Professional Documents
Culture Documents
Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi: January 2005
Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi: January 2005
Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi: January 2005
net/publication/309399914
CITATIONS READS
6 7,136
1 author:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
PETA KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH SESUDAH OTONOMI DAERAH : APAKAH MENGALAMI PERGESERAN View project
All content following this page was uploaded by Priyo Hari Adi on 25 October 2016.
Abstracts
Fiscal decentralization gives more advantages for regions to manage their own fiscal capacities
Regions gevernments have opportunity to increase economic efficiency because the governmnets
have informational advantages concerning resource allocation. The governments are in the better
position to provide the kind of public goods and services that closely meets the local needs.
Fiscal decentralization policy started when local governments still manage to eliminate the effects of
financial crisis starting from 1997. Consequently, local governments have different level of fiscal
readiness. Besides, this policy also started when disparity of local economic growth was at peak
level.
This study is intendd to examine the effect of fiscal decentralization on economic growth.It also
tends to compare the economic growth in the implementation of fiscal decentralization between
regions based on the the economic growth before fiscal decentralization.
The result shows that the economic growth during the implementation of fiscal decentralization
significantly better than before the implementation. The other result shows that the regions with
better economic growth before fiscal decentralization still have better economic growth during the
implementation of fiscal decentralization
Key Words : Fiscal decentralization, economic growth,, regions
PENDAHULUAN
Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota
memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU no. 25
tahun 1995 yang mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Kebijakan ini
merupakan tantangan dan peluang bagi pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya
yang dimiliki secara efisien dan efektif. Bagi daerah-daerah yang memiliki potensi sumber
daya yang dapat diandalkan, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam,
kebijakan ini disambut baik, mengingat lepasnya campur tangan pemerintah akan
memberikan kesempatan yang lebih cepat untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Hakekat otonomi adalah adanya kewenangan daerah, bukan pendelegasian (Saragih 2003).
Daerah tidak lagi sekedar menjalankan instruksi pemerintah pusat, tetapi benar-benar
mempunyai keleluasaan untuk meningkatkan kreatifitas dalam mengembangkan potensi
yang selama era sentralisasi bisa dikatakan terpasung (Mardiasmo 2002).
1
Artikel ini dipublikasikan dalam Jurnal Interdispliner Kritis UKSW (Terakreditasi). 2005
2
Email : priyohari@staff.uksw.edu; priyohari18@yahoo.com
Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi 1
Sebagian kalangan bahkan menyatakan bahwa pelaksanaan desentralisasi sebagai
pendekatan Bing Bang karena jangka waktu persiapan yang terlalu pendek untuk ukuran
negara yang begitu besar dengan kondisi geografis yang cukup menyulitkan (Brodjonegoro
2003). Terlebih ditengah-tengah upaya bangsa melepaskan diri dari krisis ekonomi
moneter yang berkepanjangan dari pertengahan tahun 1997. Akibatnya kebijakan ini
memunculkan kesiapan (fiskal) daerah yang berbeda satu dengan yang lain. Kebijakan ini
justru dilakukan pada saat terjadi disparitas pertumbuhan (ekonomi) yang tinggi.
Sebagai solusi, pemerintah menetapkan alokasi transfer dana (DAU) yang berbeda. Daerah
yang mempunyai kapasitas fiskal tinggi akan mendapat pasokan dana yang lebih kecil
daripada daerah yang kapasitas fiskalnya rendah. Pemberian transfer ini bertujuan untuk
menjamin tercapainya standar pelayanan publik dan mengurangi kesenjangan horizontal
(antar daerah) dan kesenjangan vertikal (pusat- daerah) (Simanjuntak dalam Sidik 2003,
Abdullah dan Halim 2004, Wurzel 1998 )
Aspek pertumbuhan ekonomi daerah menjadi faktor penting untuk menentukan besarnya
transfer pemerintah pusat kepada daerah. Terkait dengan pertumbuhan, daerah-daerah yang
mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, seharusnya mendapatkan alokasi
DAU yang lebih kecil. Namun demikian, meskipun konvergensi antar daerah mampu
teratasi (dengan adanya transfer DAU), kinerja pemerintah daerah bisa jadi berbeda.
