Professional Documents
Culture Documents
Transformasi Kudus Sebagai Kota Layak Anak (Tinjauan Atas Pemenuhan Hak Sipil Dan Partisipasi)
Transformasi Kudus Sebagai Kota Layak Anak (Tinjauan Atas Pemenuhan Hak Sipil Dan Partisipasi)
Abstract: Children are a gift of God’s mandate and at the same time that always must be maintained. Unfortunately,
some cases such as child exploitation, child sexual abuse, trafficking, was just always there. In fact, the City of Eligible
Children (KLA) has long been proclaimed. Kudus, is one of them. The research is to know “Why is the implementation of
the KLA in particular compliance with civil rights and child participation has not materialized”. The results of civil rights
compliance situations and children’s participation is still minimal. This can be seen from the following indicators: 1) There
are still 30% of children who do not have birth certificates of children; 2) involvement of children in public policy decisions
not yet exist; 3) Lack of information and communication center-based child; Only the fourth indicator of presence forum
child in the Kudus District are met. Obstacles in the implementation KLA in Kudus City were: 1) Program of the KLA
is considered as a program that is not sexy and not able to boost the image of officials, 2) Institutionally, egosektoral SKPD
is still so difficult to integrate the issue of children into the program all SKPD, 3) Institutional Capacity inadequate
implementation, and 4) specific budget for children not in the budget.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anakmu bukanlah milikmu, mereka adalah putra putri sang Hidup,
yang rindu akan dirinya sendiri.
Ia lahir melaluimu, namun bukan darimu. Sekalipun ia bersamamu, ia bukan milikmu. Kau bisa memberinya
cinta, tapi jangan menjejalinya dengan pemikiranmu.
Ia punya pemikirannya sendiri. Kau bisa mengurung tubuhnya, tapi tidak dengan jiwanya. Karena jiwanya
bersemayam di rumah hari esok, yang tak bisa kau kunjungi, tak juga dalam mimpi. Kau bisa menjadi
seperti dia, tapi jangan memaksanya sepertimu. Karena hidup takkan pernah mundur dan bersenandung
dengan hari kemarin. (Kahlil Gibran)
Demikian penggalan karya Kahlil Gibran yang ingin menyampaikan kepada kita bahwa anak punya
hak atas apapun yang berhak dimilikinya di dunia ini. Hak hidup, hadir, tumbuh, dan dicintai. Hak
berbicara, berekspresi, dan menentukan diri mereka sendiri. Terbebas dari pemaksaan atas nama “Orang
tua” selaku generasi yang “lebih dulu tahu” akan asam manisnya hidup dan kehidupan. Sementara,
begitu banyak pemberitaan tentang orang tua yang dengan mudah memutuskan awal dan akhir dari
anak-anaknya: lahir mati di kamar mandi, disiksa hingga cacat atau mati, dicabuli, dieksploitasi, dikirim
ke luar negeri, dan dinikahkan pada usia dini dengan alasan memenuhi kebutuhan ekonomi merupakan
sederet bukti yang sangat nyata bahwa keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat belum semuanya
ramah terhadap anak.
*. Dosen pada Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus, Ketua PSG STAIN Kudus. E-mail: dewimalaiha@yahoo.com.
Transformasi Kudus sebagai Kota Layak Anak (Siti Malaiha Dewi) 399
(Musrenbangcam), dan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) belum nampak. Begitu juga
dengan partisipasi anak dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat pun masih minim.
B. Rumusan Masalah
Kebijakan Kudus Kabupaten Layak Anak (K3LA) sudah satu tahun lebih dicanangkan, gugus
tugas pun sudah terbentuk. Berbagai workshop, sosialisasi, dan desimenasi informasi telah dilaksankan,
dan tahun 2015 diharapkan semua rencana aksi yang sudah dirumuskan telah terselesaikan. Namun,
setelah waktu berlalu, tampak belum ada capaian – capaian yang nyata atau belum ada perubahan yang
signifikan. Berbagai problem seputar anak masih saja terlihat dan terdengar. Yang paling nyata adalah
suara anak yang tidak didengar baik di keluarga, masyarakat, maupun negara. Berdasar latar belakang
masalah tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: “Mengapa
pemenuhan hak sipil dan partisipasi anak di Kabupaten Kudus belum terpenuhi?.
