Difusi Inovasi Pembelajaran Kontekstual Dalam Pendidikan Kewarganegaraan

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 7

DIFUSI INOVASI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

DALAM PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Kokom Komalasari
Universitas Pendidikan Indonesia, Jl. Dr. Setiabudi No.229 Bandung 40154
email: komsari36@yahoo.co.id

Abstract: Diffusing Innovation in Contextual Teaching-Learning of Civic Education. This study


aimed to describe the implementation, constraints and resistance, and also factors that should be considered in
diffusing contextual teaching-learning innovation. The studyemployed both quantitative and qualitative
approaches. The population of this research was students of Junior High Schools in West Java with a sample
consisting of 1004 students, and 16 civic education teachers who participated in Competence-based Inte-
grated Training. The results show that the implementation of contextual teaching-learning in West Java fell
into the category of average. Cooperation was the most frequently applied, while direct experience and authentic
assessment were the least. There were constraints and resistance in implementing contextual teaching-
learning related to teachers’ competence, school climate, and cultural change. Therefore, factors of teachers,
students, facilities, expenses, curriculum, school climate, parents and society should be taken into account.

Abstrak: Difusi Inovasi Pembelajaran Kontekstual dalam Pendidikan Kewarganegaraan. Penelitian


ini bertujuan mendeskripsikan pelaksanaan, kendala, resistensi, serta faktor yang harus diperhatikan dalam
difusi inovasi pembelajaran kontekstual. Proses penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif
dengan pola “the dominant-less dominat design” dari Creswell. Pendekatan kuantitatif menggunakan survei
dan pendekatan kualitatif menggunakan wawancara. Populasi penelitian adalah siswa SMP se-Jawa Barat
dengan sampel 1.004 siswa dan 16 guru Pendidikan Kewarganegaraan yang telah mengikuti pelatihan ter-
integrasi berbasis kompetensi. Hasil penelitian menunjukkan pelaksanaan pembelajaran kontekstual di Jawa
Barat termasuk kategori sedang/cukup. Kerjasama paling tinggi penerapannya, pengalaman langsung dan
asesmen otentik paling rendah penerapannya. Terdapat kendala dan resistensi dalam pelaksanaan pembela-
jaran kontekstual yang terkait kemampuan guru, iklim sekolah, serta perubahan budaya. Oleh karena itu
harus diperhatikan faktor guru, siswa, fasilitas, biaya, kurikulum, iklim sekolah, orang tua, dan masyarakat.

Kata Kunci: pembelajaran kontekstual, pendidikan kewarganegaraan, inovasi pendidikan

Pembelajaran merupakan inti dari pendidikan. Peme- and Learning). Pendekatan ini menjadi tuntutan pem-
cahan masalah rendahnya kualitas pendidikan harus belajaran dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (Ku-
difokuskan pada kualitas pembelajaran. Pendidik ada- rikulum 2004) yang diteruskan dalam kurikulum 2006.
lah salah peran kunci dalam menentukan keberhasilan Departemen Pendidikan Nasional telah melaksanakan
pembelajaran. Pendidik yang baik adalah pendidik Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi (PTBK)
yang kreatif, selalu mencari pendekatan atau strategi untuk guru-guru SMP di Jawa Barat pada tahun 2004
baru dalam pembelajaran. Pencarian pendekatan atau dengan harapan guru menerapkan pembelajaran kon-
strategi baru menimbulkan berbagai macam inovasi tekstual di sekolah. Pembelajaran CTL dapat digu-
pembelajaran. Wujud, bentuk, dan upaya inovasi ini nakan untuk inovasi pembelajaran pendidikan kewar-
bermacam-macam. Namun demikian, semuanya me- ganegaraan.
miliki tujuan umum yang sama, yaitu terwujudnya pro- Dalam pelaksanaan difusi inovasi pembelajaran
ses pembelajaran berkualitas sehingga dapat mening- kontekstual ini masih menghadapi berbagai kendala
katkan kompetensi, kemampuan, keterampilan, serta dan resistensi, yang disebabkan oleh berbagai faktor.
daya saing lulusan suatu program pendidikan pada Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mendes-
jenjang, jenis, maupun jalur manapun. Salah satu wu- kripsikan pelaksanaan, kendala, resistensi, serta faktor
jud inovasi pembelajaran adalah penerapan pendekat- yang harus diperhatikan dalam difusi inovasi pembela-
an pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching jaran kontekstual dalam Pendidikan Kewarganegaraan.

