Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 9

Basir, Pengajaran Bahasa Jawa di SD ….

PENGAJARAN BAHASA JAWA DI SD DAN SMP:


PEMIKIRAN KE ARAH SINERGINYA ANTARA KEBIJAKAN
PEMERINTAH DAN PEMBINAAN BAHASA DAERAH
DI LAPANGAN
Udjang Pr. M. Basir
(Dosen Bahasa Jawa FBS Universitas Negeri Surabaya,e-mail:ujangjw@yahoo.co.id)

Abstract: Javanese represent the vernacular which old enough wide and its usage
region. Till in this time, its existence still be awaked better. That matter is proven with
usage in society which remain to be awaked, taught at school, and supported with a few
college which remain to construct the majors of Ianguage and Java Art.Even if that way,
in execution there is problem. Besides government policy which less side the, allocation
of time ang less, also slimmest professional teacher energy. Various effort overcome the
problem conducted by various party with the curriculum repair, levying and book
development teach, and also energy construction learn, but its result not yet seethed
with excitement, and surely with its position as local payload. Matter which can be
conducted by besides constructing teacher, develop;building the rising generation
awareness, also intensify the cooperation with local government as local policy maker,
so that profit the instruction and Javanese construction

Keyword: pengajaran, pemikiran, sinergi, kebijakan pemerintah dan pembinaan bahasa


daerah.

Permasalahan seputar eksistensi bahasa Jawa pada hakekatnya merupakan "retorika


umum" yang telah banyak diketahui, diperbincangkan, didiskusikan bahkan diseminarkan
dalam berbagai perhelatan resmi. Forum penyelenggaranya juga demikian luas dan beragam
serta frekuensinya relatif tinggi mulai dari lembaga swasta (sanggar, penerbitan, Javanologi,
dll.) hingga lembaga resmi seperti Balai Penelitian Bahasa dan lembaga pendidikan yang
memiliki jurusan terkait, seperti Universitas Negeri Surabaya (dulu IKIP Surabaya),
Universitas Negeri Yogyakarta (dulu IKIP Yogyakarta), Universitas Negeri Surakarta (UNS),
Universitas Veteran Sukoharjo, Universitas Gajah Mada, Universitas Negeri Semarang (dulu
IKIP Semarang) dan Universitas Indonesia (UI). Untuk lebih mengefektifkan sistem
pencapaian tujuan, lembaga pendidikan tinggi di atas berhasil membentuk suatu badan kerja
sama Jurusan (bahasa Jawa) antar Universitas se-Jawa, yang secara rutin setiap tahun
mengadakan temu ilmiah. Kegiatannya membahas seputar peran jurusan dan topik-topik
yang berkaitan dengan keberadaan serta kehidupan bahasa, sastra, dan budaya daerah (Jawa)
pada tataran aplikasi di lapangan, baik dalam pemakaian sehari-hari atau sistem pengajaran
di sekolah (SD dan SMP).
Lembaga-lembaga pendidikan (Perguruan Tinggi) di atas sadar perlunya kerjasama
yang sinergis dengan basis Lembaga Pendidikan Tingkat Dasar sebab muara dari segala
kebijakan yang dihasilkan (output) secara efektif akan dilaksanakan oleh para guru SD dan
SMP sebagai ujung tombaknya. Secara fungsional segala rumusan yang berkaitan dengan
pelestarian dan pembinaan bahasa daerah sebagai produk pemikiran pendidikan tinggi akan