D. Kajian Pustaka
Anak merupakan amanah Tuhan YME yang harus dilindungi hak asasinya sebagai manusia, karena
merupakan individu yang belum matang secara fisik, mental maupun sosial. Kondisinya rentan dan
masih tergantung pada orang dewasa. Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan baik oleh keluarga,
masyarakat maupun negara. Salah satu bentuk perlindungan yang dimaksud adalah memberikan
lingkungan yang terbaik bagi anak. Kevin Lynch dalam bukunya yang berjudul “Children’s Perception of
the Environment” mengatakan bahwa Lingkungan yang terbaik untuk anak adalah yang mempunyai komuniti
yang kuat secara fisik dan sosial, komuniti yang mempunyai aturan yang jelas dan tegas, komuniti yang
memberi kesempatan pada anak, dan komuniti yang mempunyai fasilitas pendidikan yang memberi
kesempatan anak untuk mempelajari dan menyelidiki lingkungan dan dunia mereka (Panduan KLA,
2006). Hal ini tentu tidaklah mudah, sebagaimana dikatakan oleh Alit Kurniasari bahwa untuk
mewujudkan komuniti peduli anak dibutuhkan adanya pembentukan jejaring kolaboratif antar sektor
terkait, dunia usaha, masyarakat peduli anak, dan pemerintah (www.depsos.go.id, 14 Juni 2010).
Indonesia sebagai salah satu negara yang meratifikasi hak anak dan mewujudkanya dalam bentuk
kebijakan kota layak anak (KLA). KLA dipandang krusial untuk menjadi agenda nasional mengingat
masih terbatasnya kebijakan pemerintah untuk menyatukan isu hak anak ke dalam perencanaan
pembangunan kabupaten/kota dan belum terintegrasinya hak perlindungan anak ke dalam pembangunan
kabupaten/kota. Kemudian, untuk mempercepat terwujudnya pengembangan Kota Layak Anak (KLA),
Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan menjadikan model KLA ini sebagai prioritas program
Dari pernyataan di atas, menunjukan bahwa anak adalah bagian terpenting dari sebuah negara dan
merupakan investasi jangka panjang. Untuk itu, anak sebagai human investmen harus dilindungi dan
dijaga.
Gerakan perlindungan terhadap anak, sebetulnya sudah lama ada, yaitu pada zaman peradaban
Islam, tepatnya ketika Rosulullah Muhammad SAW melarang Kaum Quraisy mengubur anak perempuan
mereka. Kemudian, secara tekstual dalam Al Qur’an, Qs. Ali Imran (3): 36, pun termuat adanya kesetaraan
penghormatan dan usaha melindungi anak-anak dari segala bentuk intimadasi, penindasan atau
memperlakukan anak semena-mena karena perbedaan jenis kelamin. Lebih lengkap lihat terjemahan
Qs. Ali Imran (3): 36, berikut ini:
Artinya: “(Maka tatkala istri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku
melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkanya itu; dan Allah lebih
mengetahui apa yang dilahirkanya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya Aku telah
menamai dia Maryam dan Aku mohon perlindungan untuknya serta anak – anak keturunanya kepada (pemeliharaan)
Engkau daripada syaitan yang terkutuk)”.
Transformasi Kudus sebagai Kota Layak Anak (Siti Malaiha Dewi) 401
Namun, nyatanya banyak pihak yang belum memiliki pemahaman yang demikian. Bukti nyatanya
adalah terjadinya kasus pembunuhan terhadap anak dan berbagai tindak kekerasan terhadap anak, seperti
pelecehan seksual, pemaksaan menikah dini, pengiriman anak ke luar negeri, penjualan anak,
mempekerjakan anak di bawah usia, dan menjadikan anak terlantar di jalanan. Dan, pelaku berbagai
tindak kejahatan tidak lain adalah keluarga sendiri. Hal ini menunjukan bahwa keluarga sebagai unit
terkecil di dalam masyarakat _ yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap anggotanya khususnya
anak, ternyata masih juga tidak memberikan kenyamanan, sebagaimana disampaikan oleh sekretaris
LKBH STAIN Kudus dan anggota Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Kudus, sebagai
berikut: “Beberapa kasus kekerasan terhadap anak yang saya tangani, justru pelakunya adalah keluarga sendiri.
Ada yang karena alasan ekonomi, ada juga yang justru menyalahkan anak itu sendiri yang katanya memakai pakaian
minim” (Hasil wawancara tanggal 2 Juli 2010).
