Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 10

JURNAL READING Agustus 2018

“ABORTUS”

Disusun Oleh:
Nama : Sigit Nugroho Wicaksono
NIM : N 111 16 002
Pembimbing Klinik : dr. Asrawati Aziz, Sp.F

BAGIAN ILMU FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


BADAN RUMAH SAKIT DAERAH LUWUK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2018
Terminasi Kehamilan Sukarela (Arborsi Medis atau
Bedah): ditinjau dari Segi Ilmu Kedokteran Forensik
**Mauro Piras, Paola Delbon, Claudia Casella, Emanuele Capasso, Massimo
Niola, Adelaide Conti

Abstract:
In Italy, Law 194 of 22 May 1978 provides for and regulates the voluntary
termination of pregnancy (VTP). Medical abortion became popular nationwide
after Mifepristone (RU-486) was authorized for the market by AIFA (Italian Drug
Agency) in July 2009. We searched articles in medical literature database with
these terms: “medical abortion”, “RU486”, “surgical abortion”. We also
searched laws and judgments concerning abortion in national legal databases.
Ministerial guidelines were searched on official website of Italian Ministry of
Health. We found many medical studies about medical and surgical abortion. We
found also ministerial and regional guidelines, which were analyzed. From the
point of view of legal medicine, the issues related to abortion with the
pharmacological method consist in verifying compatibility and consistency with the
safety principles and the parameters imposed by Law n. 194 of 1978, using off-label
Misoprostol, what inpatient care should be used and informed consent. The
doctor’s job is to provide the patient with comprehensive and clear information
about how the procedure will be performed, any complications and the time period
needed for both procedures.
Keywords: Forensic medicine; Medical abortion; Surgical abortion; Informed
consent

Abstrak:
Di Italia, UU 194 tanggal 22 Mei 1978 mengatur regulasi mengenai terminasi
kehamilan sukarela (VTP). Aborsi medis menjadi popular diseluruh dunia
semenjak Mifepristone (RU-486) di izinkan beredar di pasaran oleh AIFA (Agensi
Obat Italia) pada Juli 2009. Kami mencari artikel pada literatur medis dengan kata
kunci: “aborsi medis”, “RU-486”, “aborsi bedah”. Kami juga meneliti hokum dan
keputusan kehakiman mengenai aborsi pada pangkalan data nasional. Guideline
kementrian juga dicari pada website kementerian kesehatan Italia. Kami
menemukan banyak penelitian medis mengenai aborsi medis dan bedah. Kami juga
menemukan regulasi guideline kementrian, yang kemudian di analisis. Dari sudut
pandang medicolegal, masalah ini berhubungan dengan metode farmakologis
aborsi terkait kecocokan dan konsistensi terkait prinsip keamanan berdasarkan UU
No. 194 tahun 1978, menggunakan misoprostol tak berlabel, yang digunakan oleh
klinisi harus disertai dengan informed consent. Tugas seorang dokter adalah
menyediakan informasi yang jelas dan komperehensif kepada pasien terkait
prosedur, komplikasi yang mungkin terjadi pada setiap prosedur yang dipakai.
Kata Kunci: Ilmu Kedokteran Forensik; Aborsi Medis; Aborsi Bedah; Informed
Consent.

1. Pendahuluan
Di Italia, UU 194 tanggal 22 Mei 1978 mengatur regulasi mengenai terminasi
kehamilan sukarela (VTP). Faktanya, pada 90 hari pertama, pengambilan
keputusan mengenai aborsi berada pada wanita seutuhnya. Redaksi UU tidak
merujuk pada bagaimana pengakhiran kehamilan dilakukan, baik melalui
prosedur bedah maupun farmakologis. Aborsi medis menjadi popular diseluruh
dunia setelah Mifepristone (RU-486) disetujui beredar di pasaran oleh Agensi
obat italia (AIFA) pada juli 2009. Aborsi bedah memiliki tekhnik terstandar.
Kami focus pada aborsi medis, dimana tekhnik ini yang terbaru.

2. Metode
Kami meneliti pada pangkalan data medis PubMed menggunakan kata kunci:
“Aborsi medis”, “Aborsi bedah”, “RU486”. Kami meneliti juga pada
pangkalan data nasional (seperti www.foroitaliano.it) untuk UU dan
pandangan kehakiman terkait aborsi. Guideline kementerian dicari pada
website resmi dari kementerian kesehatan Itali (www.salute.gov.it).

