman Wisata Alam Gunung Meja

menjadikannya sebagai salah satu habitat bermain dan beristirahat. Sineri (2006)
3
 
menjelaskan bahwa daun muda merbau merupakan pakan bagi kuskus jenis

Phalanger orientalis dan Spilocuscus maculatus. Informasi dari baberapa

masyarakat di sekitar TWAGM, bahwa masa pergantian daun merbau, turut

menentukan arah jelajah bulanan kedua jenis kuskus pohon tersebut.

Di Hutan Pendidikan Unipa satu pohon induk merbau dapat

menghasilkan lebih dari 1000 semai (Wororopui, 2011). Pada fase tiang dan

pohon, merbau merupakan penyusun strata A, B dan C di beberapa areal hutan

alam. Merbau merupakan salah satu jenis inang potensial bagi rotan Calamus

aruensis untuk mencapai tajuk hutan karena pengaruhnya terhadap penambahan

tinggi rotan (Sirami, 2009). Merbau merupakan jenis yang cukup adaptatif hadap

kondisi tanah, iklim, maupun mampu tumbuh dengan baik bersama tumbuhan lain

ketika telah mencapai tingkat tiang dan pohon. Anggrek kribo, anggrek macan,

Calamus aruensis, Calamus cayensis, Calamus holrungii, Korthalsia zippelii,

beberapa jenis Platicerium spp., memiliki asosiasi yang cukup erat dengan jenis

merbau di hutan Gunung Meja (Wanggai, 2000; Sineri, et al., 2000; Yenusi, 2006;

Simbiak, 2010). Pada daerah rawa air tawar di wilayah Mappi, merbau memiliki

asosiasi yang cukup tinggi dengan Calamus holrungii (Sirami, et al., 2010).

Menurut Batorinding (2011), 16 jenis pohon dominan di PUP Gunung Meja

berasosiasi kuat dengan merbau. Di areal konsesi HPH PT. Mambramo Bangun

merbau berasosiasi dengan 14 jenis pohon dominan (Sabarofek et al., 2008).

Adaptasi merbau atas variasi tanah biasanya ditunjukan lewat banyak sedikitnya

jumlah yang tumbuh, jarang ditunjukan lewat perbedaan ukuran diameter atau

tinggi total karena umumnya ukurannya hampir sama.



 
Habitat merbau di Taman Wisata Alam Gunung Meja merupakan

kompleksitas dari faktor biologis dan faktor fisik hutan yang saling timbal balik

pengaruhnya. Oleh sebab itu dalam rangka pengelolaan jenis merbau yang lebih

baik, diperlukan acuan seperti data dan informasi ekologis yang akurat dari hasil-

hasil studi terhadap merbau dan habitatnya. Salah satu cara untuk memperoleh

informasi tetang habitat dan bagaimana merbau tumbuh dan berkembang dapat

disederhanakan melalui model ekologis. Model ekologis merupakan

penyederhanaan dari suatu sistem ekologis yang kompleks karena banyaknya sub

sistem fisik dan biologis. Menurut Bukhart (2003), model yang baik memilih

elemen fungsional atau elemen-elemen utama dari sistem yang sebenarnya. Untuk

keperluan tersebut Sadono (2008); Santoso (2011), menyarankan penggunaan

Metode Principal Components Analysis (PCA) dalam analisis faktor, untuk

meringkas banyak variabel yang digunakan membentuk model ke dalam faktor

yang lebih sedikit. Variabel atau faktor baru yang terbentuk, dapat dijadikan

sebagai variabel dalam analisis regresi linear atau non linear, dan diagram jalur.

Ketiga teknik tersebut dapat digunakan untuk membentuk model ekologis merbau,

dan secara teknis telah terhimpun dalam Stuctural Equation Modeling (SEM).

Kokko (2007), menjelaskan bahwa ekologi merupakan ilmu yang

tugasnya menyelidiki peranan krusial dari setiap organisme dalam sebuah habitat.

