Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 22

LAPORAN DISKUSI

PEMICU 3
MODUL MUSKULOSKELETAL

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 8
1. Reza Redha Ananda I11112005
2. Daniel Rychard’s Watopa I1011131023
3. Anggi Sulistiawati I1011131033
4. Dias Arivia Aswada I1011131082
5. Syarif Syauqiannur I1011151002
6. Tasya Ayulga Setya I1011151010
7. Josephine Johan Liauw I1011151021
8. Afifah Kartikasari I1011151043
9. Siti Maryam I1011151053
10. Farah Dhaifina Fitri I1011151056
11. Rizal Mukhlisin I1011151062

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Trigger
A 28-year-old male was brought to the emergency department
with complaints of severe pain on his left lower leg and ankle. He stated
that he was involved in a traffic accident one day prior to his ED visit, his
left lower leg was trapped under his motorcycle. Soon after the accident,
he was brought by his parents to the traditional massage therapist since
he felt a sharp pain in his left leg. Four hours later he started to feel
worsening pain in his left leg and ankle, as well as increased walking
difficulty. Upon arrival in the ED, he stated that the pain was intolerable,
accompanied by swelling, tightness, and numbness.
On physical examination, the patient was only able to move his
toes slightly and plantarflexion of the ankle intensified the pain in the front
of the calf. The calf was swollen, pale, and very sensitive to palpation.
The left dorsalis pedis or posterior tibial pulses were palpable but weak.
Anteroposterior view of the leg demonstrated a transverse fracture
of mid tibial shaft with minor displacement and soft tissue swelling.

1.2 Clarification and Definition


a. Numbness: a loss of sensation or feeling in a part of your body
b. Fracture: a break or rupture on the bone

1.3 Keyword
a. 28 year old male

1
b. Trapped under his motorcycle
c. Severe pain on lower leg and ankle
d. Tranverse fracture
e. Traditional massage therapist
f. Walk difficulty
g. Physical examination
h. Support examination

1.4 Core of Problem


What does cause tranverse fracture that experience by 28 year old
male worsen?

1.5 Problem Analysis

1.6 Hypotesis
Transverse fracture that experience by 28 year old male worsen
because the false first measure.

1.7 Discussion Question


1. Fraktur
a. Definisi
b. Klasifikasi
c. Etiologi
d. Patofisiologi
e. Manifestasi klinis

2
f. Komplikasi
g. Pemeriksaan fisik
h. Pemeriksaan penunjang
i. Tatalaksana
j. Prognosis
2. Dislokasi
a. Definisi
b. Manifestasi klinis
c. Tata Laksana
3. Patologi tulang
4. Patologi sendi
5. Compartemen syndrome
a. Klasifikasi
b. Etiologi
c. Patofisiologi
d. Manifestasi klinis
e. Pemeriksaan fisik
f. Pemeriksaan penunjang
g. Tata laksana
h. Prognosis
6. Bagaimana pandangan terhadap pijit terapi tradisional pada kasus
fraktur?

3
BAB II
PEMBAHASAN

1. Fraktur
a. Definisi
Secara umum fraktur atau patah tulang adalah terputusnya
kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa.1

b. Klasifikasi
Klasifikasi fraktur berdasarkan bentuk patahan tulang2,3
1) Transversal
Fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap
sumbu panjang tulang atau bentuknya melintang dari
tulang. Fraktur semacam ini biasanya mudah dikontrol
dengan pembidaian gips.
2) Spiral
Fraktur meluas yang mengelilingi tulang yang
timbul akibat torsi ekstremitas atau pada alat gerak.
Fraktur jenis ini hanya menimbulkan sedikit kerusakan
jaringan lunak.
3) Oblik
Fraktur yang memiliki patahan arahnya miring
dimana garis patahnya membentuk sudut terhadap
tulang.
4) Segmental
Dua fraktur berdekatan pada satu tulang, ada
segmen tulang yang retak dan ada yang terlepas
menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai
darah.
5) Kominuta
Fraktur yang mencakup beberapa fragmen, atau
terputusnya keutuhan jaringan dengan lebih dari dua
fragmen tulang.
6) Greenstick
Fraktur tidak sempurna atau garis patahnya tidak
lengkap dimana korteks tulang sebagian masih utuh
demikian juga periosterum. Fraktur jenis ini sering terjadi
pada anak–anak.
7) Fraktur Impaksi
Fraktur yang terjadi ketika dua tulang menumbuk
tulang ketiga yang berada diantaranya, seperti pada satu
vertebra dengan dua vertebra lainnya.

4
8) Fraktur Fissura
Fraktur yang tidak disertai perubahan letak tulang
yang berarti, fragmen biasanya tetap di tempatnya
setelah tindakan reduksi.