218
Komalasari, Difusi Inovasi Pembelajaran Kontekstual dalam Pendidikan Kewarganegaraan 219

METODE konsep pengaturan diri (20,02%), keterkaitan (14,08%),


dan aplikasi (12,08). Konsep yang masih dianggap ku-
Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, rang diterapkan adalah konsep pengalaman langsung
yaitu kuantitatif dan kualitatif dengan pola “the domi- dan asesmen otentik.
nant-less dominat design” dari Creswell (1994:177). Hasil wawancara dengan guru pendidikan ke-
Bagian pertama, penelitian ini menggunakan pendekat- warganegaraan menunjukkan bahwa Pembelajaran
an kuantitatif, yakni melalui metode survei. Langkah kontekstual dalam Pendidikan Kewarganegaraan se-
berikutnya penelitian ini menggunakan paradigma bagai suatu inovasi pembelajaran dalam pelaksana-
tambahan (kurang dominan) dengan pendekatan kuali- annya menghadapi berbagai kendala. (1) Sarana dan
tatif untuk pendalaman. Pada tahap ini ditambahkan prasarana, media dan alat pembelajaran di sekolah
teknik wawancara. masih kurang memadai dan sumber belajar di luar se-
Populasi penelitian ini adalah siswa SMPN kelas kolah tidak terjangkau. (2) Keterbatasan akses terhadap
IX di Jawa Barat yang diajar oleh guru Pendidikan sumber informasi (surat kabar, media elektronik). (3)
Kewarganegaraan yang telah mengikuti Pelatihan Ter- Budaya belajar mandiri dan gemar membaca masih
integrasi Berbasis Kompetensi (PTBK) pada tahun rendah. (4) Keterbatasan waktu dan biaya. (5) Dukungan
2004, yang terdiri atas 93 SMPN yang tersebar di 26 moral dan material manajemen sekolah, orang tua,
Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Sampel ditentukan de- masyarakat, dan instansi terkait masih kurang. (6)
ngan menggunakan teknik cluster sampling, propor- Kedalaman materi kurang tercapai, karena materi pen-
tional, dan systematic random sampling, sehingga di- didikan kewarganegaraan dalam kurikulum cukup
peroleh 1.004 sampel siswa SMP di Jawa Barat. sulit dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan
Pengumpulan data menggunakan angket terha- kemampuan berpikir siswa SMP. (7) Penilaian pem-
dap siswa. Di samping itu, digunakan pula wawan- belajaran pendidikan kewarganegaraan rumit, teruta-
cara terhadap 16 guru pendidikan kewarganegaraan. ma berkaitan dengan disposisi dan keterampilan kewar-
Analisis data kuantitatif menggunakan teknik analisis ganegaraan. (8) Pendidikan dan pelatihan kemampuan
deskriptif dengan cara penentuan kelompok berdasar- metodologi pembelajaran bagi guru masih kurang dan
kan perbandingan nilai skor responden dengan nilai tidak merata.
ideal. Analisis data hasil wawancara menggunakan Hasil wawancara menunjukkan bahwa beberapa
langkah-langkah reduksi data, penyajian data, dan pe- faktor penyebab inovasi pembelajaran kontekstual
narikan kesimpulan sering ditolak oleh para pelaksana inovasi di sekolah
adalah sebagai berikut. (1) Sekolah atau guru tidak dili-
HASIL DAN PEMBAHASAN batkan dalam proses perencanaan, penciptaan, dan bah-
kan pelaksanaan inovasi pembelajaran kontekstual ter-
Hasil analisis deskriptif dan uji kecenderungan sebut sehingga inovasi tersebut dianggap bukan milik-
terhadap data persepsi siswa tentang kondisi pembe- nya, dan tidak perlu dilaksanakan karena tidak sesuai
lajaran kontekstual dapat diketahui bahwa sebagian dengan keinginan atau kondisi sekolah mereka. (2) guru
besar (87,22%) kondisi pembelajaran kontekstual ingin mempertahankan sistem pembelajaran konven-
dalam pendidikan kewarganegaraan di SMP Jawa Barat sional/tradional yang mereka lakukan saat ini karena
termasuk kategori sedang/cukup, sebagian (11,67%) sudah mereka laksanakan bertahun-tahun dan tidak
termasuk kategori tinggi, dan hanya sebagian kecil ingin diubah. Di samping itu, sistem yang mereka mi-
saja (1,11%) yang termasuk kategori rendah. Dengan liki dianggap memberikan rasa aman atau kepuasan
demikian, dapat disimpulkan bahwa menurut persepsi serta sudah baik sesuai dengan pikiran mereka. (3) Ino-
siswa sebagian besar SMP di Jawa Barat cukup baik vasi yang dibuat oleh orang lain terutama dari pusat
kondisinya dalam penerapan pendekatan kontekstual (khususnya Depdiknas) belum sepenuhnya melihat
pembelajaran pendidikan kewarganegaraan. kebutuhan dan kondisi guru, siswa, dan sekolah. (4)
Variabel pembelajaran kontekstual dalam pene- Inovasi yang diperkenalkan dari pusat merupakan ke-
litian ini terdiri dari enam sub variabel, yaitu pembe- cenderungan sebuah proyek yang segala sesuatunya
lajaran pendidikan kewarganegaraan yang menerapkan ditentukan oleh pencipta inovasi dari pusat. Inovasi ini
konsep keterkaitan (X1), konsep pengalaman langsung bisa terhenti kalau proyek itu selesai atau kalau finan-
(X2), konsep aplikasi (X3), konsep kerjasama (X4), sial sudah tidak ada. Dengan demikian, pihak sekolah
konsep pengaturan diri (X5), dan konsep asesmen oten- atau guru hanya terpaksa melakukan perubahan sesuai
tik (X6). Hasil penelitian menunjukkan bahwa di antara dengan kehendak para inovator di pusat dan tidak pu-
variabel pembelajaran kontekstual, konsep kerjasama nya wewenang untuk mengubahnya. (e) Kurangnya
yang paling tinggi (929,48%) diterapkan dalam pem- pendidikan dan pelatihan yang memadai, menyelu-
belajaran pendidikan kewarganegaraan, disusul dengan ruh, dan tersistem tentang pembelajaran kontekstual
220 Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 17, Nomor 3, Oktober 2010, hlm. 218-224