181
JURNAL PENDIDIKAN DASAR,VOL.10 NO.2, SEPTEMBER 2009 (181 -189)

berpengaruh pada kebijakan kurikulum dan pengembangan bahan ajar di sekolah


(Depdikbud, 1984:3; Depdikbud, 1994:7).
Kegiatan temu ilmiah ini semula diselenggarakan sebagai ajang kerja sama antar
perguruan tinggi yang membuka Jurusan Bahasa Daerah (Jawa) saja. Namun dalam
perkembangannya, kegiatan tahunan yang semula "bertitel" lokal kedaerahan, khususnya
Jawa, kemudian berkembang menjadi bersifat nasional sebab selanjutnya berhasil menarik
peserta dari kalangan budaya lain, seperti Sunda, Bali, Lombok, Batak, Bugis, Madura, dsb.
Bahkan Temu Ilmiah yang ke X, tahun 1996 dilaksanakan oleh Jurusan Bahasa Daerah Bali,
Universitas Udayana. Pada tahun 1997 (Temu Ilmiah ke XI) yang rencananya dilaksanakan
oleh Jurusan Bahasa Daerah Sunda Universitas Pendidikan Indonesia (dulu IKIP Bandung),
terjadi pemunduran waktu sehubungan adanya gejolak politik (reformasi) dan perubahan
polese pemerintahan baru, mengganti IKIP menjadi Universitas. Pada 10 tahun terakhir,
kegiatan tersebut gaungnya memudar, dan belum ada tanda-tanda kebangkitannya kembali.
Antusiasme untuk mencoba memecahkan permasalahan yang membelit keberadaan
bahasa dan budaya Jawa serta bagaimana merumuskan model pembinaan serta
pengembangannya lebih diintensifkan lagi dalam bentuk Kongres Bahasa Jawa. Kegiatan
kongres Bahasa Jawa ini melibatkan Kanwil Depdiknas dan Pemerintah Daerah dari tiga
wilayah basis budaya Jawa, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa
Yogyakarta. Kegiatan ini mendapatkan perhatian cukup luas, baik dari dalam negeri maupun
luar negeri, bahkan Kongres Bahasa Jawa I di Semarang Jawa Tengah (1991), dibuka
langsung oleh Presiden Suharto. Kongres Bahasa Jawa II diselenggarakan di Batu Malang,
Jawa Timur (1996), dan Kongres Bahasa Jawa III ini di Daerah Istimewa Yogyakarta (Juli
2001), dan giliran berikutnya Kongres Bahasa Jawa IV dilaksanakan di Semarang lagi
(2006/2007). Hasilnya sangat menggembirakan sebab dapat mempengaruhi kebijakan
pengajaran bahasa Jawa secara lebih luas di Jawa Tengah dan DIY. Di dua propinsi ini,
pengajaran bahasa Jawa tidak saja di ajarkan di level pendidikan tingkat dasar (SD dan
SMP), tetapi berhasil meyakinkan Pemerintah Daerah (Pemda) kedua wilayah tersebut
sehingga bidang studi bahasa Jawa juga diajarkan di SMA dan SMK.
Saat ini Pemda Jawa Timur sedang mempersiapkan diri sebagai penyelenggara
Kongres Bahasa Jawa ke V dan diharapkan dapat menghasilkan kebijakan baru berkaitan
dengan pengajaran bahasa Jawa sebagai Muatan Lokal (Mulok). Selain alokasi waktu yang
diharapkan mendapatkan perimbangan (di SMP saat ini 1 s/d 2 jam), diharapkan
penyebarannya lebih signifikan, meliputi level kelas I, II, dan III. Selain itu, saat ini sedang
dilakukan pengkajian kemungkinan pengajaran bahasa Jawa dapat diajarkan di level
tingkatan SMA. Untuk kepentingan itu, perguruan tinggi yang terlibat sedang
mempersiapkan topik kongres (KBJ V) dan pembicaranya yang cukup variatif, melibatkan
ahli dari berbagai kalangan, mulai dari para pakar, budayawan, seniman serta para praktisi
lapangan (guru SMP). Hal yang tidak kalah penting adalah pelibatan Kanwil Depdiknas
sebagai wakil pemerintah itu dengan harapan untuk dapat menindaklanjuti hasil keputusan
kongres yang berkaitan dengan kebijakan dalam bidang pendidikan.

Dinamika Perkembangan Bahasa Jawa


Suatu kenyataan bahwa di masa lalu budaya dan bahasa Jawa pernah "merajai"
wilayah Nusantara (Indonesia). Ketika kerajaan-kerajaan "Jawa" berkuasa dan mencapai
jaman keemasannya (Kahuripan, Kediri, Majapahit, Mataram dan Surakarta) budaya Jawa
berkembang pesat dan bahasa Jawa dijadikan bahasa nasional. Apalagi saat kerajaan