Gambar 1. Klasifikasi fraktur berdasarkan bentuk patahan tulang

c. Etiologi4
1) Traumatik
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang
tiba-tiba dan, yang dapat berupa pukulan, penghancuran
penekukan, penarikan berlebihan. Bila terkena kekuatan
langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena dan
jaringan lunaknya pun juga rusak
2) Kelelahan atau tekanan berulang-ulang
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya
pada logam dan benda lain akibat tekanan yang berulang-
ulang. Keadaan ini paling banyak ditemukan pada tibia fibula,
terutama pada atlet atau penari.
3) Kelemahan dan abnormal pada tulang (patologis)
Fraktur dapat terjadi pada tekanan yang normal
jika tulang itu lemah atau tulang itu sangat rapuh.

d. Patofisiologi
Patofisiologi fraktur tulang berhubungan dengan proses
penyembuhan tulang (bone healing), yang tahapannya sebagai
berikut:5,6

5
 Proses alami penyembuhan patah tulang dimulai ketika tulang
mengalami trauma dan merobek pembuluh darah, membentuk
hematoma fraktur. Darah yang menggumpal kemudian
membentuk bekuan darah yang terletak di antara pecahan dan
menimbulkan lapisan fibrin yang menarik sel radang, fibroblas
dan endotel. Kemudian dalam waktu, pembuluh darah tumbuh
ke dalam matriks yang berbentuk seperti jelly dari bekuan
darah. Pembuluh darah baru membawa fagosit ke daerah
fraktur, yang secara bertahap akan memfagosit berbagai materi
yang tidak diperlukan. Pembuluh darah juga membawa
fibroblas di dinding pembuluh dan menghasilkan serat kolagen.
Bekuan darah digantikan oleh matriks kolagen, fragmen tulang
dapat bergerak hanya sejumlah kecil karena adanya
konsistensi serat kolagen.
 Trombosit dan sel radang menghasilkan sitokin yang kemudian
mengaktifkan sel progenitor untuk mempersiapkan
pembentukan matriks baru dalam waktu seminggu. Beberapa
fibroblas mulai berada pada matriks tulang dalam bentuk
monomer kolagen. Monomer-monomer tersebut berkumpul
yang secara spontan membentuk matriks tulang, kristal tulang
(kalsium hidroksiapatit) yang disimpan diantaranya adalah
dalam bentuk kristal tidak larut. Mineralisasi dari matriks
kolagen ini mengeras dan mengubahnya menjadi tulang.

e. Manifestasi klinis7
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi,
deformitas, pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan lokal,
dan perubahan warna yang dijelaskan secara rinci sebagai berikut:
1) Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen
tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur
merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk
meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2) Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan
dan cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa).
Pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan tungkai
menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ektremitas
yang bisa diketahui dengan membandingkannya dengan
ektremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan
baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritasnya
tulang tempat melekatnya otot.
3) Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang
sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan
bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melengkapi satu
sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm.

6
4) Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya
derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan
antara fragmen satu dengan lainnya. Uji krepitus dapat
mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.
5) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi
sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
Tanda ini biasa terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah
cedera. Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada
setiap fraktur. Kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear
atau fisura atau fraktur impaksi (permukaan patahan saling
terdesak satu sama lain). Diagnosis fraktur bergantung pada
gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan sinar-x pasien. Biasanya
pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah
tersebut.

f. Komplikasi8
1) Sindrom Emboli Lemak
Keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan kondisi
fatal. Hal ini terjadi ketika gelembung – gelembung lemak terlepas
dari sumsum tulang dan mengelilingi jaringan yang rusak.
Gelombang lemak ini akan melewati sirkulasi dan dapat
menyebabkan oklusi pada pembuluh – pembuluh darah
pulmonary yang menyebabkan sukar bernafas. Gejala dari
sindrom emboli lemak mencakup dyspnea, perubahan dalam
status mental (gaduh, gelisah, marah, bingung, stupor),
tachycardia, demam, ruam kulit ptechie.
2) Sindrom Kompartemen
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan
dalam ruang tertutup di otot, yang sering berhubungan dengan
akumulasi cairan sehingga menyebabkan hambatan aliran darah
yang berat dan berikutnya menyebabkan kerusakan pada otot.
Gejala-gejalanya mencakup rasa sakit karena ketidakseimbangan
pada luka, rasa sakit yang berhubungan dengan tekanan yang
berlebihan pada kompartemen, rasa sakit dengan perenggangan
pasif pada otot yang terlibat, dan paresthesia. Komplikasi ini
terjadi lebih sering pada fraktur tulang kering (tibia) dan tulang
hasta (radius atau ulna).
3) Nekrosis Avaskular (Nekrosis Aseptik)
Nekrosis avaskular dapat terjadi saat suplai darah ke
tulang kurang baik. Hal ini paling sering mengenai fraktur
intrascapular femur (yaitu kepala dan leher), saat kepala femur
berputar atau keluar dari sendi dan menghalangi suplai darah.
Karena nekrosis avaskular mencakup proses yang terjadi dalam
periode waktu yang lama, pasien mungkin tidak akan merasakan

