Download as rtf, pdf, or txt
Download as rtf, pdf, or txt
You are on page 1of 262

ACUTE PAIN SERVICE

Editor :

dr. Isngadi, M.Kes, Sp.An, KAO

dr. Ristiawan Muji Laksono, Sp.An KMN

dr. Taufiq Agus Siswagama Sp.An

dr. Buyung Hartiyo Laksono, Sp.An, KNA

Diterbitkan oleh:

Jln. Pos Barat Km.1 Melikan Ngimput Purwosari


Babadan Ponorogo Jawa Timur Indonesia 63491
Website : BuatBuku.com
Email : redaksi@buatbuku.com
Phone : 0821 3954 7339

Anggota IKAPI 182/JTI/2017

ISBN: 978-602-5498-40-4

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektronis
maupun mekanis, termasuk memfotocopy, merekam atau dengan sistem penyimpanan lainnya, tanpa seizin tertulis dari
Penerbit.

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

hlm.; 15x23cm

2
Daftar Konstributor

- dr. Isngadi, M.Kes, Sp.An KAO - dr. Amalia M Berhimpon


- dr. Ristiawan Muji Laksono, Sp.An, KMN - dr. Andre Aditya
- dr. Taufiq Agus S, Sp.An - dr. Alfons O. S
- dr. Buyung Hartiyo L, Sp.An KNA - dr. Asyer
- dr. Andy Prihartono Sp.An - dr. Aswin Wikantama
- dr. Ardana Tri Arianto, Sp.An KNA - dr. Andri Nur Wahyudi
- dr. Calcarina F SpAn, KIC - dr. Aura Ihsaniar
- Prof. dr. Darto Satoto, Sp.An, KAR - dr. Bondan Irtani Cahyadi
- dr. Doso Sutiyono, Sp.An, MARS., KAR - dr. Baroto Eko S
- dr. Djudjuk R. Basuki, Sp.An KAKV, KAR - dr Crodia Hernandes
- dr Dedi Susila SpAn KMN - dr Catur Prasetyo
- dr. Erwin Pradian, Sp.An - dr. Dewi Puspito R.
- dr. Heri Dwi Purnomo, Sp.An, M.Kes, - dr. Daniel
KMN, KAR, FIPM - dr. Faundra A. F
- dr. Hendi Prihatna Sp.An - dr. Fransisca Kumala
- dr. Hari Hendriarto S, Sp.An - dr. Hariyanto
- dr. I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa, - dr. Hinarto
Sp.An, KAR - dr Hajar Rafika Rani
- dr. I Made Gede Widnyana SpAn. KAR - dr. I Made Darma Junaedi
- dr. I Gusti Ngurah Rai Artika, Sp.An, - dr. Irma Yuliani
KAKV, KAR - dr. Ibnu Siena Samdani
- dr. Juni Kurniawaty, Sp.An KAKV - dr. Ida Bagus
- Prof. Dr. dr. Muh. Ramli Ahmad, Sp.An, - dr. Jilientasia Godrace Lilihata
KAP, KMN, KAO - dr. Kristina Setiandari
- dr. Mahmud, Sp.An, MSc., KMN - dr. Kurniawan Prima A
- dr. Muhammad Husni Thamrin Sp.An - dr. Lita Hasnah Purwati
- dr. Mujahidin Sp.An - dr. Muhammad Reza
- Prof. Dr. dr. Nancy Margaritta Rehatta, - dr. Muhammad Faizal Hadiyanto
Sp.An, KIC, KMN, KNA - dr. Muh Kemal Putra
- dr. Pryambodho Sp.An KAR - dr. Reski Muhammad Hidayatullah
- dr. Ricky Aditya,Sp.An - dr. Rio Rusman
- dr. Rudy Vitraludyono Sp.An - dr. Roy Martino
- Dr. dr. Sudadi, Sp.An, KNA, KAR - dr. Rifky Jamal
- dr Sugeng Budi Santoso Sp.An, KMN - dr. Syarif Afif
- dr Soni Sunarso Sulistiawan, SpAn, FIPM - dr. Subhan Yudihart
- dr. Tjahja Aryasa EM, Sp.An - dr. Shonnif Akbar
- DR. dr. Tjok GA Senapathi, Sp.An KAR - dr. Stephanus Andy Prakasa Kaligis
- dr. Widya Istanto Nurcahyo Sp.An, - dr. Troy Syamsudin
KAKV, KAR - dr. Untung Jaka Budiana
- dr. Yusmein Uyun, Sp.An - dr. Ulil Abshor Abdilla
- dr. Abdul Rasyid Tamam
- dr. Aida Aprilnita dr. Vidya Sulistyawa
n
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Seiring dengan kemajuan di bidang kedokteran yang pada


abad ke 21 berjalan secara eksponensial, kita tidak boleh terlena
dengan pencapaian teknologi yang sudah terbukti sangat ber-
manfaat untuk penderita dan memudahkan upaya serta pekerjaan
kita sehari-sehari sebagai ahli anestesi. More expert you will be,
more difficult case you will find. Semakin banyak ahli yang
dihasilkan dari pendidikan anestesi dan konsultannya, makin
banyak pula kasus - kasus sulit yang harus ditangani. Sementara
di sisi yang lain, perkembangan ilmu dari beberapa sub spesia-
lisasi bukan hanya dimiliki dan dikerjakan oleh dokter ahli
anestesi.
Kondisi ini mewajibkan kita untuk lebih intensif dalam
belajar, lebih rajin dalam berupaya dan lebih berkualitas dalam
berkompetisi agar pelayanan kepada masyarakat yang dilakukan
oleh dokter anestesi maupun konsultan dari pendidikan di bawah
kolegium anestesi tetaplah yang terbaik. Untuk itulah maka pada
kesempatan ini kami mengundang para Guru Besar, para Doktor,
Konsultan,dan Ahli Anestesi yang berdedikasi dalam pendidikan
serta pelayanan untuk menyukseskan acara MTE-CCRA (Meet
The Expert-Case Conference Regional Anesthesia) yang akan
diadakan pada tanggal 19-22 April 2018. Besar harapan kami
pertemuan ini akan memberikan sumbangan pemikiran, ilmu
pengetahuan, dan ketrampilan yang dapat dipakai sebagai nilai
tambah untuk menyelesaikan problematika di dalam praktek
sehari-hari dan mengembangkan profesionalisme sebagai dokter
anestesi maupun sebagai konsultan subspesialisasi yang sudah
berkembang dari ilmu anestesi.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

4
Ketua Panitia,

dr. Wiwi Jaya, Sp.An, KIC

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Assalamualaikum wr wb

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat


Allah SWT atas nikmat yang dianugerahkan kepada kita sehingga
kita semua dapat mengikuti acara tahunan MTE-CCRA 2018 yang
akan dilaksanakan di Malang. Shalawat serta salam senantiasa
tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Acara MTE-CCRA merupakan acara rutin setiap tahun
yang diikuti oleh konsultan dan residen anesthesia dari wilayah
JOGLOSEMAR yaitu Jogja-FKUGM, Solo FK-UNS, Semarang-FK
UNDIP, Malang FKUB, Surabaya- FKUNAIR dan Denpasar- FK
UDAYANA sehingga dapat mempereat tali silaturahim antara
residen dan konsulen Anestesiologi dan Terapi Intensif dari Jogja,
Solo, Semarang, Malang, ditambah dengan Surabaya dan
Denpasar. Pada tahun ini, Anestesiologi FKUB Malang lah yang
mendapatkan kesempatan untuk menyelenggarakan acara ini.
Untuk menyebarkan manfaat dari laporan kasus dan
diskusi yang diadakan di MTE CCRA Malang 2018, dibuatlah
proceeding book agar ilmu yang didapat di acara ini dapat
tersebar luas. Proceeding book ini berisi materi dari para ahli serta
laporan kasus yang dikirimkan peserta dari berbagai pusat Pendi-
5
dikan anestesiologi di Indonesia. Dengan demikian, kami harap-
kan manfaat dari acara MTE CCRA Malang 2018 ini dapat
dirasakan oleh berbagai pihak.

Wassalamu’alaikum wr wb

Ketua Program Studi


Anesetesiologi dan Terapi Intensif FK UB Malang

dr. Djudjuk Rahmat Basuki Sp.An. KAKV, KAR

JADWAL KEGIATAN

First Day: Workshop (Thursday, 19 April 2018)

Tema: Cadaveric Advanced Ultrasound Guided in Peripheral


Nerve Block

6
7
Second Day: 1st day Meet The Expert (Friday 20 April 2018)
Tema: Acute Pain Service

8
Third Day: 2nd Day Case Conference Regional Anesthesia
(Saturday, 21 April 2018)

9
Third Day: Round Table Dinner Symposium (Saturday, 21 April
2018)

10
Hari Keempat: Sunday, 22 April 2018

DAFTAR ISI

Daftar Konstributor...................................................................5

Kata Pengantar............................................................................7

Jadwal Kegiatan.......................................................................11

Daftar Isi....................................................................................17

SYMPOSIUM............................................................................23

 Beneficial of US Guided Pheripheral Nerve Block


...........................................................................................24
 The Role of Anesthesiologist on Acute Pain Service
...........................................................................................28

WORKSHOP.............................................................................43

. BLOK AKSILARIS, BLOK SUPRASCAPULAR,


DAN BLOK WRIST........................................................44

11
.....USG untuk Blok Pleksus Brakialis
...........................................................................................59
. BLOK SYARAF FEMORALIS, BLOK SYARAF
PERIFER DAN BLOK ABDUCTOR CANNAL........75
 SCIATIC NERVE BLOCK DAN FASCIA ILIACA
BLOCK...........................................................................108
...........TAP BLOCK
.........................................................................................141
. .QUADRATUS LUMBORUM BLOCK (QLB)
.........................................................................................150
. .ERECTOR SPINAE PLANE (ESP) BLOCK
.........................................................................................160

LAPORAN KASUS DAN POSTER...................................165

 Anesthesia Management during Caesarian Section


of Patient with Atrial Septal Defect (ASD) and
Pulmonary Hypertension...........................................166
. .EPIDURAL LABOUR ANALGESIA FOR
PRIMIGRAVIDA WITH TETRALOGY OF FALLOT
.........................................................................................168
. Epidural Anesthesia pada pasien dengan MR
Moderatedan Low Ejection Fraction.........................171
. .CHRONIC HEART FAILURE EC SEVERE
MITRAL REGURGITATION, MILD MITRAL
STENOSIS, AND MODERATE TRICUSPID
REGURGITATION EC RHEUMATOID HEART
DISEASE, UNDERGOING SECTIO CAESSAREAN
WITH SUBARACHNOID BLOCK............................172
 MIGRATION OF EPIDURAL CATHETER INTO
RIGHT PSOAS MUSCLE WITH MEDIAN
EPIDURAL INSERTION TECHNIQUE...................174
. Asymptomatic Inadvertent Epidural Catheter
Rupture..........................................................................176

12
 Foreign Bodies, Fragmented Epidural Catheter In
Epidural Space..............................................................178
. The Insidence of Breakage and Retained of a
Lumbar Epidural Catheter during its Removal in A-
53 year old Woman After Combined Spinal Epidural
technique for Laparatomy Debulking Procedure.. .179
. . .CAUDAL CONTINUOUS EPIDURAL
“TUNNELING”............................................................181
 USG GUIDED PECS BLOCK II AS INTRA AND
POSTOPERATIVE ANALGESIA MODALITY IN
MODIFIED RADICAL MASTECTOMY (MRM)
(CASE REPORT)...........................................................198
. .ULTRASOUND-GUIDED CONTINUOUS
FEMORAL NERVE BLOCK FOR ANALGESIA
AFTER TOTAL KNEE REPLACEMENT (TKR).....201
. THORACIC EPIDURAL ANALGESIA USING
BUPIVACAINE WITH ADJUVANT OXYCODONE
IN PATIENTS UNDERGOING DOUBLE VALVE
REPLACEMENT..........................................................203
. . . .BLOK NERVUS PARAVERTEBRAL
THORAKALIS PADA PASIEN DENGAN
FRAKTUR COSTAE MULTIPEL POSTERIOR
DEXTRA YANG AKAN MENJALANI ORIF
COSTAE.........................................................................206
. .Penatalaksanaan Nyeri post operatif pada
Pembedahan Hernorepair dengan infiltrasi blok...209
. .Thoracic Paravertebral Block for Medical
Thoracoscopy................................................................212
 SCALP Block in Elderly Patient with Heart Failure
Undergo Sub Dural Drainage for Chronic Sub Dural
Hematoma (CSDH)......................................................215
. ACUTE POST OPERATIVE PAIN PROFILE IN
RECOVERY ROOM dr SOETOMO GENERAL
HOSPITAL SURABAYA.............................................219

13
 THE ROLE OF PECS BLOCK IN PERIOPERATIVE
PAIN MANAGEMENT OF BREAST CANCER
SURGERY: A CASE SERIES.......................................221
. . . .KINGKED EPIDURAL CATHETER
.........................................................................................223
. .PATIENT CONTROLLED ANALGESIA IN
PAEDIATRIC CANCER PATIENT...........................225
 Effectiveness of Thoracic Epidural Analgesia (TEA)
.........................................................................................227
 Following Patient Underwent Longmire Procedure
.........................................................................................227
 Thoracic Epidural Analgesia (TEA) for Patient with
Giant Teratoma Resection and Pleural Effusion.....230
 EFFICACY OF CONTINUOUS EPIDURAL AND
INTRAVENOUS OPIOID FOR POSTOPERATIVE
ANALGESIA IN KIDNEY TRANSPLANT
RESIPIENT....................................................................232
. .COMPARISON OF POSITIVE SKIN SWAB
CULTURE INCIDENCE AMONG PATIENTS WHO
ARE PERFORMED WITH 5% EMLA AND 10 %
POVIDONE IODINE COMPARED WITH SINGLE
10% POVIDONE IODINE FOR SKIN
DISINFECTION IN REGIONAL ANESTHESIA
PROCEDURE................................................................235
 Comparative Effectiveness Between Use of Patients
Controlled Analgesia (PCA) Ketamine, PCA
Morphine and Tramadol Intravenous As Analgesic
Post Modified Radical Mastectomy(MRM) Operation
.........................................................................................238
. .UltraSound – Guide Caudal Epidural Block
.........................................................................................240
. In Patient with Low anterior Resection (LAR)
.........................................................................................240

14
 SUPERFICIAL CERVICAL PLEXUS BLOCK, AN
ALTERNATIVE FOR ACUTE PAIN SERVICE
AFTER MASTOIDECTOMY......................................242
 Comparison of Pure Morphine PCA and Morphine
PCA with Paravertebra Block Combination for Pain
Management in Patients with Rib Fractures
Undergoing Rib Fixation Surgery.............................244
 REDUCED OPIOID USE WITH TRANSVERSUS
ABDOMINIS PLANE BLOCK AFTER CAESAREAN
SECTION.......................................................................246
. LEVOBUPIVACAINE SURGICAL WOUND
INFILTRATION AS ANALGESIA IN
LAPAROTOMY: A CASE SERIES.............................248
. OPEN REDUCTION INTERNAL FIXATION –
PLATE AND SCREW IN ULTRASOUND-GUIDED
AXILLARY BRACHIAL PLEXUS BLOCK ON A
POORLY CONTROLLED HYPERTENSION
GERIATRIC PATIENT WITH CLOSED FRACTURE
LEFT DISTAL RADIUS...............................................250
 PERIPHERAL NERVE BLOCK AS A RELIABLE
ANESTHETIC MANAGEMENT IN DIABETIC
FOOT PATIENT WITH CONGESTIVE HEART
FAILURE WHO UNDERWENT ABOVE KNEE
AMPUTATION SURGERY........................................253
. .LUMBAR EPIDURAL VS INTRAVENOUS
OPIOID ANALGESIA AFTER ORTHOPEDIC
LOWER EXTREMITY SURGERY..............................255
 Adductor kanal block sebagai management nyeri
post operasi total knee replacement..........................256
. Low Dose Spinal Anethesia For Sectio Cesarian
Delivery : Serial Case...................................................258
. CONTINOUS SUPRACLAVICULAR BLOCK,
ANESTHESIA TECHNIQUES FOR UPPER
EXTREMITIES OPERATION AND PAIN CONTROL
POST OPERATIVE MANAGEMENT......................260

15
. Ultrasound-Guided Supraclavicular Brachial
Plexus Block In Opened Reduction Internal Fixation
Procedure of Humerus in Geriatric with
Cerebrovascular Attack and Alzheimer’s Disease (A
Case Report)....................................................................262
 THE ROLE OF PTERYGOPALATINE GANGLION
BLOCK IN MANAGEMENT OF CLUSTER
HEADACHE.................................................................265
. . .ROLE OF INTRAVENOUS MGSO4 IN
POSTOPERATIVE PAIN WITH SPINAL
ANESTHESIA: A CASE SERIES................................267
. . . .ACCURACY OF PALPATION FOR
DETERMINING INTERVERTEBRAL SPACE IN
PREGNANT WOMEN: A Case Series......................270
 SUCCESSFUL SUPRACLAVICULAR BLOCK IN
PATIENT WITH CHRONIC KIDNEY DISEASE: A
Case Report...................................................................272
. .CASE REPORT OF PERIBULBAR BLOCK
ANESTHESIA FOR EVACUATION SILICON OIL
IN RETINAL SURGERY.............................................274
 Chronic Pain Syndrome Management of Patient
with High Grade Sarcoma (rhabdomyosarcoma) by a
Combination of Oral Morphine (MST), Gabapentin
and Epidural Analgesia..............................................276
THE IMPORTANCE OF PAIN RE- EVALUATION
AND RE- ASSESMENT IN CANCER PAIN...........278
. Oxycodone as intraoperative analgesic and pot
operative pain control regiment in thoracic surgery: a
case series......................................................................280

16
17
SYMPOSIUM
Beneficial of US Guided Pheripheral Nerve
Block
Prof. dr. Darto Satoto, Sp. An, KAR

Pendahuluan
Pada masa kini Anestesia Regional membutuhkan alat ban-
tu USG dalam penanganan blok secara realtime (sesuai dengan

18
gambaran anatomi manusia secara utuh), tetapi harus di ingat
kelemahan dan keunggulan alat tersebut.
Alasan-alasan anestesi regional yang kurang disukai oleh ahli
bedah, antara lain:
1. Waktu untuk melakukan blok anestesi regional masih
lambat
2. Hasil blok yang kurang baik
3. Lambatnya penilaian status neurologis
4. Efek samping dan komplikasi yang bisa terjadi
5. Apakah dibutuhkan pemberian anesthesia umum
6. Blok yang kurang efektif

Matthew Oldman, Colin J. L. McCartney, Andrea Leung,


Regan Rawson, Anahi Perlas, Jeff Gadsden, and Vincent W. S.
Chan, A Survey of Orthopedic Surgeons’ Attitudes and
Knowledge Regarding Regional Anesthesia. Anesth Analg 2004;
98: 1486–90
Pemakaian USG pada anestesia regional:
Pada masa lalu teknik anestesia regional masih mengandal-
kan parestesia dan pemakaian stimulasi saraf sehingga teknik
masih merupakan teknik “buta”, sehingga masih menimbulkan
komplikasi karena penyuntikan dengan jarum, setelah meng-
gunakan USG kita dapat melihat gambaran anatomi secara “real
time” dan arah jarum serta penyebaran obat dapat dideteksi.

19
Pada tahun 1978 La Grange adalah orang yang pertama kali
mempublikasikan penggunaan USG doppler untuk blok supra-
klavikular.
Pemakaian USG dalam anestesia dapat dipakai untuk beberapa
tindakan:
1. Akses vaskular
2. USG pada tulang belakang untuk keperluan memantau
level dan sonografi anatomi spinal
3. Diagnostik pada daerah torak: Hematorak, efusi
pericardium, dll.
4. Klinik nyeri

Teknik-teknik anestesi regional dengan bantuan USG:

Peter Marhofer, Harald Willschke, Manfred Greher,


Stephan Kapral, New perspectives in regional anesthesia: the use
of ultrasound – past, present, and future. CAN J ANESTH 2005,
52: 6; pp. R1–R5.

Keuntungan teknik anestesi regional menggunakan USG:


Dengan USG dapat dilihat variasi anatomi pasien sehingga
dapat meningkatkan keberhasilan blok dan onset yang dicapai
lebih cepat, selain itu dosis obat dapat dikurangi, komplikasi lebih
sedikit dan obat anestesi lokal dapat diulang melalui kateter yang
dipasang.

Kelemahan pemakaian USG:


20
Alat ini masih sangat mahal dan memerlukan transducer
khusus tergantung area yang akan dilakukan pemantauan, mung-
kin untuk kemudahan transportasi diperlukan alat yang lebih
portable, selain itu hasil gambaran dimonitor tidak selalu jelas
(anisotropy).

Identifikasi organ-organ yang dilakukan pemantauan dengan


USG:
 Vena: anechoic, mudah kolaps bila ditekan, tidak ada
pulsasi
 Arteri: hypoechoic, ada gambaran pulsasi
 Lemak: hypoechoic
 Otot: - perimysium: hyperechoic
- serat otot: hypoechoic
 Saraf: hyper atau hypoechoic
 Tulang: Hyperechoic atau hypoechoic – acoustic shadow
 Pleura: hyperechoic
 Tendon: tendon sheath yang hyperechoic dipisahkan dari
tendon oleh suatu daerah yang hypoechoic

21
Anisotropy adalah suatu artefak sonografi, terutama pada
tendon yang terlihat saat sinar ultrasound tidak tegak lurus pada
tendon.

Kesimpulan

Pemakaian USG memberikan keuntungan dalam melaku-


kan blok secara visualisasi langsung (real time) pada struktur-
struktur anatomi yang berkaitan dengan blok anestesi regional.

Referensi:

1. Oldman M, McCartney C, Leung A, Rawson R, Perlas A,


Gadsden J, and Chan V, A Survey of Orthopedic Surgeons’
Attitudes and Knowledge Regarding Regional Anesthesia.
Anesth Analg 2004; 98: 1486–90.
2. Marhofer P, Willschke H, Greher M, Kapral S, New
perspectives in regional anesthesia: the use of ultrasound –
past, present, and future. Can J Anesth 2005, 52: 6; pp. R1–R5.
3. Targeted Ultrasound Initiative:

http://slideplayer.com/slide/8258710/25/images/2/ANIS
OTROPY:+Transducer+not+perpendicular.jpg

The Role of Anesthesiologist on Acute


Pain Service
Muhammad Ramli Ahmad
Departemen Anestesiologi, Terapi Intensif dan Manajemen Nyeri
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Makassar

ABSTRACT
22
Pain management in the hospitals recently has been a special
concern due to its association with aspect of healthcare service, hospital
standardization, patient’s satisfaction, efficiency of hospital, and
particularly due to humanitarian reason of health practicionar in
decreasing patient’s suffer of pain.
Modalities of pain management increasingly varied from
traditional approach to the use of newer methods with adequate evidence
to apply in practice of pain management as well as good organization of
Acute Pain Service founded by Brian Ready in 1988.
APS increased awareness that adequately postoperative pain
management was increasingly real with an organized multidiciplinary
team consists of doctor and dedicated nurses, appeared to be fundamental
prerequisite for well-functioning APS. Anesthesiologits-based pain
service or nurse-based pain service led by anesthesiolgist committed to
provide pain management effectively and safely, help the initial phase of
rehabilitation in postoperative patients, medical and nurse personnels
training of pain management, application, and development of new
technique of analgesic as well as opportunity of clinical trials.
Several observational studies showed efficacy of APS in
decreasing postoperative pain and adverse effects of analgesia and
allowed the doctor to select appropriate analgesic technique. Number of
hospitals with APS was increasing and the selection of appropriate
organization structure is as important as the selection of modalities of
analgesia for a successful APS. Documented value showed justification
of sources and expertises allocated. Intergration of effective analgesia
into operative care is an obligation to improve outcomes and will depend
on close teamwork between the member of APS team.
Keywords: Acute pain service, Modalities of analgesia,
Multidisciplinary. Pain Management

23
ABSTRAK
Penanganan nyeri dirumah sakit pada saat ini telah menjadi
perhatian khusus karena sangat berhubungan dengan aspek
pelayanan, standarisasi rumah sakit, kepuasan pasien, efisiensi
rumah sakit dan tentunya adalah alasan kemanusian para praktisi
kesehatan dalam mengurangi penderitaan pasien nyeri.
Modalitas penangan nyeri saat ini ini semakin bervariasi
mulai dari pendekatan konvensional sampai pada penggunaan
metode-metode terbaru yang telah memiliki evidence based yang
memadai untuk digunakan dalam praktek penalaksanaan nyeri
serta pengorganisasian yang rapih dengan pendirian pelayanan
nyeri akut (Acute Pain Services) (APS) oleh Brian Ready tahun 1988
APS meningkatkan kesadaran bahwa manajemen nyeri
pascabedah yang adekuat menjadi semakin nyata dengan kerja
sama sebuah tim multidisiplin terstruktur yang beranggotakan
dokter dan perawat berdedikasi, tampaknya merupakan prasya-
rat mendasar untuk program APS agar berfungsi dengan baik.
Pelayanan nyeri berbasis dokter spesialis anestesi atau perawat
yang dipimpin dokter anestesi berkomitmen untuk menyediakan
manajemen nyeri yang efektif & aman, membantu fase awal
rehabilitasi pasien pascabedah, pelatihan personil medis dan
perawat dalam terapi nyeri, aplikasi dan peningkatan teknik
analgesik baru serta kesempatan untuk penelitian klinis.
Beberapa penelitian observasional menunjukkan efektivitas
APS dalam mengurangi nyeri pasca bedah dan efek samping
analgesi serta memungkinkan dokter untuk memilih teknik
analgesik yang sesuai. Jumlah rumah sakit yang memiliki APS
semakin bertambah dan pemilihan struktur organisasi yang
sesuai sama pentingnya dengan pilihan modalitas analgesik
untuk keberhasilan APS. Dokumentasi nilai dan menunjukkan

24
justifikasi sumber daya dan ahli yang dialokasikan. Integrasi
analgesia yang efektif ke dalam perawatan bedah merupakan
kewajiban untuk memperbaiki luaran dan akan tergantung pada
kerja sama yang erat antara tim APS.

Kata Kunci: Acute pain service, Pain Management, Modalitas


analgetic, Multidisipliner.

PENDAHULUAN
Pengetahuan kita tentang mekanisme nyeri pascabedah
sudah mengalami banyak kemajuan dan pengelolaan nyeri pasca-
bedah secara umum telah dilaksanakan terutama pada rumah
sakit yang menjalankan pelayanan nyeri akut (Acute Pain Services).
Acute Pain Services (APS) berbasis spesialis anestesi pertama
di Amerika Serikat dimulai oleh Ready pada tahun 1986. Sejak
saat itu banyak rumah sakit diseluruh dunia telah mengikuti dan

25
jumlahnya terus bertambah. Ada keragaman yang sangat luas
dari struktur APS, tidak ada struktur yang disepakati seperti apa
layanan tersebut. Saat ini, struktur APS bervariasi dari berbasis
dokter spesialis anestesi atau berbasis perawat dipimpin oleh
spesialis anestesi namun tanpa partisipasi setiap hari oleh
spesialis anestesi, tersedia layanan 24 jam, dengan atau tanpa
keterlibatan apoteker atau staf lainnya.
APS berbasis dokter spesialis anestesi diawali dari layanan
nyeri pascabedah sebagai layanan primer, dibeberapa rumah sakit
telah berkembang menjadi layanan nyeri yang komprehensif.
Pendekatan biopsikososial dan multidisiplin yang lebih banyak
untuk pengobatan pasien nyeri dengan berbagai jenis kondisi
medis, bedah, dan komorbiditas psikologis. Sayangnya, banyak
APS cenderung berkonsentrasi pada pendekatan teknologi ting-
gi untuk menghilangkan rasa nyeri dan lebih sedikit konsentrasi
dalam peningkatan metode analgesia sederhana diseluruh
rumahsakit. Pendekatan ini hanya menguntungkan sebagian kecil
pasien yang seharusnya manajemen nyeri dapat menjadi lebih
baik untuk semua pasien di setiap institusi.
APS harus membantu pengembangan program pendidik-
an, mempunyai panduan dan protokol pengobatan nyeri akut
berdasarkan bukti yang akan digunakan diseluruh rumah sakit
melalui kolaborasi dan komunikasi dengan layanan media dan
perawat lainnya baik tingkat lokal maupun ditingkat nasional.
Dalam banyak institusi, acute pain services atau layanan nyeri akut
memainkan peran penting dalam manajemen nyeri akut, ter-
utama ketika teknik analgesik y a n g d i g u n a k a n lebih kom-
pleks dan ketika terlibat pasien yang lebih kompleks juga.

Struktur dan fungsi APS


Model organisasi original untuk menangani nyeri pasca-
bedah yang dikembangkan di Amerika Serikat, secara berangsur-
angsur diperkenalkan di Inggris selama tahun 1990-an dikenal
dengan Acute Pain Service (APS), namun implementasi APS sejak
tahun 1990 dilakukan sedikit demi sedikit, dengan laporan
keberhasilan hingga akhir tahun 1990-an memberikan bukti
26
variasi yang signifikan di antara beberapa rumah sakit dalam hal
struktrul dan fungsi APS.
Kebanyakan institusi besar di Amerika Serikat memiliki
APS berbasis anestesiologi. Tim manejemen nyeri komprehensif
biasanya terdiri dari staf dan residen anestesi, perawat yang
dilatih khusus, dan terapis fisik. Sekretaris dan personil keuangan
juga bagian dari APS gaya Amerika Serikat. Pasien dalam pera-
watan APS divisite dan dinilai secara teratur oleh anggota tim.
Model organisasi APS berbasis anestesiologis memberikan layan-
an manajemen nyeri “berteknologi tinggi” untuk pasien yang
mendapatkan analgesia epidural atau analgesia intravena yang
dikontrol pasien (IV-PCA).
Modefikasi model APS selain berbasis dokter spesialis
anestesi yakni APS berbasis perawat yang disupervisi anestesio-
logis dapat menjadi alternatif terhadap model APS konvensional
berbasis dokter. Laporan the United Kingdom Joint Colleges of
Surgery and Anesthesia Working Party merekomendasikan bahwa
sebuah tim multidisiplin yang meliputi staf perawatan spesialis
harus menjalankan APS. Lebih lanjut mereka merekomendasikan
bahwa beberapa pelayanan harus mengambil tanggung jawab
harian untuk manajemen nyeri pasca bedah, pelatihan untuk
perawat dan staf medis, dan penelitian serta auditing.
Organisasi APS yang ideal harus memberikan manajemen
nyeri optimal untuk setiap pasien yang menjalani pembedahan,
termasuk pasien anak dan pasien yang mejalani pembedahan
rawat jalan. The Joint Commission for Accreditationof Healthcare
Organizations, sebuah organisasi non-profit independen yang
mengatur standar layanan kesehatan di Amerika Serikat, menge-
nali hal ini dan sekarang memerlukan penilaian, terapi, dan
dokumentasi nyeri pasien rumah sakit tersebut, menjamin kom-
petensi staf mereka dalam penilaian dan manajemen nyeri, dan
mengedukasi pasien serta keluarganya mengenai manajemen
nyeri yang efektif. Rumah sakit juga harus mempertimbangkan
kebutuhan informasi pasien pembedahan rawat jalan dan menye-
diakan panduan untuk manajemen nyeri mereka setelah dipu-
langkan dari rumah sakit.
27
Salah satu aktivitas APS yang paling penting adalah
memberikan ulasan kebijakan dan praktik institusional yang
sedang berjalan mengenai kontrol nyeri dan mekanisme nyeri
untuk mengatasi masalah yang timbul. Anggota program ini
harus melakukan pertemuan secara teratur untuk memberikan
umpan balik dan mendiskusikan kesempatan pengembangan
lebih lanjut. Pertemuan tersebut penting sebagai forum untuk
menilai efisiensi APS, menyoroti masalah-masalah praktis, dan
menemukan solusi bagi aspek APS yang kurang berfungsi.

Peran spesialis anestesi dalam Acute pain Service


Acute pain service terdiri dari tim yang bekerja bersama
yang memiliki peranan masing masing dalam merawat pasien
pada periode perioperatif dan pasien yang memilki eksaserbasi
nyeri akut (misalnya trauma, kanker). APS dipimpin oleh seorang
kordinator yang biasanya merupakan seorang spesialis anestesi
terlatih dan berpengalaman dalam mengelola sindroma nyeri
yang kompleks dan prosedur regional analgesia seperti epidural
analgesia, blok saraf perifer.
Tanggung jawab spesialis anestesi antara lain:
- Menentukan arah layanan, mendefinisikan tujuan
pelayanan klinis dan edukasi layanan
- Mengembangkan kebijakan dan protokol penilaian dan
pengobatan
- Berkomunikasi dengan pihak administrasi rumah sakit
dan dokter yang merujuk
- Meninjau indikator kulitas secara berkala

Spesialis anestesi dapat memberikan saran mengenai ling-


kup APS, kesesuaian dengan arahan serta berusaha untuk
memecahkan pertanyaan rumit mengenai prosedur dan terapi.
Kerjasama dengan spesialis lain dalam multidisiplin sering diper-
lukan, sebagai contoh bekerja sama dengan spesialis perawatan
paliatif untuk pasien kanker terminal.
Spesialis anestesi memiliki keseluruhan tanggung jawab
untuk layanan anestesi serta manajemen nyeri pasca bedah. Spe-
28
sialis anestesi memilih modalitas analgesik yang sesuai dengan
menggunakan standar “anak tangga analgesik nyeri akut”. Pada
sebuah publikasi panduan praktis terbaru American Society of
Anesthesiologists, direkomendasikan terapi yang sama. Panduan
tersebut menunjukkan bahwa semua pasien harus mendapatkan
regimen OAINS, coxib, atau acetaminofen secara teratur kecuali
dikontraindikasikan. Selain itu, blok regional dengan obat
anestesi lokal harus dipertimbangkan. Pilihan obat, dosis, jalur,
dan durasi harus disesuaikan kondisi masing-masing pasien.
Selama jam kerja, spesialis anestesi berada dirumah sakit untuk
mengelolah pasien yang mengalami nyeri akut dan menerima
konsultasi atau keperluan darurat, setelah itu spesialis anestesi
on-call mengambil fungsi yang sama.

Peran APS untuk meningkatkan penanganan perioperatif.


Penanganan APS yang baik menghasilkan analgesia yang
baik dan sering dihubungkan dengan berkurangnya morbiditas
dan mortalitas. Kegagalan penanganan nyeri perioperatif dapat
menyebabkan penundaan proses pemulihan, memperpanjang
waktu perawatan dirumah sakit dan berpotensi meninimbulkan
nyeri kronis.
Tujuan dari APS meliputi:
- Penanganan nyeri yang baik
- Insiden efek samping yang rendah
- Morbiditas dan mortalitas pascabedah yang lebih rendah
- Penurunan angka kejadian nyeri persisten setelah operasi
- Mencegah berkembangnya nyeri akut menjadi nyri kronis.

Diyakini bahwa pengenalan APS telah menyebabkan


peningkatan penggunaan teknik analgesik khusus yang sesuai,
seperti opioid IV-PCA dan analgesia epidural dan perineural.
Implementasi teknik-teknik ini dapat menunjukkan perkem-
bangan yang nyata dalam memperbaiki analgesia dan kesejah-
teraan pasien serta mengurangi morbiditas pascabedah. Selain itu,
APS dapat mengurangi “jeda analgesik” yang dapat terjadi

29
selama transsisi dari IV-PCA atau analgesia epidural ke terapi
analgesik oral.
Evaluasi keamanan teknik analgesik merupakan tujuan
penting APS. Wheatley dkk melaporkan penurunan insidens
infeksi saluran napas bawah dari 1,3% menjadi 0,4% setelah
pengenalan APS. Tsui dkk meneliti manfaat program APS pada
pasien yang menjalani esofagektomi. Pasien-pasien tersebut di-
tangani oleh APS (n = 299) atau mendapatkan terapi analgesik
konvensional bukan APS (n = 279). Pada kelompok APS pasien
mendapatkan infus epidural atau opioid sistemik pasca bedah
dan pada kelompok non-APS pasien mendapatkan injeksi morfin
intramuskuler intermitten. Insidens komplikasi paru dan jantung
yang lebih rendah secara signifikan dan lama rawat inap yang
lebih singkat dilaporkan pada pasien pada kelompok APS.
Pada sebuah ulasan literatur terbaru, Werner dkk menge-
valuasi efek APS terhadap luaran pasca bedah pada 44 audit dan
4 penelitian klinis yang mencakup 84.097 pasien. Warner mene-
mukan bahwa implementasi APS berhubungan dengan pengu-
rangan intensitas nyeri yang signifikan. Selain itu, pengenalan
APS dapat dihubungkan dengan kurangnya kejadian mual dan
muntah serta retensi urin pasca bedah. Akan tetapi, Warner tidak
dapat menarik kesimpulan yang jelas mengenai efek samping
modalitas analgesik, kepuasan pasien, atau morbiditas pasca
bedah karena variabilitas penelitian yang besar mengenai fungsi
APS dan layanan yang disediakan.

Bagaimana mengimplementasikan layanan nyeri akut


Semakin jelas bahwa model APS yang sederhana dan cukup
murah dapat dikembangkan untuk memperbaiki kualitas anal-
gesia pasca bedah untuk setiap pasien bedah (termasuk pasien
bedah rawat jalan) dengan cara yang efektif dari segi biaya. Di
Rumah Sakit Universitas Orebro, Orebro, Swedia, sebuah model
APS berbasis perawat khusus nyeri yang disupervisi anestesio-
logis berhasil diimplementasikan. Langkah pertama untuk memu-
lai program manajemen nyeri adalah mengorganisasi disebuah
tim multidisiplin yang terdiri dari orang-orang yang berminat
30
dan termotivasi yang mewakili beberapa keahlian profesional
berbeda dan pendekatan pada perawatan pasien. Anggota APS
mempunyai peran masing-masing.
Walaupun setiap institusi dapat memilih kebutuhan APS
yang berbeda, dan modifikasi model mungkin diperlukan untuk
mengakomodasi keadaan lokal, komponen utama APS harus
meliputi sebagai berikut:
- Personil yang ditunjuk untuk bertanggung jawab menye-
diakan APS 24 jam (1 atau 2 orang mungkin cukup di rumah
sakit kecil).
- Penilaian nyeri yang teratur (dengan skala yang sesuai
untuk pasien anak dan pasien dengan gangguan kognitif)
pada saat istirahat dan bergerak, maintenans skor nyeri di
bawah ambang batas yang ditentukan, dan dokumentasi skor
nyeri yang teratur (“buat nyeri terlihat”).
- Kerja sama aktif dengan dokter dan perawat bangsal
untuk pengembangan protokol dan jalur kritis untuk
mencapai tujuan yang ditargetkan untuk mobilisasi dan
rehabilitasi pascabedah.
- Program pengajaran yang terus berlangsung untuk
perawat bangsal sebagai syarat teknik analgesik yang aman
dan efektif dari segi biaya.
- Edukasi pasien mengenai pemantauan dan pilihan terapi,
tujuan, manfaat, dan efek samping.
- Audit yang teratur mengenai efektivitas biaya teknik
analgesik dan kepuasan layanan rawat inap dan rawat jalan.
- Peran masing masing angota APS

Peran dokter spesialis pelaksana APS


Walaupun semua panduan menegaskan pentingnya APS
multidisiplin sebagai alat untuk memperbaiki penanganan nyeri
pascabedah, dalam literatur tidak ada perbedaan yang dibuat di
antara masing-masing anggota tim multidisiplin. Peran dan
partisipasi dokter spesialis pelaksanaan APS
- Memimpin putaran visite pasien setiap hari
- Melakukan dan mengawasi konsultasi nyeri
31
- Melakukan dan mengawasi prosedur analgesia regional
- Berpartisipasi dalam tujuan pendidikan dan penelitian
dan melakukan komunikasi dengan spesilis anestesi dan
spesilais terkait lainnya mengenai seluruh masalah yang ada
- Memperbaiki komplians perawat bangsal untuk
implementasi tujuan APS, termasuk penilaian dan
dokumentasi nyeri sesering mungkin.
- Jalur klinis untuk mencapai tujuan yang ditetapkan untuk
mobilisasi dan rehabilitasi pasca bedah yang diharapkan
dapat mengurangi lama perawatan di rumah sakit.

Peran fellow /residen APS


- Berpartisipasi dalam putaran visite harian
- Merespon permintaaan konsultasi nyeriakut
- Menjawab konsul tentang penangan nyeri rutin
- Melakukan prosedur analgesia regional dibawah penga-
wasam
- Berpartisipasi dalam tujuan pendidikan dan penelitian
- Mengawasi dan menjawab konsultasi dari inten

Peran perawat klinis/Perawat khusus nyeri akut (acute pain


nurse, APN)
Perawat khusus nyeri akut (Acute pain nurse, APN) memain-
kan peran penting dalam APS. APN melakukan kunjungan harian
di semua bangsal bedah. Terapi nyeri pascabedah masing-masing
didasarkan pada perintah dan protokol standar yang dikem-
bangkan bersama oleh spesialis anestesi, dokter bedah, dan
perawat bangsal. APN memudahkan kolaborasi antara spesialis
anestesi, dokter bedah, dan perawat di bangsal bedah. Perawat
klinis khusus mengedukasi perawat bangsal, memberikan du-
kungan yang diperlukan dan membantu memulai dan mengawasi
analgesia.
Hal ini memberikan fleksibilitas bagi perawat bangsal
untuk memberikan analgesik bila diperlukan.
- Mengkoordinasikan layanan dan memberikan kontinutas
perawatan untuk psasien
32
- Mengumpulkan data dan berpartisipasi dalam jaminan
kwalitas
- Menyusun dan mengimplementkan program program
pendidikan yang berkaitan keperawatan dan pasien
- Membantu spesialis anestesi dalam pengembanagan
tujuan, kebijakan,protocol dan standar

Peran perawat bangsal APS


- Merespon panggilan tentang masalah nyeri
- Menggunakan protokol pengobatan, menyesuaikan
rejimen obat nyeri dan menilai efektifitas perubahyan nyeri
- Menilai intensitas nyeri dan efek samping pengobatan
pada pasien APS
- Memberikan rasa nyaman kepada pasien dan terapi non-
farmakologis.

