Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Perusahaan

PT Trubaindo Coal Mining didirikan pada 13 Maret 1990 sebagai perusahaan


yang bergerak di bidang pertambangan batubara dan menandatangani Perjanjian
Kerjasama Pengusahaan Pertambangan batubara (PKP2B) dengan pemerintah dengan
luas area konsesi milik PT. Trubaindo Coal Mining sesuai perizinan yang diperoleh
yakni PKP2B dengan Nomor 017/PK/PT BA-TCM/1994 adalah seluas 23.650 Hektar.
PT. Trubaindo Coal Mining merupakan anak dari perusahaan BANPU yang berlokasi
di Thailand. BANPU didirikan di Thailand pada tahun 1983 sebagai usaha
pertambangan dan kemudian terdaftar di Stock Exchange of Thailand pada tahun 1989.
Sekitar tahun 1990, perusahaan mengembangkan diri ke proyek pembangkit listrik di
Thailand, tambang batubara di Indonesia, operasi port dan barang tambang industri.
Sejak tahun 2001, BANPU telah memusatkan strateginya menjadi pusat energi
berbasis batubara yang terkemuka di daerah Asia-Pasifik. Keputusan ini didasari oleh
kemampuan perusahaan melihat keterampilan didalam dan keuntungan persaingan
sebaik mereka memahami potensi pertumbuhan yang potensial. Keputusan ini
menyebabkan beberapa barang tambang industri, bisnis pelabuhan,investasi tenaga
tanpa batu bara (non-core divestment) sama baiknya dengan pertumbuhan batubara,
baik di Indonesia maupun di China.
Tambang batubara yang ke–4 didirikan di Indonesia ini merupakan perusahaan
tambang batubara dengan metode Open Pit Mining atau Tambang Terbuka yang
terletak di Provinsi Kalimantan Timur lokasi Muara Bunyut dan lokasi Adong yang
mulai beroperasi pada tahun 2005. Pada tahap pengerjaan operasi penambangan PT.
Trubaindo Coal Mining (PT. TCM) melakukan kerja sama dengan PT. Ruam Choke
Pattana (PT. RCP), PT BUMA, PT. Mitra Alam Persada (PT. MAP), PT. Pama
Persada Nusantara (PT. PAMA), PT. Borneo Alam Semesta (PT. BAS) dan PT. Riung
Mitra Lestari (PT. RML). selaku kontraktor inilah yang pegerjaan untuk mendapatkan
batubara dibawah pengawasan pihak PT. Trubaindo Coal Mining. Pada tahun 2013,
hanya terdapat 4 kontraktor operasional penambangan di PT. Trubaindo Coal Mining,
yaitu PT. PAMA, PT. MAP, PT. RML dan PT. BAS.

4
2.1.1 Iklim dan Curah Hujan Daerah Penelitian

Daerah Penelitian memiliki iklim tropis dengan musim hujan dan musim
kemarau saling bergantian sepanjang tahun. Temperatur udara rata-rata berbanding
lurus dengan penyinaran matahari. Penyinaran matahari dan kelembaban udara
merupakan unsur iklim yang berpengaruh terhadap curah hujan. Suhu rata-rata
maksimum berkisar antara 310 C - 330 C dengan suhu minimum rata-rata 230 C - 240
C. Curah hujan rata-rata bulanan (mm/bulan) tahun 2003 sampai dengan tahun 2013
adalah 2.912 mm dengan curah hujan tertinggi pada bulan April tahun 2007 yaitu 837
mm dan curah hujan terendah pada bulan ini Juni dan Juli tahun 2004 sebesar 0 mm.
Data curah hujan diperoleh dari Stasiun Pengukuran Curah Hujan yang terletak
di pit lahan konsesi PT. Trubaindo Coal Mining pada tahun 2003 - 2013. Tabel 2.1
memperlihatkan data curah hujan di lokasi penelitian.

Tabel 2.1 Data Curah Hujan PT. TCM Tahun 2003 - 2013 (Mine Plan TCM, 2013)

2.1.2 Tahapan Penambangan Batubara

Operasi penambangan dipercayakan kepada 4 kontraktor di antaranya Pama


Persada Nusantara (PAMA), Mitra Alam Persada (MAP), Riung Mitra Lestari (RML),
dan Borneo Alam Semesta (BAS). Sistem penambangan yang diterapkan di PT.
Trubaindo Coal Mining adalah sistem penambangan terbuka, yang segala kegiatan
atau aktifitasnya dilakukan di atas permukaan dan tempat kerjanya berhubungan
langsung dengan udara luar.

