Professional Documents
Culture Documents
S2 2014 324082 Chapter1
S2 2014 324082 Chapter1
S2 2014 324082 Chapter1
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
tahun 2009 kayu gergajian dan kayu bulat dihargai sebesar US$ 850 dan US$ 360
per m3. Pada kabupaten/kota di Papua harga kayu gergajian merbau berkisar
antara Rp. 2 juta sampai 4 juta m3. Menurut Damayanti (2007), tahun 2004 kayu
merbau curian dari Papua dihargai Rp 1,2/m3, ketika dimuat di kapal. Ketika tiba
di China harganya Rp. 2,4 juta, sesudah diolah menjadi lantai kayu dan dijual ke
bulan (Telapak dan EIA, 2010). Jumlah ini belum ditambah dengan nilai produksi
secara legal yang tercatat dalam Laporan Hasil Produksi setiap HPH di Papua per
tahunnya. Apabila dirinci dengan baik, akan didapati ratusan ribu bahkan ratusan
juta batang kayu merbau telah ditebang dari hutan Papua sejak awal tahun 1980-
baru telah mengakibatkan kerusakan parah pada ekosistem hutan Papua. Menurut
Telapak dan EIA (2010), Papua telah mengalami kerusakan sejak tahun 1990-an
hingga awal tahun 2000-an yang mengakibatkan 25% hutannya hilang. Telah
terjadi deforestasi dan aforestasi sebesar 32 juta hektar hingga menjadi 23 juta
hektar. Tahun 2000-2005 rata-rata laju kerusakan hutan Papua 144 ribu Ha/tahun
1
2
(Kemenhut Republik Indonesia, 2011). Dalam kurun waktu 2003-2009 telah
terjadi kerusakan hutan lebih dari 5,8 juta Ha di Papua, selain itu tahun 2003-
2007, luas hutan yang rusak akibat penebangan kayu, pembukaan perkebunan
sawit dan HTI di Papua kurang lebih 16 juta Ha. Umumnya kerusakan hutan
diambil dari hutan alam Papua setiap tahunnya, menimbulkan kekuatiran jenis ini
akan punah pada beberapa tahun mendatang. Kekuatiran tersebut telah mendorong
WWF dan LSM Green Peace ingin memasukan jenis merbau dalam daftar
Appendix III CITES setelah melakukan beberapa studi tentang merbau di Papua
dan memperhatikan hasil investigasi Telapak dan EIA tahun 2005. Namun
ancaman terhadap merbau (Intsia spp.) masih dapat dicegah melalui upaya
kelembagaan.
dan komposisi hutan hujan tropis Papua. Pattiselano et al., (2011) melaporkan
bahwa ada 32 jenis burung diurnal di Taman Wisata Alam Gunung Meja
menjadikannya sebagai salah satu habitat bermain dan beristirahat. Sineri (2006)
3
menjelaskan bahwa daun muda merbau merupakan pakan bagi kuskus jenis
menghasilkan lebih dari 1000 semai (Wororopui, 2011). Pada fase tiang dan
alam. Merbau merupakan salah satu jenis inang potensial bagi rotan Calamus
tinggi rotan (Sirami, 2009). Merbau merupakan jenis yang cukup adaptatif hadap
kondisi tanah, iklim, maupun mampu tumbuh dengan baik bersama tumbuhan lain
ketika telah mencapai tingkat tiang dan pohon. Anggrek kribo, anggrek macan,
beberapa jenis Platicerium spp., memiliki asosiasi yang cukup erat dengan jenis
merbau di hutan Gunung Meja (Wanggai, 2000; Sineri, et al., 2000; Yenusi, 2006;
Simbiak, 2010). Pada daerah rawa air tawar di wilayah Mappi, merbau memiliki
asosiasi yang cukup tinggi dengan Calamus holrungii (Sirami, et al., 2010).
berasosiasi kuat dengan merbau. Di areal konsesi HPH PT. Mambramo Bangun
Adaptasi merbau atas variasi tanah biasanya ditunjukan lewat banyak sedikitnya
jumlah yang tumbuh, jarang ditunjukan lewat perbedaan ukuran diameter atau
kompleksitas dari faktor biologis dan faktor fisik hutan yang saling timbal balik
pengaruhnya. Oleh sebab itu dalam rangka pengelolaan jenis merbau yang lebih
baik, diperlukan acuan seperti data dan informasi ekologis yang akurat dari hasil-
hasil studi terhadap merbau dan habitatnya. Salah satu cara untuk memperoleh
informasi tetang habitat dan bagaimana merbau tumbuh dan berkembang dapat
penyederhanaan dari suatu sistem ekologis yang kompleks karena banyaknya sub
sistem fisik dan biologis. Menurut Bukhart (2003), model yang baik memilih
elemen fungsional atau elemen-elemen utama dari sistem yang sebenarnya. Untuk
yang lebih sedikit. Variabel atau faktor baru yang terbentuk, dapat dijadikan
sebagai variabel dalam analisis regresi linear atau non linear, dan diagram jalur.