sehingga masih banyak guru yang belum mengetahui, melalui konteks komunikasi interpersonal dan saling
memahami, apalagi menerima, dan menerapkan pem- berbagi. Transfering: belajar menggunakan penge-
belajaran kontekstual dalam proses pembelajaran. tahuan dalam suatu konteks atau situasi baru. Pem-
Sementara itu, guru yang sudah mengikuti pelatihan belajaran kontekstual dalam penelitian ini meliputi
pembelajaran kontekstual pun sulit menyosialisasi- enam karakteristik, yaitu keterkaitan, pengalaman lang-
kan kepada rekan guru lainnya. sung, penerapan, kerjasama, pengaturan sendiri, dan
Guru talah melakukan berbagai upaya untuk penilaian otentik.
menghadapi kendala tersebut, di antaranya (1) melaku- Pembelajaran kontekstual merupakan suatu ino-
kan kegiatan terpadu antarmata pelajaran; (2) mening- vasi belajaran. Agar inovasi ini diadopsi guru di sekolah
katkan motivasi belajar mandiri dan motif beprestasi perlu proses difusi inovasi, yakni proses pengomuni-
siswa melalui kompetisi dalam pencapaian nilai dan kasikan inovasi melalui suatu saluran tertentu dalam
pemberian reward; (3) mengoptimalkan sarana dan suatu rentang waktu dalam suatu sistem sosial sekolah.
prasarana, media dan alat pembelajaran yang ada di Sifat pembelajaran kontekstual itu sendiri sebagai suatu
lingkungan sekitar; (4) swadaya biaya dari siswa dan inovasi pembelajaran: (1) pembelajaran kontekstual
guru; (5) melakukan kerjasama dengan instansi terkait; mendatangkan keuntungan relative bagi guru dalam
(6) memotivasi orang tua untuk mendukung keberha- upaya meningkatkan profesionalismenya dan kepen-
silan belajar anak melalui rapat orang tua, home visit; tingan siswa (relative advantage); (2) pembelajaran
dan komite sekolah; (7) mengoptimalkan peran MGMP kontekstual sesuai bagi guru, baik dilihat dari sisi
sebagai peer group untuk berbagi informasi perkem- pengetahuan dan pengalaman, maupun dari sisi tata
bangan materi, metode, media, sumber, dan evaluasi nilai serta budayanya; (3) pembelajaran kontekstual
pembelajaran pendidikan kewarganegaraan; (8) meli- tidak terlalu kompleks bagi guru, bila terlalu kom-
batkan seluruh pihak dalam inovasi pembelajaran un- pleks sampai sulit dipahami, maka inovasi itu akan
tuk meningkatkan mutu hasil belajar siswa. lambat diadopsi (complexity); (4) pembelajaran kon-
Pembelajaran kontekstual merupakan konsep be- tekstual dapat dicoba oleh guru. Pembelajaran kon-
lajar dan mengajar yang membantu guru mengaitkan tekstual harus dapat dicoba oleh guru sampai berhasil
antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia dengan baik atau memuaskan; (5) hasil pembelajaran
nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan pembelajaran kontekstual dapat diamati/dilihat oleh
antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerap- orang lain. Untuk menyebarluaskan pembelajaran kon-
annya dalam kehidupan mereka sebagai anggota ke- tekstual sebagai suatu inovasi pembelajaran kepada
luarga, masyarakat, dan warga negara (Blanchard, 2001: guru, diperlukan suatu saluran komunikasi, baik me-
2; Berns, 2001:4). Dengan demikian, pembelajaran lalui saluran interpersonal berupa seminar, pendidikan
kontekstual memungkinkan siswa menghubungkan dan pelatihan, obrolan antarguru dalam MGMP, obrol-
isi materi dengan konteks kehidupan sehari-hari untuk an antarguru di sekolah (kontak-kontak personal),
menemukan makna (Johnson, 2002:24). maupun melalui media massa. Termasuk di dalamnya
Karakteristik pembelajaran kontekstual menurut adalah pembagian buku pembelajaran kontekstual
Blanchard (2001:5) meliputi (1) bersandar pada memo- yang telah diterbitkan Depdiknas. Di antara kedua
ri mengenai ruang, (2) mengintegrasikan berbagai sub- saluran tersebut, yang banyak dilakukan dalam inovasi
jek materi/disiplin, (3) nilai informasi didasarkan pada pembelajaran kontekstual adalah melalui saluran inter-
kebutuhan siswa; (4) menghubungkan informasi dengan personal dengan terjadinya kontak-kontak personal
pengetahuan awal siswa, dan (5) penilaian sebenar- di antara guru dengan pendidik/pelatih pembelajaran
nya melalui aplikasi praktis atau pemecahan masalah kontekstual, diantara guru di sekolah, antara guru dengan
nyata. Secara lebih lengkap, Johnson (2002:24) meng- kepala sekolah. Kecepatan waktu pengadopsian. Tidak
identifikasi delapan komponen yaitu (a) membuat hu- semua guru memiliki kecepatan yang sama dalam
bungan penuh makna; b) melakukan pekerjaan pen- mengadopsi pembelajaran kontekstual, ada guru terma-
ting; (c) belajar mengatur sendiri; (d) kerjasama; (e) suk pengikut dini, pengikut akhir, dan paling akhir
berpikir kritis dan kreatif; (f) memelihara individu; mengadopsi (kolot). Guru yang telah memperoleh
(g) mencapai standar tinggi; dan (h) penggunaan pe- pendidikan dan pelatihan pembelajaran kontekstual
nilaian sebenarnya. Sementara itu, Sounders (1999) tahap pertama cenderung menjadi pengikut dini pem-
memfokuskan pembelajaran pada REACT. (Relating: belajaran kontekstual, selanjutnya yang mengikuti
belajar dalam konteks pengalaman hidup. Experience- pendidikan dan pelatihan selanjutnya menjadi pengi-
ing: belajar dalam konteks pencarian dan penemuan. kut akhir, dan guru yang belum mengikuti pelatihan
Applying: belajar ketika pengetahuan diperkenalkan dan tidak mau belajar pada guru yang sudah mene-
dalam konteks penggunaannya. Cooperating: belajar rima pendidikan dan pelatihan cenderung memper-
Komalasari, Difusi Inovasi Pembelajaran Kontekstual dalam Pendidikan Kewarganegaraan 221