5
Berikut ahapan-tahapan dalam kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh
PT. Trubaindo Coal Mining adalah sebagai berikut (Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Tahapan Kegiatan Pertambangan Batubara (Mine Plan TCM, 2013)

a. Pembukaan Lokasi dan Pembersihan Lahan (Land Clearing)

Pembukaan lokasi penambangan merupakan kegiatan yang pertama kali


dilakukan untuk mempersiapkan lokasi penambangan sebelum ditambang.
Kegiatan pembukaan lokasi penambangan meliputi pekerjaan pembersihan lahan
dari semak-semak dan pepohonan, pengupasan tanah pucuk dan pembuatan jalan
masuk ke lokasi penambangan. (Gambar 2.2)

Gambar 2.2 Tahapan Pembersihan Lahan (Land Clearing)

6
b. Pemindahan Lapisan Tanah Pucuk (Top Soil)

Setelah lokasi yang akan ditambang dibersihkan, maka lapisan tanah paling
atas harus dipindahkan ke tempat penimbunan top soil yang telah disediakan.
Tujuannya untuk menyimpan tanah yang paling subur dan paling banyak
mengandung unsur hara agar tidak tercampur dengan material OB (overburden)
dan untuk digunakan kembali pada kegitan reklamasi, yakni proses spreading
atau penyebaran tanah pucuk/top soil pada area bekas penambangan yang sudah
tidak aktif,agar revegetasi yang di laksanakan pada lahan tersebut tercukupi
kebutuhan haranya.

c. Pembongkaran Lapisan Tanah Penutup batubara (Overburden)

Pembongkaran overburden pada penambangan batubara di PT.Trubaindo


Coal Mining dilakukan dengan cara pengeboran dan peledakan. Upaya untuk
membantu kegiatan pembongkaran overburden, khususnya pada material
overburden yang keras seringkali menyulitkan alat gali muat dalam
membongkar material. Gambar 2.3 memperlihatkan kegiatan pengeboran.

Gambar 2.3 Tahapan pengeboran

Tujuan dari pemboran yaitu untuk menyiapkan lubang-lubang tembak


untuk keperluan peledakan, sedangkan peledakan merupakan proses
penghancuran batuan yang bersifat keras menggunakan bahan peledak sehingga

7
menghasilkan fragmentasi yang berukuran kecil sesuai dengan keperluan yang
dikehendaki. Gambar 2.4 memperlihatkan kegiatan peledakan material.

Gambar 2.4 Foto Kegiatan Peledakan

d. Pemuatan dan Pengangkutan Lapisan Tanah Penutup (Overburden)

Gambar 2.5 Pemuatan dan Pengangkutan Overburden

8
Posisi pemuatan adalah top loading dimana posisi alat muat berada di atas
overburden. Material overburden hasil peledakan dikumpulkan di suatu area
yang dikenal dengan nama disposal, untuk mengangkut material tanah penutup
(overburden) baik itu di dalam area pit tersebut maupun diluar area pit, misalnya
untuk menutup lubang bekas penambangan pit lain yang akan dilakukan
reklamasi dengan cara menutup lubang bekas penambangan tersebut dengan
lapisan (overburden). Gambar 2.5 memperlihatkan pemuatan dan pengangkutan
overburden.

e. Penambangan Batubara

Setelah kegiatan pembongkaran dan pemuatan overburden dilakukan maka


dilanjutkan dengan proses penggalian batubara. Gambar 2.6 memperlihatkan
proses pemuatan batubara.

Gambar 2.6 Pemuatan dan Pengangkutan Batubara

Dalam proses pengambilan batubara terdapat tiga tahapan yang harus


dilakukan yaitu :

1. Penggalian Batubara

Batubara yang sudah tersingkap namun masih terdapat sisa overburden di


atasnya maka harus dibersihkan terlebih dahulu (cleaning) dengan
menggunakan backhoe Volvo PC 347, tujuannya menghindarkan batubara

9
terkontaminasi dengan material pengotor yang dapat mengakibatkan
bertambahnya kadar abu dalam batubara. Setelah di bagian atas (roof) batubara
benar-benar bersih, kemudian diambil menggunakan backhoe Komatsu PC 200.

2. Pemuatan Batubara

Proses pemuatan batubara dilakukan oleh backhoe Volvo PC 347 dengan


alat angkutnya dumptruck Hino. Namun untuk menjaga kualitas batubara bersih
agar tidak tercampur dengan batubara kotor, maka biasanya setelah penggalian
batubara mendekati ±30 cm dari floor, batubara akan dijadikan stok batubara
kotor (dirty coal stock)

3. Pengangkutan Batubara

Pengangkutan batubara untuk jenis clean coal diangkut menggunakan


dumptruck CWB 450 langsung menuju ROM sedangkan untuk dirty coal
disimpan di dirty coal stock pada masing-masing pit.