182
Basir, Pengajaran Bahasa Jawa di SD ….

Majapahit mencapai puncaknya, bahasa dan budaya Jawa berkembang tidak hanya di
wilayah Nusantara saja, namun bahkan hingga merambah ke daerah Campa (Indo China),
dan Filipina (Poerbatjaraka, 1954:V-VII; Koentjaraningrat, 1984:43-47).
Dari perjalanan sejarah, bahasa Jawa memang mengalami pasang surut. Jika dikaji
secara mendalam, keadaan tersebut dipengaruhi oleh maju mundurnya suatu tata
pemerintahan dan perannya dalam sistem kenegaraan. Semakin kuat dan mashur suatu
negara, maka tata nilai budaya dan bahasanya akan semakin baik pula. Demikian pula
dengan bahasanya, semakin mendapatkan posisi yang strategis di dalam suatu negara dan
tata pemerintahan, maka akan lebih terjamin masalah kehidupan, pelestarian dan
pembinaannya.
Perkembangan bahasa Jawa yang cukup pesat di masa lampau dengan meninggalkan
berbagai karya bahasa yang bernilai adiluhung (indah dan tinggi) seperti kitab Ramayana,
Mahabharata, Bharatayudha, ceritra Panji, Negara Kertagama, Serat Centhini, Dewaruci, dll.
tidak terlepas dari posisi bahasa Jawa yang cukup baik pada saat itu. Dengan kebijakan
penguasa (raja) dan para panggurit (pengarang dan pujangga keraton), maka bahasa Jawa
senantiasa mendapatkan perhatian, pengembangan dan pembinaan secara intensif sehingga
sebagai alat komunikasi dapat berkembang secara optimal. Dengan demikian status bahasa
dan pengaruh kebijakan negara sangat mempengaruhi perkembangan suatu bahasa, termasuk
dalam hal ini bahasa Jawa (Poerbatjaraka, 1954:24-40).
Sejak menurunnya perhatian terhadap bahasa Jawa sebagai akibat mundurnya
pengaruh kerajaan-kerajaan Jawa, maka perkembangan bahasa dan budaya Jawa
menunjukkan grafik menurun. Keadaan tersebut mencapai puncaknya pada pertengahan
abad ke-20 dengan diikrarkannya "Sumpah Pemuda" pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada
saat itu, dengan pertimbangan demi persatuan dan kesatuan bangsa, maka para petinggi
(pimpinan nasional) di Nusantara, yang pada hakekatnya didominasi tokoh-tokoh Jawa,
merelakan dan menyetujui diangkatnya bahasa daerah Melayu sebagai bahasa perjuangan
bersama (persatuan dan kesatuan bangsa). Adapun alasannya adalah bahwa bahasa Melayu
strukturnya sederhana dan saat itu pemakaiannya cukup luas serta menjadi "Lingua Franca"
di lingkungan masyarakat kepulauan Nusantara (Indonesia).
Peristiwa Sumpah Pemuda tersebut ternyata menjadi "titik balik" bagi kehidupan
bahasa dan budaya Jawa secara keseluruhan. Bahkan ada sebagian pemerhati yang
menyatakan secara lebih pesimistis bahwa peristiwa Sumpah Pemuda yang dianggap
demikian bersejarah bagi kelahiran bangsa Indonesia itu justru disebutnya sebagai awal
proses "harakiri" kebudayaan Jawa. Hal itu lebih diperburuk lagi setelah tahun 1945,
pemerintah Indonesia menetapkan satu-satunya bahasa nasional dan bahasa negara adalah
bahasa Indonesia, maka kehidupan bahasa daerah di Indonesia, termasuk bahasa Jawa, dalam
posisi "stagnan", bahkan dalam kondisi antara hidup dan mati.
Pandangan tersebut memang dapat dimaklumi sebab sejak saat itu secara otomatis
semua kedudukan bahasa dan budaya daerah di Indonesia, termasuk "Jawa" yang semula
menjadi bahasa "primadona" (negara) di wilayahnya masing-masing, kemudian tergeser
menjadi bahasa nomor dua. Bahasa Jawa hanya berstatus sebagai salah satu bahasa daerah
yang pengembangannya diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat pemakainya. Dalam
sistem Kurikulum Nasional (Kurnas), pengajaran bahasa daerah diposisikan sebagai bidang
studi Muatan Lokal (Mulok), yang penyelenggaraannya dapat lebih longgar lagi (Depdikbud.
1994:4; Depdikbud. 1994:6).

183
JURNAL PENDIDIKAN DASAR,VOL.10 NO.2, SEPTEMBER 2009 (181 -189)

Menurunnya campur tangan negara dan pemerintah (penguasa) terhadap bahasa


Jawa, dirasakan secara pelan tapi pasti, dan itu berakibat pada kemunduran bahasa Jawa
dalam segala aspeknya. Apalagi setelah pemerintah menetapkan bahasa Inggris sebagai
bahasa asing pertama dalam dunia pendidikan, maka status bahasa Jawa lebih tersudutkan
lagi. Kondisi itu lebih diperburuk lagi dengan kenyataan bahwa bidang studi bahasa Jawa di
sekolah tidak diperhitungkan dalam proses kenaikan kelas dan kelulusan siswa. Hal itu
berdampak pada pada menurunnya semangat guru dan motivasi belajar siswa. Pada sebagian
masyarakat Jawa (terutama golongan muda) terlanjur tumbuh "image" negatif terhadap
budayanya sendiri karena terbius oleh arus modernisasi yang demikian masif. Selain itu
dalam kenyataan belum terjadinya sinkronisasi antara aturan perundangan yang ada dengan
fakta di lapangan. Banyak dibutuhkan tenaga pendukung (guru) di lapangan yang
representatif, namun kenyataannya sulit diwujudkan sebab terbatasnya pengangkatan guru
bidang studi bahasa Jawa. Pengajar bahasa Jawa di sekolah banyak dikelola guru lain (non
bidang studi), sehingga semakin menambah panjangnya "derita" bahasa yang pernah mashur
di masa lalu ini.