Daerah yang mempunyai tingkat pertumbuhan lebih baik relatif mempunyai tingkat
kesiapan yang lebih baik pula untuk menghadapi desentralisasi. Pengalaman dan
kapabilitas dalam pengelolaan keuangan menjadi modal dasar yang kuat untuk
meningkatkan kemandirian daerah dalam era desentralisasi fiskal.
Pemberian otonomi kepada daerah ini lebih cepat memacu pertumbuhan ekonomi secara
nasional. Bohte dan Meier (2000) melakukan komparasi pertumbuhan ekonomi pada
pemerintahan yang tersentralisasi dengan pemerintahan terdesentralisasi. Kedua peneliti ini
menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan lebih tinggi ternyata
terjadi pada pemerintahan yang terdesentralisasi. Menjadi pertanyan menarik apakah
daerah akan mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang sama terlebih ditengah
perbedaan kesiapan daerah memasuki era baru ini.
Pembangunan dalam bidang ekonomi ditujukan agar dapat menciptakan pertumbuhan yang
tinggi. Kuncoro (2004) menyatakan bahwa tolak ukur keberhasilan ekonomi dapat dilihat
dari pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi, semakin kecilnya ketimpangan pendapatan
antar penduduk, antar daerah dan antar sektor.
Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita (Boediono 1985). Secara
tradisional, pembangunan ekonomi ini ditujukan untuk peningkatan yang berkelanjutan
Produk Domestik Bruto/PDB atau Produk Domestik Regional Bruto/PDRB (Saragih 2003,
Kuncoro 2004). Namun demikian, dalam realita penggunaan indikator ini saja kurang
mencerminkan makna pertumbuhan yang sebenarnya. Sebagai alternatif digunakan
pendapatan per kapita (Income Per Capita). Indikator ini menekankan kemampuan suatu
negara/daerah untuk meningkatkan PDB/PDRB agar dapat melebihi tingkat pertumbuhan
penduduk. Gambaran ini menunjukkan bahwa terdapat kemungkinan daerah mengalami
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun tingkat pendapatan per kapitanya rendah
dikarenakan laju pertumbuhan penduduk yang lebih tinggi.
Dengan menggunakan dua indikator itu, dapat dikembangkan 4 (empat) tipologi daerah
untuk mengetahui gambaran pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing
daerah (Kuncoro 2004). Keempat tipologi daerah itu adalah sebagai berikut (gambar 2-1) :
1. Daerah Cepat Maju dan Tumbuh (High Growth and High Income)
Adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita
yang lebih tinggi dibanding rata-rata kabupaten dan kota
Adalah daerah yang memiliki tingkat pendapatan per kapita lebih tinggi, namun
pertumbuhan ekonominya lebih rendah dibanding rata-rata kabupatan dan kota
Adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, namun
tingkat pendapatan per kapitanya masih lebih rendah dibanding rata-rata kabupaten dan
kota.
Adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan rata-rata pendapatan
perkapita lebih rendah dibanding rata-rata kabupaten dan kota.
Rata-rata pendapatan
per kapita
Pertumbuhan ekonomi
Rata-rata pertumbuhan
Lin dan Liu (2000) mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat terjadi melalui 2
(dua) cara, yaitu : pertama dengan menaikkan investasi modal dan kedua melakukan
efisiensi terhadap sumber daya yang dimiliki Paparan ini menunjukkan bahwa
Bohte dan Meier (2000) menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan
lebih tinggi ternyata terjadi pada pemerintahan yang terdesentralisasi. Dengan
menggunakan data lag 1 dan lag 2 (data sebelum), Lin dan Liu (2000) membuktikan bahwa
desentralisasi fiskal memberikan dampak yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi. Oates (1995) menemukan hal yang sama, desentralisasi fiskal mempunyai
hubungan yang positif dan signifikan dengan pertumbuhan ekonomi (PDB/PDRB) per
kapita.