3. Hasil
Banyak artikel (seperti review dan laporan kasus) memuat masalah aborsi,
medis ataupun bedah; yang paling penting dilakukan analisis. Guideline
kementrian nasional yang ditemukan juga di Analisa; kami juga menemukan
guideline regional dalam jumlah kecil. Kami menuliskan pandangan yang kami
anggap paling penting dalam tulisan ini. Hanya satu regulasi hukum nasional
mengenai aborsi (UU 194/78); kami menganalisa artikel fundamental dari
hukum ini.

4. Diskusi
a. UU 194 tanggal 22 Mei 1978
Di Italia, UU 194 tanggal 22 Mei 1978 menyediakan regulasi dari
terminasi kehamilan sukarela (VTP). UU ini sebagai Regulasi pertama di
Italia yang mengatur perihal terminasi kehamilan, hukum ini mengatur
VTP untuk melindungi kesehatan wanita hamil, dikutip dari pasal 32 dari
Konstitusi Italia.
Berdasarkan keputusan hokum (no. 27 tanggal 18 februari 1975),
Pengadilan Konstitusional telah mendeklarasikan Pasal 546 yang
meniadakan perihal pemberian hukuman, mengingat tidak hanya
membahayakan kehidupan seorang ibu namun juga dampak kesehatannya
paska aborsi. Faktanya, pasal 546 memberikan hukuman kepada siapapun
yang menyebabkan “aborsi dari keinginan seorang wanita dan wanita itu
sendiri, meskipun ketika bahaya disebabkan oleh kehamilan terhadap
keseimbangan fisik dan psikologis dari seorang wanita hamil yang sudah
dipastikan, tanpa adanya kejadian dari negara yang membutuhkan
dijabarkan dalam pasal 54 terkait pemberian hukuman.”
Berdasarkan hal ini, pengadilan kasasi tinggi mengatur bahwa
pengguguran, yang dilindungi dinyatakan pada paragraph pertama dari
pasal 1 UU 194/78, di izinkan, mengingat untuk melindungi kesehatan
fisik atau mental pasien yang di utamakan (Cass. No. 6464 dari
07/08/1994; Cass. No. 12195 dari 12/01/1998).
Pembenaran dari VTP bervariasi tergantung proses dari kemajuan
perkembangan janin tergantung tenggat waktu yang ditetapkan oleh
hokum selama tiga periode: dalam 90 hari dari kehamilan, dari 90 hari
sampai saat janin telah mencapai kemungkinan kehidupan mandiri dan
setelah janin telah mencapai kondisi seperti itu.
Pasal 4 UU 194/78 mengatur prosedur VTP untuk 90 hari pertama
kehamilan, “Seorang wanita yang keadaannya sedemikian rupa sehingga
kelanjutan kehamilan, persalinan atau bersalin akan menimbulkan
bahaya serius bagi kesehatan fisik atau mentalnya, terkait kondisi
kesehatan atau ekonomi atau sosial atau keluarganya, di mana konsepsi
terjadi, atau harapan anomali atau malformasi bayi yang belum lahir,
harus mencari bantuan klinik umum atau fasilitas kesehatan sosial atau
dokter pilihannya.”
Pasal 5 dari UU 194/78 telah menetapkan proses praktik ini: atas
permintaan wanita hamil, dokter harus menentukan keadaan kehamilannya
dan, jika tidak ada keadaan darurat, berikan dokumen kepadanya yang
akan dia tandatangani, dan tanyakan dia untuk menunggu selama 7 hari.
Setelah tujuh hari, wanita tersebut dipersilahkan pergi ke salah satu
fasilitas resmi untuk melakukan aborsi. Jika terjadi keadaan darurat, dokter
akan mengeluarkan sertifikat yang memungkinkan dia untuk melakukan
aborsi tanpa harus menunggu tujuh hari.
Faktanya, dalam sembilan puluh hari pertama, kekuatan
pengambilan keputusan ada pada wanita yang meminta aborsi, meskipun,
sesuai dengan Pasal 5, hal itu adalah tugas dokternya, "terutama ketika
permintaan ... dimotivasi oleh dampak ekonomi, atau sosial, atau kondisi
keluarga pada wanita hamil, untuk diperiksa bersama dengan dia dan
ayah dari anak yang belum lahir, dengan persetujuannya ... diberikan
solusi yang mungkin ... untuk membantunya menghilangkan penyebab
yang akan menuntunnya untuk mengakhiri kehamilan ...”
Harus diberitakan bahwa bagi perempuan yang meminta aborsi
untuk memutuskan apakah akan melibatkan ayah dari jabang bayi atau
tidak, demi menjaga kesehatannya, yang merupakan hak konstitusional