Demikian beberapa kasus nyata yang dialami oleh anak dimana pelakunya adalah keluarga terdekat.
Data JPPA Kabupaten Kudus juga menunjukan bahwa di pertengahan Tahun 2010 lalu kasus yang
berhasil ditangani meningkat jumlahnya, yaitu 24 kasus. Padahal di Tahun 2009 berjumlah 17 Kasus.
Senada dengan pernyataan di atas, Ibu STk selaku Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan pada
kantor Pemberdayaan Masyarakat Perempuan (BPMPKB) Kabupaten Kudus menyatakan bahwa
persoalan anak di Kabupaten Kudus sangat kompleks, namun yang terlihat nyata adalah adanya korban
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa tidak
ada lagi tempat yang aman untuk anak.
Membincang dan memahami kekerasan ibarat menguak tumpukan gunung es yang teramat sedikit
di permukaan, namun begitu menumpuk di dasar gunung tersebut. Dengan kata lain, meski sudah banyak
dipermasalahkan hingga dibuat undang-undang anti kekerasan- tapi tetap saja tindak kekerasan terjadi
hampir di setiap lini kehidupan kita. Hj Mufidah dalam bukunya yang berjudul ‘Haruskah Perempuan
dan Anak Dikorbankan?’, mencatat setiap tahun diperkirakan 3,3 juta anak telah mengalami kekerasan
domestik. Mereka mengalami luka-luka, pelecehan psikologis dan fisik, terlantar, baik ketika anak
menyaksikan ibunya dipukul atau bersama ibu menjadi bagian dari korban beruntun kekerasan domestik
(Mufidah, 2006: iii).
Lebih lanjut, Hj Mufidah, dkk (2006: 25) mengkategorikan bentuk kekerasan dan dampaknya menjadi
empat macam, yaitu:
Dampak fisik, seperti luka-luka, memar, lecet, gigi rompal, meninggal, patah tulang, cidera, gangguan
fungsional keluhan fisik dan cacat permanen.
Dampak psikis: sering menangis, sering melamun, tidak bisa bekerja, sulit konsentrasi, gangguan
makan, gangguan tidur, mudah lelah, tidak bersemangat, takut/ trauma, membenci setiap laki-laki,
panik, mudah marah, resah dan gelisah, bingung, menyalahkan diri sendiri, malu, perasaan ingin
bunuh diri, menarik diri dari pergaulan sosial, melampiaskan dendam pada orang lain termasuk
anak, melakukan usaha bunuh diri, depresi ataupun menjadi gila.
Dampak seksual: kerusakan organ reproduksi, trauma hubungan seksual.
Dampak ekonomis: penelantaran.
Apapun bentuknya, baik kekerasan fisik, psikis, ekonomi, maupun seksual pastilah mendatangkan
ketidakadilan dan memunculkan kepedihan dan penderitaan bagi korbanya.
Senada dengan kategori yang dibuat Hj. Mufidah, dkk di atas, di Kabupaten Kudus, selain kasus
kekerasan fisik terhadap anak, kasus kekerasan yang tidak kalah berbahayanya adalah bentuk perlindungan
terhadap anak yang berlebih bahkan cenderung berbentuk pemaksaan kehendak terhadap anak seperti
jadwal belajar dan kursus yang overload, pemilihan warna baju, pemilihan jenis permainan, bahkan
pemilihan jenis makanan yang diinginkan. Berdasarkan hasil observasi peneliti banyak anak yang dari
jam 7 pagi hingga 7 malam harus belajar dan belajar sehingga tidak memiliki waktu untuk bermain.
Rata-rata alasan orang tua adalah ‘demi masa depan anak’, tetapi dengan mengorbankan masa kecil
anak menjadi kurang bahagia.
Selain minimnya tempat bermain anak, aksesibilitas bagi anak-anak difable atau anak yang
berkemampuan beda jarang ditemui. “Semua taman atau ruang terbuka di Kudus tidak dilengkapi dengan
arena bermain anak-anak maupun aksesibilitas bagi anak-anak difable. Aksesibilitas yang dibutuhkan
seperti guiding block bagi tunanetra, papan informasi bagi tunarungu, dan ram untuk pemakai kursi roda
tidak disediakan oleh pemerintah maupun swasta” (Hasil wawancara dengan SL, pakar diffable, Kudus,
12 Agustus 2010). Padahal kota yang ramah dan layak anak adalah kota yang bisa menyediakan fasilitas
bermain dan aksesibilitas bagi siapapun termasuk anak-anak difable di setiap ruang publik.