2.2 Landasan Teori

Peledakan merupakan kegiatan pemecahan suatu material (batuan) dengan


menggunakan bahan peledak atau proses terjadinya ledakan. Suatu operasi peledakan
batuan akan mencapai hasil optimal apabila perlengkapan dan peralatan yang dipakai
sesuai dengan metode peledakan yang diterapkan.(Wahyuddin, 2015)

Bahan peledak yang dimaksudkan adalah bahan peledak kimia yang


didefinisikan sebagai suatu bahan kimia senyawa tunggal atau campuran berbentuk
padat, cair, atau campurannya yang apabila diberi aksi panas, benturan, gesekan atau
ledakan awal akan mengalami suatu reaksi kimia eksotermis sangat cepat dan hasil
reaksinya sebagian atau seluruhnya berbentuk gas disertai panas dan tekanan sangat
tinggi yang secara kimia lebih stabil. (Koesnaryo, 1998)

Suatu operasi peledakan dinyatakan berhasil dengan baik pada kegiatan


penambangan apabila (Koesnaryo, 1998) :
1. Target produksi terpenuhi (dinyatakan dalam ton/hari atau ton/bulan);
2. Penggunaan bahan peledak efisien yang dinyatakan dalam jumlah batuan yang
berhasil dibongkar per kilogram bahan peledak (powder factor);

10
3. Diperoleh fragmentasi batuan berukuran merata dengan sedikit bongkah (kurang
dari 15% dari jumlah batuan yang terbongkar per peledakan);
4. Diperoleh dinding batuan yang stabil dan rata;
5. Aman;
6. Dampak terhadap lingkungan minimal.

2.2.1. Parameter Rancangan Peledakan

Parameter rancangan peledakan merupakan hal yang sangat penting dalam


perencanaan dan pelaksanaan peledakan, adapun parameter yang perlu diperhatikan
(Ediyanto, 2013) yaitu :

1. Pemboran
Kegiatan pemboran merupakan kegiatan awal dari kegiatan
pembongkaran material karena pemboran dimaksudkan untuk membuat lubang
ledak (blast hole). Sebelum melakukan pemboran terlebih dahulu ditentukan titik
lubang ledak dengan ukuran burden dan spasi serta pola pemboran yang akan
digunakan, dengan tujuan lubang ledak lebih teratur dan hasil dari peledakan lebih
optimal.
Pola pemboran merupakan suatu pola dalam pemboran untuk
menempatkan lubang – lubang ledak secara sistematis. Pola pemboran ada 2
macam yaitu : Pola pemboran sejajar (parallel pattern), dan Pola pemboran selang
– seling (staggered pattern). Pola pemboran sejajar adalah pola pemboran dengan
penempatan lubang ledak dengan baris (row) yang berurutan dan sejajar dengan
Burden. Sedangkan pola pemboran selang – seling merupakan pola pemboran
yang penempatan lubang – lubang ledaknya selang – seling setiap kolomnya

Gambar 2.7 Pola Pemboran (Ediyanto, 2013)

11
Pada kondisi di lapangan, pola pemboran sejajar lebih mudah dalam
pembuatan dan pengaturannya, namun fragmentasi yang dihasilkan kurang
seragam, sedangkan untuk pola pemboran selang – seling fragmentasi yang
dihasilkan lebih seragam walaupun lebih sulit dalam pengaturan di lapangan.

Menurut hasil penelitian pada peledakan batuan yang kompak dan


homogen, menunjukkan bahwa produktivitas dan tingkat fragmentasi hasil
peledakan menggunakan pola pemboran selang – seling lebih baik dibandingkan
dengan pola pemboran sejajar. Hal ini disebabkan karena pada pola pemboran
selang – seling, energi yang dihasilkan terdistribusi lebih optimal dalam batuan.

2. Diameter lubang ledak (hole diameter)

Di dalam menentukan diamater lubang ledak berdasarkan dari volume


massa batuan yang akan dibongkar, tinggi jenjang, tingkat fragmentasi yang
diinginkan, mesin bor yang digunakan, dan kapasitas alat muat yang akan
dipergunakan untuk kegiatan pemuatan material hasil peledakan. Untuk diameter
lubang ledak yang terlalu kecil, maka faktor energi yang dihasilkan akan
berkurang sehingga tidak cukup besar untuk membongkar batuan yang akan
diledakan, sedangkan jika lubang ledak terlalu besar maka lubang ledak tidak
cukup untuk menghasilkan fragmentasi yang baik, terutama pada batuan yang
banyak terdapat kekar dengan jarak kerapatan tinggi.

Gambar 2.8 Pengaruh diameter lubang ledak terhadap Burden


(Saptono, 2006).