yang mungkin tidak didelegasikan.
Sesuai dengan Pasal 6, setelah hari ke-90, VTP dapat terjadi: “a)
ketika kehamilan atau persalinan menimbulkan bahaya serius bagi
kehidupan wanita tersebut; b) ketika proses penyakit telah dipastikan ada,
termasuk anomali atau malformasi, yang menghadirkan bahaya besar
bagi kesehatan fisik atau mental wanita yang diharapkan.”
Setelah 90 hari kehamilan, diketahui bahwa proses patologis bayi
yang belum lahir dipastikan melalui survei medis dan tidak hanya karena
ketakutan seorang ibu yang hamil. Setelah 90 hari, keadaan konsepsi,
kondisi ekonomi atau alasan sosial atau keluarga tidak lagi menjadi kriteria
yang valid untuk meminta aborsi.
Pasal 7 menetapkan bahwa proses patologis melegalkan VTP setelah
hari ke-90 "harus dinilai oleh dokter dari layanan obstetri-ginekologi
rumah sakit tempat operasi akan dilakukan, yang akan menyatakan
kondisi yang sebenarnya. Dokter tersebut dapat memanggil bantuan
spesialis lain ... "Artikel yang sama juga menyatakan bahwa" ketika
kemungkinan kehidupan independen janin sudah ada, terminasi
kehamilan hanya dapat dilakukan dalam kasus sebagaimana dimaksud
dalam poin a) pasal 6 dan dokter yang melakukan operasi harus
mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk melindungi kehidupan
janin.”
Evaluasi klinis dari "kemungkinan kehidupan independen janin,"
yang tidak ditentukan secara kronologis oleh legislatif, oleh karena itu
tergantung pada dokter dan harus dilakukan sesuai dengan kasus
individual, dan kemajuan pengetahuan teknis dan ilmiah.
Sebagaimana dipersyaratkan oleh Pasal 12, aborsi harus diminta
secara pribadi dan eksklusif oleh wanita hamil. Hanya dua situasi yang
membutuhkan pendapat pihak ketiga: ketika dia berusia di bawah 18 tahun
(menurut ketentuan Pasal 12) atau dalam kasus pembatasan pada penyakit
mental (pasal 13). Namun, persetujuannya diperlukan dalam kedua kasus
tersebut.
Dalam kasus wanita di bawah umur yang meminta VTP dalam 90
hari pertama kehamilan, ada dua kemungkinan skenario. Jika wanita hamil
di bawah umur mengklaim alasan serius, karena orang tua atau wali tidak
dapat hadir atau dihadirkan, dokter harus menyampaikan laporan kepada
hakim yang mengawasi perwalian dalam waktu 7 hari sejak permintaan;
dalam 5 hari, setelahnya adalah menghubungi wanita tersebut dan setelah
mendengar alasannya, maka dapat disahkan aborsi dengan tindakan yang
tidak tunduk pada banding. Jika sebaliknya dia setuju untuk memanggil
orang tua atau wali, persetujuan mereka diminta. Jika mereka menentang
atau tidak setuju satu sama lain, proses yang dijelaskan sebelumnya akan
tetap dilaksanakan.
Adapun seorang wanita di bawah batasan, permintaan aborsi dapat
diajukan oleh wali atau suaminya jika dia bukan wali. Pendapat wali harus
selalu diperhitungkan.
Petugas kesehatan dapat dengan bebas memutuskan untuk
mengklaim keberatan atas hati nurani, sebagaimana dijabarkan oleh Pasal.
9 UU 194/78, di mana seorang profesional dibebaskan dari melakukan
prosedur dan kegiatan yang bertujuan untuk menyebabkan aborsi.
Penolakan hati nurani tidak dapat dilakukan dalam keadaan darurat atau
untuk kegiatan sebelum atau sesudah kegiatan yang spesifik yang
diperlukan untuk aborsi, sebagaimana juga dinyatakan dalam Cass. Pen.
no. 14979 tanggal 27/11/2012 ("termasuk sebagai kejahatan bila menolak
untuk melakukan tugas ketika dokter yang berkuasa menahan diri dari
membantu pasien VTP dalam pelaksanaan kegiatan sebelum atau sesudah
kegiatan yang spesifik atau diperlukan untuk aborsi ... sebagai untuk
terminasi kehamilan yang diinduksi oleh obat, pengadilan memutuskan
bahwa pengecualian dari penolakan atas hati nurani hanya terbatas pada
penyediaan dan administrasi obat-obatan abortifacient, tetapi tidak
meluas ke fase berikutnya”).

