Professional Documents
Culture Documents
Bab Ii Tinjauan Pustaka: 2.1 Sejarah Perusahaan
Bab Ii Tinjauan Pustaka: 2.1 Sejarah Perusahaan
TINJAUAN PUSTAKA
4
2.1.1 Iklim dan Curah Hujan Daerah Penelitian
Daerah Penelitian memiliki iklim tropis dengan musim hujan dan musim
kemarau saling bergantian sepanjang tahun. Temperatur udara rata-rata berbanding
lurus dengan penyinaran matahari. Penyinaran matahari dan kelembaban udara
merupakan unsur iklim yang berpengaruh terhadap curah hujan. Suhu rata-rata
maksimum berkisar antara 310 C - 330 C dengan suhu minimum rata-rata 230 C - 240
C. Curah hujan rata-rata bulanan (mm/bulan) tahun 2003 sampai dengan tahun 2013
adalah 2.912 mm dengan curah hujan tertinggi pada bulan April tahun 2007 yaitu 837
mm dan curah hujan terendah pada bulan ini Juni dan Juli tahun 2004 sebesar 0 mm.
Data curah hujan diperoleh dari Stasiun Pengukuran Curah Hujan yang terletak
di pit lahan konsesi PT. Trubaindo Coal Mining pada tahun 2003 - 2013. Tabel 2.1
memperlihatkan data curah hujan di lokasi penelitian.
Tabel 2.1 Data Curah Hujan PT. TCM Tahun 2003 - 2013 (Mine Plan TCM, 2013)
5
Berikut ahapan-tahapan dalam kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh
PT. Trubaindo Coal Mining adalah sebagai berikut (Gambar 2.1).
Gambar 2.1 Tahapan Kegiatan Pertambangan Batubara (Mine Plan TCM, 2013)
6
b. Pemindahan Lapisan Tanah Pucuk (Top Soil)
Setelah lokasi yang akan ditambang dibersihkan, maka lapisan tanah paling
atas harus dipindahkan ke tempat penimbunan top soil yang telah disediakan.
Tujuannya untuk menyimpan tanah yang paling subur dan paling banyak
mengandung unsur hara agar tidak tercampur dengan material OB (overburden)
dan untuk digunakan kembali pada kegitan reklamasi, yakni proses spreading
atau penyebaran tanah pucuk/top soil pada area bekas penambangan yang sudah
tidak aktif,agar revegetasi yang di laksanakan pada lahan tersebut tercukupi
kebutuhan haranya.
7
menghasilkan fragmentasi yang berukuran kecil sesuai dengan keperluan yang
dikehendaki. Gambar 2.4 memperlihatkan kegiatan peledakan material.
8
Posisi pemuatan adalah top loading dimana posisi alat muat berada di atas
overburden. Material overburden hasil peledakan dikumpulkan di suatu area
yang dikenal dengan nama disposal, untuk mengangkut material tanah penutup
(overburden) baik itu di dalam area pit tersebut maupun diluar area pit, misalnya
untuk menutup lubang bekas penambangan pit lain yang akan dilakukan
reklamasi dengan cara menutup lubang bekas penambangan tersebut dengan
lapisan (overburden). Gambar 2.5 memperlihatkan pemuatan dan pengangkutan
overburden.
e. Penambangan Batubara
1. Penggalian Batubara
9
terkontaminasi dengan material pengotor yang dapat mengakibatkan
bertambahnya kadar abu dalam batubara. Setelah di bagian atas (roof) batubara
benar-benar bersih, kemudian diambil menggunakan backhoe Komatsu PC 200.
2. Pemuatan Batubara
3. Pengangkutan Batubara
10
3. Diperoleh fragmentasi batuan berukuran merata dengan sedikit bongkah (kurang
dari 15% dari jumlah batuan yang terbongkar per peledakan);
4. Diperoleh dinding batuan yang stabil dan rata;
5. Aman;
6. Dampak terhadap lingkungan minimal.
1. Pemboran
Kegiatan pemboran merupakan kegiatan awal dari kegiatan
pembongkaran material karena pemboran dimaksudkan untuk membuat lubang
ledak (blast hole). Sebelum melakukan pemboran terlebih dahulu ditentukan titik
lubang ledak dengan ukuran burden dan spasi serta pola pemboran yang akan
digunakan, dengan tujuan lubang ledak lebih teratur dan hasil dari peledakan lebih
optimal.
