Professional Documents
Culture Documents
Isi Ringkasan Seminar Ok
Isi Ringkasan Seminar Ok
Isi Ringkasan Seminar Ok
Population Conditions and Association of Lokan Shells (Geloina erosa) and Mangrove
at Kahyapu Coastal Area of Enggano Islands 1
Nella Tri Agustini 2), Dietriech G. Bengen 3), Tri Prartono 4)
ABSTRACT
Lokan shells (Geloina erosa) consumed by local community are closely related to
mangrove ecosystem as feeding habitat. The research was conducted in September 2015
- January 2016 at mangrove ecosystems in Kahyapu coastal area of Enggano island,
Bengkulu Province. The aims of the study were to analyse lokan shells (Geloina erosa)
conditions and its association with mangrove ecosystems. Sampling of mangrove
vegetation was taken using line transect and lokan shells sampling using plot in
mangrove ecosystem. The results showed that mangrove condition of the Kahyapu
coastal area was in healthy condition for the growth of lokan shells. The growth pattern
and population conditions of lokan shells for large size were better than other sizes.
Lokan shells were significantly assosiated with mangrove, especially with Rhizophora
apiculata.
PENDAHULUAN
Pulau Enggano merupakan salah satu pulau kecil terluar Indonesia di Samudra
Hindia. Pulau Enggano di Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu, bersubstrat
pasir dan pasir berlumpur yang banyak ditumbuhi oleh mangrove. Luasan ekosistem
mangrove khususnya di pesisir kahyapu sekitar ± 250 Ha (Pemda Kabupaten Bengkulu
Utara, 2012; Ta’alidin et al. 2003). Disamping itu, pesisir kahyapu memiliki ekosistem
lamun dan ekosistem terumbu karang. Pada keseluruhan ekosistem tersebut dapat di
jumpai berbagai macam jenis biota asosiasi, salah satunya adalah jenis-jenis mollusca
seperti gastropoda dan bivalvia.
Kerang lokan (Geloina erosa) merupakan kerang bivalvia hidup di kawasan
mangrove dengan ukuran mencapai 11 cm (Gimin et al. 2004). Kerang lokan (Geloina
erosa) hidup di daerah berlumpur pada ekosistem mangrove. Secara umum fungsi
mangrove diantaranya sebagai tempat berlindung, bernaung dan mencari makan bagi
makroinvertebrata pada umumnya, termasuk kerang lokan (Geloina erosa). Degradasi
atau kerusakan mangrove dan selanjutnya berpengaruh pada pertumbuhan kerang lokan
(Geloina erosa). Dekomposisi serasah yang berasal dari ranting, daun, bunga dan buah
mangrove yang jatuh diproses akan menjadi sumber makanan bagi detritus bivalvia,
crustascea, zooplankton dan lain-lain (Hamidy, 2002; Sigit dan Dwiono 2003).
1
Makalah adalah sebagian dari tesis, disampaikan pada seminar Sekolah Pascasarjana IPB
2
Mahasiswi Pascasarjana Program Studi Ilmu Kelautan Sekolah Pascasarjana IPB
3
Ketua Komisi Pembimbing, Staf Pengajar Departemen Ilmu Kelautan, IPB
4
Anggota Komisi Pembimbing, Staf Pengajar Departemen Ilmu Kelautan, IPB
1
Biota mangrove ini telah dikonsumsi oleh masyarakat Pulau Enggano. Kandungan
gizi yang tinggi dengan komposisi protein sebesar 7,06% - 16,87%, lemak sebesar 0,40
- 2,47%, karbohidrat sebesar 2,36-4,95% serta memberikan energi sebesar 69-88
kkal/100 gram daging. Dengan memperhatikan potensinya sebagai sumber protein
hewani, kerang tersebut perlu dipertimbangkan pengembangannya (Suaniti, 2007 dalam
Hasan et al. 2014).
Masih minimnya informasi keberadaan dan kondisi kerang lokan pada ekosistem
mangrove pesisir Kahyapu, mendorong dilakukannya penelitian ini yang mengkaji
kondisi populasi dan asosiasi kerang lokan (Geloina erosa) dan mangrove di Pesisir
Kahyapu Pulau Enggano, Provinsi Bengkulu. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji
kondisi populasi kerang lokan (Geloina erosa) dan asosiasi kerang lokan (Geloina
erosa) dan mangrove di pesisir kahyapu Pulau Enggano Provinsi Bengkulu. Manfaat
dari penelitian ini adalah tersedianya data mengenai kondisi populasi dan asosiasi
kerang lokan (Geloina erosa) dan mangrove, serta tersedianya informasi untuk
mendukung pengelolaan kerang lokan di pesisir kahyapu Pulau Enggano.