b. Aborsi Medis
Harap dicatat bahwa redaksi hukum tidak mengacu pada bagaimana
penghentian kehamilan harus dilakukan, apakah melalui teknik
farmakologis atau bedah. Ketika undang-undang itu diberlakukan, satu-
satunya metode aborsi yang dapat dilakukan dengan batas keselamatan
adalah melalui operasi; pada tahun-tahun itu, aborsi medis hanya diketahui
secara teoritis dan dilakukan dengan obat-obatan yang sangat beracun.
Aborsi medis menjadi populer di seluruh negeri setelah Mifepristone
(RU-486) diedarkan di pasaran oleh AIFA (Agensi Obat Italia) pada Juli
2009.
WHO menganggap aborsi medis sebagai metode yang cocok dan
aman untuk mengakhiri kehamilan sampai minggu kesembilan kehamilan;
setelah periode ini, insidensi aborsi tidak tuntas, efek samping dan
komplikasi yang terkait dengannya meningkat. Di Italia, praktik ini
dimungkinkan hingga minggu ketujuh kehamilan.
Protokol farmakologis yang paling banyak digunakan untuk aborsi
medis melibatkan asupan oral RU-486 diikuti oleh analog prostaglandin,
yang paling sering digunakan adalah Misoprostol (200 mg Mifepristone
dan 800 mikrogram Misoprostol). Obat kedua harus diminum antara 36
dan 48 jam setelah meminum Mifepristone.
Mifepristone adalah obat antagonis dari reseptor progesteron dan
glukokortikoid. Meskipun tidak sepenuhnya dipahami, mekanisme abortif
kemungkinan karena lingkungan endometrium berubah akibat
penghambatan progesteron.
Efek samping VTP medis umum adalah nyeri dan kram perut, mual,
muntah, kelelahan, sakit kepala, pusing, demam, perdarahan hebat.
Komplikasi yang paling serius dan kurang sering adalah: infeksi
Clostridium sordellii dan Clostridium perfringens, ruptur uteri, purpura
thrombocytopenic dan hipersensitivitas.
Penggunaan RU-486 merupakan kontraindikasi dalam kasus dugaan
kehamilan ektopik, ketika IUD masih terpasang, anemia berat, alergi,
porfiria herediter, koagulopati atau perawatan berkelanjutan dengan
antikoagulan, pengobatan dengan kortikosteroid jangka panjang dan
insufisiensi adrenal kronis.
Sebagai abortifacient, kemanjuran aborsi farmakologis didefinisikan
sebagai pengusiran lengkap dari hasil konsepsi tanpa perlu melakukan
prosedur bedah. Efektivitas metode ini menunjukkan variabilitas yang
cukup besar: 92-98% dalam 49 hari kehamilan menurut penelitian, yang
menurun masing-masing menjadi 83% dan 77% pada usia kehamilan 56
dan 63 hari.
c. Masalah Medikolegal
Dari sudut pandang medikolegal, masalah yang berkaitan dengan
aborsi dengan metode farmakologi terdiri dalam memverifikasi
kompatibilitas dan konsistensi dengan prinsip-prinsip keselamatan dan
parameter yang dikenakan oleh UU no. 194 tahun 1978, menggunakan
Misoprostol yang tidak diberi label, perawatan rawat inap apa yang harus
digunakan dan informed consent.
Legitimasi teknik aborsi medis benar-benar tidak terbantahkan; UU
194/78 adalah satu-satunya hukum yang mengatur aborsi, dan itu tidak
menempatkan kewajiban apa pun pada metode yang akan diterapkan.
Memang, Pasal 15 dari UU ini mempersilahkan pencarian untuk teknik
yang lebih modern untuk mendapatkan VTP yang akan mengutamakan
integritas mental dan fisik pasien. Dibandingkan dengan metode bedah,
aborsi medis dapat dianggap lebih memperhatikan integritas fisik.
Adapun Misoprostol, penggunaannya dalam praktek aborsi medis
adalah off-label sampai April 2014. Misoprostol adalah analog
prostaglandin E1 sintetis yang dimulai sebagai obat untuk pengobatan
ulkus lambung. Dalam praktek VTP medis, obat ini digunakan dengan