Pola pemboran merupakan suatu pola dalam pemboran untuk
menempatkan lubang – lubang ledak secara sistematis. Pola pemboran ada 2
macam yaitu : Pola pemboran sejajar (parallel pattern), dan Pola pemboran selang
– seling (staggered pattern). Pola pemboran sejajar adalah pola pemboran dengan
penempatan lubang ledak dengan baris (row) yang berurutan dan sejajar dengan
Burden. Sedangkan pola pemboran selang – seling merupakan pola pemboran
yang penempatan lubang – lubang ledaknya selang – seling setiap kolomnya
11
Pada kondisi di lapangan, pola pemboran sejajar lebih mudah dalam
pembuatan dan pengaturannya, namun fragmentasi yang dihasilkan kurang
seragam, sedangkan untuk pola pemboran selang – seling fragmentasi yang
dihasilkan lebih seragam walaupun lebih sulit dalam pengaturan di lapangan.
12
Diameter lubang ledak berpengaruh pada penentuan jarak burden dan
jumlah bahan peledak yang digunakan pada setiap lubangnya (Gambar 2.5).
Faktor – faktor yang mempengaruhi penentuan diameter lubang ledak antara lain:
a. Volume massa batuan yang akan dibongkar
b. Tinggi jenjang dan konfigurasi isian
c. Fragmentasi yang diinginkan
d. Mesin bor yang tersedia (hubungannya dengan biaya pemboran)
e. Kapasitas alat muat yang akan menangani material hasil peledakan.
3. Pola Peledakan
13
b. Corner Cut, Pola Peledakan Corner Cut (Echelon) Pola peledakan ini
diterapkan untuk lokasi peledakan yang memiliki tiga bidang bebas (free
face), arah lemparan hasil peledakan dengan menggunakan pola peledakan ini
adalah kearah pojok (corner). Gambar 2.10 memperlihatkan pola corner cut.
c. Pola “V“ Cut Pola peledakan ini diterapkan untuk lokasi peledakan yang
memiliki dua bidang bebas (free face), arah lemparan hasil peledakan dengan
menggunakan pola ini adalah kearah tengah (center) dengan pola peledakan
menyerupai huruf V. Gambar 2.11 memperlihatkan pola v cut.
14
Berdasarkan urutan waktu peledakan maka pola peledakan diklasifikasikan
sebagai berikut:
a. Pola peledakan serentak, yaitu pola yang menerapkan peledakan secara
serentak untuk semua lubang ledak.
b. Pola peledakan beruntun, yaitu pola yang menerapkan peledakan dengan
waktu tunda / delay antar baris yang satu dengan baris yang lainnya.
Untuk mencapai produksi peledakan yang diinginkan, maka hal yang perlu
diperhatikan adalah parameter dari geometri peledakan yang terdiri atas Burden,
spacing, sub drilling, dan kedalaman lubang bor. Untuk menentukan Geometri
peledakkan Terdapat beberapa cara untuk menghitung geometri peledakan yang telah
diperkenalkan oleh para ahli, antara lain: Anderson (1952), Pearse (1955), Ash (1963),
Langefors (1978), Konya (1972), Foldesi (1980), Olofsson (1990), Rustan (1990) dan
lainnya.
15
Lubang ledak tidak hanya vertikal, tetapi dapat juga dibuat miring, sehingga
terdapat parameter kemiringan lubang ledak. Kemiringan lubang ledak akan
memberikan hasil berbeda, baik dilihat dari ukuran fragmentasi maupun arah
lemparannya. Gambar 2.13 memperlihatkan Lubang ledak vertikal dan miring.
1. Burden (B)
16
Batuan standar adalah batuan yang mempunyai density 160 lb/cuft. Bahan
peledak standar adalah bahan peledak yang mempunyai berat jenis (SG) 1.20 dan
kecepatan detonasi (Ve) 12.000 fps. Apabila batuan yang akan diledakan sama
dengan batuan standar dan bahan peledak yang akan dipakai ialah bahan peledak
standar, maka burden ratio (Kb) yaitu 30. Tetapi bila batuan yang akan diledakan
tidak sama dengan batuan standar dan bahan peledak yang digunakan bukan pula
bahan peledak standar, maka nilai Kb standar itu harus dikoreksi menggunakan
faktor penyesuaian (adjustment factor).
Pada kondisi batuan yang berbeda dan penggunaan bahan peledak yang
berbeda, maka harga Kb turut berubah. Untuk mengatasi perubahan angka Kb
perlu dihitung terlebih dahulu harga faktor penyesuaian pada kondisi batuan dan
bahan peledak yang berbeda, nilai KB dihitung degan rumus:
⁄3 1
Densitas batuan standar
AF1 =( )
....................................................... (2.2)
Densitas batuan yang diledakkan
1⁄
SG x Ve2 3
AF2 =( ) ....................................................... (2.3)
SGstd x Vestd2
KB x De
B= ........................................................................................ (2.4)
12
17
Keterangan :
B = Burden (ft)
KB = Burden Ratio
De = Diameter Lubang Ledak (Inch)
2. Spacing (S)
Keterangan :
S = Spacing (ft)
Ks = Spacing Ratio
B = Burden
3. Stemming (T)
Stemming adalah lubang ledak bagian atas yang tidak diisi bahan peledak,
tetapi biasanya di isi oleh material hasil pemboran atau material berukuran kecil
(lebih baik) dan dipadatkan di atas bahan peledak.