Konsep bahwa penanganan nyeri pascabedah dapat sangat


meningkat dengan menyediakan pelatihan untuk staff perawatan
nyeri mengenai penggunaan optimal opioid IV-PCA dan teknik
analgesia regional. Perawat di bangsal bedah memiliki tanggung
jawab untuk menilai intensitas nyeri pasien, memberikan terapi
analgesik yang sudah ditetapkan, memantau efektivitas dan efek
samping obat, dan memantau efek blok regional.
Pengajaran teratur dan kunjungan harian oleh APN meng-
hasilkan penanganan nyeri yang efektif dan aman, yang dikon-
firmasi dengan audit data tahunan. Perawat nyeri dari setiap
bangsal bedah bertemu secara teratur dengan spesialis anestesi
dan APN untuk mendiskusikan perbaikan berdasarakan data
audit tahunan.
Peran keperawatan harus ditingkatkan jika manajemen
nyeri pascabedah ingin diperbaiki di bangsal bedah. Terdapat
bukti yang meyakinkan dari banyak negara dan institusi bahwa
dengan pengajaran dan pelatihan yang sesuai, perawat bangsal
dapat memantau dan mengelola modalitas analgesik seperti IV-
PCAdan analgesia epidural. Pendidikan perawat lebih luas dike-
nal sebagai prioritas utama dalam manajemen nyeri. Beberapa
33
penelitian terbaru menunjukkan pentingnya perawat bangsal
dalam memperbaiki efektivitas regimen analgesik. Partisipasi
dokter dan perawat bangsal penting dalam model APS ini.

Edukasi
Salah satu aktivitas APS yang sangat mendasar tapi penting
adalah mengembangkan dan mengimplementasikan program
edukasi untuk pasien dan penyedia layanan kesehatan. Untuk
pasien, proses edukasi harus dimulai saat evaluasi prabedah.
Secara konvensional, pasien yang menganggap bahwa nyeri
setelah pembedahan adalah hal yang tidak terelakkan. Mereka
kemungkinan menyadari standar perawatan yang mereka
harapkan dan manfaat penangana nyeri yang efektif. Isi edukasi
harus meliputi penjelasan mengenai pentingnya kontrol nyeri
yang adekuat, komitmen staf rumah sakit untuk memberikan
kontrol nyeri yang efektif, berbagai pilihan yang tersedia untuk
menangani nyeri pascabedah, informasi praktis mengenai
bagaimana melaporkan intensitas nyeri (misalnya VAS atau skala
numerik) dan bagaimana berpartisipasi dalam rencana manaje-
men nyeri.

Simpulan
1. Bebas nyeri pascabedah merupakan perhatian khusus dari
pasien pascabedah dan meringankan nyeri dapat berperan
memperbaiki luaran klinis.
2. Tim multidisiplin terstruktur yang beranggotakan dokter
dan perawat berdedikasi tampaknya merupakan prasyarat
mendasar untuk program APS yang berfungsi dengan baik.
3. Beberapa penelitian observasional menunjukkan
efektivitas APS dalam mengurangi nyeri pascabedah dan
efek samping.
4. Jumlah rumah sakit yang memiliki APS bertambah, tetapi
belum ada kesepakatan mengenai struktur organisasi APS
yang optimal. Pemilihan struktur organisasi yang sesuai
sama pentingnya dengan pilihan modalitas analgesik untuk
keberhasilan APS.
34
5. Penting untuk mengenali bahwa inisiatif perbaikan
kualitas harus disesuaikan secara spesifik terhadap
lingkungan lokal, karena tidak ada pendekatan tunggal yang
dijamin berhasil pada semua keadaan. .
6. Integrasi analgesia yang efektif ke dalam perawatan
bedah merupakan kewajiban untuk memperbaiki luaran dan
akan tergantung pada kerja sama yang erat antara dokter
bedah dan spesialis anestesiologi.

Kepustakaan
1. Rawal N. Organization, Function, and Implementation of
Acute Pain Service. Anesthesiology Clin N Am 23 (2005) 211–
225
2. Werner MU, Søholm L, Nielsen PR, Kehlet H. Does an
Acute Pain Service Improve Postoperative Outcome?. Anesth
Analg 2002;95:1361–72
3. Upp J, Kent M, Tighe PJ. 2013. The evolution and practice
of acute pain medicine. Pain Medicine 14(1): 124–44
4. Tsui SL, Law S, Fok M, et al. Postoperative analgesia
reduces mortality and morbidity after esophagectomy. Am J
Surg 1997; 173: 472– 8.
5. Wheatley RG, Madej TH, Jackson IJ, et al. The first year’s
experience of an acute pain service. Br J Anaesth 1991;67:353–
9.
6. Phua DSK, Leong WM, Yoong CS. The acute pain service
after ten years: experiences of a Singapore public hospital.
Singapore Med J 2008; 49 (12) : 1007-11
7. Ahmed A, Yasir M. Role of acute pain service in
optimizing postoperative pain relief in a tertiary care
teaching hospital. J Pak Med Assoc (JPMA) 2015; 65: 1164-
1168.
8. Nasir D, Howard JE, Girish P, Joshi, Hill GE. A Survey of
Acute Pain Service Structure and Function in United
StatesHospitals. Pain Research and Treatment 2011,1-8
9. Lee TW. Does an acute pain service influence surgical
outcome?. HKMJ 1996;2: 385-8
35
10. Rawal N. 1997. Organization of acute pain services—A
low-cost model. Acta Anaesthesiologica Scandinavica
111(suppl): 188–90.
11. Ready LB, Oden R, Chadwick HS et al. 1988. Development
of an anesthesiology-based postoperative pain management
service. Anesthesiology 68(1): 100–6.
12. Schug SA, Haridas RP. 1993. Development and organi-
zational structure of an acute pain service in a major teaching
hospital. Australian and New Zealand Journal of Surgery 63(1):
8–13

36
WORKSHOP
BLOK AKSILARIS, BLOK SUPRASCAPULAR,
DAN BLOK WRIST
Doso Sutiyono

BLOK AKSILARIS

Pendahuluan
Blok aksilaris adalah tehnik yang dipilihu ntuk anestesi
pada lengan bawah. Blok aksilaris adalah sebuah tehnik anestesi
regionnal dasar yang banyak digunakan untuk memblok pleksus
brakialis. Komplikasi yang minimal, lokasi yang mudah dijangkau
dan efek analgetik yang bagus pada otot lengan bawah membuat
tehnik ini cocok untuk anestesi dengan waktu yang lama.

Anatomi
Pleksus brakialis berasal dari rami utama ventral saraf
tulang belakang C5-T1dan memanjang dari leher kepuncak aksila.
Pleksus brakialis adalah jaringan syaraf yang rumit yang
dideskripsikan dar iproksimal sampai distal sebagai berikut:
Akar(daerahinterscalene), batang dan bagian (daerah suprakla-
vikular),rami(daerah infraclavicular) dan cabang terminal (dae-
rahaksila). 1
Secara umum, pleksus brakiali smemberikan kelenturan
sensorik dan motoric ke ekstremitas atas meskipun ada beberapa
pengecualian: saraf pectoral lateral (C5-7) dan saraf pectoral
medial (C8,T1) memasok otot-otot dada; Saraf toraks yang panjang
(C5-7)memasok otot anterior serratus; Saraf torakodorsal (C6-
8)memasok otot latisimus dorsi dan saraf supraskular menopang

37
otot supraspinatus dan infraspinatus. 1

Gambar1 .Pleksusbrakialis 1

Di daerah aksila pleksus brakialis terpecah menjadi n.


medianus, n. ulnaris, n. aksilaris, dan n. muskulokutaneus. N.
medianus mempunyai fungsi abduksi, n. Muskolukutaneus untuk
fleksi elbow, n.radialis untuk ekstensi,dan n.ulnaris untuk fleksi.
Saraf yang akan diberi anestesi terletak disekitar arteri aksilaris.
Karena dari observasi didapatkan selubung tunggal dapat dipecah
menjadi kompartemen terpisah oleh septa fascial yang menge-
lilingi saraf didalam aksila, anestesi local harus disuntikkan
kebeberapa tempat diketiak.

38
Gambar2.Anatomi area aksilaris 2,3

Premedikasi
Meskipun dosis opioid ringan (50 sampai 100 µg fentanil)
akan membantu meringankan ketidaknyamanan, responsivitas
pasien harus tetap dipertahankan. Dosis kecil propofol atau
midazolam dapat memberikan amnesia yang sangat baik pada
tingkat kesadaran yang masih memungkinkan untuk kerjasama.

Tehnik Pelaksanaan tanpa USG.


Blok aksilaris diindikasikan pada operasi lengan bawah dan
tangan. Bila tidak menggunakan bantuan USG, sebagai landmark
diraba a. Aksilaris. Jarum yang digunakan ukuran 3–5cm. Stimu-
lasi saraf dengan 0,2–0,4mA didapat twiiching pada tangan. Obat
anestesi local yang dibutuhkan 20–30ml. 1
Pasien berbaring terlentang dengan lengan ekstensi 90
derajat dan fleksi pada siku. Ekstensi lebih dari 90 derajat dapat
menyebabkan kepala humerus menekan a. Aksilaris sehingga
identifikasi akan sulit.

Gambar 3. Posisi pasien untuk blok aksilaris. 2

39
Gambar 4. Landmark pulsasi a.Aksilaris 2

Gambar5. Injeksiblokaksilaris 1

Punlksi dilakukan dengan sudut 45 derajat sefalad, persis


disamping arteri aksilaris. Injeksi obat secara multipel: pertama
saat mendapa ttwitching n.medianus /n.ulnaris, kemudian saat
mendapat twitching n. radialis dengan punksi lebih dalam. N.
muskulo kutaneus diblok terpisah dengan punksi disisi atas arteri
kearah sefalad kedalam otot thorako brakialis. Hal ini relative suli
tdan tentunya lebih mudah dengan bantuan USG.

Tehnik pelaksanaan dengan USG


Posisi pasien sama seperti tanpa USG, dipilih transduser
yang datar. Tampak gambaran keempat nervus yang kita ingin-
kan. Dengan tehnik injeksi long aksis, maka n.medianus, n.ulnaris,
radialis, dan muskolokutaneus dapat digenangi denga obat local
anestesi masing masing 3–5cc.

40
Gambar 6. USG daerah aksila. 2

Gambar 7. USG area aksila dan persarafannya. 1

Gambar 8. Teknik injeksi long aksis. 1

41
Gambar9.GambaranSonografiblokaksilar. 1

BLOK SUPRASKAPULAR

Pendahuluan
Saraf supraskapular memberikan asesoris sensoris ke sendi
glenohumeral (bahu). Blok saraf supraskarsular diindikasikan
untuk menghilangkan nyeri bahu akut misalnya, setelah operasi
bahu dan lebih efektif bila dikombinasikan dengan blokade saraf
aksilaris. Hal ini juga berguna untuk diagnosis dan pengobatan
nyeri bahu kronis sekunder akibat bursitis, radang sendi, sendi
degeneratif dan penyakit manset rotator. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa blokade menggunakan anestesi lokal dan
steroid dapat mengurangi rasa sakit dan cacat pada kondisi nyeri
bahu kronis tertentu.4

Anatomi
Saraf supraskapular (SSN) adalah saraf campuran yang
mengandung serat motor dan sensorik yang berasal dari batang
superior pleksus brakialis (akar saraf C5 dan C6). Seringkali juga
mendapat kontribusi dari akar saraf C4. SSN melewati otot
omohyoid di segitiga posterior leher. Kemudian melewati pos-
terior ke arah skapula bersamaan dengan otot omohyoid menuju
takik supraskapalan. Saraf melewati jauh ke ligamen transverses
superior melalui foramen skapula ke fosa supraspinous. Pada
takiknya, saraf berada di sebelah arteri supraskapular dan vena
tapi bejana melewati ligamen.4

42
Tehnik Pelaksanaan blok supraclavikular tanpa USG
Blok saraf suprascapular dapat dilakukan sebagai tambahan pada
prosedurprosedur pembedahan seperti arthroscopic shoulder dan
total arthroplasty shoulder. Bila dikombinasikan dengan General
anesthesia untuk prosedur shoulder arthroscopic, blok saraf
suprascapular dapat meningkatkan kualitas analgesia posto-
peratif, menurunkan kebutuhan terhadap obat-obatan anesthesia
sehingga menurunkan juga efek samping yang muncul akibat
pemberian obat-obatan tersebut. Tehnik ini juga dapat digunakan
sebagai suplemen untuk analgesia setelah tindakan total shoulder
arthroplasty. Oleh karena saraf tersebut juga ikut memberikan
cabang untuk inervasi di bagian anterior dari aksila, saraf
suprascapular juga harus ikut di-blok untuk menghasilkan efek
anestesi pada bagian anterior dari tempat masuknya athroscop
pada pasien yang sadar yang dilakukan blok interscalene sebagai
modalitas tunggal anestesi pada pasien yang dilakukan prosedur
ini.5
Blok supraclavikular menurut tehnik Meier merupakan
sebuah teknik yang sangat efektif dan mudah dilakukan, nervus
supraskapular akan terblokade secara selektif dimana dilakukan

43
melalui takik skapular (skapular notch) di dasar fossa supras-
pinata. Saraf ini tidak menyediakan dermatom sendiri, tetapi
menginervasi otot infraspinatus/supraspinatus dan bagian
penting dari kapsul dan ligamen di sendi bahu. Blok ini sangat
cocok untuk manajemen physiotherapeutic konservatif sindrom
frozen shoulder atau untuk analgesia sekunder untuk operasi
bahu.6,7,8
Pasien duduk dengan kepala menunduk; dan pasien
menempatkan tangan mereka ke sisi bahu kontralateral terhadap
sisi yang akan diblok. Skapula dengan demikian terangkat dari
dinding thoraks belakang, membuat tulang belakang scapula
mudah untuk meraba. Tepi medial dan lateral tulang belakang
ditandai dan garis yang menghubungkan antara dua titik dibagi
menjadi dua bagian. Tempat injeksi ditandai sekitar 2 cm kranial
dan 2 cm lateral dari titik ini .

Tehnik Blok Suprascapular Dengan Bantuan USG


Teknik pendekatan dengan USG semakin dikenal sebagai
metode pilihan untuk lokalisasi saraf dan untuk blok suprakla-
vikula. Tranduser yang digunakan adalah tipe linier.

44
Gambar 15. Gambar ultrasound dengan tehnik doppler.5

45
BLOK WRIST

Pendahuluan
Blok daerah pergelangan tangan mudah dilakukan dan
berguna untuk pembedahan ditangan dan di jari,menghilangkan
nyeri pasca operasi, meredakan nyeri seperti luka bakar
di tangan dan di jari jari. Blok wrist biasanya dilakukan tanpa
bantuan USG.

Anatomi
N. radialis Saraf terbagi menjadi dua cabang utama sekitar
dua jari proksimal ke lipatan pergelangan tangan. Biasanya
ditemukan di samping vena sefalika (sering anterior) dan bisa
melingkar di bawah Jari .9
N. medianus terletak pada lipatan pergelangan tangan,
memasuki carpaltunnel. Biasanya saraf paling baik ditemukan
tepat di bawah tendon palmaris longus (PL). Jika tendon ini tidak
ada, letaknya jauh ke fasia hanya medial ke fleksor karpi radialis .
Cabang superfisial terletak tepat di depan PL dan memasok
bagian proksimal bagian depan tangan.9
Pada saat saraf ulnaris telah mencapai lipatan pergelangan
tangan, ia telah terbagi menjadi cabang anterior dan posterior. Ini
adalah saraf sensorik dan motorik campuran (otot kecil tangan)
dan ditemukan jauh di tendon fleksor karpi ulnaris . 9

Tehnik Pelaksanaan
Blok wrist memiliki karakteristik sebagai berikut: pada
kebanyakan pasien (kecuali yang sangat besar) mereka semua
bisa dilakukan dengan jarum yang sangat kecil. Injeksi intraninal
(injeksi langsung ke saraf) dimungkinkan dan harus dihindari.
Minta pasien untuk melaporkan onset nyeri atau parestesi secara
tiba-tiba segera di blok. Jika ini dirasakan, berhenti. Suntikkan
46
obat anestesi lokal yang sangat kecil kemudian berlanjut jika tidak
ada rasa sakit atau parestesia lebih lanjut. Atau mundur sedikit,
dan coba lagi

Dengan bantuan USG yang mudah diidentifikasi adalah n.


medianusdan n. ulnaris, sedangkan n. radialis sudah bercabang
-cabang di atas lipatan pergelangan tangan.

47
48
Gambar 20. USG n. Ulnaris.10

Gambar 23. Tehnik injeksi n. medianus.11

49
DAFTAR PUSTAKA

1. USRA. Axillary Block. Diunduh dari :


www.usra.ca/regional-anesthesia/spesificblocks/upper-
limb/axillaryblock.php.
2. NYSORA. Ultrasound Guided Axillary Brachial Plexus
Block. Diunduh dari: https://www.nysora.com/ultrasound
guided-axillary-brachial-plexus-block.
3. Perdatin. Buku Ajar CPD Workshop Regional Anestesi.
2017
4. USRA. Suprascapular Nerve Block. Diunduh dari:
www.usra.ca/painmedicine/specific-blocks/peripheral-
nerves/suprascapular.php.
5. NYSORA. Combined suprascapular and Axillary (Circum-
flex) Nerve Block: The Shoulder Block. Diunduh dari:
https://www.nysora.com/combined-suprascapularand-
axillary-circumflex-nerve-block.
6. Lawry GV et al.. 2010. Fam’s Musculoskeletal Examination
And Joint Injection Techniques. Elsevier Mosby
7. Harmon D. 2007. Ultrasound-Guided Supraskapular
Nerve Block Technique. Pain Physician; 10:743-746
8. Macfarlane A, Dan Brull R. 2009. Ultrasound Guided
Supraclavicular Block. The Journal Of New York School Of
Regiional Anesthesia May 2009 Vol 12.
9. NYSORA. Ultrasound Guided Wrist Block. Diunduh dari :
https://www.nysora.com/ultrasound-guided-wrist-block.
10. Smith CF, Dilley A, Mitchel B, Drake RL. Grays Surface
Anatomy and Ultrasound. Toronto: Elsevier. 2018; 123 -6.
11. Malanga G, Mautner K. Atlas of Ultrasound-Guided
Musculoskeletal Injections. New York: Mc Graw Hill
Education. 2014; 47 – 102.

USG untuk Blok Pleksus Brakialis

50
dr. H. Heri Dwi Purnomo, Sp.An, M.Kes. KMN. FIPM. KAR.

A. Pendahuluan

Dalam beberapa tahun terakhir ini praktek anestesi regional


dan khususnya blok saraf perifer untuk anestesi dan analgesia
pasca operasi telah berkembang dengan pesat. Beberapa keung-
gulan blok saraf perifer telah banyak diketahui dibandingkan
dengan anestesia umum. Selain memberikan analgesia yang
efektif, beberapa efek samping yang minimal dan dapat mem-
percepat penyembuhan pasien. Akan tetapi praktek anestesi
regional tidak mendapat dukungan luas karena tingkat keber-
hasilan yang tidak konsisten, bervariasi dari satu ahli anestesi
untuk lain serta pelaksanan teknik yang lama. Metode lama
dalam menentukan lokasi saraf (misalnya, parestesia dan
stimulasi saraf) pada dasarnya merupakan prosedur yang "blind",
karena keduanya bergantung pada bukti respon tak langsung dari
kontak jarum-saraf. Dengan metode “trial and error“ serta gerakan
jarum yang acak, dapat menyebabkan komplikasi. Meskipun
jarang, komplikasi seperti injeksi anestesi lokal intravaskular
mengakibatkan keracunan sistemik, cedera tulang belakang
setelah blok interscaleneus, pneumotoraks setelah prosedur blok
supraklavikula, dan cedera saraf kesemuanya tersebut telah
dilaporkan dapat terjadi pada prosedur ini.

Panduan pencitraan untuk melihat saraf menunjukkan hasil


yang menjanjikan dapat meningkatkan keberhasilan blok saraf
dan menurunkan komplikasi. Di antara modalitas pencitraan
yang saat ini tersedia, ultrasonografi tampaknya paling cocok
untuk anestesi regional. Keuntungan yang paling signifikan dari
teknologi USG adalah kemampuan untuk memberikan pemerik-
saan anatomi dari pada “area of interest“ secara real time.
Pencitraan USG memungkinkan seseorang untuk memvisuali-
sasikan struktur saraf (pleksus dan saraf perifer) dan struktur
sekitarnya (misalnya, pembuluh darah dan pleura), kemudian

51
mengarahkan jarum menuju target saraf, dan memvisualisasikan
pola persebaran obat anastesi lokal.

Blok saraf yang dipandu ultrasound sekarang menjadi


praktik standar anestesi regional dan telah terbukti memerlukan
lebih sedikit volume anestesi lokal dan mengurangi kejadian
komplikasi. Blok pleksus brakialis dapat dilakukan melalui rute
interscalene, supraclavicular, infraclavicular atau axillary.
Masing-masing pendekatan ini memiliki keuntungan dan risiko
masing-masing. Artikel ini menjelaskan indikasi, sonoanatomi
dan teknik yang relevan untuk melakukan blok dan kemajuan
terkini.

B. Anatomi
Pleksus Brachialis menginervasi hampir seluruh anggota
tubuh bagian atas. Oleh karena itu, memblok Pleksus Brachialis
akan menyebabkan anestesia sebagian besar anggota tubuh
bagian atas. Pleksus Brachialis diidentifikasi melalui akar saraf
dan trunkus di regio interscalene, divisi di region suprakla-
vikularis, cord di regio infraklavikularis dan percabangan saraf
terminalis di regio aksila (Gambar 1). Pleksus Brachialis dibentuk
oleh rami primer ventral (atau anterior) dari saraf tulang belakang
C5-T1. Pleksus Brachialis terletak pada segitiga posterior regio
cervical di sepanjang batas posterior otot sternokleidomastoid
yang muncul dari alur Interscalenus antara muskulus scalenus
anterior dan muskulus scalenus medial. Ini adalah lokasi untuk
melakukan blok Interscalenus seperti yang akan dijelaskan nanti.
Lima akar pleksus muncul dan bersatu membentuk tiga trunkus.
Struktur ini dinamakan sebagai trunkus atas, tengah dan bawah
sesuai posisi anatomi mereka. Dua akar bagian atas (C5, 6)
membentuk trunkus atas, akar tengah (C7) membentuk trunkus
tengah, dan dua akar bawah (C8, T1) membentuk trunkus bawah.
Di belakang pertengahan klavikula, masing-masing trunkus
terbagi menjadi dua divisi - anterior dan posterior.

52
Gambar 1: Pembentukan pleksus brakialis. Perkiraan lokasi
blok yang diindikasikan.
[ISB: Blok Interscalene, SCB: Blok Supraclavicular, ICB: Blok
Infraclavicular, AXL: Blok Axillary]

Tiga divisi posterior bergabung membentuk cord posterior,


divisi anterior dari trunkus atas dan tengah membentuk cord
lateral dan divisi anterior dari trunkus bawah berlanjut sebagai
cord medial. Nama cord didasarkan pada hubungan mereka
dengan arteri aksilaris. Saraf yang berasal dari cord dilapisi
dengan arteri di selubung neurovaskular, selubung aksilaris. Ini
adalah struktur multi-kompartemen yang dibentuk oleh lapisan
tipis jaringan fibrosa dengan septae fascial diskrit. Saraf terjerat
dalam jaringan ini yang menciptakan kompartemen fascial
individual untuk masing-masing. Kompartemen ini berpotensi
membatasi penyebaran melingkar dari injeksi larutan, sehingga
memerlukan injeksi terpisah ke dalam setiap kompartemen untuk
blokade saraf yang maksimal. Bukti literatur saling bertentangan
apakah satu injeksi akan cukup atau beberapa injeksi diperlukan.
Kedekatan dengan pembuluh darah juga meningkatkan risiko
pungsi vaskular.
Arteri subklavia dapat berguna jika terjadi keraguan di
regio SC. BP terletak superoposterolateral ke arteri tepat di atas
53
klavikula. Percabangan kompleks dan penyatuan akar dan divisi
juga berarti bahwa saraf perifer tertentu memiliki asal akar spinal
multipel. Untuk contoh, selama memblok trunkus atas saja tidak
akan sepenuhnya menutup saraf muskulokutaneus yang berasal
dari C 5, 6 dan 7, seharusnya menutup saraf aksilaris yang hanya
memiliki serabut dari C5, 6 saja. Saraf ulnaris berasal dari C 8 - T1,
yang berarti blok trunkus bawah seharusnya cukup. Akar yang
lebih rendah yang berasal dari akar ulnaris juga berarti bahwa
blok IS gagal membloknya pada 50% pasien. Saraf seperti median
(C6 - T1) dan radial (C5 - T1) memiliki asal yang lebih luas dan
membutuhkan semua trunkus untuk diblok. Terdapat variasi
anatomis pada sekitar 12% pasien dimana saraf memiliki cabang
dari akar yang berbeda, dll. Hal ini dapat menyebabkan sebagian
blok efektif jika hanya cabang terpilih yang ditargetkan. Jenis blok
tergantung pada sifat operasi (Tabel 1).

Table 1: Pemilihan blok


Pendekatan Level Lokasi operasi
Interscalene Roots/Trunks Bahu, lengan atas,
siku
Supraclavicular Trunks, Proximal Lengan dan lengan
divisions bawah
Infraclavicular Cords Lengan bawah,
pergelangan tangan,
tangan
Axillary Individual nerves Lengan bawah,
pergelangan tangan,
tangan

Beberapa saraf yang bukan bagian dari pleksus brakialis


penting karena tidak tertutup oleh blokade BP [11]. Saraf SC (C3-
C4) menyediakan inervasi sensoris ke area "cape" yang menutupi
bahu. Saraf intercostobrachial berasal dari rami ventral thorakalis
kedua (T2) dan dengan saraf kutaneous medial, menginervasi
lengan dalam bagian atas.

54
C. Prinsip USG
Berdasarkan ekogenisitas, struktur dapat dikategorikan
sebagai hyperechoic (putih di layar), hypoechoic (abu-abu di
layar) dan anechoic (hitam di layar) [15]. Saraf proksimal adalah
struktur bulat hipoechoic (gelap dengan lingkaran putih), yang
serupa dengan pembuluh darah tapi tidak kolaps atau tidak
berdenyut. Hal ini penting karena tidak terlalu sulit untuk menga-
sumsikan pembuluh darah berdekatan menjadi trunkus saraf,
misalnya BP dan arteri vertebralis. Penggunaan fitur Doppler di
mesin USG akan membantu mengidentifikasi pembuluh darah
jika ragu. Larutan anestetik lokal yang diinjeksikan akan muncul
sebagai bayangan hypoechoic yang meluas saat diinjeksikan. Jika
ada resistensi terhadap injeksi, ia menjamin penarikan jarum
untuk menghindari injeksi intra-neural dan kerusakan yang
diakibatkan. Hal ini berbeda dengan penampilan saraf perifer
yang lebih kecil didominasi struktur hiperekoik yang terang
dengan tekstur sarang lebah pada pemindaian transversal atau
melintang. Sampai satu pengalaman mendapatkan penampilan
sonografi dan lokasi struktur saraf, tidak akan masuk akal untuk
menggunakan stimulator saraf yang dikombinasikan dengan
panduan USG. Perlu dicatat bahwa stimulasi saraf pada pasien
yang terjaga terasa sakit dan harus dihindari jika memungkinkan.
Ligamen dan tendon memiliki penampilan yang mirip dengan
saraf distal (hyperechoic, namun tidak memiliki tampilan "honey-
comb"). Untuk konfirmasi, seseorang dapat melacak "struktur
target" secara proksimal atau distal untuk membedakan saraf dari
tendon berdasarkan anatomi (tendon akan dapat dilacak pada
tubuh otot).
Teknik blok biasanya digambarkan sebagai pendekatan 'In
plane' atau 'out of plane'. 'In plane' di mana USG beam sejajar
dengan jarum. Hal ini memungkinkan visualisasi panjang jarum.
Pendekatan “out of plane” mirip dengan bagian transversal
dimana hanya bagian penampang melintang jarum yang terlihat.
Perhatikan bahwa seseorang dapat menempatkan probe sede-
mikian rupa sehingga saraf yang bersangkutan divisualisasikan
dalam tampilan potongan melintang namun jarum disisipkan
55
sejajar dengan beam. Terminologi “in plane” hanya berlaku untuk
hubungan jarum dengan USG beam dan bukan saraf yang
divisualisasikan. Untuk semua blok BP, linier (misal 38 mm)
probe frekuensi tinggi (8-12MHz) dan jarum sepanjang 50 mm
direkomendasikan. Prinsip seleksi pasien serupa dengan blok
saraf regional lainnya dalam hal persetujuan, keahlian operator
dan durasi prosedur dll. Demikian pula, prinsip pilihan probe,
sterilitas dan ergonomi harus diikuti. Anestesi regional yang
dipandu USG, bila digunakan oleh dokter berpengalaman dalam
penggunaannya, dapat menurunkan kejadian pungsi vaskular,
dan oleh karena itu membuat prosedur seperti blok SC lebih
aman dengan adanya koagulasi yang berubah. Blok BP yang
dipandu USG tidak dikontraindikasikan bersamaan dengan
adanya koagulopati. Manfaat dan risiko pemberian harus dinilai
berdasarkan masing-masing pasien.

D. Blok Plexus Brakhialis Interscaleneus


Akar saraf pleksus Brakhialis berada pada alur Inter-
scalenus antara muskulus scalene anterior dan medial sejajar
dengan kartilago krikoid. Alur Interscalenus terletak lateral dari
muskulus scalenus anterior dan jauh dari otot sternokleido-
mastoid. Saraf frenikus menyilang muskulus skalenus anterior
dan terletak di antara otot itu dan sternokleidomastoideus. Oleh
karena itu ada risiko kelumpuhan diafragma unilateral sebagai
komplikasi blok ini jika anestesi lokal diinjeksikan secara tidak
benar. Kejadian kelumpuhan saraf frenikus dengan blok
Supraklavikula adalah 67% pada tiga dekade yang lalu. Namun,
studi terbaru menempatkan kejadian mendekati 17%. Pengguna-
an panduan USG hampir dapat menghilangkannya komplikasi
tersebut bahkan untuk blok bilateral. Kedalaman pleksus pada
tingkat cricoid adalah prosesus transversal C6 bersama dengan
arteri vertebralis. Oleh karena itu, injeksi anestesi lokal ke dalam
arteri vertebralis adalah komplikasi dapat menyebabkan toksisitas
anestesi lokal. Kedekatan dengan ruang epidural menyebabkan
risiko penyebaran anestesi lokal intrakranial, jika diinjeksikan di

56
dekat akar saraf karena timbul dari foramen neural atau ber-
sebelahan dengan prosesus transversus.

Sonoanatomi:
Pada umumnya pleksus Brakhialis biasanya berukuran
hanya 12 - 20 mm (1 sampai 2 cm) di dibawah kulit, jarum 50 mm
diperlukan untuk pendekatan “in plane”. Akar saraf terlihat
sebagai struktur lingkaran hypoekhoik antara muskulus skalenus
pada level kartilago krikoid. Penggunaan bersama stimulator
saraf menghasilkan kontraksi deltoid atau biseps. Kontraksi
diafragma menunjukkan stimulasi saraf frenikus dan penempatan
ujung jarum terlalu ke antero medial. Stimulasi otot trapezius
menunjukkan penempatan jarum terlalu ke posterior.

Teknik:
Posisikan pasien telentang dengan kepala agak miring ke
sisi yang berlawanan. Visualisasikan arteri karotis dan vena
jugularis interna pada tingkat krikoid. Identifikasi otot sternoklei-
domastoideus yang superfisial ke pembuluh darah dan pindah-
kan probe secara bertahap ke arah lateral. Pada titik ini, lebih
dalam ke arah sternomastoid terdapat muskulus skalenus anterior
dan medial ke arah lateral. Alur terletak di antara otot-otot ini
biasanya sejalan dengan tepi lateral sternomastoid dan akar saraf
pleksus Brakhialis atau trunkus yang divisualisasikan dalam alur
ini. Saraf di alur tampak hypoekhoik dan bulat. Salah satu
deskripsi adalah 'lampu lalu lintas' di mana ketiga trunkus
tersebut terlihat vertikal di atas satu sama lain saat probe
ditempatkan pada sudut kanan ke arah turunannya (Gambar 2, 3).
Bergantung pada posisi probe, seseorang bisa melihat divisi
trunkusnya. Lebih dalam ke arah saraf, seseorang mungkin dapat
memvisualisasikan prosesus transversal hypoechoic dari C6 dan
arteri vertebralis. Prosesus transversal cervical muncul sebagai
struktur berbentuk 'U' yang lebih cerah. Arteri vertebral hanya
divisualisasikan di bawah prosesus transversal C6, yang berguna
untuk mengidentifikasi akar saraf yang spesifik. Untuk pende-
katan “in plane”, masukkan jarum dari ujung lateral USG probe
57
(Gambar 3). Dosis 10-15 ml biasanya cukup untuk menginduksi
pleksus brakialis total walaupun risiko keterlibatan saraf frenikus
diminimalkan jika volume yang lebih kecil dari 5 ml digunakan.
Telah dilaporkan bahwa 5 mL ropivakain 0,75%, atau sekitar 1,7
mL untuk masing-masing dari tiga trunkus pleksus brakialis
(superior, medial, dan inferior) cukup untuk menyelesaikan
anestesi bedah untuk operasi bahu. Seluruh pleksus brakialis
dapat diblok dari posisi ini dengan sedikit reposisi jarum untuk
memasukkan akar T1, yang merupakan bagian dari saraf ulnaris
dan tidak terhambat oleh panduan stimulasi saraf. Kateter juga
dapat dimasukkan ke dalam ruang Interskalenus jika mengi-
nginkan anestesi pleksus brakialis secara kontinyu.

Gambar 2: Sonoanatomi pada tingkat interscalene. Perhatikan


posisi 'lampu lalu lintas' pada trunkus (panah putih). Scalene
anterior merupakan medial dari otot scalene medial

Seseorang juga dapat menggunakan pendekatan Trace back


dimana arteri subklavia pertama kali diidentifikasi di atas bagian
tengah klavikula pada fossa Supraklavikula. Lebih ke dalam ter-
dapat arteri, pleura hyperechoic dan tulang rusuk pertama.
Trunkus dan divisi pleksus brakhialis terlihat sebagai sekelompok
buah anggur pada superior dan lateral dari arteri subklavia. Probe

58
secara bertahap bergerak ke atas menuju regio Interskalenus
sementara pandangan tetap pada saraf.

Gambar 3: Posisi probe untuk blok interscalene. Umumnya


setingkat kartilago krikoid. Jarum dimasukkan dari sisi lateral
untuk pendekatan “in plane”

E. Blok Plexus Brakhialis Supraclavicular


Blok Supraclavicular memberikan anestesi dengan onset
lebih cepat, densitas dan dapat diprediksi keberhasilannya pada
ekstremitas atas karena sarafnya berdekatan sekali. Ini memberi-
kan anestesi dan analgesia untuk operasi lengan atas dan lengan
bawah. Blok ini juga berguna untuk operasi shunt arterio-vena
pada pasien yang membutuhkan dialisis.

Sonoanatomi:
Pleksus Brakhialis dan arteri subklavia terletak di atas
tulang rusuk pertama. Pleksus Brakhialis terletak lateral dan
posterior arteri subklavia. Vena subklavia dan otot scalene
anterior berada medial dari arteri subklavia. Pleura biasanya
ditemukan 1-2 cm agak jauh dari Pleksus Brakhialis. Ini menje-

59
laskan kasus pneumotoraks sebelum era USG. Pneumotoraks
masih dapat terjadi dengan penggunaan USG jika struktur tidak
diidentifikasi dengan benar. Perhatikan bahwa kedua pleura dan
tulang rusuk pertama memiliki tepi hyperechoic. Namun, pleura
bergerak seiring dengan usaha nafas. Tulang rusuk memiliki
bayangan anechoic di bawahnya karenanya menghalangi
gelombang USG.

Teknik:
Blok Supraclavicular dilakukan pendekatan in-plane karena
risiko pungsi pleura. Posisikan pasien telentang dengan kepala
sedikit miring ke sisi kontralateral. Memiringkan pasien ke sisi
yang berlawanan dengan bantal di bawah bahu memberi lebih
banyak ruang untuk mengakses pleksus dari arah lateral ke arah
medial. Probe ditempatkan dengan kuat di atas fossa Supracla-
vicular di bidang oblique koronal dengan probe menunjuk ke
kaudal (Gambar 4).

60
Gambar 4: Posisi probe untuk blok supraclavicular. Perhatikan
perubahan orientasi probe bila dibandingkan dengan pendekatan
interscalene

Probe secara pelan diputar dan miring untuk mendapatkan


pandangan melintang terbaik dari arteri subklavia. Pleksus
Brakhialis di regio Supraclavicular tampak hipoechoik dan berada
di posterior arteri subklavia yang pulsatile dan superior dari
tulang rusuk pertama. Jika perlu, trunkus saraf dari alur Inter-
skalenus dapat diikuti, ke regio Supraclavicular untuk meng-
identifikasi divisi Pleksus Brakhialis sebagai tampilan 'sekelom-
pok anggur' di atas dan di lateral arteri subklavia (Gambar 5).
Bersamaan dengan penggunaan stimulator saraf menghasilkan
biseps dan triceps berkedut atau otot tangan berkedut.

Gambar 5: Sonoanatomi pada tingkat supraclavicular. Perhatikan


pleksus yang terlihat seperti 'sekelompok buah anggur' yang
ditempatkan posterolateral ke arteri subklavia

Amati anestesi lokal menyebar di sekitar pleksus secara real


time selama injeksi. Tujuan untuk memasukkan anestesi lokal
pada awalnya segera di atas tulang rusuk pertama dan di sam-
ping arteri subklavia untuk membius trunkus bawah. Ini biasanya
61
mengangkat Pleksus Brakhialis jauh dari arteri dan memung-
kinkan penyebaran bius lokal meluas di sekitar pleksus.
Penggunaan Doppler Warna dianjurkan untuk mengidentifikasi
pembuluh darah kecil (Supraclavicular atau arteri cervical
trasversal) di sekitar pleksus yang berada di sepanjang jalur jarum
dan menyerupai trunkus/divisi saraf hypoechoic.

F. Blok Plexus Brakhialis Infraklavikuler


Pendekatan ini menargetkan cord Pleksus Brakhialis. Pada
tingkat Infraklavikula, cord diatur di sekitar arteri aksilaris dan
dinamai secara anatomis. Vena aksilaris terletak di medial dan
caudad dalam kaitannya dengan arteri. Otot pectoralis mayor dan
minor terletak di anterior Pleksus Brakhialis dan seseorang dapat
melihat kontraksi otot-otot ini jika stimulator saraf digunakan.
Pleura terletak 0,5 -1 cm ke dalam arteri aksilaris. Oleh karena itu,
penting untuk menentukan jarak pleura kulit sebelum penyisipan
jarum dan tidak memasukkan jarum lebih dalam dari jarak ini.
Pada 1146 kasus blok pleksus brakialis yang dipandu oleh
sonografi, pungsi arteri terjadi pada 8 (0,7%) pasien. Tidak ada
laporan kasus cedera saraf, pneumotoraks, atau toksisitas anestesi
lokal. Pendekatan normal tidak sesuai dengan adanya faktor
seperti alat pacu jantung. Sebuah tinjauan Cochrane terbaru
menyimpulkan bahwa pendekatan IC seaman dan efektif seperti
blok BP lainnya, terlepas dari apakah panduan stimulator USG
atau saraf digunakan. Kelebihan ICB mencakup kemungkinan
yang lebih rendah dari nyeri turniket selama operasi, blokade
saraf muskulokutan yang lebih terpercaya bila dibandingkan
dengan blok aksila injeksi tunggal, dan waktu kinerja blok yang
jauh lebih pendek dibandingkan dengan multi injeksi aksilaris
dan blok mid-humeral.

Teknik:
Posisikan pasien terlentang dengan lengan yang akan
diblok beristirahat di samping pasien. Menggunakan probe
dengan lengkungan kecil akan memberikan bidang penglihatan
yang lebih luas dibandingkan dengan probe linier. Mengiden-
62
tifikasi prosesus coracoid dan memindahkan probe secara medial
ke dalam bidang parasagital untuk mendapatkan pandangan
transversal arteri aksilaris dan vena (Gambar 6).

Gambar 6: Posisi probe untuk blok infraclavicular. Probe hampir


di dalam bidang sagital tubuh. Perhatikan pendekatan jarum dari
'atas'

Setelah mengidentifikasi prosesus coracoid di daerah


infraclavicular, identifikasi pembuluh aksilaris yang dalam ke otot
pectoralis. Saraf di daerah ini tampak hiperekoik, dengan cord
lateral di lateral dan superfisial ke arteri aksilaris (posisi pukul 9-
12), cord posterior terletak di posterior arteri (posisi pukul 6-9)
dan cord medial terletak medial dan caudad (posisi pukul 3-6)
(Gambar 7). Cord posterior bisa dibingungkan dengan pening-
katan akustik dari arteri. Abduksi lengan akan membawa tiga
cord lebih superfisial dan akan meningkatkan visualisasi saraf.
Pendekatan in-plane dianjurkan untuk memvisualisasikan
poros jarum dan tip sepanjang waktu selama prosedur berlang-
sung. Majukan jarum dari ujung cephalad probe di bawah
klavikula menuju ujung caudad in plane dengan probe dan USG
beam. Tujuannya adalah untuk menyetorkan anestesi lokal ke

63
posterior arteri sehingga terbentuk U yang tersebar di sekitar
arteri dan ketiga cord itu. Volume 20 - 25 ml yang lebih tinggi
diperlukan untuk blok ini.

Gambar 7: Sonoanatomi pada tingkat infraclavicular. Cord


berada di posisi pukul 2, 6 dan 11

G. Penggunaan Blok Pleksus Brakhialis


Terlepas dari anestesi dan analgesia pasca operasi, blok
Pleksus Brakhialis yang dipandu USG telah digunakan dalam
pengelolaan iskemia tungkai atas pada neonatus. Saraf somatik
juga membawa serabut simpatis ke pembuluh pada ekstremitas
atas distal, yang menyebabkan vasodilatasi. Blaivas dan Lyon
menggunakan blok Pleksus Brakhialis yang dipandu USG untuk
membantu pengurangan bahu terkilir di instalasi Gawat Darurat.

H. Ringkasan
Blok Pleksus Brakhialis yang dipandu dengan USG menjadi
standar praktek klinik anestesi regionak. Pemakaian USG telah
terbukti lebih efektif, kurang memiliki komplikasi dan
memerlukan waktu yang lebih cepat. Ada berbagai pendekatan
terhadap blok Pleksus Brakhialis yang tersedia tergantung pada
kebutuhan dan masing-masing memiliki kelebihan dan keku-
rangannya. Pengguna USG perlu memperdalam pengetahuan dan

64
menambah jam terbang untuk lebih menguasai gambaran pada
layar USG.

I. Daftar Pustaka
Chan V. W. S. Ultrasound Imaging for Regional Anesthesia: A
Practical Guide, Toronto Centre for Ultrasound Education
2013.
Hadzic A, Vloka JD, Peripheral Nerve Blocks, The McGraw-Hill
Companies 2004.
Kannan S, Marri S, Sivasubramaniam S. USG for Brachial Plexus
Block. Anaesth Pain Intensive Care. 2015;19 (30:333-340).
Ultrasound-Guided Brachial Plexus Block,New York School of
Regional Anesthesia, 2007.