METODE PENELITIAN
2
contoh dimasukkan ke dalam plastik sampel yang sudah diberi label atau kode stasiun
pengamatan, untuk lebih lanjut di analisis di Laboratorium Perikanan Jurusan Ilmu
Kelautan Universitas Bengkulu berupa pengukuran morfometrik seperti panjang, tinggi
dan lebar cangkang serta berat kerang lokan. Pengukuran dilakukan dengan
menggunakan vernier caliper (jangka sorong). Penimbangan berat kerang lokan
menggunakan timbangan OHAUS Precision plus, dengan ketelitian 0,01 gr.
Analisis Data
Penentuan Kelas Ukuran
Penentuan frekuensi ukuran panjang kerang meliputi; (1) menentukan wilayah
kelas (range) = panjang maksimal-panjang minimal; (2) menentukan jumlah kelas (K) =
1 + 3,32 log N,N = jumlah contoh; (3) menentukan interval kelas (KI) = R/K.
Selanjutnya memilih ujung kelas interval pertama dan menentukan frekuensi panjang
untuk masing-masing selang kelas (Walpole, 1992).
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
25
Frekuensi (Individu)
20
15
10
5
0
Gambar 1. Frekuensi individu tiap kelas ukuran kerang lokan (Geloina erosa).
4
nilai b > 3, dimana pertambahan berat/bobot lebih cepat daripada pertambahan panjang
cangkang (allometrik positif), hal ini dapat diartikan bahwa energi yang tersimpan lebih
banyak digunakan untuk pertumbuhan berat, sedangkan pola pertumbuhan kerang lokan
ukuran sedang di stasiun 1, 2 dan 4 serta kerang lokan ukuran besar di stasiun 3 dan 4
menunjukkan nilai b < 3, dimana pertambahan panjang cangkang lebih besar daripada
pertambahan berat/bobot (allometrik negatif), hal ini dapat diartikan bahwa energi yang
tersimpan lebih banyak digunakan untuk pertumbuhan panjang. Perbedaan nilai
konstanta b menunjukkan bahwa adanya pola pertumbuhan berbeda pada tiap kelas
ukuran di setiap stasiun penelitian. Taunay (2013) dalam penelitiannya menyatakan
bahwa hubungan panjang berat tidak selalu bernilai tetap, nilainya dapat berubah dan
berbeda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Perbedaan pola pertumbuhan kerang
lokan dari setiap kelas ukuran di kawasan penelitian dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan terutama substrat, kesesuian perairan dan ketersediaan makanan yang dapat
mendukung pertumbuhan kerang (Aldrich, 1986; Jamabo et al. 2009; Tamsar et al.
2013). Mzighani (2005) menyatakan bahwa semakin banyak jenis makanan yang di
konsumsi oleh suatu organisme maka akan meningkatkan ukuran gonad, sehingga akan
mempengaruhi ukuran tubuh organisme tersebut.
Faktor kondisi kerang lokan di stasiun 1 tertinggi terdapat pada kelas ukuran kecil
yaitu 1,084 dan terendah terdapat pada kelas ukuran besar yaitu 1,01 (Gambar 2).
Stasiun 2, faktor kondisi tertinggi terdapat pada kelas ukuran sedang yaitu sebesar 1,014
dan terendah terdapat pada kelas ukuran besar yaitu 0. Stasiun 3, faktor kondisi tertinggi
terdapat pada kelas ukuran sedang yaitu sebesar 1,03 dan terendah terdapat pada kelas
ukuran besar yaitu 1,004. Stasiun 4, faktor kondisi tertinggi terdapat pada kelas ukuran
besar yaitu sebesar 2,524 dan terendah terdapat pada kelas ukuran sedang yaitu 0,998.