12
Diameter lubang ledak berpengaruh pada penentuan jarak burden dan
jumlah bahan peledak yang digunakan pada setiap lubangnya (Gambar 2.5).
Faktor – faktor yang mempengaruhi penentuan diameter lubang ledak antara lain:
a. Volume massa batuan yang akan dibongkar
b. Tinggi jenjang dan konfigurasi isian
c. Fragmentasi yang diinginkan
d. Mesin bor yang tersedia (hubungannya dengan biaya pemboran)
e. Kapasitas alat muat yang akan menangani material hasil peledakan.

3. Pola Peledakan

Pola peledakan merupakan urutan waktu peledakan antara lubang – lubang


bor dalam satu baris dengan lubang bor pada baris berikutnya ataupun antara
lubang bor yang satu dengan lubang bor yang lainnya. Pola peledakan ini
ditentukan berdasarkan urutan waktu peledakan serta arah runtuhan material yang
diharapkan.

Berdasarkan arah runtuhan batuan pola peledakan diklasifikasikan sebagai


berikut:
a. Box Cut, Pola peledakan ini diterapkan untuk lokasi peledakan yang tidak
mempunyai bidang bebas (free face) yakni permukaan yang bersentuhan
langsung dengan udara kearah vertical. Pola peledakan ini bertujuan untuk
menghasilkan bongkahan awal seperti kotak (box) dengan control row ditengah-
tengah membagi dua rangkaian. Gambar 2.9 memperlihatkan pola peledakan
box cut.

Gambar 2.9 Pola Box Cut (Ediyanto, 2013)

13
b. Corner Cut, Pola Peledakan Corner Cut (Echelon) Pola peledakan ini
diterapkan untuk lokasi peledakan yang memiliki tiga bidang bebas (free
face), arah lemparan hasil peledakan dengan menggunakan pola peledakan ini
adalah kearah pojok (corner). Gambar 2.10 memperlihatkan pola corner cut.

Gambar 2.10 Pola Corner Cut (Ediyanto, 2013)

c. Pola “V“ Cut Pola peledakan ini diterapkan untuk lokasi peledakan yang
memiliki dua bidang bebas (free face), arah lemparan hasil peledakan dengan
menggunakan pola ini adalah kearah tengah (center) dengan pola peledakan
menyerupai huruf V. Gambar 2.11 memperlihatkan pola v cut.

Gambar 2.11 Pola V Cut (Ediyanto, 2013)

14
Berdasarkan urutan waktu peledakan maka pola peledakan diklasifikasikan
sebagai berikut:
a. Pola peledakan serentak, yaitu pola yang menerapkan peledakan secara
serentak untuk semua lubang ledak.
b. Pola peledakan beruntun, yaitu pola yang menerapkan peledakan dengan
waktu tunda / delay antar baris yang satu dengan baris yang lainnya.

2.2 Geometri peledakan

Untuk mencapai produksi peledakan yang diinginkan, maka hal yang perlu
diperhatikan adalah parameter dari geometri peledakan yang terdiri atas Burden,
spacing, sub drilling, dan kedalaman lubang bor. Untuk menentukan Geometri
peledakkan Terdapat beberapa cara untuk menghitung geometri peledakan yang telah
diperkenalkan oleh para ahli, antara lain: Anderson (1952), Pearse (1955), Ash (1963),
Langefors (1978), Konya (1972), Foldesi (1980), Olofsson (1990), Rustan (1990) dan
lainnya.

Cara-cara tersebut digunakan untuk menentukan dan menghitung geometri


peledakan, terutama menentukan ukuran Burden berdasarkan diameter lubang tembak,
kondisi batuan setempat dan jenis bahan peledak. Terminologi dan simbol yang
digunakan pada geometri peledakan seperti yang terlihat pada gambar 2.12 sebagai
berikut:
Kolom Lubang
ledak (H)

Gambar 2.12 Terminologi dan simbol peledakan (Pusdiklat Teknologi


mineral & Batubara. 2004.)

15
Lubang ledak tidak hanya vertikal, tetapi dapat juga dibuat miring, sehingga
terdapat parameter kemiringan lubang ledak. Kemiringan lubang ledak akan
memberikan hasil berbeda, baik dilihat dari ukuran fragmentasi maupun arah
lemparannya. Gambar 2.13 memperlihatkan Lubang ledak vertikal dan miring.