Untuk mengatasi kesenjangan ini, pemerintah pusat menetapkan kebijakan alokasi transfer
(dhi dana alokasi umum/DAU) yang berbeda berdasarkan kapasitas fiskalnya. Daerah yang
mempunyai kapasitas fiskal rendah akan memperoleh alokasi dana yang lebih besar
daripada daerah yang kapasitas fiskalnya lebih tinggi. Penelitian yang dilakukan
Brodjonegoro dan Vasques (2002) menunjukkan bahwa distribusi alokasi DAU secara
signifikan menurunkan disparitas penerimaan per kapita, hal ini ditunjukkan dengan
turunnya koefisien variasi variabel terkait dari 1,9 (satu koma sembilan) menjadi 1,18 (satu
koma delapan belas) pada tahun 2001 dan dari 1,9 menjadi 0,9 (nol koma sembilan) pada
tahun 2002.
Namun demikian, harus dipahami bahwa pemberian DAU ditujukan mengatasi persoalan
kesenjangan fiskal (ketersediaan sumber daya), artinya pemberian DAU ini hanya untuk
mengatasi kesenjangan dari sisi inputnya. Kesenjangan dari sisi output (yang ditunjukkan
dengan naiknya pertumbuhan ekonomi) akan sangat bergantung pada kapabilitas daerah
dalam mengelola sumber-sumber daya secara efisien dan efektif khususnya pada sektor
produktif. Dilihat dari pendekatan sistemik, ada kemungkinan terjadi perbedaan proses
(pengelolaan) yang memungkinkan terjadinya perbedaan pertumbuhan.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal, bisa jadi menimbulkan perbedaan orientasi kebijakan
ekonomi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemda lebih menghadapi
masalah keterbatasan keuangan (financial constraints) daripada keterbatasan ekonomi
(economic constraints) yang justru menjadi perhatian pemerintah pusat (Rafinus 2001).
Akibatnya pemda akan lebih banyak terkonsentrasi pada permasalahan alokasi daripada
permasalahan stabilisasi (perekonomian). Dengan kata lain upaya untuk menciptakan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil menjadi terabaikan dikarenakan adanya
persoalan keterbatasan (keuangan). Pengalaman dan kapabilitas pemda dalam pengelolaan
keuangan menjadi faktor penting dalam mengatasi kedua permasalahan tersebut secara
simultan.
Myrdal (1957) sebagaimana dikutip Kuncoro (2004) menyatakan bahwa perbedaan tingkat
kemajuan ekonomi antar daerah akan menyebabkan pengaruh yang merugikan (terjadinya
Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi 6
ketidakseimbangan horizontal). Hal ini disebabkan pelaku-pelaku yang mempunyai
kekuatan di pasar akan cenderung meningkat, sehingga menyebabkan ketimpangan daerah
yang semakin tinggi (Arysad 1999). Kuznets (Kuncoro 2004) menyatakan bahwa pada
tahap-tahap awal pertumbuhan, disitribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada
tahap-tahap berikutnya hal ini akan membaik. Hal ini memberikan indikasi diperlukannya
dimensi waktu yang panjang untuk melihat pengaruh positif pembangunan terhadap
pertumbuhan.
Bila dikaitkan dengan 4 tipologi daerah (Kuncoro 2004) akan dapat diidentifikasi daerah
yang memiliki kesiapan untuk memasuki desentralisasi fiskal dan yang tidak. Daerah yang
memiliki tipologi cepat maju dan tumbuh mempunyai kemungkinan mengalami tingkat
pertumbuhan yang lebih baik pada masa desentralisasi dibanding dengan daerah dengan
tipologi lain dikarenakan kesiapan yang lebih baik.
METODE PENELITIAN
Sampel dalam penelitian ini adalah kabupaten dan kota se Jawa – Bali. Alasan
pemilihan sampel ini adalah daerah kabupaten dan kota ini memiliki karakateristik
ekonomi dan geografis yang sama dan secara teoritis dan empiris berbeda di luar Jawa-Bali
(Abdullah dan Halim 2004). Data yang akan digunakan dalam analisis ini adalah data
keuangan daerah yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik. Adapun data-data tersebut
pendapatan per kapita untuk tahun 1998 – 2000. Sedangkan data sesudah pelaksanaan
desentralisasi adalah data-data yang sama untuk tahun 2001 – 2003.
Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis diskriptif untuk memberikan gambaran awal
pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita. Adapun pertumbuhan ekonomi
(dalam konteks daerah) maupun pendapatan per kapita dihitung dengan formulasi berikut
ini (Kuncoro 2004) :
Pertumbuhan Ekonomi (Rog) = (PDRBt – PDRB t-1)
PDRBt-1 x 100%
Keterangan :
PDRBt = Produk Domestik Regional Bruto pada tahun t
PDRBt-1 = Produk Domestik Regional Bruto satu tahun sebelum tahun t
Pendapatan per kapita (Ycapita) = . PDRB .
Jumlah Penduduk
Pertumbuhan ekonomi yang digunakan dalam analisis ini adalah pertumbuhan dengan
menggunakan harga konstan (PDRB riil). Pertumbuhan ekonomi ini memberikan
gambaran pertumbuhan output secara nyata karena tidak memasukkan inflasi (Kuncoro
2004)
Dalam pengujian hipotesis digunakan alat uji beda berpasangan (uji t) dan analisis varian
(ANOVA). Uji t digunakan untuk membandingkan pertumbuhan ekonomi sebelum
pelaksanaan dan setelah pelaksanaan desentralisasi fiskal (pengujian hipotesis 1).
Sedangkan ANOVA digunakan untuk melihat apakah terjadi perbedaan pertumbuhan yang
nyata antara daerah dengan tingkat kesiapan yang berbeda dalam menghadapi desentralisasi
fiskal (Pengujian hipotesis 2). Kesiapan daerah didasarkan pada 4 tipologi daerah
(Kuncoro 2004)
Upaya pemulihan dengan jangka waktu yang cukup singkat ini menunjukkan
perkembangan yang menggembirakan pada sebagian daerah. Namun demikian pada
Kesenjangan antar daerah secara umum masih cukup tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan
Pendapatan per kapita mempunyai rata-rata sebesar Rp. 1.854.961,67. Angka ini masih
sangat kecil. Namun demikian, dari tabel 1 tampak bahwa terdapat kesenjangan yang
sangat tinggi dalam hal pendapatan per kapita ini. Kensenjangan tertinggi terjadi di propinsi
Jawa Timur. Pada propinsi ini terjadi jarak yang cukup tinggi antara pendapatan tertinggi
dengan terendah. Pendapatan perkapita tertinggi di propinsi ini adalah sebesar Rp.
24.572.248. Pendapatan ini terjadi di kota Kediri. Keberadaan industri rokok terbesar di
Indonesia di kota ini memberikan konntribusi yang cukup besar bagi pertumbuhan ekonomi
daerah setempat. Ditinjau dari kemampuan finansial, kota kediri ini relatif lebih siap
dibangdin dengan kota-kota yang lain. Deviasi standar pendapatan per kapita di propinsi
Jawa Timur merupakan yang tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi pendapatan
per kapita ini relatif tidak lebih merata dibanding daerah-daerah lain diluar propinsi ini.
Kesenjangan pendapatan per kapita terendah terjadi di Jawa Tengah, yaitu sebesar Rp.
950.007,072. Namun demikian, seperti halnya propinsi Bali, propinsi Jawa Tengah
mempunyai rata-rata pendapatan per kapita paling kecil dari, bahkan lebih kecil dibanding
rata-rata pendapatan di daerah lain.
Dari dua indikator perekononomian (pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita)
dapat dipetakan daerah menurut 4 tipologi (Kuncoro 2004). Hasil pemetaan ini paling tidak
memberikan gambaran kesiapan daerah dalam memasuki era desentralisasi. Berdasarkan
hasil pemetaan, ternyata dari 117 kabupaten dan kota hanya 15% (atau 18 daerah) yang
merupakan daerah yang cepat maju dan tumbuh (gambar 2).
Daerah yang cepat maju dan tumbuh adalah daerah yang mempunyai pendapatan perkapita
dan tingkat pertumbuhan diatas rata-rata daerah yang lain. Tinggi nilai dua indikator
perekonomian pada daerah ini paling tidak memberikan gambaran kemampuan pengelolaan
15%
46%
24%
Yang memprihatinkan adalah 46% (n=54) daerah masuk dalam kategori daerah relatif
tertinggal. Hal ini memberikan gambaran banyaknya daerah yang sebenarnya belum siap
untuk memasuki era desentralisasi fiskal. Dengan kondisi semacam ini sangat sulit bagi
daerah ini menunjukkan kinerja yang baik dalam era pemerintahan ini. Daerah-daerah ini
relatih mempunyai ketergantungan yang sangat besar, bukan hanya dalam hal besaran dana
transfer, namun juga dalam pengelolaan keuangan daerah. Dari jumlah ini, 43 daerah
berada di Jawa-Tengah dan Jawa Timur (Tabel 2). Pemenuhan kualitas layanan publik
yang memadai serta dibukanya kesempatan berinvestasi dengan berbagai fasilitas atau
kemudahan merupakan faktor penting tercapainya kinerja yang lebih baik.