7
gejalanya sampai dia keluar dari rumah sakit. Oleh karena itu,
edukasi pada pasien merupakan hal yang penting. Perawat harus
menyuruh pasien supaya melaporkan nyeri yang bersifat
intermiten atau nyeri yang menetap pada saat menahan beban.
4) Osteomyelitis
Infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan korteks
tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh)
atau hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam tubuh).
Patogen dapat masuk melalui luka fraktur terbuka, luka tembus,
atau selama operasi. Luka tembak, fraktur tulang panjang, fraktur
terbuka yang terlihat tulangnya, luka amputasi karena trauma dan
fraktur – fraktur dengan sindrom kompartemen atau luka vaskular
memiliki risiko osteomyelitis yang lebih besar.
5) Gas gangren
Gas gangren berasal dari infeksi yang disebabkan oleh bakterium
saprophystik gram-positif anaerob yaitu antara lain Clostridium
welchii atau Clostridium perfringens. Clostridium biasanya akan
tumbuh pada luka dalam yang mengalami penurunan suplai
oksigen karena trauma otot. Jika kondisi ini terus terjadi, maka
akan terdapat edema, gelembung – gelembung gas pada tempat
luka. Tanpa perawatan, infeksi toksin tersebut dapat berakibat
fatal.

g. Pemeriksaan fisik9
Pada pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang penting
untuk dievaluasi adalah (1) kulityang melindungi pasien dari
kehilangan cairan dan infeksi, (2) fungsi neuromuscular, (3)status
sirkulasi, (4) integritas ligamentum dan tulang.Cara pemeriksaannya
dapat dilakukan dengan Look, Feel, Move.
1) Look
Pada Look, yang dinilai warna dan perfusi,
luka,deformitas, pembengkakan, dan memar. Deformitas,
terdiri dari penonjolan yang abnormal (misalnya pada
fraktur kondilus lateralis humerus), angulasi, rotasi, dan
pemendekan. Functio laesa (hilangnya fungsi), misalnya
pada fraktur kruris tidak bisaberjalan. Lihat juga ukuran
panjang tulang, bandingkan kiri dan kanan, misalnya,pada
tungkai bawah meliputi apparenth length (jarak antara
ubilikus dengan maleolus medialis) dan true lenght (jarak
antara SIAS dengan maleolus medialis).
2) Feel
Pada pemerikasaan Feel, kita menggunakan
palpasi untuk memeriksa daerah nyeri tekan, fungsi
neurologi, dan krepitasi. Krepitasi adalah mendengarkan

8
bunyi gesekan/gerakan tulang yang fraktur, tetapi pada
tulang spongiosa atau tulang rawan epifisis tidak terasa
krepitasi. Pemeriksaan ini sebaiknya tidak dilakukan
karena akan menambah trauma.
3) Move
Pada periksaan Move, kita memeriksa Range of
Motion dan gerakan abnormal. Selain itu juga untuk
melihat apakah terasa nyeri bila digerakkan, baik gerakan
aktif maupun pasif.

h. Pemeriksaan penunjang
1) Computed Tomography (CT)10
Tomography (baik conventional complex-motion tomography atau
computed tomography [CT]) memiliki dua kegunaan utama dalam
pencitraan skeletal. Yang pertama yaitu untuk evaluasi posisi
fragmen fraktur, dan yang kedua adalah untuk evaluasi tumor
tulang atau penyakit seperti tumor. CT memberikan hasil
gambaran yang sangat baik dari patah tulang. Scanner multislice,
menghasilkan data yang dapat menggambarkan anatomi tubuh
dalam bidang apapun dengan resolusi yang sama dan akurasi
yang sebelumnya hanya mungkin pada bidang aksial. Dalam CT
ini, patah tulang dapat dievaluasi dalam beberapa bidang, yaitu
bidang sagital dan coronal serta aksial.
2) Menggunakan sinar Rontgen (X-ray) untuk mendapatkan
gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang, oleh karena
itu minimal diperlukan 2 proyeksi yaitu antero posterior (AP) atau
AP lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan
(khusus) atau indikasi untuk memperlihatkan patologi yang dicari,
karena adanya superposisi. Untuk fraktur baru indikasi X-ray
adalah untuk melihat jenis dan kedudukan fraktur dan karenanya
perlu tampak seluruh bagian tulang (kedua ujung persendian).11

i. Tatalaksana12
Tujuan utama dalam penanganan awal fraktur adalah untuk
mempertahankan kehidupan pasien dan yang kedua adalah
mempertahankan baik anatomi maupun fungsi ekstrimitas seperti
semula. Adapun beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
penanganan fraktur yang tepat adalah (1) survey primer yang meliputi
Airway, Breathing, Circulation, (2) meminimalisir rasa nyeri (3)
mencegah cedera iskemia-reperfusi, (4) menghilangkan dan
mencegah sumber- sumber potensial kontaminasi. Ketika semua hal
di atas telah tercapai maka fraktur dapat direduksi dan reposisi
sehingga dapat mengoptimalisasi kondisi tulang untuk proses
persambungan tulang dan meminimilisasi komplikasi lebih lanjut.