Bahasa Jawa Akan Mati?


Perihal kemerosotan bahasa Jawa tersebut nampak pada kemunduran etos
penggunaan bahasa Jawa. Sangat sedikit kalangan generasi muda sebagai pewaris budaya
Jawa yang memiliki kemampuan berbahasa (Jawa) secara memadai. Ironisnya
ketidakmampuan tersebut bukan saja melanda kalangan yang tidak terpelajar, bahkan mereka
yang tergolong terdidik pun nampak kurang mampu berbahasa Jawa secara baik dan benar.
Apalagi jika hal itu dikaitkan dengan penggunaan bahasa Jawa ragam "krama", maka
kapasitas yang dasarpun terkadang tidak dimiliki. Mereka pada umumnya "lari"
menggunakan bahasa Indonesia sebagai kompensasinya. Alasannya bervariasi. Ada di
antaranya yang mengaku tidak bisa atau belum bisa, takut salah, atau memang tidak senang.
Bahkan kelompok terakhir ini sering memakai alasan yang terkesan dibuat-buat dan tidak
bersahabat terhadap bahasa dan budayanya sendiri. Berbahasa Jawa dianggap kurang
prestise, feodalistis, diskriminatif dan tidak nasionalis. Gejala yang bertendensi
"dekadensial" ini jika berkembang terus-menerus tentu sangat membahayakan pelestarian
dan pembinaan bahasa dan budaya Jawa (Soetomo, 2000:27-30; Suseno, 1985:168-176).
Ki Hadjar Dewantara menyatakan dalam teori "trikon-nya" bahwa
terjaminnya pelestarian dan pembinaan suatu budaya ditentukan oleh 3 (tiga) hal, yaitu
keluarga, masyarakat dan sekolah. Keluarga merupakan institusi pertama dan utama tempat
anak memperoleh pengenalan serta pemahaman dasar-dasar bahasa dan budaya Jawa.
Melalui ayah dan ibu anak mengenal bagaimana berturur bahasa (Jawa), bersopan santun
dan bermasyarakat. Oleh karena itu perilaku bahasa dan budaya anak-anak di masyarakat
dapat dikatakan sebagai "potret" keadaan dan kepedulian keluarganya. Dengan demikian
merosotnya etos bahasa Jawa generasi sekarang juga merupakan cerminan merosotnya peran
keluarga dalam membentuk sikap budaya pada anggota keluarganya (Soejono, 1978:90-92).
Masyarakat sebagai laboratorium bahasa yang alamiah juga turut menentukan arah
perkembangan bahasa dan budaya tertentu. Dasar-dasar bahasa dan budaya yang diperoleh
dalam keluarga akan berkembang secara baik apabila di masyarakat digunakan. Dalam
konteks ini diakui bahwa peran masyarakat dalam mendukung kelangsungan hidup bahasa
dan budaya Jawa sudah sangat menurun. Pengaruh nasionalisasi penggunaan bahasa
Indonesia yang demikian gencar dan mendapatkan legitimasi pemerintah (penguasa) baik
secara formal maupun nonformal telah menyebabkan penggunaan bahasa Jawa semakin
184
Basir, Pengajaran Bahasa Jawa di SD ….

terpinggirkan. Lingkungan masyarakat saat ini tidak lagi dapat diandalkan sebagai basis
pengembangan bahasa Jawa, apalagi kecenderungan masyarakat yang semakin heterogen.
Tinggalah sebagai benteng terakhir adalah pembinaan dan pengembangan bahasa Jawa
melalui jalur pendidikan formal.

