Professional Documents
Culture Documents
Pengajaran Bahasa Jawa Di SD Dan SMP: Pemikiran Ke Arah Sinerginya Antara Kebijakan Pemerintah Dan Pembinaan Bahasa Daerah Di Lapangan
Pengajaran Bahasa Jawa Di SD Dan SMP: Pemikiran Ke Arah Sinerginya Antara Kebijakan Pemerintah Dan Pembinaan Bahasa Daerah Di Lapangan
Abstract: Javanese represent the vernacular which old enough wide and its usage
region. Till in this time, its existence still be awaked better. That matter is proven with
usage in society which remain to be awaked, taught at school, and supported with a few
college which remain to construct the majors of Ianguage and Java Art.Even if that way,
in execution there is problem. Besides government policy which less side the, allocation
of time ang less, also slimmest professional teacher energy. Various effort overcome the
problem conducted by various party with the curriculum repair, levying and book
development teach, and also energy construction learn, but its result not yet seethed
with excitement, and surely with its position as local payload. Matter which can be
conducted by besides constructing teacher, develop;building the rising generation
awareness, also intensify the cooperation with local government as local policy maker,
so that profit the instruction and Javanese construction
181
JURNAL PENDIDIKAN DASAR,VOL.10 NO.2, SEPTEMBER 2009 (181 -189)
182
Basir, Pengajaran Bahasa Jawa di SD ….
Majapahit mencapai puncaknya, bahasa dan budaya Jawa berkembang tidak hanya di
wilayah Nusantara saja, namun bahkan hingga merambah ke daerah Campa (Indo China),
dan Filipina (Poerbatjaraka, 1954:V-VII; Koentjaraningrat, 1984:43-47).
Dari perjalanan sejarah, bahasa Jawa memang mengalami pasang surut. Jika dikaji
secara mendalam, keadaan tersebut dipengaruhi oleh maju mundurnya suatu tata
pemerintahan dan perannya dalam sistem kenegaraan. Semakin kuat dan mashur suatu
negara, maka tata nilai budaya dan bahasanya akan semakin baik pula. Demikian pula
dengan bahasanya, semakin mendapatkan posisi yang strategis di dalam suatu negara dan
tata pemerintahan, maka akan lebih terjamin masalah kehidupan, pelestarian dan
pembinaannya.
Perkembangan bahasa Jawa yang cukup pesat di masa lampau dengan meninggalkan
berbagai karya bahasa yang bernilai adiluhung (indah dan tinggi) seperti kitab Ramayana,
Mahabharata, Bharatayudha, ceritra Panji, Negara Kertagama, Serat Centhini, Dewaruci, dll.
tidak terlepas dari posisi bahasa Jawa yang cukup baik pada saat itu. Dengan kebijakan
penguasa (raja) dan para panggurit (pengarang dan pujangga keraton), maka bahasa Jawa
senantiasa mendapatkan perhatian, pengembangan dan pembinaan secara intensif sehingga
sebagai alat komunikasi dapat berkembang secara optimal. Dengan demikian status bahasa
dan pengaruh kebijakan negara sangat mempengaruhi perkembangan suatu bahasa, termasuk
dalam hal ini bahasa Jawa (Poerbatjaraka, 1954:24-40).
Sejak menurunnya perhatian terhadap bahasa Jawa sebagai akibat mundurnya
pengaruh kerajaan-kerajaan Jawa, maka perkembangan bahasa dan budaya Jawa
menunjukkan grafik menurun. Keadaan tersebut mencapai puncaknya pada pertengahan
abad ke-20 dengan diikrarkannya "Sumpah Pemuda" pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada
saat itu, dengan pertimbangan demi persatuan dan kesatuan bangsa, maka para petinggi
(pimpinan nasional) di Nusantara, yang pada hakekatnya didominasi tokoh-tokoh Jawa,
merelakan dan menyetujui diangkatnya bahasa daerah Melayu sebagai bahasa perjuangan
bersama (persatuan dan kesatuan bangsa). Adapun alasannya adalah bahwa bahasa Melayu
strukturnya sederhana dan saat itu pemakaiannya cukup luas serta menjadi "Lingua Franca"
di lingkungan masyarakat kepulauan Nusantara (Indonesia).