Nilai faktor kondisi yang didapatkan tidak berbeda secara signifikan di setiap stasiun
penelitian dan merupakan nilai normal untuk faktor kondisi (Kn) pada kerang lokan
(Gambar 2). Faktor kondisi tertinggi terdapat pada kerang lokan ukuran besar di stasiun
4 yaitu sebesar 2,52, sedangkan faktor kondisi terendah terdapat pada kerang lokan
ukuran besar di stasiun 2 yaitu 0. Keseluruhan nilai rataan faktor kondisi yang
didapatkan lebih dari 1 (Kn > 1) (Gambar 3), hal ini mengindikasikan bahwa kondisi
kerang lokan di kawasan penelitian tergolong baik terutama untuk tingkat
kemontokannya. Kerang lokan ukuran besar merupakan kerang dengan nilai faktor
kondisi tertinggi yang ditemukan di kawasan penelitian (Gambar 3), hal ini
mengindikasikan bahwa tingkat kemontokan (kegemukan) kerang lokan ukuran besar
lebih tinggi jika dibandingkan dengan kedua kelas ukuran lainnya. Hasil yang sama juga
didapatkan oleh Natan (2008) dalam penelitiannya bahwa nilai faktor kondisi
didapatkan lebih dari 1, hal ini mengindikasikan bahwa aspek biologi dan ekologi
kerang lumpur di kawasan penelitian sangat baik terutama untuk derajat kemontokan,
pertumbuhan dan reproduksi. Selanjutnya Effendie (1997) menjelaskan bahwa faktor
kondisi menunjukkan keadaan ikan/kerang dilihat dari segi kapasitas fisik untuk
survival dan reproduksi serta secara komersil memiliki arti bahwa kondisi ini
menunjukkan kualitas dan kuantitas daging ikan/kerang yang tersedia untuk dapat
dimakan. Perbedaan faktor kondisi pada setiap kelas ukuran kerang dapat disebabkan
oleh faktor umur serta strategi reproduksi dari setiap individu, hal ini dapat menentukan
apakah suatu individu mengumpulkan energi untuk pertumbuhannya ataukah untuk
persiapan reproduksi (Beesley, 1988).
5
3
2.5
Faktor Kondisi (Kn)
2
1.5
1
0.5
0
Kecil Sedang Besar
Kerang lokan
Gambar 3. Faktor kondisi (Kn) kerang lokan (Geloina erosa) berdasarkan kelas ukuran
di pesisir Kahyapu Pulau Enggano.
6
tertinggi terdapat pada spesies Rhizophora apiculata yaitu sebesar 2900 ind/ha dan
terendah terdapat pada spesies Sonneratia alba yaitu sebesar 33 ind/ha (Gambar 4).
Kerapatan jenis mangrove yang didapatkan berbeda di setiap stasiun penelitian.
Kerapatan jenis mangrove tertinggi terdapat di stasiun 4 yaitu pada spesies Rhizophora
apiculata sebesar 2900 ind/ha. Rhizophora apiculata merupakan spesies mangrove
dengan nilai kerapatan tertinggi, sedangkan Avicennia lanata merupakan spesies
mangrove dengan nilai kerapatan terendah yang ditemukan di kawasan penelitian
(Gambar 5). Kondisi kerang lokan dengan tingkat kemontokan (kegemukan) paling
tinggi ditemukan di stasiun 4, stasiun ini memiliki kerapatan jenis mangrove tertinggi
jika dibandingkan dengan stasiun lainnya, sehingga ketersediaan makanan didalamnya
lebih besar, memungkinkan energi yang dikumpulkan lebih tinggi dan tersimpan lebih
besar untuk pertumbuhannya.
3500
3000
mangrove (Ind/ha)
Kerapatan jenis
2500
2000
1500
1000
500
0
BG RA SA XG AL BG LL RA SA XG BG RA XG BG RA SA
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
Stasiun Penelitian
Keterangan :
AL : Avicennia lanata LL : Lumnitzera littorea SA: Sonneratia alba
BG : Bruguiera gymnorrhiza RA : Rhizophora apiculata XG: Xylocarpus granatum
Gambar 4. Tingkat kerapatan pohon mangrove di setiap stasiun penelitian.
Kerapatan jenis mangrove
3000
2500
2000
(ind/ha)
1500
1000
500
0
AL BG LL RA SA XG
Jenis Mangrove
Keterangan :
AL : Avicennia lanata LL : Lumnitzera littorea SA: Sonneratia alba
BG : Bruguiera gymnorrhiza RA : Rhizophora apiculata XG: Xylocarpus granatum
Gambar 5. Tingkat kerapatan pohon mangrove di pesisir kahyapu Pulau Enggano.
7
dapat memproduksi serasah tinggi dan menyumbangkan C-organik lebih besar ke
substrat di daerah habitat mangrove yang ada di sekitarnya dimana aktivitas
dekomposisi dapat terjadi. Ketersediaan kerang lokan di kawasan penelitian tergolong
rendah dan terbatas. Beberapa hal yang mungkin tidak mendukung perkembangbiakan
kerang lokan di pesisir Kahyapu dengan baik yaitu adanya indikasi ketiadaan
reqruitment dan adanya gangguan terhadap siklus perkembangbiakan. Proses
reqruitment ini seharusnya dapat terjadi jika kerang lokan tidak keluar dari sistem. Salah
satu faktor terjadinya hal tersebut diduga adanya aktivitas pengambilan kerang lokan
yang tidak selektif oleh masyarakat. Aktivitas tersebut berpengaruh pada pola
reproduksi kerang, dimana kerang lokan berukuran besar diduga tidak sempat
melakukan pemijahan dan bereproduksi dikarenakan sebelum waktunya memijah
kerang tersebut sudah diambil dalam jumlah banyak, akibatnya berpengaruh pada
pertumbuhan populasi kerang lokan sehingga populasi kerang menjadi terganggu
terkhusus populasi kerang muda.