tahankan metode pembelajaran konvensional dan ini harusan meningkatkan kualifikasi dalam pembelajaran
berarti sangat sulit menerima inovasi pembelajaran yang baru. Hal ini bukan suatu yang mudah dilaku-
kontekstual. Sistem sosial dalam pengadopsian pem- kan. Belum lagi menghadapi kurangnya dukungan
belajaran kontekstual lebih ditekankan pada sistem dari sistem budaya sekitarnya yang menyangkut guru,
sosial sekolah, yaitu suatu kumpulan unit yang ber- sekolah, masyarakat, pemerintah, kepemimpinan kepa-
beda secara fungsional dan terikat dalam kerjasama la sekolah, biaya, sarana dan prasarana, waktu, dan
untuk memecahkan masalah peningkatan mutu pendi- kurikulum dalam pelaksanaan experiencing.
dikan dalam rangka mencapai tujuan bersama. Ang- Penilaian otentik mampu mengungkap hasil bela-
gota sistem sosial sekolah adalah kepala sekolah, guru, jar siswa dari aspek pengetahuan sikap dan proses atau
siswa, tata usaha, dan Musyawarah Guru Mata Pela- kinerja siswa secara aktual. Walaupun dalam pene-
jaran (MGMP). Di antara anggota sistem sosial seko- rapannya masih terbatas dalam prosedur dan alat peni-
lah ada yang memegang peranan penting dalam proses laiannya. Sebagian besar guru mengetahui jenis-jenis
difusi, yakni mereka yang disebut pemuka pendapat penilaian kelas yang antara lain meliputi jenis penilaian
dan agen pembaharu. Di dalam sistem sosial seko- kinerja (performance assessment), penilaian karya (pro-
lah, pemuka pendapat biasanya kepala sekolah dan duct assessment), penilaian penugasan, penilaian proyek,
beberapa guru yang dianggap memiliki wawasan luas dan penilaian portofolio. Guru pendidikan kewargane-
dan kemampuan lebih maju dalam proses pembela- garaan menyadari bahwa semua penilaian tersebut
jaran dibandingkan dengan guru lain sehingga men- menyiratkan makna bahwa penilaian mencakup hal-
jadi tempat guru lain untuk bertanya dan meminta hal yang lebih luas dari sekedar penilaian konvensio-
nasihat tentang suatu perkara. Agen pembaharu dalam nal yang selama ini berlangsung. Akan tetapi, mereka
sistem sosial sekolah adalah orang yang aktif berusaha kesulitan membuat alat penilaiannya. Oleh karena itu,
menyebarkan inovasi pembelajaran kontekstual ke perlu upaya peningkatan profesionalisme guru dalam
sekolah, yaitu tenaga profesional yang mewakili melakukan penilaian otentik. Asesmen otentik itu
Depdiknas yang berusaha mengadakan pembaruan amat penting, namun berdasarkan hasil observasi di
proses pembelajaran, di antaranya para instruktur pen- lapangan para guru merasa kesulitan dalam melaksa-
didikan dan pelatihan pembelajaran kontekstual. Agen nakan, karena belum memahami prosedur penggu-
pembaharu ini akan berhasil jika gencar melakukan naannya. Hal ini terkait kurangnya pendidikan dan
