Professional Documents
Culture Documents
BPN - P TB - 2014 Ilovepdf Compressed
BPN - P TB - 2014 Ilovepdf Compressed
vi
viii
xii
2. Cara Penularan TB.
a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak yang
dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil pemeriksaan
BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi
oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji ≤ dari 5.000 kuman/cc
dahak sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis langsung.
b. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan
penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA
negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil
kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%.
c. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percik renik
dahak yang infeksius tersebut.
d. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei / percik renik). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar
3000 percikan dahak.
a. Paparan
Peluang Jumlah kasus menular di masyarakat
peningkatan Peluang kontak dengan kasus menular
paparan Tingkat daya tular dahak sumber penularan
terkait dengan: Intensitas batuk sumber penularan
Kedekatan kontak dengan sumber penularan
Lamanya waktu kontak dengan sumber penularan
Faktor lingkungan: konsentrasi kuman diudara (ventilasi, sinar ultra
violet, penyaringan adalah faktor yang dapat menurunkan
konsentrasi)
Catatan: Paparan kepada pasien TB menular merupakan syarat untuk terinfeksi. Setelah
terinfeksi, ada beberapa faktor yang menentukan seseorang akan terinfeksi saja,
menjadi sakit dan kemungkinan meninggal dunia karena TB.
b. Infeksi
Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6 – 14 minggu setelah infeksi
Reaksi immunologi (lokal)
Kuman TB memasuki alveoli dan ditangkap oleh makrofag dan kemudian berlangsung
reaksi antigen – antibody.
Reaksi immunologi (umum)
Delayed hypersensitivity (hasil Tuberkulin tes menjadi positif)
Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap hidup dalam lesi tersebut
(dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali.
Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi sebelum
penyembuhan lesi
BAB I
PENDAHULUAN
3
c. Sakit TB
Faktor risiko Konsentrasi / jumlah kuman yang terhirup
untuk menjadi Lamanya waktu sejak terinfeksi
sakit TB adalah Usia seseorang yang terinfeksi
tergantung dari : Tingkat daya tahan tubuh seseorang. Seseorang dengan daya
tahan tubuh yang rendah diantaranya infeksi HIV/AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk) akan memudahkan berkembangnya TB
aktif (sakit TB). Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka
jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan
TB di masyarakat akan meningkat pula.
Catatan: Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Namun bila
seorang dengan HIV positif akan meningkatkan kejadian TB melalui proses reaktifasi. TB
umumnya terjadi pada paru (TB Paru). Namun, penyebaran melalui aliran darah atau
getah bening dapat menyebabkan terjadinya TB diluar organ paru (TB Ekstra Paru).
Apabila penyebaran secara masif melalui aliran darah dapat menyebabkan semua organ
tubuh terkena (TB milier).
d. Meninggal dunia
Faktor risiko Akibat dari keterlambatan diagnosis
kematian karena Pengobatan tidak adekuat
TB: Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau penyakit
penyerta
Catatan: Pasien TB tanpa pengobatan, 50% akan meninggal dan risiko ini meningkat
pada pasien dengan HIV positif.
C. Upaya Pengendalian TB
Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD
mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly
Observed Treatment Short-course). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu:
1) Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan.
2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3) Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien.
4) Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif.
5) Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada
pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai penularan TB dan dengan
demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien
merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.
BAB I
4 PENDAHULUAN
Dengan semakin berkembangnya tantangan yang dihadapi program dibanyak negara. Pada
tahun 2005 strategi DOTS di atas oleh Global stop TB partnership strategi DOTS tersebut
diperluas menjadi “Strategi Stop TB”, yaitu:
1. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS
2. Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya
3. Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan
4. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
5. Memberdayakan pasien dan masyarakat
6. Melaksanakan dan mengembangkan penelitian
Pada tahun 2013 muncul usulan dari beberapa negara anggota WHO yang mengusulkan
adanya strategi baru untuk mengendalikan TB yang mampu menahan laju infeksi baru,
mencegah kematian akibat TB, mengurangi dampak ekonomi akibat TB dan mampu
meletakkan landasan ke arah eliminasi TB.
Eliminasi TB akan tercapai bila angka insidensi TB berhasil diturunkan mencapai 1 kasus
TB per 1 juta penduduk, sedangkan kondisi yang memungkinkan pencapaian eliminasi TB
(pra eliminasi) adalah bila angka insidensi mampu dikurangi menjadi 10 per 100.000
penduduk. Dengan angka insidensi global tahun 2012 mencapai 122 per 100.000 penduduk
dan penurunan angka insidensi sebesar 1-2% setahun maka TB akan memasuki kondisi pra
eliminasi pada tahun 2160. Untuk itu perlu ditetapkan strategi baru yang lebih komprehensif
bagi pengendalian TB secara global.
Pada sidang WHA ke 67 tahun 2014 ditetapkan resolusi mengenai strategi pengendalian TB
global pasca 2015 yang bertujuan untuk menghentikan epidemi global TB pada tahun 2035
yang ditandai dengan:
1. Penurunan angka kematian akibat TB sebesar 95% dari angka tahun 2015.
2. Penurunan angka insidensi TB sebesar 90% (menjadi 10/100.000 penduduk)
Strategi tersebut dituangkan dalam 3 pilar strategi utama dan komponen-komponenya yaitu:
1. Integrasi layanan TB berpusat pada pasien dan upaya pencegahan TB
a. Diagnosis TB sedini mungkin, termasuk uji kepekaan OAT bagi semua dan penapisan TB
secara sistematis bagi kontak dan kelompok populasi beresiko tinggi.
b. Pengobatan untuk semua pasien TB, termasuk untuk penderita resistan obat dengan
disertai dukungan yang berpusat pada kebutuhan pasien (patient-centred support)
c. Kegiatan kolaborasi TB/HIV dan tata laksana komorbid TB yang lain.
d. Upaya pemberian pengobatan pencegahan pada kelompok rentan dan beresiko tinggi
serta pemberian vaksinasi untuk mencegah TB.
2. Kebijakan dan sistem pendukung yang berani dan jelas.
a. Komitmen politis yang diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan layanan dan pencegahan
TB.
b. Keterlibatan aktif masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan dan pemberi layanan
kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
c. Penerapan layanan kesehatan semesta (universal health coverage) dan kerangka
kebijakan lain yang mendukung pengendalian TB seperti wajib lapor, registrasi vital, tata
kelola dan penggunaan obat rasional serta pengendalian infeksi.
d. Jaminan sosial, pengentasan kemiskinan dan kegiatan lain untuk mengurangi dampak
determinan sosial terhadap TB.
3. Intensifikasi riset dan inovasi
a. Penemuan, pengembangan dan penerapan secara cepat alat, metode intervensi dan
strategi baru pengendalian TB.
b. Pengembangan riset untuk optimalisasi pelaksanaan kegiatan dan merangsang inovasi-
inovasi baru untuk mempercepat pengembangan program pengendalian TB.
BAB I
PENDAHULUAN
5
sistem informasi TB elektronik, AKMS (Advokasi, Komnikasi dan Mobilisasi Sosial),
manajemen logistik.
3. OAT
Pemenuhan kebutuhan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) merupakan tanggung jawab
pemerintah pusat. Kendala yang masih harus dihadapi adalah masih belum optimalnya
sistem manajemen mulai dari perencanaan, pengadaan, distribusi sampai kepada
dispensing obat kepada pasien dan pencatatan pelaporan. Kemampuan SDM dan sistem
manajemen OAT ditingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota harus ditingkatkan secara
terus menerus agar tidak terjadi kekurangan cadangan obat.
4. Pembiayaan
Dalam era desentralisasi, pembiayaan program kesehatan termasuk pengendalian TB
sangat bergantung pada alokasi dari pemerintah pusat dan daerah. Alokasi APBD untuk
pengendalian TB secara umum rendah dikarenakan masih tingginya ketergantungan
terhadap pendanaan dari donor internasional dan banyaknya masalah kesehatan
masyarakat lainnya yang juga perlu didanai. Rendahnya komitmen politis untuk
pengendalian TB merupakan ancaman bagi kesinambungan program pengendalian TB.
Program pengendalian TB nasional semakin perlu penguatan kapasitas untuk melakukan
advokasi dalam meningkatkan pembiayaan dari pusat maupun daerah baik untuk
pembiayaan program maupun biaya operasional lainnya sesuai kebutuhan daerah. Saat
ini struktur pembiayaan yang tersedia lebih banyak terpusat kepada aspek kuratif
sedangkan pembiayaan untuk aspek promotif, preventif dan rehabilitatif masih sangat
kecil. Tantangan baru seberti TB resisten obat, epidemi ganda TB-HIV dan TB-DM juga
memerlukan dukungan pendanaan yang lebih besar.
Selain tantangan yang bersifat internal maka program pengendalian TB juga menghadapi
kendala di luar program yang apabila tidak ditanggulangi secara bersamaan akan
mengakibatkan pencapaian program akan terhambat. Tantangan tersebut antara lain:
BAB II
8 PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA
1. Sistem Jaminan Kesehatan
Belum meratanya akses terhadap layanan yang bermutu karena kendala finansial.
Sehingga tanpa tersedianya suatu jaminan kesehatan yang bisa mencakup seluruh
warga negara akan mengakibatkan capaian semua program kesehatan termasuk TB
menjadi tidak optimal.
BAB II
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA
9
10. Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan
dan mempertahankan kinerja program.
11. Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok rentan
lainnya terhadap TB.
12. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya.
13. Memperhatikan komitmen terhadap pencapaian target strategi global pengendalian TB.
Misi
1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani
dalam pengendalian TB.
2. Menjamin ketersediaan pelayanan TB yang paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan.
3. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya pengendalian TB.
4. Menciptakan tata kelola program TB yang baik.
Target
Merujuk pada target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang
ditetapkan pemerintah setiap 5 tahun.
Pada RPJMN 2010-2014 maka diharapkan penurunan jumlah kasus TB per 100,000
penduduk dari 235 menjadi 224, Persentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang
ditemukan dari 73% menjadi 90% dan Persentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang
disembuhkan dari 85% menjadi 88%..Keberhasilan yang dicapai pada RPJMN 2010-2014
akan menjadi landasan bagi RPJMN berikutnya.
Pada tahun 2015-2019 target program pengendalian TB akan disesuaikan dengan target
pada RPJMN II dan harus disinkronkan pula dengan target Global TB Strategy pasca 2015
dan target SDGs (Sustainable Development Goals). Target utama pengendalian TB pada
tahun 2015-2019 adalah penurunan insidensi TB yang lebih cepat dari hanya sekitar 1-2%
per tahun menjadi 3-4% per tahun dan penurunan angka mortalitas > dari 4-5% pertahun.
Diharapkan pada tahun 2020 Indonesia bisa mencapai target penurunan insidensi sebesar
20% dan angka mortalitas sebesar 25% dari angka insidensi tahun 2015.