Peristiwa Sumpah Pemuda tersebut ternyata menjadi "titik balik" bagi kehidupan
bahasa dan budaya Jawa secara keseluruhan. Bahkan ada sebagian pemerhati yang
menyatakan secara lebih pesimistis bahwa peristiwa Sumpah Pemuda yang dianggap
demikian bersejarah bagi kelahiran bangsa Indonesia itu justru disebutnya sebagai awal
proses "harakiri" kebudayaan Jawa. Hal itu lebih diperburuk lagi setelah tahun 1945,
pemerintah Indonesia menetapkan satu-satunya bahasa nasional dan bahasa negara adalah
bahasa Indonesia, maka kehidupan bahasa daerah di Indonesia, termasuk bahasa Jawa, dalam
posisi "stagnan", bahkan dalam kondisi antara hidup dan mati.
Pandangan tersebut memang dapat dimaklumi sebab sejak saat itu secara otomatis
semua kedudukan bahasa dan budaya daerah di Indonesia, termasuk "Jawa" yang semula
menjadi bahasa "primadona" (negara) di wilayahnya masing-masing, kemudian tergeser
menjadi bahasa nomor dua. Bahasa Jawa hanya berstatus sebagai salah satu bahasa daerah
yang pengembangannya diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat pemakainya. Dalam
sistem Kurikulum Nasional (Kurnas), pengajaran bahasa daerah diposisikan sebagai bidang
studi Muatan Lokal (Mulok), yang penyelenggaraannya dapat lebih longgar lagi (Depdikbud.
1994:4; Depdikbud. 1994:6).
183
JURNAL PENDIDIKAN DASAR,VOL.10 NO.2, SEPTEMBER 2009 (181 -189)
terpinggirkan. Lingkungan masyarakat saat ini tidak lagi dapat diandalkan sebagai basis
pengembangan bahasa Jawa, apalagi kecenderungan masyarakat yang semakin heterogen.
Tinggalah sebagai benteng terakhir adalah pembinaan dan pengembangan bahasa Jawa
melalui jalur pendidikan formal.
185
JURNAL PENDIDIKAN DASAR,VOL.10 NO.2, SEPTEMBER 2009 (181 -189)
semestinya menjadi contoh. Keadaan semacam itu dirasakan sekali, terutama di lingkungan
perkotaan, sekalipun merupakan wilayah basis budaya Jawa. Contoh data tutur berikut ini
sekedar ilustrasi kecil yang direkam dari lingkungan Pendidikan Tingkat Dasar (SD) di
Surabaya.
Wacana kalimat (1) sampai dengan (4) merupakan bagian dialog antara guru dan
siswa di suatu sekolah swasta yang sempat penulis amati. Memang saat itu bukan dalam
konteks pengajaran bahasa Jawa, namun harus difahami bahwa kondisi semacam itu
merupakan bagian dari proses sosialisasi pengajaran bahasa Jawa yang sangat berpengaruh.
Dari gambaran di atas nampak betapa seorang guru kurang menyadari posisinya sebagai pola
panutan bagi para muridnya. Ia menggunakan bahasa yang "kacau" antara bahasa Jawa dan
bahasa Indonesia. Ia tidak menyadari bahwa apa yang dilakukannya (tutur bahasa) didengar
dan akan ditiru (dipola) siswa. Hal yang lebih jauh dapat berdampak pada "gagalnya"
pencapaian tujuan pengajaran bahasa Indonesia dan bahasa Jawa pada siswanya.
Sedangkan wacana kalimat (5) s.d. (7) merupakan contoh dialog antara murid dengan
murid saat istirahat. Model dialognya nampak memiliki kemiripan dengan konteks bahasa
guru. Adakah kondisi tersebut merupakan sesuatu yang berkorelasi? Jawabannya tentu tidak
mudah. Namun jika kita ingat pepatah bahwa "pengalaman adalah guru yang paling utama"
dan guru merupakan sosok yang akan digugu lan ditiru (suri teladan), tentunya kebenaran
asumsi di atas bukanlah sesuatu yang bersifat nihil.
Sekolah sebagai tumpuan harapan dalam rangka pemberdayaan pengajaran bahasa
Jawa, sangat bergantung pada kebijakan kepala sekolah dan dedikasi guru. Tidak jarang
kepala sekolah (umumnya swasta), sekalipun orang Jawa, namun acuh tak acuh terhadap
masalah nasib pengajaran bahasa Jawa. Mereka sering memperlakukan bidang studi bahasa
Jawa sebagai "tong sampah" yang isinya jam sisa, guru sisa, nilai sisa, dsb.