Pembinaan Bahasa Jawa di Sekolah


Sistem pembinaan dan pengajaran bahasa Jawa saat ini diakui belum mencapai hasil
seperti yang diharapan. Banyak kendala yang menyerimpung praktek dan upaya pembinaan
di lapangan, mulai dari kebijakan pemerintah, sarana prasana, lemahnya sumberdaya
manusia (guru), dsb. Kebijakan pemerintah yang menempatkan bidang studi bahasa daerah
(termasuk bahasa Jawa) dalam posisi sebagai "pelengkap" (mulok) telah mendatangkan
kesulitan tersendiri dalam pengelolaannya. Masalah lain adalah berkaitan dengan minimnya
alokasi waktu (2 jam/Minggu dan dibeberapa sekolah bahkan hanya 1 jam), sistem
perbukuan yang kurang memadai serta rekrutmen tenaga terampil (guru spesialis) yang tidak
proporsional. Hal itu tentunya akan sangat berpengaruh pada kualitas pembelajaran di
lapangan (Depdikbud ‘Mulok’ SD, 1984:5-7; Depdikbud ‘Mulok’ SMP, 1984:4; Depdiknas,.
2006:8-9).
Pengajar bahasa Jawa yang bukan bidangnya tentu akan merasa kesulitan dalam
berimprofisasi dan mengkomunikasikan materi bahasan kepada para siswanya, sebab
keterbatasan penguasaan teori dan materi, kecuali bagi mereka yang "berdedikasi" secara
tulus sehingga mau berusaha keras dan memperkaya pengalaman diri. Apabila tidak
demikian, yang terjadi tentu pengajaran bahasa Jawa yang penuh kepura-puraan,
"formalitas" dan tidak akan mencapai "roh" materi bahasa atau budaya sesungguhnya.
Sebagai akibatnya dapat dipastikan siswa tidak akan termotivasi, tujuan tidak tercapai, guru
frustasi karena merasa dilecehkan, dan pada gilirannya justru akan merusak esensi tujuan
pengajaran bahasa Jawa itu sendiri. Fenomena seperti itu telah banyak dikeluhkan para guru
dalam beberapa pertemuan resmi maupun tidak resmi.
Kegiatan yang dirintis melalui badan Musyawarah Guru Bidang Studi (MGBS) atau
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) SMP disetiap wilayah kabupaten dan kota saat
ini tentunya merupakan hal yang positif. Dalam forum tersebut dapat dibicarakan berbagai
masalah yang ada, tukar-menukar pengalaman, menyatukan visi pandang serta membuat
perencanaan dan pemecahan masalah bersama. Hal yang menggembirakan tentu dengan
banyaknya terbitan buku ajar yang melibatkan para guru, sehingga diharapkan memberikan
pemecahan sebagian masalah yang dihadapi di lapangan. Demikian pula melalui badan ini
dapat digunakan sebagai jalur peningkatan dan pengembangan wawasan para guru dengan
cara melakukan kegiatan seminar, lokakarya, atau merencanakan penyusunan buku pelajaran
(buku paket) yang sesuai dengan kurikulum, kondisi, dan tuntutan masyarakat saat ini.

Model Pendekatan Pengajaran


Memang cukup ironis, bahasa Jawa yang diakui menjadi bahasa daerah terbesar dan
luas wilayah pemakaiannya (Jatim, Jateng, dan DIY) semakin asing di mata para remaja
sebagai generasi penerusnya. Kiranya bukan rahasia lagi bahwa betapa sulitnya anak-anak
(Jawa) berbicara dengan bahasa Jawa secara benar. Sering kita dengar penggunaan bahasa
Jawa yang tidak berpola, karena di sana-sini banyak proses interferensi secara sembarangan.
Namun yang lebih memprihatinkan lagi hal itu bukan saja dilakukan oleh anak yang
memang masih dalam tahapan belajar, melainkan juga dilakukan oleh orang dewasa yang

185
JURNAL PENDIDIKAN DASAR,VOL.10 NO.2, SEPTEMBER 2009 (181 -189)

semestinya menjadi contoh. Keadaan semacam itu dirasakan sekali, terutama di lingkungan
perkotaan, sekalipun merupakan wilayah basis budaya Jawa. Contoh data tutur berikut ini
sekedar ilustrasi kecil yang direkam dari lingkungan Pendidikan Tingkat Dasar (SD) di
Surabaya.

(1) Mulute aja rame, temanmu durung rampung!


(Kamu jangan ribut, temanmu belum selesai!).
(2) Sapa rampung sik, bisa langsung pulang.
(Siapa telah selesai, bisa langsung pulang).
(3) Nek nakal-nakal, takbilangne mamahmu!
(Jika kamu nakal saya laporkan Ibumu).
(4) Aja kokpegang-pegang diskete, mengko rusak!
(Jangan dipegang-pegang disketnya, nanti bisa bisa rusak).
(5) Iya, kamu iku sing nakal.
(Kamu itulah yang nakal).
(6) Dikeki dhuwik, nggo jajan tok. Mbenceni.
(Diberi uang hanya untuk jajan saja, sebal saya).
(7) Wingi kurang bukue, apa wis ambil?
(Kemarin kurang bukunya, apa sudah mengambil?)