BAB II
10 PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA
Private Mix) dan menjamin kepatuhan terhadap Standar Internasional Penatalaksanaan
TB (International Standards for TB Care).
4. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB.
5. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan manajemen program
pengendalian TB.
6. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB
7. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi strategis.
G. Kegiatan
1. Tatalaksana TB Paripurna
a. Promosi Tuberkulosis
b. Pencegahan Tuberkulosis
c. Penemuan pasien Tuberkulosis
d. Pengobatan pasien Tuberkulosis
e. Rehabilitasi pasien Tuberkulosis
2. Manajemen Program TB
a. Perencanaan program pengendalian Tuberkulosis
b. Monitoring dan evaluasi program pengendalian Tuberkulosis
c. Pengelolaan logistik program pengendalian Tuberkulosis
d. Pengembangan ketenagaan program pengendalian Tuberkulosis
e. Promosi program pengendalian Tuberkulosis.
3. Pengendalian TB Komprehensif
a. Penguatan layanan Laboratorium Tuberkulosis;
b. Public-Private Mix Tuberkulosis;
c. Kelompok rentan: pasien Diabetes Melitus (DM), ibu hamil, gizi buruk;
d. Kolaborasi TB-HIV;
e. TB Anak;
f. Pemberdayaan Masyarakat dan Pasien TB;
g. Pendekatan praktis kesehatan paru (Practicle Aproach to Lung Health = PAL);
h. Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat (MTPTRO)
i. Penelitian tuberkulosis.
H. Organisasi Pelaksana
1. Aspek Manajemen Program TB
a. Tingkat Pusat
Upaya pengendalian TB dilakukan melalui Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian
Tuberkulosis (Gerdunas-TB) yang merupakan forum kemitraan lintas sektor dibawah
koordinasi Menko Kesra. Menteri Kesehatan R.I. sebagai penanggung jawab teknis
upaya pengendalian TB.
BAB II
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA
11
Dalam pelaksanaannya program TB secara Nasional dilaksanakan oleh Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, cq. Sub Direktorat
Tuberkulosis.
b. Tingkat Propinsi
Di tingkat propinsi dibentuk Gerdunas-TB Propinsi yang terdiri dari Tim Pengarah dan
Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan daerah.
Dalam pelaksanaan program TB di tingkat propinsi dilaksanakan Dinas Kesehatan
Propinsi.
c. Tingkat Kabupaten/Kota
Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Gerdunas-TB kabupaten / kota yang terdiri dari
Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan
kebutuhan kabupaten / kota.
BAB II
12 PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari
satu bulan.
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB,
seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat
prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke
fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang terduga
pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
2. Pemeriksaan dahak
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3
contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa
dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung
pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien membawa sebuah
pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.
P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.
S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi.
b. Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.tb)
dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, misal:
Pasien TB ekstra paru.
Pasien TB anak.
Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif.
Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau mutunya.
Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat yang
direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan untuk
memanfaatkan tes cepat tersebut.
BAB III
14 TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
1. Definisi Pasien TB:
Pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan Bakteriologis:
Adalah seorang pasien TB yang dikelompokkan berdasar hasil pemeriksaan contoh uji
biologinya dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan atau tes diagnostik cepat
yang direkomendasi oleh Kemenkes RI (misalnya: GeneXpert).
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
a. Pasien TB paru BTA positif
b. Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif
c. Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif
d. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA, biakan
maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.
e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.
Catatan: Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut diatas harus dicatat tanpa
memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai ataukah belum.
BAB III
18 TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
Tuberkulosis ekstra paru:
Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe,
abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang.
Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan berdasarkan
penemuan Mycobacterium tuberculosis.
Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada beberapa organ, diklasifikasikan
sebagai pasien TB ekstra paru pada organ menunjukkan gambaran TB yang terberat.
2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan
OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis).
Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir,
yaitu:
Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karena
reinfeksi).
Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah
diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up):
adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini
sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat /default).
Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan
sebelumnya tidak diketahui.
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
19
Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi
dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat
dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas
dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping pada
pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya.
Paduan OAT Kategori Anak disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap
(OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat dalam satu tablet.
Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket
untuk satu pasien.
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan
untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa
pengobatan.
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket KDT mempunyai beberapa
keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:
a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat
dan mengurangi efek samping.
b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi
obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
c. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
BAB III
24 TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
Tabel 6. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2HRZE/4H3R3
Etambutol Jumlah
Tablet Kaplet Tablet
Tahap Lama Streptomi hari/kali
Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Tablet @ Tablet @
Pengobatan Pengobatan sin injeksi menelan
@ 300 mgr @ 450 mgr @ 500 mgr 250 mgr 400 mgr
obat
Tahap
Awal 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56
(dosis 1 bulan 1 1 3 3 - - 28
harian)
Tahap
Lanjutan
5 bulan 2 1 - 1 2 - 60
(dosis 3x
semggu)
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
25
Catatan:
Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB pada keadaan khusus.
Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
Berat badan pasien ditimbang setiap bulan dan dosis pengobatan harus disesuaikan
apabila terjadi perubahan berat badan. ( ² )
Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan
golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang
jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama.
Disamping itu dapat juga meningkatkan risiko terjadinya resistensi pada OAT lini kedua.
OAT lini kedua disediakan di Fasyankes yang telah ditunjuk guna memberikan pelayanan
pengobatan bagi pasien TB yang resistan obat.
BAB III
26 TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
Segera diberikan dosis tahap lanjutan (tanpa memberikan OAT sisipan).
Lakukan pemeriksaan ulang dahak kembali setelah pemberian OAT tahap
lanjutan satu bulan. Apabila hasil pemeriksaan dahak ulang tetap positif, lakukan
pemeriksaan uji kepekaan obat.
Apabila tidak memungkinkan pemeriksaan uji kepekaan obat, lanjutkan
pengobatan dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke 5
(menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5 ).
Tindak lanjut atas dasar hasil pemeriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat
pada tabel di bawah ini. ( ⁹ )
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
27
BAB III
28 TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
29
c. Hasil Pengobatan Pasien TB ( ¹ )
Hasil Definisi
pengobatan
Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis positif pada
Sembuh awal pengobatan yang hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir
pengobatan menjadi negatif dan pada salah satu pemeriksaan
sebelumnya.
Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap
Pengobatan dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum akhir pengobatan
lengkap hasilnya negatif namun tanpa ada bukti hasil pemeriksaan
bakteriologis pada akhir pengobatan.
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan
atau kapan saja apabila selama dalam pengobatan diperoleh hasil
Gagal laboratorium yang menunjukkan adanya resistensi OAT
Meninggal Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum memulai
atau sedang dalam pengobatan.
Putus Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang
berobat pengobatannya terputus selama 2 bulan terus menerus atau lebih.
(loss to
follow-up)
BAB III
30 TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
1) Persyaratan PMO
a) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan
maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
b) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
c) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
31
sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang
akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. Pemberian Piridoksin 50
mg/hari dianjurkan pada ibu hamil yang mendapatkan pengobatan TB, sedangkan
pemberian vitamin K 10mg/hari juga dianjurkan apabila Rifampisin digunakan pada
trimester 3 kehamilan menjelang partus. ( ¹² )
b) Pasien dengan kondisi berikut dapat diberikan paduan pengobatan OAT yang
biasa digunakan apabila tidak ada kondisi kronis :
Pembawa virus hepatitis
Riwayat penyakit hepatitis akut
Saat ini masih sebagai pecandu alkohol
Reaksi hepatotoksis terhadap OAT umumnya terjadi pada pasien dengan
kondisi tersebut diatas sehingga harus diwaspadai.
c) Hepatitis Kronis
Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati kronis, pemeriksaan
fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan. Apabila hasil
pemeriksaan fungsi hati >3 x normal sebelum memulai pengobatan, paduan
OAT berikut ini dapat dipertimbangkan:
2 obat yang hepatotoksik
2 HRSE / 6 HR
9 HRE
1 obat yang hepatotoksik
2 HES / 10 HE
Tanpa obat yang hepatotoksik
18-24 SE ditambah salah satu golongan fluorokuinolon (ciprofloxasin tidak
direkomendasikan karena potensimya sangat lemah).
BAB III
32 TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
Semakin berat atau tidak stabil penyakit hati yang diderita pasien TB,
harus menggunakan semakin sedikit OAT yang hepatotoksik.
Konsultasi dengan seorang dokter spesialis sangat dianjurkan,
Pemantauan klinis dan LFT harus selalu dilakukan dengan seksama,
Pada panduan OAT dengan penggunaan etambutol lebih dari 2 bulan
diperlukan evaluasi gangguan penglihatan.
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
33
6) Pasien TB dengan Diabetes Melitus (DM) ( ¹² )
TB merupakan salah satu faktor risiko tersering pada seseorang dengan Diabetes
mellitus.
Anjuran pengobatan TB pada pasien dengan Diabetes melitus:
a) Paduan OAT yang diberikan pada prinsipnya sama dengan paduan OAT bagi
pasien TB tanpa DM dengan syarat kadar gula darah terkontrol
b) Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat
dilanjutkan sampai 9 bulan
c) Hati hati efek samping dengan penggunaan Etambutol karena pasien DM sering
mengalami komplikasi kelainan pada mata
d) Perlu diperhatikan penggunaan Rifampisin karena akan mengurangi efektifitas
obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosisnya perlu ditingkatkan
e) Perlu pengawasan sesudah pengobatan selesai untuk mendeteksi dini bila
terjadi kekambuhan
Dosis dan lamanya pemberian kortikosteroid tergantung dari berat dan ringannya
keluhan serta respon klinis.
Predinisolon (per oral):
Anak: 2 mg / kg BB, sekali sehari pada pagi hari
Dewasa: 30 – 60 mg, sekali sehari pada pagi hari
Apabila pengobatan diberikan sampai atau lebih dari 4 minggu, dosis harus
diturunkan secara bertahap (tappering off).
8) Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (misalnya reseksi paru),
adalah:
a) Untuk TB paru:
Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.
Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi
secara konservatif.
Pasien TB MDR dengan kelainan paru yang terlokalisir.
b) Untuk TB ekstra paru:
Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien
TB tulang yang disertai kelainan neurologik.
BAB III
34 TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
8. Efek samping OAT dan penatalaksanaannya ( ²⁶ )
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa mengalami efek
samping OAT yang berarti. Namun, beberapa pasien dapat saja mengalami efek
samping yang merugikan atau berat.
Guna mengetahui terjadinya efek samping OAT, sangat penting untuk memantau kondisi
klinis pasien selama masa pengobatan sehingga efek samping berat dapat segera
diketahui dan ditatalaksana secara tepat. Pemeriksaan laboratorium secara rutin tidak
diperlukan.