Ini artinya ekologi haruslah sebuah studi yang menekankan pada hubungan sebab

akibat yang menghasilkan perubahan jumlah individu dan dapat dipahami melalui

perhitungan. Pendapat Kokko sedapat mungkin dapat diaplikasikan melalui

penerapan SEM dengan obyek utama merbau dan habitatnya. SEM berbeda dari
5
 
metode multivariat lain yang lebih akrab di bidang ekologi, seperti analisis

komponen utama, analisis klaster, analisis diskriminan, korelasi kanonik, analisis

koresponden kanonik, dan MANOVA. Fornell (Grace, 2006) menyebut metode-

metode tersebut sebagai metode "generasi pertama" multivariat, berbeda dengan

metode "generasi kedua" seperti SEM karena SEM ditujukan untuk mengkaji

jaringan hubungan kausal, sedangkan metode multivariat generasi pertama

difokuskan pada efek bersih. Sebab itu menurut Grace (2006), pemahaman

tentang sistem alam yang sangat kompleks dapat ditingkatkan melalui studi

hubungan multivariat menggunakan metode seperti SEM dan cara ini tidak dapat

dicapai melalui metode lain. Bertolak dari pendapat Grace, ada indikasi bahwa

dinamika populasi I. bijuga di TWA Gunung Meja dapat dimodelkan dengan

SEM.

Pemilihan TWA Gunung Meja sebagai lokasi penelitian karena areal

ini relatif aman, dan sudah mewakili karakteristik hutan berkarang di pesisir Utara

Papua. Pentingnya keamanan TWAGM karena merbau merupakan jenis yang

tergolong lambat tumbuh dan mempunyai umur reproduksi yang lama, sebab itu

diperlukan juga waktu yang lama untuk mengkaji aspek ekologisnya. Keamanan

TWA Gunung Meja tidak terlepas karena status hukumnya sebagai hutan wisata

alam pada tahun 1980 setelah sebelumnya ditetapkan sebagai hutan lindung pada

1957. Penetapan Gunung Meja sebagai hutan lindung disebabkan struktur geologi,

fisiografi lahan dengan fungsi hidroorologisnya sebagai prototipe hutan berkarang

di Papua dan diperuntukan juga untuk studi-studi ekologi dan botani hutan.

 
1. 2. Perumusan Masalah

Eskploitasi jenis merbau yang berlebihan dan tidak diimbangi dengan

tindakan pelestarian, tidak saja menimbulkan kerusakan bagi tegakan merbau

sendiri tetapi juga jenis-jenis tumbuhan lain dari berbagai golongan pertumbuhan.

Kerusakan merbau juga mengakibatkan rusaknya rumah dari banyak jenis satwa

liar yang juga memiliki andil besar dalam dinamika ekosistem hutan tropis basah

di Papua.

Dari beberapa pengalaman dan pengamatan di lapangan, merbau

dengan ukuran diameter ≥ 50 cm, tinggi antara 30-35 m diperkirakan dapat

memiliki luas tajuk hingga mencapai 600 m2 bahkan dapat lebih luas dari ukuran

tersebut. Luas tajuk yang demikian memiliki fungsi ekologis yang cukup dominan

namun sebaliknya akan memiliki daya rusak yang sangat besar jika satu pohon

merbau ditebang.

Dalam kegiatan pembangunan Kebun Bibit Rakyat (KBR) saat ini,

semai dan biji merbau asal hutan alam menjadi sasaran pengambilan oleh

masyarakat dan sudah terjadi di kelurahan Amban sejak tahun 2010. Hasil

pengamatan pada beberapa KBR di wilayah Amban diketahui bahwa rata-rata

lebih 20.000 permudaan merbau diambil setiap tahunnya dari Gunung Meja,

jumlah ini belum ditambah dengan permudaan yang diambil oleh masyarakat

yang berdomisili di luar kelurahan Amban. Fakta tersebut adalah ancaman bagi

dinamika populasi merbau di sana karena walaupun jumlah semainya banyak,

namun seleksi alam untuk pengaturan ruang tumbuh menyebabkan merbau


7
 
mengalami reduksi individu yang sangat besar seiring dengan peningkatan ukuran

fisik.