Persoalan anak yang lain adalah minimnya (bahkan hampir tidak ada) ruang bagi partisipasi anak di
arena publik, baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, maupun monev. Anak pasif dan cenderung
dipasifkan (Hasil wawancara dengan Adb, 25 Agustus 2010). Tidak dilibatkannya anak dalam pembuatan
kebijakan karena anak dipandang sebelah mata oleh pembuat kebijakan dan dianggap ’bocah cilik’ yang
dianggap tidak penting atau bahkan tidak bermutu (wawancara dengan ASR tanggal 9 Agustus 2010).
Apa yang dikeluhkan oleh Mantan Ketua Forum Anak ’Lebah Madu’ tersebut senada dengan apa
yang dikemukakan oleh Bapak AM dari Bappeda Kudus sebagai berikut: “Kalau diundang secara fisik
dalam Musrenbang memang belum, tetapi anak kan sudah diwakili oleh SKPD yang pasti memahami kebutuhan
anak, lha mereka juga pernah jadi anak-anak” (Wawancara tanggal 9 Agustus 2010). Dengan tidak dilibatkanya
anak dalam pengambilan keputusan, maka aspirasi, kebutuhan, dan kepentingan anak tidak mungkin
diakomodir dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring, maupun evaluasi kegiatan dan program
Transformasi Kudus sebagai Kota Layak Anak (Siti Malaiha Dewi) 403
pembangunan. Demikian beberapa problem anak yang berhasil peneliti identifikasi dan dapat disimpulkan
bahwa problem anak di Kabupaten Kudus.
Dari paparan di atas, tergambar bahwa komitmen kepala – kepala SKPD belum ada. Kemudian,
kunci utama terwujudnya K3LA sebetulnya terletak pada komitmen Bupati Kudus. Jika Bupati
memerintahkan, maka Kepala – kepala SKPD pasti akan mengikutinya. Hal ini disebabkan, model
birokrasi yang masih bersifat instruktif.
“Untuk meyakinkan pentingnya K3LA ini memang sangat sulit. Bagi pemerintah atau SKPD – SKPD,
K3LA dianggap program yang kurang “seksi” dan tidak mampu mendongkrak “citra” pejabat di
masyarakat. “katanya mending kegiatan yang langsung bisa dirasakan masyarakat seperti pemberian
semen, dan lainya”. Kemudian, SKPD lain pun masih bersifat “egosektoral”, berfikir bahwa urusan anak
hanya urusan Badan Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan KB bukan urusan mereka. Tetapi inilah
tantangan yang harus kami hadapi untuk meyakinkan kepada Bupati, Bappeda dan SKPD lain untuk
mengitegrasikan anak dalam program kerja mereka. Bahkan juga kepada pengusaha, ormas, dan LSM
(Hasil wawancara dengan Kasi Pemberdayaan Perempuan, tanggal 12 Agustus 2010).
Dari pernyataan di atas, maka hambatan pelaksanaan K3LA selain karena model birokrasi yang
masih instruktif, kedua, KLA bukan program yang seksi dan tidak mampu mendongkrak citra pejabat
karena manfaatnya tidak bisa dirasakan langsung oleh masyarakat atau KLA belum menjadi issue yang
menarik. “Sepertinya K3LA susah terwujud, karena belum menjadi issue menarik” (Hasil Wawancara
dengan Adb, wartawan NU Online, 30 Juli 2010) Ketiga, SKPD – SKPD masih berfikir egosektoral,
bahwa urusan anak hanyalah urusan Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Keluarga
Berencana saja. Cara berfikir seperti ini jelas sangat menghambat terwujudnya Kudus sebagai Kota
Layak Anak, karena semua SKPD sebetulnya harus mengintegrasikan kepentingan dan kebutuhan anak
dalam program dan kegiatan mereka atau yang disebut dengan Pengarusutamaan Hak Anak (PUHA).