Petugas kesehatan dapat memantau terjadinya efek samping dengan cara mengajarkan
kepada pasien unuk mengenal keluhan dan gejala umum efek samping serta
menganjurkan mereka segera melaporkan kondisinya kepada petugas kesehatan. Selain
daripada hal tersebut, petugas kesehatan harus selalu melakukan pemeriksaan dan aktif
menanyakan keluhan pasien pada saat mereka datang ke fasyankes untuk mengambil
obat.
Efek samping yang terjadi pada pasien dan tindak lanjut yang diberikan harus dicatat
pada kartu pengobatannya.
Secara umum, seorang pasien yang mengalami efek samping ringan sebaiknya tetap
melanjutkan pengobatannya dan diberikan petunjuk cara mengatasinya atau pengobatan
tambahan untuk menghilangkan keluhannya.
Apabia pasien mengalami efek samping berat, pengobatan harus dihentikan sementara
dan pasien dirujuk kepada dokter atau fasyankes rujukan guna penatalaksanaan lebih
lanjut. Pasien yang mengalami efek samping berat sebaiknya dirawat di rumah sakit.
Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan
pendekatan keluhan dan gejala.
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
35
Tabel 14. Efek samping berat OAT
OAT lini pertama yang dapat memberikan gangguan fungsi hati adalah : H, R dan Z.
Sebagai tambahan, Rifampisin dapat menimbulkan ikterus tanpa ada bukti gangguan
fungsi hati. Penting untuk memastikan kemungkinan adanya faktor penyebab lain
sebelum menyatakan gangguan fungsi hati yang terjadi disebabkan oleh karena paduan
OAT.
BAB III
36 TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
Penatalaksanaan gangguan fungsi hati yang terjadi oleh karena pengobatan TB
tergantung dari:
Apakah pasien sedang dalam pengobatan tahap awal atau tahap lanjutan
Berat ringannya gangguan fungsi hati
Berat ringannya TB
Kemampuan fasyankes untuk menatalaksana efek samping obat
BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
37
sesuai organ terkait. Perlu ditekankan bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas,
karena gejala serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.
BAB IV
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
39
C. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian yang
cukup tinggi di Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit menular yang lain
adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium tuberculosis
pada pemeriksaan dahak, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi
jaringan.
Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi yang terdiri dari
beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung atau biopsi jaringan untuk
menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman TB. Pada anak dengan gejala TB,
dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan serologi tidak
direkomendasikan untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB dan Direktur Jenderal
BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada bulan Februari 2013 tentang larangan
penggunaan metode serologi untuk penegakan diagnosis TB. Pemeriksaan mikrobiologik
sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan contoh uji. Contoh uji dapat diambil
berupa dahak, induksi dahak atau pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut,
apabila fasilitas tersedia. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang dapat memberikan gambaran yang
khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan
di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB.
BAB IV
40 TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
dapat menyerupai gejala akibat penyakit lain. Oleh karena itulah diperlukan ketelitian
dalam menilai gejala klinis pada pasien maupun hasil foto toraks.
BAB IV
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
41
Gambar 2: Algoritma Tatalaksana TB Anak
Anak 0 – 14 th
Suspek TB Anak
Sistem Skoring
Skor = 6 Skor< 6
Skor> 6
Infeksi laten TB
Didapat dari
parameter uji Didapat dari
tuberkulin (+) parameter uji
atau kontak tuberkulin (+)
dengan gejala dan kontak; Pertimbangan Bukan
klinis lain tanpa gejala dokter (**) TB
klinis lain
TB ANAK
Keterangan :
(*) Gejala TB anak sesuai dengan parameter sistem skoring
(**) Pertimbangan dokter untuk mendapatkan terapi TB anak pada skor < 6 bila
ditemukan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif disertai dengan 2 gejala klinis
lainnya pada fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin
BAB IV
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
43
Tabel 16: OAT Anak yang biasa dipakai dan dosisnya
Dosis harian Dosis
Nama Obat (mg/kgBB/hari) maksimal Efek samping
(mg /hari)
Isoniazid (H) 10 (7-15) 300 Hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitis
Rifampisin (R) 15 (10-20) 600 Gastrointestinal, reaksi kulit,
hepatitis, trombositopenia,
peningkatan enzim hati, cairan
tubuh berwarna oranye kemerahan
Pirazinamid (Z) 35 (30-40) - Toksisitas hepar, artralgia,
gastrointestinal
Etambutol (E) 20 (15–25) - Neuritis optik, ketajaman mata
berkurang, buta warna merah
hijau, hipersensitivitas,
gastrointestinal
Streptomisin (S) 15 – 40 1000 Ototoksik, nefrotoksik
j. Paduan OAT Kategori Anak dan peruntukannya secara lebih lengkap sesuai dengan
tabel berikut ini:
BAB IV
46 TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
2. OAT Kategori Anak kemasan Kombinasi dosis tetap (KDT) OAT (FDC=Fixed Dose
Combination)
Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat,
paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu
pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif,
yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase
lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat
dilihat pada tabel berikut.
BAB IV
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
47
Tabel 19: Cara Pemberian Isoniazid untuk Pencegahan TB pada Anak
Keterangan
Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg)
setiap hari selama 6 bulan.
Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap adanya
gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka
harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB, pengobatan harus
segera ditukar ke regimen terapi TB anak dimulai dari awal
Jika PP-INH selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan pemberian), maka
pemberian INH dapat dihentikan.
Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah
PP- INH selesai diberikan.
BAB IV
50 TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
BAB V
MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)
53
D. Diagnosis TB Resistan Obat
a.
Catatan:
Untuk pasien yang mempunyai risiko TB MDR rendah (diluar 9 kriteria terduga TB
Resistanobat), jika pemeriksaan GeneXpert memberikan hasil Rifampisin Resistan, ulangi
pemeriksaan GeneXpert 1 (satu) kali lagi dengan spesi mendahak yang baru. Jika terdapat
perbedaan hasil pemeriksaan, maka hasil pemeriksaan yang terakhir yang dijadikan acuan
untuk tindak lanjut berikutnya.
BAB V
56 MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)
f. Tes pendengaran (pemeriksanaan audiometri)
g. Pemeriksaan EKG
h. Tes HIV (bila status HIV belum diketahui)
2) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap fluorokuinolon maka paduan standar
adalah sebagai berikut:
Km-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)
3) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin dan fluorokuinolon (TB XDR)
maka paduan standar adalah sebagai berikut:
Cm-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)
b. Paduan standar ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB RR/MDR
secara laboratoris.
c. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap
lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian obat oral dan suntikan dengan lama
paling sedikit 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Tahap lanjutan
adalah pemberian paduan OAT oral tanpa suntikan.
d. Lama pengobatan seluruhnya paling sedikit 18 bulan setelah terjadi konversi biakan.
Lama pengobatan berkisar 19-24 bulan.
BAB V
58 MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)
B. Menurunkan beban TB pada ODHA dan inisiasi ART secara dini
B.1. Intensifikasi penemuan kasus TB pada ODHA termasuk pada populasi
kunci HIV dan memastikan pengobatan TB yang berkualitas
B.2. Inisiasi Pengobatan Pencegahan dengan INH dan inisiasi dini ART
B.3. Penguatan PPI TB di faskes yang memberikan layanan HIV, termasuk
Tempat Orang Berkumpul (Lapas/Rutan, Panti Rehabilitasi untuk
Pengguna NAPZA)
C. Menurunkan beban HIV pada pasien TB
C.1 Menyediakan tes dan konseling HIV pada pasien TB
C.2 Meningkatkan Pencegahan HIV untuk pasien TB
C.3 Menyediakan Pemberian PPK pada Pasien TB-HIV
C.4 Memastikan perawatan, dukungan dan pengobatan serta pencegahan
HIV pada pasien ko-infeksi TB-HIV
C.5 Menyediakan ART bagi pasien ko-infeksi TB-HIV
Kebijakan:
1. Kegiatan kolaborasi TB-HIV di Indonesia dilaksanakan sesuai tatalaksana pengendalian
TB dan HIV yang berlaku saat ini dengan mengutamakan berfungsinya jejaring diantara
fasilitas pelayanan kesehatan.
2. Kelompok kerja atau forum komunikasi dibentuk pada tingkat Nasional, Provinsi dan
Kabupaten/Kota untuk mengkoordinasikan kegiatan kolaborasi TB-HIV dengan
melibatkan lintas sektoral.
3. Diperlukan keterlibatan lebih banyak komunitas dan LSM dalam program TB dan
HIV/AIDS guna meningkatkan jangkauan dan cakupan penemuan kasus TB-HIV secara
signifikan.
7. Semua pasien koinfeksi TB-HIV sesegera mungkin dilakukan inisiasi ART tanpa menilai
jumlah CD4, setelah pengobatan TB dapat ditoleransi.
BAB VI
KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)
63
ekstraparu sesuai dengan organ yang terkena misalnya TB pleura, TB perikard, TB milier,
TB susunan saraf pusat dan TB abdomen.
BAB VI
KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)
65
E.
F.
G.
H.
I.
BAB VII
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS
Infeksi terjadi apabila seseorang yang rentan menghirup percik renik yang mengandung kuman
TB melalui mulut atau hidung, saluran pernafasan atas, bronchus hingga mencapai alveoli.
Mencegah penularan tuberkulosis pada semua orang yang terlibat dalam pemberian pelayanan
pada pasien TB harus menjadi perhatian utama. Penatalaksanaan Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi (PPI) TB bagi petugas kesehatan sangatlah penting peranannya untuk
mencegah tersebarnya kuman TB ini.
Semua tempat pelayanan kesehatan perlu menerapkan upaya PPI TB untuk memastikan
berlangsungnya deteksi segera, tindakan pencegahan dan pengobatan seseorang yang
dicurigai atau dipastikan menderita TB. Upaya tersebut berupa pengendalian infeksi
dengan 4 pilar yaitu :
1. Pengendalian Manajerial
2. Pengendalian administratif
3. Pengendalian lingkungan
4. Pengendalian dengan Alat Pelindung Diri
1. Pengendalian Manajerial.
Pihak manajerial adalah pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Kepala Dinas
Kesehatan Propinsi dan Kabupaten /Kota dan/atau atasan dari institusi terkait.
Komitmen, kepemimipinan dan dukungan manajemen yang efektif berupa penguatan dari
upaya manajerial bagi program PPI TB yang meliputi:
a. Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB
b. Membuat SPO mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk, alur pelaporan dan
surveilans
c. Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensif
BAB VII
72 PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS
Langkah- Langkah Strategi TEMPO sebagai berikut:
a. Temukan pasien secepatnya.
Strategi TEMPO secara khusus memanfaatkan petugas surveilans batuk untuk
mengidentifikasi terduga TB segera mencatat di TB 06 dan mengisi TB 05 dan dirujuk
ke laboratorium.