Gambar 2.13 Lubang ledak vertikal dan miring ( Pusdiklat Teknologi


Mineral& Batubara. 2004)

Untuk memperoleh kecermatan perhitungan perlu ditinjau adanya tambahan


parameter geometri pada lubang ledak miring :
B = Burden sebenarnya (true Burden)
B’ = Burden semu (apparent Burden)
α = Sudut kemiringan kolom lubang

2.3.1 Geometri peledakan menurut Ash

Ash (1967) membuat suatu pedoman perhitungan geometri peledakan jenjang


berdasarkan pengalaman empirik yang diperoleh di berbagai tempat dengan jenis
pekerjaan dan batuan yang berbeda-beda. Sehingga Ash berhasil mengajukan
rumusan-rumusan empirik yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam rancangan
awal suatu peledakan batuan.

1. Burden (B)

Burden dihitung berdasarkan diameter lubang ledak dengan


mempertimbangkan nilai KB yang tergantung pada jenis batuan dan bahan
peledak yang digunakan.

16
Batuan standar adalah batuan yang mempunyai density 160 lb/cuft. Bahan
peledak standar adalah bahan peledak yang mempunyai berat jenis (SG) 1.20 dan
kecepatan detonasi (Ve) 12.000 fps. Apabila batuan yang akan diledakan sama
dengan batuan standar dan bahan peledak yang akan dipakai ialah bahan peledak
standar, maka burden ratio (Kb) yaitu 30. Tetapi bila batuan yang akan diledakan
tidak sama dengan batuan standar dan bahan peledak yang digunakan bukan pula
bahan peledak standar, maka nilai Kb standar itu harus dikoreksi menggunakan
faktor penyesuaian (adjustment factor).

Pada kondisi batuan yang berbeda dan penggunaan bahan peledak yang
berbeda, maka harga Kb turut berubah. Untuk mengatasi perubahan angka Kb
perlu dihitung terlebih dahulu harga faktor penyesuaian pada kondisi batuan dan
bahan peledak yang berbeda, nilai KB dihitung degan rumus:

KB = KB.std x AF1 x AF2 .......................................................... (2.1)


Keterangan :
KB = Burden Ratio;
KB.std = Burden Ratio standar;
AF1 = Faktor Penyesuaian terhadap batuan;
AF2 = Faktor Penyesuaian terhadap bahan peledak;
SG = Berat jenis bahan peledak yang digunakan;
Ve = Kecepatan detonasi bahan peledak yang digunakan;
SGstd = Berat jenis bahan peledak standar (1,20);
Vestd = Kecepatan detonasi bahan peledak standar (12.000 fps).

⁄3 1
Densitas batuan standar
AF1 =( )
....................................................... (2.2)
Densitas batuan yang diledakkan

1⁄
SG x Ve2 3
AF2 =( ) ....................................................... (2.3)
SGstd x Vestd2

Setelah mendapatkan nilai Burden Ratio (KB) dengan menggunakan


rumus yang diatas maka dapat menentukan nilai Burden dengan menggunakan
rumus sebagai berikut :

KB x De
B= ........................................................................................ (2.4)
12
17
Keterangan :
B = Burden (ft)
KB = Burden Ratio
De = Diameter Lubang Ledak (Inch)

2. Spacing (S)

Untuk mengukur spasi tergantung pada kondisi retakan (joints) di sekitar


lokasi yang akan diledakkan, jumlah bidang bebas dan sistem penyalaan (firing)
yang diterapkan. Besarnya nilai KS adalah variatif. Jika dilihat dari waktu delay
yang dipergunakan, besarnya KS:
a. Long interval delay KS = 1
b. Short period delay KS = 1 – 2
c. Normal KS = 1,2 – 1,8
Pendapat yg lain, secara teoritis, optimum spacing berkisar 1,1 - 1,8 B.
Biasanya rata-rata S = 1,25 x B (menurut the modern technique of rock blasting).

S= Ks. B ..................................................................................... (2.5)

Keterangan :
S = Spacing (ft)
Ks = Spacing Ratio
B = Burden

3. Stemming (T)

Stemming adalah lubang ledak bagian atas yang tidak diisi bahan peledak,
tetapi biasanya di isi oleh material hasil pemboran atau material berukuran kecil
(lebih baik) dan dipadatkan di atas bahan peledak.
Untuk menghitung panjang stemming perlu ditentukan dulu stemming
ratio (Kt), yaitu perbandingan panjang stemming dengan burden. Biasanya Kt
standar yang dipakai 0,70 dan ini cukup untuk mengontrol airblast, flyrock, dan
stress balance. Secara teoritis Penentuan stemming di rumuskan sebagai berikut:

T = Kt . B ................................................................................ (2.6)

18
Keterangan :
T = Stemming (ft)
Kt = Stemming ratio Kt = 0,7 – 1,0
B = Burden (ft)
Fungsi stemming:
a) Meningkatkan Confining Presure dari akumulasi gas hasil ledakan;
b) Menyeimbangkan tekanan di daerah stemming;
c) Mengontrol kemungkinan terjadinya airblast dan flyrock.