Untuk menghitung panjang stemming perlu ditentukan dulu stemming
ratio (Kt), yaitu perbandingan panjang stemming dengan burden. Biasanya Kt
standar yang dipakai 0,70 dan ini cukup untuk mengontrol airblast, flyrock, dan
stress balance. Secara teoritis Penentuan stemming di rumuskan sebagai berikut:
T = Kt . B ................................................................................ (2.6)
18
Keterangan :
T = Stemming (ft)
Kt = Stemming ratio Kt = 0,7 – 1,0
B = Burden (ft)
Fungsi stemming:
a) Meningkatkan Confining Presure dari akumulasi gas hasil ledakan;
b) Menyeimbangkan tekanan di daerah stemming;
c) Mengontrol kemungkinan terjadinya airblast dan flyrock.
H = Kh. B .....................................................................................(2.7)
Keterangan:
H = Kedalaman lubang ledak (ft)
Kh = Hole dept ratio Kh= (1,5 – 4,0 )
B = Burden (ft)
5. Subdrilling (J)
19
Panjang subdilling dipengaruhi oleh struktur geologi, tinggi jenjang dan
kemiringan lubang ledak. Panjang subdrilling diperoleh dengan menentukan harga
subdrilling ratio (Kj) yang besarnya tidak lebih kecil dari 0,20. Untuk batuan
massive biasanya dipakai Kj sebesar 0,3 Untuk menghitung nilai dari Subdrilling
yaitu sebagai berikut:
J = Kj . B .....................................................................................(2.8)
Keterangan :
J = Subdrilling (ft)
Kj = Subdrilling ratio
B = Burden (ft)
Primary Charger adalah panjang isian bahan peledak pada suatu lubang.
Nilai PC dapat dihitung dengan rumus:
.....................................................................................(2.9)
PC = H - T
Keterangan :
PC = Panjang kolom Isian (ft)
H = Kedalaman Lubang Ledak (ft)
T = Steming (ft)
L = H- J .....................................................................................(2.10)
Keterangan:
L = Tinggi jenjang (ft
H = Kedalaman Lubang Ledak (ft)
J = Subdrilling (ft)
20
mempertimbangkan faktor bahan peledak, sifat batuan dan diameter lubang ledak
tetapi juga memperhatikan faktor koreksi terhadap posisi lapisan batuan, keadaan
struktur geologi serta koreksi terhadap jumlah lubang ledak yang diledakkan.
Faktor terpenting untuk dikoreksi menurut Konya (1995) adalah masalah
penentuan besarnya nilai Burden.
1. Burden (B)
1
𝑆𝐺𝑒 3
B = 3,15 De (𝑆𝐺𝑟 ) ......................................................................(2.11)
Keterangan :
B = Burden (ft)
De = Diameter Lubang Ledak (Inch)
SGe = Berat jenis bahan peledak
SGr = Berat jenis batuan
2. Spacing (S)
Spacing adalah jarak diantara lubang ledak dalam suatu garis yang sejajar
dengan bidang bebas. Jarak spacing yang terlalu besar akan menghasilkan
fragmenatsi yang tidak baik dan dinding akhir yang ditinggalkan relatif tidak rata,
sebaliknya bila spacing terlalu kecil dari jarak burden maka akan mengakibatkan
tekanan sekitar stemming yang lebih dan mengakibatkan gas hasil ledakan
dihamburkan ke atmosfer diikuti dengan suara bising (noise).
21
Menentukan jarak spacing didasarkan pada jenis detonator listrik yang
digunakan dan beberapa perbandingan anatara tinggi jenjang dan jarak burden.
Bila perbandingan antara L/B lebih kacil dari 4 maka digolongkan jenjang rendah
dan bila lebih besar dari 4 maka digolongkan jenjang tinggi. Untuk memperoleh
jarak spasi yang sesuai maka digunakan rumus pada tabel (2.4).
(𝐿+2𝐵)
Instantaneous S= S = 2.B
3
(𝐿+7𝐵)
Delay S= S = 1,4 . B
8
Keterangan :
S = Spacing (ft)
L = Tinggi jenjang (ft)
B = Burden (ft)
3. Stemming (T)
T = 0.7 x B ................................................................................(2.12)
Keterangan :
T = Stemming (ft)
B = Burden (ft)
22
4. Subdrilling (J)
Jika panjang Subdrilling terlalu kecil maka batuan pada batas lantai
jenjang (toe) tidak lengkap terbongkar sehingga akan menyisakan tonjolan pada
lantai jenjangnya, sebaliknya bila panjang subdrilling terlalu besar maka akan
menghasilkan getaran tanah dan secara langsung akan menambah biaya pemboran
dan peledakan.