Ketiga teknik tersebut dapat digunakan untuk membentuk model ekologis merbau,
dan secara teknis telah terhimpun dalam Stuctural Equation Modeling (SEM).
tugasnya menyelidiki peranan krusial dari setiap organisme dalam sebuah habitat.
Ini artinya ekologi haruslah sebuah studi yang menekankan pada hubungan sebab
akibat yang menghasilkan perubahan jumlah individu dan dapat dipahami melalui
penerapan SEM dengan obyek utama merbau dan habitatnya. SEM berbeda dari
5
metode multivariat lain yang lebih akrab di bidang ekologi, seperti analisis
metode "generasi kedua" seperti SEM karena SEM ditujukan untuk mengkaji
difokuskan pada efek bersih. Sebab itu menurut Grace (2006), pemahaman
tentang sistem alam yang sangat kompleks dapat ditingkatkan melalui studi
hubungan multivariat menggunakan metode seperti SEM dan cara ini tidak dapat
dicapai melalui metode lain. Bertolak dari pendapat Grace, ada indikasi bahwa
SEM.
ini relatif aman, dan sudah mewakili karakteristik hutan berkarang di pesisir Utara
tergolong lambat tumbuh dan mempunyai umur reproduksi yang lama, sebab itu
diperlukan juga waktu yang lama untuk mengkaji aspek ekologisnya. Keamanan
TWA Gunung Meja tidak terlepas karena status hukumnya sebagai hutan wisata
alam pada tahun 1980 setelah sebelumnya ditetapkan sebagai hutan lindung pada
1957. Penetapan Gunung Meja sebagai hutan lindung disebabkan struktur geologi,
di Papua dan diperuntukan juga untuk studi-studi ekologi dan botani hutan.
6
1. 2. Perumusan Masalah
sendiri tetapi juga jenis-jenis tumbuhan lain dari berbagai golongan pertumbuhan.
Kerusakan merbau juga mengakibatkan rusaknya rumah dari banyak jenis satwa
liar yang juga memiliki andil besar dalam dinamika ekosistem hutan tropis basah
di Papua.
memiliki luas tajuk hingga mencapai 600 m2 bahkan dapat lebih luas dari ukuran
tersebut. Luas tajuk yang demikian memiliki fungsi ekologis yang cukup dominan
namun sebaliknya akan memiliki daya rusak yang sangat besar jika satu pohon
merbau ditebang.
semai dan biji merbau asal hutan alam menjadi sasaran pengambilan oleh
masyarakat dan sudah terjadi di kelurahan Amban sejak tahun 2010. Hasil
lebih 20.000 permudaan merbau diambil setiap tahunnya dari Gunung Meja,
jumlah ini belum ditambah dengan permudaan yang diambil oleh masyarakat
yang berdomisili di luar kelurahan Amban. Fakta tersebut adalah ancaman bagi
fisik.
bawah diameter kayu bulat dalam kegiatan eksploitasi kayu hutan alam dari
Kebijakan ini adalah sebuah ancaman bagi hutan Papua yang menjadi habitat
alami merbau pada waktu mendatang, setelah hutan Sumatera dan Kalimantan
yang masih tersisa saat ini kehabisan stok tegakan berdiameter 40 cm.
meningkat dari waktu ke waktu dan efeknya mencakup ranah budaya, sosial,
ekonomi dan ekologi. Muncul dilema yaitu dengan mengurangi eksploitasi dari
sejumlah besar habitat satwa liar, namun mengurangi ketersediaan bahan baku
tanaman jenis lokal Papua, di antaranya jenis merbau (Intsia spp.). Untuk maksud
tersebut, maka data ekologi merbau harus dipersiapkan dengan baik sejak dini
biofisik habitat merbau sangat banyak dan memiliki hubungan timbal balik yang
ekologi merbau serta penggunaan variabel lingkungan yang masih sedikit, serta
timbal balik antar merbau dan lingkungannya, maka membangun model dinamika
populasi Intsia bijuga di Taman Wisata Alam Gunung Meja?. Pertanyaan ini
sebagai berikut:
Gunung Meja?
2. Bagaimana keadaan populasi Intsia bijuga jika terjadi perubahan struktur dan
3. Apakah SEM dapat memodelkan dengan cukup baik dinamika populasi Intsia
1. 3. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui struktur dan komposisi vegetasi pada habitat merbau Intsia bijuga
1. 4. Manfaat Penelitian
dibuat.
2. Informasi dan data ekologi yang diperoleh dapat menjadi acuan dalam