Pengembangan
Kudus Kabupaten Layak
Anak 2. Base Line Data
( Meliputi Empat Tahap )
4. Mobilisasi Sumber Da
ya
PUHA merupakan suatu strategi perlindungan terhadap anak dengan mengintegrasikan hak anak
ke dalam setiap kegiatan pembangunan sejak penyusunan atau perencanaan, penganggaran, pelaksanaan
atau implementasi, pemantauan dan evaluasi dari berbagai peraturan perundangan, kebijakan, program,
kegiatan dengan menerapkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Dan kepentingan terbaik bagi anak
adalah mereka sendiri yang memahaminya.
Keempat, hambatan pelaksanaan K3LA lainya adalah kapasitas kelembagaan pelaksana K3LA
sendiri yang kurang baik kapasitas personal maupun sarana prasarana, seperti tampak pada hasil wawancara
berikut:
“Saya tidak muluk-muluk, tidak berani menargetkan tahun sekian Kudus dapat menjadi kabupaten Layak
Anak, terpenting adalah saya kerjakan yang bisa saya kerjakan. Saya juga sadar, kekuatan secara kelembagaan
disini juga tidak kuat. Contohnya, sarana prasarana minim, pegawai yang ditempatkan disinipun belum
tentu paham tentang pengarusutamaan anak. saya pun tidak tahu sampai kapan saya duduk disini. Bisa
saja tahun depan saya dimutasi. Belum lagi soal anggaran, sangat minim” (Hasil wawancara dengan Kasi
Pemberdayaan Perempuan, tanggal 12 Agustus 2010).
Transformasi Kudus sebagai Kota Layak Anak (Siti Malaiha Dewi) 405
Dari hasil wawancara di depan, kendala lain dalam pelaksanaan K3LA adalah soal penempatan
pegawai yang kurang memperhatikan prinsip ’The Right man on the Right Place’, sehingga banyak pegawai
yang ditempatkan tidak sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya. Seperti halnya yang terjadi di
BPMPKB, dimana banyak pegawai yang masih belum memahami akan konsep KLA dan PUHA.
Kemudian, Soal mutasi dan rolling yang sewaktu-waktu bisa dilakukan membuat pelaksana program
menjadi setengah hati karena seringkali pekerjaan – pekerjaan yang belum terselesaikan menjadi mentah
karena vocal point nya dimutasi. Persoalan kelima, pelaksanaan KLA adalah soal anggaran atau budget
(APBD) untuk anak yang belum signifikan. Anggaran anak masih include ke dalam anggaran – anggaran
lain, belum spesifik menjadi anggaran tersendiri.
Dari pernyataan di atas, diketahui bahwa salah satu kendala belum tersedianya data anak disebabkan
oleh perbedaan definisi anak itu sendiri. UU perlindungan anak disebutkan bahwa anak adalah mereka
yang berusia di bawah 18 tahun, sementara dalam UU ketenagakerjaan, usia anak sampai 15 tahun dan
UU Pemilu mendefinisikan anak adalah mereka yang berusia kurang dari 17 tahun. Perbedaan definisi
anak inilah yang menyebabkan data dasar anak di amsing – masing SKPD kemudian harus disesuaikan.
Bagan. 2
Ukuran Keberhasilan K3LA
Ukuran keberhasilan kebijakan Kudus Kabupaten Layak Anak mengacu pada indikator keberhasilan
pembangunan yang terkait dengan kepentingan anak, sebagai berikut:
KESEHATAN
INFRASTRUKTUR PENDIDIKAN
Bagan di atas menunjukkan bahwa K3LA akan dikatakan berhasil jika terpenuhinya kebutuhan
anak akan kesehatan mereka, pendidikan, kebutuhan sosial, mendapat perlindungan ketenagakerjaan,
perlindungan hukum, dan terpenuhinya hak sipil dan partisipasi anak. Adapun dalam penelitian ini
dibatasi hanya pada pemenuhan hak sipil dan partisipasi anak yang akan dilihat pada indikator, sebagai
berikut:
a. Semua anak memiliki akta kelahiran
b. Keterlibatan anak dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang)
c. Ada dan berfungsinya forum anak
d. Ada pusat informasi dan komunikasi berbasis anak
e. Adanya payung hukum (legalitas) untuk keberadaan forum/ organisasi anak di tingkat kabupaten.