Tabel 2
Pembagian Daerah Berdasarkan Tipologi
Tipologi Daerah
Propinsi Cepat Maju Total
Cepat Maju Berkembang Relatif
Tapi
dan Tumbuh Cepat Tertinggal
Tertekan
Jawa Barat 7 1 11 6 25
Jawa Tengah 3 4 8 20 35
Jawa Timur 4 5 5 23 37
DI Yogyakarta 1 4 5
Banten 2 4 6
Bali 1 7 1 9
Total 18 17 28 54 117
Sumber : Data BPS tahun 1998 – 2000 (Diolah)
Daerah yang bertipologi cepat maju tapi tertekan dan relatif tertinggal justru yang
mengalami kenaikan dalam pertumbuhan ekonomi, masing-masing dari 1,22% menjadi
3,72% dan 1,88 menjadi 3,41%. Gambaran awal ini cukup menggembirakan mengingat
daerah-daerah ini adalah daerah yang sebelumnya mengalami pertumbuhan ekonomi
dibawah rata-rata. Lin dan Liu (2000) menemukan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi
lebih tinggi pada daerah yang mempunyai tingkat kekayaan marginal (marginal retention
rate). Temuan kedua peneliti ini relatif identik dengan hasil penelitian ini mengingat
daerah yang marginal, mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per
kapita yang relatif rendah.
Disisi lain daerah yang bertipologi cepat maju dan tumbuh dan berkembang cepat
mengalami rata-rata pertumbuhan ekonomi yang menurun. Namun demikian pertumbuhan
ekonomi kedua tipe daerah ini masih diatas rata-rata pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi
yang tinggi dan tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya menunjukkan bahwa daerah-
daerah ini relatif lebih mapan dibanding dengan daerah-daerah dengan tipologi lain.
Pertumbuhan ekonomi tertinggi dicapai oleh daerah yang tergolong dalam tipologi cepat
maju dan tumbuh, yaitu sebesar 7,60 %. Pertumbuhan ini dialami oleh kabupaten Cilacap
(Jawa Tengah). Sementara itu, pertumbuhan terendah sebesar - 0,09% dialami oleh
kabupaten Sumenep (Jawa Timur), yang termasuk dalam daerah bertipologi berkembang
cepat. Pada pembahasan sebelumnya ditemukan bahwa kabupaten ini juga yang
mempunyai tingkat penerimaan PAD paling rendah.
Rata-rata pendapatan per kapita dalam era desentralisasi menunjukkan kenaikan dari Rp.
Uji hipotesis berikut ini ditujukan untuk membuktikan apakah terdapat perbedaan
pertumbuhan ekonomi daerah yang signifikan antara sebelum pelaksanaan desentralisasi
dan setelah pelaksanaan desentralisasi (hipotesis 1). Sedang uji berikutnya bertujuan untuk
memberikan fakta empiris apakah terdapat perbedaan pertumbuhan yang nyata antar daerah
dengan tipologi yang berbeda-beda (hipotesis 2). Tabel 4 memberikan ringkasan hasil
penghitungan untuk kepentingan ini.
Tabel 4
Hasil Pengujian Hipotesis 1 dan 2
Pengujian Yang Diuji-bedakan Alat Uji Nilai Uji Signifikansi
Dalam pengujian hipotesis 1 diperoleh nilai t uji = 1,668 pada taraf signifikansi (α ) =
0,098 (9,8%). Hasil ini menunjukkan bahwa pada taraf signifikansi 10%, pertumbuhan
ekonomi setelah pelaksanaan desentralisasi lebih baik dibanding pertumbuhan masa
sebelumnya. Terdapat fakta empiris bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi setelah
pelaksanaan desentralisasi secara positif lebih baik dan signifikan dibanding dengan
pertumbuhan ekonomi sebelum pelaksanaan desentralisasi (pada α = 10%). Dengan
demikian hipotesis 1 (H1) dinyatakan diterima.