9
j. Prognosis2
1) Tipe I : fraktur transversal melalui sisi metafisis dari lempeng
pertumbuhan, prognosis sangat baik setelah dilakukan reduksi
tertutup.
2) Tipe II : fraktur melalui sebagian lempeng pertumbuhan, timbul
melalui tulang metafisis , prognosis juga sangat baik dengan
reduksi tertutup.
3) Tipe III : fraktur longitudinal melalui permukaan artikularis dan
epifisis dan kemudian secara transversal melalui sisi metafisis dari
lempeng pertumbuhan. Prognosis cukup baik meskipun hanya
dengan reduksi anatomi.
4) Tipe IV : fraktur longitudinal melalui epifisis, lempeng
pertumbuhan dan terjadi melalui tulang metafisis. Reduksi terbuka
biasanya penting dan mempunyai resiko gangguan pertumbuhan
lanjut yang lebih besar.
5) Tipe V : cedera remuk dari lempeng pertumbuhan, insidens dari
gangguan pertumbuhan lanjut adalah tinggi.

2. Dislokasi
a. Definisi13
Dislokasi adalah keadaan di mana tulang-tulang yang membentuk
sendi tidak lagi berhubungan secara anatomis (tulang lepas dari
sendi). Dislokasi adalah suatu keadaan keluarnya kepala sendi dari
mangkuknya. Dislokasi merupakan suatu kedaruratan yang
membutuhkan pertolongan segera. Apabila terjadi patah tulang di
dekat sendi atau mengenai sendi disertai luksasi sendi yang disebut
fraktur dislokasi. Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja
yang bergeser atau terlepasnya seluruh komponentulang dari tempat
yang seharusnya (dari mangkuk sendi).

b. Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi klinis yang terlihat pada dislokasi adalah
sebagai berikut:14,15
1) Nyeri
2) Perubahan kontur sendi
3) Perubahan panjang ekstremitas
4) Kehilangan mobilitas normal
5) Perubahan sumbu tulang yang mengalami dislokasi

c. Tatalaksana16
1) Segera lakukan reposisi
2) Beberapa dislokasi dapat dilakukan reposisi tanpa diperlukan
anastesi dan ada juga yang diperlukan anastesi lokal. Contoh
reposisi tanpa diperlukan anastesi yaitu dislokasi misalnya

10
dislokasi bahu dan siku. Sedangkan untuk repoisisi yang
memerlukan adanya anastei lokal disertai dengan obat penenang
misalnya valium misalnya pada dislokasi jari.
3) Untuk anestesi umum, dilakukan pada dislokasi sendi besar.
4) Dislokasi reduksi: sendi dikembalikan ke tempat semula.
5) Kaput tulang yang mengalami dislokasi dengan cara dikembalikan
ke rongga sendinya.
6) Kemudian, sendi dimobilisasi dengan menggunakan pembalut,
bidai, atau gips sehingga sendi dalam keadaan stabil.
7) Dijaga kenyamanan selama proses penyembuhan.

3. Patologi tulang
1) Acondroplasia6
Acondroplasia adalah bentuk cebol yang paling sering pada orang
kerdil. Hal ini disebabkan oleh pengaktifan mutasi titik pada
reseptor faktor pertumbuhan fibroblas (FGFR3) suatu reseptor
dengan aktivitas tirosin kinase yang mengirimkan sinyal intrasel.
Sinyal yang dikirimkan oleh FGFR3 menghambat proliferasi dan
fungsi dari lempeng pertumbuhan kondrosit, kemudian
pertumbuhan dari lempeng epifisis normal tertekan dan
pemanjangan tulang menjadi sangat terhambat.
2) Kongenital2
a) Congenital Tali pes Equino Varus (CTEV)
Deformitas umum dimana kaki berubah / bengkok dari
keadaan atau posisi normal. Lebih detail, CTEV ialah
deformitas adduksi dan supinasi melalui sendi midtarsal, tumit
varus pada subtalar, equines pada dan deviasi medial seluruh
kaki dalam hubungan dengan lutut (salter).
b) Metatarsus Primus Varus
Mencondongnya tulang metatarsal pertama kearah garis
tengah tubuh, sehingga menghasilkan sudut 20 derajat atau
lebih antara metatarsal pertama dan kedua.
c) Genu Varum
Tulang paha (femur) dan betis (tibia) menjorok kearah luar
berbentuk busur.
d) Congenital Constriction Band (Ring)
Kelainan bawaan pada pergelangan ataupun bagian
ekstemitas (tangan atau kaki) yang bermanifestasi seperti
cincin.
e) Habitual Patella Dislocation
Kelainan bawaan pada letak patela (tempurung lutut)
dimana tidak berada pada tempat yang benar.
f) Sindaktili
Kelainan jari tangan berupa pelekatan dua jari atau lebih.

11
g) Polidaktil
Kelainan pertumbuhan jari sehingga jumlah jari pada
tangan atau kaki lebih dari lima.
h) Kaki pekuk
Jenis kelainan ini mempengaruhi memengaruhi bentuk
telapak kaki dan dianggap yang paling umum terjadi. Bayi
dengan kondisi ini akan memiliki telapak kaki yang lebih pedek
dan lebar, yang membengkok kedalam secara tidak normal.
i) Osteogenesis imperfecta
Penyakit ini juga dikenal dengan rapuh tulang, yang
menyebabkan pasien terkena risiko patah tulang bahkan
hanya karena benturan ringan.