f. Dalam pengambilan kebijakan berkaitan dengan kepentingan anak melibatkan wadah/ forum anak
di tingkat kabupaten
Pertama, tentang kepemilikan akte kelahiran anak. Menurut informasi dari Dinas Pencatatan Sipil
dan Kependudukan masih ada 30% anak yang belum memiliki akte kelahiran. Padahal akte kelahiran
ini sangat penting bagi anak. Minimal sebagai tanda pengenal atau identitas mereka dalam kehidupan
bernegara. Dengan tidak dimilikinya identitas tersebut, anak-anak rentan terhadap eksploitasi. Umumnya,
anak-anak yang menjadi korban eksploitasi tidak memiliki catatan sehingga pemalsuan jati diri anak
seringkali dijadikan modus operandi sebagai seringkali terjadi pada kasus-kasus trafficking. Oleh karena
itu salah satu upaya untuk melindungi anak-anak adalah melalui pemberian akta kelahiran.
Kedua, keterlibatan anak dalam Musrenbang. Di Kabupaten Kudus, baik musrenbang di tingkat
Kabupaten, Musrenbang tingkat kecamatan maupun musrenbang tingkat desa tidak pernah ada. Tidak
dilibatkanya anak dalam pembuatan kebijakan karena anak dipandang sebelah mata oleh pembuat
kebijakan dan dianggap ’bocah cilik’ yang dianggap tidak penting atau bahkan tidak bermutu. Dengan
tidak dilibatkanya anak dalam pengambilan keputusan, maka aspirasi, kebutuhan, dan kepentingan anak
tidak mungkin diakomodir dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring, maupun evaluasi kegiatan dan
program pembangunan.
Transformasi Kudus sebagai Kota Layak Anak (Siti Malaiha Dewi) 407
Ketiga, adanya forum anak di Kabupaten Kudus. Di Kudus, forum anak sudah terbentuk pada
tahun 2009, bahkan sudah dibuat surat keputusan Bupati. Dengan dibentuknya Forum Anak “LEBAH
MADU” banyak harapan yang bisa dilaksanakan sesuai dengan visi dan misi sehingga kedepan akan
terwujud anak-anak Kudus yang sehat, dapat tumbuh dan kerkembang sesuai dengan derajatnya sebagai
anak-anak yang cerdas dan berakhlaq mulia. Dapat berperan aktif dalam berpartipasi terhadap
pembangunan. Mencintai tanah air dan bangsa Indonesia, mempunyai rasa sosial dan kepedulian yang
tinggi terhadap teman seusianya serta berbudaya damai pada setiap perilakunya sehari-hari. Namun,
sampai hari ini, setelah satu tahun terbentuk, forum anak belum dilibatkan dalam pengambilan kebijakan.
Bahkan banyak juga yang belum mengetahui keberadaan forum anak. Untuk itu, pembenahan internal
memang mau tidak mau harus menjadi pekerjaan rumah bagi forum anak itu sendiri, pemerintah daerah
maupun semua pihak. Selain forum anak yang belum maksimal, indikator lain dalam pemenuhan hak
sipil dan partisipasi seperti pusat informasi dan komunikasi berbasis anak juga belum tersedia di kabupaten
Kudus ini.
Demikian beberapa catatan tentang pemenuhan hak sipil dan partisipasi anak di Kabupaten Kudus
yang sangat masih sangat minim, untuk itu, perhatian semua pihak sangat dibutuhkan.
PENUTUP
1. Simpulan
Persoalan anak di Kudus masih sangat komplek. Beberapa problem anak yang berhasil peneliti
identifikasi meliputi:
o Kekerasan terhadap anak
Kekerasan terhadap anak dapat dibedakan menjadi kekerasan fisik dan kekerasan non fisik.
Kekerasan fisik meliputi kekerasan dalam rumah tangga seperti pemukulan, dan pelecehan seksual.
Sedangkan kekerasan non fisik berbentuk: 1) Perlindungan yang berlebihan (over protective) terhadap
anak sehingga anak tidak memiliki kebebasan dalam memilih apapun; 2) Pembiaran terhadap anak,
seperti penelantaran anak dan mempekerjakan anak.
o Minimnya fasilitas publik (Public Sphere) bagi anak
Fasilitas publik yang dimaksud seperti tempat bermain bagi anak, ruang terbuka untuk anak, dan
fasilitas publik lain seperti escalator ataupun tangga di mall dan pasar masih tidak aman bagi anak.
Kemudian, pojok ASI di perkantoran, perusahaan, dan rumah sakit juga belum tersedia.