Terkait dengan pengujian hipotesis 2 diperoleh nilai F uji = 6,485 pada α = 0,000. Hasil
Interpretasi Hipotesis 1
Pengujian hipotesis memberikan bukti empiris adanya kenaikan yang positif dan signifikan
terkait dengan pertumbuhan ekonomi pada masa desentralisasi fiskal. Temuan riset ini
sejalan dengan hasil penelitian Bohte dan Meier (2000) yang membuktikan bahwa
pertumbuhan ekonomi pada pemerintahan terdesentralisasi lebih tinggi (dan lebih cepat)
dibanding dengan pertumbuhan pemerintahan tersentralisasi. Fakta empiris ini juga
mendukung temuan riset Oates (1995), Lin dan Liu (2000) yang menunjukkan bahwa
desentralisasi fiskal mempunyai hubungan yang positif dan signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi.
Bisa jadi sebagaimana diungkapkan Lin dan Liu (2000) , Mardiasmo (2002) dan Wong
(2004), pemberian otonomi (kewenangan) yang lebih besar membuat pemda mempunyai
keleluasaan yang lebih besar dalam melakukan alokasi yang lebih efisien pada berbagai
potensi lokal yang sesuai dengan kebutuhan publik. Pemerintah masing-masing daerah
mampu membuktikan bahwa mereka lebih sensitif terhadap kondisi ekonomi lokal.
Pemerintah daerah semakin mandiri dan kreatif dalam mengelola sumber-sumber daya
potensial untuk memacu pertumbuhan ekonomi daerahnya masing-masing.
Pertumbuhan ekonomi yang secara positif berbeda dan signifikan ini ditentukan oleh
pertumbuhan yang terjadi pada daerah-daerah yang bertipologi relatif tertinggal dan cepat
maju tapi tertekan. Dari 54 daerah yang tergolong relatif tertinggal mengalami kenaikan
rata-rata pertumbuhan yang signifikan, yaitu sebesar 1,53%, sedangkan 17 daerah yang
bertipologi cepat maju tapi tertekan mengalami kenaikan rata-rata pertumbuhan sebesar
2,49%.
3%
46%
Gambar 3 : Proporsi Berdasarkan Tipologi Daerah (Setelah Desentralisasi)
Bahkan apabila dianalisis lebih lanjut, pertumbuhan ekonomi ini telah mengubah komposisi
jumlah daerah menurut 4 tipologi yang ada. Dengan menggunakan rata-rata pertumbuhan
ekonomi dan pendapatan per kapita sebelum desentralisasi sebagai dasar untuk menentukan
tipologi daerah, diperoleh komposisi daerah yang baru menurut 4 tipologi tersebut (gambar
2). Dari gambar 3 tampak komposisi daerah relatif tertinggal mengalami penurunan
sangat signifikan sebesar 25% (bandingkan dengan gambar 3). Daerah bertipologi
berkembang cepat naik sebesar 22%, sementara itu daerah cepat maju dan tumbuh
mengalami kenaikan sebesar 15%, sedangkan proporsi daerah maju tapi tertekan
mengalami penurunan sebesar 12%. Satu hal yang menarik dari gambaran ini adalah
pertumbuhan ekonomi yang semakin baik, tidak didukung dengan peningkatan pendapatan
per kapita (hal ini ditunjukkan dengan besarnya proporsi daerah berkembang cepat, yaitu
sebesar 46%). Bisa jadi pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak lebih cepat dari akselerasi
pertambahan jumlah penduduk pada daerah setempat.
Seperti dugaan awal propinsi Bali merupakan propinsi yang paling siap dalam menghadapi
desentralisasi fiskal. Dari 7 (tujuh) daerah yang sebelumnya tergolong daerah cepat maju
tapi tertekan, setelah pelaksanaan desentralisasi 6 (enam) daerah bergeser posisinya
menjadi daerah cepat maju dan tumbuh. Tabel 5 memberikan gambaran lengkap pembagian
daerah menurut tipologi setelah desentralisasi.