4. Kedalaman Lubang Ledak (H)

Kedalaman Lubang ledak biasanya disesuaikan dengan tingkat produksi


(Kapasitas alat muat) dan pertimbangan geoteknik. Menurut R.L. Ash, kedalaman
lubang ledak berdasarkan pada hole depth ratio (Kh) yang nilainya berkisar antara
1,5 – 4,0. Secara teoritis kedalaman lubang ledak dirumuskan sebagai berikut :

H = Kh. B .....................................................................................(2.7)

Keterangan:
H = Kedalaman lubang ledak (ft)
Kh = Hole dept ratio Kh= (1,5 – 4,0 )
B = Burden (ft)

5. Subdrilling (J)

Gambar 2.14 Pengaruh Subdrilling pada lubang ledak (Ediyanto,


2013)

19
Panjang subdilling dipengaruhi oleh struktur geologi, tinggi jenjang dan
kemiringan lubang ledak. Panjang subdrilling diperoleh dengan menentukan harga
subdrilling ratio (Kj) yang besarnya tidak lebih kecil dari 0,20. Untuk batuan
massive biasanya dipakai Kj sebesar 0,3 Untuk menghitung nilai dari Subdrilling
yaitu sebagai berikut:

J = Kj . B .....................................................................................(2.8)

Keterangan :
J = Subdrilling (ft)
Kj = Subdrilling ratio
B = Burden (ft)

6. Primary Charger (PC)

Primary Charger adalah panjang isian bahan peledak pada suatu lubang.
Nilai PC dapat dihitung dengan rumus:
.....................................................................................(2.9)
PC = H - T
Keterangan :
PC = Panjang kolom Isian (ft)
H = Kedalaman Lubang Ledak (ft)
T = Steming (ft)

7. Tinggi Jenjang (L)

Tinggi jenjang dapat di tentukan dengan rumus sebagai berikut :

L = H- J .....................................................................................(2.10)

Keterangan:
L = Tinggi jenjang (ft
H = Kedalaman Lubang Ledak (ft)
J = Subdrilling (ft)

2.3.2 Geometri peledakan menurut Konya

Perhitungan geometri peledakan menurut Konya (1995) tidak hanya

20
mempertimbangkan faktor bahan peledak, sifat batuan dan diameter lubang ledak
tetapi juga memperhatikan faktor koreksi terhadap posisi lapisan batuan, keadaan
struktur geologi serta koreksi terhadap jumlah lubang ledak yang diledakkan.
Faktor terpenting untuk dikoreksi menurut Konya (1995) adalah masalah
penentuan besarnya nilai Burden.

1. Burden (B)

Pada penentuan jarak Burden, ada beberapa faktor yang harus


diperhitungkan seperti diameter lubang ledak, bobot isi batuan dan struktur
geologi dari batuan tersebut. Semakin besar diameter lubang ledak maka akan
semakin besar jarak Burden, karena dengan diameter lubang ledak yang semakin
besar maka bahan peledak yang digunakan akan semakin banyak pada setiap
lubangnya sehingga akan menghasilkan energi ledakan yang semakin besar.
Sedangkan apabila densitas batuannya yang semakin besar, agar energi
ledakan berkontraksi maksimal dilakukan dengan memperkecil ukuran Burden,
sehingga fragmentasi batuan yang dihasilkan akan baik. Secara sistematis nilai
Burden dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

1
𝑆𝐺𝑒 3
B = 3,15 De (𝑆𝐺𝑟 ) ......................................................................(2.11)

Keterangan :
B = Burden (ft)
De = Diameter Lubang Ledak (Inch)
SGe = Berat jenis bahan peledak
SGr = Berat jenis batuan

2. Spacing (S)

Spacing adalah jarak diantara lubang ledak dalam suatu garis yang sejajar
dengan bidang bebas. Jarak spacing yang terlalu besar akan menghasilkan
fragmenatsi yang tidak baik dan dinding akhir yang ditinggalkan relatif tidak rata,
sebaliknya bila spacing terlalu kecil dari jarak burden maka akan mengakibatkan
tekanan sekitar stemming yang lebih dan mengakibatkan gas hasil ledakan
dihamburkan ke atmosfer diikuti dengan suara bising (noise).

21
Menentukan jarak spacing didasarkan pada jenis detonator listrik yang
digunakan dan beberapa perbandingan anatara tinggi jenjang dan jarak burden.
Bila perbandingan antara L/B lebih kacil dari 4 maka digolongkan jenjang rendah
dan bila lebih besar dari 4 maka digolongkan jenjang tinggi. Untuk memperoleh
jarak spasi yang sesuai maka digunakan rumus pada tabel (2.4).