BLOK SYARAF FEMORALIS, BLOK


SYARAF PERIFER DAN BLOK
ABDUCTOR CANNAL
dr. Ristiawan Muji Laksono, Sp.An, KMN

Absract
Dalam makalah ini kami menjabarkan Teknik Blok Syaraf
Femoralis, Blok Syaraf Perifer dan Blok Abductor Cannal, dimana
Teknik blockade syaraf ini bertujuan untuk mengatasi rasa nyeri
pasca operasi. Penggunaan metode Block disesuaikan dengan
lokasi pembedahan serta regio block yang di kehendaki.
Makalah ini bertujuan untuk memberikan pilihan bagi
dokter anestesi dalam melakukan mangenent nyeri yang efektif
pasca operasi. Dengan adanya makalah ini diharpkan dapat
memberikan kenyamaman pada pasien pasca operasi serta
65
memininalisir penggunaan obat-obat analgetik dan mengurangi
efek samping dari penggunaan obat analgetik.

Kata Kunci : Block Syaraf, Analgetik, Managemet Nyeri

Absract
In this paper we describe the Femoral Neural Block
Technique, Peripheral Nerve Blocks and the Abductor Cannal
Block, where the neural blockade technique aims to overcome
postoperative pain. The use of Block method adapted to the
location of surgery and the region of the block in the desired.
This paper aims to provide an option for an anesthesiologist
in performing effective postoperative pain mangenent. Given this
paper it is expected to provide comfort in postoperative patients
as well as to minimize the use of analgesic drugs and reduce the
side effects of using analgesic drugs.

Keywords: Neural Block, Analgetic, Pain Management

BAB I
Pendahuluan

Blok saraf femoralis adalah teknik blok saraf klasik yang


mudah dikuasai, memiliki risiko komplikasi yang rendah, dan
memiliki aplikasi klinis yang sangat bermakna untuk anestesi
bedah dan manajemen nyeri pasca operasi. Blok femoralis sangat
sesuai untuk operasi pada femur anterior dan lutut, repair tendon
quadriceps femur dan manajemen nyeri pascaoperasi setelah
operasi tulang femur dan knee. Bila dikombinasikan dengan blok
saraf skiatik, anestesi hampir seluruh ekstremitas bawah dari
tingkat midthigh dapat dicapai.
Blok saraf popliteal adalah blok saraf sciatic pada fosa
poplitea dengan posisi pasien tengkurap. Blok ini sangat ideal

66
untuk operasi kaki bagian bawah, terutama daerah telapak dan
pergelangan kaki. Tidak seperti pendekatan proksimal saraf
skiatik, blok saraf poplitea menjaga fungsi hamstring, memung-
kinkan lebih mudah ambulasi pasien pasca operasi. pasien harus
berhati-hati terhadap kemampuan menahan berat badan pada
ekstremitas bawah yang dilakukan blok anesthesi selama 24 jam,
seperti halnya semua blok saraf skiatik.
Blok kanal adductor adalah salah satu cara blok saraf
femoralis, dengan pendekatan ke paha bagian bawah sehingga
sebagian besar persarafan motoris paha depan tidak termini-
pulasi. Sebagian besar kekuatan paha depan bertahan pada blok
ini, sehingga membuat mobilisasi dan rehabilitasi medis lebih
cepat dan aman.

BAB II
Tinjauan Pustaka

A. FEMORALIS BLOCK
1. Anatomy
Nervus femoralis adalah cabang terbesar pleksus lumbar,
yang berasal dari nervus lumbalis kedua, ketiga, dan keempat.
desenden nervus femoralis melewati otot psoas, muncul dari
psoas di bagian bawah perbatasan lateral, dan turun ke bawah
antara psoas dan iliaka. Nervus femoralis akhirnya melewati
ligamentum inguinalis ke femur, dimana bentuk yang lebih rata
(Gambar 1). Ligamentum inguinalis adalah titik konvergen fasia
transversalis (kantung fascial yang melapisi permukaan dalam
dinding abdomen anterior) dan fasia iliaka (fascia yang menutupi
dinding abdomen posterior).

Saat melewati ligamentum inguinalis, saraf diposisikan


secara lateral dan sedikit lebih dalam daripada arteri femoralis

67
diantara otot psoas dan iliacus. Pada lipatan femoralis, saraf
berada di permukaan otot iliaka dan ditutupi oleh iliaca fasia atau
terjepit di antara dua lapisan iliaca fasia. Sebaliknya, fasia vas-
kular arteri femoralis dan vena, perpanjangan berbentuk corong
fasia transversalis, membentuk kompartemen yang berbeda dari
nervus femoralis namun sering mengandung cabang femoralis
saraf genitofemoral ke pembuluh (Gambar 2). Pemisahan fisik
saraf femoralis dari fascia vaskular menjelaskan tidak adanya
penyebaran injeksi "blind paravaskular" dari anestesi lokal
terhadap saraf femoralis.

68
Gambar 1.1: Anatomy of the femoral triangle. (1) femoral artery. (2) femoral nerve.
(3) femoral vein. (4) anterior superior iliac spine. (5) inguinal ligament. (6) Sartorius

Gamba 1.2 : selubung fasia di segitiga femoralis. Saraf femoralis diselimuti oleh dua
lapisan iliaca fasia, sedangkan pembuluh femoralis berada dalam selubung pembuluh
darah (femoralis) yang terdiri dari fascia lata.

69
Cabang-cabang pada otot sartorius keluar dari anterior
medial nervus femoralis menuju otot sartorius. Karena otot
sartorius berkedut mungkin merupakan hasil stimulasi cabang
spesifik ini dan bukan nervus femoralis, respons motor sartorius
tidak boleh diterima. Meskipun jarum pada posisi yang tepat
(dekat dengan batang utama saraf femoralis) sering menyebabkan
otot sartorius berkedut, pepatah paha depan menghasilkan
blokade yang lebih konsisten, dan secara rutin harus dicari
sebelum menyuntikkan anestesi lokal kecuali jika ultrasound
digunakan bersamaan.

Saraf femoralis mensyarafi cabang otot iliaka dan pectineus


dan otot paha anterior, kecuali tensor fascia lata. Saraf juga
mensyarafi cabang kulit ke sisi depan dan medial paha, kaki
medial dan kaki (saraf saphena), dan cabang artikular sendi
pinggul dan lutut.

2. Distibusi Blok

Blok saraf femoral menghasilkan anestesi pada kulit dan


otot paha anterior dan sebagian besar sendi tulang paha dan lutut
(Gambar 3). Blok ini juga menganestesi kulit pada area medial
kaki yang berada di daerah bawah sendi lutut (saraf saphena,
ekstensi terminal superfisial nervus femoralis).

3. Single Injection Femoral Blok


 Peralatan regional standar disiapkan dengan
peralatan berikut:
 linen steril dan kain kasa
 spuit 20 mL yg berisi local anestesi
 spuit 3 mL plus jarum 25-gauge berisi lokal
anestesi untuk infiltrasi kulit

70
 Jarum stimulan 5 cm, 22-gauge Stimulator saraf
perifer
 Sarung tangan steril
 Pena (penanda)

Gambar 1. 3: (A) Motor innervation of the femoral nerve. (B) Sensory innervation of
the femoral nerve and its cutaneous branches

4. 4. Landmark dan Posisi Pasien


Pasien berada dalam posisi telentang dengan kedua kaki
diluruskan. Pada pasien obesitas, bantal yang diletakkan di
bawah pinggul dapat memudahkan palpasi arteri femoralis dan
kinerja blok. landmark untuk blok saraf femoralis mudah dikenali
pada kebanyakan pasien dan mencakup lipatan femoralis
(Gambar 4) dan denyut nadi femoralis (Gambar 5). Lipatan
femoralis dapat ditekankan pada pasien obesitas dengan meminta
asisten untuk menarik perut bagian bawah secara lateral. Retraksi
abdomen harus dijaga sepanjang prosedur untuk mempermudah
palpasi arteri femoralis dan kinerja blok. Hindari tekanan
berlebihan pada lipatan saat meraba-raba untuk arteri karena bisa
mendistorsi site. Site penyisipan jarum diberi label segera lateral

71
ke denyut nadi arteri femoralis (Gambar 5). Semua landmark
harus digariskan dengan tanda pena.

Setelah persiapan menyeluruh daerah dengan larutan


antiseptik, anestesi lokal disusupi secara subkutan ke lokasi
penyisipan jarum suntik. Injeksi anestesi kulit harus dangkal dan
dalam garis yang membesar secara lateral untuk memungkinkan
insersi kembali jarum kearah lateral jika diperlukan. Ahli anestesi
harus berdiri di sisi pasien dengan tangan yang teraba pada arteri
femoralis. Jarum segera diinsersikan diperbatasan arah lateral
arteri dan ke bidang sagital,sedikit cephalad.
Setelah stimulasi awal saraf femoralis diperoleh, arus
stimulasi secara bertahap menurun sampai kedutan masih terlihat
atau terasa pada 0,2 sampai 0,4 mA, yang biasanya terjadi pada
kedalaman 2 sampai 3 cm. Setelah mendapatkan hasil negatif dari
tes aspirasi untuk darah, 15 sampai 20 mL obat bius lokal
disuntikkan perlahan

Gambar 4: Blok saraf femoralis


dilakukan pada tingkat lipatan
femoralis (garis)

72

Gambar 1. 5: landmark utama untuk blok saraf femoralis adalah arteri femoralis,
yang teraba pada tingkat lipatan femoralis. Titik penyisipan jarum hanya
bersebelahan dengan denyut nadi arteri femoralis.
5. Respon menggunakan Nerve Stimulator
 Kedutan otot paha depan yang terlihat atau teraba
(kedutan patella) pada 0,2-0,4 mA adalah respons yang
paling baik.
 Sebuah kedutan dari sartorius adalah kejadian
umum dan ini terlihat sebagai kontraksi seperti band di
paha tanpa gerakan patela.
 Kedutan otot sartorius bukanlah tanda yang dapat
diandalkan karena cabang-cabang otot sartorius berada
di luar femoralis sheath (iliacus fascia).
 Saat terjadi kedutan otot sartorius, cukup redirect
jarumnya secara lateral dan memajukannya beberapa
milimeter lebih dalam untuk mendapatkan kedutan
patella, memastikan bahwa jarum suntik berada di
sekitar saraf utama femoralis.

Bila rangsangan otot paha depan tidak didapat pada jalur


jarum pertama, tangan yang meraba sebaiknya tidak dipindahkan
dari posisinya. Sebagai gantinya, visualisasikan bidang jarum dan
mana jika stimulasi tidak diperoleh maka :
 Pastikan stimulator saraf terhubung dengan benar dan
fungsional.
 Tarik jarum sampai kulit, redirect 10 ° sampai 15 ° lateral,
dan ulangi penempatan jarum (Gambar 6).
 Ketika prosedur yang baru saja dijelaskan gagal meng-
hasilkan kedutan, jarum ditarik dari kulit dan dimasukkan
kembali 1 cm secara lateral, dan langkah-langkah yang telah
dijelaskan sebelumnya diulangi dengan insersi jarum lateral
yang lebih dalam.

73
Gambar 6: Untuk menggambarkan saraf femoralis dan /
atau pembuluh femoralis, transduser diposisikan melintang
pada lipatan femoralis seperti pada gambar.

Gambar 7: Posisi transducer dan penyisipan jarum


menggunakan teknik in-plane untuk memblokir saraf
femoralis pada lipatan femoralis.

6. Teknik dengan guiding USG


Peralatan yang dibutuhkan meliputi:
 Mesin ultrasound dengan transduser linier (8-14 MHz),
dan gel
 Baki blok saraf standar
 Satu spuit 20 mL yang berisi local anestesi
 Jarum nerve stimulator 50 sampai 100 mm, 22-gauge
 Stimulator saraf perifer

74
 Sarung tangan steril

Pasien dalam posisi terlentang, kulit di atas lipatan fe-


moralis didesinfeksi dan transduser diposisikan untuk meng-
identifikasi arteri femoralis dan/atau saraf (Gambar 7).
Jika saraf tidak segera terlihat lateral ke arteri, memiringkan
transduser secara proksimal atau distal untuk memvisualisasikan
saraf dari otot iliopsoas dan jaringan adiposa yang lebih
superfisial. Dengan melakukan itu, tujuannya untuk mengiden-
tifikasi otot iliopsoas dan fasia serta lasia fasia karena suntikan di
bawah selubung fascial yang salah mungkin tidak mengakibatkan
penyebaran anestesi lokal ke daerah yang diinginkan. Begitu
nervus femoralis diidentifikasi, insersi jarum 1 cm dari tepi lateral
transduser. Jarum dimasukkan ke dalam bidang orientasi lateral
ke medial dan maju menuju saraf femoralis (Gambar 8).
Jika menggunakan nerve stimulator (0,5 mA, 0,1 msec),
insersi jarum melalui fasia iliaca dan kontak ujung jarum dengan
nervus femoralis yang berespon respons motorik kelompok otot
kuadrisep. Selain itu, insersi jarum melalui fasia iliaca sering
dirasakan sebagai sensasi "pop". Setelah ujung jarum telihat
berdekatan (baik di atas, di bawah, atau lateral) ke saraf (Gambar
9), dan dilakukan aspirasi, 1 sampai 2 mL anestesi lokal
disuntikkan untuk mengkonfirmasi penempatan jarum yang tepat
(Gambar 10). Saat suntikan anestesi lokal tidak menyebabkan
penyebaran yang mendekati nervus femoralis, maka perlu
reposisi dan suntikan jarum tambahan mungkin diperlukan. Pada
pasien dewasa, 10 sampai 20 mL anestesi lokal cukup untuk blok
yang berhasil (Gambar 11A dan B).

75
Gambar 8: jalur jarum (1,2) untuk memblokir saraf femoralis. Kedua posisi
jarum berada di bawah fasia iliaca, satu superficial ke saraf femoralis (1) dan
satu lebih dalam (2). Jalur manapun dapat diterima asalkan anestesi lokal
menyebar ke dalam fasia iliaca (garis putih) untuk kontak dengan saraf
femoralis.

Gambar 9: Jalur jarum simulasi (1) dan penyebaran anestesi lokal (daerah yang
diarsir biru) untuk melingkupi saraf femoralis (FN).FA, arteri femoralis.

76
Gambar10: (A) Jalur jarum untuk memblock saraf femoralis (FN).FA, arteri
femoralis.

Gambar 11: (B) Penyebaran obat bius lokal (LA) dalam dua lapisan iliaca
fasia yg mengelilingi saraf femoralis (FN). FA, arteri femoralis.

77
B. Block Poplitea
1. Anatomi
Fosa poplitea dibatasi disebelah lateral oleh otot bisep
femoris dan medial oleh otot semimembranosus. Ini adalah tem-
pat dimana saraf sciatic terbagi menjadi dua komponen utama-
nya, saraf tibialis dan peroneus communis (Gambar 20-1). Untuk
menghindari blok saraf yang parsial, tempat insersi jarum harus
disebelah proksimal dari tempat terpisahnya dua saraf ini
(Gambar 20-2). Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
titik masuk jarum harus 10 cm dari lipatan popliteal untuk
mengoptimalkan penempatan jarum. Karena adanya kemung-
kinan penempatan jarum di distal dari bifurkasi dua saraf,
biasanya digunakan volume Anestesi lokal yang lebih besar
dengan pendekatan ini (40-45 mL).
Saraf sciatic mempersarafi motorik ke seluruh tungkai
bawah melalui saraf tibialis posterior, saraf peroneal superfisial
dan profunda, dan saraf sural. Saraf sural hanya bersifat sensorik.
Saraf sural ini adalah Cabang Utama dari saraf sciatic juga
memasok persarafan sensoris ke kaki bagian bawah, kecuali
medial strip bagian dalam, yang dipasok oleh saraf saphenus
(cabang saraf femoralis).

78
2. Point penting
Injeksi intravasculer jarang terjadi pada blok poplitea ini
karena letak saraf lebih superfisial dari arteri dan vena poplitea.
Untuk mencapai blok sensoris yg sempurna pada ekstremitas
bawah, saraf saphenus juga harus dilakukan blok, yang dapat
dilakukan setinggi fossa poplitea.

3. Landmark
Tempatkan pasien dalam posisi tengkurap dengan kaki
yang akan dioperasi diganjal di bawah lutut. Lutut harus sedikit
memnekuk dan kaki beristirahat bebas di atas tempat tidur. Letak
Fosa poplitea bisa diperjelas dengan menyuruh pasien menekuk
lutut melawan tahanan. Segitiga popliteal dibentuk disebelah
medial oleh otot semitendinosus dan otot semimembranosus,
lateral oleh otot biseps femoris, dan di bagian dasar dibentuk oleh
lipatan popliteal. Insersi jarum harus minimal 7 cm lebih tinggi
dari lipatan popliteal dan sekitar 1 cm lateral ke puncak segitiga
popliteal (Gambar 20-3). Masukkan jarum pada sudut 45 ° sampai
60 ° ke kulit pada arah cephalad (Gambar 20-4).

79
 Jarum yang digunakan
o 21-gauge, jarum insulated 10 cm.
o 18-gauge, jarum Tuohy 10 cm untuk penempatan
kateter Kateter disisipkan Minimal 3 sampai 5 cm di luar
ujung jarum.
 Stimulasi
Pengaturan stimulator saraf awalnya antara 1,0 dan 1,2
mA. Inversi kaki menunjukkan rangsangan Saraf tibialis dan
peroneal profunda, eversi kaki menunjukkan rangsangan sa-
raf peroneal superfisial, fleksi plantar menunjukkan stimulasi
saraf tibialis posterior, dan dorsofleksi mengindikasikan
rangsangan saraf peroneal profundus. Beberapa Penelitian
telah menunjukkan bahwa inversi Kaki mengarah ke

80
terjadinya blok sensorik dan motorik terbaik, dan dorsofleksi
kaki adalah yang terbaik kedua (berbeda dengan blok saraf
skiatik proksimal, dimana komponen saraf berada di dekat,
memungkinkan suntikan anestesi lokal pada setiap kedutan
dalam distribusi sciatic). Terkadang, kedutan lokal dari Otot
biseps femoris dipicu setelah insersi jarum, menunjukkan
Penempatan jarum terlalu lateral dan harus dialihkan sedikit
medial. Sebaliknya, jika kedutan lokal Otot semitendinosus
dan semimembranosus terjadi, penempatan jarum terlalu
medial dan harus dialihkan sedikit lagi ke lateral.

 Blok dengan USG


Frekuensi tinggi (5-12 MHz), linier.
 Posisi Probe.
Bidang transversal (sejajar dengan lipatan popliteal)
memberi gambaran terbaik tentang saraf siatik (Gambar 20-
5). Bergantung pada lokasi terpecahnya saraf siatik ke dalam
komponen tibialis dan peroneal, baik satu lingkaran besar
atau dua lingkaran lebih kecil Struktur hyperechoic akan
terlihat. Jika popliteal Arteri divisualisasikan, syaraf akan
terlihat di lateral dari arteri (Gambar 20-6)

81
C. Abductor Cannal Block
1. Anatomi
Nervus saphena terletak di kanal adductor. Kanal ini
disebut juga sebagai kanal Hunter atau kanal sub-sartorial, meru-
pakan kanal aponeurotik intermuskular di sepertiga tengah paha
(gambar 1).

Gambar 1: Saraf femoralis dan cabang-cabangnya.

82
Kanal adductor berbentuk menyerupai segitiga di bagian
melintang dan dibatasi oleh tiga otot: otot quadriceps di
anterolateral (secara spesifik di vastus medialis), otot sartorius di
medial dan otot magnus adduktor di posterior. Kanal muskular
ini memanjang dari paha depan bagian atas pada titik di mana
sartorius melintasi adduktor longus ke paha medial bawah.
Sekitar 12-14 cm proksimal ke arah lutut adalah hiatus adduktor,
bagian distal pada otot adduktor magnus. Di dalam kanal ini
terdapat arteri femoralis, vena femoralis, cabang posterior nervus
obturator, dan cabang saraf femoralis; secara spesifik adalah
nervus saphena (Gambar 2).

Gambar 2: Potongan Sagital bagian tengah paha menunjukkan


kanal adduktor

2. Persiapan
a. Persiapan Umum
Sebelum memulai, pastikan ada indikasi yang
tepat untuk blok kanal adduktor dan tidak ada kontra-
indikasi. Mintalah peretujuan dari pasien dan beri tahu
mereka tentang tata cara, kemungkinan keberhasilan,
durasi, keuntungan dan kerugian, serta alternatif tindak-
an blok ini. Pastikan situs/sisi ditandai dengan jelas,
pasien dimonitoring, akses IV lancar dan peralatan yang

83
sesuai. Peralatan dan obat untuk resusitasi harus ter-
sedia.

b. Peralatan Spesifik
1.Jarum blok bevel pendek, 22-gauge 100 mm
2.Larutan antiseptik kulit.
3.Sarung tangan steril.
4.1-2 ml 1% lignocaine untuk anestesi local infiltrasi
pada pasien sadar.
5.Low volume block: 5-10mls anestesi lokal durasi
panjang, contoh 0.25-0.5% Bupivacaine, Levobupi-
vacaine atau 0.2-0.75% Ropivacaine.
6.High volume block: 20-30mls anestesi lokal durasi
panjang.
7.Mesin USG portabel
8.Nerve stimulator

c. Prosedur
1.Konfirmasi area operasi pada pasien; Periksa ang-
gota badan dan beri tanda sesuai informasi di
formulir persetujuan
2.Monitoring tanda vital standar.
3.Pastikan akses IV lancar.
4.Jika diperlukan, lanjutkan dengan sedasi/induksi
anestesi umum/anestesi spinal sesuai rencana
anestesi.
5.Posisikan pasien terlentang dengan lutut sedikit
tertekuk dan kaki diarahkan ke eksternal (posisi
seperti kaki katak)

84
Gambar 3: Posisi pasien

6.Bersihkan area tindakan dengan 0.5%


Chlorhexidine spray
7.Berdiri di sisi area yang akan diblok dengan USG
di seberang dengan layar menghadap anda
8.Gunakan probe USG 8 – 14 mHz Linear,
kedalaman 2 – 4 cm
9.Tempatkan probe ultrasound frekuensi tinggi
pada anterior paha pasien, kira-kira pertengahan
titik antara lipatan inguinalis dan kondilus medial.
10. Identifikasi tulang paha (biasanya pada
kedalaman 3-5cm meskipun bervariasi) dan geser
probe ke medial sampai otot Sartorius terlihat
seperti ini. (Gambar 4).
11. Arteri femoralis terletak tepat di bawah
otot ini di dalam kanal adduktor.

85
Gambar 4: Perhatikan femur (kanan bawah) dengan
otot vastus intermedius di atasnya. Kanalis adduktor
terletak di bawah sartorius.

Gambar 5: Kanalis adduktor di bawah Sartorius

12. Harap diperhatikan bahwa saraf


saphenous hampir selalu terlalu kecil untuk
divisualisasi dengan baik dan teknik ini bertujuan
untuk menggenangi anestesi lokal di bawah
Sartorius dan di sekitar arteri femoralis (yaitu di
dalam kanal adduktor). (Gambar 5)
13. Optimalkan gambar, atur kedalaman, dan
pengaturan frekuensi sesuai kebutuhan.
14. Posisi probe yang benar adalah tepat di
proksimal dari tempat di mana arteri femoralis
masuk ke bagian posterior dan probe harus
diposisikan tegak lurus terhadap arteri. Pada titik
ini arteri femoralis akan masuk lebih dalam untuk
membentuk arteri poplitea. Otot vastus medialis
86
terletak di anterolateral, otot adduktor magnus di
posteromedial dan otot Sartorius di medial.
Gunakan pendekatan insersi jarum dari lateral ke
medial dan pastikan ujung jarum Anda selalu
terlihat di USG
15. Majukan jarum ke dalam kanal adduktor.
Penempatan jarum ini bisa dicapai dengan melintasi
otot sartorius atau vastus medialis.

Gambar 6: Jarum melintasi sartorius dan ujungnya di


dalam kanal adductor (pendekatan jarum in-plane)

16. Gunakan nerve stimulator (jika ada) untuk


konfirmasi
17. Aspirasi dan suntikkan dosis uji sebesar 1
ml larutan anestesi lokal.
18. Observasi penyebaran anestesi lokal untuk
konfirmasi ujung jarum Anda tepat berada dalam
kanal adduktor. Jika Anda tidak dapat melihat
dengan jelas penyebaran anestesi local,
pertimbangkan adanya kemungkinan penempatan
jarum di intravascular dan pertimbangkan untuk
reposisi.
19. Lanjutkan sisa dosis injeksi, aspirasi setiap
5 ml. Lanjutkan monitoring pasien dengan hati-hati,
perhatikan tanda-tanda toksisitas anestesi lokal.

87
Gambar 7: Anestesi lokal menyebar di bawah sartorius
di dalam kanal adduktor

D. FASCIA ILIACA COMPARTMENT BLOCK


1. ANATOMI
Persarafan dari ekstremitas bawah diberikan melalui empat
saraf utama: saraf sciatic, saraf femoralis, saraf obturator dan saraf
cutaneus lateralis. Saraf femoral, obturator dan cutaneus lateralis
semuanya berasal dari dari pleksus lumbar (akar saraf L2-4). Saraf
sciatic berasal dari pleksus lumbalis dan sakral (L4-S3).

88
Gambar. Dermatome dari extremitas bawah dan plexus lumbar
kanan

2. FASCIA ILIACA
Lokasi :
 Rentang dari vertebra toraks ke paha anterior.
 Garis perut posterior dan panggul, meliputi otot
psoas mayor dan iliacus.
 Membentuk dinding posterior selubung femoralis,
yang berisi pembuluh femoralis.
 Dalam segitiga femoralis ditutupi oleh fascia lata,
bergabung dengan distal.

Batas :
 Lateral : fascia thoracolumbar.
 Medial : columna vertebralis, panggul, fasia
pectineal.
 Anterior : bagian posterior ligamentum inguinalis,
fascia lata.

Neurovaskukar :
Di atas ligamentum inguinalis, pembuluh femoralis ter-
letak superfisial dari fascia iliaca sedangkan saraf femoral,
obturator dan cutaneus lateralis ditutupi olehnya di lokasi
masing-masing. Daerah di balik ligamentum inguinalis dapat
dibagi menjadi bagian medial dan lateral:

89
 Bagian medial, fascia iliaca membentuk dinding
posterior selubung femoralis (lacuna vasorum), yang
berisi arteri femoralis dan vena, dan cabang femoralis
yairtu nervus genitofemoral.
 Bagian lateral, fascia iliaca membentuk atap
lacuna musculorum, yang berisi otot psoas mayor dan
iliacus, dan nervus femoralis. Fascia iliaca memisahkan
lacuna musculorum dari lacuna vasorum dengan serat
yang terhubung ke kapsul sendi pinggul, sehingga
membentuk septum fungsional antara kedua lacunae.

3. FASCIA ILIACA COMPARTMENT


Fascia iliaca compartment adalah ruang potensial dengan
batasan sebagai berikut :
 Anterior : permukaan posterior fascia iliaca, yang meliputi
otot iliaca, dan bagian medial, setiap permukaan otot psoas
mayor.
 Posterior: permukaan anterior otot iliaka dan otot utama
psoas.
 Medial : columna vertebralis, dan secara kranal lateral
dari krista iliaca.
 Cranio-medial: kontinyu dengan ruang antara otot
kuadratus lumborum dan fasianya.

Kompartemen ini memungkinkan pengendapan anestesi


lokal dengan volume yang cukup menyebar ke setidaknya dua
dari tiga saraf utama yang memasok paha medial, anterior dan
lateral dengan satu injeksi sederhana, yaitu saraf kutaneus
femoralis dan saraf femoralis (sesuai gambar).

90
Poin kunci
1. Persarafan dari paha bagian medial, anterior dan lateral
berasal dari L2-4.
2. Kompartemen fascia iliaca (Fascia Iliaca compartment)
mengandung tiga dari empat saraf utama yang memasok
kaki.
3. Anestesi lokal yang disuntikkan di sini dapat dipercaya
hanya mencapai femoral dan saraf kutaneus lateralis saja.

4. INDIKASI
Tujuannya adalah untuk mengurangi kebutuhan analgesik
sistemik seperti opioid dan anti-inflamasi non steroid, bersamaan
dengan efek sampingnya. Hal ini sangat penting pada pasien
lansia, yang merupakan kelompok terbesar dengan patah tulang
colum femoralis.
 Analgesia pra operasi untuk pasien dengan patah tulang
neck femur atau shaft femur.
 Analgesia untuk penerapan plester pada anak-anak
dengan fraktur femoral (mengikuti diskusi dengan dokter
senior).

5. KONTRA INDIKASI
 Penolakan dari pasien
 Alergi atau reaksi anafilaksis sebelumnya
terhadap anestesi lokal.
 Peradangan atau infeksi di area injeksi.
 Operasi bypass femoral-bypass sebelumnya, atau
di dekat lokasi graft.

91
 Antikoagulasi – INR > 1.5
o Pertimbangkan aspirin clopidogrel/aspirin dosis
tinggi/heparin dengan berat molekul rendah.
o Gunakan penilaian klinis dan diskusikan dengan
dokter senior.

6. PERSIAPAN UMUM
Konfirmasikan indikasi dan pasien yang benar, hilangkan
kontra-indikasi, dapatkan informed consent (verbal), dan pastikan
bahwa Anda memiliki asisten yang tepat, alat monitoring dan
peralatan yang tepat.
Peralatan khusus yang dibutuhkan :
 Paket blok
 Antiseptik kulit (0,5% klorheksidin semprot atau spons
ChloraPrep®).
 30-40 ml obat lokal anestesi dengan durasi kerja panjang.
Disarankan chirocaine/levobupivacaine 0,25% (2,5mg/ml),
30 ml jika berat badan pasien < 50kg atau 40 ml jika BB > 50
kg.
 1-2 ml lignokain 1% untuk infiltrasi kulit jika perlukan.

7. PROSEDUR LANDMARK
Landmark dari prosedur ini adalah tulang belakang iliaka
anterior superior (Anterior superior iliac spine - ASIS) dan
tuberkulum pubicum ipsilateral. Tempatkan satu jari pada
masing-masing tonjolan tulang dan gambar garis imajiner di
antara keduanya. Dengan menggunakan jari telunjuk Anda
bagikan baris ini menjadi tiga bagian. Di persimpangan 1/3
lateral dan medial 2/3 beri tanda. Titik insersi adalah 1 cm
distal/caudal dari tanda ini.

92
8. CARA MELAKUKAN BLOK
 Konfirmasikan pasien dan indikasi untuk blok.
 Dapatkan informed consent untuk prosedur ini.
 Pastikan asisten yang tepat tersedia dan
pemantauan terlampir (EKG, probe saturasi dan BP non-
invasif).
 Posisikan pasien dengan benar.

93
 Siapkan peralatan dan buatlah jumlah anestesi
lokal yang sesuai (seperti yang ditentukan di atas).
 Lakukan landmark..
 Cari posisi pulsasi arteri femoral (ipsilateral). Ini
harus teraba sekitar 1,5-2 cm medial ke tempat suntikan
yang dimaksud untuk menghindari cidera saraf femoral
secara tidak disengaja.
 Siapkan dan bersihkan kulit. (Infiltrasi kulit secara
dangkal dengan 1-2 ml lignocaine 1% jika dierlukan).
 Dengan menggunakan jarum yang sesuai (tersedia
dalam kemasan), pindahkan kulit ke sudut kanan ke
permukaannya (ini mungkin membantu kulit tetap pada
posisinya pada titik ini).
 Jaga agar jarum tetap sagital agar terhindar dari
bundle neurovaskular yang terbentang di bagian medial.
 Majukan jarum melalui dua "pops" yang berbeda,
pertama fasia lata dan kemudian iliaca fasia.
 Majukan jarum 1-2 mm lebih lanjut.
 Aspirasi jarum, dan jika negatif maka injeksikan
obat secara perlahan. Seharusnya tidak ada perlawanan
terhadap injeksi. Jika ada, jarum itu kemungkinan
berada di otot iliacus. Dalam hal ini, tarik jarum sedikit
sampai injeksi mudah. Seharusnya tidak ada rasa sakit
atau parestesi saat disuntikkan.
 Suntikkan 20 ml pertama perlahan-lahan, aspirasi
setiap 5 ml. Kemudian ganti spuitnya, aspirasi dan
injakan sisa volume.
 Tarik jarum di akhir prosedur dan berikan sedikit
tekanan ke area ini hingga dua menit.
 Pastikan pasien merasa nyaman dan dilakukan
observasi:
o Setiap 5 menit selama 15 menit
o Pada 30 menit
o 4 jam setelahnya

94
 Pastikan blok tersebut didokumentasikan dengan
jelas dalam catatan pasien.

9. KOMPLIKASI
 Injeksi intravaskular
 Toksisitas anestesi lokal
 Kerusakan saraf sementara atau permanen
 Infeksi
 Blok gagal
 Cedera sekunder akibat mati rasa/lemahnya
tungkai
 Alergi terhadap obat yang digunakan

Secara keseluruhan FICB memiliki profil risiko yang sangat


rendah. Landmark yang benar harus meminimalkan risiko injeksi
intravaskular dan cedera saraf mekanis, dan penggunaan anestesi
lokal amida (misalnya levobupivakain/chirocaine) secara signifi-
kan mengurangi risiko reaksi alergi. Teknik aseptik yang baik
harus mengurangi risiko infeksi, dan injeksi volume tinggi anes-
tesi memastikan penyebaran yang baik dan meningkatkan
peluang keberhasilan. Risiko toksisitas anestesi lokal paling tinggi
pada 15-30 menit pertama yang membuat pemantauan ketat wajib
pada tahap ini.

10. GUIDING USG

95
Poin Kunci saat menggunakan USG : Transduser harus
ditempatkan pada tingkat lipatan femoralis dan probe
sejajar dengan lipatan.

Tujuannya adalah untuk menempatkan ujung


jarum di bawah fasia iliaca kira-kira pada sepertiga lateral
garis yang menghubungkan spina iliaka anterior superior
ke tuberkulum pubicum (injeksi dibuat beberapa senti-
meter lateral ke arteri femoralis) dan untuk memasukkan
volume yang relatif besar (30-40 mL) anestesi lokal sampai
menyebar ke arah lateral ke arah spina iliaka dan secara
medial menuju saraf femoralis didokumentasikan dengan
visualisasi ultrasoud.

96
BAB III
Kesimpulan

Poin Penting Terkait Prosedural


• Selalu lakukan blok dengan menggunakan peralatan yang
sesuai dengan fasilitas asisten dan resusitasi yang terlatih.
• Selalu siapkan pasien Anda dengan benar, pastikan
informed consent, monitoring yang tepat dan tersedia akses
intravena
• Selalu pastikan Anda menggunakan dosis anestesi lokal
yang aman.
• Jangan pernah mencoba menyuntikkan anestesi lokal jika
tersedot darah saat aspirasi, pasien mengeluh nyeri atau ada
tahanan saat injeksi.
• Jika gejala toksisitas anestesi lokal muncul, hentikan
penyuntikkan, mintalah bantuan dan lakukan pengelolaan
toksisitas anestesi lokal.
• Seperti halnya blok saraf perifer pada umumnya, selalu
siapkan rencana cadangan jika blok gagal

Referensi :
1. Manickam B, et al. Feasibility and efficacy of ultrasound-
guided block of the saphenous nerve in the adductor canal.
RegAnesth Pain Med. 2009;34: 578-580
2. Quemby, D and McEwen, A. Utrasound Guided Adductor
Canal Block (Saphenous Nerve Block). Anesthesia Tutorial of
the Week 301 13th. Torbay Hospital, Torquay: 2014
3. NYSORA. Ultrasound-Guided Saphenous Nerve Block.
www.nysora.com/Ultrasound-Guided-Saphenous-Nerve-
Block.html

97
4. Nia Wyn Davies, 2016, Guidelines For Use In The
Emergency Department : Fascia Iliaca Compartment Block,
Anaesthetics Morriston hospital. NYSORA
5. https://www.nysora.com/ultrasound-guided-femoral-
nerve-block
6. https://www.nysora.com/femoral-nerve-block
SCIATIC NERVE BLOCK DAN FASCIA ILIACA
BLOCK
dr. I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa, SpAN,KAR,FIPM
DEPARTEMEN ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
FK UNUD-RS SANGLAH

A. BLOK FASCIA ILIACA


Indikasi dan tinjauan umum
Blok fascia iliaca dilakukan untuk prosedur operasi daerah
panggul, paha anterior dan lutut. Posisi transduser transversal
dekat dengan lipatan femoral dan lateral dari arteri femoral agar
obat anestesi lokal dapat menyebar di bawah fascia iliaca. Volume
obat anestesi lokal yang digunakan umumnya 20-40 ml yang telah
didilusikan (misalnya Ropivacaine 0,2%).
Blok fascia iliaca atau disebut juga blok kompartemen fascia
iliaca dilakukan sebagai alternatif untuk blok pleksus lumbalis
atau blok nervus femoral. Hal ini disebabkan nervus femoral dan
nervus kutaneus femoral lateral (LFCN/lateral femoral cutaneous
nerve) berada di bawah fascia otot iliacus. Sebelum digunakannya
ultrasound, teknik menggunakan jarum di sepertiga lateral dari
spina iiaca anterior superior ke tuberkel pubik menggunakan tek-
nik double pop saat jarum menembus fascia lata dan fascia iliaca1,3.

1. Teknik pendekatan dengan panduan ultrasound


Fascia iliaca berada di anterior dari otot iliacus, terikat
superolateral pada krista iliaca dan bersatu di medial dengan
fascia dari otot psoas. Baik nervus femoral dan nervus kutaneus
lateral berada di dalam fascia iliaca. Identifikasi arteri femoral

98
pada lipatan inguinal. Jika tidak terlihat, geser transduser ke
medial dan lateral hingga tampak arteri dan vena femoralis serta
otot iliopsoas yang tertutup fascia hiperekoik yang memisahkan
otot dari jaringan subkutan diatasnya. Nervus femoral yang
hiperekoik terlihat di sudut antara otot iliopsoas dan fascia iliaca,
lateral dari arteri femoralis. Fascia lata (lapisan subkutan super-
fisial) berada lebih superfisial dan dapat berjumlah lebih dari satu
lapis. Gerakkan transduser ke lateral beberapa sentimeter hingga
terlihat otot sartorius ditutupi oleh fascianya, jauh lebih lateral
terdapat spina iliaca anterior superior1,3.

Gambar 1.1. Gambaran panoramik ultrasound area lipatan


femoral
(TFLM= tensor fascia latae muscle, SaM = sartorius muscle, fascia
iliaca, FN = femoral nerve, FA = femoral artery)
(Sumber : Hadzic A, 2017)

Distribusi anestesia
Distribusi anestesia dan analgesia tergantung dari penye-
baran obat anestesi lokal. Blok nervus femoral akan menyebabkan
anestesia daerah anterior dan medial paha (termasuk lutut) dan
anestesia dari daerah medial tungkai dan kaki (nervus saphenus).
Nervus femoral juga berkontribusi terhadap persarafan panggul
dan lutut. Nervus femoral lateral kutaneus mempersarafi kulit
daerah paha anterolateral1,3.

99
Gambar 1.2. Distribusi blok sensorik fascia iliaca (nervus femoral
dan nervus femoral lateral kutaneus)
(Sumber : Hebbard P et al, 2011)

Peralatan
Peralatan yang diperlukan untuk blok fascia iliaca antara
lain :
- Mesin USG dengan transduser linear (6-14 MHz),
hanscoen steril dan gel
- Set blok
- Dua buah Spuit 20 ml yang berisi anetesi lokal
- 80-100 mm, jarum 22G (bevel pendek agar dapat
menembus lapisan fascia.

Landmark dan posisi pasien


Pasien dalam posisi supinasi di alas yang datar. Meskipun
palpasi arteri femoral merupakan penanda berguna, namun trans-
duser mudah menemukan arteri femoral. Geser transduser ke
lateral dan medial dengan memberikan sedikit tekanan untuk
mengidentifikasi fascia iliaca yang hiperekoik yang terletak
superfisial dari otot iliopsoas yang hipoekoik. Di arah medial,
nervus femoral tervisualisasi di profunda dari fascia dan lateral
dari arteri. Di arah lateral, otot sartorius teridentifikasi lewat
bentuknya yang triangular ketika ditekan oleh transduser1,3.

Gambar 1.3. Gambaran USG dari fascia iliaca (garis putih dan
anak panah)
(FN = nervus femoral, FA = arteri femoral, SM = otot sartorius)
100
(Sumber : Hadzic, 2017)

Target blok fascia iliaca adalah meletakkan jarum di


profunda dari fascia iliaca, sekitar sepertiga lateral dari garis
penghubung spina iliaca anterior superior dan tuberkel pubik,
beberapa sentimeter dari arteri femoral dan memasukkan 20-40
ml anestesi lokal hingga menyebar ke lateral menuju spina iliaca
dan ke medial menuju nervus femoral.

Langkah-langkah teknik pendekatan dengan panduan ultra-


sound1
Pasien posisi supine, lakukan tindakan antiseptik di kulit.
Pada teknik infrainguinal, identifikasi arteri femoral dengan
bantuan transduser juga otot iliopsoas dan fascia iliaca. Trans-
duser diarahkan kelateral hingga teridentifikasi otot sartorius.
Jarum diinsersikan menembus fascia iliaca yang akan terasa
“pop” saat menembus fascia. Lakukan aspirasi 1-2 ml anestesi
lokal untuk konfirmasi tempat injeksi yang benar antara fascia
dan otot iliopsoas. Jika anestesi lokal menyebar diatas fascia atau
di dalam otot, lakukan reposisi jarum. Injeksi yang tepat menye-
babkan separasi fascia iliaca ke arah medial dan lateral. Saat
tekanan transduser dilepas, resistensi injeksi berkurang dan
terjadi distribusi anestesi lokal. Jika distribusi tidak adekuat,
injeksi ditambahkan di lateral dan media jarum.
Pada teknik suprainguinal, letakkan probe tegak lurus
ligamentum inguinale, pindai ke arah procesus xyphoideus.
Lokalisasi arteri femoral di medial dan spina iliaca anterior
superior di latera, di bawah otot iliacus. Insersi jarum dari paha
dan menembus fascia iliaca melalui ligamentum inguinale.
Konfirmasi posisi jarum dengan dosis uji, observasi penyebaran
anestesi lokal di bawah otot iliacus dan fascia iliaca. Pasien
dewasa umumnya memerlukan 20-40 ml anestesi lokal untuk
keberhasilan blok. Pada anak-anak umumnya digunakan 0.7

101
ml/kg. Blok berhasil bila penyebaran anestesi lokal ke arah
nervus femoral (medial) dan ke arah otot sartorius (lateral)1,2,3.