Guru pengajar bahasa Jawa tidak jarang diambilkan dari guru yang bukan bidangnya
dan asal etnis Jawa. Mereka diserahi tugas mengajar bahasa Jawa karena alasan kekurangan
jam. Terhadap kenyataan ini (mayoritas), karena telah "sanggup", maka hal yang dapat
diharapkan tentunya masalah kesadaran, dedikasi dan tanggung jawab moral (nurani) dari
guru yang bersangkutan. Untuk menjadi guru yang baik, dihargai dan disegani siswa
tentunya harus menguasai materi yang akan disajikan dengan cara banyak membaca dan
186
Basir, Pengajaran Bahasa Jawa di SD ….
senantiasa mengembangkan pengetahuan. Selain itu, seorang guru juga harus menerapkan
strategi mengajar yang bervariasi dan cukup menarik, sesuai dengan tuntutan situasi.
Dalam kaitannya dengan strategi mengajar banyak cara (metode) yang dapat
dikembangkan sehingga komunkatif dan tidak membosankan. Hal yang perlu disadari adalah
bahwa tidak pernah ada satupun metode mengajar yang paling sempurna. Masing-masing
memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu model kombinasi yang disesuaikan
dengan topik dipandang paling bijaksana. Misalnya, kombinasi antara ceramah, demonstrasi
dan tugas untuk topik tembang (menyanyi) dan Nulis Jawa (menulis Jawa); kombinasi
antara ceramah, demonstrasi, diskusi dan tugas untuk membahas topik Keterampilan
Berbahasa, paramasastra (Tatabahasa), dan materi sastra, dan lain sebagainya. Model
pengajaran kontekstual (CTL) yang saat ini sedang dikembangkan dalam kurikulum baru
(KBK dan KTSP) juga dapat dijadikan alternatif dalam pengajaran bahasa Jawa yang lebih
berorientasi pada kepentingan siswa, sekalipun dengan adaptasi konteks seperlunya serta
mempertimbangkan tahapan penguasaan bahasa (Jawa) pembelajar (Curran, 1982:172-185;
Sumardi, 1992:23-37).
187
JURNAL PENDIDIKAN DASAR,VOL.10 NO.2, SEPTEMBER 2009 (181 -189)
sederhana (elementer) akan tetapi siswa telah memiliki keberanian untuk mengemukakan
pikiran dengan bahasa yang baru dipelajarinya. Tentu saja dimungkinkan akan sering terjadi
kesalahan, itu wajar. Tugas guru adalah memberikan dorongan agar keberanian yang baru
tumbuh terus dipupuk dengan lebih giat lagi belajar sambil dilakukan pembetulan
seperlunya. Dalam tahapan ini anak dapat lebih dimotivasi dalam bentuk tugas yang lebih
terorganisasi, yaitu menceriterakan gambar yang sederhana dalam jumlah kalimat terbatas
dan dibahas (dinilai). Konsep Ing madya mangun karsa kiranya masih tepat untuk tingkatan
ini.
Birth Stage adalah tahapan ketiga yang memberikan kepercayaan pada diri anak
(pembelajar) lebih tinggi lagi. Anak telah mulai merasa terbiasa dengan penggunaan bahasa
yang dipelajarinya. Dalam kondisi seperti ini siswa merasa tumbuh kepercayaan diri karena
merasa dihargai oleh gurunya. Untuk lebih mengembangkan wawasan dan pengetahuan kosa
kata, anak perlu diberikan materi yang lebih luas lagi. Model penugasannya dapat dalam
bentuk pengayaan bacaan yang lebih tinggi dari tahapan sebelumnya atau menceriterakan
suatu hasil pengamatan secara lebih luas. Dalam tahapan ini guru memposisikan diri
motivator dan kreator (Ing madya mangun karsa).
Tahap keempat adalah Reversal Stage, yaitu tahapan saling percaya antar guru dan
siswa. Dengan mempertimbangkan taraf kemajuan siswa yang telah mencapai tahap
penguasaan dan penjiwaan terhadap bahasa yang dipelajarinya, maka dalam kaitan ini guru
bertindak sebagai pangemong (pengasuh/motivator). Untuk lebih mempertajam kemampuan
dan wawasan bahasanya, akan dapat diajak berdiskusi dan menganalisis model penggunaan
bahasa dalam konteks yang berbeda. Anak dapat ditugasi untuk menganalisis suatu teks dan
mengidentifikasi model kesalahan dan membetulkannya. Secara posisional dalam tingkatan
ini posisi guru sebagai motivator dan kreator (Ing madya mangun karsa dan Tutwuri
handayani).