Tabel 2.4 Persamaan penentuan jarak spasi

TIPE DETONATOR L/B < 4 L/B > 4

(𝐿+2𝐵)
Instantaneous S= S = 2.B
3

(𝐿+7𝐵)
Delay S= S = 1,4 . B
8

Keterangan :

S = Spacing (ft)
L = Tinggi jenjang (ft)
B = Burden (ft)

3. Stemming (T)

Stemming adalah tempat material penutup di dalam lubang ledak, yang


letaknya di atas kolom isian bahan peledak.
Fungsi stemming adalah agar terjadi keseimbangan tekanan dan
mengurung gas-gas hasil ledakan sehingga dapat menekan batuan dengan energi
yang maksimal. Disamping itu stemming juga berfungsi untuk mencegah agar
tidak terjadi batuan terbang (flyrock) dan ledakan tekanan udara (airblast) saat
peledakan.
Untuk penentuan tinggi stemming digunakan rumusan seperti yang tertera
berikut ini :

T = 0.7 x B ................................................................................(2.12)

Keterangan :
T = Stemming (ft)
B = Burden (ft)

22
4. Subdrilling (J)

Jika panjang Subdrilling terlalu kecil maka batuan pada batas lantai
jenjang (toe) tidak lengkap terbongkar sehingga akan menyisakan tonjolan pada
lantai jenjangnya, sebaliknya bila panjang subdrilling terlalu besar maka akan
menghasilkan getaran tanah dan secara langsung akan menambah biaya pemboran
dan peledakan.
Dalam penentuan tinggi subdrilling yang baik untuk memperoleh lantai
jenjang yang rata maka digunakan rumusan sebagai berikut:

J = 0.3 x B ................................................................................(2.13)

Keterangan :
J = Subdrilling (ft)
B = Burden (ft)

5. Primary Charger (PC)

Primary Charger adalah panjang isian bahan peledak pada suatu lubang
nilai PC dapat dihitung dengan rumus:

PC = H - T .....................................................................................(2.14)

Keterangan:
PC = Panjang kolom Isian (ft)
H = Kedalaman Lubang Ledak (ft)
T = Stemming (ft)

6. Kedalaman Lubang Ledak (H)

Kedalaman Lubang ledak biasanya disesuaikan dengan tingkat produksi


(Kapasitas alat muat) dan pertimbangan geoteknik. Secara teoritis untuk
menentukan kedalaman lubang ledak dirumuskan sebagai berikut:

H = Kh x B
.....................................................................................(2.15)

23
Keterangan:
H = Kedalaman lubang ledak (ft)
Kh = Hole dept ratio (1,5 – 4,0 )
B = Burden (ft)

7. Tinggi Jenjang (L)

Tinggi jenjang dapat di tentukan dengan rumus sebagai berikut:

L = H- J .....................................................................................(2.16)

Keterangan :
L = Tinggi jenjang (ft)
H = Kedalaman Lubang Ledak (ft)
J = Subdrilling (ft)

2.3.3 Waktu Tunda

Waktu tunda merupakan penundaan waktu peledakan antara baris yang depan
dengan baris di belakangnya atau antar lubang ledak dengan menggunakan delay
detonator. Pemakaian delay detonator dimaksudkan untuk mendapatkan perbedaan
waktu peledakan antara dua lubang ledak sehingga diperoleh peledakan secara
beruntun. Keuntungan melakukan peledakan dengan waktu tunda ialah:
a. Fragmentasi batuan hasil peledakan akan lebih seragam dan baik
b. Mengurangi timbulnya getaran tanah, flyrock dan airblast.
c. Menyediakan bidang bebas baru untuk peledakan berikutnya.
d. Arah lemparan dapat diatur.
e. Batuan hasil peledakan (muckpile) tidak menumpuk terlalu tinggi.

Tujuan penyalaan dengan waktu tunda adalah untuk mengurangi jumlah


batuan yang meledak dalam waktu yang bersamaan, dan memberikan tenggang waktu
pada material yang dekat dengan bidang bebas untuk dapat meledak secara sempurna
serta untuk menyediakan ruang atau bidang bebas baru bagi baris lubang ledak
berikutnya.