Kerang lokan banyak ditemukan berasosiasi hidup pada spesies Rhizophora
apiculata (Gambar 6), Rhizophora apiculata memberikan sumbangan yang besar
terhadap produktivitas lingkungan perairan, jenis ini memiliki daun yang besar dan
hidup pada substrat halus, dimana perombakan dekomposisi serasah oleh bakteri
menjadi lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi mangrove di substrat kasar,
unsur hara yang dihasilkan dari serasah mangrove merupakan sumber makanan yang
dibutuhkan oleh organisme laut terkhusus kerang lokan yang berasosiasi didalamnya.
Disamping itu, jika dilihat dari morfologinya, spesies Rhizophora apiculata merupakan
salah satu spesies mangrove yang memiliki perakaran khas yaitu akar tunjang dimana
perakarannya tersebut mampu memerangkap unsur hara sehingga mendukung
pertumbuhan kerang lokan didalamnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Chapman
(1976) dan Kelana et al. (2015) bahwa mangrove yang didominasi oleh spesies
Rhizophora apiculata dicirikan oleh tingkat kesuburan yang tinggi, dimana
perakarannya mampu memerangkap partikel-partkel halus sehingga sedimen yang
dihasilkan tergolong halus dan liat. Selanjutnya, Ramli (2012) mengemukakan bahwa
spesies Rhizophora apiculata menghasilkan detritus lebih tinggi jika dibandingkan
spesies lain, dimana guguran daun Rhizophora apiculata meningkatkan kandungan
bahan organik di kawasan penelitian. Kerang lokan Geloina erosa terkadang hidup
menyendiri pada sedimen yang terletak lebih tinggi dan menempati habitat di lantai
hutan mangrove pada sedimen dengan ukuran lebih halus yaitu di bawah naungan
tumbuhan mangrove dari jenis Rhizophora spp. seperti jenis R. apiculata, R. Mucronata
dan jenis mangrove lain. (Tuheteru et al. 2014; Sigit dan Dwiono, 2003).
1
St 1 Lokan S Ki > 1500 ind/ha
St 1 Lokan K BG
0.5 St 1 Lokan B St 3 Lokan B
St 4 Lokan S St 3 Lokan S
St 4 Lokan B RA
F2 (40,31 %)
0
Ki < 1000 ind/ha
-0.5
XG
-1 St 2 Lokan B
St 2 Lokan S St 2 Lokan K
-1.5 Ki ≥ 1000 ind/ha LL
SA
-2
-2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3
F1 (48,90 %)
8
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pola pertumbuhan kerang lokan (Geloina erosa) berbeda tiap kelas ukuran,
kerang lokan ukuran kecil bersifat allometrik positif (b>3), sedangkan yang berukuran
sedang dan besar bersifat allometrik negatif (b<3). Kerang lokan ukuran besar memiliki
faktor kondisi (Kn) lebih tinggi jika dibandingkan dengan kedua kelas ukuran lainnya,
dimana Kn cenderung meningkat seiring dengan pertambahan ukuran tubuh dari kerang
lokan tersebut. Kerang lokan (Geloina erosa) berasosasi erat dengan jenis mangrove
yang ada di Pulau Enggano dan banyak ditemukan berasosiasi dengan spesies
Rhizophora apiculata, yang kerapatan jenisnya lebih besar jika dibandingkan dengan
mangrove lainnya.
Saran
Perlu penelitian tentang kematangan gonad kerang lokan, sehingga dapat
diketahui ukuran kerang lokan yang sudah siap memijah, sebagai alasan pengaturan dan
pengambilan kerang lokan oleh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Aldrich JC and Crowley M. 1986. Condition and variabiity in Myti/us edufis (L.) from
different habitat in Ireland. Aquaculture. 52 : 273-286.
Bengen DG. 2000. Sinopsis Teknis Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik
Sumberdaya Pesisir. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut
Pertanian Bogor.88Hlm.
Bengen DG. 2004. Pedoman Teknis Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Bogor: Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor.56Hlm.