Wacana kalimat (1) sampai dengan (4) merupakan bagian dialog antara guru dan
siswa di suatu sekolah swasta yang sempat penulis amati. Memang saat itu bukan dalam
konteks pengajaran bahasa Jawa, namun harus difahami bahwa kondisi semacam itu
merupakan bagian dari proses sosialisasi pengajaran bahasa Jawa yang sangat berpengaruh.
Dari gambaran di atas nampak betapa seorang guru kurang menyadari posisinya sebagai pola
panutan bagi para muridnya. Ia menggunakan bahasa yang "kacau" antara bahasa Jawa dan
bahasa Indonesia. Ia tidak menyadari bahwa apa yang dilakukannya (tutur bahasa) didengar
dan akan ditiru (dipola) siswa. Hal yang lebih jauh dapat berdampak pada "gagalnya"
pencapaian tujuan pengajaran bahasa Indonesia dan bahasa Jawa pada siswanya.
Sedangkan wacana kalimat (5) s.d. (7) merupakan contoh dialog antara murid dengan
murid saat istirahat. Model dialognya nampak memiliki kemiripan dengan konteks bahasa
guru. Adakah kondisi tersebut merupakan sesuatu yang berkorelasi? Jawabannya tentu tidak
mudah. Namun jika kita ingat pepatah bahwa "pengalaman adalah guru yang paling utama"
dan guru merupakan sosok yang akan digugu lan ditiru (suri teladan), tentunya kebenaran
asumsi di atas bukanlah sesuatu yang bersifat nihil.
Sekolah sebagai tumpuan harapan dalam rangka pemberdayaan pengajaran bahasa
Jawa, sangat bergantung pada kebijakan kepala sekolah dan dedikasi guru. Tidak jarang
kepala sekolah (umumnya swasta), sekalipun orang Jawa, namun acuh tak acuh terhadap
masalah nasib pengajaran bahasa Jawa. Mereka sering memperlakukan bidang studi bahasa
Jawa sebagai "tong sampah" yang isinya jam sisa, guru sisa, nilai sisa, dsb.
Guru pengajar bahasa Jawa tidak jarang diambilkan dari guru yang bukan bidangnya
dan asal etnis Jawa. Mereka diserahi tugas mengajar bahasa Jawa karena alasan kekurangan
jam. Terhadap kenyataan ini (mayoritas), karena telah "sanggup", maka hal yang dapat
diharapkan tentunya masalah kesadaran, dedikasi dan tanggung jawab moral (nurani) dari
guru yang bersangkutan. Untuk menjadi guru yang baik, dihargai dan disegani siswa
tentunya harus menguasai materi yang akan disajikan dengan cara banyak membaca dan

186
Basir, Pengajaran Bahasa Jawa di SD ….

senantiasa mengembangkan pengetahuan. Selain itu, seorang guru juga harus menerapkan
strategi mengajar yang bervariasi dan cukup menarik, sesuai dengan tuntutan situasi.
Dalam kaitannya dengan strategi mengajar banyak cara (metode) yang dapat
dikembangkan sehingga komunkatif dan tidak membosankan. Hal yang perlu disadari adalah
bahwa tidak pernah ada satupun metode mengajar yang paling sempurna. Masing-masing
memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu model kombinasi yang disesuaikan
dengan topik dipandang paling bijaksana. Misalnya, kombinasi antara ceramah, demonstrasi
dan tugas untuk topik tembang (menyanyi) dan Nulis Jawa (menulis Jawa); kombinasi
antara ceramah, demonstrasi, diskusi dan tugas untuk membahas topik Keterampilan
Berbahasa, paramasastra (Tatabahasa), dan materi sastra, dan lain sebagainya. Model
pengajaran kontekstual (CTL) yang saat ini sedang dikembangkan dalam kurikulum baru
(KBK dan KTSP) juga dapat dijadikan alternatif dalam pengajaran bahasa Jawa yang lebih
berorientasi pada kepentingan siswa, sekalipun dengan adaptasi konteks seperlunya serta
mempertimbangkan tahapan penguasaan bahasa (Jawa) pembelajar (Curran, 1982:172-185;
Sumardi, 1992:23-37).