usaha promosi, lebih memperhatikan kebutuhan se- pelatihan tentang penerapan penilaian otentik bagi
kolah dan guru, bekerjasama dengan kepala sekolah guru. Penelitian Medrich (2004:1-5) mengidentifikasi
dan guru lain yang dianggap pemuka pendapat, dan sejumlah faktor-faktor penghambat implementasi pem-
dapat dipercaya oleh sekolah dan guru. belajaran pendidikan kewarganegaraan di sekolah,
Di antara keenam karakteristik pembelajaran sebagai berikut. (1) Resistensi dari generasi tua, terma-
kontekstual, experiencing dan asesmen otentik seba- suk guru yang melanjutkan kepercayaan dan praktek
gai jantung pembelajaran kontekstual. Penerapannya budaya dan sub budaya politik otoriter dalam pem-
masih kurang dan sangat banyak kendala serta resis- belajaran. (2) Perubahan yang lambat dalam kelem-
tensi. Penerapan konsep pengalaman langsung sebagai bagaan di sekolah, tidak hanya ketika ada perubahan
jantung pembelajaran kontekstual dalam pendidikan isi, tetapi juga ketika metoda pembelajaran baru diper-
kewarganegaraan dilakukan melalui kegiatan eksplo- kenalkan. Pendidikan kewarganegaraan memerlukan
rasi, penemuan, investigasi, dan penelitian. Kegiatan metode pembelajaran yang memperhatikan isi materi
eksplorasi, penemuan, investigasi, dan penelitian meru- dan sekaligus metodologi. Sering fokus kepada materi
pakan kegiatan pembelajaran yang baru dan meru- dan mengabaikan metodologi, atau sebaliknya aktivitas
pakan bagian dari suatu inovasi pendidikan di Indo- yang menyenangkan, tetapi sedikit materi yang dipe-
nesia. Kegiatan ini merupakan perubahan yang sangat lajari. (3) Tidak berfungsinya desentralisasi pengambil-
mendasar terhadap pembelajaran konvensional, dan an keputusan untuk mengembangkan desain pembela-
merubah tatanan pembelajaran yang selama ini dila- jaran dan implementasi program kurikulum. (4) Resis-
kukan oleh guru tradisional yang berbentuk grand tensi terhadap gaya mengajar yang demokratis dan
covering technique. Perubahan mendasar terjadi ketika pemberdayaan siswa. Metode interaktif, diskusi, debat,
guru menghadapi kendala dan resistensi terutama se- simulasi demokratis, tidak dapat dipungkiri lebih ribut
suatu yang sudah terbiasa dan merasa nyaman dengan dan berpotensi lebih mengganggu dibandingkan dengan
pembelajaran yang dilakukannya selama ini. Umum- metode tradisional. Guru hendaknya memiliki kemam-
nya, guru menganggap bahwa inovasi pembelajaran puan mengatur konflik dan debat tersebut.(5) Kurang-
akan membawa konsekuensi pada dirinya untuk meng- nya pelatihan bagi guru pendidikan kewarganegaraan
ubah budaya mengajar dan menyesuaikan dengan ke- untuk mengembangkan kelas pendidikan kewargane-
222 Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 17, Nomor 3, Oktober 2010, hlm. 218-224