Tipologi Daerah
Propinsi Cepat Maju Total
Cepat Maju Berkembang Relatif
Tapi
dan Tumbuh Cepat Tertinggal
Tertekan
Jawa Barat 9 1 13 2 25
Jawa Tengah 7 1 18 9 35
Jawa Timur 8 1 16 12 37
DI Yogyakarta 2 - 1 2 5
Banten 2 1 4 - 6
Bali 7 4 - 1 9
Total 35 4 52 26 117
Interpretasi Hipotesis 2
Dari hasil pengujian diperoleh bukti empiris adanya rata-rata pertumbuhan yang berbeda
antar daerah dengan tipologi yang berbeda. Daerah-daerah yang relatif siap (yang
sebelumnya mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi) terbukti mempunyai tingkat
pertumbuhan yang lebih baik pula dibanding dengan daerah-daerah lain yang kurang siap
menghadapi desentralisasi fiskal. Tingkat pertumbuhan daerah-daerah yang siap ini masih
lebih baik dan secara signifikan berbeda. Namun demikian disparitas pertumbuhan setelah
pelaksanaan desentralisasi ini lebih kecil daripada sebelum desentralisasi (tabel 3).
Daerah-daerah yang relatif siap tidak mengalami pertumbuhan, bahkan yang terjadi adalah
sebaliknya. Namun demikian tingkat pertumbuhan daerah-daerah ini masih lebih besar
dibanding rata-rata pertumbuhan yang terjadi. Realitas ini menunjukkan bahwa daerah-
daerah yang lebih siap relatif lebih mapan, mempunyai kapabilitas yang lebih baik dalam
mengelola sumber daya yang dimiliki. Pemda tidak hanya terfokus pada permasalahan
alokasi tetapi juga menaruh perhatian dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dan stabil (Rafinus 2001).
Namun demikian, bila dianalisis secara parsial, perbedaan yang signifikan hanya terjadi
antar beberapa daerah dengan tipologi tertentu. Dengan menggunakan uji post hoc
(Santoso 2001) dapat diketahui antar tipologi manakah terjadi perbedaan rata-rata yang
signifikan ini (Tabel 6).
Perbedaan
Rata-rata Std. Error Signifikansi
(I) Tipologi Daerah (J) Tipologi Daerah (I-J)
sebelum desentralisasi sebelum desentralisasi
Cepat Maju dan Tumbuh Cepat Maju Tapi Tertekan .009990* .0037853 .046
Berkembang Cepat .007167 .0033814 .153
Relatif Tertinggal .013019* .0030462 .000
Cepat Maju Tapi Tertekan Cepat Maju dan Tumbuh -.009990* .0037853 .046
Berkembang Cepat -.002824 .0034414 .845
Relatif Tertinggal .003028 .0031127 .765
Berkembang Cepat Cepat Maju dan Tumbuh -.007167 .0033814 .153
Cepat Maju Tapi Tertekan .002824 .0034414 .845
Relatif Tertinggal .005852 .0026065 .118
Relatif Tertinggal Cepat Maju dan Tumbuh -.013019* .0030462 .000
Cepat Maju Tapi Tertekan -.003028 .0031127 .765
Berkembang Cepat -.005852 .0026065 .118
Tabel 6 menunjukkan perbedaan rata-rata yang nyata terjadi (pada α = 5%) hanya terjadi
antara daerah dengan tipologi cepat maju dan tumbuh dengan daerah cepat maju tapi
tertekan dan antara daerah cepat maju dan tumbuh dengan daerah relatif tertinggal.
Dalam tahapan awal, perbedaan ini sangat wajar terjadi mengingat daerah dengan tipologi
cepat maju dan tumbuh adalah daerah yang dianggap paling siap dikarenakan pertumbuhan
ekonomi dan pendapatan per kapita yang berada diatas rata-rata keseluruhan daerah.