3. Pengendalian Lingkungan.
Adalah upaya peningkatan dan pengaturan aliran udara/ventilasi dengan menggunakan
teknologi untuk mencegah penyebaran dan mengurangi/ menurunkan kadar percik renik
di udara. Upaya pengendalian dilakukan dengan menyalurkan percik renik kearah
tertentu (directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi ultraviolet sebagai
germisida.
Pemilihan jenis sistem ventilasi tergantung pada jenis fasilitas dan keadaan setempat.
Pertimbangan pemilihan sistem ventilasi suatu fasyankes berdasarkan kondisi lokal yaitu
struktur bangunan, iklim-cuaca, peraturan bangunan, budaya, dana dan kualitas udara
luar ruangan serta perlu dilakukan monitoring dan pemeliharaan secara periodik.
BAB VII
74 PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS
Petugas kesehatan dan pengunjung perlu mengenakan respirator jika berada bersama
pasien TB di ruangan tertutup. Pasien atau tersangka TB tidak perlu menggunakan
respirator tetapi cukup menggunakan masker bedah untuk melindungi lingkungan
sekitarnya dari droplet.
Respirator partikulat untuk pelayanan kesehatan N95 atau FFP2 (health care particular
respirator), merupakan masker khusus dengan efisiensi tinggi untuk melindungi
seseorang dari partikel berukuran < 5 mikron yang dibawa melalui udara. Pelindung ini
terdiri dari beberapa lapisan penyaring dan harus dipakai menempel erat pada wajah
tanpa ada kebocoran. Masker ini membuat pernapasan pemakai menjadi lebih berat.
Harganya lebih mahal daripada masker bedah. Bila cara pemeliharaan dan penyimpanan
dilakukan dengan baik, maka respirator ini dapat digunakan kembali (maksimal 3 hari).
Sebelum memakai masker ini, petugas kesehatan perlu melakukan fit test.
BAB VII
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS
75
BAB VIII
PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Program Pengendalian TB dalam strategi nasional diarahkan menuju akses universal terhadap
layanan TB yang berkualitas, dapat dicapai dengan upaya yang sistematis melibatkan secara
aktif seluruh penyedia layanan kesehatan oleh karena itu perlu pelibatan semua fasilitas
layanan kesehatan.
Public Private Mix (bauran layanan pemerintah-swasta), adalah pelibatan semua fasilitas
layanan kesehatan dalam upaya ekspansi layanan pasien TB dan kesinambungan program
pengendalian TB dengan pendekatan secara komperhensif.
Sehubungan dengan berlakunya Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN) yang dimulai
Januari tahun 2014, maka pemberian layanan TB tanpa penyulit dilakukan di FKTP,
sedangkan untuk TB dengan penyulit atau yang memerlukan pemeriksaan diagnosis lanjutan
dilakukan di FKRTL.
A. Tujuan
Tujuan PPM adalah menjamin ketersediaan akses layanan TB yang merata, bermutu dan
berkesinambungan bagi masyarakat terdampak TB untuk menjamin kesembuhan.
BAB VIII
76 PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
2. Strategi PPM
Program Pengendalian TB dalam strategi nasional diarahkan menuju akses universal
terhadap layanan TB yang berkualitas, dapat dicapai dengan upaya yang sistematis
melibatkan secara aktif seluruh penyedia layanan kesehatan, sehingga diharapkan
peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan DOTS yang lebih luas dengan penekanan
pada pendekatan penguatan sistem yang dicerminkan dalam 6 pilar Public Private Mix
(PPM), yaitu :
a. Pilar 1 : Pelayanan DOTS Dasar di Puskesmas,
b. Pilar 2 : Pelayanan DOTS di RS publik/swasta,
c. Pilar 3 : Pelayanan DOTS oleh DP mandiri dan spesialis,
d. Pilar 4 : Diagnosis TB yang berkualitas,
e. Pilar 5 : OAT dan penggunaan secara rasional,
f. Pilar 6 : Penguatan sistim komunitas.
C. Penerapan PPM
Penerapan PPM dilaksanakan di setiap tingkat, yaitu:
1. Tingkat Nasional
2. Tingkat Provinsi
3. Tingkat Kabupaten/Kota
1. Tingkat Nasional
Di tingkat nasional, strategi PPM diarahkan untuk mengembangkan kebijakan, peraturan,
pedoman, standar, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang menjadi pegangan
bagi penerapan PPM di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pelaksana PPM di tingkat
nasional terdiri dari jajaran Kementerian Kesehatan RI dan kementerian terkait lainnya,
pemangku kepentingan di tingkat nasional: forum stop TB partnership Indonesia (FSTPI),
organisasi profesi, asosiasi penyelenggara kesehatan, LSM serta mitra internasional.
2. Tingkat Provinsi
Di tingkat provinsi dibentuk tim PPM yang terdiri dari dinas kesehatan, perhimpunan
profesi, serta pemangku kepentingan lain, yaitu: LSM, organisasi keagamaan, tempat
kerja, lapas/rutan. Pembentukan Tim PPM tingkat provinsi dimaksudkan agar dapat
melakukan pembinaan aspek program/kesehatan masyarakat maupun aspek profesi di
tingkat kabupaten/kota.
3. Tingkat kabupaten/kota
Penerapan strategi PPM kabupaten/kota melalui peningkatan jejaring kemitraan antar
pemangku kepantingan dan jejaring rujukan antar fasyankes.Tahapan pelaksanaan
dimulai dengan pembentukan tim, menyusun rencana kerja berdasarkan hasil pemetaan
dan evaluasi kebutuhan. Tim PPM Kab/kota mendukung dinas kesehatan kabupaten/kota
untuk berfungsinya jejaring kemitraan dan jejaring rujukan.
Uraian berikut menjelaskan rincian dari strategi PPM.
BAB VIII
PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
77
1) Penguatan sistem surveilans dan Management Information for Action (MIFA),
misalnya Pengembangan Sistim Informasi TB Terpadu (SITT) berbasis web yang
bekerjasama dengan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin).
2) Peningkatan Kualitas layanan DOTS paripurna.
3) Pendekatan praktis kesehatan paru (Practical Approach to Lung Health/PAL) yaitu
pendekatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer terhadap pasien yang
mengalami gangguan saluran pernafasan dengan keluhan utama batuk kronis dan
sesak.
4) Meningkatkan cakupan TBHIV yaitu melalui:
Pelaksanaan Kegiatan kolaborasi TB-HIV
Pencatatan & Pelaporan Kegiatan kolaborasi TB-HIV
5) Penyusunan Regulasi dari Kementerian Pertahanan dalam upaya pengendalian TB
di wilayah Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) melalui faskes
TNI dan pengembangan jejaring melalui Mobilisasi Sosial TNI.
6) Membentuk jejaring antara Pilar pelayanan DOTS dasar dengan pilar-pilar yang
lain, contohnya:
Memperluas Pelayanan untuk pasien TB Resistan Obat.
Pelibatan Rutan/Lapas dalam pelayanan untuk warga binaan pemasyarakatan
(WBP) yang terdampak dan rentan terhadap TB.
Pelibatan tempat kerja, swasta dan dunia usaha untuk membangun kepedulian
perusahan terhadap pengendalian TB melalui CSR (Corporate Social
Responsibility).
Integrasi layanan TB di FKTP kedalam skema JKN yang dikelola oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Bekerjasama dengan organisasi profesi dalam hal peningkatan rujukan kasus
TB ke faskes DOTS dasar.
7) Peningkatan pelacakan kasus dan upaya promotif preventif.
BAB VIII
78 PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
1) Penerapan International Standards for TB Care (ISTC) yang telah diwujudkan
dalam bentuk PNPK yang merupakan standar pelayanan TB bagi dokter di seluruh
Indonesia.
2) Sertifikasi DPM untuk mengobati pasien TB melalui terbitnya Surat Keputusan PB
IDI No.680.1/PB/A/09/2013 tentang penatalaksanaan pasien tuberkulosis. Dokter
yang tersertifikasi TB memiliki kewenangan mengobati pasien TB, sedangkan
dokter yang belum tersertifikasi hanya diperkenankan menjaring terduga TB dan
merujuk kepada fasilitas layanan TB dengan strategi DOTS. Dokter yang
mengobati pasien TB akan mendapatkan penghargaan dalam bentuk SKP dari PB
IDI.
3) Penetapan Panduan Praktik Klinis Dokter di Layanan Primer melalui Surat
Keputusan PB IDI no.561/PB/A.4/08/2013 dan diperkuat dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia no.5 tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis
bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.
Selain IDI, pilar 3 ini juga meliputi pendekatan lain yang dikoordinir oleh Kemenkes
berupa kerjasama dengan Kementerian Pendidikan Nasional menerbitkan Pedoman
Nasional Penyusunan Modul TB di Kurikulum Fakultas Kedokteran dan telah
disosialisasikan kepada 70 Fakultas Kedokteran di Indonesia.
BAB VIII
PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
79
BAB IX
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS
Diagnosis TB melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak merupakan metode baku emas
(gold standard). Namun, pemeriksaan kultur memerlukan waktu lebih lama (paling cepat sekitar
6 minggu) dan memerlukan fasilitas sumber daya laboratorium yang memenuhi standar .
Pemeriksaan 3 contoh uji (SPS) dahak secara mikroskopis nilainya identik dengan
pemeriksaan dahak secara kultur atau biakan. Pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan
pemeriksaan yang paling efisien, mudah, murah, bersifat spesifik, sensitif dan hanya dapat
dilaksanakan di semua unit laboratorium. Untuk mendukung kinerja penanggulangan TB,
diperlukan manajemen yang baik agar terjamin mutu laboratorium tersebut.
BAB IX
82 MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS
b. Laboratorium Rujukan Uji Silang Pertama /Lab Intermediate/ RUS 1
Laboratorium RUS 1 ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
setelah memenuhi kriteria yang telah ditentukan dan berada di tingkat Kabupaten/Kota
dengan wilayah kerja yang ditetapkan oleh Dinas Kabupaten/Kota terkait atau lintas
kabupaten/kota atas kesepakatan antara Dinas Kabupaten /Kota. Pada Lab RUS 1
dengan wilayah kerja lebih dari 1 kabupaten/kota, penetapan laboratorium oleh Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi.
BAB IX
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS
83
c. Laboratorium biakan
Laboratorium biakan adalah laboratorium yang melaksanakan pemeriksaan biakan M.
tuberculosis sesuai standar dan memenuhi indikator kinerja laboratorium biakan TB.
Pencatatan pelaporan wajib dilaksanakan oleh laboratorium biakan TB dan indikator
kinerja laboratorium ini dilaporkan kepada Laboratorium Rujukan Regional dan LRN.
Laboratorium ini memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:
1) Melaksanakan pelayanan pemeriksaan biakan dan identifikasi parsial NTM
2) Mengirimkan isolat biakan ke Laboratorium Rujukan Regional
3) Mengikuti pemantapan mutu oleh LRN
4) Berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi terkait dengan tugasnya sebagai
Laboratorium rujukan biakan provinsi
1) Peran
a) Laboratorium rujukan nasional untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan TB.
b) Laboratorium pembina mutu dan pengembangan jejaring untuk pemeriksaan
isolasi, identifikasi, dan uji kepekaan TB.