Ada kekuatiran lain yang berasal dari kebijakan penurunan batas

bawah diameter kayu bulat dalam kegiatan eksploitasi kayu hutan alam dari

diameter ≥ 50 cm menjadi 40 cm dan rotasi tebangan dikurangi menjadi 30 tahun.

Kebijakan ini adalah sebuah ancaman bagi hutan Papua yang menjadi habitat

alami merbau pada waktu mendatang, setelah hutan Sumatera dan Kalimantan

yang masih tersisa saat ini kehabisan stok tegakan berdiameter 40 cm.

Ancaman terhadap kelestarian merbau menunjukan kencenderungan

meningkat dari waktu ke waktu dan efeknya mencakup ranah budaya, sosial,

ekonomi dan ekologi. Muncul dilema yaitu dengan mengurangi eksploitasi dari

hutan alam untuk mengeliminir kerusakan tegakan vegetasi hutan, habitat

sejumlah besar habitat satwa liar, namun mengurangi ketersediaan bahan baku

kayu merbau yang permintaannya selalu tinggi.

Upaya untuk mengatasi dilema pengelolaan jenis merbau, pemerintah

daerah Provinsi mengeluarkan kebijakan pembangunan dan pengembangan hutan

tanaman jenis lokal Papua, di antaranya jenis merbau (Intsia spp.). Untuk maksud

tersebut, maka data ekologi merbau harus dipersiapkan dengan baik sejak dini

sebagai acuan dalam pengelolaannya nanti.

Selama ini penelitian ekologi merbau masih terbatas, dan

menggunakan variabel tempat tumbuh yang sangat minim padahal komponen

biofisik habitat merbau sangat banyak dan memiliki hubungan timbal balik yang

sangat kompleks. Metode yang digunakan pun umumnya metode univariat,



 
sehingga belum sepenuhnya menjelaskan sebuah fenomena pertumbuhan merbau

yang sangat dipengaruhi oleh banyak variabel lingkungan (multivariate).

Bertolak dari kondisi habitat yang kompleks, minimnya penelitian

ekologi merbau serta penggunaan variabel lingkungan yang masih sedikit, serta

penggunaan metode SEM yang sangat fleksibel dalam memodelkan hubungan

timbal balik antar merbau dan lingkungannya, maka membangun model dinamika

populasi merbau perlu dilakukan sebagai tambahan informasi ekologis untuk

melengkapi hasil-hasil penelitian sebelumnya.

Dari uraian di atas timbul pertanyaan apakah merbau dapat

dipertahankan keberadaanya dengan mengacu pada hasil pemodelan dinamika

populasi Intsia bijuga di Taman Wisata Alam Gunung Meja?. Pertanyaan ini

merupakan masalah utama yang harus dipecahkan lewat beberapa rumusan

sebagai berikut:

1. Bagaimanakah karakteristik habitat Intsia bijuga di Taman Wisata Alam

Gunung Meja?

2. Bagaimana keadaan populasi Intsia bijuga jika terjadi perubahan struktur dan

komposisi jenis tumbuhan lain?

3. Apakah SEM dapat memodelkan dengan cukup baik dinamika populasi Intsia

bijuga di Taman Wisata Alam Gunung Meja Manokwari?

1. 3. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui struktur dan komposisi vegetasi pada habitat merbau Intsia bijuga

di Taman Wisata Alam Gunung Meja Manokwari.


9
 
2. Mengetahui sifat fisik dan kimia tanah serta faktor iklim mikro pada habitat

Intsia bijuga di Taman Wisata Alam Gunung Meja Manokwari.

3. Membuat model persamaan struktural dinamika populasi Intsia bijuga di

Taman Wisata Alam Gunung Meja Manokwari.

1. 4. Manfaat Penelitian

1. Tersedianya data dan informasi mengenai faktor-faktor habitat dan

pengaruhnya terhadap dinamika populasi Intsia bijuga melalui model yang

dibuat.

2. Informasi dan data ekologi yang diperoleh dapat menjadi acuan dalam

menyusun rencana pengelolaan jenis merbau yang lebih lestari di Papua.

You might also like