garaan sebagai laboratorium demokrasi. Selain itu juga sivitas sekolah lainnya, dan masyarakat) sebagai subjek
tidak tersedia sumber daya untuk melatih guru dalam perubahan menjadi salah satu fokus utama dan pertama.
hal tersebut. (6) Berhadapan dengan keanekaragaman Untuk menghindari penolakan seperti yang dise-
dan kesenjangan; jurang antara ide atau harapan dan butkan di atas, ada beberapa faktor utama yang perlu
kenyataan. Permasalahan muncul pada bagaimana diperhatikan dalam inovasi pembelajaran melalui pem-
guru berhadapan dengan keanekaragaman siswa dan belajaran kontekstual. Pertama, guru memiliki peran
membantu siswa belajar menghadapi secara produk- yang amat penting bagi proses pendidikan. Demikian
tif kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang pentingnya sampai John Goodlad, ketua Asosiasi
ada di dalam sistem politik negaranya. Kepala Sekolah di Amerika Serikat suatu saat berujar,
Jika memperhatikan berbagai kendala dan resis- “manakala guru sudah masuk ke ruang kelas dan me-
tensi inovasi pembelajaran kontekstual dalam pendi- nutup pintu kelas itu, dialah yang akan menentukan
dikan kewarganegaran tersebut di atas, maka semua- apakah proses belajar itu berjalan dengan baik atau
nya bermuara pada masalah perubahan budaya. Hal tidak, dapat mencapai tujuan atau tidak” (Suyanto,
ini terkait dengan masalah sulitnya mengubah budaya 2004).
otoriter guru dalam mengajar pendidikan kewargane- Guru sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan
garaan yang bernuansa indoktrinasi rezim penguasa pendidikan merupakan pihak yang sangat berpenga-
selama enam dasa warsa menuju budaya demokrasi ruh dalam proses pembelajaran. Kepiawaian dan kewi-
yang dihembuskan reformasi saat ini. Selama ini pen- bawaan guru sangat menentukan kelangsungan proses
didikan kewarganegaraan sangat sarat dengan muatan belajar mengajar di kelas maupun efeknya di luar kelas.
politis dari rezim penguasa, (Kalidjernih, 2008:127- Guru harus pandai membawa siswanya kepada tujuan
128). Lebih lanjut Kalidjernih (2008:140) mengemu- yang hendak dicapai. Ada beberapa hal yang dapat
kakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan Indonesia membentuk kewibawaan guru, antara lain penguasa-
zaman Orde Baru (1966-1998) dikritik karena tidak an materi yang diajarkan, metode pembelajaran yang
atau kurang merefleksikan cita sipil yang demokratis. sesuai dengan situasi dan kondisi siswa, hubungan
Pemahaman cita sipil bersifat “top down” sesuai de- antarindividu, baik dengan siswa maupun antarsesama
ngan kepentingan rezim penguasa diajarkan kepada guru dan unsur lain yang terlibat dalam proses pen-
siswa dengan metode dan teknik yang tidak partisipa- didikan, dan pengalaman dan keterampilan guru itu
toris tetapi cenderung merupakan kegiatan menghafal. sendiri. Dengan demikian, dalam pembaharuan pem-
Kenyataan ini diperkuat dengan sikap mental aki- belajaran melalui pembelajaran kontekstual, keterlibat-
bat kolonialisasi yang menghambat kemajuan. Sikap
an guru mulai dari perencanaan inovasi pendidikan
mental ini diantaranya meremehkan mutu, suka mene-
sampai dengan pelaksanaan dan evaluasinya mema-
rabas, tidak percaya diri, tidak berdisiplin murni, dan
inkan peran yang sangat besar bagi keberhasilan suatu
tidak bertanggung jawab yang kokoh. Sikap mental
inovasi pendidikan. Tanpa melibatkan mereka, maka
ini boleh jadi ikut menyumbangkan pelbagai ekses
sangat mungkin mereka akan menolak inovasi yang
yang meluas di kalangan guru selama ini, sehingga
diperkenalkan kepada mereka. Hal ini, karena mereka
menghambat implementasi inovasi pembelajaran kon-
menganggap inovasi yang tidak melibatkan mereka
tekstual dalam pembelajaran pendidikan kewargane-
adalah bukan miliknya yang harus dilaksanakan, tetapi
garaan.
sebaliknya mereka menganggap akan mengganggu ke-
Mengubah sikap mental sebagai budaya imma-
tenangan dan kelancaran tugas mereka. Oleh karena
terial yang sudah tertanam sekian lamanya merupakan
suatu hal yang sulit dan membutuhkan proses panjang. itu, dalam suatu inovasi pembelajaran melalui pem-
Perubahan budaya immaterial senantiasa lebih lambat belajaran kontekstual, gurulah yang utama dan perta-
dibandingkan dengan budaya material. Pembelajaran ma terlibat karena guru mempunyai peran yang luas
kontekstual yang membawa nuansa perubahan budaya sebagai pendidik, sebagai orang tua, sebagai teman,
immaterial, yaitu orientasi nilai pembelajaran demo- sebagai dokter, dan sebagai motivator.
kratis membutuhkan proses panjang untuk dapat di- Sebagai subjek utama dalam pendidikan teru-
adopsi oleh guru. Kesenjangan pertumbuhan yang ti- tama dalam proses pembelajaran, siswa memegang
dak sama cepatnya ini menimbulkan ketidakseimbang- peran yang sangat dominan. Siswa dapat menentukan
an yang sering disebut cultural lag dan menimbulkan keberhasilan belajar melalui penggunaan intelegensia,
cultural shock pada guru yang menjadi subjek peru- daya motorik, pengalaman, kemauan, dan komitmen
bahan budaya. Dengan demikian, dalam difusi inovasi yang timbul dalam diri mereka tanpa ada paksaan.
pembelajaran kotekstual, perubahan sikap mental or- Hal ini bisa terjadi apabila siswa juga dilibatkan dalam
ganisasi sistem sosial (guru, siswa, kepala sekolah, dan proses inovasi pembelajaran, walaupun hanya dengan
Komalasari, Difusi Inovasi Pembelajaran Kontekstual dalam Pendidikan Kewarganegaraan 223