Tahap Penguasaan Bahasa


Seringkali guru (bahasa Jawa) keliru di dalam menanggapi keberadaan siswanya.
Mereka kurang menyadari bahwa siswanya baru dalam tahapan belajar. Kesalahan siswa di
dalam mengakomodasikan materi yang disajikan guru dianggapnya sebagai suatu
kesengajaan, ketidakmampuan, ketidakpedulian, peno-lakan ataupun kegagalan mengajar.
Akibatnya banyak guru yang merasa frustasi dan terkena power Sindrome sehingga merasa
tidak berarti di hadapan siswanya. Padahal keadaan itu mungkin diakibatkan oleh kondisi
anak yang masih labil karena dalam tahapan belajar. Selain itu mungkin pula karena strategi
mengajar yang kurang tepat, materi yang kurang sesuai dan kurang kontekstual (ingat
pendekatan komunikatif). Sehubungan dengan hal tersebut, Charles A. Curren (psikolog)
mengingatkan bahwa ada 5 (lima) tahapan dalam proses belajar bahasa pada setiap orang.
Kelima tahapan tersebut, yaitu: (1) embryonic stage, (2) self assertion stage, (3) birth stage,
(4) reversal stage, dan (5) independent stage (Curran, 1982:172-185).
Embryonic Stage, adalah merupakan tahap pembenihan, yaitu merupakan tahap awal
anak mengenal dan belajar bahasa. Pada tahapan ini anak memiliki ketergantungan penuh
(100%) pada gurunya. Ia menjadikan apa yang disampaikan dan dicontohkan guru sebagai
pola. Pada tahapan ini kepercayaan siswa sangat labil. Perasaan cemas, takut salah untuk
menggunakan bahasa yang dipelajari menghambat kemajuan belajar siswa. Oleh karena itu
tugas guru adalah memberikan motivasi dan menumbuhkan keberanian untuk mencoba serta
tidak takut salah. Kesalahan pada proses belajar sebagai sesuatu yang wajar dan dengan
keberanian dan kemauan keras, maka kesalahan itu akan dapat diperbaiki. Konsep yang
harus dipegang guru adalah (1) memuji lebih baik daripada menyalahkan, (2) tata urutan
materi dari yang mudah ke hal yang sulit, (3) dari yang dasar ke tingkat yang lebih lanjut, (4)
dari hal yang konkrit kepada hal yang abstrak, dll. Jadi urutan yang tercantum pada
kurikulum (GBPP), jika dipandang perlu bisa diubah. Pendek kata, dalam tahapan ini guru
menggunakan konsep manajerial Ing ngarsa sung tuladha (guru sebagai model/contoh) dan
Ing madya mangun karsa (guru sebagai motivator).
Self Assertion Stage, adalah merupakan tahapan mulai tumbuhnya kepercayaan pada
diri siswa. Ia merasa mendapatkan dukungan moral dari teman lainnya untuk mencoba
bertutur dengan bahasa yang sedang dipelajari. Sekalipun masih dalam tahapan yang

187
JURNAL PENDIDIKAN DASAR,VOL.10 NO.2, SEPTEMBER 2009 (181 -189)

sederhana (elementer) akan tetapi siswa telah memiliki keberanian untuk mengemukakan
pikiran dengan bahasa yang baru dipelajarinya. Tentu saja dimungkinkan akan sering terjadi
kesalahan, itu wajar. Tugas guru adalah memberikan dorongan agar keberanian yang baru
tumbuh terus dipupuk dengan lebih giat lagi belajar sambil dilakukan pembetulan
seperlunya. Dalam tahapan ini anak dapat lebih dimotivasi dalam bentuk tugas yang lebih
terorganisasi, yaitu menceriterakan gambar yang sederhana dalam jumlah kalimat terbatas
dan dibahas (dinilai). Konsep Ing madya mangun karsa kiranya masih tepat untuk tingkatan
ini.
Birth Stage adalah tahapan ketiga yang memberikan kepercayaan pada diri anak
(pembelajar) lebih tinggi lagi. Anak telah mulai merasa terbiasa dengan penggunaan bahasa
yang dipelajarinya. Dalam kondisi seperti ini siswa merasa tumbuh kepercayaan diri karena
merasa dihargai oleh gurunya. Untuk lebih mengembangkan wawasan dan pengetahuan kosa
kata, anak perlu diberikan materi yang lebih luas lagi. Model penugasannya dapat dalam
bentuk pengayaan bacaan yang lebih tinggi dari tahapan sebelumnya atau menceriterakan
suatu hasil pengamatan secara lebih luas. Dalam tahapan ini guru memposisikan diri
motivator dan kreator (Ing madya mangun karsa).
Tahap keempat adalah Reversal Stage, yaitu tahapan saling percaya antar guru dan
siswa. Dengan mempertimbangkan taraf kemajuan siswa yang telah mencapai tahap
penguasaan dan penjiwaan terhadap bahasa yang dipelajarinya, maka dalam kaitan ini guru
bertindak sebagai pangemong (pengasuh/motivator). Untuk lebih mempertajam kemampuan
dan wawasan bahasanya, akan dapat diajak berdiskusi dan menganalisis model penggunaan
bahasa dalam konteks yang berbeda. Anak dapat ditugasi untuk menganalisis suatu teks dan
mengidentifikasi model kesalahan dan membetulkannya. Secara posisional dalam tingkatan
ini posisi guru sebagai motivator dan kreator (Ing madya mangun karsa dan Tutwuri
handayani).
Adapun tahap kelima adalah Independent Stage, yaitu merupakan tahapan apresiatif
tingkat tinggi. Anak telah mulai menguasai bahasa yang dipelajarinya (kognitif,
pisikomotorik, dan afektif). Lebih dari itu pada tahapan ini, penguasaan anak telah sampai
pada tahapan pemahaman sosial budayanya. Pada kondisi demikian peran guru tinggal
memperkaya daya apresiasi siswa dalam bentuk menugasi membuat karangan, karya ilmiah,
laporan reportase, penelitian, danlaqin sebagainya. Guru tidak lagi banyak memberikan
informasi yang bersifat instruktif pada siswa, melainkan hanya mengawal dan memperkaya
pengalaman siswa yang memang telah mulai masuk pada tahapan kemandirian. Pada tahapan
ini, tugas guru hanya bersifat Tut wuri handayani (motivator dan pendampingan), yaitu
memberikan arahan atau pertimbangan jika diperlukan.