4. Patologi sendi
1) Autoimun17,18
Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit autoimun progresif
kronis yang menyerang sendi. Hal ini ditandai dengan adanya
peradangan persisten, terutama mempengaruhi sendi perifer. RA
dapat menyebabkan rasa sakit, bengkak, dan kekakuan. RA sering
terjadi pada lebih dari satu sendi dan dapat mempengaruhi setiap
sendi di tubuh.
Patofisiologi dari rheumatoid arthritis adalah sebagai berikut:
a) Patogenesisnya melibatkan beberapa faktor,
termasuk pengaruh dari genetik dan lingkungan.
b) Sel imun dan mediator inflamasi memainkan peran
penting dalam patogenesis.
c) Proliferasi sel pada lapisan sinovial sendi, bersama-
sama dengan berbagai infiltrasi sel, yang diatur oleh
sitokin, kemokin, faktor pertumbuhan, dan hormon,
menghasilkan invasif lokal pannus yang mampu
menyerang dan akhirnya menghancurkan tulang
rawan, tulang, dan jaringan lunak sekitarnya.
Adapun gambaran klinis pada rheumatoid arthritis:
a) RA sebagai polyarthritis simetris yang mempengaruhi
sendi-sendi kecil dari tangan dan kaki.
b) Sendi meradang hingga menjadi bengkak, nyeri, dan
kaku. cairan sinovial menumpuk sehingga
menyebabkan efusi.
c) Nyeri sendi biasanya lebih menonjol daripada di
osteoarthritis, terjadi pada saat istirahat, di malam hari,
dan pada saat aktivitas.
d) Selain menyebabkan gejala perifer, RA juga dapat
melibatkan tulang belakang, sehingga menyebabkan
rasa sakit di leher dan sakit kepala oksipital.

12
e) Nyeri juga dapat terjadi sebagai akibat dari penyakit
sendi temporomandibular.
f) Peradangan dapat menyebar ke luar sinovium sendi
dan struktur lain di dekatnya, termasuk tenosynovium
dari tendon, ligamen, struktur jaringan lunak lainnya,
dan tulang apabila RA tidak terkendali.

5. Compartemen syndrome
a. Klasifikasi19
1) Acute Compartment Syndrome
Kondisi yang dapat menyebabkan acute compartment
syndrome yaitu:
a) Fraktur.
b) Memar otot, pada jenis cedera ini dapat terjadi ketika
sepeda motor yang jatuh di kaki pengendara.
c) Aliran darah yang kembali mengalir setelah
sirkulasinya diblokir. hal ini dapat terjadi setelah
adanya operasi perbaikan pembuluh darah rusak yang
telah diblokir selama beberapa jam. Selama tidur,
pembuluh darah juga dapat. Posisi berbaring yang
terlalu lama juga dapat menghambat pembuluh darah,
yang kemudian bergerak ataupun bangun dan dapat
menyebabkan kondisi ini.
d) Penggunaan steroid anabolik
e) Perban konstriksi. Gips dan perban yang terlalu ketat
dapat menyebabkan terjadinya compartement
syndrome.
2) Chronic (Exertional) Compartment Syndrome
Rasa sakit dan pembengkakan pada chronic compartement
syndrome disebabkan karena latihan, misalnya pada atlet yang
memiliki kegiatan dengan gerakan yang berulang, seperti
brenang, bersepeda, atau berlari.

b. Etiologi15
Penyebab terjadinya sindrom kompartemen adalah tekanan di
dalam kompartemen yang terlalu tinggi, lebih dari 30 mmHg. Adapun
penyebab terjadinya peningkatan tekanan intrakompartemen adalah
peningkatan volume cairan dalam kompartemen atau penurunan
volume kompartemen.
1) Peningkatan volume cairan dalam kompartemen dapat
disebabkan oleh:
a) Peningkatan permeabilitas kapiler, akibat syok, luka
bakar, trauma langsung.

13
b) Peningkatan tekanan kapiler, akibat latihan atau
adanya obstruksi vena.
2) Hipertrofi otot.
3) Pendarahan.
4) Infus yang infiltrasi.
5) Penurunan volume kompartemen dapat disebabkan oleh
balutan yang terlalu ketat.

c. Patofisiologi20
Patifisiologi dari sindrom kompartemen mengarah ke ischemic
injury di mana struktur intrakompartemen memiliki batasan tekanan
yang dapat ditoleransi. Apabila cairan bertambah dalam suatu ruang
yang tetap, maupun penurunan volume kompartemen dengan
kompenen yang tetap, akan mengakibatkan peningkatan tekanan
intrakompartemen. Apabila tekanan intrakompartemen meningkat,
akan mengakibatkan peningkatan tekanan perfusi sebagai respon
fisiologis serta memicu mekanisme autoreglasi yang mengakibatkan
”cascade of injury”.
Sindrom kompartemen menyebabkan peningkatan tekanan
jaringan, penurunan aliran darah kapiler dan nekrosis jaringan lokal.
Peningkatan jaringan menyebabkan obstruksi vena dalam ruang yang
tertutup. Peningkatan tekanan secara terus menerus menyebabkan
tekanan arteriolar intramuscular bagian bawah meninggi. Pada titik ini,
tidak ada lagi darah yang akan masuk kapiler sehingga menyebabkan
kebocoran ke dalam kompartemen, yang diikuti oleh meningkatnya
tekanan dalam kompartemen.
Perfusi darah melewati kapiler yang terhenti akan menyebabkan
hipoksia jaringan. Hipoksia jaringan akan membebaskan substansi
vasoaktif yang akan meningkatkan eksudasi cairan dan
mengakibatkan peningkatan cedera yang lebih kuat. Akibatknya
konduksi saraf akan melemah, pH jaringan akan menurun akibat dari
metabolise anaerobik dan kerusakan jaringan sekitar yang hebat. Bila
berlanjut, otot-otot akan mengalami nekrosis dan membebaskan
mioglobin. Akhirnya, fungsi ekstremitas akan hilang dan dalam
keadaan terpuruk dapat mengancam jiwa.