indikasi off-label, seperti yang awalnya ditunjukkan sebagai "anti-ulkus,
anti-asam lambung." Pada bulan April 2014, AIFA menerbitkan
pernyataan dalam Lembaran Berita no. 83 tanggal 9 April 2014
mengesahkan Misoone untuk pasar, obat yang mengandung bahan aktif
Misoprostol, diindikasikan khusus "untuk penghentian medis kehamilan
intrauterus, setelah penggunaan Mifepristone, untuk dilaksanakan sampai
hari ke-49 masa amenore."
Mengenai peraturan aborsi medis, Kementerian Kesehatan
menerbitkan “Pedoman penghentian kehamilan secara sukarela dengan
Mifepristone dan Prostaglandin” pada 24 Juni 2010, ditetapkan kriteria
klinis dan nonklinis, “kriteria masuk pasien untuk perawatan
berdasarkan: - Kehamilan intra uterine dengan amenore selama 49 hari /
usia kehamilan USG 35 hari - dokumen / sertifikat permintaan VTP -
Sepatutnya dilengkapi dan menandatangani informed consent - Kesediaan
untuk dirawat di rumah sakit sampai selesainya prosedur - Kesediaan
untuk menjalani pemantauan jarak jauh, dalam waktu 14-21 hari setelah
keluar ...
Berikut ini harus dipertimbangkan: Kriteria klinis: a) petunjuk
khusus yang mungkin: - Takut akan operasi - Alergi terhadap anestesi -
Kesulitan anatomi dalam mengakses rongga uterus b) tidak adanya
kontraindikasi, seperti: - Kehamilan ektopik yang dicurigai atau massa
adneksa yang belum pernah didiagnosis sebelumnya (fibroid uterus
simptomatik); - terpasang IUD - Anemia berat (Hb <7g / dl) - Alergi
terhadap salah satu obat - Porfiria herediter - koagulopati atau
pengobatan berkelanjutan dengan antikoagulan - Pengobatan
berkelanjutan dengan kortikosteroid atau insufisiensi adrenal - Penyakit
sistemik serius lainnya (evaluasi harus dilakukan oleh dokter yang
bertanggung jawab, misalnya, penyakit hati berat, ginjal atau pernafasan,
hipertensi yang tidak terkontrol, penyakit kardiovaskular (angina,
penyakit katup, aritmia, insufisiensi jantung) kejang yang tidak terkendali,
hiperpireksia akibat penyebab yang tidak diketahui, diabetes yang rumit,
defisiensi imun (seperti AIDS) kelainan usus saat ini. gangguan, dll.) -
Menyusui - Kejang, penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular.
Kriteria nonklinis: mengingat fakta bahwa prosedur sebagian
dikelola sendiri oleh pasien, harus dipastikan pertama-tama bahwa dia
telah memahami langkah-langkah yang harus diambil dan kemungkinan
bahwa dia akan menyelesaikannya secara penuh (misalnya, pasien yang
sangat cemas, memiliki ambang toleransi rendah terhadap rasa sakit,
memiliki kondisi kehidupan rumah tangga yang terlalu genting atau tidak
dapat segera mencapai Ruang Gawat Darurat Obstetri-Ginekologi harus
secara hati-hati dievaluasi untuk pengecualian). - Berdasarkan hal di
atas, harus dipastikan bahwa wanita asing memahami prosedur dan
gejala yang seharusnya mereka tentukan sendiri (intensitas rasa sakit,
pendarahan, dll.). - Aborsi medis tidak dianjurkan untuk anak di bawah
umur, dan karena itu anak di bawah umur tanpa persetujuan orang tua
harus dikeluarkan dari prosedur ini, karena menyelesaikan program
terapeutik dalam situasi ini diperkirakan akan sulit ... “
Publikasi Panduan Menteri ini telah melahirkan beberapa diskusi di
tingkat nasional, baik di bidang politik dan kesehatan. Ketidaksepakatan
utama melibatkan pedoman yang mengharuskan perawatan rawat inap
untuk menjalani aborsi medis.
Dalam hal perawatan kesehatan, kekuatan legislatif daerah Italia
berbarengan dengan pemerintah; Oleh karena itu, pemerintah menetapkan