Gambar 1.4. A. posisi jarum di bawah fascia iliaca, lateral dari


arteri femoral namun tidak terlalu dalam hingga menembus otot
iliaca. B. penyebaran (biru) anestesi lokal. C. gambaran USG
dengan pendekatan suprainguinal dengan probe plana sagital
sepanjang otot iliaca. D. penyebaran (biru) dari anestesi lokal, di
bawah fascia iliaca dan diluar otot oblik eksternal (EOM =
external oblique muscle, SaM = otot sartorius)
(Sumber : Hadzic, 2017)

102
Gambar 1.5. Metode suprainguinal (plana parasagital)
(Sumber : Chuan A, 2014)

Gambar 1.6. Perbandingan teknik infrainguinal (kiri atas dan kiri


bawah) dengan teknik suprainguinal (kanan atas dan kanan
bawah)
(a = fascia iliaca, b = otot iliacus, c = spina iliaca anterior superior)
(Sumber : Chuan A, 2014)

2. Teknik berdasarkan Landmark4


Fascia iliaca merupakan ruang potensial yang berisi
nervus femoral dan nervus lateral femoral kutaneus sehingga
deposisi anestesi lokal dengan volume yang cukup dapat menye-
bar dan memblok kedua saraf ini yang mempersarafi paha bagian
medial, anterior dan lateral.

103
Gambar 1.7. Tempat insersi jarum blok fascia iliaca
(Sumber : Davies NW, 2010)

Alat yang digunakan :


- Set blok
- Antiseptik (chlorhexidine spray 0.5%)
- Anestesi lokal durasi panjang (levobupivacaine atau
Chirocain 0.25%) 30-40 ml
- Lidokain 0.2% 1-2 ml untuk infiltrasi kulit

Gambar 1.8. Tempat injeksi untuk blok fascia iliaca paha kanan
(Sumber : Davies NW, 2010)

Landmark untuk prosedur adalah spina iliaka anterior


superior (SIAS) dan tuberkel pubis. Letakkan 1 jari di masing-
masing titik ini. Bagi tiga garis imajiner sama rata. Titik tanda
adalah di 1/3 lateral dan 2/3 medial dengan jarak 1 cm kaudal
dari titik tanda.

104
Langkah-langkah blok fascia iliaca dengan Landmark4 :
- Persetujuan pasien dan monitoring tanda-tanda vital
pasien
- Gambar Landmark
- Lokalisasi denyut femoral yang diperkirakan 1.5-2 cm
medial dari titik insersi jarum. Lokaliaai ini bertujuan untuk
mencegah salah tempat insersi jarum ke nervus femoralis.
- Lakukan tindakan antiseptik dan infiltrasi lokal dengan
lidokain 2% 1-2 ml.
- Jarum diinsersikan di bidang sagital untuk menghindari
selubung neurovaskuler di medialnya. Insersi jarum akan
terasa “pops” saat menembus fascia lata lalu fascia iliaca.
Masukkan lagi jarum 1-2 mm, aspirasi jarum, bila negatif
anestesi lokal diinjeksikan. Aspirasi untuk cek posisi jarum
tiap 5 ml cairan dimasukkan.
- Cabut jarum dan tekan selama 2 menit.
- Observasi tiap 5 menit

B. BLOK SCIATIC ANTERIOR


Indikasi
Blok sciatic anterior umumnya diindikasikan untuk prose-
dur operasi ekstremitas bawah dari lutut ke bawah, misalnya
perbaikan tendon Achilles, serta sebagai analgesia paska operasi.

Kontraindikasi
Kontraindikasi blok saraf perifer antara lain :
Tabel 2.1. Kontraindikasi blok saraf perifer

(Sumber : Harmon D, 2011)

105
1. Kontraindikasi absolut : medikasi antikoagulan
Tabel 2.2. Tromboprofilaksis

(Sumber : Harmon D, 2011)

2. Kontraindikasi relatif : diatesis perdarahan, terapi antikoa-


gulan, jejas saraf lokal, risiko sindroma kompartemen eks-
tremitas inferior (contoh : fraktur tibia fibula)

Anatomi klinis
Nervus sciatic berasal dari pleksus lumbal dan sakral,
merupakan nervus terbesar di tubuh. Rami ventral L4 dan L5
bergabung dengan S1,2 dan 3 membentuk nervus sciatic yang
bercabang menjadi nervus peroneal dan tibial. Nervus sciatic
meninggalkan pelvis melalui foramen sciatic dibawah piriformis
dan berjalan diantara trochanter mayor dan tuberositas ischial.
Nervus kemudian berjalan posterior dari trochanter minor
dimana blok dilakukan. Nervus sciatic mempersarafi paha bagian
posterior, tungkai bawah bagian lateral dan kaki5,6.

1. Teknik Berdasarkan Landmark


Pasien berbaring dengan posisi supinasi dan posisi tungkai
netral sedikit angulasi ke lateral. Lakukan tindakan aseptik di area
yang akan diblok. Struktur tulang penanda blok antara lain garis
106
antara spina iliaca superior anterior dan tuberkel pubis (sepanjang
ligamentum inguinalis) dibagi menjadi 3 bagian. Sepertiga medial
ditarik garis tegak lurus terhadap garis trochaner mayor yang
paralel ligamentum inguinalis. Jarum diletakkan di perpotongan
garis tegak lurus dengan garis paralel ini7.

Gambar 2.1. Penanda blok sciatic anterior


(Sumber : Harmon D, 2011)

Jarum yang digunakan adalah jarum 150 mm, posisi tegak


lurus dengan kulit. Stimulasi arus listrik 1.2 mA, 2 Hz, dan 0.1 ms.
Saat berkontak dengan trochanter minor, jarum diangulasi sedikit
ke lateral dan jarum diinsersi kurang lebih 3-4 cm. Total
kedalaman jarum umumnya 70% dari tebal paha, umumnya 8-12
cm. Rangsangan listrik akan menghasilkan kontraksi fleksi plan-
tar namun tidak menghasilkan kontraksi hamstring. Posisi jarum
disesuaikan saat mengurangi arus menjadi 0.35mA. Pada perja-
lanan nervus sciatic, stimulasi nervus femoral mungkin pertama
kali ditemukan sehingga sebaiknya nervus femoral tidak diblok
terlebih dahulu. Anestesia lokal diinjeksikan 20-30 mL dengan
aspirasi berulang7,8.

a. Block Sciatic Anterior dengan Panduan ultrasound5,6,7


Pada pendekatan dengan ultrasound, posisi lutut pasien
ditekuk dan panggul ipsilateral rotasi eksternal. Lakukan tindak-
an antiseptik pada kulit. Bevel jarum harus menghadap trans-
duser. Jarum 22G x 120 mm diinsersikan hingga masuk selubung
saraf. Disarankan untuk menggunakan alat stimulasi saraf yang
ditandai oleh dorso atau plantar fleksi dari kaki. Anestesia lokal
diberikan 15-20 ml.
107
Nervus sciatic sulit divisualisasi pada regio ini karena
memerlukan penetrasi sinar yang dalam dan menggunakan
transduser transversal frekuensi rendah. Visualisasi nervus sciatic
dapat tertutup oeh trochanter minor. Pertama, identifikasi femur,
garis hiperekoik kurvatural dengan bayangan tulang dibawah-
nya. Lalu arahkan transduser ke proksimal dan distal untuk
mengidentifikasi trochanter minor. Identifikasi lapisan otot
anterior : otot kuadriseps di lateral dan otot aduktor di medial
(kurang lebih 8 cm dari lekukan inguinal). Identifikasi otot
gluteus maksimus di posterior. Lokalisasi nervus sciatic yang
hiperekoik diprofunda dari otot aduktor dan di posterior femur.
Gambaran nervus sciatic adalah oval hingga sirkular hiperekoik.
Umumnya tampak isoekoik dibandingkan otot sekitar.

Gambar 2.2. Pendekatan dengan ultrasound arah transversal


(F = femur, QM = quadriceps muscle, AM = adductor muscle,
GMM = gluteus maximus muscle, SN = sciatic nerve)
(Sumber : Harmon D, 2011)

108
Jika ultrasound transversal sulit, maka dapat dilakukan
pendekatan ultrasound longitudinal dengan cara geser transduser
menjauhi aspek medial dari anterior paha dan arahkan transduser
ke arah antero-posterior sehingga tampak gambaran transversal
dari nervus sciatic di posterior dari femur.

Gambar 2.3. Pendekatan ultrasound longitudinal (Sumber :


Harmon D, 2011)
Gambar 2.4. Posisi
jarum saat
melakukan
pendekatan dengan
ultrasound
(Sumber : Harmon
D, 2011)

C. BLOK SCIATIC POSTERIOR

INDIKASI
Operasi
109
Indikasi umum untuk penggunaan blok saraf sciatic untuk
operasi termasuk lutut, operasi kaki, atau sebagai suplemen
untuk blok saraf femoral.

Manajemen Nyeri
Manajemen nyeri pascaoperasi setelah operasi lutut dan
kaki.
Fasilitas penyisipan kateter di ruang yang dibentuk oleh
fascia pelvis secara medial, otot piriformis dorsal, obturator
internus lateral memungkinkan analgesia berkepanjangan yang
baik dalam operasi ekstremitas bawah9,10.

INDIKASI
Blok sciatic secara kontinyu diindikasikan pada :
• Operasi karsinologis pada ekstremitas bawah
• Amputasi paha atau kaki
• Operasi fossea poplitea (tumor, kista)
• Artroplasti lutut

Indikasi lainnya adalah operasi pergelangan kaki yang


berkepanjangan, dengan tourniquet paha (trauma serius atau
bedah mikro): dalam indikasi ini teknik kateter tidak hanya
bermanfaat untuk rasa sakit tetapi juga oleh blok simpatik yang
berkepanjangan9.

KONTRAINDIKASI
Kontraindikasi serupa dengan blok perifer lainnya: infeksi
pada titik tusukan, gangguan koagulasi dan defek neurologis di
wilayah blok9,10
• Dekubitus sakral
• Kurangnya kerja sama pasien
• Ketidakmampuan untuk melakukan posisi lateral decubitus.
1. BLOK SCIATIC DENGAN TEKNIK LABAT (Classic
Dorsal Transgluteal Technique (Labat Technique))

Posisi pasien

110
Pasien diposisikan lateral dekubitus, dengan posisi tungkai
yang akan diblok berada di sisi atas (Sims posisi). Tungkai yang
berada di sisi atas ditekuk pada sendi pinggul dan lutut dan lutut
diletakkan di atas meja sementara tungkai yang berada di sisi
bawah diluruskan.

a. Teknik berdasarkan Landmark9


Landmark yang penting adalah trochanter mayor dan spina
iliaka superior posterior (dan/atau hiatus sakral). Trochanter
mayor dan spina iliaka superior posterior diberi garis Penghu-
bung, tepat di tengah garis penghubung ditarik jarak 5 cm ke
medial (garis Labat). Untuk memastikan titik ini, buat garis
penghubung lain dari trochanter mayor ke hiatus sakralis (garis
Winnie). Kedua titik harus saling bertemu satu sama lain.

Lakukan tindakan antiseptik pada kulit, anestesi lokal


disiapkan dalam spuit 20 cc, dan siapkan alat stimulasi saraf.
Tusukan awal dengan jarum besar atau stylet. Selama prosedur
tindakan, observasi pergerakan otot biceps femoris,
semimembranosa dan semitendinosa serta otot pergeakan kaki.

Gambar 3.1. Teknik transgluteal dorsalis klasik (Labat)


(1 = spina iliaka posterior superior, 2 = trochanter mayor, 3 =
hiatus sakralis, 4 = tuberositas ischial, 5 = nervus sciatic) (Sumber :
Jankovic, 2015)

111
Teknik penyuntikan :

1. Jarum ditusukkan tegak lurus terhadap permukaan kulit.


Arus stimulasi 1 mA pada 2 Hz dipilih dengan durasi
stimulus 0.1 ms.
2. Setelah kedalaman sekitar 1-4 cm, harus ada stimulasi
langsung ke otot gluteus maximus.
3. Pada kedalaman sekitar 5 cm pada kontraksi otot bisep
femoris, semimembranosa dan otot semitendinosa.
4. Setelah jarum maju lebih dalam, pada kedalaman sekitar
6-8 cm, terdapat gerakan plantar dan fleksi dorsal kaki akan
memberi respon terhadap stimulus dari nervus sciatic cabang
tibialis atau peroneal.
5. Jangan memajukan jarum lebih jauh.
6. Arus stimulasi dikurangi menjadi 0,3 mA. Kedutan
menunjukkan bahwa jarum diposisikan langsung di sekitar
saraf.
7. Tes aspirasi.
8. Uji dosis anestesi lokal 3 mL (mis., Lidokain 1%
mepivakain, atau prilokain). Selama injeksi, kedutan
berkurang sampai menghilang.
9. Injeksi anestesi lokal (injeksi-aspirasi tiap 3-4 mL).
10. Pemantauan fungsi kardiovaskular selama penyuntikan
obat anestesi lokal.

112
Gambar 3.2. Tempat insersi jarum dan urutan kontraksi otot saat
stimulasi saraf (Sumber : Jankovic, 2015)

Kendala yang dapat terjadi pada blok sciatic LABAT9 :


 Terdapat tulang femur pada kedalaman 8 cm tanpa
memperlihatkan adanya kedutan otot. Jarum injeksi harus
ditarik dan arahnya harus diubah secara lateral.
 Intraneural positioning : Tanda berikut menunjukkan
posisi intraneural dari jarum injeksi:
o Kedutan (twitching kuat) (bahkan pada arus
stimulan 0,2 mA).
o Tidak hilangnya kedutan setelah disuntikan obat
pada dosis uji (test dose)
o Resistansi tinggi dan nyeri hebat saat disuntikkan.
o Injeksi harus segera dihentikan dan jarum harus
ditarik.
113
b. Ultrasound pendekatan Gluteal (teknik Labat)
Langkah- langkah blok sciatic dengan panduan ultrasound
pendekatan gluteal8,12 :
- Pasien diposisikan semipronasi (Sims) dengan panggul
dan lutut fleksi
- Identifikasi trochanter mayor dari femur (GT/greater
trochanter), spina iliaca posterior superior (PSIS/posterior
superior iliac spine) dan hiatus sakralis (HS)
- Sterilisasi kulit dan pindai dengan probe ultrasound trans-
versal terhadap regio gluteal pada level IT
- Gerakan probe ke sefalad dari IT untuk mengidentifikasi
penanda tulang os ischia. GT atau sendi panggul berada di
lateral dari os ischia.

Gambar 3.11. Teknik blok sciatic gluteal


(GT/Greater trochanter, PSIS/posterior superior iliac spine,
SH/sacral hiatus, GMM/gluteus maximus muscle, IB/ischial
bne) (Sumber : Jankovic, 2015)

- Identifikasi penanda otot. GMM (gluteus maximus


muscles) yaitu lapisan otot luar dan musculus gemelus
superior dan inferior yaitu lapisan otot dalam berada di
superior dan posterior dari os ischia.
- Nervus sciatic di regio gluteal tampak hiperekoik
- Arteri gluteal tampak pulsatil berada dekat nervus sciatic,
gunakan Doppler untuk mengkonfirmasi arteri ini.

114
- Dapat juga tampak arteri dan vena pudenda internal
dekat spina ischiadicus yang berada di medial dari nervus
sciatic.
- Blok nervus sciatic gluteal dapat dilakukan dengan 2
pendekatan :
o Pendekatan out-of-plane (OOP): sering digunakan
untuk insersi kateter. Jarum diinsersikan dari kaudal ke
sefalad dari tengah probe. Untuk injeksi sekali suntik
(single shot) menggunakan jarum 80-100 mm 22 G
dengan volume 15-20 ml anestesi lokal Bupivacaine <
0.25% atau Ropivacaine < 0.5%.
o Pendekatan in-plane (IP): arah jarum dari lateral
ke medial melalui GMM (gluteus maximus muscle)
sepanjang aksis panjang dari probe. Kesulitan teknik ini
adalah sulitnya visualisasi ujung jarum untuk itu dapat
diinjeksikan anestesi lokal volume 1-2 ml untuk penanda
ujung jarum.

2. BLOK SCIATIC PARASACRAL


Blok saraf sciatic biasanya digunakan dalam kombinasi
dengan blok saraf femoralis untuk operasi ekstremitas bawah.
Pendekatan parasacral untuk blok nervus sciatic adalah blok
pleksus sakralis dan injeksi anestesi lokal pada fascia di sekitar
cabang-cabang pleksus sakral sebelum nervus sciatic terbentuk (di
atas otot piriformis). Selain teknik singleshot, pendekatan ini
sangat cocok untuk pemberian infus anestesi lokal secara
kontinu10.

ANATOMI
Pleksus sakralis dibentuk oleh trunkus lumbosakral dan
rami ventral dari saraf sakralis pertama, kedua dan ketiga. Saraf
yang membentuk pleksus sakral bertemu dengan notch sciatic
yang lebih besar dan bersatu membentuk band besar yang terletak
di dinding posterior rongga panggul, di depan otot piriformis.
Pembuluh darah hipogastrik, ureter dan kolon sigmoid terletak di
depan pleksus. Pembuluh darah gluteal mengikuti jalur yang
115
sama dengan saraf sakral, namun pada bidang anterior. Pleksus
sakral terletak di dorsal dari piriformis dan di ventral dari fascia
dari otot ini. Fascia ini berkontribusi untuk membentuk aponeu-
rosis pelvis atau fascia. Fascia ini, berserat dan resisten, terfiksasi
ke medial pada foramina anterior sacral, di mana saraf sacral
tersebut muncul. Melalui fascia ini, pleksus sakral terletak di
dekat rektum. Pleksus sakral terletak dekat dengan foramen
sciatic yang lebih besar yang terjepit oleh otot internus obturator.
Pleksus sakral berjalan di bidang facsia yang dibatasi oleh fascia
pelvis secara ventral, piriformis secara dorsal dan medial dan
lateral oleh otot internus obturator. Pembuluh darah hipogastrik
terletak di dekat pleksus sakral serta arteri glutealis superior yang
melewati antara trunkus lumbosakral dan saraf sakral pertama.
Pembuluh darah gluteal inferior berjalan di antara saraf sakral
kedua dan ketiga. Arteri penting lainnya adalah arteri sakral
lateral superior dan inferior, arteri ischial dan arteri pudendal 10.
Cabang kolateral dan terminal dari pleksus sakralis :
 Cabang kolateral ventral dari pleksus sakral adalah saraf
yang ke otot internus obturator, saraf hemoroid, saraf puden-
dal dan saraf yang ke berbagai struktur pelvis. Semua saraf
ini membentuk pleksus pudendal (cabang ventral S4,
beranastomose dengan cabang S2 dan S3 pleksus sakral).
Saraf ini mempersarafi organ panggul dan perineum.
 Cabang kolateral dorsal adalah saraf gluteal inferior dan
superior, saraf pada otot piriformis, gemelli dan quadratus
femoris.
 Cabang terminal tunggal.
 Pleksus sakral menginervasi kulit bagian medial dari
aspek gluteal dan posterior paha. Juga menginervasi sendi
pinggul dan otot proksimal paha. Saat lebih kaudal, pleksus
meluas sebagai saraf sciatic.

116
Gambar 3.3. Potongan melintang nervus sciatic
(Sumber : Gaertner E, 2006)

PERLENGKAPAN
 Injeksi tunggal (singleshot) : jarum stimulasi saraf, 100mm.
 Set blok mencakup jarum bevel pendek, cannula untuk
penyisipan kateter, kateter, sambungan kawat listrik dan
filter antibakteri. Jarum harus minimal 90mm. Umumnya
digunakan Contiplex D® 110TM.
 Dua buah spuit dengan anestesi lokal disiapkan: 3 mL
lidokain untuk anestesi lokal pada kulit dan 20 mL
ropivacaine 0,75%.
 Blok parasakral paling baik dilakukan sebelum operasi
setelah sedasi ringan.

POSISI PASIEN
Pasien diposisikan dalam posisi lateral decubitus, mirip
dengan posisi yang diperlukan untuk pendekatan klasik dan
posterior pada blok sciatic dengan sisi yang akan diblok. Tungkai
yang dependen harus diluruskan pada lutut dan pinggul, dan

117
anggota badan yang akan diblok harus fleksikan pada kedua
pinggul dan lutut.

Gambar 3.4. Posisi pasien


(Sumber : Gaertner E, 2006)

PERMUKAAN LANDMARK
Permukaan landmark adalah sebagai berikut: Garis ditarik
antara spina iliaka superior posterior (PSIS) dan titik terendah
dari tuberositas iskia (IT). Titik insersi jarum terletak tiga jari
lebarnya lebih rendah dari PSIS pada garis ini (6cm). Titik ini
berada tepat di bawah tulang belakang iliaka inferior posterior,
yang biasanya tidak dapat dipalpasi10.

118
Gambar 3.5. Landmark

ORIENTASI JARUM
Jarum terhubung ke stimulator saraf. Untuk injeksi tunggal,
jarum diarahkan tegak lurus terhadap kulit di semua bidang dan
benar-benar horizontal. Penting untuk tidak mengarahkan jarum
secara medial. Dengan teknik blok kontinyu, lokasi tusukan itu
sama; Namun, jarum diarahkan 10 ° lebih kaudal untuk memu-
dahkan penyisipan kateter.

119
Gambar 3.6. Teknik insersi jarum

120
(Sumber : Gaertner E, 2006)
STIMULASI SARAF10
Stimulator saraf pada awalnya diset pada intensitas 2 mA
dan fleksi plantar kaki atau jari kaki (cabang tibialis saraf sciatic)
atau dorsofleksi/eversi kaki atau jari kaki (cabang peroneal
nervus sciatic) diobservasi. Arus stimulasi kemudian dikurangi
untuk mendapatkan respon ini pada 0,5 mA. Kedalaman rata-rata
penyisipan jarum dimana respon akan diperoleh adalah 7 cm.
Setelah injeksi anestesi lokal beberapa mililiter pertama,
respons motorik akan hilang. Selama injeksi lakukan tes aspirasi
darah negatif berulang dan kontak verbal dengan pasien. Volume
15 sampai 20 mL anestetik lokal sudah cukup. Teknik stimulasi
multipel tidak diperlukan dengan pendekatan ini karena semua 3
cabang saraf sciatic (tibial, peroneal umum dan saraf kutaneus
posterior paha) muncul bersamaan di atas otot piriformis.
Kateter ini kemudian disisipkan sekitar 2cm di luar ujung
jarum. Penyisipan kateter yang lebih dalam harus dihindari agar
tidak terjadi kesalahan penempatan kateter di bawah piriformis.
Memang, jika kateter dimasukkan terlalu jauh di sepanjang saraf
sciatic, saraf kutaneus posterior paha mungkin tidak tersumbat
karena saraf ini meninggalkan trunkus sciatic di atas otot
piriformis.
Umumnya kateter dimasukkan di bawah kulit sepanjang 4
sampai 5 cm agar bisa muncul di area kulit yang bersih. Kateter
kemudian difiksasi, filter antibakteri dihubungkan dan dosis uji
diberikan.

121
Gambar 3.7. Anestesi lokal dinjeksikan
(Sumber : Gaertner E, 2006)

TIPS STIMULASI SARAF10


Respon motorik yang benar adalah ekstensi atau fleksi pada
kaki atau jari kaki.
 Respon proksimal (pinggul atau paha) mungkin akibat
kontraksi otot piriformis (pungsi terlalu caudal dan
superfisial), atau otot internus obturator (pungsi terlalu
lateral) dan tidak boleh diterima.
 stimulasi saraf obturator (adduksi dari paha) ini
disebabkan oleh tusukan terlalu dalam dan medial. Saraf ini
berjalan di depan pleksus parasakral, pada bidang fasia yang
sama.
 Kontraksi otot gluteal menunjukkan penempatan jarum
terlalu superfisial.
 Jika terjadi kontak dengan tulang (tulang sakral atau
iliaka, di dekat sendi sakroiliaka, di bagian atas notch sciatic
yang lebih besar), jarum harus diarahkan ulang lebih ke
kaudal pada garis yang ditarik. Ujung jarum harus tidak
lebih dari 20 mm lebih dalam dari pada kontak tulang
dengan penempatan jarum yang tepat.

122
EKSTENSI DARI BLOK PARASAKRAL
Keuntungan dari blok ini adalah kemampuan untuk men-
capai anestesi dari ketiga cabang saraf sciatic (tibialis, peroneal
umum dan saraf kutaneus posterior paha) melalui injeksi tunggal
anestesi lokal. Selain itu, cabang gluteal superior dan inferior serta
cabang ke kuadratus femoris juga diblok10.
Teknik blok “3-in-1", saraf obturator sering tidak terblok.
Dengan demikian, menggabungkan blok parasacral dengan blok
"3-in-1" akan menghasilkan anestesi dari seluruh ekstremitas
bawah. Akhirnya, perluasan anestesi lokal ke pleksus pudendal
(terutama pada saraf pudendal) dapat terjadi pada 80% pasien.
Salah satu kelemahan teoritis dari pendekatan ini adalah kemung-
kinan retensi urin karena kedekatan saraf splachnic pelvis
(pleksus hipogastrik inferior).

ANESTETIK LOKAL10
Protokol pendekatan blok parasacral:

 Lidokain atau mepivakain untuk prosedur singkat


 ropivacaine untuk prosedur lebih lama atau manajemen
nyeri pasca operasi
 Konsentrasi dan volume disesuaikan, sesuai dengan
apakah blok ini digunakan dalam kombinasi dengan blok
pleksus lumbal atau blok saphena.

Bila pendekatan parasacral digunakan sendiri, kita meng-


gunakan 20 mL 0,75% ropivacaine sebagai bolus dan pemberian
terkontrol lewat pasien ropivacaine 0,2% 5mL/kg/jam, bolus
5mL, dengan waktu penguncian 45 menit.
Bila blok parasacral dikombinasikan dengan blok pleksus
lumbar (pendekatan posterior atau anterior), biasanya kita
mencampur ropivacaine 0,75% dengan lidocaine 2% (epinefrin
1/200000) dalam proporsi 3/1. Volume yang disuntikkan untuk
pleksus lumbal adalah 20 mL dengan parasacral, 20 sampai 30 mL
untuk pleksus lumbar tergantung pada berat pasien.
123
Bila kateter lumbal dan parasacral digunakan bersamaan,
jadwal pemberian bisa sama untuk kedua blok. Namun, sangat
penting bahwa pasien memahami dengan baik lokasi rasa sakit di
dua wilayah tersebut.
Sebelum menggunakan kateter, kami mengkonfirmasi loka-
si kateter pada radiografi. Gambaran yang khas menyerupai
spindel dengan orientasi lateral-kaudal dan melintasi notch
sciatic.

Gambar 3.8. Lokasi kateter parasacral dengan radiografi


(Sumber : Gaertner E, 2006)

3. Block Parasacral dengan panduan Ultrasound


Nervus sciatic berawal dari area parasacral dan keluar dari
pelvis melalui foramen sciatic mayor. Tidak seperti pendekatan
lainnya, pendekatan parasacral dapat memblok seluruh pleksus
sacralis. Alat yang digunakan :
- Mesin ultrasound dan probenya
- Jarum 20G sepanjang 12 cm
- Set stimulasi saraf

124
Langkah- langkah blok sciatic dengan panduan ultrasound
pendekatan parasacral15 :
- Pasien diposisikan lateral dekubitus dengan tungkai yang
akan diblok berada di sisi atas, lutut ditekuk 900 (posisi Sims)
- Lakukan tindakan antisepsis
- Identifikasi batas posterior dari os ischia (PBI/posterior
border of ischium) yang tampak berupa garis hiperekoik
pada ultrasound.
- Untuk mengidentifikasi PBI, probe diletakan di plana
aksial dengan ujung medial probe berjarak 8 cm dari batas
atas celah gluteus. Lalu probe diarahkan ke kranial untuk
melihat alae os ilium (hiperekoik kontinu) dan diarahkan ke
kaudal untuk melihat foramen sciatic mayor. Dari celah
foramen ini, probe diarahkan ke kaudal
- Nervus sciatic tampak hiperekoik dan berada di medial
dari PBI. Nervus sciatic berada di anterior dari musculus
piriformis.
- Jarum diinsersikan hingga mendekati nervus sciatic. Set
stimulator 1 mA, jika terjadi kedutan otot hamstring, tungkai
atau kaki maka identifikasi berhasil.
- Ujung tip jarum disesuaikan dengan panduan ultrasound
agar respon kedutan otot tetap terjadi dengan stimulus
minimal yaitu 0.3-0.5 mA.
- Lakukan aspirasi, kemudian injeksikan anestesi lokal 20
mL (Ropivacaine 1% 10 ml dicampur Pehacaine 1% 10 mL
(1:100.000))

125
Gambar 3.12 teknik blok sciatic parasacral
(Sumber : Taha AM, 2012)

4. Block Sciatic Subgluteal dengan Panduan Ultrasound


Teknik blok saraf sciatic proksimal merupakan salah satu
teknik yang mudah untuk dilakukan baik dengan pendekatan
subgluteal atau gluteal. Untuk tampilan saraf yang baik,
sebaiknya tungkai bawah diangkat dan pasien dalam posisi
supinasi. Dalam banyak kasus, lebih mudah untuk mencari saraf
sciatic dari spatium popliteal ke arah proksimal. Landmarkyang
utama adalah kaput longus dari muskulus biseps femoral yang
berada di ventral dari saraf sciatic8,11,12,13.
Saraf sciatic ditunjukkan di area subgluteal. Titik temu awal
adalah daerah lateral dari posterior paha yang disusuri sepanjang
aksis panjang. Anestesi lokal diinjeksikan di ventral dan dorsal
dari saraf.

126
Gambar 3.9. potongan transversal regio gluteus pada level QFM
(quadratus femoris muscle)
(Sumber : Karmakar MK, 2007)

Langkah-langkah blok sciatic dengan panduan ultrasound


pendekatan subgluteal8,12 :
- Pasien diposisikan semipronasi (Sims) dengan panggul
dan lutut fleksi
- Identifikasi trochanter mayor dari femur (GT/greater
trochanter) dan tuberositas ischial (IT/Ischial tuberosity)

Gambar 3.10. Teknik blok sciatic subgluteal


(GT/greater trochanter, IT/ischial tuberosity, QFM/quadratus
femoris muscle, GMM/gluteus maximus muscle)
(Sumber: Jankovic, 2015)

- Sterilisasi kulit dan pindai dengan probe ultrasound oblik


terhadap regio subgluteal
- Identifikasi penanda tulang, GT di lateral dan IT di medial

127
- Identifikasi penanda otot, GMM (gluteus maximus
muscles) yaitu lapisan otot luar, dan QFM (quadratus femoris
muscles) yaitu lapisan otot dalam
- Nervus Sciatic tampak hiperekoik dan berbentuk elips,
antara GMM dan QFM, juga antara GT dan IT
- Jarum 50-80 mm 22 G diinsersikan dan anestesi lokal
diinjeksikan 15-20 ml

DAFTAR PUSTAKA

1. Hadzic A. Hadzic’s Textbook of Regional Anesthesia and


Acute Pain Management. Edisi ke-2. 2017. Philadelphia :
McGraw-Hill. H. 602-5
2. Chuan A dan Scoot D. Oxford Regional Anaesthesia : A
Pocket Guide. 2014. Hampshire : Oxford University Press. H.
101-2.
3. Hebbard P, Ivanusic. Dan Sha S. Ultrasound-guided
supra-inguinal fascia iliaca block : a cadaveric evaluation of a
novel approach. Journal of Association of Anaesthetists of
Great Britain and Ireland. 2011 August, 66, h. 300-5.
4. Davies NW. Fascia Iliaca Compartment Block : Landmark
Approach. Anaesthesia Tutorial of the Week 193. 23 rd August
2010. Wales : Morriston Hospital.
5. Farag E dan Soliman LM. Brown’s Atlas of Regional
Anesthesia. Edisi ke-5. 2017. Philadelphia : Elsevier. H. 103-
13.
6. Dolan J. Ultrasound-guided anterior sciatic nerve block in
the proximal thigh: an in-plane approach improving the
needle view and respecting fascial planes. British Journal of
Anaesthesia, Vol 110, Issue 2, 1 February 2013, Pages 319-20.

128
7. Harmon D, Barrett J, Loughnane F, Finucane B, Shorten G.
Peripheral Nerve Block & Peri-operative Pain Relief. Edisi ke-
2. 2011. Philadelphia : Elsevier. H. 180-4.
8. Jankovic D, Peng P. Regional Nerve Blocks in Anesthesia
and Pain Therapy. Edisi ke-4. 2015. New York : Springer. h.
801-5; 812-22.
9. The NewYork School of Regional Anesthesia (NYSORA).
Sciatic Nerve Block: Transgluteal/Anterior Approach.
https://www.nysora.com/sciatic-nerve-block-transgluteal-
anterior-approach, diambil tanggal 21 Maret 2018.

10. Gaertner E. Parasacral Nerve Block. The Journal of The


New York School of Regional Anesthesia (NYSORA). 2006,
volume 11.
11. Mehrkens HH, Geiger PM, et al. Tutorial in the University
and Rehabilitation Clinics Ulm. www.nerveblocks.net,
diambil tanggal 21 Maret 2018.
12. Gupta A. Ultrasound-guided Sciatic Nerve Block:
Posterior Approach. International Journal of Perioperative
Ultrasound and Applied Technologies. May-August
2013;2(2):59-63.
13. Vincent WS, Nova H, et al. Ultrasound Examination and
Localization of the Sciatic Nerve. American Society of
Anesthesiologist, 2006; 104: 309-14.
14. Karmakar MK, Kwok WK, et al. Ultrasound-guided sciatic
nerve block: description of a new approach at the subgluteal
space. British Journal of Anaesthesia 98 (3): 390-5 (2007).
15. Taha AM. A Simple and successful sonographic technique
to identify the sciatic nerve in the parasacral area. Can J
Anesth (2012) 59:263-267.

TAP BLOCK
dr. Taufiq A. Siswagama Sp.An,
dr. Ristiawan M. Laksono, Sp.An, KMN
129
dr. Dedi Susila,. Sp.An KMN, FIPM

PENDAHULUAN
Blok pada bidang transversus abdominis (transversus
abdominis plane/TAP) merupakan teknik anestesi regional baru
yang berkembang dengan sangat cepat. Teknik anestesi ini
dilakukan dengan injeksi lokal anestesi secara bolus dengan dosis
besar tunggal pada bidang transversus abdominis, yaitu sebuah
ruang anatomis antara musculus obliquus internus dengan mus-
culus transversus abdominis. Teknik ini dapat memberikan anal-
gesia pada saat setelah dilakukannya operasi abdomen. Pertama
kali diperkenalkan 10 tahun yang lalu di Irlanida, dimana pada
saat itu fasilitas dan staf masih sangat kurang untuk mampu
memberikan terapi nyeri akut pasca operasi secara akut. Teknik
ini semakin popular digunakan diseluruh dunia karena relatif
lebih sederhana dan lebih berhasil dilakukan.
Blok TAP dapat menurunkan nyeri yang disebabkan oleh
prosedur operasi pada abdomen bagian bawah secara signifikan,
terlepas apakah teknik ini digunakan sebagai anestesi primer
maupun pada pengendalian rasa nyeri setelah anestesi umum
atau spinal. Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk
memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai blok TAP
dengan mengulas dari literatur terbaru dan ditambah hasil dari
penelitian – penelitian.
Perkembangan teknik anestesi blok TAP dalam beberapa
tahun terakhir, dengan analisis dari seluruh penelitian anatomi
dan kasus serta dari randomized controlled trial. Deskripsi yang
mendetil serta diagram dari teknik juga ditampilkan disini untuk
memudahkan kita dalam memahami mengenai teknik anestesi
blok ini. Perubahan dari teknik anestesi ini dari mulai landmark
hingga dengan bantuan ultrasound (USG), perkembangan dalam
indikasi dilakukannya teknik ini, dan perubahan dari jenis dan
kuantitas anestesi lokal juga akan dijelaskan dan dibahas dalam
penulisan ini. Selanjutnya, teknik anestesi blok pada bidang
transversus abdominis ini dibandingkan dengan teknik anestesi
regional yang serupa, seperti teknik blok pada selubung musculus
130
rectus abdominis, blok paravertebral, serta blok
ilioinguinal/iliohypogastricus mengenai persamaan – persamaan
maupun perbedaannya. Beberapa perbandingan dengan teknik
anestesi epidural juga akan dibahas. Berbekal dari pengetahuan
mengenai keuntungan dan keterbatasannya, teknik anestesia
regional baru yang menjanjikan ini dapat digunakan secara
sukses pada analgesia baik intra maupun pasca operasi pada
prosedur operasi abdomen.
Nyeri pasca operasi caesar biasanya dirasakan mulai nyeri
sedang sampai berat oleh kebanyakan pasien dan penanganan
yang tidak adekuat dapat menghambat bonding ibu-bayi,
perawatan bayi, dan proses menyusui. [1] Bahkan meningkatkan
kemungkinan risiko terjadi thrombo-embolism akibat imobilitas
karena nyeri. [2] Manajemen nyeri ini juga harus aman untuk ibu
yang menyusui. Nyeri pasca seksio sesarea pada dasarnya
memiliki dua komponen, yaitu somatik (karena insisi dinding
perut) dan viseral (dari rahim). Komponen substansial nyeri yang
dialami pasien berasal dari insisi dinding perut. [3]
Manajemen nyeri pasca operasi yang umum adalah meng-
gunakan opioid sistemik atau neuraxial, karena efektif terhadap
kedua komponen. Namun, opioid memiliki sejumlah efek sam-
ping yang tidak diinginkan seperti mual, muntah, pruritus,
konstipasi, dan depresi pernapasan. [4,5] Obat antiinflamasi
nonsteroid saja mungkin tidak cukup untuk mengobati nyeri
pasca sesarea. Saat ini, teknik analgesik multimodal yang
melibatkan blok saraf abdomen dengan analgesik parenteral
mulai populer untuk pasien ini. Blok Transverse Abdominis Plane
(TAP) adalah teknik regional yang relatif baru, bekerja dengan
mengeblok saraf afferen dinding abdomen antara T6 dan L1
sehingga dapat mengurangi nyeri pasca insisi perut. [6,7] TAP
adalah daerah neurovaskular yang terletak di antara otot obliquus
internus dan otot tranversus abdominalis. Saraf yang menginer-
vasi dinding perut melewati bagian ini sebelum menginervasi
dinding perut anterior. [8] Oleh karena itu, jika anestesi lokal
diberikan di daerah ini, akan terjadi blok sensoris myocutaneous.
[6,7]
131
Anatomi
Persarafan dinding anterolateral abdomen muncul dari
rami anterior saraf tulang belakang T7 ke L1. Cabang dari rami
anterior termasuk saraf interkostal (T7-T11), saraf subkostal (T12),
dan saraf iliohypogastric dan ilioinguinal (L1). Ini menimbulkan
cabang kutaneus kulit dan anterior saat mereka menjadi lebih
supercial.

Tranversus abdominis
plane

Triangle of Petit

Saraf interkostal T7 ke T11 keluar dari ruang interkostal dan


berjalan di bidang neurovaskular antara oblique internal dan otot
transversus abdominis. Saraf subkostal (T12) dan saraf ilioingui-
nal dan iliohypogastric (L1) juga melakukan perjalanan di bidang
antara transversus abdominis dan oblique internal, menginervasi
kedua otot ini. T7-T12 terus anterior dari bidang transversus
132
untuk menembus selubung rektus dan berakhir sebagai saraf
kutaneus anterior. Saraf toraksik, T7 hingga T12, memberikan per-
sarafan motorik ke piramidalis dan otot rektus. Saraf ini memiliki
cabang kulit lateral di perut. T7-T11 memberikan persarafan
sensorik pada kulit, bagian-bagian kosta dari diafragma, pleura
parietal terkait dan peritoneum. T7 memberikan persarafan
sensorik pada epigastrium, T10 pada umbilikus, dan L1

METODE
Pasien posisi supine, iliac crest diraba dari anterior ke
posterior sampai insersio otot latissimus dorsi teraba. Triangle of
Petit diidentifikasi (batas anterior dengan obliquus externus dan
posterior dengan latissimus dorsi dan inferior dengan iliac crest).
Jarum regional anesthesia ukuran 22 gauge panjang 5 cm ujung
tumpuldiinsersi ke triangle of Petit tepat di atas iliac crest pada
sudut kanan kearah coronal plane sampai terasa tahanan. Ini
menandakan ujung jarum
menembus otot obliquus externus.
Jarum dimajukan perlahan sampai
terasa sensasi “pop”, yang
merupakan tanda masuk ke fascia
diantara otot obliquus externus dan
internus. Jarum dimajukan lebih
jauh akan menghasilkan “pop”
kedua dan ini menandakan masuk
ke TAP. Setelah aspirasi negatif,

Traditional (Blind) Approach

133
Dalam pendekatan ini, segitiga Petit lumbal diidentifikasi.
Segitiga Petit dibentuk oleh krista iliaka
sebagai dasar, otot oblik eksternal
sebagai batas anterior, dan otot latisimus
dorsi sebagai batas posterior. [1] Lantai
segitiga terdiri dari fasia baik dari otot
oblik eksternal dan internal (lihat
gambar di bawah). Jarum dimasukkan
tegak lurus pada kulit hanya cephalad
ke puncak iliac dekat garis midaxillary.
TAP diidentifikasi menggunakan sensasi
2-pop (hilangnya resistensi). Pop
pertama menunjukkan penetrasi
fasia dari otot oblik eksternal,
dan yang kedua menunjukkan
penetrasi fasia otot oblik
internal. Anestesi lokal
kemudian disuntik dengan
banyak aspirasi.

Ultrasound-Guided (Posterior Approach)


Dengan pasien dalam posisi terlentang, probe ultrasound
ditempatkan dalam bidang
transversal antara batas kosta
bawah dan krista iliaka di garis
midaxillary Blok TAP dapat
dilakukan dengan relatif mudah
dengan menggunakan
ultrasound. Probe array linier
broadband digunakan, dengan
kedalaman pencitraan 4-6cm.
Pemeriksaan ultrasound
ditempatkan melintang ke perut (bidang horizontal) di garis
midaxillary antara batas kosta dan krista iliaka. Lapisan otot ree
jelas terlihat pada gambar. Jarum bevel pendek 100mm digu-
134
nakan. Jarum dimasukkan dalam bidang sagital sekitar 3-4 cm
medial ke probe ultrasound. Titik insersi jarum lebih dekat ke
probe pada anak-anak dan lebih jauh dari probe untuk orang
dewasa obesitas. Untuk pencitraan yang optimal dari jarum itu
harus diadakan sejajar dengan sumbu panjang probe ultrasound
(dalam teknik pesawat). Probe bergerak sedikit di anterior ke
gambar tusukan kulit dan superisial, kemudian secara bertahap
posterior ke posisi garis midaxillary, mengikuti jarum ke posisi
yang benar dalam bidang abdominis transversal.