Hal menggembirakan yang perlu dicatat adalah kenaikan pertumbuhan ekonomi untuk
daerah-daerah yang sebelumnya dianggap kurang siap (cepat maju tapi tertekan dan relatif
tertinggal) ternyata lebih tinggi daripada kenaikan pertumbuhan daerah-daerah lain. Patut
diduga bahwa desentralisasi fiskal memberikan dorongan bagi daerah untuk lebih kreatif
dan inovatif untuk mengelola sumber daya yang dimiliki. Dalam waktu yang relatif singkat
daerah-daerah itu hampir mengejar ketertinggalan pertumbuhan yang sebelumnya dialami.
Bisa jadi dalam 2-3 tahun ke depan disparitas pertumbuhan tersebut menjadi tidak
signifikan.
Terkait dengan hal tersebut, alokasi belanja pembangunan harus dilakukan secara cermat.
Belanja pembangunan hendaknya tidak hanya ditujukan untuk kepentingan pembangunan
infrastruktur yang mampu memacu peningkatan investasi swasta di daerah. Pertumbuhan
ekonomi dan upaya peningkatan PAD relatif terjamin , namun demikian yang paling
diuntungkan justru pihak swasta, dalam hal ini investor (para pemilik modal). Belanja ini
hendaknya juga memprioritaskan infrastruktur pembangunan ekonomi yang dapat
dinikmati publik. Pemda harus mengupayakan agar pertumbuhan ekonomi terjadi secara
merata (mengurangi disparitas pertumbuhan ekonomi).
Abdullah, Syukriy dan Abdul Halim. 2004. Pengaruh Dana Alokasi Umum dan
Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Pemda: Studi Kasus Kabupaten dan Kota
di Jawa dan Bali. Jurnal Ekonomi STEI No. 2/Tahun XIII/25.
BAPPENAS. 2003. Peta Kemampuan Keuangan Propinsi Dalam Era Otonomi Daerah :
Tinjauan Atas Kinerja PAD dan Upaya yang dilakukan Daerah. Direktorat
Pengembangan Otonomi Daerah.
Bohte, John dan Kenneth J Meier. 2000. The Marble Cake : Introducing Federalism to The
Government Growth Equation. Publius. Summer. Hal : 35 – 99.
Brodjonegoro, Bambang dan Jorge Martines Vasques. 2002. An Analysis of Indonesia’s
TransferSystem : Recent Performance and Future Prospect. George State University.
Andrew Young School of Policy Studies. Working Paper.
Brodjonegoro, Bambang. 2003. Dua Setengah Tahun Desentralisasi Fiskal dan
Dampaknya Terhadap Upaya Mengurangi Kemiskinan dan Mendorong Investasi.
Kongres ISEI. Malang.
Halim, Abdul. 2001. Analisis Diskriptif Pengaruh Fiscal Stress pada APBD Pemerintah
Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah. KOMPAK. STIE YO. Yogyakarta. Hal:127-146
Kuncoro, Mudrajat. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah : Reformasi, Perencanaan,
Perencanaan, Strategi dan Peluang. Penerbit Erlangga.
Laurent, Stephen dan Francois Vaillancourt. 2002. Federal Transfer in Canada and The
United States 1989 – 1990 to 1998 – 1990. National Tax Association – Tax Institute of
America. Hal : 203 – 212.
Lin, Justin Yifu dan Zhiqiang Liu. 2000. Fiscal Decntralization and Economic Growth in
China. Economic Development and Cultural Change. Chicago. Vol 49. Hal : 1 – 21.
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Penerbit ANDI.
Yogyakarta.
Oates, Wallace E. 1995. Comment on “Conflict and Dillemas of Decentralization” by
Rudolf Holmes. The World Bank Research Observer. Hal : 351 – 353.
Rafinus, Hamzar Bobby. 2001. Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Ekonomi Makro.
Majalah Perencanaan Pembangunan. Edisi 23.
Santoso, Singgih. 2001. SPSS Versi 10. Elexmedia Komputindo. Gramedia. Jakarta.
Saragih, Juli Panglima. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi.
Penerbit Ghalia Indonesia.
Wong, John D. 2004. The Fiscal Impact of Economic Growth and Development on Local
Government Capacity. Journal of Public Budgeting., Accounting and Financial
Management. Fall. 16.3. Hal : 413 – 423.
Wurzel, Eckhard. 1998. Germany Reforming Federal Fiscal Relation. Organization for
Economics Development. The OECD Observer.