d. Manifestasi klinis19
Manifestasi klinis yang terdapat pada acute compartement
syndrome yaitu:
1) Rasa sakit yang lebih intens. Menggunakan atau
melakukan peregangan pada otot yang terlibat dapat
meningkatkan rasa sakit itu sendiri.
2) Adanya kesemutan atau sensasi terbakar (parestesia) di
kulit.

14
3) Otot terasa ketat atau penuh.
4) Mati rasa atau kelumpuhan merupakan tanda-tanda akhir
dari compartement syndrome yang biasanya menunjukkan
cedera jaringan permanen.
Adapun gejala klinis pada chronic compertem syndrome yaitu:
1) Mati rasa
2) Kesulitan bergerak kaki
3) Otot terlihat seperti mengembung

e. Pemeriksaan fisik20,21
Pemeriksaan fokus pada empat kompartemen di kaki (Gambar 2)

Gambar 2. Fokus pemeriksaan fisik pada sindrom kompartemen


adalah kompartemen anterior, lateral, posterior superior, dan posterior
dalam/profunda.

1) Kompartemen anterior, terdiri dari tibialis anterior, dorso fleksi


pergelangan kaki; ekstensor kaki, dorsofleksi kaki; arteri tibia
anterior; dan saraf peroneal dalam, yang memberikan sensesi
pada ruang pertama.
2) Kompartemen lateral, terdiri dari peroneus longus dan brevis,
eversi kaki, dan safar peroneal superfisial, yang memberikan
sensasi ke dorsum kaki.
3) Kompartemen posterior superficial, terdiri dari otot
grastrocnemius dan soleus, fleksi plantar kaki, dan bagian dari
saraf sural, yang memberikan sensasi ke lateral kaki dan distal
betis.
4) Kompartemen posterior dalam/profunda, terdiri dari tibialis
posterior, plantar fleksi dan inversi kaki; fleksor kaki, fleksi jari
kaki; arteri peroneal; dan saraf tibial, yang memberikan
sensasi kepermukaan plantar kaki. Kompartemen ini
kemungkinan mengandung beberapa subkompartemen.

Pada sindrom kompartemen akut, pasien mengalami kaki bengkak


dan tegang. Mereka juga mengalami kelemahan atau paralisis pada
otot yang terlibat di kompartemen yang terkena dan rasa kebas di

15
daerah yang dipersarafi oleh saraf yang terlibat di kompartemen yang
terkena. Denyut dan pengisian kapiler umumnya normal, karena ini
hanya melibatkan tekanan yang sangat tinggi
Sementara pada sindrom kompartemen kronik, pasien mungkin
mengalami nyeri pada palpasi otot-otot yang terlibat atau mungkin
tanpa gejala saat istirahat. Sekitar 40% dari kasus, herniasi otot di
kompartemen dapat diraba, terutama di kompartemen anterior dan
lateral yang mana saraf peroneal superficial menembus fasia. Dalam
kasus yang berat, rasa kebas dapat terjadi pada daerah yang
dipersarafi oleh saraf yang terlibat, tapi hal ini biasanya normal pada
saat istirahat, kelemahan mungkin dapat muncul, sesuai dengan
kompartemen yang terlibat: kelemahan dorso fleksi jika kompartemen
anterior yang terlibat, kelemahan eversi kaki jika kompartemen lateral
yang terlibat, dan kelemahan plantar fleksi jika satu dari
kompartemen posterior terlibat. Nyeri timbul akibat gerakan yang
berulang, seperti mengangkat kaki, atau berlari ditempat. Sindrom
kompartemen lebih umum terjadi pada pasien yang pronasi selama
berlari; sehingga pronasi merupakan temuan umum pada
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik dapat berupa bukti ketegangan
kompartemen, menurunnya perfusi (pengisian kembali kapiler, nyeri)
dan kehilangan fungsi jaringan (mati rasa dan lemah; nervus dan otot
terlibat pada kompartemen yang terinfeksi)