Penutup
Tulisan ini lebih merupakan lontaran gagasan. Oleh karena itu isinya lebih bersifat
ungkapan pribadi yang mengarah pada panguda rasa (kritik dan saran) yang harus
dikonfirmasi dengan data lapangan dari para praktisi sekolah (guru). Informasi dan
pengalaman para guru di dalam kelas tentu merupakan hal yang sangat berharga, perlu
disinkronkan dan didiskusikan untuk dicarikan pemecahan bersama. Tentu saja pandangan
dan pemikiran ini tidak akan dapat menuntaskan seluruh permasyalahan yang ada. Oleh
karena itu diperlukan forum yang lebih khusus serta waktu yang lebih longgar. Namun
tulisan ini merupakan awal yang baik untuk membangkitkan kesadaran bersama tentang
pentingnya usaha keras, penyatuan visi dan misi, dan segera cancut tali wanda (kerjasama)

188
Basir, Pengajaran Bahasa Jawa di SD ….

untuk memulai "kerja besar", demi kecintaan kita terhadap bahasa dan budaya Jawa, melalui
bidang masing-masing.
Model tindak lanjut yang dapat dilakukan untuk lebih mengintensifkan dan
mengefektifkan tingkat pengalaman kita, dapat dilakukan dengan model seminar, lokakarya
atau studi khusus (kursus, penyetaraan), dsb. di lembaga-lembaga yang kompeten. Hal lain
yang lebih penting adalah bentuk implementasi konkrit dalam bentuk pengembangan
kurikulum, pembuatan buku ajar yang relevan, pengembangan sanggar dan kesenian, serta
pengajaran yang kondusif. Keberpihakan proses "ajar" dan perhatian kita (guru dan orang
tua) utamanya kepada siswa (generasi muda), sebab kepada merekalah nasib bahasa dan
budaya Jawa ini selanjutnya dititipkan.

Daftar Acuan
Curran, Charles A. 1982. Linguistic Model for Learning and Living in the New Age of the Person.
Apple River: Aplle River Press.
Depdikbud. 1984. Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa Jawa untuk Sekolah Dasar (SD). Penerbit
Depdikbud.
Depdikbud. 1984. Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa Jawa untuk Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama (SLTP). Penerbit Depdikbud.
Depdikbud. 1994. Kurikulum Muatan Lokal Mata Pelajaran Bahasa Jawa untuk Pendidikan Dasar
(SD). Surabaya: Depdikbud Jawa Timur.
Depdikbud. 1994. Kurikulum Muatan Lokal Mata Pelajaran bahasa Jawa untuk SLTP. Surabaya:
Depdikbud Jawa Timur.
Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Sekolah Menengah Pertama,
Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa, Seri Etnografi Indonesia. Jakarta: PN. Balai Pustaka.
Poerbatjaraka, R. M. Ng. 1954. Kapustakan Djawi. Djakarta: Penerbit Djambatan.
Soejono, Ag. 1978. Aliran Baru dalam Pendidikan, Bagian ke-2. Bandung: Penerbit C.V. Ilmu.
Soetomo WE. 2000. Kebudayaan Jawa dalam Perspektif (Kumpulan Karangan tentang Hakikat
Kebudayaan). Semarang: Stiepari Press.
Sumardi, Muljanto (Ed.). 1992. Berbagai Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Suseno, Franz Magnis. 1985. Etika Jawa, Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijakan Hidup Jawa.
Jakarta: Penerbit Gramedia.

189

You might also like