2.3.4 Pemakaian Bahan Peledak

Jumlah pemakaian untuk bahan peledak sangat mempengaruhi terhadap hasil

24
peledakan, terutama dengan tingkat fragmentasi yang dihasilkan. Hal yang
berpengaruh dalam pengisian bahan peledak dalam lubang ledak yaitu:

1. Konsentrasi Isian (loading density)

Konsentrasi isian merupakan jumlah isian bahan peledak yang digunakan


dalam kolom isian (PC) lubang ledak. Untuk menghitung lubang ledak maka
harus ditentukan dulu jumlah isian bahan peledak tiap meter panjang kolom isian
(loading density). Untuk menghitung loading density dapat digunakan rumusan
sebagai berikut:
a. Loading density menurut R.L.Ash
de = 0.508 x De2 x SG .. ......................................................................(2.17)

b. Loading density menurut C.J. Konya


de = 0.34 x De2 x SG
....................................... ....................................................................(2.18)

Keterangan:
de = Loading Density (lb/ft)
De = Diamater lubang ledak (Inch)
SG = Berat Jenis bahan peledak yang digunakan

2. Jumlah bahan peledak

Untuk menentukan banyaknya jumlah bahan peledak dapat dihitung dengan


menggunakan rumus sebagai berikut:

E = de . PC . N .....................................................................................(2.19)

Keterangan:
E = Jumlah Bahan Peledak, (Kg)
de = Loading Density (kg/m)
PC = Panjang Isian (m)
N = Jumlah seluruh lubang
3. Powder factor

Powder factor merupakan perbandingan antara jumlah bahan peledak


yang digunakan terhadap jumlah batuan yang diledakkan.

25
Pf = V / E ..................................................................................(2.20)

Keterangan:
Pf = Powder Factor (lb/ft3)
E = Jumlah bahan Peledak (lb)
v = Volume batuan yang diledakkan, (ft3)

2.4 Hasil Peledakan


2.4.1 Target Produksi

Target produksi merupakan jumlah batuan yang diledakkan yang dihitung


dari luas area dan kedalaman lubang ledaknya. Persamaan umum yang digunakan
untuk menentukan target produksi peledakan adalah:

W = A x L x dr .......................................................................................(2.21)

Keterangan:
W = Jumlah batuan yang diledakkan (lb/ft3)
A = Luas daerah yang diledakkan (ft3)
L = Tinggi jenjang (ft)
dr = Bobot isi batuan (lb/ft3)

2.4.2 Perkiraan Fragmentasi hasil peledakan

Tingkat fragmentasi batuan merupakan tingkat pecahan material dalamukuran


tertentu sebagai hasil dari proses peledakan. Untuk mengetahui perkiraan fragmentasi
hasil peledakan dapat menggunakan rumus sebagai berikut :

a. Distribusi fragmentasi batuan hasil peledakan secara teori dapat digunakan


persamaan Kuznetsov (1973), sebagai berikut :

𝑉 0.8 −0,63
X = Ao x [𝑄] 𝑥 𝑄 0.17 𝑥 (𝐸⁄115) .................................................(2.22)

Keterangan :
X = Rata-rata ukuran fragmentasi (cm)

26
Ao = Faktor batuan (rock factor)
1 : untuk batuan yang sangat rapuh
7 : untuk batuan yang agak kompak
10 :untuk batuan kompak dengan sisipan yang rapat
13 :untuk batuan kompak dengan sedikit sisipan
V = Volume batuan yang terbongkar
Q = Jumlah handak pada setiap lubang ledak (kg)
E = Relative Weight Strenght bahan peledak, untuk
(ANFO=100, TNT = 115, Dabex 73 = 77)

b. Persamaan Rosin Ramler utuk mencari material yang tertahan pada saringan,
yaitu ;

𝑥 𝑛
Rx = 𝑒 −(𝑋𝑐) ................................................................. (2.23)

𝑋
XC = 1 ................................................................. (2.24)
(0.693) ⁄6

Keterangan :
Rx = Persentasi material yang tertahan pada ayakan (%)
Xc = Karakteristik dari ukuran batuan
X = Ukuran Screen (cm)
n = Index keseragaman
e = Ephsilon

Nilai “n” mengindikasikan tingkat keseragaman distribusi ukuran


fragmentasi hasil peldakan. Nilai “n” umumnya antara 0,8 sampai2,2 dimana
semakin besar nilai “n” maka ukuran fragmentasi semakin seragam sedangkan
jika nilai “ n” rendah mengindikasikan ukuran fragmentasi kurang seragam.
Besarnya n didapatkan dengan persamaan berikut :

𝐵 𝑊 𝐴−1 𝑃𝐶
n : [2.2 − 14 𝐷𝑒] [1 − ] [1 + ][ 𝐿 ]
........................................................ (2.25)
𝐵 2

27
Keterangan :
De = Diameter bahan peledak (mm)
W = Standard deviasi dari keakuratan pemboran (W) ≈ 0
A = Ratio perbandingan spasi dengan Burden
PC = Panjang Isian (m)
L = Tinggi jenjang (m)

28

You might also like