Posisi probe pasien dan ultrasound untuk


blok TAP Posisi probe pasien dan ultrasound untuk
blok TAP

Ilustrasi yang menggambarkan pe- Posisi probe pasien dan ultrasound


Pencitraan
nempatan ultrasonografi
probe ultrasound sepan- real untuk
timeblokmemungkinkan
TAP (pendekatan obser-
jang dinding perut, dan penempatan posterior)
vasi jalur
anestesi jarum
lokal melalui kulit dan jaringan subkutan, kemudian
yang ideal
melalui otot oblique eksternal dan internal. Ujung jarum
diarahkan ke bidang di bawah oblique internal dan di atas otot
transversus abdominis. Volume kecil anestesi lokal (1ml) akan
terlihat untuk membuka bidang antara dua otot dan dapat diikuti
dengan memasukkan dosis penuh anestesi lokal.

135
Gambar ultrasound selama injeksi awal anestesi lokal 5 ml. Injectate berada dalam bidang
transversus dan mengubah penampilan lapisan otot. EO: oblique eksternal, IO: miring
internal, TRA: transversus abdominis

Ada perdebatan dalam literatur tentang sejauh mana blok


sensorik
Gambartercapai. Penelitilapisan
USG menunjukkan yangotot
telah dipublikasikan
dinding sepakat
perut lateral dengan bah-
jarum terlihat
diposisikan di atas otot transversus abdominis. EO: oblique eksternal, IO: miring internal,
wa TRA:
adatransversus
penyebaran
abdominis blok yang dapat diandalkan antara
dermatoma L1 dan T10. Publikasi awal menemukan ketinggian
blok dari L1 hingga T7 dapat dicapai dan oleh karena itu blok itu
cocok untuk digunakan di laparatomi garis tengah.Peneliti lain
telah menemukan bahwa blok tersebut tidak dapat dipercaya naik
di atas umbilikus dan karena itu lebih cocok untuk perut bagian
bawah operasi saja. Peneliti bernama McDonnell dan negara La ey
yang memeriksa tingkat blok sebelum penyebaran penuh bisa
menyesatkan dan pengukuran akan paling akurat, ketika tinggi
bloktelah dicapai beberapa jam setelah penyisipan blok. Beberapa
peneliti memiliki menemukan tinggi blok tidak terus meluas
selama beberapa jam. Ini mungkin bahwa distribusi anestesi yang
berbeda (dan karenanya blokade sensorik) terjadi dengan teknik
blind dibandingkan dengan teknik yang dipandu ultrasound.
Studi anatomi lebih lanjut sedang berlangsung untuk memeriksa
masalah ini
136
REFERENCES
2. Atkinson R, Rushman G, Lee J. A synopsis of anaesthesia,
10th ed. Bristol: Wright, 1987: 637-640.
3. Ra A. Abdominal eld block: a new approach via the
lumbar triangle. Anaesthesia 2001; 56: 1024-26.
4. Hebbard P, Fujiwara Y, Shibata Y, Royse C. Ultrasound-
guided transversus abdominis plane (TAP) block.
Anaesthesia and Intensive Care 2007; 35: 616-7.
5. Hebbard P. 2007; Website:
www.heartweb.com.au/downloads TAPblock.pdf
6. Moore K, Dalley A. Clinically oriented anatomy. 5th ed.
Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins. 2006: 206.
7. Snell R. Clinical anatomy. 8th ed. Baltimore. Lippincott
Williams & Wilkins. 2008.
8. McDonnell J, La ey J. The Transversus Abdominis Plane
Block. Anesthesia and Analgesia 2007; 105: 282-3.
9. McDonnell J, O’ Donnell B, Tuite D, Farrell T, Power C.
The regional abdominal eld in ltration (R.A.F.I.) technique:
computerized tomographic and anatomical identi cation of a
novel approach to the transversus abdominis neuro-vascular
fascial plane Anesthesiology 2004; 101: A899.
10. McDonnell J, O’Donnell B, Farrell T, Gough N, Tuite D,
Power C, La ey J. Transversus Abdominis Plane Block: A
Cadaveric and Radiological Evaluation. Regional Anesthesia
and Pain Medicine 2007; 32: 399-404.

QUADRATUS LUMBORUM BLOCK (QLB)

137
dr. Taufiq A. Siswagama Sp.An,
dr. Ristiawan M. Laksono, Sp.An, KMN
dr. Dedi Susila,. Sp.An KMN, FIPM

Blok Quadratus lumborum adalah blok dinding perut


posterior, "interfascial plane block," yang dilakukan secara
eksklusif di bawah bimbingan ultrasound. Itu dijelaskan oleh ahli
anestesi Dr Rafael Blanco sebagai varian dari blok TAP pada
tahun 2007. Kemudian, ia memberikan penjelasan rinci dari teknik
blok menggunakan nama QLB. Pada musim semi 2013, Dr. Jens
Børglum dari Rumah Sakit Universitas di Kopenhagen (Denmark)
menerbitkan transmuscular baru yang dipandu oleh ultraso-
nografi QL blokade, menggambarkan apa yang disebut
"Shamrock sign," tanda shamrock untuk mendeteksi titik injeksi
anestesi lokal. Pada musim gugur 2013, Dr. MihaelaVisoiu,
seorang ahli anestesi pediatrik dari University Children's Hospital
di Pittsburgh (AS), menerbitkan laporan kasus dengan QLB kon-
tinyu untuk analgesia pasca operasi. Selanjutnya, telah ada
peningkatan minat komunitas anestesi dalam penggunaan blok
truncal, dan jumlah publikasi pada topik QLB semakin ber-
kembang.
Penanda ultrasound yang penting adalah otot quadratus
lumborum (QLM), dan kunci analgesia terletak pada fasia
thoracolumbar (TLF) (12–15). Thoraco-Lumbar Fascia (TLF) itu
kompleks, struktur tubular jaringan ikat dibentuk oleh pengikatan
aponeurosis dan lapisan fasia, yang menyelimuti otot punggung,
menghubungkan dinding perut anterolateral dengan lumbar
daerah paravertebral. TLF ada di sisi medialnya vertebra torakalis
dan lumbar, dengan cranial melanjutkan endothoracic, dan
caudalnya dengan fascia iliaca, pastikan penyebaran anestesi
dalam arah craniocaudal. Mekanisme sebenarnya dari analgesia
yang disediakan oleh QLB belum sepenuhnya diklarifikasi.
Diyakini bahwa anestesi lokal menyebar sepanjang TLF dan fasia
endothoracic ke ruang paravertebral, bertanggung jawab sebagian
untuk analgesia. Di 2011, Carney et al, menunjukkan bahwa
kontras menyebar dari L1-T5 segmen ruang paravertebral.
138
Namun, publikasi baru-baru ini, menunjukkan kontras yang
disuntikkan ke area sekitar QLM (QL plane) tidak menyebar ke
ruang paravertebral dan kontras disuntikkan ke ruang
paravertebral tidak menyebar sekitar QLM. Oleh karena itu
asumsi bahwa analgesia viseral hasil dari penyebaran anestesi ke
ganglion celiac atau ganglion simpatik melalui saraf splanknik,
seperti halnya dengan blok paravertebral. Publikasi terbaru
tentang topik ini adalah abstrak yang dipresentasikan di
American Society of Anesthesiologists pada bulan Oktober 2017,
yang menunjukkan penyebaran anestesi lokal ke ruang
paravertebral, cranially ke segmen T10.
Mekanisme tambahan tindakan anestesi lokal bisa dijelas-
kan oleh karakteristik anatomi-histologis dari TLF. Yakni, di
lapisan superfisial dari TLF, ada suatu jaringan tebal neuron
simpatik. Di fasia, ada ambang batas tinggi dan rendah mekano-
reseptor dan nyeri yang sensitif terhadap efek anestesi lokal.
Reseptor ini berperan dalam perkembangan rasa sakit akut dan
kronis. Analgesia QLB bisa, setidaknya sebagian, dijelaskan oleh
blokade anestesi lokal dari reseptor-reseptor ini.
Berbagai pendekatan untuk melakukan blok saraf diterap-
kan di praktek klinis sehari - hari, dan perbedaan lebar lapangan
dan durasi analgesia yang signifikan. Sejauh ini, penelitian yang
dilakukan pada cadaver menunjukkan bahwa kontra yang
disuntikkan dapat menyebar secara kranial ke ruang
paravertebral toraks dan ruang interkostal yang meliputi saraf
somatik dan trunkus simpatik thorax hingga level T4. Blokade
dari subcostal, saraf iliohypogastric, dan ilioinguinal adalah
konsisten. Terkadang, genitofemoral dan saraf kutan femoralis
lateral bisa terblok. Secara kasat mata, kontras bisa mencapai akar
saraf lumbar, tetapi hasil bervariasi dan studi baru diperlukan
untuk memperjelas hubungan antara jenis QLB dan efek analgesik
yang dicapai. Semua data ini menunjukkan bahwa QLB mem-
berikan analgesia somatik dan viseral.
Tentunya, ada variasi dalam lebar analgesia yang dicapai,
dan jumlah dermatom yang terblok oleh QLB. Dalam sebagian
besar kasus, analgesia dicapai pada dermatoma T7-L1, meskipun
139
ada deskripsi penyebaran ke kranial T4 – T5, dan penyebaran
dermatom ke kaudal L2 – L3. Ketinggian blok dapat dipengaruhi
oleh pilihan loksi untuk aplikasi anestesi lokal, baik dalam
kaitannya dengan QLM dan dalam kaitannya dengan jarak dari
krista iliaka dan batas kosta. Tingkat pemakaian obat dan variasi
anatomi individu juga dapat mempengaruhi ketinggian blok

TEKNIK

140
Teknik QLB ada beberapa, diantaranya adalah QLB lateral
(QLB 1) dan QLB posterior (QLB 2). Selama melakukan blok,
pasien berada dalam posisi terlentang. Gambar menunjukkan
penampang lintang dari perut dalam supinasi dan presentasi
skematik struktur anatomi untuk pemahaman yang lebih baik
dan lebih mudah tentang QLB. Jika QLB dilakukan pada meja
operasi, meja operasi dapat dengan lembut miring ke arah sisi
sebaliknya untuk mencapai eksposur yang lebih baik. Jika QLB
dilakukan pada tempat tidur biasa, bantal dapat ditempatkan di
bawah tulang belakang lumbar. Atau, pasien dapat diminta untuk
berbalik ke arah sisi sebaliknyai. Prosedur dimulai dengan
menempatkan probe USG linier atau cembung secara tranversal
diantara dua garis marker yang berbeda — krista iliaka dan
margin kosta setinggi garis aksila anterior. Tujuannya adalah
untuk menemukan otot-otot dinding perut anterolateral, yaitu
otot oblique eksternal, otot obliqus internal, dan otot trans-
abdominal, dari luar ke dalam seperti di Gambar 2. Memindahkan
probe ke posterior, kita mengikuti penyempitan dari otot sampai
serabut otot transabdominal muscle (TAM) meruncing ke dalam
aponeurosisnya pada tingkat garis aksila posterior.

FIGURE 1 | Cross-section of the abdomen—a photo of cadaver


and a scheme of anatomical structures. QLB 1—point of local
anesthetic (LA) injection for QLB 1; QLB 2—point of LA injection
141
for QLB 2; QLB 3—point of LA injection for QLB 3; 1—rectus
abdominis muscle; 2—external oblique muscle; 3—internal
oblique muscle; 4 –transversus abdominis muscle; 5— psoas major
muscle; 6—quadratus lumborum muscle; 7—erectores spinae
muscle; 8—lamina posterior of the thoracolumbar fascia; 9—
lamina media of the thoracolumbar fascia; 10—lamina anterior of
the thoracolumbar fascia; 11—latissimus dorsi muscle.

Jika gambar hilang selama gerakan probe, kita mem-


posisikan probe ke titik awal pemindaian, mencari tiga otot
paralel, dan kemudian kami melanjutkan pindai ke belakang,
perhatikan bahwa probe selalu tegak lurus ditempatkan pada
permukaan kulit dan mengikuti kelengkungan tubuh. Ketika kita
mendeteksi hyperechogenic merupakan tanda tempat di mana
kita ingin menyuntikkan anestesi lokal, kita dapat meningkatkan
gambar dengan menggerakkan probe miring dan rotasi. Jika
bayangan hypoechogenic mengaburkan gambar, maka diperlu-
kan untuk menambahkan lebih banyak gel yang akan
meningkatkan transmisi gelombang ultrasound dari probe ke
kulit.

142
Figure: Lateral QL block. A high-frequency linear probe was
attached in the area of the triangle of Petit. EO: external abdo-
minal oblique; LD: latissimus dorsi; black arrow: the triangle of
Petit.

Berikut adalah beberapa kiat bermanfaat untuk melakukan blok :

143
a. Jika Anda memulai pemindaian ultrasound dekat dengan
garis prosesus transversus, otot tampak tipis seperti yang
divisualisasikan bagian tendon, 2-3 cm lateral dari otot
transversus. Dan juga, fasia thoraco-lumbar tampak lebih
tebal dan lebih mudah diidentifikasi.
b. Ketika pinggul di abduksikan dan ditekuk ke lateral ke
arah yang sama sisi otot, QL akan tampak tegang dan
berkontraksi. Ini menyebabkan gerakan dan penebalan otot
yang bisa lebih mudah dideteksi dengan ultrasound dan
membantu identifikasi.
c. Saat melakukan blok, pada umumnya visualisasikan
kutub bawah ginjal dan lobus bawah hati dan limpa.
d. Kami merekomendasikan pemindaian area yang meng-
gunakan Doppler warna sebelum memasukkan jarum untuk
mendeteksi cabang dari arteri lumbal pada daerah posterior
otot quadratus lumborum.

144
145
Bupivacaine liposomal telah banyak digunakan untuk
infiltrasi dari luka operasi untuk memberi efek ultra long-acting.
Bisa juga digunakan untuk blok TAP sesuai dengan label yang
disetujui FDA. Tetapi tidak ada pedoman tentang volume obat
yang akan disuntikkan, injeksi tunggal versus injeksi ganda pada
fasia hasilnya sama. Selanjutnya, Viscusi et al. menggambarkan
sifat bupivakain liposomal ketika disuntikkan dalam ruang
epidural; liposomal bupivacaine tidak meningkatkan kejadian
komplikasi.

146
DAFTAR PUSTAKA

Hesman Eisharkawy, et all. 2016. Anterior Quadratus Lumborum


Block Versus Transversus Abdominis Plane Block with
Liposomal Bupivacaine: A case Report. Journal of
Anesyhesia & Critical Care. USA.

Hironobu Ueshima, Hiroshi Otake, Jul-An Lin. 2017. Ultrasound-


Guided Quadratus Lumborum Block : An Updated Review
of Anatomy and Techniques. Tokyo, Japan.

Rita Carvalho, Elena Segura, Maria do Ceu, Jose Pedro. 2014.


Quadratus Lumborum block in pain after abdominal hernia repair
: Case report. Revista Brasileira De Anestesiologia, Portugal.

147
ERECTOR SPINAE PLANE (ESP) BLOCK
dr. Ristiawan Muji Laksono, Sp.An KMN,
dr. Taufiq Agus Siswagama, Sp.An,
dr. Dedi Susila, Sp.An KMN FIPM

Erector Spinae Plane (ESP) pertama kali di diskripsikan oleh


forero pada tahun 2016 untuk terapi neuropathic pain pada
daerah thorak. Blok ESP adalah suatu teknik anestesi regional
dimana obat lokal anestesi diinjeksikan diantara otot erector
spinae dan prosesus tranversus dengan guiding USG, yang akan
mengeblok saraf spinal bagian rami dorsal dan ventral pada
daerah thorac dan abdomen. Blok ESP ini dapat dilakukan untuk
mengatasi nyeri kronis maupun akut, serta sebagai multimodal
analgesia pasca operasi sesuai dengan dermatom atau bagian
yang dilakukan operasi, mulai daerah thorax sampai dengan
regio lumbar. Blok ESP dapat memfasilitasi analgesia mulai dari
C7-T2 sampai dengan L2-L3.
Obat lokal anetesi yaang diinjeksikan pada ESP dapat
menyebar ke arah cepalad maupun caudal dari titik injeksi.
Penyebaran ini dipengaruhi oleh titik injeksi dan sejumlah
volume obat yang diinjeksikan.

148
TEKNIK
Setiap saraf tulang belakang ramus thoracic terbagi menjadi
dorsal dan ventral saat keluar dari foramen intervertebralis.
Dorsal ramus berjalan di posterior melalui foramen costo-
transverse (yang merupakan jendela yang dibatasi secara su-
perior oleh proses transversal, inferior oleh tulang rusuk di
bawah, lateral oleh ligamen costotransverse superior, dan medial
oleh lamina dan sendi facet) dan naik ke otot erector spine (umum
istilah untuk 3 oto, yaitu otot spinalis, longissimus thoracis, dan
iliocostalis). Di sini, terbagi menjadi cabang lateral dan medial;
cabang medial terus naik melalui rhomboid mayor dan otot
trapezius ke lokasi yang dangkal sebelum berakhir di cabang kulit
posterior. Ramus ventral berjalan lateral sebagai saraf interkostal,
berjalan lebih dalam ke internal membran interkostal dan
kemudian di bagian antara internal dan otot interkostal bagian
dalam. Lateral cabang kulit muncul dari saraf interkostal dekat
sudut dari tulang rusuk dan cabang ini naik ke lokasi yang

149
dangkal, muncul di dekat midaxillary line itu selanjutnya dibagi
lagi menjadi cabang anterior dan posterior yang memasok toraks
lateral dinding. Saraf interkostal berakhir pada kulit anterior
cabang yang mempersarafi dinding dada anterior dan atas perut.
Selain cabang-cabang utama ini, masing-masing interkostal saraf
juga menimbulkan beberapa cabang otot yang menginervasi otot
interkostal.

Blok ESP yang dipandu ultrasound dilakukan ke otot


erector spinae (ESM). Tahapan yang bisa dilakukan adalah :
a. Tempatkan Probe berada dalam orientasi membujur di
atas ujung proses transversus T5 (TP)
b. Insersikan Jarum blok dengan arah dari cephalad ke
caudal melalui otot trapezius (TM), rhomboid major (RMM),
dan ESM secara meyakinkan menuju prosesus tranversus.
c. Injeksi sejumlah cairan ke daerah interfasial ke ESM dan
akan menghasilkan pola linear yang nampak dari
penyebaran cairan (panah) di bawah ESM.
Contoh regimen obat yang bisa digunakan sebagai analgetik
pada blok ESP : 15 ml Bupivacaine 0,5%, 5 ml lidocaine 2%
dan 10 ml norml saline. Total volume 30 ml.

DAFTAR PUSTAKA

150
Maurico Forero, MD, FIPP et all. 2016. The Erector Spinae Plane
Block A novel Analgesic Technique in Thorasic Neuropathic Pain.
American Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine.
USA.

Serkan Tulgar, Ozgur Senturk. 2017. Ultrasound guided Erector


Spinae Plane block at L-4 tranverse process level provides effective
postoperative anlgesia for total hip arthroplasty. Journal of
Clinical Anesthesia. Istambul, Turkey

151
LAPORAN KASUS
DAN
POSTER
Anesthesia Management during Caesarian
Section of Patient with Atrial Septal
Defect (ASD) and Pulmonary
Hypertension
dr. Vidya Sulistyawan, dr. Dewi Puspitorini Husodo,.**
152
dr. Isngadi,, Mkes, SpAn-KAO*,
*Consultant; ** Resident

Department of Anesthesiology and Intensive Care, dr. Saiful Anwar


General Hospital, Faculty of Medicine, Brawijaya University, Malang

ABSTRACT

BACKGROUND
Pregnancy in women with Atrial Septal Defect (ASD) and
Pulmonary Hypertension is known to be associated with mor-
tality rate between 30-56%. Majority maternal death cases occur
during labor or within 1 month post partum. The inability to
increase cardiac output leads to heart failure while further risks
are introduced with hypercoagulability and decrease in systemic
vascular resistance. When pregnancy occurs and termination is
declined, pregnancy and delivery should be managed by multi-
disciplinary services with experience in the management of both
pulmonary hypertension and high risk pregnancy. This paper will
discuss further related the case, assessment and correct anesthesia
treatment during patient examination.

CASE REPORT
A 22 years-old woman, primi gravida 24-26 weeks, with
pulmonary hypertension MPAP 128mmHg complicated by Eisen-
menger syndrome. Decided to terminate of pregnancy by caesa-
rian section, anesthesia by regional subarachnoid block with low
concentration of bupivacaine heavy with adjuvant fentanyl

METHODS
1. Regimen Subarachnoid using bupivacaine 0.5% heavy 5
mg + adjuvant fentanyl 50 mcg.
2. Arterial blood pressure invasive monitoring by installing
arterial line in right artery radialis

153
3. Hemodynamic monitoring by installing Central vein
Catheter Right Subclavia
4. Post caesarian section admitted to intensive care unit ward
for 2 days and cardiovascular care unit ward for 3 days

RESULT
Termination of pregnancy by caesarian section using low
concentration of bupivacaine heavy with adjuvant fentanyl is
successful, it’s control decreasing of systemic vascular resistance,
increasing pulmonary vascular resistance. Morbidity and morta-
lity are successful to be avoided

CONCLUSION
Basic principle of managing pulmonary hypertension with
systemic ventricular failure are maintaining the systemic ventri-
cular function and reducing pulmonary vascular resistance.
Multidisciplinary team approach is crucial to achieving successful
result.

KEYWORDS
Pregnancy, Heart disease, pulmonary hypertension, Eisen-
menger, anesthesia management

EPIDURAL LABOUR ANALGESIA FOR


PRIMIGRAVIDA WITH TETRALOGY OF
FALLOT

154
* Kristina Setiandari, * Skolastika Rani Febrianti, ** Juni
Kurniawaty
* Resident/Departement Anesthesiology and Critical
Care/Medical Faculty UGM
** Consultant/Departement Anesthesiology and Critical
Care/Hospital Dr. Sardjito

INTRODUCTION
Tetralogy of Fallot (TOF) is the most frequent congenital
cardiac disease with right to left shunt and is characterized with a
ventricular septal defect, an overriding aorta, right ventricular
hypertrophy and pulmonary stenosis. In TOF patients who have
not undergone any surgery, it has been reported that 11% of the
cases have lived up to 20.6% years of age to 30 years and 3% of the
patients to 40 years of age. In some cases, pregnancy renders a
serious risk for both the mother and the baby; resulting in
abortion in 70% of the cases.

CASE REPORT
Patient 19 y.o, 54 kg, 162 cm, 33 weeks and 5 days of
gestational age, primigravida, . Prenatal evaluation has revealed
severe heart murmur and patient was referred to a specialized
hospital were tetralogy of Fallot was diagnosed. Patient referred
mild dyspnea and cyanosis of extremities, which have worsened
along gestation. At preanesthetic evaluation patient presented
with central and extremities cyanosis and clubbed fingers,
denying allergies, previous surgeries and use of medications.
Maternal echocardiography, performed at 29 weeks of gestation
has revealed Tetralogy of Fallot, PS valvar, RV hypertrophy,
Dilatation of RA RV, EF 65%, Normal systolic function and
normal LV segmental, AR mild, TR moderate.
Continuous electrocardiography (ECG), pulse oximetry and
invasive blood pressure monitoring were performed during the
labour. Anesthetic technique was epidural block performed at L4-
L5 with patient in the sitting position and using 18G Tuohy
needle, epidural catheter was inserted 5 cm into the epidural
155
space. After a test dose with 3 mL of 2% lidocaine with vaso-
constrictor, 10 mL of 0.125% bupivacaine (10 mg) were injected in
incremental dose. Patient remained monitored and receiving 2
L/m oxygen via nasal catheter. Heart rate settled from 121 to 105
bpm. Blood pressures were stable with mean level 120/60 mmHg.
Oximetry varying from 85%-89%. Pain scores were monitored
with visual analog scale, varying from 1-4, increase during
contraction and dilatation. Patient referred pain relief appro-
ximately 10 minutes after blockade with minor uterine dynamics
change. Epidural analgesia top up every 4 hours, incremantal
dose, with Levobupivacaine 0,125% - 0,2% (15 cc). In the active
phase, intrathecal analgesia with Bupivacaine heavy 2.5 mg and
Fentanyl 25 mcg was injected. Hemodynamic remain stable, VAS
0. Labour progressed normally with an vacum extraction vaginal
delivery of a healthy female baby, Apgar at birth was 7/10 and
9/10 after 5 min, weight 1674 gram. Labour progress within 9
hours and 40 minutes. Total fluids throughout labour was ringer
fundin 1250 ml.
After delivery patient remained stable, with no hemody-
namic or ECG changes, with oximetry levels around 88%-89%.

DISCUSSION
Tetralogy of Fallot (TOF) is the most common cyanotic
congenital heart defect seen in around 5–6% of congenital heart
malformations. The true incidence seems to be higher in the
developing nations. It is characterized by anterior and superior
infundibular septal displacement, ventricular septal defect, aortic
override, infundibular obstruction and right ventricular hyper-
trophy. Gestation increases mortality and morbidity rates of
uncorrected tetralogy of Fallot patients.
Risk is increased when arterial oxygen saturation levels at
rest are below 85%. Decreased systemic vascular resistance during
gestation and labour may increase shunt and worsen acidosis. The
level of hypoxemia is a direct function of shunt severity and
magnitude, which depend on fixed factors -right ventricular
obstruction level, aortic dextroposition level, IVC size - and
156
variable factors - SVR and PVR, infundibular obstruction, venous
return and myocardial contractility.

CONCLUSION
Patients was diagnosed TOF before pregnancy and
classified as class III according to WHO category with significant
high risk of mortality and morbidity. Clinical management in this
patients consists of total bed rest and spontaneous partus with
epidural analgesia support. The goal was to maintain venous
return, SVR, myocardial contractility and prevent increased PVR
and heart rate to minimize shunting from right to left. Monitoring
was done using invasive monitoring in ICU. However, the ideal
management from preconception to delivery should still be
developed by all relevant sections since not all health centers can
handle TOF cases in pregnancy.

KEYWORDS
Primigravida with TOF, Congenital heart disease, Epidural
analgesia

Epidural Anesthesia pada pasien dengan


MR Moderatedan Low Ejection Fraction
* Muhammad Reza, ** Juni Kurniawaty
* Resident/Departement Anesthesiology and Critical
Care/Medical Faculty UGM
** Consultant /Departement Anesthesiology and Critical
Care/Hospital Dr. Sardjito

157
ABSTRACT

A 57 years old woman with major complaint of birth canal


bleeding for 1 year. Patient had a history of DM, hypertension.
From the examinations obtained MR moderate with EF 30%.
Patient had METs>6. The patient planned for a trans abdominal
hysterectomy surgery. Before surgery, the patient was adminis-
tered epidural anesthesia with Levovupivacain 0,5 % 12 cc incre-
mentally and sedation during operation. Post surgery, patient
transferred to PACU (Post Anesthesia Care Unit) for one day. The
Post operative pain was controlled by Epidural Analgesia
Continouos Levobupivacain 0.125% +Fentanyl 1 mcg 4cc/hour.
After being hospitalized for 4 days, the patient was allowed to go
home.

CHRONIC HEART FAILURE EC SEVERE


MITRAL REGURGITATION, MILD MITRAL
STENOSIS, AND MODERATE TRICUSPID
REGURGITATION EC RHEUMATOID HEART
DISEASE, UNDERGOING SECTIO
CAESSAREAN WITH SUBARACHNOID
BLOCK
Amalia M Berhimpon, Tjahja Aryasa EM
Departement of Anesthesia and Intensive Care
Faculty of Medicine University of Udayana – Sanglah General
Hospital
Denpasar – Indonesi

158
ABSTRACT

Background: Rheumatic heart disease covers 90% of all heart


disorders in women of child-bearing age being of rheumatic
origin in non-industrialized regions. Mitral regurgitation can
either involve abnormalities in the valve or in sub-valvular
components or functional abnormalities due to annular or LV
dilation, leading to malcoaptation of the mitral valve leaflets. The
primary anaesthetic goal is maintaining forward systemic flow.
Higher heart rate should be maintained to decrease the
regurgitant volume by shortening systole. In sectio caesarean,
usually performed under sub-arachnoid block, the decrease of the
blood pressures will cause a tachycardia reflex that is beneficial
for these patient. But if the block level is too high, it will cause a
decrease of heart rate, will deteriorate the hemodynamic itself.

Objective: A 24 years old female with a 38 weeks of pregnancy


planned to have a caesarean sectioned due to Rheumatoid heart
disease, with symptoms of fatique and mild exertion for the last
three months. Echocardiography revealed a severe mitral regur-
gitation, mild mitral stenosis and moderate tricuspid regurgi-
tation. The remaining physical evaluation within normal limit.

Methods: Premedication : midazolam 1 mg. Induction with


Bupivacaine 0,5% heavy 10 mg, using median approach at the
level of L3-L4. Heart rate, mean arterial pressure, fluid balance
were monitored.

Results: Heart rate and MAP are slightly decreased after the
spinal procedure with proper fluid intake. Ephedrine was
administered and within 15 seconds the heart rate increase to 105
byte perminute, and maintained troughout the surgery. The
patient was fully awake in stable hemodynamic.

Conclusions: Sub-arachnoid block was applied successfully for


caesarrean section in RHD patient.
159
Keywords: subarachnoid block, caesarean section, rheumatoid heart
disease

MIGRATION OF EPIDURAL CATHETER


INTO RIGHT PSOAS MUSCLE WITH
MEDIAN EPIDURAL INSERTION
TECHNIQUE
dr. Hariyanto, dr. I Made Gede Widnyana SpAn. KAR
Department of Anesthesiolgy and Intensive Care, Sanglah
Hospital Faculty of Medicine, Udayana University, Denpasar Bali

ABSTRACT

One of the common cause of failed analgesia with epidural


technique is misplacement of the catheter. The catheter which is
supposed to be in the epidural space, inadvertently migrate to the
intervertebral foramen, pleural space, and intraperitoneal cavity.
But, incidence of failed epidural due to misplacement of the
catheter was very rare. In addition, to confirm if the catheter is on
the right place is still difficult and not usual to be done.
A 42-years-old woman with stone on her right urinary tract
came to underwent exploration of the urinary tract stone and
nephrectomy if necessary. From the physical examination and
160
supportive examination, patient was concluded in a good
condition and has no abnormality of spine anatomy.
To the patient, we performed anesthesia with general
anesthesia technique and followed with epidural technique. 18G
Tuohy needle was used to apply the epidural catheter with
median approach, and Loss of Resistance technique was used to
confirm if the needle already in the epidural space. However,
when the surgeon explored the retroperitoneal area, the tip of the
epidural catheter was found at the right psoas muscle at the same
level of the epidural catheter insertion site. Observation were
undertaken during patient care, and neurological deficits and
toxicity induced by local anesthetic were not found.
Misplacement of epidural catheter was very rare to be
found, but it still can be happened in a patient who has no spine
anatomical abnormalities and the process has been performed
according to the standard of procedure.

Keywords: Epidural anesthesia, epidural catheter, misplacement,


median approach

161
Asymptomatic Inadvertent Epidural
Catheter Rupture
Fransisca Kumala, Pryambodho
Department of Anesthesiology and Intensive Care, Faculty of
Medicine University of Indonesia – RSUPN Cipto
Mangunkusumo, Jakarta

A 51-year old male was diagnosed of hepatocellular


carcinoma and scheduled for tumor resection per laparoscopic
under general anesthesia combined with epidural. The epidural
inserted before induction in sitting position at L1-L2 intervertebral
space with 18G, 80 mm Tuohy needle (B Braun-Perifix) by loss of
resistance technique using normal saline. The epidural space was
encountered at 5 cm from the skin and a 20 G multi-hole epidural
catheter was advanced up to 10 cm marker catheter at the needle
end, after which resistance was felt. Therefore, the catheter was
attempted to be relocated, however on the removal, the catheter
was shreaded about 2 cm from the tip.
In the inspection, there was no exposure of the catheter tip
to the skin, nor there was any sign of cerebrospinal liquor from
the insertion point. It was decided not to make any other attempt
to insert the epidural catheter and the surgery was done under
general anesthesia.
While the surgery was being held relatively uneventful,
anesthesiologist and surgeon discussed about further manage-
ment of the condition, whether it was needed for radiologic
diagnostic or surgery to obtain the catheter. In mind that the
catheter was 2 cm length which it had little possibility to produce
any neurological deficit, it was decided to observe for any
neurological symptoms after the patient arose.
After the surgery, patient was extubated and admitted to
the ICU. The patient did not complaint for any sensory, motor, or
autonomical disturbance until five days after surgery. There was
still no sign infection at the insertion point.

162
The patient and family were informed about the condition
of the severed epidural catheter, and since it did not cause any
neurological signs and symptoms, no further action was planned.
The patient was periodically being followed up and asked to
report in case of any adverse symptoms immediately.

Foreign Bodies, Fragmented Epidural


Catheter In Epidural Space
dr. Sugeng Budi Santoso Sp.An, KMN
Departemen Anetesiologi & Terapi Intensif Rumah Sakit Dokter
Moewardi Surakarta

A 55 y.o, female was posted hysterectomy under CSE. In


setting position, under full aseptic precaution, using a LOS tech-
nique. Ep needle was advanced in the L3-L4 interspace. Ep space
163
was identified at 4 cm and Ep cath was advanced cephalad up to
15 cm at the hub of the needle. While injecting the test dose,
resistence was felt. The Ep needle w/the cath was tried to be
remove by gentle traction, but the cath sheared off around 1.5 cm
from the tip.

The Insidence of Breakage and Retained


of a Lumbar Epidural Catheter during its
Removal in A-53 year old Woman After
Combined Spinal Epidural technique for
Laparatomy Debulking Procedure.

ABSTRACT

164
The breakage and retained of an epidural catheter is a rare
complication during the removal of an epidural catheter. There
are many causes to breakage of an epidural catheter, such as
patient's factors (anatomy, position during insertion and removal
of the catheter), the characteristics of the catheter itself, and the
difficulty of the procedure.
We experienced a breakage and retained of a lumbar
epidural catheter during its removal. A-53 year old woman (148
cm and 43 Kg) was diagnosed with endometrium cancer post
chemotherapy with 6 series of carbo-paclitaxel. She had
undergone laparatomy debulking with anethesia procedure is
combined spinal epidural technique. We had performed epidural
insertion first and then spinal anesthesia. A with 17 G touhy
needle (B-Braun-Perifix) was inserted via the paramedian
approach at L4-L5 vertebral interlaminer space using the loss of
resistance technique and advanced 4 cm into the epidural space,
and the catheter was inserted 9 cm cephalad in the epidural space
i.e 13 cm from skin, and the tip of catheter predicted at T8-9 level.
There was no cerebral fluid or blood in the aspiration, and an
epidural test dose of 3 ml of 1,5% lidocaine with 1:200.000
epinephrine was injected and there were no changes in
hemodynamic and the motoric of lower extremity. After that we
performed a spinal quincke (cutting needle) 27G using maindrain
needle 23G via the median approach at level L4-L5 equal with the
epidural was inserted before, there was a clear CSF and were no
blood. A 15 mg bupivacaine heavy 0,5% was injected into
subarachnoid space. The patient underwent a laparatomy debulk-
ing procedure and maintained the epidural catheter post
operative for pain control analgesia. Post operative, we’d never
injected the epidural regiment because the visual analogue score
less then 2, and two days after surgery, we decided to remove the
epidural catheter. The patient was placed in the lateral decubitus
position and gently we was started to remove the epidural
catheter, but after 1 cm it was removed, there were a resistance
and suddenly the epidural catheter was breakaged and retained
12 cm in the body. We was evaluated, there was no exposure of
165
the catheter tip at the skin, there was no CSF or blood, and there
was no any neurological symptoms or signs. The remaining
catheter was confirmed using MRI lumbosacral without contras.
We had decided to leaving it, observing the patient and regular
follow-up to identify the complications which may develop
months or years later.

Keywords: Breakage, Retained, Catheter, Complications,


Epidural, Lumbar

CAUDAL CONTINUOUS EPIDURAL


“TUNNELING”
dr. Hinarto
DR. dr. Tjok GA Senapathi, Sp.An KAR

BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi Regional

Anestesi regional terdiri dari blok subarakhnoid atau


anestesi spinal, blok epidural dan blok kaudal. Blok subarakhnoid
adalah jenis anestesi neuroaksial sentral yang dilakukan dengan
menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam cairan serebrospinal
(CSF) yang terkandung di dalam ruang subaraknoid; sementara
blok epidural adalah jenis anestesi neuroaksial sentral yang
dilakukan dengan menyuntikkan obat anestesi lokal ke ruang

166
epidural. Diperlukan pemahaman yang memadai mengenai
struktur anatomi kolumna vertebralis.

Anestesi kaudal pada pasien pediatrik


Indikasi
Indikasi anestesi kaudal adalah untuk prosedur pembedah-
an abdomen, urologi, atau ortopedi yang terletak di bawah
umbilicus, pelvis, dan area genital, atau ekstremitas inferior,
dimana nyeri paska operasi tidak membutuhkan analgesia kuat
yang terus menerus. Contoh jenis pembedahan tersebut adalah
herniorafi umbilicus atau inguinal, orkidopeksi, hipospadia, dan
operasi CTEV. Anestesi kaudal berguna untuk operasi satu hari
(one day care surgery), namun penambahan opiod ke dalam anes-
tesi lokal harus dihindari dalam hal ini. Saat menggunakan
anestesi kaudal, perlunya analgesia sistemik harus diantisipasi
untuk mencegah munculnya nyeri pada akhir masa kerja blok
kaudal. Kateter dapat diinsersikan untuk indikasi operasi pada
daerah abdominal tinggi atau thoraks, dan memerlukan analgesia
yang efektif.

Kontraindikasi
Kontraindikasi yang sering pada regional anestesi seperti
gangguan pembekuan darah, infeksi lokal atau general, kelainan
neurologi yang progresif, dan penolakan pasien atau keluarga.
Selain itu, kelainan pada kulit (angioma, tonjolan dari rambut,
tahi lalat atau adanya cekungan) di sekitar tepat penusukan
memerlukan pemeriksaan radiologis (USG, CT Scan, MRI), untuk
meyakinkan tidak adanya malformasi medula spinalis. Mongolian
spot bukan merupakan kontraindikasi anestesi kaudal.
Kolonisasi bakteri menjadi masalah dan faktor penyebab
terjadinya komplikasi sepsis pada pemasangan kateter kaudal
pada pasien pediatri. Untuk menghindari masalah tersebut, bisa
dilakukan teknik pemasangan kaudal tunneling untuk mengu-
rangi kolonisasi bakteri.
Epidural kontinyu analgesia secara signifikan sering
digunakan untuk postoperasi pada pasien pediatri, dan terdapat
167
beberapa kegunaan, yaitu opioid sparing effect tidak ada, dapat
memaksimalkan fungsi gastrointestinal setelah operasi, dan
pengerjaannya sangat mudah dilakukan dan hampir selalu
berhasil, karena landmark sangat mudah diidentifikasi, lokasi
penusukan relatif aman, dikarenakan jauh dari tempat yang
terdapat banyak struktur pembuluh saraf, dan menurunkan
kejadian kerusakan saraf dan duramater.

BAB II
DESKRIPSI KASUS

Pasien anak laki laki usia 3,5 tahun dengan berat badan 15
kilogram dan panjang badan 115 cm dengan diagnosa hipospadia
tipe penoscrotal dilakukan tindakan uretroplasty, pasien setelah
dilakukan evaluasi preanestesi didapatkan status fisik ASA I.
Pasien dilakukan tindakan pembiusan GA-OTT dengan
kaudal kontinyu analgesia dengan teknik pemasangan tunneling.
Premedikasi diberikan obat midazolam 1,5 mg + ketamine
50 mg IM, dan setelah pasien di dalam kamar operasi pasien
dilakukan induksi dengan Oksigen 5 liter + sevoflurane dengan
volume 4%. Setelah pasien tertidur, pasien diberikan analgetik
fentanyl 30 mcg IV dan pelumpuh otot atrakurium 10 mg IV dan
dilakukan intubasi endotrakeal. Untuk pemeliharaan anestesi,
diberikan Oksigen : Air dengan perbandingan 50% dan 50%; serta
penambahan analgetik fentanyl 0,25 mcg/kgBB diberikan secara
intermitten. Lalu setelah operasi, pasien direncanakan untuk

168
dipasang kaudal kontinyu analgesia dengan teknik pemasangan
tunneling.
Adapun persiapan yang dilakukan :
1. Alat-alat : set steril; handscoen sterill; betadine; alcohol;
kassa steril; set epidural pediatric; spuit 10 ml; spuit 1 ml;
spuit 3 ml.
2. Obat-obatan : Bupivacaine 0,125% ( 0,5% sebanyak 2 ml
diencerkan sampai 4 kalinya sehingga mendapat dosis
0,125%) + Tramadol 2 mg/kgBB.

Lalu tahapan berikut adalah memasukan obat melalui


abocath yang ditusukan di hiatus sacralis sebanyak 10 ml, aspirasi
setiap memasukan 2 ml. Lalu dilanjutkan pemasangan cateter
continious dengan cateter epidural pediatri (di dalam 3 cm),
setelah dimasukan, abocath ditarik perlahan. Lalu cateter epidural
ditarik hingga 10 cm. Tunneling dipakai dengan jarum epidural
pediatri, ditusukan di subkutis di daerah sekitar gluteus
maksimum Selama diruangan pasien digunakan terapi kontinyu
dengan bupivacaine 0,1%+tramadol 30 mg volume 50 ml dengan
kecepatan 2,1 ml/jam. Pasien diberikan analgesia selama 3 hari
setelah operasi dan dilakukan evaluasi terhadap skala nyeri
dengan menggunakan Wong-Baker FACES Pain Rating Scale
didapatkan skala nyeri 0-2.

169
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi sakrum dan kanalis sakralis


Sakrum
Sakrum secara kasar merupakan bentuk segitiga sama sisi,
yang dibentuk dari garis yang menghubungkan antara dua pro-
sesus illiaca posterosuperior dan puncak kaudal yang merupakan
hiatus sakralis. Sakrum berbentuk cembung di sebelah anterior.
Bagian dorsal sakrum terdiri dari krista mediana, yang meru-
pakan fusi dari prosesus spinosus sakralis. Ke sebelah lateral,
adalah krista intermediate dan lateral yang merupakan fusi
prosesus transversus dan artikularis.
Hiatus sakralis terletak di akhir kaudal krista mediana dan
terbentuk oleh kegagalan fusi dari lamina S5. Hiatus dikelilingi
oleh cornu sakralis, yang merupakan sisa dari prosesus artikularis
S5 inferior dan yang berhadapan dengan kornu koksigeus. Palpasi
170
pada kornu sakralis merupakan langkah penting dalam menen-
tukan hiatus sakralis dan kesuksesan blok kaudal.
Hiatus sakralis berbentuk U terbalik, dan tertutup oleh
ligamen sakrokoksigeus, dimana ligamen ini akan bertautan
dengan ligamentum flavum. Hiatus sakralis ini lebar dan mudah
untuk diketahui lokasinya sampai usia 7-8 tahun. Di atas usia ter-
sebut akan terjadi osifikasi yang progresif (sampai usia 30 tahun)
dan penutupan sudut sakrokosigeal membuatnya semakin sulit
untuk diidentifikasi. Kelainan anatomi dari atap kanalis sakralis
terjadi sebanyak 5% pada pasien dan hal ini dapat menyebabkan
penusukan yang lebih kranial atau lateral yang tidak diperkirakan
sebelumnya.