Adapun tahap kelima adalah Independent Stage, yaitu merupakan tahapan apresiatif
tingkat tinggi. Anak telah mulai menguasai bahasa yang dipelajarinya (kognitif,
pisikomotorik, dan afektif). Lebih dari itu pada tahapan ini, penguasaan anak telah sampai
pada tahapan pemahaman sosial budayanya. Pada kondisi demikian peran guru tinggal
memperkaya daya apresiasi siswa dalam bentuk menugasi membuat karangan, karya ilmiah,
laporan reportase, penelitian, danlaqin sebagainya. Guru tidak lagi banyak memberikan
informasi yang bersifat instruktif pada siswa, melainkan hanya mengawal dan memperkaya
pengalaman siswa yang memang telah mulai masuk pada tahapan kemandirian. Pada tahapan
ini, tugas guru hanya bersifat Tut wuri handayani (motivator dan pendampingan), yaitu
memberikan arahan atau pertimbangan jika diperlukan.
Penutup
Tulisan ini lebih merupakan lontaran gagasan. Oleh karena itu isinya lebih bersifat
ungkapan pribadi yang mengarah pada panguda rasa (kritik dan saran) yang harus
dikonfirmasi dengan data lapangan dari para praktisi sekolah (guru). Informasi dan
pengalaman para guru di dalam kelas tentu merupakan hal yang sangat berharga, perlu
disinkronkan dan didiskusikan untuk dicarikan pemecahan bersama. Tentu saja pandangan
dan pemikiran ini tidak akan dapat menuntaskan seluruh permasyalahan yang ada. Oleh
karena itu diperlukan forum yang lebih khusus serta waktu yang lebih longgar. Namun
tulisan ini merupakan awal yang baik untuk membangkitkan kesadaran bersama tentang
pentingnya usaha keras, penyatuan visi dan misi, dan segera cancut tali wanda (kerjasama)
188
Basir, Pengajaran Bahasa Jawa di SD ….
untuk memulai "kerja besar", demi kecintaan kita terhadap bahasa dan budaya Jawa, melalui
bidang masing-masing.
Model tindak lanjut yang dapat dilakukan untuk lebih mengintensifkan dan
mengefektifkan tingkat pengalaman kita, dapat dilakukan dengan model seminar, lokakarya
atau studi khusus (kursus, penyetaraan), dsb. di lembaga-lembaga yang kompeten. Hal lain
yang lebih penting adalah bentuk implementasi konkrit dalam bentuk pengembangan
kurikulum, pembuatan buku ajar yang relevan, pengembangan sanggar dan kesenian, serta
pengajaran yang kondusif. Keberpihakan proses "ajar" dan perhatian kita (guru dan orang
tua) utamanya kepada siswa (generasi muda), sebab kepada merekalah nasib bahasa dan
budaya Jawa ini selanjutnya dititipkan.
Daftar Acuan
Curran, Charles A. 1982. Linguistic Model for Learning and Living in the New Age of the Person.
Apple River: Aplle River Press.
Depdikbud. 1984. Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa Jawa untuk Sekolah Dasar (SD). Penerbit
Depdikbud.
Depdikbud. 1984. Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa Jawa untuk Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama (SLTP). Penerbit Depdikbud.
Depdikbud. 1994. Kurikulum Muatan Lokal Mata Pelajaran Bahasa Jawa untuk Pendidikan Dasar
(SD). Surabaya: Depdikbud Jawa Timur.
Depdikbud. 1994. Kurikulum Muatan Lokal Mata Pelajaran bahasa Jawa untuk SLTP. Surabaya:
Depdikbud Jawa Timur.
Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Sekolah Menengah Pertama,
Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa, Seri Etnografi Indonesia. Jakarta: PN. Balai Pustaka.
Poerbatjaraka, R. M. Ng. 1954. Kapustakan Djawi. Djakarta: Penerbit Djambatan.
Soejono, Ag. 1978. Aliran Baru dalam Pendidikan, Bagian ke-2. Bandung: Penerbit C.V. Ilmu.
Soetomo WE. 2000. Kebudayaan Jawa dalam Perspektif (Kumpulan Karangan tentang Hakikat
Kebudayaan). Semarang: Stiepari Press.
Sumardi, Muljanto (Ed.). 1992. Berbagai Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Suseno, Franz Magnis. 1985. Etika Jawa, Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijakan Hidup Jawa.
Jakarta: Penerbit Gramedia.
189