mengenalkan kepada mereka tujuan dari perubahan harapan yang tinggi pada prestasi siswa; (5) dan peni-
itu mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksa- laian secara rutin mengenai program yang dibuat siswa.
naan, sehingga apa yang mereka lakukan merupakan Berdasarkan hal tersebut di atas, keberhasilan
tanggung jawab bersama yang harus dilaksanakan de- penerapan pembelajaran kontekstual dalam pendidikan
ngan konsekuen. Peran siswa dalam inovasi pembe- kewarganegaraan perlu melibatkan berbagai pihak.
lajaran kontekstual tidak kalah pentingnya dengan Sekolah dan masyarakat dapat dilibatkan dalam bebe-
peran unsur-unsur lainnya, karena siswa dapat ber- rapa hal. Kesadaran bahwa sumber belajar tidak hanya
peran sebagai penerima pelajaran, pemberi materi berasal dari buku dan guru, melainkan juga dari ling-
pelajaran pada sesama temannya, petunjuk, dan bah- kungan sekitar, baik di rumah maupun di masyarakat.
kan sebagai guru. Oleh karena itu, dalam memperke- Strategi pembelajaran kontekstual dalam pendidikan
nalkan inovasi pembelajaran dalam bentuk pembela- kewarganegaraan memiliki banyak variasi sehingga
jaran kontekstual sampai dengan penerapannya, siswa memungkinkan guru untuk mengembangkan model
perlu diajak atau dilibatkan sehingga mereka tidak saja pembelajaran yang berbeda dengan keajegan yang ada.
menerima dan melaksanakan inovasi tersebut, tetapi Pihak sekolah dan masyarakat perlu memberikan
juga mengurangi resistensi. dukungan baik materiil maupun non-materiil untuk
Fasilitas, termasuk sarana dan prasarana pendi- menunjang keberhasilan proses belajar siswa. Hal ini
dikan, tidak bisa diabaikan dalam proses pendidikan sejalan dengan hasil studi International Association
khususnya dalam proses pembelajaran. Fasilitas mem- for the Evalaution of Educational Achievement (IEA)
pengaruhi kelangsungan inovasi yang akan diterapkan. Tahap I (Hahn dan Torney-Purta, 1999) yang menun-
Tanpa adanya fasilitas, pelaksanaan inovasi pembela- jukkan bahwa” Citizenship education” atau “civic edu-
jaran hampir dipastikan tidak akan berjalan dengan baik. cation” seyogyanya dikembangkan bersama secara
Fasilitas, terutama fasilitas belajar mengajar, merupa- kolaboratif oleh sekolah, orang tua, dan masyarakat,
kan hal yang esensial dalam mengadakan perubahan termasuk pemerintah. Hal tersebut pada dasarnya se-
dan pembaharuan proses pembelajaran. Oleh karena cara konseptual mencerminkan konsep “thick citizen-
itu, jika dalam menerapkan suatu inovasi pembela- ship education” yang merujuk pada kontinum “edu-
jaran, di antaranya pembelajaran kontekstual, fasilitas cation for citizenship” (Kerr 1999:16).
perlu diperhatikan.
Penerapan inovasi pembelajaran berbentuk pem- SIMPULAN
belajaran kontekstual secara tidak langsung membawa
dampak positif maupun negatif. Orang tua dan masya- Pelaksanaan pembelajaran kontekstual dalam
rakat secara langsung atau tidak langsung, sengaja pendidikan kewarganegaraan di Jawa Barat menurut
maupun tidak, terlibat dalam pendidikan. Karena yang persepsi siswa masuk kategori sedang/cukup. Di an-
ingin dilakukan dalam pendidikan sebenarnya mengu- tara enam karakteristik pembelajaran kontekstual, pe-
bah masyarakat menjadi lebih baik, terutama masyara- ngalaman langsung (experiencing) dan asesmen otentik
kat tempat peserta didik itu berasal. Tanpa melibatkan paling rendah penerapannya. Terdapat beberapa kenda-
orang tua dan masyarakat sekitarnya, inovasi pendidik- la pelaksanaan pembelajaran kontekstual dalam pen-
an tentu akan terganggu, bahkan bisa merusak apabila didikan kewarganegaraan, kepemimpinan kepala seko-
mereka tidak diberitahu atau dilibatkan. Keterlibatan lah yang kurang mendukung; sarana dan prasarana
masyarakat dalam inovasi pendidikan sebaliknya akan pembelajaran tidak memadai; kualitas guru masih
membantu inovator dan pelaksana inovasi dalam me- rendah dan tidak merata; kondisi siswa kurang men-
laksanakan inovasi pendidikan. dukung; biaya dan dana tidak memadai; keterbatasan
Biaya sering dirasakan membebani guru dan sis- waktu; dukungan orang tua, masyarakat, dan instansi
wa. Berbagai media, sumber, tugas yang dikerjakan sebagai sumber belajar; kejelasan kurikulum dan ting-
membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Keterbatasan kat kesulitan materi dalam kurikulum. Terdapat resis-
biaya akan menghambat pelaksanaan inovasi pem- tensi terhadap pembelajaran kontekstual yang bersifat
belajaran kontekstual. demokratis dan memberdayakan siswa dari beberapa
Iklim sekolah hendaknya kondusif bagi pelaksana- guru yang melanjutkan praktik budaya dan subbudaya
an inovasi pembelajaran. Keberhasilan inovasi pembe- politik otoriter dalam pembelajaran. Oleh karena itu,
lajaran kontekstual didukung oleh sekolah yang efektif, dalam difusi inovasi pembelajaran kontekstual perlu
yang mempunyai lima ciri penting: (1) kepemimpinan diperhatikan faktor-faktor guru, siswa, fasilitas, biaya,
yang kuat; (2) penekanan pada pencapaian kemam- iklim sekolah, dukungan orang tua dan masyarakat, ku-
puan dasar; (3) adanya lingkungan yang nyaman; (4) rikulum, dan perubahan budaya.
224 Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 17, Nomor 3, Oktober 2010, hlm. 218-224