f. Pemeriksaan penunjang
1) Foto Rontgen22
Untuk mengetahui apakah terdapat fraktur pada tulang
atau tidak yang berguna untuk mengetahui asal dari rasa nyeri
tersebut.
2) Arteriografi22
Untuk mengetahui ada atau tidak cedera pada arterinya.
3) Pengukuran Tekanan Kompartemen23
Pengukuran tekanan secara langsung merupakan gold
standard untuk menegakkan diagnosa sindroma
kompartemen. Pengukuran tekanan kompartemen ini dapat
dilakukan dua kali, yaitu sebelum dan setelah latihan dan tidak
semua kompartemen biasanya diuji, tetapi tergantung pada
berapa banyak tempat yang dirasakan sakit oleh pasien.
Normalnya tekanan kompartemen adalah nol. Perfusi yang
tidak adekuat dan iskemia relatif terjadi ketika tekanan
meningkat antara 10-30 mmHg dari tekanan diastolik. Tidak
ada perfusi yang efektif ketika tekanannya sama dengan
tekanan diastolik. Selama tekanan pada salah satu
kompartemen kurang dari 30 mmHg ( tekanan pengisian
kapiler diastolik ), maka tidak perlu khawatir tentang terjadinya

16
sindroma kompartemen. Tes dianggap positif jika memiliki
tekanan ≥ 15 mmHg sebelum latihan atau ≥ 30 mmHg setelah
latihan selama satu menit atau ≥ 20 mmHg setelah latihan
selama 5 menit.

g. Tatalaksana
1) Acute Compartment Syndrome19
Acute compartement syndrome merupakan keadaan
darurat bedah. Tidak ada pengobatan non operasi yang
efektif. Dokter akan membuat sayatan membuka kulit dan
fascia kemudian menutupi kompartemen yang terkena.
Prosedur ini disebut fasciotomy. Kadang-kadang, apabila
pembengkakan dapat bertambah para jika sayatan pada kulit
tidak ditutup segera. Sayatan pembedahan dapat diperbaiki
apabila pembengkakan mereda. Kadang-kadang digunakan
pula cangkok kulit.
2) Chronic Compartment Syndrome19
a) Pengobatan non operasi.
Misalnya terapi fisik, orthotics dan obat-obatan anti-
inflamasi yang biasanya disarankan. Namun, hasil dari
terapi ini masih dipertanyakan untuk menghilangkan
gejala. Gejala mungkin dapat mereda jika menghindari
aktivitas yang menyebabkan kondisi tersebut. Cross-
training dengan kegiatan yang memiliki dampak rendah
dapat menjadi pilihan.
b) Perawatan bedah.
Jika tindakan konservatif gagal, operasi dapat
menjadi pilihan. Serupa dengan operasi untuk acute
compartement syndrome, operasi ini dirancang untuk
membuka fascia sehingga akan ada lebih banyak ruang
untuk otot yang membengkak. Biasanya, sayatan di kulit
pada chronic compartement syndrome lebih pendek dari
sayatan pada acute compartement syndrome, operasi ini
juga biasanya merupakan prosedur elektif - tidak darurat.

h. Prognosis24
Sindrom kompartment akut berpotensi menyebabkan keadaan
yang sangat merugikan. Kembalinya fungsi normal dan peminimalisir
cedera tergantung pada kecepatan dalam pengenalan kondisi dan
pelaksanaan operasi fasciotomi untuk mengatasi tekanan yang
meningkat. Semakin lama waktu operasi ditunda, maka semakin
besar potensi terjadi kehilangan fungsi otot dan saraf secara
permanen. Prognosis untuk sindrom kompartmen kronik biasanya
baik.

17
6. Bagaimana pandangan terhadap pijit terapi tradisional pada kasus
fraktur?25
Sekalipun pelayanan kesehatan modern telah berkembang di
Indonesia, namun jumlah masyarakat yang memanfaatkan pengobatan
tradisional tetap tinggi. Badan kesehatan Dunia (WHO) menyatakan
pengobatan tradisional adalah ilmu dan seni pengobatan berdasarkan
himpunan pengetahuan dan pengalaman praktek, baik yang dapat
diterangkan secara ilmiah ataupun tidak dalam melakukan diagnosis,
prevensi dan pengobatan terhadap ketidakseimbangan fisik, mental
ataupun sosial. Pedoman utama adalah pengalaman praktek, yaitu hasil
pengamatan yang diteruskan dari generasi ke generasi baik secara lisan
maupun tulisan.
Pengobat patah tulang adalah pengobat tradisional yang cara
pengobatannya dengan cara mengurut untuk mereposisi tulang atau otot
yang mengalami patah atau terkilir, memfiksasi, reposisi dengan bidai
atau kayu yang dikenal dengan antai (rantai) dan memberi kompres
dengan ramuan daun-daun atau akar-akaran.
Penggunaan tempat pengobatan tradisional masih menjadi pilihan
seseorang yang mengalami patah tulang untuk mengobati sakitnya. Hasil
studi pada beberapa pengobatan tradisional yang merupakan pengobatan
ahli tulang, mengaku belum pernah mendapatkan pelatihan khusus untuk
memberikan pengobatan tulang tersebut. Biasanya penyedia layanan
akan membebat tulang yang patah dengan kain yang diolesi minyak
tertentu. Ada pula yang mengobati bagian yang trauma dengan cara
menarik bagian tulang. Tindakan yang dilakukan biasanya tergantung dari
jenis trauma tulang yang dialami pasien.
Pemilihan metode tradisional, secara medis sebenarnya masih
terbilang aman selama kasus yang ditangani bersifat ringan atau
sederhana. Namun, seringkali masyarakat masih mempercayakan
pengobatan tradisional ahli tulang, walaupun fraktur jenis terbuka. Hal ini
menyebabkan kasus infeksi dari luka fraktur akibat ditangani di
pengobatan ahli tulang terus meningkat. Bahkan tak jarang pasien
mengalami deformitas yang bahkan untuk menyelamatkan jiwanya
diperlukan tindakan amputasi.
Pada sebuah studi yang dilakukan Mulyono (2001), dilakukan foto
Rontgen pada hasil pengobatan tradisional tulang. Ternyata pada tulang
yang tadinya patah masih banyak terjadi mal union, angulasi, deformitas,
dislokasi dan callus yang sebetulnya tidak perlu terjadi.