Kanalis Sakralis
Kanalis sakralis merupakan merupakan lanjutan dari ruang
epidural lumbalis. Terdiri dari akar saraf kauda equina, yang
keluar melalui foramen anterior sakralis. Selama anestesi kaudal,
keluarnya anestesi lokal melalui foramen ini menyebabkan
kualitas analgesia yang tinggi, karena difusi anestesi lokal sepan-
jang akar saraf. Penyebaran analgesia tidak dapat mencapai lebih
dari Th8-Th9 dengan meningkatkan volume suntikan anestesi
lokal
Sakus duralis (yaitu ruang subarakhnoid) pada infant ber-
akhir pada S3, sementara pada anak-anak dan orang dewasa
berakhir di S2. Sangat mungkin terjadi penusukan sakus duralis
saat melakukan anestesi kaudal, sehingga terjadi spinal anestesi.
Oleh karenanya jarum atau kanula harus masuk ke kanalis
sakralis dengan hati-hati setelah melewati ligamen sakro-kok-
sigeus. Jarak antara hiatus sakralis dan sakus duralis adalah
sekitar 10 mm pada neonatus. Kemudian secara progresif
meningkat dengan bertambahnya usia (>30 mm pada saat usia 18
tahun), namun terdapat variabilitas yang signifikan pada anak-
anak. Isi dari kanalis sakralis hampir sama dengan ruang epidural
lumbal, terutama lemak dan vena epidural. Pada anak-anak,
jaringan lemak epidural lebih lemah dan cair dibanding pada
orang dewasa, sehingga difusi anestesi lokal masih baik.
171
TEKNIK ANESTESI KAUDAL
Persiapan
Persetujuan tindakan harus ada baik dari pasien, atau lebih
penting dari orang tua. Setelah induksi anestesi umum dan
kontrol jalan nafas, pasien diposisikan secara lateral (atau ven-
tral), dengan pinggul di fleksikan sampai 90°. Lakukan desinfeksi
kulit secara hati-hati, karena terletak dekat dengan anus. Teknik
aseptik harus dilakukan dengan benar.
Sesuai dengan ukuran pada anak, diameter jarum adalah
21G sampai 25G dan panjangnya adalah sekitar 25-40 mm. Bevel
yang pendek meningkatkan sensasi penetrasi ligamen koksigeus
dan menurunkan resiko penusukan ke pembuluh darah dan
perforasi sakral. Jika tidak ada jarum stilet, dapat dibuat goresan
di kulit supaya memudahkan insersi jarum kaudal. Cara lainnya
adalah dengan menusukkan kateter intravena, dimana sebelum
injeksi, jarum bevel dilepaskan terlebih dahulu.
Penusukan
Setelah menentukan landmark tulang segitiga sakral, dua
kornu sakralis ditentukan dengan menggerakan jari dari satu sisi
ke sisi yang lain. Celah gluteal tidak cukup baik apabila diguna-
kan sebagai penanda midline. Penusukan dilakukan diantara dua
kornu. Jarum diarahkan dengan sudut 60° yang merupakan back
plane, 90° terhadap kulit. Bevel jarum diarahkan ke arah ventral,
atau paralel dengan serat atau ligamentum sakrokoksigeus. Jarak
antara kulit dan ligamentum sakrokoksigeus adalah sekitar 5-15
mm, tergantung dari ukuran anak. Ligamentum sakrokoksigeus
memberikan sensasi “pop” saat melewatinya, sama dengan liga-
mentum flavum pada anestesi epidural lumbal. Setelah melewati
ligamentum sakrokoksigeus, jarum diarahkan 30° ke arah per-
mukaan kulit, dan kemudian masuk ke kanalis sakralis beberapa
milimeter. Apabila jarum mengenai tulang di dinding depan
kanalis sakralis, jarum harus ditarik sedikit.
Setelah memastikan tidak adanya refluks spontan dari
darah atau cairan serebrospinal (lebih sensitif dibandingkan
dengan tes aspirasi), injeksi anestesi lokal harus tidak mengalami
172
tahanan. Penyuntikan dilakukan secara perlahan (sekitar dalam
waktu satu menit atau lebih). Dilakukan dosis percobaan mengu-
nakan epinefrine di bawah monitoring EKG dan tekanan darah,
untuk memastikan tidak masuk ke pembuluh darah. Adanya
pembengkakan subkutan pada tempat penyuntikan menunjukkan
adanya needle placement. Adanya refluks darah mengindikasikan
untuk dilakukan penusukan ulang, dan, apabila terdapat refluks
cairan serebrospinal maka kaudal dianggap gagal, dan harus
dihentikan untuk menghindari resiko anestesia spinal yang
ekstensif. Tes aspirasi harus dilakukan beberapa kali selama
penyuntikan.
Pada orang dengan tangan yang terampil kesuksesan
anestesi kaudal mencapai 95%, namun masih mungkin terjadi
adanya variasi misplacement jarum. Saat insisi bedah, merupakan
uji yang nyata (true test) keberhasilan blok, namun teknik yang
bervariasi telah dilakukan untuk memastikan keberhasilan penu-
sukan, seperti asukultasi di tempat penyuntikan ( “swoosh test”),
atau mencari kontraksi spinkter anal sebagai respon terhadap
stimulasi saraf melalui jarum yang ditusukkan. Saat ini, sudah
menggunakan teknik ultrasonografi untuk membantu menen-
tukan lokasi hiatus sakrokoksigeus dan memperlihatkan serum
isotonik suntikan anestesi lokal ke ruang epidural sakral.

Insersi Kateter
Meskipun awalnya anestesi kaudal diperuntukkan untuk
teknik single shoot, beberapa peneliti menggunakan kateter
kaudal untuk memperlama analgesia paska operasi. Penambahan
kateter epidural sampai ke lumbal atau bahkan thoraks dapat
memberikan anagesia abdominal atas atau daerah thoraks.
Namun ada dua kekurangan teknik ini yaitu: resiko kolonisasi
bakteri pada kateter, terutama pada infant, dan resiko tinggi
misplacement kateter. Tempat keluar kateter subkutan yang jauh
dari orifisium anal dan penutupan luka tempat penusukan yang
tertutup dengan baik akan mengurangi kolonisasi bakteri.

OBAT ANESTESI LOKAL


173
Test Dose
Pertanda neurosensori awal dalam toksisitas anestesi lokal
tidak terlihat pada anestesi umum. Agen anestesi berhalogen
menurunkan toksisitas sistemik anestesi lokal dan dapat pula
menumpulkan pertanda kardiovaskuler injeksi test dose epine-
frin. Test aspirasi untuk menyingkirkan refluks darah tidak
terlalu sensitif, terutama pada infant. Test dose menggunakan
epinefrin 0.5 mcg/kg (diberikan sebagai lidokain dengan epine-
frin 1:200.000 sebanyak 0.1 ml/kg) cukup menunjukkan injeksi
intravena dengan sensitivitas dan spesifisitas mendekati 100%, di
dalam pengaruh agen anestesi berhalogenasi. Pertanda awal yang
menunjukkannya adalah perubahan frekuensi jantung (mening-
kat atau menurun 10 kali tiap menit), peningkatan tekanan darah
(mencapai 15 mmHg), atau perubahan amplitudo T-wave dalam
waktu 60-90 detik setelah penyuntikan. Sangat penting untuk
memonitor EKG dan hemodinamik selama penyuntikan anestesi
lokal secara perlahan.

Dosis penuh
Volume anestesi lokal yang disuntikkan menentukan
penyebaran blok dan harus disesuaikan dengan pembedahan.
Penyebaran analgesianya akan menyebar dua dermatom lebih
tinggi pada down position pada saat penusukkan jarum. Volume
injeksi tidak boleh melebihi 1.25 ml/kg atau 20-25 ml, untuk
mengurangi tekanan intrakranial karena massa anestesi lokal.
Pemilihan anestesi lokal dengan efek yang lama dan sebisa
mungkin blok motorik paling ringan, karena blok motorik sangat
kurang ditolerir pada anak yang terjaga. Bupivacaine termasuk
dalam obat pilihan. Saat ini ada yang sudah ada dan lebih baik
lagi adalah ropivacaine dan L-bupivacaine yang memiliki tok-
sisitas jantung yang rendah dibanding bupivacaine pada dosis
yang ekivalen untuk menimbulkan analgesia yang efektif. Obat-
obatan ini juga memiliki diferensial blok yang lebih baik (blok
motorik yang rendah untuk kekuatan analgesia yang sama) dan
pada konsentrasi 2.5 mg/mL (0.25%) merupakan konsentrasi

174
optimal untuk obat ini. Efek analgesianya mencapai 4 hingga 6
jam dengan blok motor minimal.
Pemakaian anestesi lokal tidak boleh melebihi dosis
maksimal, namun pengunaan campuran pengenceran menjadi-
kannya cukup volume dengan dosis minimal yang direkomen-
dasikan. Efek hemodinamik dari kaudal anestesi sangat lemah
bahkan seringkali tidak ada pada anak-anak, sehingga preload
cairan intravena dan obat vasokonstriktor tidak terlalu penting.

Adjuvan Regional Pediatri


Salah satu kelemahan dari anestesi kaudal adalah durasi
yang relatif singkat untuk analgesia pasca operasi pada anak-
anak, bahkan ketika menggunakan long-acting anestesi lokal.
175
Banyak agen telah dipelajari dalam upaya untuk menemukan
aditif yang akan memperpanjang durasi analgesia untuk single-
shot anestesi kaudal.

Epinefrin
Epinefrin ditambahkan ke dosis tunggal anestesi lokal
dengan dosis 5 mcg/mL atau konsentrasi 1 : 200.000. Kerugian
penggunaan epinefrin adalah vasokonstriksi dan mungkin iske-
mia dari gangguan aliran arteri. Dosis epinefrin dari 2,5 mcg/mL
atau konsentrasi 1: 400.000 dapat digunakan sebagai aditif untuk
blok sentral.
Epinefrin berfungsi sebagai penanda untuk injeksi intravas-
kular dan penurunan penyerapan sistemik anestesi lokal. Selain
itu, epinefrin dapat memperpanjang durasi blok regional. Epine-
frin memperpanjang durasi analgesia blok kaudal dibandingkan
dengan blok yang tidak dengan epinefrin. Durasi analgesia
menurun dengan bertambahnya usia dengan efek terbesar pada
anak-anak kurang dari 5 tahun. Anak-anak berusia 5 atau kurang
memiliki durasi rata-rata analgesia 10 sampai 13 jam lebih lama
jika epinefrin terdapat dalam larutan. Pada anak-anak usia 6
sampai 10 tahun, epinefrin meningkatkan durasi efek oleh 2
sampai 3 jam, sedangkan pada anak yang lebih tua dari 11 tahun,
epinefrin meningkatkan blok dengan 1 sampai 2 jam. Namun,
dalam penelitian lain, epinefrin belum terbukti untuk memper-
panjang blok kaudal dengan bupivakain.

Ketamin
Ketamin bebas pengawet telah dijelaskan untuk digunakan
kaudal pada anak-anak untuk memperpanjang analgesia paska
operasi. Naguib et al (1991) membandingkan tiga kelompok anak
yang menerima baik bupivakain plain 0,25%, ketamin 0,5 mg/kg,
atau bupivakain 0,25% ditambah ketamin 0,5 mg/kg. Kelompok
yang menerima hanya ketamin 0,5 mg/kg memiliki analgesia
176
superior dan durasi yang lebih lama tindakan dari kelompok
yang telah menerima bupivacaine 0,25% polos. Kelompok
ketamin juga memiliki analgesia yang sama dan durasi tindakan
untuk kelompok yang menerima kombinasi ketamin dan
bupivacaine. Tidak ada perubahan perilaku pasca operasi dicatat
dalam kelompok ketamin. Temuan ini telah dikonfirmasi dalam
penelitian selanjutnya menggunakan ketamin 0,5 mg/kg sebagai
aditif baik bupivacaine 0,25% atau 0,2% ropivacaine. Cook et al
(1995) mempelajari anak-anak berusia 1-10 tahun yang menerima
anestesi kaudal menggunakan 0,25% bupivacaine 1 mL/kg
dengan penambahan baik ketamin 0,5 mg/kg, clonidine 2
mcg/kg, atau epinefrin 5 mcg/mL. Kelompok ketamin memiliki
durasi rata-rata analgesia 12,5 jam dibandingkan dengan 5,8 jam
untuk kelompok clonidine dan 3,2 jam untuk kelompok epinefrin.
Ketika digunakan sendirian di ruang kaudal, ketamin dosis ini 0,5
mg/kg memiliki durasi yang lebih singkat daripada bupivacaine
0,25% dengan 1: 200.000 epinefrin, tapi ketamin 1 mg/kg diberi-
kan analgesia bedah dan pasca operasi yang setara dengan
bupivacaine.
Hager et al (2002) melaporkan penggunaan ketamin untuk
analgesia kaudal tanpa anestesi lokal dan dibandingkan kelom-
pok yang menerima ketamin 1 mg/kg dengan dua kelompok lain
yang menerima, selain ketamin, clonidine 1 atau 2 mcg/kg.
Kelompok ketamin memiliki durasi rata-rata analgesia setelah
operasi dari 13,3 jam. Ketika klonidine 1 mcg/kg atau 2 mcg/kg
ditambahkan ke ketamin, durasi rata-rata adalah 22,7 jam dan 21,8
jam, masing-masing. Namun begitu efek neurotoksisitas ketamin
bila dimasukkan dalam ruang epidural masih menjadi kontro-
versi.

Klonidin
Klonidine, agonis α2-adrenergik, pada 1 sampai 2 mcg/kg
telah digunakan dengan sukses dan dapat mengakibatkan tam-
bahan 4 sampai 6 jam analgesia bila dikombinasikan dengan
bupivakain. Ivani et al (2000) juga menunjukkan efek mengun-
tungkan dari clonidine ketika ditambahkan ke ropivacaine. Dalam
177
penelitian ini, ropivacaine 0,1% ditambah clonidine 2 mcg/kg
memberikan kualitas analgesik unggul blok kaudal dibandingkan
dengan 0,2% ropivacaine tanpa klonidine.
Mekanisme sebenarnya dari tindakan analgesik clonidine
masih belum diketahui, tetapi ada bukti bahwa ia memiliki kedua
tempat kerja secara sentral dan perifer. Meskipun klonidine dapat
menyebabkan efek sedasi, terutama pada dosis yang lebih tinggi,
dan meskipun sedasi belum dianggap signifikan secara klinis
dalam studi, klonidine caudal telah terlibat dalam laporan kasus
sebagai penyebab apnea pada neonatus.
De Negri et al (2001) dibandingkan ketamin dengan Kloni-
dine untuk menentukan agen yang paling efektif memperpanjang
anestesi kaudal ropivacaine. Anak-anak 1 sampai 5 tahun mene-
rima 0,2% ropivacaine 2 mg/kg, ropivacaine ditambah klonidin 2
mcg/kg, atau ropivacaine ditambah ketamin 0,5 mg/kg untuk
anestesi kaudal. Analgesia paska operasi secara signifikan lebih
lama di ropivacaine dengan kelompok ketamin (701 menit)
dibandingkan dengan ropivacaine dengan kelompok clonidine
(492 menit) dan kelompok polos ropivacaine (291 menit). Ada
efek samping tidak signifikan secara klinis di salah satu kelom-
pok.

Tramadol
Tramadol adalah analgesik yang bekerja sentral pada
reseptor opioid dan telah dibandingkan dengan bupivacaine sen-
diri dan kombinasi tramadol-bupivacaine untuk analgesia kaudal.
Pada dosis 1 mg/kg tramadol ditambahkan ke bupivacaine,
pasien memiliki skor nyeri yang lebih rendah dan jangka waktu
yang lebih lama dibandingkan dengan analgesia bupivacaine saja.
Pada dosis tramadol dari 2 mg/kg ditambahkan ke bupivacaine,
beberapa anak memiliki efek penenang; Namun, ini tidak diang-
gap signifikan secara klinis. Tramadol 2 mg/kg memberikan
analgesia pasca operasi yang handal yang mirip dengan kaudal
morfin 30 mcg/kg untuk anak-anak menjalani herniorrhaphy.

Neostigmin
178
Penggunaan neostigmin dalam ruang epidural adalah se-
buah konsep yang relatif baru pada anak-anak. Kiprahnya dapat
dikaitkan baik tindakan langsung pada sumsum tulang belakang
melalui penghambatan pemecahan asetilkolin di cornu dorsalis
atau efek antinociceptif. Sebuah studi pada anak-anak dibanding-
kan tiga kelompok untuk menentukan efektivitas neostigmin 2
mcg/kg sebagai analgesik kaudal untuk perbaikan hipospadia,
baik sendiri atau dalam kombinasi dengan bupivakain. Kelompok
yang menerima 1 mL/kg baik 0,25% bupivakain polos, bupiva-
kain dengan neostigmin 2 mcg/kg, atau neostigmin 2 mcg/kg
polos. Kombinasi bupivacaine dan neostigmin memberikan efek
analgesia yang lebih unggul dibandingkan kelompok lainnya dan
durasi rata-rata 22,8 jam dibandingkan dengan 8,1 jam pada
kelompok polos bupivakain dan 5,2 jam pada kelompok polos
neostigmin.

Opioid
Opioid telah umum digunakan dalam blok kaudal dengan
atau tanpa anestesi lokal. Ada dua kelas yang berbeda dari opioid:
hidrofilik dan lipofilik. Secara umum, opioid hidrofilik seperti
morfin mampu penyebaran rostral, sedangkan opioid lipofilik
seperti fentanil bersifat lokal di daerah injeksi. Perbedaan ini
menyebabkan efek samping sedasi dan depresi pernafasan yang
lebih sering dari agen hidrofilik.
Opioid dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas dan
durasi blok. Kerugian utama aditif opioid adalah risiko depresi
pernapasan. Pada anak-anak kurang dari 1 tahun, risiko depresi
pernafasan dari morfin secara signifikan lebih tinggi dibanding
anak-anak yang lebih besar dari usia 1 tahun. Dalam penelitian ini
dari 138 anak-anak yang telah menerima 70 mcg/kg morfin,
kejadian depresi pernafasan yang signifikan secara klinis adalah
8%. Sepuluh dari 11 anak-anak dengan depresi pernapasan
kurang dari 1 tahun dan beratnya kurang dari 9 kg. Tujuh dari 11
pasien juga menerima opioid intravena. Semua episode depresi
pernafasan terjadi dalam waktu 12 jam dari injeksi morfin kaudal.
Oleh karena itu, opioid sebagai adjuvan regional kontraindikasi
179
pada pasien bedah rawat jalan. Selain itu, pasien di bawah usia 1
tahun dan pasien yang menerima opioid intravena selalu harus
hati-hati dipantau paska operasi.
Kelemahan lain dari opioid neuraksial adalah peningkatan
kejadian pruritus pasca operasi, mual, dan muntah. Meskipun
fentanil 1 mcg/kg dapat memperpanjang blok kaudal, kejadian
pruritus dan muntah juga meningkat (Constant et al., 1998).
Dalam sebuah penelitian, penyelidikan benar-benar dihentikan
karena insiden yang tidak dapat diterima yaitu muntah paska
operasi dalam kelompok anak-anak yang telah menerima
buprenorfin kaudal. Retensi urin merupakan efek samping dari
morfin kaudal dan diperlukan kateterisasi urin dalam 30% dari
anak-anak dalam satu studi dengan menggunakan 70 mcg/kg
morfin. Alasan lain untuk menghindari opioid neuraksial adalah
ketersediaan aditif alternatif. Seperti telah dibahas sebelumnya,
aditif seperti clonidine dan ketamin telah digunakan sebagai
tambahan untuk blokade pusat dengan sukses dan menghasilkan
lebih sedikit efek samping dibandingkan dengan opioid.
Opioid lipofilik tidak menawarkan risiko yang sama de-
presi pernafasan dengan agen hidrofilik. Kerugian dari agen
lipofilik adalah durasi yang lebih singkat dari analgesia pasca
operasi daripada apa yang disediakan oleh morfin. Dalam
sebagian besar laporan, kaudal fentanil 1 mcg/kg belum terbukti
meningkatkan durasi analgesia yang dihasilkan oleh 0,125%
bupivacaine, 0,25% bupivakain, atau 2% lidokain.
Fentanil dan morfin dibandingkan untuk keberhasilan dan
efek samping pada anak usia 1 sampai 16 tahun. Anak-anak
menerima dosis preincisisi epidural 0,5% bupivacaine 0,75 mL/kg
dan kemudian dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok morfin
menerima bolus preoperatif epidural morfin 75 mcg/kg dan sama
morfin bolus dosis 24 jam kemudian. Kelompok fentanil mene-
rima 2 mcg/kg sebelum sayatan, diikuti dengan infus kontinu
dari 5 mcg/kg per hari. Kelompok yang menerima infus fentanil
memiliki analgesia sebanding dengan kelompok morfin namun
dengan efek samping pruritus lebih rendah (20% berbanding 53%)

180
dan efek mual dan muntah yang lebih ringan (0% berbanding
33%).

Komplikasi Anestesi Kaudal


Komplikasi anestesi kaudal sangat jarang (0.7 tiap 1000
kasus), dan hal inipun terjadi karena peralatan yang tidak baik,
dan lebih sering terjadi pada infant. Apabila teknik anestesi
kaudal gagal, maka harus dihentikan untuk menghindari potensi
komplikasi yang serius. Komplikasi signifikan berikut ini diurut-
kan berdasarkan seringnya frekuensi yang terjadi:
- Dural tap. Hal ini terjadi apabila jarum melewati kanalis
sakralis dimana injeksi anestesi lokal subarakhnoid dapat
mengakibatkan anestesi spinal extensif. Dibawah pengaruh
anestesi umum, kejadian ini perlu dicurigai apabila terlihat
midriasis pupil non-reaktif (dilatasi pupil)
- Penusukan ke tulang atau pembuluh darah dapat menye-
babkan injeksi intravaskuler dan menyebabkan toksisitas
sistemik. Penilaian awal harus dilakukan menggunakan test
dose, sensasi tahanan saat penyuntikan dan penyuntikan
secara perlahan dibawah monitoring hemodinamik dan EKG.
Perforasi sakral dapat menyebabkan kerusakan organ pelvis
(misalnya penusukan ke rektum).
- Melebihi dosis maksimal menyebabkan resiko overdosis
dan komplikasi kardiovaskuler atau neurologis.
- Depresi nafas tertunda karena injeksi kaudal
menggunakan opioid
- Retensi urin: pasien harus dipastikan bisa buang air kecil
spontan.
- Osteomielitis sacralis

181
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan & Mikhail’s. Clinical Anesthesiology, 5 th Edition.
2013. Philadelphia: McGraw Hill. h. 937-72.

2. Raux O., et al. Update in Anaesthesia: Pediatric Caudal


Anaesthesia. 2011.

3. Davis PJ, Cladis FP, Motoyama EK. Smith Anesthesia For


Infant and Children. Edisi ke-8. 2011. Philadelphia : Elsevier.

4. Greeley, William J. Section EditorBubeck, Jörg MD *; Boos,


Karin MD†; Krause, Helmut MD‡; Thies, Karl-Christian MD§,
Subcutaneous Tunneling of Caudal Catheters Reduces the
Rate of Bacterial Colonization to That of Lumbar Epidural
Catheters

USG GUIDED PECS BLOCK II AS INTRA AND


POSTOPERATIVE ANALGESIA MODALITY
IN MODIFIED RADICAL MASTECTOMY
(MRM) (CASE REPORT)
I Made Darma Junaedi; Tjokorda GA Senapathi; I M G Widnyana
DEPARTEMENT OF ANESTHESIOLOGY AND INTENSIVE
CARE SANGLAH CENTRAL GENERAL HOSPITAL/FACULTY
OF MEDICINE UDAYANA UNIVERSITY

ABSTRACT

182
BACKGROUND
Inadequate management of acute pain after breast cancer
surgery can lead to chronic pain. Pectoralis block I and II (Pecs
Block I and II) are novels peripheral nerve block introduced in
2011 by Blanco et al for intra and postoperative analgesia for
breast cancer surgery.

OBJECTIVE
Pecs Block II is a interfasia peripheral nerve block technique
to block the medial and lateral pectoralis, thoracal intercostalis
(T2-T6), and thoracodorsal nerve, its a modification from Pecs
Block I. This technique can provide analgesia for breast and
hemithoracs surgery.

METHODE
Six patients with breast cancer surgery planned for MRM
with physical status ASA I and II, with body weight from 50-60
kg. General anesthesia with endotracheal tube were done before
we do the block. Patients were in supine position proceed with
disinfection in pectoral region. The transducer position in midcla-
vicula and then to lateral to identify the third and fourth ribs. The
next step is to identify the pectoralis major, minor, and serratus
anterior. The first injection is in the fasia between pectoralis major
and minor muscle with 10 ml of Bupivacaine 0,25%. the second
injection by advancing the needle to fasia between pectoralis
minor and serratus anterior muscle with 20 ml of Bupivacaine
0,25%. Anesthesia maintenance with compressed air: O2 and
Sevoflurane. Postoperative analgesia with PCA morfin demand
mode and ketorolac 30 mg every 8 hours (iv)

RESULT AND CONCLUSION


The mean intraoperative fentanyl consumption is 125 µg,
without Pecs Block II the mean fentanyl consumption is 200 µg.
Pain were evaluated in the 4, 6, 12, and 24 hour postoperative
with VAS on static 1-2/10 cm and VAS on movement 2-3/10 cm.
Mean postoperative morfin consumption was 2,2 mg in 24 hours,
183
compared with mean consumption of 9 mg without Pecs Block II.
Hemodynamic was stable with heartrate 60-70 bpm and blood
pressure 100-110/60-80 mmHg. We did not found any compli-
cation of the procedure nor local anesthesia toxicity. We conclude
Pecs Block II is relative easy and effective for intra and
postoperative analgesia in breast cancer surgery.

REFERENCES
Bashandy GMN, Abbas DN. 2015. Pectoral nerves I and II blocks
in multimodal analgesia for breast cancer surgery: a
randomized clinical trial. Reg Anesth Pain Med 40: 68-74

Blanco R, Fajardo M, Parras Maldonado T. 2012. Ultrasound


description of Pecs II (modified Pecs I): a novel approach to
breast surgery. Rev Esp Anesteiol Reanim 59: 470-475

lanco R, Barrington MJ. 2017. Pectoralis and serratus plane blocks.


Available at: https://www.nysora.com/pectoralis-serratus-
plane-blocks

Eldeen HMS. 2015. Ultrasound guided pectoral nerve blockade


versus thoracic spinal blockade for conservative breast
surgery in cancer breast: A randomized controlled trial.
Egyptian Journal of Anaesthesia 32: 29-35

Kim H, Shim J, Kim I. 2016. Surgical excision of the breast giant


fibroadenoma under regional anesthesia by Pecs II and
internal intercostal plane block: a case report and brief
technical description. Korean Journal of Anesthesiology: e115.

Miller, RD. 2010. Miller’s Anesthesia 7 th Edition. USA: Curchill


Livingstone

184
ULTRASOUND-GUIDED CONTINUOUS
FEMORAL NERVE BLOCK FOR ANALGESIA
AFTER TOTAL KNEE REPLACEMENT (TKR)
Muhammad Faizal Hadiyanto*, Doso Sutiyono**
*
Department of Anesthesiology and Intensive Therapy, Faculty of
Medicine Diponegoro University, Dr.Kariadi Hospital Semarang
**
Staff of Anesthesiology and Intensive Therapy, Faculty of Medicine
Diponegoro University, Dr. Kariadi Hospital Semarang

Background
Total knee replacement (TKR) procedures usually asso-
ciated with severe pain. Pain after TKR may delay early mobi-
lization, prolong hospitalization, and increase the risk of posto-
perative complications. Regional nerve blocks have shown
benefits over the procedural sedation and analgesia for pain
management. Continuous femoral nerve block without any
important adverse effects on central nervous systems or systemic
circulation, could be helpful in managing pain and decreasing the
volume of narcotic and opioid usage.

Objective
Continuous femoral nerve block provides extended pain
relief and improved functional recovery for TKR. This technique
is advantageous in situations where it would be better to avoid
general anesthesia or neuroaxial anesthesia.

Methods

185
Patient with knee osteoarthritis dextra who underwent TKR
received postoperative analgesia from march 3, 2018 to march 5,
2018. The spinal block was performed by 3 ml of hyperbaric
bupivacaine 0.5% with fentanyl 0.5ml (25mcg) and clonidin 0.5ml
(75mcg). Continued with ultrasound-guided continuous femoral
nerve block for analgesia post operation. Patient were given 20ml
bolus of bupivacaine 0.25% injected through their femoral
catheter. The femoral catheter were then infused with bupivacaine
0.125% at 3ml/h. Paracetamol 1gr per oral was given every 8
hours during the day after the surgery.

Result
Result evaluation were vital sign, visual analogue scale,
Wong Baker faces pain rating scale, and side effect at 3h, 6h, 12h,
24h, 30h, 36h, 42h, 48 hours after surgery. There wasn`t difference
in respiration rate, heart rate, systolic, and diastolic blood
pressure. The knee pain score was significant reduced after 6 h.
The incidence of nausea and vomiting wasn`t existed.

Conclusion
Continuous femoral nerve block could be considered as an
available, safe, rapid, and efficient method for pain management
after TKR. Ultrasound-guided technique allows the anesthesia-
logist to monitor the spread of local anesthetic and needle
placement. It`s also may reduce the risk of femoral artery
puncture.

Keywords: Total knee replacement, Regional anesthesia,


Continuous femoral nerve block, Bupivacaine 0.5%

186
THORACIC EPIDURAL ANALGESIA USING
BUPIVACAINE WITH ADJUVANT
OXYCODONE IN PATIENTS UNDERGOING
DOUBLE VALVE REPLACEMENT
Bondan Irtani Cahyadi, Widya Istanto Nurcahyo
Department of Anaesthesiology and Intensive Care
Faculty of Medicine, Diponegoro University
Semarang, Indonesia

INTRODUCTION
Many open heart surgeries are now being conducted,
approximately 2000 cases every year. Mostly, the heart is accessed
by sternotomy. Thoracic surgery requires strong analgesics to
ensure the patient breathing comfortably and facilitate post-ope-
rative lung physiotherapy. Systemic opioids is commonly used as
analgesia in open-heart surgery. Thoracic epidural can be an
alternative technique as an analgesia in patients undergoing open-
heart surgery. The benefit of the epidural are the strong analgesic
effect, hemodynamic changes that are not very drastic,
sympathectomy effect that useful in reducing workload of the
heart.1 Few disadvantages include the relative difficult to perform
thoracic epidural, risk of hematoma especially in patients
receiving anticoagulant therapy.2 Despite the existing disadvan-
tages, thoracic epidural can be an alternative as an analgesia
technique for open-heart surgery because of its superior analgesic
effects.3 Oxycodone is still rarely used as an adjuvant to epidural.
It has similar analgesic effects as morphine, but fewer side effects.

OBJECTIVE

187
Determine the effectivity of thoracic epidural as an
analgesic for open-heart surgery and as a pilot study for the use of
oxycodone as an epidural adjuvant.

MATERIAL AND METHODS


Epidural was performed 3 hours prior to incision in patients
undergoing double valve replacement; the epidural needle being
inserted at the level thorax vertebra VII with the tip of the catheter
being placed at thorax vertebra IV. Post-operative analgesic using
15cc of 0.125% bupivacaine and 5mg oxycodone as an adjuvant
given intermittently every 8 hours. Post-operative pain was
assessed using the Visual Analogue Scale after extubation. Side
effects and other additional events were noted.

RESULT
A 47-year old woman underwent double valve replacement
procedure. General anesthesia and thoracic epidural anesthesia
were given. Patient was treated in intensive care post-operatively,
extubation conducted 7 hours post-surgery. Average VAS score
on day I was 0.67 and zero on day II. There is no side effects such
as nausea and vomiting, pruritus, nor epidural hematoma.

DISCUSSION
Epidural analgesics effectively block pain fibres, as shown
by the minimal VAS scores during the post-operative period.
Patient hemodynamics remain relatively stable. Disrupted cardiac
rhythm improved following epidural injection as neuroaxial
modulation effects of the epidural occurred.4 Side effects such as
nausea, vomiting, and pruritus did not occur as the epidural
analgesic provided an opioid sparing effect, where morphine was
only given when the patient was under mechanical ventilation.
Furthermore, oxycodone that being used as an epidural adjuvant,
having fewer side effects than morphine. The analgesic effect of
epidural in open-heart surgery is useful in reducing myocardial
ischemia, respiration complications, supraventricular arrhythmia,
and shortening the duration of mechanical ventilation. 5 The use of
188
oxycodone as an adjuvant prolong the duration of analgesia, until
9 hours in this case, whereas other research suggests that it can
reach up to 10 hours.6
CONCLUSION
Thoracic epidural anesthesia is an effective post-operative
analgesia technique for double valve replacement procedure. Use
of oxycodone as an adjuvant to the epidural was useful in
lengthening duration of the analgesic with minimal side effects.

REFERENCES
1. Freise H, et al. Thoracic Epidural Analgesia with Low
Concentration of Bupivacaine Induces Thoracic and Lumbar
Sympathetic Block. Anesthesiology 2008; 109:1107–12
2. Rosen DA, et al. An Epidural Hematoma in an Adolescent
Patient AfterCardiac Surgery. AnesthAnalg 2004;98:966 –9
3. Svircevic V, et al. Meta-analysis of Thoracic Epidural
Anesthesia versusGeneral Anesthesia for Cardiac Surgery.
Anesthesiology 2011; 114:271– 82
4. Tara Bourke. Neuraxial Modulation for Refractory Ventri-
cular Arrhythmias: Value of Thoracic Epidural Anesthesia
and Surgical Left Cardiac Sympathetic Denervation.
Circulation. 2010;121:2255-2262
5. Wei G, Xuan Y, Zheng H, Wang J. Effectiveness and safety
of thoracic epidural analgesia for postoperative complications
after cardiac surgery: A systematic review.  Chinese Journal
of Evidence-Based Medicine 2013; 13(10):1229-1235
6. Olczak B, et al. Analgesic efficacy and safety of epidu-
raloxycodone in patients undergoing total hiparthroplasty: a
pilot study. Journal of Pain Research 2017; 10: 2303–2309

189
BLOK NERVUS PARAVERTEBRAL
THORAKALIS PADA PASIEN DENGAN
FRAKTUR COSTAE MULTIPEL POSTERIOR
DEXTRA YANG AKAN MENJALANI ORIF
COSTAE
dr. Aura Ihsaniar
dr. Heri Dwi Purnomo, M.Kes, Sp.An, KMN, KAR, FIP

ABSTRAK

Seorang laki – laki 49 tahun dengan diagnosa multiple


fraktur costae 4, 5, 6, 7, dan 8 posterior dextra dan fraktur
clavicula dextra yang akan direncanakan ORIF costae 6, 7, 8
posterior dextra dan ORIF clavicula dextra. Penilaian preoperatif
menunjukkan pasien masih dalam kondisi yang optimal. Dilaku-
kan anestesi dengan teknik GAET, nafas kendali dan analgesi
dengan syringe pump morfin. Monitoring dilakukan dengan
NIBP, EKG, dan SpO2. Operasi berlangsung sekitar 3 jam.
Durante operasi berjalan lancar dengan perdarahan minimal.
Pasca operasi pasien dilakukan blok nervus paravertebral
thorakalis setinggi Vth 6, 7, dan 8 dextra, pasien di ekstubasi
dalam, di observasi 1 jam di ruang pulih sadar dan ke ICU dengan
O2 NRM 6 lt per menit. Tiga jam pasca operasi pasien tetap stabil
dan uji laborat menunjukkan hasil dalam batas normal.

Kata kunci: Blok Paravertebral, Blok Nervus Paravertebral


Thorakalis, Fraktur Costae, Multiple Fraktur Costae

190
DAFTAR PUSTAKA

1. Covino, BG. Handbook Spinal Anesthesia and Analgesia.


Brune & Stratton. 1994.
2. Eric Lang, David N. Clinical Research in Textbook of
Regional Anesthesia USA. Churchill Livingstone. 2002. p125-
25.
3. Guyton, H. Somatic Sensation: Pain, Headache, and Thermal
Sensation in Texbook of Medical Physiology. WB Sounders
Company. Philadelphia. 1996.
4. Kleinman W. Regional Anesthesia and Pain Management in
Clinical Anesthesiology, 2nd ed. Morgan GE, et al. Appleton &
Lange. Stamford. 2000. pp 274-280.
5. Mollnar, R. Spinal, Epidural, and Caudal Anaesthesia in
Davison JK. Clinical Anesthesia Procedures of
Massachussetts General Hospital, 4 ed. Little Brown and
th

Company. 1993.
6. Morgan, GE. Spinal, Epidural, and Caudal Blocks in Clinical
Anesthesiology, 5th ed. Appleton and Lange. Precentice Hall
International. 2013.
7. Prithvi, R. Techniques of Regional Anesthesia in Adult in
Clinical Practrice of Regional Anesthesia. Churchil
Livingstone New York. Edinburgh, London. 1991.
8. Kroppen M, Bruce, Hansen T. John. Neurophysiology in
Netter Atlas of Human Physiology. First edition. 2002. p23-
24.
9. Miller Stoelting. Local Anesthesia in Basics of Anesthesia.
Seven edition. 2010.
10. Mackey Sean, Mandor Eric. Local Anesthesia in Standart
Anesthesiology Regional Anesthesia Syllabus. 2002. p42-73.
11. Finucare T, Brendan. Complication of Paravertebral Nerve
Block in Complication of Regional Anesthesia. Second edition.
2002. p102-120.
12. Hadzic, A. Thoracic and Lumbar Paravertebral Block in

191
Textbook of Regional Anesthesia and Acute Pain
Management, 2nd edition. McGraw-Hill Education. 2017.
p1359-1369.
13. Jankovic, D. Thoracic Spinal Nerve Block in Regional Nerve
Blocks and Infiltration Therapy, 3rd ed. 2004. p171-175.
14. Eason MJ, Wyatt R. Paravertebral Thoracic Block – a
reappraisal. Anesthesia. 1979. p638-642.

Penatalaksanaan Nyeri post operatif pada


Pembedahan Hernorepair dengan
infiltrasi blok
Syarif Afif*), Heri Dwi P*)
*)Departemen Anetesiologi & Terapi Intensif Rumah Sakit Dokter
Moewardi Surakarta

Abstrak
Hernia sangat umum dan bisa terjadi dimana saja dimana
otot-ototnya
perut menjadi lemah atau robek. Hal ini dapat berakibat pada isi
Rongga perut mendorong melalui kelemahan dan menghasilkan
tonjolan atau tonjolan. Hernia inguinalis lebih sering terjadi pada
anak laki-laki (80%), selalu tidak langsung dan sering bilateral
Pada anak laki-laki mereka sering dikaitkan dengan testis yang
tidak turun dan pada anak perempuan di bawah dua kantung
hernia sering mengandung ovarium. Hernia yang sederhana itu
sendiri tidak menimbulkan masalah. Hernia budi mengurangi
ukuran dari waktu ke waktu dan satu-satunya masalah adalah
kosmetik. Sebaliknya, Hernia inguinal cenderung bertambah
besar dari waktu ke waktu dan dapat menyebabkan serius

192
Komplikasi seperti obstruksi usus. Teknik bedah standar diguna-
kan sesuai jenis hernia. Seorang laki-laki 72 tahun, dengan Hernia
inguinalis lateralis kanan dan kiri rencana akan dilakukan
herniorepair bilateral.pasien di anestesi dengan spinal anestesi
dan diberikan infiltrasi blok untuk analgetik nyeri akut post
operasi.

Kata kunci: herniorepair, analgetik infiltrasi, nyeri akut

Daftar Pustaka
1. Denis M, Gabriella I. Local Infiltration Analgesia for
Postoperative Pain Control following Total Hip Arthroplasty:
A Systematic Review. Hindawi Publishing Corporation
Anesthesiology Research and Practice Vol. 2012
2. T. Callesen et al. Infiltration anaesthesia for hernia repair.
International Symposium on Regional Anaesthesia,
Auckland, ISRA abstract handbook. 1997 pp. 167–8
3. Bay-nielsen et al. Levobupivacaine vs bupivacain as
infiltration anaesthesia n inguinal herniorrhaphy. British
journal of anaesthesia 82(2): 280-2
4. F. H. Andersen et al. Combined ilioinguinal blockade and
local infiltration anaesthesia for groin hernia repair—a
double-blind randomized study. British Journal of
Anaesthesia. 2005. 94 (4): 520–3
5. D. R. Kerr and L. Kohan, “Local infiltration analgesia: a
technique for the control of acute postoperative pain
following knee and hip surgery: a case study of 325 patients,”
Acta Orthopaedica, vol. 79, no. 2, pp. 174–183, 2008.
6. K. S. Otte, H. Husted, L. Ø. Andersen, B. B. Kristensen,
and H. Kehlet, “Local infiltration analgesia in total knee
arthroplasty and hip resurfacing: a methodological study,”
Acute Pain, vol. 10, no. 3-4, pp. 111–116, 2008.

193
7. H. K. Parvataneni, V. P. Shah, H. Howard, N. Cole, A. S.
Ranawat, and C. S. Ranawat, “Controlling pain after total hip
and knee arthroplasty using a multimodal protocol with local
periarticular injections. A prospective randomized study,”
Journal of Arthroplasty, vol. 22, no. 6, pp. 33–38, 2007.
8. M. Bianconi, L. Ferraro, G. C. Traina et al.,
“Pharmacokinetics and efficacy of ropivacaine continuous
wound instillation after joint replacement surgery,” British
Journal of Anaesthesia, vol. 91, no. 6, pp. 830–835, 2003.
9. L. J. Andersen, T. Poulsen, B. Krogh, and T. Nielsen,
“Postoperative analgesia in total hip arthroplasty: a
randomized double-blinded, placebo-controlled study on
peroperative and
postoperative ropivacaine, ketorolac, and adrenaline wound
infiltration,” Acta Orthopaedica, vol. 78, no. 2, pp. 187–192,
2007.
10. C. A. Busch, M. R.Whitehouse, B. J. Shore, S. J.MacDonald,
R. W. McCalden, and R. B. Bourne, “The efficacy of
periarticular multimodal drug infiltration in total hip
arthroplasty,” Clinical Orthopaedics and Related Research, vol.
468, no. 8, pp. 2152– 2159, 2010.
11. K. Specht, J. S. Leonhardt, P. Revald et al., “No evidence
of a clinically important effect of adding local infusion
analgesia administrated through a catheter in pain treatment
after total hip arthroplasty,” Acta Orthopaedica, vol. 82, no. 3,
pp. 315– 320, 2011.
12. L. Ø. Andersen, K. S. Otte, H. Husted, L. Gaarn-Larsen, B.
Kristensen, and H. Kehlet, “High-volume infiltration
analgesia in bilateral hip arthroplasty,” Acta Orthopaedica, vol.
82, no. 4, pp. 423–426, 2011.