Selain fasilitas publik yang belum ramah terhadap anak pada umumnya, fasilitas publik untuk
kelompok difable atau kelompok yang memiliki kemampuan beda pun belum tersedia. Banyak proyek
pembangunan hanya diperuntukan bagi mereka yang ‘normal’, sementara kebutuhan khusus
kelompok difable tidak diperhatikan.
o Minimnya ruang partisipasi anak di ranah publik
Ruang partisipasi yang dimaksud adalah akses anak terhadap proses – proses pembangunan. Selama
ini anak tidak diberikan akses dalam perencanaan, pelaksanaan maupun monitoring evaluasi kebijakan
dan program pemerintah. Hal tersebut disebabkan karena anak dipandang sebelah mata oleh
perencana pembangunan. Anak dianggap sebagai sosok yang kurang mengerti akan persoalan dirinya
sehingga harus diwakili oleh orang tua mereka.
Dilihat dari tahapan KLA yaitu hanya pembentukan gugus tugas yang sudah terlaksana. Sedangkan
yang lain belum tercapai.
Situasi pemenuhan hak sipil dan partisipasi anak masih minim. Hal tersebut dapat dilihat dari
indikator sebagai berikut: 1) Masih ada anak yang belum memiliki akte kelahiran anak; 2) Keterlibatan
anak dalam Musrenbang baik tingkat kabupaten, Kecamatan, maupun desa, belum ada; 3) Belum
tersedianya pusat informasi dan komunikasi berbasis anak. Hanya indikator keempat yaitu Adanya
forum anak di Kabupaten Kudus dan payung hukum (legalitas) untuk keberadaan forum/ organisasi
2. Rekomendasi
Berdasar pada persoalan – persoalan yang menghambat terlaksananya KLA di Kabupaten Kudus,
maka peneliti merekomendasikan beberapa langkah strategis sebagai berikut:
a. Menumbuhkan komitmen bersama baik pemerintah, swasta, organisasi kemasyarakatan, maupun
masyarakat pada umumnya untuk bersama – sama mewujudkan Kudus sebagai Kabupaten Layak
Anak, dengan cara sosialisasi yang terus menerus tentang hak anak dan pengarusutamaan hak
anak.
b. Penguatan kapasitas kelembagaan gugus tugas KLA baik penguatan sumber daya manusia maupun
sarana prasarana.
c. Penguatan kapasitas kelembagaan forum anak yang sudah ada melalui program pendampingan dan
bukan pembinaan.
d. Mengawal penganggaran spesifik bagi anak dalam APBD Kabupaten Kudus.
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Burhan, Analisis Data Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003)
Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Sosial, (Yogyakarta: Yogyakarta Gadjah Mada University Press, 2005)
Patilima, Hamid, Persepsi Anak Mengenai Lingkungan Kota Studi Kasus Di Kelurahan Kwitan, Jakarta Pusat.
(Tesis). (Jakarta: Kajian Pengembangan Perkotaan, Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004)
Victoria, Johnson, dkk. Anak-anak Membangun Kesadaran Kritis, (Jakarta: Read Book, 2002)
Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Rosdakarya, 2004)
Miles & Huberman, Analisis Data Kualitatif, (Jakarta: UI Press, 1992)
Pudjijulianingsih, Naning, Meningkatkan IPM melalui Perwujudan Kabupaten / Kota Layak Anak, (Makalah)
Bogdan, Robert & Steven J. Taylor, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Terj. A. Khozin Affandi, (Surabaya:
Usaha Nasional, 1993).
Nugroho, Riant, Public Policy, (Jakarta: PT Gramedia, 2009)
Subarsono, Analisis Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2005)
Sumber lain:
Panduan Kebijakan pengembangan Kota Layak Anak, Kementrian Pemberdayaan Perempuan Republik
Indonesia, Tahun 2006
Data JPPA, Tahun 2010
Data LPPA Jawa Tengah, Tahun 2009
Transformasi Kudus sebagai Kota Layak Anak (Siti Malaiha Dewi) 409
UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
www.inilah.com, tanggal 14 Juni 2010
www.depsos.go.id, tanggal 14 Juni 2010
www.digilib.unnes.ac.id, tanggal 14 Juni 2010
www.unja.ac.id, tanggal 14 Juni 2010
www.kota layak anak.org. tanggal 14 Juni 2010