Beesley PL, Ross GJB and Wells A. 1998. Mollusca-The Southern Synthesis. Csiro
Publishing: Melbourne.
Chapman VJ. 1976. Mangrove Vegetation. J. Cremer Publ. Leutherhausen, Germany.
343 page.
Effendie MI. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 hal.
Gimin R, Mohan R, Thinh LV, Griffiths AD. 2004. The relationship of shell dimensions
and shell volume to live weight and soft tissue weight in the mangrove clam,
Polymesoda erosa (Solander, 1786) from northern Australia. NAGA, WorldFish
Center Quarterly. 27( 3-4).
Hamidy R. 2002. Transpor Ateridari Serasah Mangrove dengan Kajian Khusus pada
Peran Kepiting Brachyura. Institut Teknologi Bandung, Bandung. 127 hlm
Hasan U, Wahyuningsih H, Jumilawaty E. 2014. Kepadatan Dan Pola Pertumbuhan
Kerang Lokan (Geloina Erosa, Solander 1786) Di Ekosistem Mangrove Belawan.
Jurnal Perikanan dan Kelautan. 19 (2): 42-49.
9
Jamabo NA, Chindah AC and Alfred JF. 2009. Length-Weight relationship of a
mangrove Prosobranch Tympanotonus fuscatus var fuscatus (Linnaeus 1758)
from the Bonny Estuary, Niger Delt Nigeria. World Journal of Agricultural
Sciences. 5(4) : 384-388
Jesus AD. 2012. Kondisi Ekosistem Mangrove di Sub District Liquisa Timor-Leste.
Depik. 1(3) : (136-143)
Kelana PP, Setyobudi I, Krisanti M. 2015. Kondisi Habitat Polymedosa erosa Pada
Kawasan Ekosistem Mangrove Cagar Alam Leuweung Sancang. Jurnal Akuatika.
6(2) : 107-117
Mzighani S. 2005. Fecundity and Population Structure of Cockles, Anadara antiquata
L. 1758 (Bivalvia: Arcidae) from a Sandy/Muddy Beach near Dar es Salaam,
Tanzania. Western Indian Ocean. 4 (1) : 77-84.
Natan Y. 2008. Studi Ekologi dan Reproduksi Populasi Kerang Lumpur Anodontia
edentula Pada Ekosistem Mangrove Teluk Ambon Bagian Dalam. Disertasi.
Bogor; Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Nursal, Fauziah Y, dan Ismiati. 2005. Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove
Tanjung Sekodi Kabupaten Bengkalis Riau. Jurnal Biogenesis. 2(1): 1829-5460.
Pemkab Bengkulu Utara. 2012. Potensi Desa Kahyapu. Pemda Kabupaten Bengkulu
Utara Kecamatan Enggano Provinsi Bengkulu.
Ramli M. 2012. Kontribusi ekosistem mangrove sebagai pemasok makanan ikan
belanak (Liza subviridis) di perairan pantai utara Konawe Selatan Sulawesi
Tenggara. Disertasi. Bogor; Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Silviana, DR, Nurdin J, Izmiarti. 2014. Kepadatan Populasi dan Distribusi Ukuran
Cangkang Kerang Lokan (Rectidens sp.) di Perairan Tanjung Mutiara Danau
Singkarak, Sumatera Barat. Jurnal Biologi Universitas Andalas. 3(2): 109-115.
Sigit AP dan Dwiono. 2003. Pengenalan Kerang Mangrove, Geloina erosa dan Geloina
expansa. Balitbang Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI. Jakarta.
Ta’alidin Z, Hartono D, Nabiu M, Sulystyo B, Arianto W. 2003. Laporan Penelitian
Dan Pemetaan Pulau Enggano Kabupaten Bengkulu Utara Tahun Anggaran
2003. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bengkulu Utara.
Tamsar, Emiyarti, Nurgayah WA. 2013. Studi Laju Pertumbuhan dan Tingkat
Eksploitasi Kerang Kalandue (Polymesoda erosa) Pada Daerah Hutan Mangrove
di Teluk Kendari. Jurnal Mina Laut Indonesia. 2(6) : (14-25).
Taunay PN. 2013. Studi Komposisi Isi Lambung dan Kondisi Morfometrik untuk
Mengetahui Kebiasaan Makan Ikan Manyung (Arius thalassinus) yang Diperoleh
di Wilayah Semarang. Journal of Marine Research. 2(1): 87-95.
Tuheteru M, Notosoedarmo S, Martosupono M. 2014. Aspek Biologi Geloina erosa Di
Hutan Mangrove. Prosiding Seminar Nasional Raja Ampat. Waisai, 12-13
Agustus 2014.
10