194
Thoracic Paravertebral Block for Medical
Thoracoscopy
dr. Andri Nur Wahyudi,
dr. Djudjuk R Basuki SpAn KAKV, KAR
Brawijaya University, dr.Saiful Anwar Hospital-Malang

BACKGROUND:

Medical thoracoscopy describes the evaluation of the


pleural space in nonintubated patients, and it is the “gold stan-
dard diagnosis” of pleural effusion. It is used by the
pulmonologist for diagnostic procedure by taking biopsies from
the parietal and the visceral pleura or even performing lung
biopsy.
Local anesthetic (LA) infiltration has been used popularly in
it. Due to short duration of action results in the consequent need
for repeated analgesic administration. Paravertebral block (PVB)
can offer a long-lasting analgesia. Thoracic paravertebral block
(TPVB) has been used for postoperative analgesia as well as a sole
anesthetic for unilateral thoracic site surgeries.

195
CASE REPORT:

Male, 56 years old 60kg weight and 162cm height came to


the hospital with chief complaint shortness of breath since last 3
months. Within last 2 weeks getting severe and been conducting
pleural effusion tapping. Objective finding show increase
respiratory rate 22-24x/minute with decrease lung sound on the
right side of the lung without any rales and wheezing, Oxygen
saturation 96% using nasal canule 3liter per minute. Laboratory
result show normal include hemostatic function,but chest x ray
reveal massive pleural effusion on the right lung with abdominal
sonography found liver metastatic nodule.

METHOD:
Patients were monitored for heart rate (HR), mean blood
pressure (MBP), electrocardiogram and peripheral oxygen
saturation (SpO2). A peripheral intravenous catheter was inserted,
receiving Hartmann infusion. 2–3 L/min O2 was applied through
nasal cannula and patient sit up for TPVB. Using an aseptic
technique, it was introduced at the T3,T4 and T5. Anesthetic
solution was used, containing 9 ml bupivacaine 0.5%(3 cc in each
site). Marking of the PVB injection sites at the thoracoscopic side
was between the transverse processes 2.5 cm from midline
performed at T3,T4 and T5 where patients were sitting. Then, the
subcutaneous tissue at each injection site was infiltrated with
lidocaine 2%.
TPVB was performed blindly based on the bony landmarks
and loss of resistance detected while the needle piercing the
superior costotransverse ligament almost 1–1.5 cm from the
superior border of vertebral transverse process.

196
CONCLUSSION:

TPVB anesthetic serve sufficient analgesics for patients


undergoing medical thoracoscopy. TPVB is an effective and
relatively safe anesthetic technique for adult patients undergoing
medical thoracoscopy which may replace local anesthesia.

DISCUSSION:

TBVB provided a good postoperative analgesia after


medical thoracoscopy up to 12 h after the procedure with lower
VAS. This is inline with a meta-analysis of 15 randomized con-
trolled trials, it was concluded that PVB provided optimal
postoperative pain control with little adverse effects compared
with other strategies for postoperative pain management.

References
1. Ernst A, Hersh CP, Herth F, Thurer R, LoCicero J, 3rd,
Beamis J, et al. Anovel instrument for the evaluation of the
pleural space: An experience in 34
patients. Chest. 2002;122:1530–4.
2. Maskell NA, Butland RJ Pleural Diseases Group,
Standards of Care Committee, British Thoracic Society. BTS
guidelines for the investigation of a unilateral pleural
effusion in adults. Thorax. 2003; 58(Suppl 2):ii8–17.
3. Fredman B, Zohar E, Tarabykin A, Shapiro A, Mayo A,
Klein E, et al. Bupivacaine wound instillation via an
electronic patient-controlled analgesia device and a double-
catheter system does not decrease postoperative pain or
opioid requirements after major abdominal surgery. Anesth
Analg. 2001;92:189–93.
197
4. Terheggen MA, Wille F, Borel Rinkes IH, Ionescu TI,
Knape JT. Paravertebral blockade for minor breast
surgery. Anesth Analg. 2002;94:355–9.
5. Naja MZ, Ziade MF, Lönnqvist PA. Nerve-stimulator
guided paravertebral blockade vs.general anaesthesia for
breast surgery: A prospective randomized trial. Eur J
Anaesthesiol. 2003;20:897–903.
6. Kairaluoma PM, Bachmann MS, Korpinen AK, Rosenberg
PH, Pere PJ. Single-injection paravertebral block before
general anesthesia enhances analgesia after breast cancer
surgery with and without associated lymph node
biopsy. Anesth Analg. 2004;99:1837–43
7. Schnabel A, Reichl SU, Kranke P, Pogatzki-Zahn EM,
Zahn PK. Efficacy and safety of paravertebral blocks in breast
surgery: A meta-analysis of randomized controlled trials. Br J
Anaesth. 2010;105:842–52
Abo-Zeid MA, Elgamal MM, Hewidy AA, Moawad AA, Adel
Elmaddawy AE. Ultrasound-guided multilevel paravertebral
block versus local anesthesia for medical thoracoscopy. Saudi
J Anaesth. 2017 Oct-Dec;11(4):442-448

SCALP Block in Elderly Patient with Heart


Failure Undergo Sub Dural Drainage for
Chronic Sub Dural Hematoma (CSDH)
Andri Nur Wahyudi*, Rudy Vitra Ludyono**, Buyung Hartiyo
Laksono***
*Resident of Anesthesiology and Intensive Therapy Medical
Faculty of Brawijaya University
**Teaching Staff of Anesthesiology and Intensive Therapy Medical
Faculty of Brawijaya University
***Neuro Anesthesia Subspecialty Division of Medical Faculty of
Brawijaya University/Dr. Saiful Anwar General Hospital

Background

198
Chronic subdural hematoma (CSDH) is a very common
clinical entity in neurosurgery. Both general anesthesia (GA) and
local anesthesia with or without sedation are used for the surgical
treatment of CSDH. In the case of patient with many compli-
cations, local Infiltration with sedation can be the best choice.

Objectives
The main objective management of this case is to achieve a
safe anesthesia with minimal interference in Elderly patient with
comorbid of Heart problem (Heart failure, low ejection fraction
44%, moderate aortic regurgitation). SCALP block with sedation is
an option for CSDH in elderly patient with heart failure undergo
burr hole and evacuation of chronic subdural hematoma.

Case Report
An 82-year-old 65 kg and 168cm height male admitted to
Saiful Anwar General Hospital due to decrease of consciousness
with glasgow coma scale (GCS) 446.
Computerized tomography (CT) of the brain revealed a
hypodense chronic subdural hematoma in the left frontoparietal
area without midline shift. Echocardiography shows ejection
fraction 44%, diastolic dysfunction, left eccentric hypertrophy,
aortic regurgitation moderate, posterior mitral leaflet immobile,
hypokinetic anterior, anterolateral, inferior lateral and inferior
segment.

Methode
Patient received IV bolus of dexmedetomidine 1 mcg/kg
over 10 minute followed by maintenance infusion 0.5 mcg/kg/h).
Then scalp block was given with 20 mL of 0.75% ropivacaine
without adrenaline (3-4 mL for each nerve) to block the
supratrochlear, supraorbital, zygomaticotemporal, auriculotem-
poral, greater and lesser occipital nerve.
Patient was monitored for heart rate (HR), mean blood
pressure (MBP), electrocardiogram and peripheral oxygen
saturation (SpO2). The oxygen was provided through a facial
mask at 3 L/min with end-tidal carbon dioxide monitoring. At the

199
time of the burr hole until finish operation, no additional drug
was given. The procedure lasted for 30 min and the intraoperative
course was uneventful, with maintenance of hemodynamic
parameters. Richmond agitation sedation score ranged from -1 to
-3 during the operation.

Result
Scalp block with sedation given by dexmedetomidine
provide anesthesia technique in term of (sedation and analgesia)
for burr hole and evacuation of chronic subdural hematoma with
co-morbid of geriatric age with heart failure.

Discussion and conclusion


The scalp block is indicated in intracranial and extra cranial
procedures. It has been previously used in cranial surgeries. As
described by Pinosky et al 6 nerves are involved and subsequently
infiltrated with volumes of local anesthetic ranging from 2 to 5ml.
Dexmedetomidine is centrally acting a2 agonist, considered to
provide “co-operative sedation,” anxiolysis and analgesia without
causing respiratory depression. Scalp block with dexmede-
tomidine sedation is a safe and effective technique for burr hole
and evacuation of CSDH. It is associated with significantly shorter
operative time, lesser hemodynamic fluctuations during anes-
thesia procedure due to minimal use of anesthetic agent, and
minimal drug interaction.

References
1. Pinosky ML, Fishman RL, Reeves ST, Harvey SC, Patel S,
Palesch Y et al. The effect of bupivacaine skull block on the
hemodynamic response to craniotomy. Anesth Analg
1996;83(6):1256-61.
2. Young WB. Blocking the greater occipital nerve: utility in
headache management. Curr Pain Headache Rep 2010; 14 (5):
404-8.
3. Sessler CN, Gosnell MS, Grap MJ, Brophy GM, O’Neal PV,
Keane KA et al. The Richmond Agitation-Sedation Scale:

200
validity and reliability in adult intensive care unit patients.
Am J Respir Crit Care Med 2002;166(10):1338–44
4. Agarwal A, Sinha PK, Pandey CM, Gaur A, Pandey CK,
Kaushik S. Effect of a subanesthetic dose of intravenous
ketamine and/or local anesthetic infiltration hemodynamic
responses to skull-pin placement: a prospective, placebo-
controlled, randomized, double-blind study. J Neurosurg
Anesthesiol 2001; 13 (3): 189-94.
5. Bithal PK, Pandia MP, Chouhan RS, Sharma D, Bhagat H,
Dash HH et al. Hemodynamic and bispectral index changes
following skullp in attachment with and without local
anesthetic infiltration of the scalp. J Anesth 2007;21(3):442-4.
6. Xu XP, Liu C, Wu Q. Monitored anesthesia care with
dexmedetomidine for chronic subdural hematoma surgery. J
Neurosurg Anesthesiol. 2014; 26: 408–409.
7. Bishnoi V, Bhupesh K, Bhagat H, et al. Comparison of
dexmedetomidine versus midazolam-fentanyl combination
for monitored anesthesia care during burr-hole surgery for
chronic subdural hematoma. J Neurosurg Anesthesiol. 2016;
28: 141–146.

201
ACUTE POST OPERATIVE PAIN PROFILE IN
RECOVERY ROOM dr SOETOMO GENERAL
HOSPITAL SURABAYA
Rezki Muhammad Hidayatullah*, Soni Sunarso
Sulistiawan**, Dedi Susila**, Bambang Pujo Semedi**,
Christrijogo Sumartono Waloejo**
*Resident, Department of Anesthesiology and Reanimation,
Medical Faculty of Airlangga University
**Consultant, Department of Anesthesiology and
Reanimation, Medical Faculty of Airlangga University

INTRODUCTION More than 230 million people undergo


surgery each year worldwide and it is increasing annually. Tissue
injury and muscle spasm during surgery causes postoperative
pain. It should be alleviated as soon and as effective as possible to
reduce patient morbidity, mortality and hospital length of stay.
Demographic studies about pain profile are necessary to evaluate
the efficacy of postoperative pain management. This study
202
describes the profile of acute postoperative pain in Recovery
Room dr. Soetomo General Hospital (RSDS) Surabaya during
2017.

OBJECTIVE To describe the pain score and rescue analgesia


usage on acute postoperative pain setting at RSDS.

METHODS This is a retrospective descriptive study. Carried out


in the Recovery Room Dr. Soetomo General Hospital Surabaya
The pain parameters used are: Critical-care Pain Observational
Tool (CPOT) when Ramsey Sedation Scale (RSS) is high (score 4-
6), and the Numeric Pain Rating Scale (NRS) when the RSS is low
(score 1-3).

RESULTS 9667 subjects were included in this study. 35% subjects


did not complain any pain, 61% subjects had a mild pain, 4%
subjects had moderate to severe pain. Moderate to severe pain
was mainly caused by orthopedics procedure (41%), laparotomy
procedure (35%) and thoracotomy procedure (12%). The most
frequent rescue analgesia given was intravenous fentanyl (85%).
The incidence of acute postoperative pain on the third day were
reduced to zero.

CONCLUSION Postoperative pain profile in RSDS during 2017


was acceptable, with only 4% (387) subjects had moderate to
severe pain but improvements should be done to reduce this
number. Because most of moderate to severe pain was caused by
orthopedic, laparotomy and thoracotomy procedure, regional
anesthesia technique must be more encouraged. A better
postoperative pain management will improve patients’ outcome.

203
Keywords: acute postoperative pain profile, dr Soetomo General
Hospital Surabaya

DAFTAR PUSTAKA

1. Recovery Room Unit Medical Records. Dr. Soetomo


General Hospital. Surabaya : 2017

2. Gupta, Anuj et al. Clinical Aspects of Acute Post-operative


Pain Management & Its Assesment. J Adv Pharm Technol
Res. 2010 Apr-Jun; 1(2): 97–108. PMCID: PMC3255434

3. McCaffery M, Pasero C. Pain: Clinical Manual, St. Louis,


1999, P. 16. Copyrighted by Mosby, Inc. Reprinted with
permission.

THE ROLE OF PECS BLOCK IN


PERIOPERATIVE PAIN MANAGEMENT OF
BREAST CANCER SURGERY: A CASE SERIES
Jillientasia Godrace Lilihata*; Soni Sunarso Sulistyawan**
Dedi Susila**
*Resident, Department of Anesthesiology and Reanimation,
Medical Faculty of Airlangga University
**Consultant, Department of Anesthesiology and
Reanimation, Medical Faculty of Airlangga University

204
INTRODUCTION Breast cancer is the most common cancer
among women worldwide and it caused a growing increase in the
number of breast cancer surgeries. 40% of women will have severe
acute postoperative pain after breast cancer surgery, whereas 50%
of them will develop chronic postmastectomy pain with impaired
quality of life. Regional anesthesia techniques regarded as the best
choice to reduce acute postoperative pain and incidence of chronic
pain after breast surgery. The pectoral nerves (Pecs) block types I
and II are relatively new novel techniques with fewer
complications than other regional anesthesia that may provide a
good perioperative pain management of breast cancer surgery.

OBJECTIVE To compare the role of combination of Pecs block


and general anesthesia versus general anesthesia in perioperative
pain management in a series of patients who has undergone
breast cancer surgery.

METHODS We retrospectively reviewed 2 patients who


underwent elective unilateral modified radical mastectomy
(MRM) using combination of general anesthesia (GA) plus Pecs
block and compare it to another 2 patients who only received GA
alone.

RESULTS Patients who received Pecs block had lower visual


analog scale (VAS) pain scores (0-1 at 0, 3, 6, 9 hours postoperative
hours in Pecs group vs 3-6 in GA group). Intraoperative fentanyl
consumption was lower in the Pecs group than in the GA group
(50 mcg vs 300 mcg). Moreover, one day after surgery patients in
Pecs group could switch into oral mefenamic acid whereas
patients in GA group still received intravenous tramadol and
ketorolac until two day after the surgery. Both patients in GA
group also experienced nausea and vomiting in recovery room.
During surgery, on reaching the axilla for axillary lymph node
dissection, surgeons observed fluid beneath the fat plane in Pecs

205
group and it caused electrocautery failed to work, so the surgery
was continued using surgical blade.

CONCLUSION Pecs block produces good analgesia for radical


breast surgery but may limit the use of electrocautery.

KEYWORDS Pecs block, breast cancer surgery, perioperative


pain management

DAFTAR PUSTAKA
1. Bashandy GMN, Abbas DN, Pectoral Nerves I and II
Blocks in Multimodal Analgesia for Breast Cancer Surgery: A
Randomized Clinical Trial. Regional Anesthesia and Pain
Medicine. 2015; 40:68-74.
2. Blanco R. The “Pecs block”: a novel technique for
providing analgesia after breast surgery. Anaesthesia.
2011;66:847–848.
3. Blanco R, Fajardo M, Parras Maldonado T. Ultrasound
description of Pecs II (modified Pecs I): a novel approach to
breast surgery. Rev Esp Anestesiol Reanim. 2012;59:470–475.
4. Pérez MF,Miguel JG, de la Torre PA. A new approach to
pectoralis block. Anaesthesia. 2013;68:430.

KINGKED EPIDURAL CATHETER


Crodia Hernandes, Mahmud
Departement of Anteshesiology and Intensive Care Therapy
Medical Faculty Universitas Gadjah Mada
Sardjito General Hospital, Yogyakarta, Indonesia

ABTRACT

206
Epidural is one of several technique in regional anesthesia which
purpose is to block the nerve transmission passing the epidural
space, which is used either for anesthesia or analgesia. With the
use of local anesthesia, opioid and some adjuvant, usually
inserted through catheter and can be done either intermittenly or
continously. This technique is used in operatif period and
effectively can be used to treat post operative pain. We report a
case about a woman 56 years old, diagnosed with ovarian solid
tumor, suspected for malignancy with ascites permagna, patient
with uterine fundus estimated as the same as woman in 9 month
pregnancy. Combined technique of epidural catheter with
Propofol continous via TCI. Insertion was done in 3rd-4th lumbal
with Touhy needle size 18 G, estimated 4 centimeters deep,
positive loss of resistance. There is difficulty in inserting drug and
removing the catheter epidural. Kinked epidural catheter were the
the rarest form of complication in epidural catheter placement,
nevertheless, this event can be found and some cases are being
reported nowadays. Reducing the risk of catheter epidural
removal can be done by doing the patency test, changing the
position to lateral decubitus and removing the catheter slowly
sand softly.

Keyword : epidural catheter, kingked, regional anesthesia

DAFTAR PUSTAKA
1. Encyclopedia of Pain Gerald F. Gebhart Robert F. Schmidt
Second Edition
2. Ortez de landazuri PJ, Boada PS, Ferre GC, Puig BR,
Sanchez HA, Rull BM. Spontaneous kinking of an epidural
catheter. Rev Esp Anestesiol renanim. 2005;52:121-122

207
3. Gough J.D., Johnston K.R. and Harmer M.: Kinking of
epidural catheter. Anaesthesia 1986; 41(I0) : 1060
4. Renehan EM, Peterson RA, Penning JP, Rosaeg OP, Chow
D. Visualization of a looped and knotted epidural catheter
with a guidewire. Can J Anaesth. 2000;47:329–333.
5. Hilton G, Jette CG, Ouyang YB, Riley ET. Kinked Perifix®
FX Springwound epidural catheters. Can J
Anaesth. 2011;58:413–4
6. Aslanidis T, Fileli A, Pyrgos P. Management and
visualization of a kinked epidural catheter, 2010
7. Hemilton C.L., Riley E.T., Cohen S.E. : Changes in the
position of epidural catheters associated with patient
movement Anesthesiology 1997; 86: 778–84

PATIENT CONTROLLED ANALGESIA IN


PAEDIATRIC CANCER PATIENT
Subhan Yudihart, Mahmud, Calcarina Fitriani Retno
Wisudarti
Department of Anesthesiology and Intensive Therapy, RSUP
Dr Sardjito, Yogyakarta, Indonesia

Background: Pain in paediatric cancer patient is common in


terminal phase. An adequate pain management is
needed to improve patient’s quality of life. Patient
208
controlled analgesia (PCA) is increasingly used to
manage pain in paediatric cancer patients.
Objective: To report a case of paediatric cancer patient
managed by patient controlled analgesia
Methods: A case report
Results: A 12 years old boy who has been diagnosed with
primary mediastinum germ cell tumor has been
consulted to pain service because of tremendous
pain. The Visual Analog Scale (VAS) of the patient
was 9. Patient has already received 10 mg
morphine slow release tablet (MST) and 40 mg
ketorolac. To overcome the pain, morphine was
administered by PCA methods with starting basal
dose was 0.02 mg/kgBW/hrs and demand dose
0.015mg/kg with lockout interval 15 minutes. Two
hours after PCA started, VAS of the patient
decreased to 3 with once attempt of demand dose.
No adverse effect such as respiratory depression
and decrease of consciousness were found.
Morphine administration by PCA was continued
for 3 days with decreasing doses gradually until
0.25 mcg/kgBW/min. Last VAS with PCA was 2
and patient discharge with analgesia MST 10 mg if
needed.
Conclusion: PCA is an effective and safe methods to manage
severe pain in paediatric cancer patient.
Keywords: Patient-controlled analgesia, pain, opioids,
paediatric oncology

209
Effectiveness of Thoracic Epidural
Analgesia (TEA)
Following Patient Underwent Longmire
Procedure
Hajar Rafika Rani1, Mahmud2
PPDS Anesthesiology and Intensive Care Therapy1, Pain
Management Consultant Departement of Medical Faculty
Gadjah Mada University/dr. Sardjito General Hospital
Yogyakarta

ABSTRACT

Background
Incidence of persistent postoperative pain after abdominal
surgery has been reported between 0% and 34%. 1 Thoracic
Epidural Analgesia (TEA) is particularly effective for reducing
pain after upper abdominal surgery with moderate to severe
comorbid diseases. 2

Methode
The metode is case report evaluated the efficacy of epidural
on patient who underwent longmire procedure.

Case report
A 55 years old women, was diagnosed with cholangio-
carcinoma, underwent longmire procedure. Combined general
anesthesia with TEA using catheter was perfomed, puncture point

210
at T9-T10, with analgesic agent was 10 ml of isobaric levo-
bupivacaine 0.125% and fentanyl 12.5 mcg . An 8-cm subxiphoid
midline incision was made. Patient was stable hemodynamicaly
and no complications were observed with satisfactory result of
postoperative pain score (VAS 2).

Discussion
Managing pain by TEA in patients with upper abdominal
surgery is beneficial by providing superior perioperative anal-
gesia, decreasing postoperative pulmonary complications, dura-
tion of postoperative ileus, duration of mechanical ventilation,
and faster removal of a tracheal tube after upper abdominal
surgery compared to systemic opioid based pain relief. 3,4 TEA
provides a superior patient experience and less narcotic use,
without increased length of stay or complications.5

Conclusion
TEA is safe and effective to provide adequate pain relief
following longmire procedure

Keyword : Pain control, longmire procedure, thoracic epidural


analgesia.

Reference
1. Masgoret P, Gomar C, Tena B, Taura P, Rios J, Coca M.
Incidence of Persistent Post Operative Pain after Hepa-
tectomies with 2 Regimes of Perioperative Analgesia Contain-
ing Ketamine : Prospective observational comparative study.
Pubmed 2017; 96: 15.
2. Sinatra A. Acute Pain Management : Neuraxial Analgesia
with Hydromorphone, Morphine, and Fentanyl. New York ;
Cambridge University Press. 2009. p241.
3. Hadzic, A. Hadzic’s Textbook of Regional Anesthesia and
Acute Pain Management 2nd Ed. United States : McGraw Hill.
2017. P384.

211
4. Nishimori M, Ballantyne JC, Low JH. Epidural Pain Relief
versus Systemic Opioid Based pain Relief for Abdominal
Aortic Surgery : Cochrane Database Syst Rev. 2012; 19:3
5. Aloia TA, et al. A Randomized Controlled Trial of Posto-
perative Thoracic Epidural Analgesia Versus Intravenous
Patient-controlled Analgesia After Major Hepatopancreas-
tobiliary Surgery: a Randomized Trial. Ann Surg 2017; 266
(3): 545-54
6. Dango, S., Haris, S. Combined paravertebral and
intrathecal vs thoracic epidural analgesia for post-
thoracotomy pain relief. Br J Anaesth. 2013; 110 (3): 443–9

212
Thoracic Epidural Analgesia (TEA) for
Patient with Giant Teratoma Resection
and Pleural Effusion
Irma Yuliani, 2Mahmud
1

1
PPDS Anesthesiology and Intensive Care Therapy, 2Pain
Management Consultant
Faculty of Medicine Gadjah Mada University/Dr Sardjito General
Hospital Yogyakarta

ABSTRACT

Background
Postoperative pulmonary complications important in terms
of morbidity, mortality, and length of stay. Factors associated with
an increased likelihood of developing pulmonary complications
include preexisting chronic lung disease, upper abdominal or
thoracic surgery. After thoracotomy and major abdominal
surgery, TEA results in pain free ventilation and increases the
abdominal ventilation, resulting in a lower incidence of posto-
perative complications.1,2

Objective
To assess the effectiveness of a thoracic epidural analgesia
of local anaesthetic and opioid in patient postoperative mayor
abdominal with comorbid obstructive pulmonary disease.

Case Report
A woman, 22 years age, complained short of breathness
with giant intraabdominal tumor suspected giant teratoma would
213
undergo giant teratoma resection. Patient was post tapping
because of high pleural effusion. The surgical incision on the linea
mediana was as high as 5th thoracic vertebrae to symphisis pubis.
Regional anesthesia technique was performed with mid-thoracic
epidural. The thoracic epidural was also used for post operative
pain management. Post operative pain evaluation in patients was
VNRS 0 with intermittent epidural analgesia with local anesthetic
and opioid.

Discussion
Two effects of TEA contribute to this improvement: impro-
ved diaphragmatic function and better postoperative analgesia
than systemic opioids. Higher values of functional residual
capacity (FRC), FVC, and FEV 1 in patients treated with TEA show
that the analgesic effect outweighs the potential negative effects
on relaxation of the intercostal muscles. 1,3,4

Conclusion
TEA used to achieve pain relief during and after thoracic
and high abdominal surgery. Epidural administration also
improves postoperative pulmonary complications compared with
anesthesia and analgesia without epidural anesthesia.

Keyword : Giant Teratoma, Thoracic Epidural Analgesia

References
1. Kaye, A.D., Urman, R.D., Vadivelu, N. Essentials of
Regional Anesthesia. New York : Springer. 2012. p549.
2. Consani, G., Nunziata, A., Amorese, G., Boggi, U. Thoracic
Epidural Anaesthesia in Awake Upper Abdominal Surgery:
Safety/Validity of Bromage’s Formula. Consani et al., J
Anesth Clin Res 2014, 5:391.
3. Hadzic, A. Hadzic’s Textbook of Regional Anesthesia and
Acute Pain Management 2nd Ed. United States : McGraw
Hill. 2017. p995.

214
4. Freise, H, Aken, HKV. Risks and Benefits of Thoracic
Epidural Anaesthesia. British Journal of Anaesthesia 2011;
107 (6): 859.

EFFICACY OF CONTINUOUS EPIDURAL


AND INTRAVENOUS OPIOID FOR
POSTOPERATIVE ANALGESIA IN KIDNEY
TRANSPLANT RESIPIENT
1
Aswin Wikantama, 2Calcarina, 3Mahmud
1
PPDS Anesthesiology and Intensive Care Therapy, 2Kidney
Transplant Team,
3
Pain Management Consultant
Department of Anesthesiology and Intensive Care Therapy
Medical Faculty Gadjah Mada University
Sardjito General Hospital, Yogyakarta, Indonesia

ABSTRACT

Background
Majority of kidney transplant recipients have cardiac,
haemotological, respiratory and metabolic problems secondary to
their renal failure. These factors increase the complexity of
anaesthesia and pain management. Main goals of post-operative
management are ensure stability of hemodynamic parameters and
provide good postoperative analgesia1,2

Objective
We report a case of kidney transplant resipient received
postoperative epidural and intravenous opioid as analgesic

Case Report
We report a 51th years old male who had hypertensive
heart disease, moderate mitral regurgitation, pulmonary hyper-

215
tension and 29% ejection fraction. Predictive post operative
kidney transplant pain is 8. Considering the morbidity and
predictive pain score, analgesic plan was low thoracal epidural
analgesia with levobupivacaine 0,125% 4 cc/hour and fentanyl
intravenous 0,5 – 1 mcg/kgBW/hour. The pain was evaluated in
Visual Analog Scale hourly. The score were 3 in day 1, 2 in day 2
and 2 in day 3. Hemodynamic stability was maintained using nor
adrenaline and dobutamin. Dobutamin was stopped in day1 and
nor adrenalin in day 2 respectively.

Discussion
Postoperative pain relief is essential after kidney trans-
plantation, as inadequate pain control can lead to agitation,
tachycardia, hypertension and an increased risk of pulmonary
complication. Continous or PCA opioid intravenous and epidural
analgesia are recommended for post operatif pain management in
kidney transplants. Target of epidural analgesia blockade is at
tenth thoracic vertebrae until first lumbal vertebrae. Epidural
analgesia should be used cautionusly regarding its hemodynamic
effect.3,4

Conclusion
Continuous epidural and intravenous opioid are effective
for kidney transplantation postoperative pain management in
cardiac compromised patient.

Keyword: Kidney transplantation, continuous epidural, intra-


venous opioid

Reference :
1. Sahajananda, Jyothi, and Punithavathy, 2006, Renal Trans-
plantation With And Without Epidural Analgesia – a review
of 6 years of experience; Indian Journal Anaesth, pp: 187-92.
2. Martinez BS, Gasanova I, and Adesanya AO, 2013,
Anesthesia for Kidney Transplantation-A Review. J Anesth
Clin Res 4: 270.
216
3. Williams, 2003. Postoperative Analgesia Following Renal
Transplantation-Current Practice In The Uk. Portsmouth
4. Jaffe R.A., Schmiesing C.A. and Golianu B., 2014,
Anaesthesiologist’s Manual of surgical procedures fifth
edition. Lippincott Williams & Wilkins, pp 694-6

COMPARISON OF POSITIVE SKIN SWAB


CULTURE INCIDENCE AMONG PATIENTS
WHO ARE PERFORMED WITH 5% EMLA
AND 10 % POVIDONE IODINE COMPARED
WITH SINGLE 10% POVIDONE IODINE
FOR SKIN DISINFECTION IN REGIONAL
ANESTHESIA PROCEDURE.
Shonnif Akbar, Hendi Prihatna, Sudadi, I Gusti Ngurah Rai
Artika, Yusmein Uyun
Department of Anesthesiology and Intensive Care Therapy
Medical Faculty Gadjah Mada University
Sardjito General Hospital, Yogyakarta, Indonesia

ABSTRACT

Background : Strategies for reducing pain during needle injection


include the provision of eutectic mixture of local anesthesia
(EMLA) cream, EMLA contains lidocaine that as in vitro experi-
ment believed to have bacteriostatic and bacteriocid effects.
Infection that related to spinal anesthesia is a serious compli-
cation. Povidone iodine is the most common antiseptic for skin
217
disinfection before spinal anesthesia procedure and has been
already stated in Guidelines of Anesthesiology Practice in Sardjito
Hospital.

Objective : To compare positive skin swab culture incidence


among patients who are performed with 5% EMLA and 10%
povidone iodine compared with single 10% povidone iodine for
skin disinfection in regional anesthesia procedure.

Methods: Design of this study were using single blind rando-


mized controlled clinical trial. Thirty-six patients undergoing
regional anesthesia, divided into 2 groups, 5% EMLA + 10%
povidone iodine (E) group and single 10% povidone iodine (P)
group. Pretreatment was done by examination of skin culture and
after disinfection was done re-skincare culture examination. The
incidence of positive skin swab cultures were recorded.

Result : There was no significant difference in incidence of


positive skin swab cultures after administration with EMLA
followed by 10% povidone iodine is (11.8%) was less than
povidone iodine 10% (22.2%) (p>0,05). There was no side effects of
5% EMLA and 10% povidone iodine usage were found in this
study.

Conclusion : The positive skin swab cultures incidence after


administration of 5% EMLA and povidon iodine 10% were less
than a single 10% povidon iodine disinfection (11.8% versus
22.2%, p>0.05).

218
APS : organization and implementation in RSUP dr sardjito
dr Catur Prasetyo, dr. Mahmud, Sp.An, MSc., KMN

219
Comparative Effectiveness Between Use of
Patients Controlled Analgesia (PCA)
Ketamine, PCA Morphine and Tramadol
Intravenous As Analgesic Post Modified
Radical Mastectomy(MRM) Operation
Untung Jaka Budiana*, Ibnu Siena Samdani*, Hari Hendriarto S**,
Doso Sutiyono**
* PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip Semarang
**Bagian Anetesiologi dan Terapi Intensif FK Undip Semarang,
Correspondence author: untungjaka.ujb@gmail.com

ABSTRACT
Background: Patient Control Analgesia gives therapy more individual
than coventional therapy which follow demand of needs patient. Through
PCA, plasma opioid levels can be maintained constantly after Minimum
Effective Analgesic Concentration (MEAC) is achieved, according to a
prescribed dose. 0.3mg/kg intravenous ketamine provides more effective
and safer analgesics than intravenous morphine for short-term
management.

Objective: This study was performed to find out whether PCA


Ketamine was more effective than Morphine and tramadol as an
analgetics post operative MRM

220
Methods: An eksperimental study, as consecutive sampling on 12
subjects were received same intervention. Ketamine groups PCA with
loading dose 0,5mg/kgBB, demand dose 0,3mg/kg. Morphine group PCA
loading dose 0,05 mg/kg, demand dose 0,03mg/kg and Tramadol group 2
mg/kg /8 hours. Numerical Rating Scale (NRS) scores, vital signs,
adverse events were assessed at hours 0, 1, 6, 12 and 24 postoperatively.
Statistical analysis was performed with normality test with Shapiro
Wilk if not normal followed by Kruskal Wallis and post hoc Mann
Whitney, if the three normal treatment groups continued with One Way
ANOVA.

Result: NRS at rest between the Ketamin while at 12th hour (p =


<0.001) and 24 (p = <0.001) were significantly different. NRS while
moving between the three groups at 6, 12 and 24th hour was
significantly different (p = <0.001), with the NRS score of the ketamine
group lower. Side effects during 24 hours postoperative nausea-vomiting
in the ketamine group 4 patients (33.33%), tramadol 7 patients
(58.33%), and morphine 8 patients (66.66%)

Conclusion: PCA Ketamine is more effective to decrease pain post


operative MRM than Morfine and Tramadol.

Keywords: PCA, MRM, Ketamine, Morfine, Tramadol,

221
UltraSound – Guide Caudal Epidural Block
In Patient with Low anterior Resection
(LAR)
Tatuk Himawan,DosoSutiyono
Anesthesiology and Intensive Care, Medical Faculty of
Diponegoro University/Dr. Kariadi Hospital Semarang

Background:
Caudal epidural block is a commonly used technique for
surgical anesthesia in children and chronic pain management in
adults. It is performed by inserting a needle through the sacral
hiatus to gain entrance into the sacral epidural space. Using
conventional blind technique, the failure rate of caudal epidural
block in adults is high even in experienced hands. This high
failure rate could be attributed to anatomic variations that make
locating sacral hiatus difficult. With the advent of fluoroscopy and
ultrasound in guiding needle placement, the success rate of caudal
epidural block has been markedly improved. Although fluoro-
scopy is still considered the gold standard, ultrasonography has
been demonstrated to be highly effective in accurately guiding the
needle entering the caudal epidural space.

Objective:
The caudal epidural block was first introduced as a
landmark-based, blind technique. In children, the successful rate
with the blind technique is above 96% In adults, however, it was
only 68–75% even in the experienced hands With the advent of
imaging technology, fluoroscopy and ultrasonography have been
increasingly used to guide caudal epidural block

Methods:

222
Case report of 54 years Old woman with Ca recti stadium
IIB with no metastase. Patient was planed to undergo an elective
LAR surgery at Dr Kariadi Hospital with general anesthetically
ASA II combine with Caudal Epidural Block. In this patient
Caudal epidural block was done with USG Guide there was bet-
ween the sacral cornua are two band - like hyperechoic struc-
tures; the superficial one is the SCL, and the deep one isthe dorsal
surface of sacral bone. The sacral hiatus was the hypoechoi-
cregion between the 2 band-like hyperechoic struc tures . At this
level,patient positioned lateral decubite and the ultrasound
transducer was placed on patient sacrum, rotated 90 degrees to
obtain the longitudinal view of sacral hiatus . Under longitu-
dinal view, the block needle is inserted using the “in-plane”
technique. The block needle can be visualized inreal time,
piercing the SCL, entering the sacral hiatus. Then bupivacain
0.25% drug was speaded in this space about 30ml. Haemo-
dinamic of this patient was stable, measuring with auto NIBP
monitor every 5 minutes showed T 95-120 sistolic and 55-80 in
diastolic, Heart rate was in range 80-100bpm. Following 6 hours
post surgery, in the ward pasien was evaluated ,and she claimed
a 2 level of VAS pain scale and follow up in 3 days with adjuvant
analgetic was ketorolac injection 30mg/12hours intra venous.

Conclusion
Given accumulating evidence has suggested that ultraso-
nography is excellent in guiding caudal epidural injection with
similar treatment outcome, the understanding of USG marker is
very important key to make a good result. The goal is low level of
VAS pain scale durante and pasca surgery.

LITERATURE REVIEW
1. Crighton I. M., Barry B. P., Hobbs G. J. A study of the
anatomy of the caudal space using magnetic resonance
imaging. British Journal of Anaesthesia. 1997;78(4):391–395.

223
2. Renfrew D. L., Moore T. E., Kathol M. H., El-Khoury G. Y.,
Lemke J. H., Walker C. W. Correct placement of epidural
steroid injections

SUPERFICIAL CERVICAL PLEXUS BLOCK,


AN ALTERNATIVE FOR ACUTE
PAIN SERVICE AFTER MASTOIDECTOMY
Stephanus Andy Prakasa Kaligis, Ardana Tri Arianto,
Muhammad Husni Thamrin
Anesthesiology and Intensive Therapy Departement, Faculty of
Medicine Sebelas Maret University/Dr. Moewardi General
Hospital, Surakarta, Indonesia

ABSTRACT
Background: The Superficial Cervical Plexus Block as an analgesic
for post-mastoidectomy pain remains unclear. The purpose of this
study was to determine the efficacy of superficial cervical plexus
block as an analgesic for post-mastoidectomy pain.

Methodes: This is a single blinded randomized clinical trial study,


in which 30 patients who underwent mastoidectomy and met
inclusion criteria, were divided into 3 groups: levobupivacaine
block, saline block, and intravenous fentanyl groups. All patients
received standard general anesthesia treatment and then were
evaluated periodically for postoperative pain scale. It also
assessed the effects of postoperative nausea-vomiting, opioid
needs during surgery, and side effects of the block.

Results: Postoperative pain scales from 2nd to 24th hours in the


intravenous fentanyl (mild pain 80-90%) and levobupivacaine
group (mild pain 90-100%) were lower than the saline group (mild
pain 10-50%, moderate pain 50-70%) (p <0.05). In the saline group
there was even severe pain as much as 40% at 2nd hours.
Comparison of the pain scale between fentanyl and levobupiva-
224
caine groups from 2nd to 24th hours did not show any significant
difference. PONV scores in the fentanyl, levobupivacaine, and
saline groups were mild nausea (60%, 40%, and 50% respectively;
p>0,05). No complications occurred with the superficial cervical
plexus block.

Conclusion: The superficial cervical plexus block can be used


safely as an effective analgesic for acute pain after mastoidectomy.

Keywords: superficial cervical plexus block, levobupivacaine,


fentanyl, mastoidectomy

Comparison of Pure Morphine PCA and


Morphine PCA with Paravertebra Block
Combination for Pain Management in
Patients with Rib Fractures Undergoing
Rib Fixation Surgery
Baroto Eko S,Purnomo Heri D
Department of Anesthesiology and Intensive Care
Faculty of Medicine, Sebelas Maret University
Dr. Moewardi General Hospital, Surakarta, Central Java,
Indonesia

225
Background
Traumatic rib fractures are common, resulting from significant
forces impacting on the chest, and are associated with significant
morbidity and mortality. Respiratory complications, including pneu-
monia, are common occurring in up to 31% of patients. Prompt multi-
modal analgesia incorporating regional analgesia, i.v. opioids, and oral
adjuncts are essential to reduce complications. Operative fixation is
indicated in some instance.

Objective. We want to know whether paravertebral block with


levobupivacaine can reduce the opioid usage in rib fixation surgery.

Methods. Patients were grouped into 2 groups : patient A and B as


patients received paravertebra block by using levobupivacain 0,5% and
morphine PCA as post operative pain management, and patient C and D
were only morphine PCA as post operative pain management.

Results. Patient A requires morphine PCA 10mcg/kgbw/hrs, Patient B


requires morphine PCA 10mcg/kgbw/24hrs. Patient C requires
morphine PCA 18,5 mcg/kgbw/hrs. Patient D requires morphine PCA
18,2 mcg/kgbw /hrs.

Conclusion. Paravertebral block can decreased morphine PCA for pain


management. Paravertebral block is simple,practical, safe and effective
for pain management.

References
1. Catherine Vandepitte, Tatjana Stopar Pintaric, and
Philippe E. Gautier. Thoracic Paravertebral Block : New York
School Of Regional Anaesthesia : 2013
2. L May, C Hillermann, and S Patil. Rib Fracture
Management : Department of Anaesthesia, University
Hospitals Coventry and Warwickshire NHS Trust, Coventry,
UK : 2016. p. 26-28

226
3. Loader, Joe. Thoracic Paravertebral Block. Update in
Anaesthesia : 2009. p. 4-5
4. Guidelines for Adult Patients intravenous PCA
Orders, Loyola University Health System

REDUCED OPIOID USE WITH


TRANSVERSUS ABDOMINIS PLANE BLOCK
AFTER CAESAREAN SECTION
Rio Rusman, Heri Dwi Purnomo
Department of Anaesthesiology and Intensive Therapy, Faculty of
Medicine, Sebelas Maret University/Dr. Moewardi General
Hospital, Surakarta, Central Java, Indonesia

227
Background: Opioids remain the primary analgesic agent for
treating moderate and severe pain after surgery, include cesarean
section. In order to avoid the side effects of opioid, we can com-
bine with other modality, in this case we use regional technique,
transversus abdominis plane block, after cesarean section proce-
dure so opioid dose can be reduced.

Objective: To observe the benefits of tranversus abdominis plane


block in reducing opioid dose after cesarean section.

Method: This study involved two pregnant women with


physically status ASA II which are planned for cesarean section,
whereas the first patient was given only PCA morphine as
postoperative analgesic, and the second one was given a
combination of PCA morphine and transversus abdominis plane
block.

Result: The first patient required 8 mg morphine for the first 24


hours after cesarean section with VAS 1-2. whereas the second
patient were applied tranversus abdominis plane block combined
with PCA morphine required only 3 mg morphine for the first 24
hours with VAS 1-2.