Dalam penentuan tinggi subdrilling yang baik untuk memperoleh lantai
jenjang yang rata maka digunakan rumusan sebagai berikut:
J = 0.3 x B ................................................................................(2.13)
Keterangan :
J = Subdrilling (ft)
B = Burden (ft)
Primary Charger adalah panjang isian bahan peledak pada suatu lubang
nilai PC dapat dihitung dengan rumus:
PC = H - T .....................................................................................(2.14)
Keterangan:
PC = Panjang kolom Isian (ft)
H = Kedalaman Lubang Ledak (ft)
T = Stemming (ft)
H = Kh x B
.....................................................................................(2.15)
23
Keterangan:
H = Kedalaman lubang ledak (ft)
Kh = Hole dept ratio (1,5 – 4,0 )
B = Burden (ft)
L = H- J .....................................................................................(2.16)
Keterangan :
L = Tinggi jenjang (ft)
H = Kedalaman Lubang Ledak (ft)
J = Subdrilling (ft)
Waktu tunda merupakan penundaan waktu peledakan antara baris yang depan
dengan baris di belakangnya atau antar lubang ledak dengan menggunakan delay
detonator. Pemakaian delay detonator dimaksudkan untuk mendapatkan perbedaan
waktu peledakan antara dua lubang ledak sehingga diperoleh peledakan secara
beruntun. Keuntungan melakukan peledakan dengan waktu tunda ialah:
a. Fragmentasi batuan hasil peledakan akan lebih seragam dan baik
b. Mengurangi timbulnya getaran tanah, flyrock dan airblast.
c. Menyediakan bidang bebas baru untuk peledakan berikutnya.
d. Arah lemparan dapat diatur.
e. Batuan hasil peledakan (muckpile) tidak menumpuk terlalu tinggi.
24
peledakan, terutama dengan tingkat fragmentasi yang dihasilkan. Hal yang
berpengaruh dalam pengisian bahan peledak dalam lubang ledak yaitu:
Keterangan:
de = Loading Density (lb/ft)
De = Diamater lubang ledak (Inch)
SG = Berat Jenis bahan peledak yang digunakan
E = de . PC . N .....................................................................................(2.19)
Keterangan:
E = Jumlah Bahan Peledak, (Kg)
de = Loading Density (kg/m)
PC = Panjang Isian (m)
N = Jumlah seluruh lubang
3. Powder factor
25
Pf = V / E ..................................................................................(2.20)
Keterangan:
Pf = Powder Factor (lb/ft3)
E = Jumlah bahan Peledak (lb)
v = Volume batuan yang diledakkan, (ft3)
W = A x L x dr .......................................................................................(2.21)
Keterangan:
W = Jumlah batuan yang diledakkan (lb/ft3)
A = Luas daerah yang diledakkan (ft3)
L = Tinggi jenjang (ft)
dr = Bobot isi batuan (lb/ft3)
𝑉 0.8 −0,63
X = Ao x [𝑄] 𝑥 𝑄 0.17 𝑥 (𝐸⁄115) .................................................(2.22)
Keterangan :
X = Rata-rata ukuran fragmentasi (cm)
26
Ao = Faktor batuan (rock factor)
1 : untuk batuan yang sangat rapuh
7 : untuk batuan yang agak kompak
10 :untuk batuan kompak dengan sisipan yang rapat
13 :untuk batuan kompak dengan sedikit sisipan
V = Volume batuan yang terbongkar
Q = Jumlah handak pada setiap lubang ledak (kg)
E = Relative Weight Strenght bahan peledak, untuk
(ANFO=100, TNT = 115, Dabex 73 = 77)
b. Persamaan Rosin Ramler utuk mencari material yang tertahan pada saringan,
yaitu ;
𝑥 𝑛
Rx = 𝑒 −(𝑋𝑐) ................................................................. (2.23)
𝑋
XC = 1 ................................................................. (2.24)
(0.693) ⁄6
Keterangan :
Rx = Persentasi material yang tertahan pada ayakan (%)
Xc = Karakteristik dari ukuran batuan
X = Ukuran Screen (cm)
n = Index keseragaman
e = Ephsilon
𝐵 𝑊 𝐴−1 𝑃𝐶
n : [2.2 − 14 𝐷𝑒] [1 − ] [1 + ][ 𝐿 ]
........................................................ (2.25)
𝐵 2
27
Keterangan :
De = Diameter bahan peledak (mm)
W = Standard deviasi dari keakuratan pemboran (W) ≈ 0
A = Ratio perbandingan spasi dengan Burden
PC = Panjang Isian (m)
L = Tinggi jenjang (m)
28