2) Tugas Pokok
a) Pemetaan distribusi, jumlah dan kinerja laboratorium biakan dan uji kepekaan
TB
b) Memfungsikan jejaring laboratorium biakan dan uji kepekaan TB
c) Menentukan spesifikasi alat dan bahan habis pakai untuk laboratorium biakan
dan uji kepekaan TB
d) Mengembangkan pedoman teknis, prosedur tetap, pemantapan mutu eksternal
(PME) dan pedoman pelatihan biakan dan uji kepekaan TB
e) Menyelenggarakan PME dalam jejaring laboratorium biakan dan uji kepekaan
TB
f) Melaksanakan pelayanan rujukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan TB
BAB IX
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS
85
Jenderal Bina Upaya Kesehatan dengan peran, tanggung jawab dan tugas pokok
sebagai berikut:
1) Peran
a) Sebagai Laboratorium rujukan nasional untuk penelitian operasional TB,
b) Sebagai Laboratorium rujukan nasional untuk pemeriksaan molekuler, serologi
dan MOTT.
2) Tugas Pokok
a) Melaksanakan penelitian operasional TB
b) Melaksanakan pemeriksaan molekuler, serologi dan MOTT.
c) Melaksanakan evaluasi/validasi teknologi baru.
d) Melaksanakan pelatihan dan evaluasi pasca pelatihan teknologi baru
e) Melaksanakan PME untuk teknologi baru
f) Bekerjasama dalam jejaring laboratorium TB internasional.
3) Tanggungjawab
Memastikan semua kegiatan laboratorium rujukan TB nasional sebagai penelitian
operasional TB, pemeriksaan molekuler, serologi dan MOTT berjalan sesuai peran
dan tugas pokok.
Kegiatan PMI harus meliputi setiap tahap pemeriksaan laboratorium yaitu tahap pra-
analisis, analisis, pasca-analisis, dan harus dilakukan terus menerus.
BAB IX
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS
87
Beberapa hal yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan PMI yaitu:
1) Tersedianya Prosedur Tetap (Protap) untuk seluruh proses kegiatan pemeriksaan
laboratorium, misalnya :
a) Protap pengambilan dahak
b) Protap pembuatan contoh uji dahak
c) Protap pewarnaan Ziehl Neelsen
d) Protap pemeriksaan Mikroskopis
e) Protap pembuatan media
f) Protap inokulasi
g) Protap identifikasi
h) Protap pengelolaan limbah, dan sebagainya.
2) Tersedianya Formulir /buku untuk pencatatan dan pelaporan kegiatan pemeriksaan
laboratorium TB
3) Tersedianya jadwal pemeliharaan/kalibrasi alat, audit internal, pelatihan petugas
4) Tersedianya contoh uji kontrol (positip dan negatip) dan kuman kontrol.
2) Kegiatan PME
Kegiatan PME laboratorium TB dilakukan melalui:
a) PME Mikroskopis
Uji silang sediaan dahak mikroskopis
Dilaksanakan secara berkala dan berkesinambungan dengan melakukan
pemeriksaan ulang sediaan dahak dari unit laboratorium mikroskopis TB di
fasyankes. Pengambilan sediaan dahak untuk uji silang dilakukan dengan
metode Lot Quality Assurance Sampling (LQAS). Metoda ini diterapkan
diseluruh Indonesia namun dengan mempertimbangkan kondisi geografis
dan sumber daya laboratorium metoda LQAS dapat dimodifikasi sehingga
alur dan peran komponen PME dapat berubah.
BAB IX
88 MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS
3. Manajemen Sistim Informasi Laboratorium TB
Untuk menjamin data kegiatan laboratorium dapat termonitor dengan baik, maka seluruh
kegiatan laboratorium TB akan terintegrasi dengan Sistem Informasi Terpadu
Tuberkulosis (SITT) untuk pelayanan pemeriksaan mikrokopis (Laporan TB.12) dan eTB
Manager untuk pelayanan pemeriksaan biakan, uji kepekaan dan uji cepat biomolekuler.
BAB IX
90 MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS
BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
91
kemasan, yaitu: kemasan Kombinasi Dosis Tetap (KDT)/Fix Dose
Combination (FDC) dan kemasan Kombipak.
Paket OAT KDT/FDC adalah paket OAT yang dalam setiap tablet OAT-nya
telah ada seluruh/beberapa jenis OAT yang digunakan untuk paduan
pengobatan TB. Dimana P2TB pada paket OAT KDT-nya menggunakan
4KDT/4FDC dan 2KDT/2FDC.
Paket Kombipak adalah paket OAT dimana tablet OAT-nya masih lepasan
dari setiap jenis OAT yang digunakan untuk paduan pengobatan TB.
Baik paket OAT KDT/FDC maupun paket OAT Kombipak, tablet OAT-nya
dikemas dalam bentuk blister.
Paduan paket OAT yang saat ini disediakan oleh Program Nasional
Pengendalian Tuberkulosis adalah:
Paket KDT OAT Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
Paket KDT OAT Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
Paket KDT OAT Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR)
Paket Kombipak Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Paket Kombipak Kategori Anak : 2HRZ/4HR
Sediaan dari OAT lini kedua dan lini pertama yang digunakan untuk paduan
OAT RR/MDR yang disediakan adalah:
BAB X
92 PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
b. Logistik Non OAT
Logistik Non OAT yang digunakan dalam P2TB adalah seluruh jenis logistik
Non OAT yang digunakan P2TB baik dalam pelayanan pasien TB maupun
pasien TB resistan obat.
1) Logistik Non OAT Non Resistan
Logistik Non OAT yang digunakan P2TB dibagi dalam dua kelompok, yaitu
barang habis pakai dan tidak habis pakai.
a) Logistik Non OAT habis pakai antara lain adalah:
Bahan-bahan laboratorium TB, seperti: Reagensia, Pot Dahak, Kaca
sediaan, Oli Emersi, Ether Alkohol, Tisu, Sarung tangan, Lysol, Lidi,
Kertas saring, Kertas lensa, dll.
Formulir pencatatan dan pelaporan TB, seperti: TB.01 s/d TB.13
b) Logistik Non OAT tidak habis pakai antara lain adalah:
Alat-alat laboratorium TB, seperti: mikroskop binokuler, Ose, Lampu
spiritus/bunsen, Rak pengering kaca sediaan (slide), Kotak
penyimpanan kaca sediaan (box slide), Safety cabinet, Lemari/rak
penyimpanan OAT, dll
Barang cetakan lainnya seperti buku pedoman, buku panduan, buku
petunjuk teknis, leaflet, brosur, poster, lembar balik, stiker, dan lain-
lain.
BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
93
Jejaring pengelolaan logistik TB di fasyankes, baik OAT maupun Non OAT adalah
seperti gambar dibawah ini:
Instalasi Farmasi
Dinkes Kab/kota
Kab/Kota(IFK)
pe rmintaan distribusi
Fasyankes
Keterangan:
Untuk Dokter Praktek Mandiri (DPM) dan klinik akan memperoleh logistik melalui
Puskesmas yang membina wilayah dimana DPS/Klinik tersebut berada.
97
BAB X
94 PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Gambar 11: Jejaring Pengelolaan Logistik P2TB Resistan Obat
Instalasi Farmasi
Pusat
Nasional
Instalasi Farmasi
Dinkes Provinsi
Provinsi (IFP)
Keterangan:
Alur Distribusi OAT
Alur Permintaan dan Pelaporan OAT
Keterangan:
Fasyankes Rujukan TB MDR memperoleh logistik TB Resistan Obat, baik obat
maupun non obat dari Dinas Kesehatan Provinsi. Sedangkan untuk fasyankes
satelit memperoleh logistik dari fasyankes rujukannya.
BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
95
f. Pelaksanaan perencanaan kebutuhan logistik disesuaikan dengan jadwal
penyusunan anggaran disetiap tingkat pemerintahan di Kabupaten/Kota,
Provinsi dan Pusat.
a. Perencanaan OAT
Perencanaan kebutuhan OAT menggunakan dua pendekatan yaitu metode
konsumsi dan metode morbiditas. Metode konsumsi adalah proses
penyusunan kebutuhan berdasarkan pemakaian tahun sebelumnya,
sedangkan metode morbiditas adalah proses penyusunan kebutuhan
berdasarkan perkiraan jumlah pasien yang akan diobati (insidensi) sesuai
dengan target yang direncanakan.
BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
97
2. Pengadaan Logistik P2TB.
Pengadaan logistik merupakan proses untuk penyediaan logistik yang dibutuhkan
pada institusi maupun layanan kesehatan. Pengadaan yang baik harus dapat
memastikan logistik yang diadakan sesuai dengan jenis, jumlah, tepat waktu
sesuai dengan kontrak kerja dan harga yang kompetitif. Proses pengadaan harus
mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku.
a. Pengadaan OAT
OAT merupakan obat dengan kategori “Sangat Sangat Esensial” (SSE)
sehingga Pemerintah wajib menyediakannya, baik pemerintah Pusat maupun
Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota).
Saat ini kebutuhan OAT masih dipenuhi dari pengadaan Pusat dengan dana
APBN. Sedangkan untuk OAT resistan obat masih menggunakan dana
bantuan (donor). Pengadaan OAT dengan dana APBN setiap tahunnya
dilakukan oleh Ditjen. Binfar dan Alkse Kemenkes R.I. Sedangkan OAT
resistan obat dengan dana bantuan dilakukan oleh Subdit. TB.
BAB X
98 PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
3) Persyaratan mutu OAT harus sesuai dengan persyaratan mutu yang
tercantum dalam Farmakope Indonesia edisi terakhir.
4) Industri Farmasi yang memproduksi OAT bertanggung jawab terhadap mutu
OAT melalui pemastian dan pemeriksaan mutu (Quality Control) oleh
industri farmasi dengan mengimplementasikan CPOB secara konsisten.
5) OAT memiliki sertifikat analisa dan uji mutu yang sesuai dengan nomor bets
masing-masing produk.
6) OAT diproduksi oleh industri farmasi yang memiliki sertifikat CPOB.
Hal-Hal yang harus diperhatikan dalam pengadaan logistik Non OAT adalah:
1) Logistik Non OAT yang diadakan sesuai dengan kebutuhan Program
Nasional Pengendalian TB.
2) Mutu logistik yang diadakan sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan
untuk setiap jenis logistik.
Dalam penyimpanan logistic P2TB baik OAT maupun Non OAT, Program
Nasional Pengendalian TB mengikuti kebijakan Ditjen. Binfar dan Alkes
Kemenkes R.I., yaitu: “One Gate Policy”, dimana seluruh OAT maupun Non OAT
disimpan di dalam Instalasi Farmasi baik di Pusat, Provinsi maupun Kabupaten
Kota dan Fasyankes.
BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
99
Ketentuan-ketentuan dalam penyimpanan logistic P2TB agar terkelola dengan
baik dapat merujuk pada “Buku Panduan Pengelolaan Logistik P2TB”.
BAB X
100 PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
b. Pembiayaan Logistik P2TB
Pembiayaan dalam pengelolaan logistik program TB sangat diperlukan.
Pembiayaan ini dapat bersumber dari dana APBN, APBD maupun sumber
lainnya yang sah sesuai kebutuhan.
Penyusunan kebutuhan anggaran harus dibuat secara lengkap, dengan
memperhatikan prinsip-prinsip penyusunan program dan anggaran terpadu.
Pembiayaan dapat diidentifikasi dari berbagai sumber mulai dari anggaran
pemerintah dan berbagai sumber lainnya, sehingga semua potensi sumber
dana dapat dimobilisasi.
BAB X
102 PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
1) Pengawasan Mutu OAT
Pengawasan/jaga mutu OAT adalah kegiatan/proses standardisasi produk
OAT dan sarana yang digunakan mulai dari pre sampai dengan post market,
yaitu:
a) Pre-market: pemberian nomor ijin edar, sertifikasi CPOB.
b) Post-market: pemeriksaan setempat, sampling dan pengujian, monitoring
efek samping.
BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
103
BAB XI
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Pencapaian target global TB menjadi lebih menantang sehubungan dengan isu-isu seperti
HIV/AIDS, TB-MDR, TB-Infection Control (TB-IC) dan lain-lain. Demikian juga isu desentralisasi
di bidang kesehatan telah meningkatkan kompleksitas tantangan untuk pengembangan sumber
daya manusia (SDM). Turnover staf yang tinggi dan distribusi staf yang tidak merata di
provinsi/kabupaten/kota mengakibatkan permintaan lebih tinggi terhadap ketersediaan tenaga
yang terampil.
Di dalam bab ini istilah pengembangan SDM merujuk kepada pengertian yang lebih luas, tidak
hanya yang berkaitan dengan pelatihan tetapi keseluruhan manajemen pelatihan dan kegiatan
lain yang diperlukan untuk mencapai tujuan jangka panjang pengembangan SDM yaitu
tersedianya tenaga yang kompeten dan profesional dalam Pengendalian TB.
Bab ini akan membahas 3 hal kegiatan pokok yang sangat penting dalam pengembangan SDM
untuk mendukung tercapainya tujuan program yaitu perencanaan ketenagaan Program TB,
peran SDM TB dalam Pengendalian TB, pelatihan dan evaluasi paska pelatihan TB.
BAB XI
104
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
2) Puskesmas satelit: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter
dan 1 perawat/petugas TB
b. Rumah Sakit Umum Pemerintah
1) RS kelas A: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 6 dokter (2
dokter umum, SpP, SpA, SpD, SpR) , 3 perawat/petugas TB, dan 3 tenaga
laboratorium
2) RS kelas B: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 6 dokter (2
dokter umum, SpP, SpA, SpD, SpR), 3 perawat/petugas TB, dan 3 tenaga
laboratorium
3) RS kelas C: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 4 dokter (2
dokter umum, SpP/SpD, SpA), 2 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium
4) RS kelas D, RSP dan BBKPM/BKPM: kebutuhan minimal tenaga pelaksana
terlatih terdiri dari 2 dokter (dokter umum dan atau SpP), 2 perawat/petugas TB,
dan 1 tenaga laboratorium
5) RS swasta: menyesuaikan.
c. Dokter Praktik Mandiri, minimal telah dilatih.
BAB XI
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
105
Masyarakat Anggota keluarga, kader, Identifikasi dan rujuk terduga TB ke
tenaga kesehatan, LSM fasyankes.
Pengawas Menelan Obat (PMO)
Kunjungan rumah
Melacak yang mangkir
Catatan sederhana
Lab TB rujukan regional Spesialis Patologi klinik, Ahli Kultur, identifikasi dan uji kepekaan
Mikrobiologi, Analis dan M.TB dan MOTT dari dahak dan bahan
analis media. lain
Lab TB rujukan provinsi Spesialis Patologi Klinik, Pemeriksaan mikroskopis BTA, uji
Analis. silang mikroskopis final
Laboratorium rujukan Petugas laboratorium dan Uji silang pertama (Laboratory Quality
Uji silang (Intermediate analis Assurance)
TB Laboratory)
Pusat Fiksasi contoh uji Petugas lab Pembuatan contoh uji apusan dahak
TB (Puskesmas satelit) dan fiksasi
BAB XI
108
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
3. Manfaat EPP pada Program Pengendalian TB, adalah:
a. Rangkaian siklus yang dinamis dan berkesinambungan dalam memberikan umpan
balik pada proses perbaikan dan penyempurnaan program pelatihan
b. Untuk mengetahui keberhasilan pelatihan yang telah dilaksanakan. Ada 3 aspek yang
dinilai yaitu:
1) Kognitif/Pengetahuan
2) Afektif/Sikap
3) Psikomotor/Perilaku
c. Mengetahui kesesuaian kurikulum pelatihan dengan tuntutan kerja individu
d. Bahan masukan untuk perumusan kebijakan pengembangan aparatur kesehatan di
wiilayahnya
BAB XI
113
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
BAB XII
KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI
KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih merupakan permasalahan kesehatan di masyarakat,
bukan hanya karena TB adalah penyakit menular, namun ada hubungan TB dengan penyakit
tidak menular lainnya seperti pada Diabetes Mellitus, penyakit akibat rokok, alkhohol,
pengguna narkoba dan malnutrisi. TB sebagian besar menyerang pada usia produktif dan
masyarakat dengan sosial ekonomi yang kurang menguntungkan. TB menjadi penyebab
tersering untuk kesakitan dan kematian pada Orang dengan HIV AIDS. TB sering dihubungkan
dengan kemiskinan, lingkungan yang kumuh, padat dan terbatasnya akses untuk perilaku
hidup bersih dan sehat. Wanita hamil dan anak anak juga sangat rentan terkena TB.
Sebanyak 1/3 kasus TB masih belum terakses atau dilaporkan. Bahkan sebagian besar kasus
TB terlambat ditemukan sehingga saat diagnosa ditegakkan mereka sudah dalam tahap lanjut
bahkan kuman telah resistan obat sehingga suit untuk diobati. Keterlambatan pengobatan ini
bermakna karena menunjukkan lebih banyak lagi penduduk yang sudah terpapar TB.
Kesadaran masyarakat untuk mencari pengobatan secara dini sangatlah penting, oleh sebab
itu diperlukan peran serta masyarakat.dan strategi kunci untuk dapat menemukan sepertiga
kasus TB yang ‘hilang’ dan tidak terlaporkan serta untuk menjangkau kasus TB pada kelompok
rentan adalah dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam program pengendalian TB.
BAB XII
114 KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
3. Program Pengendalian TB belum merupakan prioritas dalam kegiatan organisasi
kemasyarakatan.
4. Belum sepenuhnya melibatkan pasien dan mantan pasien TB dalam kegiatan Program
Pengendalian TB.
5. Saat ini sebagian besar organisasi kemasyarakatan masih tergantung kepada dana
hibah untuk melaksanakan kegiatan Program Pengendalian TB.
BAB XII
KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
115
E. Indikator Keberhasilan Pelibatan Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakat Dalam
Pengendalian TB
Indikator keberhasilan pelibatan masyarakat dan organisasi kemasyarakat adalah:
1. Peningkatan jumlah pasien TB baru yang dirujuk oleh masyarakat atau organisasi
kemasyarakatan yang tercatat.
Peran Kegiatan
Pencegahan TB. Penyuluhan TB, pengembangan KIE, pelatihan kader.
Deteksi dini terduga TB. Pelacakan kontak erat pasien dengan gejala TB,
pengumpulan dahak terduga TB, pelatihan kader.
Melakukan rujukan. Dukungan motivasi kepada terduga TB untuk ke
Fasyankes, dukungan transport.
Dukungan/motivasi keteraturan Pengawas Menelan Obat (PMO).
berobat pasien TB.
Dukungan sosial ekonomi. Dukungan transport pasien TB, nutrisi dan
sumplemen pasien TB, peningkatan ketrampilan
pasien TB guna meningkatkan penghasilan,
menyediakan pekerja sosial, memotivasi mantan
pasien untuk dapat mendampingi pasien TB.
Advokasi. Membantu penyusunan bahan advokasi, membantu
memberikan masukan kepada pemerintah.
Mengurangi stigma. Diseminasi informasi tentang TB, membentuk
kelompok pendidik sebaya, testimoni pasien TB.
BAB XII
116 KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
selama ini terlibat dalam Program kesehatan bukan TB, misalnya organisasi
kemasyarakatan dalam kesehatan Anak, HIV/AIDS, dll.
2. Memperluas (Expand).
a. Melibatkan dan Mengembangkan cakupan program organisasi kemasyarakatan yang
sudah terlibat dalam program pengendalian TB untuk menjangkau populasi
khusus misalnya, pekerja pabrik, sekolah, asrama, Lapas/Rutan, dan pekerja
seksual.
b. Meningkatkan dan memperkuat pelibatan pasien dan mantan pasien TB dalam
program pengendalian TB berbasis komunitas untuk membantu penemuan
terduga TB dan TB resistan obat serta pendampingan dalam pengobatannya.
3. Mempertegas (Emphasize).
Mempertegas fungsi dari Organisasi kemasyarakatan untuk penemuan terduga TB dan
TB resistan obat dan pendampingan dalam pengobatannya. Pemetaan peran, potensi
dan fungsi dari masyarakat dan organisasi kemasyarakatan adalah penting agar kegiatan
yang dilakukan tidak tumpang tindih dan kontribusi dari masing-masing organisasi
kemasyarakatan dapat diidentifikasi.
4. Menghitung (Enumerate).
Menghitung kontribusi organisasi kemasyarakatan dalam program pengendalian TB
berbasis komunitas dengan melakukan monitoring dan evaluasi melalui sistem
pencatatan dan pelaporan standar berdasarkan indikator-indikator yang telah ditetapkan.
BAB XII
KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
117
Sistem surveilans TB akan menyediakan informasi mengenai prevalensi TB dan pola
perubahan risiko. Monitoring dan evaluasi menyediakan informasi tentang proses, luaran dan
dampak intervensi. Penelitian operasional dapat mengisi kesenjangan informasi dan menilai
kebijakan dan strategi intervensi. Penempatan ketiga elemen tesebut secara terpadu dan
menyeluruh dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan dan penilaian program menjadi
sangat penting agar program berjalan secara efektif dan efisien.