18
BAB III
KESIMPULAN

Transverse fraktur yang dialami oleh pria 28 tahun memburuk dikarenakan


tatalaksana awal yang kurang tepat di mana menyebabkan terjadinya sindrom
kompartement.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Arif, Mansjoer, dkk., Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Medica


Aesculpalus. Jakarta: FKUI. 2000.
2. Kumar, V. Cotran, Ramzi S & Robbins, Stanley L. Buku Ajar Patologi
Robbins, Edisi 7, Vol. 2. Alih Bahasa : Pendit, Brahm U. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2012.
3. Booher JM, Thibodean GA. Athletic Injury Assesment: Athletic Related
Trauma. 1st Ed. Missouri College Publishing. 1985; p. 147-50.
4. Appley. A. Graham, Buku Ajaran Orthopedi dan Fraktur Sistem
Appley, alih bahasa, Edi Nugroho. Edisi 9. Jakarta: Widya Medika, 2010.
5. Pountos, Ippokratis, et al. Do Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs Affect
Bone Healing? A Critical Analysis. UK: The Scientific World Journal. 2012
6. Kumar, Vinay, et. al. Buku Ajar Patologi Robbins edisi 9. Alih bahasa
Ening Krisnuhoni et.al. Singapore: Elsevier. 2013
7. Smeltzer, S.C & Bare, B.G,Buku Ajar MedikalBedahEdisi 8 Volume 2, Alih
Bahasa Kuncara, H.Y, dkk.Jakarta:EGC;2002.
8. Reeves, CJ. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Penerbit Salemba
Medika;2001.
9. American College of Surgeons Comittee on Trauma. Advanced Trauma
Life Support for Doctors (ATLS) Student Course Manual. 8th ed. Chicago,
IL: American College of Surgeons, 2008.
10. Chen, Michael Y. M., et al. Basic Radiology 2nd edition. New York:
McGraw-Hill. 2011.
11. Corwin, EL. Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya Media. 2009.
12. Lee C, Porter KM. Prehospital Management of Lower Limb Fracture.
Emerg Med J; 2005;22:660-63.
13. Cole, Warren H and Zollinger Robert M. Textbook of Surgery, Ninth
Edition. New York: Meredith Corporation.
14. Brunner, L dan Suddarth, D. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah (H.
Kuncara, A. Hartono, M. Ester, Y. Asih, Terjemahan). Ed.8. Vol 1 Jakarta
: EGC. 2014.
15. Marc F Swiontkowski. Compartmental syndromes in Manual of
orthopaedics. Ed 5th. Lippincott Williams & Wilkins. USA. 2011. p : 20-8
16. Weinstein, Stuart L and Joseph A. Buckwalter. Turek’s Orthopaedics:
Principles and Their Applocation. Lippincot Williams & Wilins. 2005.
17. Deighton C, et. al. Guideline Development Group: Management of
Rheumatoid Arthritis. Summary of NICE guidance. BMJ. 2009; 338:710–
2.
18. Sluka KA. Osteoarthritis and Rheumatoid Arthritis. In: Sluka KA, editor.
Mechanisms and Management of Pain for the Physical Therapist. Seattle:
IASP Press; 2009. p. 349–360.
19. The American Orthopaedic Society for Sport Medicine. Compartement
Syndrome. American Academy of Orthopaedic Surgeon. 2009.

20
http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=a00204 accesed in 15
Descember 2016.
20. Paula, Richard. Compartment syndrome in emergency medicine. 2009.
Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/828456-overview
pada tanggal 15 desember 2016.
21. De Lee JC, Drez D, Orthopedic Sports Medicine: Principles and Practice.
Philadelphia, WB Saunders, 2002: 1612-1619.
22. Neitter, F.H ; Atlas of Human Anatomi, CIBA - Gergy Corporation ;
Summit New Jersey, 1990, halaman 458-465.
23. Mubin, H. Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam Diagnosis danTerapi
Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007.
24. Wedro, B. Compartment Syndrome. Avaible at
http://www.medicinenet.com/compartment_syndrome. Diakses pada
tanggal 15 Desember 2016.
25. Notoatmodjo, S. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.

21

You might also like