DAFTAR RUJUKAN

Berns, R. G. & Erickson, P. M. 2001. Contextual Teach- Kerr, D. 1999. Citizenship Education: an International
ing and Learning The Highlight Zone: Reserach Comparison, London: National Foundation for
@ Work No. 5. (Online). (http:/www.nccte.org/pu- Educational Research-NFER.
blications/infosynthesis/highlightzone/highlight05/ Medrich, E., 2004. Essentials of High School Reform,
index.asp, diakses 26 Mei 2004). New Forms of Assessment and Contex-tual teach-
Blanchard, A. 2001. Contextual Teaching and Learning. ing and Learning (Online). (http://www.aypf.org/
(Online). (http://www.horizonshelpr.org/contextual/ Publications/EssentialisofhighschoolReform.Fdf.
contextual.htm - 8k, diakses 17 Maret 2003). diakses 4 Agustus 2003)
Creswell, J. W., 1994 Research Design: Qualitative & Quan- Sounders. 1999. Contextually Based Learning: Fad or
titative Approaches. London: Sage Publications. Proven Practice, (Online) (http://www.uga.edu/
Hahn, C.L. & Torney-Purta, J. 1999. “The IEA Civic Edu- fb070999.htm, diakses 16 Juni 2003).
cation Project: National and International Perspec- Suyanto, 2006. Penerapan Model Pembelajaran Berdasar-
tives”. Social Education, 63,(7):425-431. kan Masalah (Problem Posing) dalam upaya Me-
Johnson, E. B. 2002. Contextual Teaching and Learning: ningkatkan Aktivitas Bertanya Siswa. (Online). (http://
What It Is and Why It Is Here to Stay. California pkab.wordpress.com/2008/04/30/pengembangan-
USA: Corwin Press. Inc. model-belajar-interaktif-berbasis-komputer, diakses
Kalidjernih, F.K. 2008. Cita Sipil Indonesia Pascakolo- 29 April 2008).
nial: Masalah Lama, Tantangan Baru. Jurnal Acta
Civicus 1 (2):127-146.

You might also like