A. Surveilans Tuberkulosis
Surveilans TB adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari pengumpulan data penyakit
secara sistematik, lalu dilakukan analisis, dan interpretasi data. Hasil analisis
didiseminasikan untuk kepentingan tindakan kesehatan masyarakat dalam upaya
menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB serta untuk peningkatan derajat
kesehatan masyarakat.
Ada 2 macam metode surveilans TB, yaitu: Surveilans Rutin (berdasarkan data pelaporan),
dan Surveilans Non Rutin (berupa survei: periodik dan sentinel).
1. Surveilans Rutin.
Surveilans rutin dilaksanakan dengan menggunakan data layanan rutin yang dilakukan
pada pasien TB. Sistem surveilans ini merupakan sistem terbaik (mudah dan murah)
untuk memperoleh informasi tentang prevalensi TB, meskipun kemungkinan terjadinya
bias cukup besar. Misalnya dalam layanan kolaborasi TB-HIV, jika jumlah pasien yang
menolak untuk di tes HIV cukup besar maka surveilans berdasar data rutin ini
interpretasinya kurang akurat. Surveilans berdasarkan data rutin ini tidak memerlukan
biaya khusus tapi mutlak memerlukan suatu pencatatan dan pelaporan yang berjalan
baik. Hasil surveilans berdasarkan data rutin ini perlu dikalibrasi dengan hasil dari
surveilans periodik atau surveilans sentinel.
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
119
Pemilihan metode surveilans yang akan dilaksanakan disuatu daerah/wilayah
tergantung pada tingkat epidemi TB di daerah/wilayah tersebut, kinerja program TB
secara keseluruhan, dan sumber daya (dana dan keahlian) yang tersedia.
Komponen utama untuk melakukan monev adalah: pencatatan pelaporan, analisis indikator
dan hasil dari supervisi.
BAB XIII
120 SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
a. Lengkap, tepat waktu dan akurat.
b. Data sesuai dengan indikator program
c. Jenis, sifat, format, basis data yang dapat dengan mudah diintegrasikan dengan sistim
informasi kesehatan yang generik.
PENTING !!
TB adalah penyakit menular yang wajib dilaporkan. Setiap fasilitas kesehatan yang
memberikan pelayanan TB wajib mencatat dan melaporkan kasus TB yang
ditemukan dan atau diobati sesuai dengan format pencatatan dan pelaporan yang
ditentukan.
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
121
5) Formulir Pemeriksaan Sediaan untuk Uji silang dan Analisis Hasil Uji silang
Kabupaten (TB.12)
6) Laporan OAT (TB.13)
7) Data Situasi Ketenagaan Program TB
8) Data Situasi Public-Private Mix (PPM) dalam Pelayanan TB.
9) Formulir pelacakan kasus TB yang datang dari luar negeri. (**)
c. Pelaporan di Provinsi
Dinas Kesehatan Provinsi menggunakan formulir pelaporan sebagai berikut:
1) Rekapitulasi Penemuan dan Pengobatan Pasien TB per kabupaten/kota.
2) Rekapitulasi Hasil Pengobatan per kabupaten/kota.
3) Rekapitulasi Hasil Pengobatan gabungan TB dan TB Resistan Obat di tingkat
Provinsi.
4) Rekapitulasi Hasil Konversi Dahak per kabupaten/kota.
5) Rekapitulasi Analisis Hasil Uji silang propinsi per kabupaten/kota.
6) Rekapitulasi Laporan OAT per kabupaten/ kota.
7) Rekapitulasi Data Situasi Ketenagaan Program TB.
8) Rekapitulasi Data Situasi Public-Private Mix (PPM) dalam Pelayanan TB.
2. Indikator Program TB
Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur kemajuan
program (marker of progress). Dalam menilai kemajuan atau keberhasilan program
pengendalian TB digunakan beberapa indikator.
Indikator utama program pengendalian TB secara Nasional ada 2, yaitu:
Angka Notifikasi Kasus TB (Case Notification Rate = CNR) dan
Angka Keberhasilan Pengobatan TB (Treatment Success Rate = TSR).
Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator Nasional tersebut
di atas, yaitu:
a. Indikator Penemuan TB
1) Proporsi pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara terduga TB
2) Proporsi pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara semua TB paru
diobati.
3) Proporsi pasien TB terkonfirmasi bakteriologis yang diobati diantara pasien TB
terkonfirmasi bakteriologis.
4) Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien TB
5) Angka penemuan kasus TB (Case Detection Rate=CDR)
6) Proposi pasien TB yang dites HIV
7) Proporsi pasien TB yang dites HIV dan hasil tesnya Positif
8) Proporsi pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding perkiraan kasus TB RR/
MDR yang ada.
BAB XIII
122 SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
9) Proporsi pasien terbukti TB RR/MDR yang dilakukan konfirmasi pemeriksaan uji
kepekaan OAT lini kedua.
10) Proporsi pengobatan pasien TB RR/MDR diobati diantara pasien TB RR/MDR
ditemukan.
b. Indikator Pengobatan TB
1) Angka konversi (Conversion Rate)
2) Angka kesembuhan (Cure Rate)
3) Angka putus berobat
4) Angka keberhasilan pengobatan TB anak
5) Proporsi anak yang menyelesaikan PP INH diantara seluruh anak yang
mendapatkan PP INH
6) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK
7) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ART
8) Angka keberhasilan pengobatan TB MDR atau Treatment Success Rate
9)
c. Indikator Penunjang TB
1) Proporsi laboratorium yang mengikuti pemantapan mutu eksternal (PME) uji silang
untuk pemeriksaan mikroskopis
2) Proporsi laboratorium dengan kinerja pembacaan mikroskopis baik diantara peserta
PME uji silang
3) Proporsi laboratorium yang mengikuti kegiatan PME empat kali setahun.
4) Jumlah kabupaten/kota melaporkan terjadinya kekosongan OAT lini
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
123
Angka ini sekitar 5-15%. Bila angka ini terlalu kecil (<5%) kemungkinan
disebabkan:
Penjaringan terduga TB terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhi
kriteria terduga TB, atau
Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu).
Angka ini dianalisis dengan memperhatikan berbagai aspek. Angka indikator ini
diharapkan berkisar 8 – 12% pada wilayah dimana seluruh kasus TB Anak
ternotifikasi. Pada kondisi dimana pencatatan dan pelaporan berjalan dengan baik,
angka ini menggambarkan over atau under diagnosis, serta rendahnya angka
penularan TB pada anak. Bila angka indikator ini kurang atau melebihi kisaran yang
diharapkan, maka perlu diperiksa prosedur diagnosis TB Anak di fasyankes.
BAB XIII
126 SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Proporsi yang tinggi dari pasien TB yang mengetahui status HIVnya menyajikan
estimasi yang cukup kuat tentang angka sesungguhnya prevalensi HIV diantara
pasien TB untuk kepentingan surveilans. Hal ini juga menjadi dasar untuk bentuk
usaha yang lebih detail dalam upaya pencegahan.
Rumus:
Jumlah pasien TB yang terdaftar yang mempunyai
hasil tes HIV positif (sebelum dan selama pengobatan TB) x 100%
Jumlah pasien TB yang terdaftar yang melakukan
tes HIV (sebelum dan selama pengobatan TB)
Proposi yang relatif tinggi dari proporsi rata-rata nasional dapat saja menunjukkan
prevalensi HIV diantara pasien TB yang sebenarnya lebih tinggi ada di daerah
tertentu.
Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara
mereview seluruh kartu pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang
mulai berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya
yang hasil pemeriksaan dahak negatif, setelah pengobatan tahap awal (2 bulan/ 3
bulan). Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat
dihitung dari laporan TB.11. Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%.
BAB XIII
128 SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
9) Angka Kesembuhan (Cure Rate)
Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien baru TB
Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang sembuh setelah selesai masa pengobatan,
diantara pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang tercatat.
Untuk kepentingan khusus (survailans), angka kesembuhan dihitung juga untuk
pasien Paru Terkonfirmasi Bakteriologis pengobatan ulang (kambuh dan dengan
riwayat pengobatan TB sebelumnya) dengan tujuan:
Untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan kekebalan terhadap obat
terjadi di komunitas, hal ini harus dipastikan dengan surveilans kekebalan obat.
Untuk mengambil keputusan program pada pengobatan menggunakan obat
baris kedua (second-line drugs).
Menunjukkan prevalens HIV, karena biasanya kasus pengobatan ulang terjadi
pada pasien dengan HIV.
Untuk perhitungan, digunakan rumus yang sama dengan cara mengganti
sebutan numerator dan denominator dengan jumlah pasien TB paru pengobatan
ulang.
Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara
mereview seluruh kartu pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Biologis yang mulai
berobat dalam 9-12 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang
sembuh setelah selesai pengobatan.
Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dapat dihitung dari laporan
TB.08. Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Angka kesembuhan
digunakan untuk mengetahui hasil pengobatan.
Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatan lainnya tetap
perlu diperhatikan, yaitu berapa pasien dengan hasil pengobatan lengkap,
meninggal, gagal, putus berobat (lost to follow-up), dan tidak dievaluasi.
Angka pasien putus berobat (lost to follow-up) tidak boleh lebih dari 10%, karena
akan menghasilkan proporsi kasus retreatment yang tinggi dimasa yang akan
datang yang disebabkan karena ketidak-efektifan dari pengendalian
Tuberkulosis.
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
129
Menurunnya angka pasien putus berobat (lost to follow-up) karena peningkatan
kualitas pengendalian TB akan menurunkan proporsi kasus pengobatan ulang
antara 10-20 % dalam beberapa tahun.
Sedangkan angka gagal untuk pasien baru TB paru BTA positif tidak boleh lebih
dari 4% untuk daerah yang belum ada masalah resistensi obat, dan tidak boleh
lebih besar dari 10% untuk daerah yang sudah ada masalah resistensi obat.
12) Proporsi Anak yang Menyelesaikan PP INH Diantara Seluruh Anak yang
Mendapatkan PP INH
Adalah persentase Anak yang menyelesaikan PP INH selama 6 bulan diantara
seluruh anak yang mendapatkan PP INH.
BAB XIII
130 SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Rumus: Jumlah anak yang menyelesaikan
PP INH selama 6 bulan x 100%
Jumlah anak yang mendapatkan PP INH
Angka ini menggambarkan proporsi anak yang terlindungi dari kejadian sakit TB
dari anak yang terpapar dan terinfeksi TB termasuk anak dengan HIV Positif.
Angka indikator ini diharapkan sebesar 100%. Apabila kurang dari angka yang
diharapkan maka perlu dilakukan evaluasi kepatuhan PP INH.
Rumus:
Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang
menerima PPK selama pengobatan TB x 100%
Jumlah pasien TB dengan HIV positif
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
131
Selain dari kinerja pembacaan mikroskopis, kualitas laboratorium juga dilihat
dengan menilai 6 unsur kualitas sediaan mikroskopis, yaitu: kualitas dahak, ukuran,
ketebalan, kerataan, pewarnaan, dan kebersihan.