Conclusion: The combination of tranversus abdominis plane


block with morphine in acute pain management after secarean
section can significantly reduce dose of morphine so side effects of
opioids can be minimized.

228
LEVOBUPIVACAINE SURGICAL WOUND
INFILTRATION AS ANALGESIA IN
LAPAROTOMY: A CASE SERIES
Kurniawan Prima A., Purnomo Heri D.
Department of Anesthesiology and Intensive Therapy, Sebelas
Maret University of Surakarta, Indonesia

229
BACKGROUND
Since the concept of day care surgeries can be improved
with adequate post operative analgesia, surgical wound
infiltration with Levobupivacaine has remained popular for
postoperative pain management. This technique is virtually cost-
free, rapid and easily applicable without any special technique or
equipment to use. Besides, it can also reduce unwanted side
effects of opioid.2

OBJECTIVE
We want to know whether wound infiltration with
Levobupivacaine can reduce the opioid usage in laparotomy
surgery.

METHODS
We described Surgical Wound Infiltration by using
Levobupivacain 0.25% and Dexametason 5mg. We divided
laparotomy cases into two groups; group A was two cases with
wound infiltration and Morphine PCA as postoperative pain
management and group B was two cases with Morphine PCA
only. We observed vital signs and opioid usages in both groups
for first 24 hours.

RESULTS
Wound infiltration analgesia with Levobupivacaine can
reduce the opioid dependency for analgesia. It was showed from
the decreasing usage of Morphine in 2 cases in group A (mean ±
11.86 mg/24 hrs) better than group B (mean ± 16.86 mg/24 hrs).
Good hemodynamic and low Numerical Rating Scale (NRS) was
found in both groups.

CONCLUSION
Infiltration of wound with local anesthesia provides good
post operative pain relief. It can decrease opioid for pain
management. Local infiltration analgesia is simple, practical, safe,
and effective for pain management.
230
OPEN REDUCTION INTERNAL FIXATION –
PLATE AND SCREW IN ULTRASOUND-
GUIDED AXILLARY BRACHIAL PLEXUS
BLOCK ON A POORLY CONTROLLED
HYPERTENSION GERIATRIC PATIENT
WITH CLOSED FRACTURE LEFT DISTAL
RADIUS
231
DANIEL, TROY SYAMSUDIN, TJAHYA ARYASA, TJOKORDA
GDE AGUNG SENAPATHI
Department of Anesthesiolgy and Intensive Care, Sanglah
Hospital
Faculty of Medicine, Udayana University, Denpasar Bali

INTRODUCTION
Brachial plexus block at the level of the axilla is typically
chosen for anesthesia of the distal upper limb. Axillary block is a
basic regional anesthesia technique and perhaps the most
common approach to brachial plexus blockade. 1,2 The most
common indications for axillary block include surgery of the
forearm, wrist, or hand of moderate to long duration without arm
tourniquet. Over the other approaches to the brachial plexus,
Axillary approach is relatively simple to perform, and may be
associated with a relatively lower risk of complications as
compared with interscalene (e.g., spinal cord or vertebral artery
puncture) or supraclavicular brachial plexus block (e.g., pneu-
mothorax) if without the ultrasound guidance.3 The axillary
brachial plexus block is also relatively simple to perform with
ultrasound because of its superficial location. 3 Although indivi-
dual nerves can usually be identified nearby axillar artery, a very
precise deposition is not necessary because the deposition of local
anesthetic around the axillary artery is sufficient for an effective
block.3
CASE REPORT
74 years old women with closed fracture left distal radius
underwent Open Reduction Internal fixation Plate Screw
procedure. Patients with uncontrolled hypertension stage II with
laboratory findings, chest X-ray and ECG within normal limits.
Regional anesthesia plexus brachialis block was done with left
axillar approach under ultrasound guidance. Patient was given
premedication of midazolam 1 mg IV. She received a local
anesthetic regimen of bupivacaine 0.5% plain 20 ml and lidocaine
2% 5 ml. During surgery, nicardipin IV titration was given to
control hypertension. The operation lasted for 2 hours, the block
232
worked well, patient did not feel any pain during surgery. Blood
pressure was reduced by as much as 10% of the initial MAP, other
vital signs are stable.

DISCUSSION
The goal is to deposit local anesthetic around the axillary
nerve. We perform three injections around the axillary nerve. In
addition, we injected local anesthetic to block the musculo-
cutaneous nerve.
Regional anesthesia techniques have become more reliable
with the advent of ultrasound guided nerve blocks. This techni-
que is more favourable especially in geriatric patient because less
opioid or NSAIDs were used.2,4

CONCLUSION
Ultrasound-Guided Axillary Brachial Plexus Block can be
performed safely to this patient with good quality of anesthesia
and low risk of complication.

REFERENCES
1. Hadzic et al. New York School of Regional Anesthesia
Hadzic’s Peripheral Nerve Blocks and Anatomy for
Ultrasound-Guided Regional Anesthesia. Second Edition. The
McGraw-Hill Companies, Inc. 2012.
2. Hadzic et al. New York School of Regional Anesthesia
Textbook of Regional Anesthesia and Acute Pain Manage-
ment. The McGraw-Hill Companies, Inc. 2007
3. NYSORA. Ultrasound-Guided Axillary Brachial Plexus
Block. [Internet]. NYSORA; 2017 [cited 2018 Apr 05].
Available from: https://www.nysora.com/ultrasound-
guided-axillary-brachial-plexus-block.
4. Griffiths R. Orthopaedic anaesthesia in the elderly in
Oxford Textbook of Anaesthesia for the Elderly Patient
(Dodds C, Kumar C, Veering BT eds). Oxford University
Press. 2014

233
PERIPHERAL NERVE BLOCK AS A
RELIABLE ANESTHETIC MANAGEMENT IN
DIABETIC FOOT PATIENT WITH
CONGESTIVE HEART FAILURE WHO
UNDERWENT ABOVE KNEE AMPUTATION
SURGERY
Aida Aprilnita, Tjokorda Gde Agung Senapathi *
* Department of Anesthesiology and Intensive Care, Sanglah
Hospital
Faculty of Medicine, Udayana University, Denpasar Bali

Background: Patients with diabetes have a higher morbidity and


mortality following surgery1. Surgery and anesthesia would
invoke a neuroendocrine response with potential hyperglycemia/
ketosis. Concomitant comorbidity i.e congestive heart failure
would deteriorate the prognosis 2. Diabetic patients with diabetic
foot are predominantly in a poor cardiovascular state with several
comorbidities and sometimes require amputation1,3

Objective: The aim of intraoperative management is to provide


adequate anesthesia and avoid hemodynamic disturbance 1,2. The
implementation of peripheral nerve block (PNB) is desirable in
this circumstances3,4,5

Case Presentation: A 60 y.o. male at Sanglah Hospital, ASA III,


with diabetes. Echocardiography indicated 30% of LVEF and
mitral insufficiency. Above knee amputation was planned regard-
ing severe gangrene on the lower limb. He was febrile (Temp.
38.5ºC), HR 108, HR 20/min, BP 130/90 with leucocytosis (21 x
109/L). An ultrasound-guided femoral nerve block was done. A

234
20 ml of bupivacain 0.5% were injected. Surgery was carried out
with TCI of propofol 0.8 mcg/ml. The haemodynamic parameters;
BP: 115-135/69-80 mmHg, HR: 63-96/min; CVP: 13-16 mmHg;
Sp02: 96-97%.

Discussion: The Peripheral nerve block (PNB) was ideal for high-
risk surgical patients who cannot tolerate adverse consequences of
haemodynamic attenuation3,4. The PNB has limited sympathetic
blockade and produces local vasodilatation. Unlike spinal inject-
tions, PNB are not associated with risk of spinal haematoma 3,4,5.
The ultrasound-guided PNB offer less time consuming and
decrease the dose required for local anesthetics3.

Conclusion: The peripheral nerve blocks is feasible and reliable


method in high-risk surgical patients even when radical surgery
on the lower limb is being performed.

References
1. Patel N. Anesthetic Management of Patient with Diabetes
Mellitus. 2015;4(10):2014–6.
2. Armstrong CS, Hoover JM, Fox CJ, Field AM, Richards
TA, Islam SR, et al. Anesthesia and congestive heart failure:
Pathology, medical, and surgical management. Middle East J
Anesthesiol. 2006;18(5):825–50.
3. Bech B, Melchiors J, Børglum J, Jensen K. The successful
use of peripheral nerve blocks for femoral amputation. Acta
Anaesthesiol Scand. 2009;53(2):257–60.
4. Chia N, Low TC, Poon KH. Peripheral nerve blocks for
lower limb surgery--a choice anaesthetic technique for
patients with a recent myocardial infarction? Singapore Med J
[Internet]. 2002;43(11):583–6. Available from:
http://www.ncbi. nlm. nih.gov/pubmed/12680529
5. Enneking FK, Chan V, Greger J, Hadžić A, Lang SA,
Horlocker TT. Lower-extremity peripheral nerve blockade:
Essentials of our current understanding. Reg Anesth Pain
Med. 2005;30(1):4–35.

235
LUMBAR EPIDURAL VS INTRAVENOUS
OPIOID ANALGESIA AFTER ORTHOPEDIC
LOWER EXTREMITY SURGERY
dr. Ida Bagus, dr. I Made Gede Widnyana SpAn. KAR, dr.
Tjokorda Gde Agung Senapathi, Sp.An KAR

236
Adductor kanal block sebagai
management nyeri post operasi total knee
replacement
Faundra arieza firdaus*, Ristawan puji laksono**
Faculty of Medicine Brawijaya University, Department of
Anesthesiology, Pain service Saiful Anwar Hospital, Malang, East
Java
*Resident Department of Anesthesiology, ** Sub division
Consultant management pain Department of Anesthesiology

Introduction
Adductor canal contains saphenous nerve and femoral
artery. Saphenous nerve is the only nerve that inervates medial
side of lower leg and sole of the foot with significant variability
among individuals. This technique can also be used as a post
operative analgesia after leg, foot, or ankle surgery (usually
combined with popliteal block). This technique will also result
infrapatellar nerve block that may be useful for post operative
analegesia after knee arthroscopy or anterior cruciate ligament
repair surgery and particulary after total knee replacement
surgery. Higher dose of local anesthetic volume spread proxi-
mally to adductor canal and result in sensoric and motoric change
at anterior aspect of the knee

Objective
To find out the effectiveness of canal adductor block
technique as a therapeutic option for post operative pain after
total knee replacement in Saiful Anwar Hospital, Malang

Methods
A 64-year-old woman with ASA II, grade 3 osteoarthritis,
and stage 2 hypertension on treatment underwent total right knee
237
replacement surgery. Surgery was perfomed in 2 hours with
subarachnoid block. Patient was given an adductor canal block for
post-operative pain management with 15 cc mixture of naropine
0,375 %, lidocaine 1%, and 60 mg methylprenisolone, combined
with 30 mg intravenous ketorolac for 3 days. Adductor canal
block technique can lower post-operative VAS score up to 0 – 1
and hasten mobilization during 4 days after surgery

Result
Adductor canal block technique can lower VAS score up to
0 – 1 4 days following surgery and hasten dental ROM recovery
(up to 155’ in day 2 after surgery)

Conclusion
Adductor canal block which include local anesthestic
injection into the adductor canal under sartorius muscle is an easy
and reliable technique to block the saphenous nerve. This
technique is proved as an option for post-operative pain
management after lower leg surgery, particulary total knee
replacement surgery

DAFTAR PUSTAKA
1. Manickam B, et al. Feasibility and efficacy of ultrasound-
guided block of the saphenous nerve in the adductor canal.
RegAnesth Pain Med. 2009;34: 578-580
2. Quemby, D and McEwen, A. Utrasound Guided Adductor
Canal Block (Saphenous Nerve Block). Anesthesia Tutorial of
the Week 301 13th. Torbay Hospital, Torquay: 2014
3. NYSORA. Ultrasound-Guided Saphenous Nerve Block.
www.nysora.com/Ultrasound-Guided-Saphenous-Nerve-
Block.html

238
Low Dose Spinal Anethesia For Sectio
Cesarian Delivery : Serial Case
Alfons Octavian Sabandar ** Isngadi*
**Resident *Consultant
Department of Anesthesiology And Intensive Therapy
Faculty of Medicine Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia

ABSTRACT

Background: Neuraxial Anesthesia have been tremendously


developed in the obstetric procedure due to the sefety when
compared with the general anesthesia on common pregnant
patients with sectio cesarean procedure. However, the risk of
hypotension in the procedure sectio cesarea that used spinal
anesthesia is still occurs.

Objective: To understand the effects of the low dose spinal


anesthetic in combination with an opioid adjuvant towards the
hemodynamic in the Sectio Cesaria delivery.

Method: In these 3 serial cases, we used 5 mg of bupivacaine


heavy 0,5% and 50 mcg of Fentanyl with the total volume was 2 cc
injected in less than 10 seconds through Tuffier’s line. We
evaluated the haemodynamic preoperative, after the spinal
anesthetics was injected, post delivery, at the end of surgery and
postoperative.

Results: An application of low dose spinal anesthesia with 5 mg


bupivacaine heavy 0,5% combined with 50 mcg fentanyl for the
Sectio Cesarea delivery was succesfully prevented the hypoten-
sion and stabilized the hemodynamic prior to induction, post
injection, after delivery, post operative as well as in the recovery
room.

239
Conclution: Low dose spinal anesthesia using 5 mg of bupi-
vacaine heavy 0,5% and adjuvant opioid fentanyl 50 mcg can be
succesfully used for the performance of Cesarean delivery as
regards to onset, adequacy, level, duration of the block and
haemodinamyc stability and good fetal outcome, with impressive
cardiovascular stability.

Keywords: Sectio Cesaria, Anesthesia obstetric, Regional


Anesthesia, Low Dose Spinal Anesthesia

240
CONTINOUS SUPRACLAVICULAR BLOCK,
ANESTHESIA TECHNIQUES FOR UPPER
EXTREMITIES OPERATION AND PAIN
CONTROL POST OPERATIVE
MANAGEMENT
Abdul Rasyid Tamam, Djudjuk R. Basuki
Anesthesiology and Intensive Therapy Departement, Faculty of
Medicine Brawijaya
University/Dr. Saiful Anwar Hospital, Indonesia

ABSTRACT

Background: The supraclavicular block was introduced into


clinical practice, where believed could provide adequate
anesthesia of the entire upper extremity. The purpose of this
study was to determine the efficacy of supraclavicular block as an
anesthesia techniques for upper extremities operation and pain
control post operative management.

Methodes: We use of ultrasound technology has improved our


success in placing CPNB in supraclavicular block. Small epidural
catheter was performed 3 hours prior to incision in patients Male,
18th years undergoing Plate-Screw Ulna. The epidural needle
being inserted at landmark of supraclavicular block and the distal
of catheter in brachial plexus. The regimen anesthetic local for
operation is ropivacaine 0,75% + dexamethason 10mg TV 15cc.
Post-operative analgesic using 8 cc of 0.1875% ropivacaine +
Tramadol 50 mg every 12 hours. Post-operative pain was assessed
using the Wong Baker Scale. Side effects and other additional
events were noted

Results: During operation, the resulting block shows success and


the operation is running successfully without being done general
241
anesthesia. The patient did not show any complaints or pain
during the 3 hour operation. Postoperative pain scales showed
decreased quality of pain and the need for other opiod or
analgesic drugs during postoperatively. After 24 hours we noted
no complications occurred with the superficial cervical plexus
block.

Conclusion: The Continous Supraclavicular block can be used


safely as an effective anesthetic techniques and analgesic for for
upper extremities operation and pain control post operative
management.

Keywords: Continous Supraclavicular block, ropivacaine, upper


extremities, anesthetic techniques, post operative management.

REFERENCES
De.Q.H. Tran et al. 2012. Upper Extremity Nerve Blocks. Essentials
of Regional Anesthesia, DOI 10.1007/978-1-4614-1013-3_13.
Springer Science+Business Media, LLC.

Corhish Pb. 2006. Supraclavicular Regional Anaesthesia


Reanalysed: The Cornish Technique. The Journal Of The New
York School Of Regional Anesthesia (www.nysora.com)

Hanumanthaiah, et al. 2013. Ultrasound guided supraclavicular


block. Journal Medical ultrasonography 15 (3):224- 9 Med
Ultrason.

A. R. Plunkett, et al. 2006. Supraclavicular continuous peripheral


nerve block in a wounded soldier: when ultrasound is the
only option. British Journal of Anaesthesia 97 (5): 715–17
doi:10.1093/bja/ael218

242
Ultrasound-Guided Supraclavicular
Brachial Plexus Block In Opened
Reduction Internal Fixation Procedure of
Humerus in Geriatric with
Cerebrovascular Attack and Alzheimer’s
Disease (A Case Report)
Ulil Abshor*, Rudy Vitraludyono**, Ristiawan Muji Laksono***
*Resident of Anesthesiology and Intensive Therapy Medical
Faculty of Brawijaya University
**Teaching Staff of Anesthesiology and Intensive Therapy Medical
Faculty of Brawijaya University
***Pain Management Subspecialty Division of Medical Faculty of
Brawijaya University/Dr. Saiful Anwar General Hospital

Background
Elderly patients may have significant organ dysfunction.
Cardiorespiratory, renal, and neurological dysfunction are
common. Increasing age and pre-existing illness such as multiple
cerebrovascular attacks, Alzheimer’s Disease increase the inci-
dence of complications. Perpheral Nerve Block in case of patient
with many complications can be the best choice.

Objectives
The main aim of management of this case is to achieve a
safe anesthesia with minimal interference in CVA survivor and
Alzheimers Disease by ultrasound-guided supraclavicular
brachial plexus block.

Methode
An 84-year-old CVA survivor woman three times attacks
without sequele, with Alzheimer’s Disease and dementia was seen
as in-patient of RSSA hospital because of vehicle accident

243
previously and suffered from closed fracture intercondyler
humerus and underwent for elective open reduction internal
fixation. The procedure was commenced under ultrasound-
guided supraclavicular brachial plexus block with 20cc mixture of
Ropivacaine 0.75% 14cc plus lidocaine 2% 6cc and provide
analgesia with VAS score 1 to 2 until day-2 post procedure.

Result
Supraclavicular brachial plexus block provide anesthesia
technique as well as analgesia for open reduction internal fixation
in patient open fracture intercondyler humerus with co-morbid
Geriatric Age with multiple cerebrovascular attacks and
Alzheimer’s Disease.

Conclusion
Supraclavicular brachial plexus block is safer anesthesia
procedure compare to General Anesthesia regarding risk of CVA
during anesthesia procedure, minimal use of anesthetic agent, and
minimal drug interaction.

Reference
1. Hadzic, A., 2011. NYSORA Hadzic’s Peripheral Nerve
Blocks and Anatomy for Ultrasound-Guided Regional
Anesthesia Second Edition, Chapter 13 Supraclavicular
Brachial Plexus Block. P. 167-174. McGraw-Hill. USA
2. Hadzics, A. 2017. NYSORA Hadzic’s Textbook of Regional
Aesthesia and Acute Pain Management Second Edition.
Chapter 32C Ultrasound-Guided Supraclavicular Brachial
Plexus Block. P. 568-572. McGraw-Hill. USA
3. Karmakan, M. K., 2018. Atlas of Sonoanatomy for
Regional Anesthesia and Pain Medicine. P. 57-62. McGraw-
Hill. USA.
4. Marhofer, P., 2010. Ultrasound Guidance in Regional
Anesthesia, Principles and Practical Implementation, Second
Edition. Chapter 13.3 Supraclavicular Approach P. 108-111.
Oxford University Press. United Kingdom.
244
5. Dodds, C, et al, 2017. Anaesthesia for the Elderly Patient,
Second Editio Oxford University. United Kingdom.

THE ROLE OF PTERYGOPALATINE


GANGLION BLOCK IN MANAGEMENT OF
CLUSTER HEADACHE
Muh Kemal Putra*; Dedi Susila** Soni Sunarso Sulistiawan**
Herdiani Sulistyo Putri** Belindo Wirabuana**
*Resident, Department of Anesthesiology and Reanimation,
Medical Faculty of Airlangga University, dr Soetomo Hospital
** Consultant, Department of Anesthesiology and Reanimation,
Medical Faculty of Airlangga University, dr Soetomo Hospital

245
INTRODUCTION Cluster headache (CH) is a neurological
disorder characterized by recurrent, severe unilateral headache
that is associated with ipsilateral cranial autonomic symptoms
and usually has circadian and circannual pattern. Despite having
a low prevalence of 0,5-1/1000, CH has a large socioeconomic
impact with almost 80% of patients have restriction in daily
activities.

OBJECTIVE To present the role of pterygopalatine ganglion block


(PPGB) in management of CH.

CASE REPORT A 47 years old female was suffering from an


intractable right side headache with Numerical Rating Scale (NRS)
of 10 for 4 months. The pain was accompanied by lacrimation,
ptosis, bradycardia and hypertension. It lasted for 10 minutes but
could reoccur up to 5 times a day. Her previous medications were
gabapentin, amitriptilin, tramadol, candesartan and amlodipine
but nothing avail. We diagnosed her with episodic CH type A.
PPGB were performed using radiofrequency with temperature of
80 C for 90 seconds. After the procedure, she immediately felt 50%
reduction in her pain intensity and it gradually diminished to
NRS 1-2 during one week observation period.

DISCUSSION PPGB can be performed in CH that does not


respond to medical therapy. It is a minimally invasive technique
that can be conducted on an outpatient basis and may help lower
dependence on analgesic medications. The pain relief of a
successful block is usually described as immediate but it may
reach its maximum potential over the course of a few days. The
rationale for radiofrequency (RF) treatment of the PPG in CH is
influenced by the parasympathetic symptoms during the attack in
which thermoelectric current from RF will inactivate those painful
nerve fibers.

CONCLUSION PPGB is an effective treatment of CH but may


need a few days to reach its maximum potential.
246
KEYWORD Cluster headache, pterygopalatine ganglion block,
radiofrequency

DAFTAR PUSTAKA
1. Jan Van Zundert et al., Evidence-Based Interventional
Pain Medicine According to Clinical Diagnoses. UK. John
Wiley & Son, Ltd. 2012
2. Sanders M, Zuurmond WW. Efficacy of sphenopalatine
ganglion blockade in 66 patients suffering from cluster
headache: a 12 to 70 months follow up evaluation. J
Neurosurg. 1997 Dec; 87(6):876-80.
3. Piagkou M et al., The pterygopalatine ganglion and its
role in various pain syndrome: from anatomy to clinical
practice. Pain Pract. 2012 Jun; 12(5):399-412.

ROLE OF INTRAVENOUS MGSO4 IN


POSTOPERATIVE PAIN WITH SPINAL
ANESTHESIA: A CASE SERIES
Asyer, Erwin Pradian
Departement of Anesthesiology and Intensive Care
Medical Faculty, Padjadjaran University/Dr. Hasan Sadikin
General Hospital
Bandung, Indonesia

Introduction: MgSO4 was reported as preemptive analgesia by its


characteristics as NMDA receptor antagonist and Ca channel

247
blocker. The role of intravenous MgSO4 in regional anesthesia
remained poorly investigated. 1, 2

Objective: This case series show the role of intravenous MgSO4 in


postoperative pain with spinal anesthesia.

Case series: Three cases of orthopedic surgery was given MgSO4


IV with dose of 50mg/kg/30 min in 30 min before induction and
given ketorolac iv 0.5mg/kg on 30 min before end of surgery.
Then, patients were given maintenance dose of ketorolac 0.5mg/
kg and pethidine 1mg/kg in RL 500 ml IV drip in 8 hours.

Case 1. 62 years old man who undergone TKR in spinal anesthesia


had NRS >3 on the 18th hours after surgery. No side effects were
recorded.

Case 2. 59 years old woman who undergone TKR in spinal


anesthesia had NRS >3 on the 20th hour after surgery. No side
effects were recorded.

Case 3. 57 years old woman who undergone TKR in spinal


anesthesia had NRS >3 on the 15th hour after surgery. No side
effects were recorded.
Discussion: The administration of MgSO4 showed low posto-
perative NRS in regional anesthesia. The role of MgSO4 on the
modulation process (NMDA receptor) were reported, its possible
roles on the transduction process were also elucidated. This effect
was due to the role of MgSO4 as a Ca channel blocker. No side
effects were observed, this was likely due to its dose, amount of
bleeding, and intraoperative fluid used.3-5

Conclusion: The role of intravenous MgSO4 on postoperative


pain after spinal anesthesia, with dose of 50mg/kg 30 minutes
before TKR surgery induction, was demonstrated in this study.

Keyword: Magnesium sulfate, postoperative pain, preemptive


248
analgesia, spinal regional

DAFTAR PUSTAKA
1. Kaya S, Kararmaz A, Gedik R, Turhanoglu S. Magnesium
sulfate reduces postoperative morphine requirement after
remifentanil-based anesthesia. Medical science monitor :
international medical journal of experimental and clinical
research. 2009;15(2):Pi5-9.

2. Albrecht E, Kirkham KR, Liu SS, Brull R. Peri-operative


intravenous administration of magnesium sulphate and
postoperative pain: a meta-analysis. Anaesthesia. 2013; 68 (1):
79-90.

3. Kamtikar S KS. Evaluation of intravenous magnesium sul-


phate on postoperative pain after spinal anesthesia. ASIAN
PACIFIC JOURNAL OF HEALTH SCIENCES, 2015; 2(4):87-
91.

4. Ulm MA, Watson CH, Vaddadi P, Wan JY, Santoso JT.


Hypomagnesemia Is Prevalent in Patients Undergoing
Gynecologic Surgery by a Gynecologic Oncologist. Interna-
tional journal of gynecological cancer : official journal of the
International Gynecological Cancer Society. 2016;26(7):1320-6.

5. Abbas AM, Sakr HF. Effect of magnesium sulfate and


thyroxine on inflammatory markers in a rat model of
hypothyroidism. Canadian journal of physiology and
pharmacology. 2016;94(4):426-32.

249
ACCURACY OF PALPATION FOR
DETERMINING INTERVERTEBRAL SPACE
IN PREGNANT WOMEN: A Case Series
Aditya, Andre, Prihartono, Andy
Department of Anesthesiology and Intensive Care, Faculty of
Medicine Universitas Padjadjaran, Bandung, Indonesia

BACKGROUND Ultrasonography (USG) is now being used to


guide local injections. Transient and permanent neurological
deficits may occur as result to direct trauma from improper spinal
needle placement. Palpation, using an anatomical landmark, has
repeatedly been shown to be inaccurate to identify lumbar inter-
spaces. The aim of this case series is to determine the accuracy of
neuraxial injection (spinal/epidural) on cesarean section using
Tuffier’s line marker (L3-4), controlled by the aid of USG.

CASE DESCRIPTION Six patients who will undergo cesarean


section with neuraxial technique were being measured BMI (body
mass index); the results were between 28-35 kg/m2. Marker using
Tuffier’s line was done to determine the injection site. After being
marked, intervertebral space was counted, guided by USG.

RESULT
Patient Intervertebral Space USGGuided (Lumbal) A L2 B L3 C
L2 D L2 E L3 F L1 4 out of 6 patients showed that Tuffier’s line
marker gives more cephalad space than the intended space.

DISCUSSION On pregnant women, the position of intervertebral


space may have changes due to various reasons; pregnancy-
related overlordosis, increasing BMI, edema, and soft tissue
changes, for instance.

250
CONCLUSION Tuffier’s line marker has been proved for being
inaccurate in estimating intervertebral space in pregnant women,
hence further examinations and studies are required to determine
neuraxial procedure marker in pregnant women.

REFERENCES
1. Ahmad FU, Pandey P, Sharma BS, Garg A. Foot drop after
spinal anesthesia in a patient with a low-lying cord. Int J
ObstetmAnesth2006;15:233–64
2. Margarido CB, Mikhael R, Arzola C, Balki M, Carvalho JC.
The intercristal line determined by palpation is not a reliable
anatomical landmark for neuraxial anesthesia. Canadian
journal of anaesthesia = Journal canadien d'anesthesie.
2011;58(3):262-6.
3. Parate L, Manjunath B, Tejesh C, Pujari V. Inaccurate level
of intervertebral space estimated by palpation: The ultrasonic
revelation. Saudi Journal of Anaesthesia. 2016;10(3):270-5.
4. Kim SH, Kim DY, Han JI, Baik HJ, Park HS, Lee GY, et al.
Vertebral level of Tuffier's line measured by ultrasonography
in parturients in the lateral decubitus position. Korean
Journal of Anesthesiology. 2014;67(3):181-5.
5. Sahin T, Balaban O, Sahin L, Solak M, Toker K. A
randomized controlled trial of preinsertion ultrasound
guidance for spinal anaesthesia in pregnancy: outcomes
among obese and lean parturients: ultrasound for spinal
anesthesia in pregnancy. Journal of anesthesia. 2014;28(3):413-
9.
6. Cooperstein R, Truong F. Systematic review and meta-
analyses of the difference between the spinal level of the
palpated and imaged iliac crests. The Journal of the Canadian
Chiropractic Association. 2017;61(2):106-20.

251
SUCCESSFUL SUPRACLAVICULAR BLOCK
IN PATIENT WITH CHRONIC KIDNEY
DISEASE: A Case Report
Prabowo, Arrys, Aditya, Ricky
Department of Anesthesiology and Intensive Care, Faculty of
Medicine Universitas Padjadjaran, Bandung, Indonesia

INTRODUCTION Chronic kidney disease (CKD) is a pro-


gressive, irreversible deterioration of renal function that results
from a wide variety of diseases. Management of anesthesia in
patients with CKD requires an understanding of the pathologic
changes that accompany the renal disease, co-existing medical
conditions, and the impact of reduced renal function on drug
pharmacokinetics. Regional anesthesia becomes the mainstay to
minimize the side effect of general anesthesia on CKD patients.

CASE DESCRIPTION A 40-year-old male with pseudoaneurysm


rupture at regio cubiti dextra post AV shunt + ESRD on HD was
consulted for an emergency repair of the pseudoaneurysm
rupture. On the laboratory examination, it was found that the
hemoglobin 8.6 g/dl, ureum 161 mg/dL, creatinine 15.16 mg/dL,
natrium 136 mEq/L, kalium 4.3 mEq/L. The patient was compos
mentis and there were no respiratory problems. Supraclavicular
block technique was done to this patient, he was also positioned
on head up 30°, his head was supported by a pillow to make it
facing left. Antiseptic procedure and lidocaine infiltration were
done afterwards. On this patient, the supraclavicular block was
done on the brachialis plexus, guided by USG by inplane
technique. USG scanning was done on the right clavicle, in order
to identify subclavian arteries and veins, costa, and brachialis
plexus. Honeycomb appearance was found, thereafter injection
using a 21 G needle sized 50 cm was done, administering isobaric
bupivacaine 0.5% 20 ml incrementally. The blockade was
succeeded by 45 minutes. During operation, the patient did not
252
feel pain. The operation was done in 1 hour with 30 ml bleeding.
There were no anesthetic complications. The patient was
stabilized post-operation and was moved to the ward.

DISCUSSION Regional anesthesia has the advantage on the


pharmacokinetics properties, compared to the general anesthesia.
Regional anesthesia has minimal effects to the kidney; therefore, it
can be used better in patients with deteriorated kidney function.

CONCLUSION Supraclavicular regional block has the advantage


for upper extremities operations with minimal complications,
therefore it is the appropriate choice for a patient with abnormal
renal functions as in CKD.

REFERENCES
a. Ultrasound Guided Supraclavicular Brachial Plexus Block
(downloaded 12 March 2018). From : http://www.nysora.
com/techniques/3015-ultrasound-guided-supraclavicular-
brachialplexus-block.html
b. Sarah J. Madison, Brian M. Ilfeld. Peripheral Nerve Blocks.
On: John F. Butterworth, David C. Mackey, John D. Wasnick.
Editor. Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology.5th
edition. United States. McGraw Hill; 2013. Page 986-989.
c. Natalie F. Holt. Renal Disease: Roberta L. Hines, Editor.
Stoelting’s anesthesia and coexisting disease. 6th edition.
United States. Elsevier; 2012. Page 341-344

253
CASE REPORT OF PERIBULBAR BLOCK
ANESTHESIA FOR EVACUATION SILICON
OIL IN RETINAL SURGERY
Jaya Supriyanto1, Dedi Fitri Yadi1, Rakhman Adiwinata2
1Department of Anesthesiology and Intensive Therapy
Padjadjaran University Faculty Of Medicine — Hasan Sadikin
General Hospital, Bandung
2 Cicendo Eye Hospital, Bandung

Background
Ophthalmic surgery is a special procedure and challenging
for anesthesiologists, including safety, akinesia, analgesia, mini-
mal bleeding, obtundation of the oculocardiac reflex, prevention
of intraocular hypertension, awareness of drug interactions, and a
smooth emergence devoid of vomiting, coughing, or retching. The
anesthetic procedure in retinal surgery are retrobulbar block and
peribulbar block.

Objective
To report peribulbar block anesthesia for evacuation silicon
oil in retinal surgery

Case
58 years old male underwent silicon oil evacuation under
peribulbar block anesthesia. Patient Classified as ASA I. Local
anesthetic was injected by using 25G needle 2,5cm at inferolateral
site then using 27G needle 1,5cm another 3cc local anesthetic was
injected at medical canthus manually. Pressure was applied to the
eye for 3 minutes and motoric block was visible. Patient undergo
surgery for an hour with stable hemodynamic.

Discussion
Local anesthetic drugs was injected into extraconal com-
partment of the eyeball that may blocked cilliary nerve, cranial
254
nerve III and cranial nerve IV but not cranial nerve II. Site of
injection are inferolateral and medial canthus of the eye.
Levobupivacaine, bupivacaine and lidocaine or combination of
such drugs used in peribulbar block. Complications that may
occur in the peribulbar block are perforation of eyeball,
retrobulbar bleeding, damage to the optic nerve, intra artery
injections, injection of optic nerve fibers, occulocardiac reflex and
allergic reactions and toxicities related to local anesthetic drugs. In
which none was noted in the patient

Conclusion
Peribulbar block can safely used in retinal surgery

Keywords
Ophthalmic surgery, regional anesthesia, peribulbar block

Reference
1. Barash, Paul G. Clinical Anesthesia. 7th ed. Philadelphia,
PA: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins,
2013
2. Danilo Jankovic Philip Peng: Regional Nerve Blocks In
Anesthesia And Pain Therapy, Springer: Fourth Edition, 2015
3. John F. Butterworth, David C. Mackey, John D. Wasnick,
Clinical Anesthesia, Fifth Edition. New York, 2015. Mc Graw-
Hill

Chronic Pain Syndrome Management of


Patient with High Grade Sarcoma
(rhabdomyosarcoma) by a Combination
of Oral Morphine (MST), Gabapentin and
Epidural Analgesia
255
Roy Martino, Pryambodho
FKUI-RSCM, Jakarta, Indonesia

ABSTRACT
Pain is one of the most common symptoms and most feared
by cancer patients. Chronic pain is pain that persists over time (6
months or longer) and typically results from long-standing
(chronic) medical conditions or damage to the body. Chronic pain
syndrome is a constellation of syndromes that usually do not
respond to the medical model of care. Incidence and prevalence of
pain vary by type and stage of disease. One study reported that
more than 70% of patients suffered from cancer pain. Rhabdo-
myosarcoma is the most common form of soft tissue cancer in
children. It typically appears in one of three locations: the arms
and legs, the head and neck area, or the urinary tract and
reproductive organs. In most cases, rhabdomyosarcoma affects
children under age 10. Less often, it affects teenagers.

A 15 year old patient diagnosed as a high grade sarcoma


(rhabdomyosarcoma) in the proximal region of the right femur to
the right pelvis presented with chronic pain which is charac-
terized by throbbing, punctured, radiating, burning sensation and
appeared erratically for six months. The MRI showed 8.9x8.6x14.1
cm soft tissue mass at the anterior proximal region of right femur
which involved multiple of musculus and fascia on that region.
This patient had been treated before by using fentanyl patch
combined with oral morphine (MST) and gabapentin but still
poorly managed. We used combination method of oral morphine
(MST), gabapentin and continous epidural analgesia to treat the
pain. We evaluated level of pain by using VAS scale every 12
hours. We also evaluated breaktrough pain events. By using this
combination method, we can controlled the pain level and mini-
mized breakthrough pain events.

256
To conclude, patients with cancer pain pose a challenge for
the anesthesiologist especially for pain management. To ensure
the success of pain management requires a multidisciplinary and
multimodal approach including interventional pain management
such as epidural analgesia.

Key words: Chronic pain syndrome; High grade sarcoma;


Epidural analgesia; Pain management.

THE IMPORTANCE OF PAIN RE-


EVALUATION AND RE- ASSESMENT IN
CANCER PAIN
Pryambodho, Lita Hasnah Purwati

BACKGROUND
An estimated 6.6 million people from around the world die
from cancer each year. Pain can occur at any point during the
course of this illness. The prevalence of cancer is estimated at 25%
for those newly diagnosed, 33% for those undergoing active
treatment, and greater than 75% for those with advaced disease.
The experience of pain in cancer is widelu acceppted as a major
threat to quality of life, and the relief of pain has emerged as a
priority in cancer care.

257
CASE REPORT
Male, 31 years old, complaining pain in left neck since three
months ago, the pain radiates to face especially left eye and to left
shoulder. The pain is describe as dull pain and sometimes
pulsating. It is an Intermittent pain without any precipitating
factors, worsen by neck mobility, then became intensed. VAS
score 5-7. This patients diagnosed as LMNH of nasopharynx one
year ago and have finished 12 cycle of chemotherapy and 32 cycle
of radiotherapy. The patient has been receiving therapy based on
The principal management cancer management by the WHO step
ladder of analgetics MST 3x10 mg tablets and gabapentin 3x100 mg
tablets for three months. The patient come to the Emergency
Department and consulted to Anesthesia Department because of
breakthough pain,VAS 9-10, we give fentanyl 50 mcg IV as rescue,
after that VAS Score 7. The patient admitted to the hospital, and
receiving PCA morfin, bolus dose 2 mg, lock out 15 minutes,
maximal dose 8 mg/hour. First day, with the same treatment
patient still feel the neck pain, VAS Score 5-6 until the fifth day.
The patient undergo Neck Xray : the result is straight neck. The
patient prescribed for solaxin tablets 3x200 mg, VAS score 3-4.
Then we decided to do Facet block in Facet joint of Vertebrae C2-3
and C3-4, for diagnostic, we suspected the neck pain is due to the
straight neck structure. The day after, VAS score 2-3, but there is
improvement in neck range of motion. The patient undergo two
more facet joint block, VAS 1-2, then admitted home with
paracetamol, acetaminophen and methylprednisolone tablets.

DISCUSSION
Pain in cancer patient can be classified as cancer related or non
cancer related. Cancer related such as neuropathy due to
radiotherapy or chemotherapy. And non cancer related, like the
case above, Neck pain which was suspected as cancer pain, but
turns out it is due to the structure of the neck structure itself.

CONCLUSION

258
Even though anesthesiologist are consulted by other doctor for
pain management in patient who has been diagnosed as cancer
pain or other disease, but we cannot be blinded by the diagnosis,
because the pain is not always due to the cancer or the disease
itself.

REFERENCES
1. National Comprehensive Cancer Network. Clinical
Practice Guidelines in Oncology for Adult Cancer Pain. V.
1.2010. Fort Wash- ington, PA: National Comprehensive
Cancer Network; 2010. Available at: www.nccn. org.
Accessed November 1, 2010
2. Knudsen AK, Aass N, Fainsinger R, Caraceni A, Klepstad
P, Jordhoy M, et al. Classification of pain in cancer patients--a
systematic literature review. Palliat Med. 2009 Jun;23(4):295–
308.

Oxycodone as intraoperative analgesic


and pot operative pain control regiment
in thoracic surgery: a case series
Rifky Jamal, Mujahidin
Department of Anaesthesiology and Intensive Care
Universitas Indonesia – Zainoel Abidin Hospital, Banda Aceh
BACKGROUND

Pain is the most occurred event in post-operative period,


especially in thoracic surgery. Good pain control after thoracic
surgery will enhancing recovery and prevent pulmonary compli-
cations such as desaturation, PaO2 decrease, poor cough reflex
atelectasis and pneumonia.
Oxycodone is strong opioid similar to morphine with better
effectivity and safety profile. Oxycodone can be used during all
peri-operative time frame, pre-operative, intra-operative (facile-

259
tating intubation and analgesics) and part of analgesics in acute
pain service post-operatively.

CASE PRESENTATION
Three patients with diagnosis multiple rib fracture
underwent internal fixation in Zainoel Abidin Hospital, Banda
Aceh. Oxycodone 200 mcg/Kg was used for facilitating intubation
and intra-operative analgesics. Propofol 2mg/Kg for induction
and Rocuronium 0.8mg/Kg were injected to facilitate intubation
in all patient. Haemodynamic after intubation, Visual Analog
Score for pain, Pasero Opioid-induced Sedation Score after
surgery was observed
Two of the patients had more than 3 ribs fracture with VAS
Score 7-8 on exerted inspiration, while the other one had 3
fractured ribs with VAS Sore 5-6. Endotracheal tube was inserted
after onset of oxycodone which is 5 minutes. Hemodynamic after
administering induction drug was decreased and immediately
reach a level around the baseline in two patients, there were
increased of blood pressure and heart rate around 10% in 1
patient. No additional intraoperative analgesic as no increased in
hemodynamic status during 2 hours operation. Paracetamol
100mg was given on the end of operation as part of multimodal
analgesia. All the patient was extubated and transferred to HCU.
Visual analog score for pain is below 3 on all patients while doing
deep inspiration at 1 hour and 6 hours after surgery . All the
patient is fully awake and show no sign of sedation.

DISCUSSION
There had been limited studies that research IV oxycodone
as analgesics at endotracheal intubation and intraoperative. IV
oxycodone at dosage of 200mcg/kg could not abolish the
sequential increase of HR and BP from baseline level on all
patient. However, the percentage increase of HR and BP is only
10% from baseline. There is no need to add additional analgesic
intraoperatively maybe because of oxycodone’s long duration of

260
action. The long duration also contributes as pain control
postoperatively with minimal effect on sedation status.

CONCLUSSION
Oxycodone could be analgesic agent for two periods of
perioperative, Intraoperative and Postoperative due to its potent
analgesic properties and long duration of action

REFERENCE
1. L May, C Hillermann, S Patil; Rib fracture management,
BJA Education, Volume 16, Issue 1, 1 January 2016, Pages 26–
32
2. Park, K.-B., Ann, J., & Lee, H. Effects of different dosages
of oxycodone and fentanyl on the hemodynamic changes
during intubation. Saudi Medical Journal, 37(8),2016 . 847–852.
3. Riley J, Eisenberg E, Müller-Schwefe G, Drewes AM, et.al.
Oxycodone: a review of its use in the management of pain.
Curr Med Res Opin. 2008 Jan;24(1):175–92

261
262

You might also like