Interpretasi dari suatu laboratorium berdasarkan hasil uji silang dinyatakan terdapat
kesalahan bila:
Terdapat PPT atau NPT
Laboratorium tersebut menunjukkan tren peningkatan kesalahan kecil dibanding
periode sebelumnya atau kesalahannya lebih tinggi dari rata-rata semua
fasyankes di kabupaten/kota tersebut, atau bila kesalahan kecil terjadi
beberapa kali dalam jumlah yang signifikan.
Bila terdapat 3 NPR.
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
133
Rumus: Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi
dalam 1 tahun
x 100%
Jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR di wilayah
tersebut dalam 1 tahun
Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dan yang dilakukan uji kepekaan
OAT lini kedua bersumber pada TB.06 MDR.
Rumus:
Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobati
x 100%
Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan
BAB XIII
134 SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Jumlah pasien TB RR/MDR yang ditemukan dan yang diobati bersumber pada
TB.06 MDR dan TB.01 MDR.
Rumus:
Jumlah pasien TB RR/MDR yang menyelesaikan
pengobatan (sembuh+pengobatan lengkap) x 100%
Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobati
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
135
Supervisi harus dilaksanakan di semua tingkat dan disemua unit pelaksana, karena
dimanapun petugas bekerja akan tetap memerlukan bantuan untuk mengatasi masalah
dan kesulitan yang mereka temukan. Suatu umpan balik tentang kinerja harus selalu
diberikan untuk memberikan dorongan semangat kerja.
a. Perencanaan Supervisi
Sebelum melaksanakan supervisi efektif perlu dilakukan perencanaan dengan baik,
sehingga supervisi dapat mencapai tujuannya. Hal-hal yang penting diperhatikan
didalam perencanaan supervisi adalah:
1) Supervisi harus dilaksanakan secara rutin dan teratur pada semua tingkat.
Supervisi ke faskes (misalnya: Puskesmas, RS, BBKPM/BKPM, termasuk
laboratorium) harus dilaksanakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali.
Supervisi ke kabupaten/kota dilaksanakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan
sekali, dan
Supervisi ke provinsi dilaksanakan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali.
b. Persiapan supervisi
Persiapan perlu dilakukan agar pelaksanaan supervisi mencapai tujuannya secara
efektif dan efisien. Persiapan supervisi meliputi:
1) Penyusunan jadual kegiatan.
2) Pengumpulan informasi pendukung.
3) Pemberitahuan atau perjanjian ke faskes/dinkes/instansi yang akan dikunjungi.
4) Penyiapan atau pengembangan daftar tilik supervisi.
5) Menyusun kerangka laporan.
c. Pelaksanaan supervisi.
Dalam pelaksanaan supervisi hal-hal yang perlu diperhatikan, terutama:
1) Kepribadian supervisor:
Mempunyai kepribadian yang menyenangkan dan bersahabat.
BAB XIII
136 SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Mampu membina hubungan baik dengan petugas di faskes/dinkes/instansi yang
dikunjungi.
Menjadi pendengar yang baik, penuh perhatian, empati, tanggap terhadap
masalah yang disampaikan, dan bersama-sama petugas mencari pemecahan.
Melakukan pendekatan fasilitatif, partisipatif dan tidak instruktif.
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
137
3. Mengumpulkan data untuk mendukung perumusan kebijakan untuk intervensi tertentu.
Riset operasional TB perlu disesuaikan dan diprioritaskan sesuai kondisi epidemi TB dan
Strategi Program Pengendalian TB di Indonesia, maka dibutuhkan riset operasional untuk:
1. Memperbaiki kualitas program:
a. Peningkatan aksesibilitas pencegahan, diagnosis, dan pengobatan TB dan TB-HIV
b. Terbentuk kerjasama pihak pelayanan pemerintah dan swasta dalam penanggulangan
TB.
c. Terbentuk kerjasama antara penanggungjawab program TB, dengan program
kesehatan lain yang terkait, seperti Penangulangan HIV, Penanggulangan Penyakit
Tidak Menular-Diabetes Melitus.
d. Mengoptimalkan akses dan kepatuhan pengobatan pengobatan TB,
e. Peningkatan akses pengobatan bagi orang dengan TB resistan obat.
2. Peningkatan peran-serta masyarakat umum & khusus (LSM, Kaum Bisnis, dll).
a. Mengembangkan metode yang menggerakan peran-serta masyarakat termasuk
komponen pendanaan yang mampu meningkatkan efektivitas program.
b. Mengembangkan perilaku yang mampu menekan penularan TB.
3. Mengubah perilaku masyarakat dan penyedia layanan
a. Mengembangkan metode perubahan perilaku masyarakat.
b. Mengembangkan metode yang mengubah perilaku penyedia layanan.
4. Upaya intensifikasi penemuan kasus TB yang dilihat dari sisi penyedia layanan maupun
masyarakat rentan.
a. Meningkatkan akses layanan pengobatan pada populasi rentan dan termarjinalkan.
b. Memperkuatkan integrasi layanan TB dan HIV.
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
139
c. Upaya mencegah penularan TB di fasilitas kesehatan, keluarga, dan masyarakat.
BAB XIII
140 SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
BAB XIV
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PROGRAM
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Anggaran merupakan hasil dari proses perencanaan, merupakan suatu rencana jangka
pendek yang disusun berdasarkan dari rencana kegiatan jangka panjang yang telah
ditetapkan dalam proses penyusunan program untuk mencapai tujuan atau kondisi tertentu
yang diinginkan dengan berbagai sumber daya.
BAB XIV
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
141
1. APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara)
Alokasi pembiayaan dari APBN digunakan untuk membiayai pelaksanaan kegiatan
program TB nasional, namun dalam upaya meningkatkan kualitas program di daerah,
Kementerian Kesehatan dalam hal ini Sub Direktorat TB melimpahkan kewenangan
untuk mengelola dana APBN dengan melibatkan pemerintah daerah dengan mekanisme
sebagai berikut:
a. Dana dekosentrasi (dekon) yaitu dana dari pemerintah pusat (APBN) yang diberikan
kepada pemerintah daerah sebagai instansi vertikal yang digunakan sesuai dengan
tugas pokok dan fungsi. Dana dekonsentrasi untuk program pengendalian TB
digunakan untuk memperkuat jejaring kemitraan di daerah melalui lintas program dan
lintas sektor, meningkatkan monitoring dan evaluasi program pengendalian TB di
kabupaten/kota melalui pembinaan teknis, meningkatkan kompetensi petugas TB
melalui pelatihan tatalaksana program TB.
b. Dana alokasi khusus (DAK) bidang kesehatan adalah dana perimbangan yang
ditujukan untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Kesehatan di Daerah. Dana ini diserahkan
kepada daerah melalui pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menyediakan sarana
dan prasarana pelayanan kesehatan seperti alat dan bahan penunjang di laboratorium
dalam rangka diagnosis TB dan perbaikan infrastruktur di kabupaten/kota termasuk
gudang obat,
c. Bantuan operasional kesehatan (BOK) diserahkan kepada fasilitas pelayanan
kesehatan untuk membiayai operasional petugas, dan dapat digunakan sebagai
transport petugas fasilitas pelayanan kesehatan dalam rangka pelacakan kasus yang
mangkir TB, pencarian kontak TB
3. Dana Hibah
Kementerian Kesehatan dalam hal ini Sub Direktorat TB merupakan salah satu program
yang mendapat kepercayaan menerima dana hibah dari luar negeri. Saat ini berbagai
keberhasilan telah banyak dicapai oleh program TB, namun sebagian besar pembiayaan
masih tergantung kepada donor (PHLN).
Hibah dari Global Fund merupakan bagian terpenting dari keseluruhan dana untuk
program TB, permasalahan yang terkait dengan pendanaan donor (restriksi/suspend)
akan berdampak secara langsung terhadap kinerja program. Kondisi saat ini hampir 61%
dana operasional pengendalian TB terutama di provinsi dan kabupaten/kota dibiayai oleh
Global Fund, walaupun sudah ada kebijakan proporsi pemerintah (APBN) dari 23% pada
BAB XIV
PERENCANAAN DAN PENGGANGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
143
d. Menyediakan dan meningkatkan kemampuan tenaga kesehatan pengendalian TB di
fasilitas pelayanan kesehatan
e. Monitoring, evaluasi dan pembinaan teknis kegiatan pengendalian TB
f. Pendanaan kegiatan operasional pengendalian TB yang terkait dengan tugas pokok
dan fungsi
g. Pemantapan surveilans epidemiologi TB di tingkat kabupaten/kota
Pembagian peran dan wewenang dalam program pengendalian TB tidak hanya yang
bersifat vertikal namun juga horisontal dimana keterlibatan dari lintas program, lintas sektor
dan unit pelaksana teknis dari Direktorat Jenderal PP&PL seperti Kantor Kesehatan
Pelabuhan (KKP) dan B/BTKL sesuai dengan tugas, pokok dan fungsi masing-masing.
BAB XIV
PERENCANAAN DAN PENGGANGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
147
TAMBAHAN TB HIV PADA ANAK
Anak terinfeksi HIV mempunyai risiko lebih besar untuk terpapar, terinfeksi, dan sakit TB.
Risiko ini dipengaruhi oleh derajat imunosupresinya. Setiap anak yang terinfeksi HIV di
wilayah endemis TB harus diinvestigasi status TB nya secara regular pada saat melakukan
kunjungan ke Fasyankes dengan cara melakukan penilaian klinis terlebih dahulu. Pada
daerah endemis TB dan HIV, TB banyak ditemukan pada anak terinfeksi HIV, sebaliknya
infeksi HIV banyak ditemukan pada anak sakit TB. Tes HIV dianjurkan dilakukan secara rutin
pada semua anak yang didiagnosis sakit TB dengan metode TIPK
Tuberkulosis pada anak terinfeksi HIV (selain TB milier, meningitis TB dan TB tulang) harus
diberikan 4 macam obat (RHZE) selama 2 bulan pertama dilanjutkan RH selama 4-7 bulan.
Bila menunjukkan perbaikan klinis dilanjutkan dengan INH saja selama 6 bulan untuk mencegah
kekambuhan
Pada meningitis TB, TB milier, dan TB tulang diberikan RHZE selama 2 bulan pertama dilanjutkan
RH sampai 12 bulan.
PETUNJUK PRAKTIS
Dosis OAT yaitu INH 10 mg/KgBB/hari (maksimal 300 mg), Rifampisin 15 mg/KgBB/hari (maksimal
600 mg), PZA 35 mg/KgBB/hari (maksimal 2000 mg), Etambutol 20 mg/KgBB/hari (maksimal 1250
mg)
Pada meningitis TB, TB milier dengan distress pernapasan, efusi pleura dan efusi perikardial
diberikan tambahan kortikosteroid berupa prednison 1 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 6
minggu, selanjutnya di-tapering-off selama 6 minggu.