prinsip-prinsip dasar yang harus diikuti oleh Daerah, tetapi Wilayah dapat
mengatur dirinya sendiri (misalnya, dengan menerbitkan Pedoman) sambil
menghormati Konstitusi, batasan Uni Eropa dan kewajiban internasional.
Oleh karena itu, dalam kasus khusus ini, berdasarkan interpretasi UU
194/78 dan nilai pedoman menteri yang diakui, masing-masing Daerah
telah menetapkan secara independen apakah akan melakukan aborsi medis
sebagai perawatan rawat inap atau perawatan diluar rumah sakit. Beberapa
Daerah telah memutuskan untuk mengikuti pedoman menteri yang
membutuhkan rawat inap selama tiga hari (Hari pertama: menandatangani
informed consent dan mengambil RU-486, Hari kedua: pemantauan klinis,
Hari ketiga: mengambil Misoprostol dan pemantauan sampai hasil
konsepsi dikeluarkan) dengan tindak lanjut setelah 14-21 hari.
Daerah lain telah memilih untuk membiarkan pasien memilih antara
perawatan rawat jalan dengan rawat inap berkelanjutan selama tiga hari
atau alternatif rumah sakit lainnya.
Di Eropa dan AS, Misoprostol diberikan dalam pengaturan rumah
sakit sehari; beberapa penelitian menyarankan untuk menggunakannya
secara mandiri di rumah.
Mengenai kriteria nonklinis menteri, beberapa ketidakkonsistenan
dapat diamati: pertama, prosedur "dikelola sendiri" oleh pasien
disebutkan, tetapi tidak jelas apa yang dapat terjadi ketika Kementerian
menginstruksikan bahwa aborsi medis dilakukan hanya dengan rawat inap
selama tiga hari. Selain itu, kriteria eksklusi tercantum yang mungkin
tampak sulit bagi dokter untuk mengevaluasi dan yang nilainya
dipertanyakan, seperti misalnya, tingkat kecemasan pasien, ambang rasa
sakit rendah, kondisi kehidupan rumah yang terlalu genting atau
ketidakmampuan untuk segera mencapai ruang gawat darurat. Akhirnya,
prosedur aborsi medis tidak dianjurkan untuk anak di bawah umur yang
memintanya tanpa persetujuan orang tua mereka, jelas bertentangan
dengan ketentuan Pasal 12 UU 194/78.
Masalah medikolegal penting lainnya adalah kumpulan penyedia
kesehatan dari informed consent yang valid dari pasien sebelum menuju
ke VTP, baik medis atau bedah. Dalam hal ini, pedoman VTP medis
menteri sejak Juni 2010 menunjukkan beberapa hal yang harus
dipertimbangkan ketika mengumpulkan persetujuan; Selain kebutuhan
untuk perawatan rawat inap dan kemungkinan komplikasi yang berasal
dari proses ini, pedoman menentukan bahwa pasien harus diberikan
informasi yang komprehensif tentang teknik aborsi yang berbeda yang
tersedia untuknya, khususnya mengacu pada teknik bedah. Oleh karena
itu, Kementerian merekomendasikan bahwa informasi diberikan tentang
fakta bahwa aborsi bedah "membutuhkan waktu tinggal di rumah sakit
yang singkat, biasanya 4-8 jam."
Panduan regional harus mencantumkan secara skematis fitur utama
teknik bedah dan aborsi medis, sehingga pasien dapat membuat pilihan
berdasarkan informasi mengenai teknik mana yang harus dia pilih.

d. Informed Consent untuk Aborsi Medis atau Bedah


Untuk pembedahan, adalah tepat untuk menentukan bahwa biasanya
membutuhkan waktu yang singkat dan dilakukan pada tanggal tertentu,
jarang sebelum minggu ke-7 kehamilan, sehingga memungkinkan lebih
banyak waktu bagi pasien untuk berefleksi; perdarahan tidak berlangsung
lama dan sakit yang jarang terjadi. Komplikasi yang harus diungkapkan
meliputi: kemungkinan infeksi, abortus tidak lengkap, perforasi uterus,
kemungkinan kerusakan uterus paska bedah. Adapun aborsi medis, harus
ditentukan bahwa itu membutuhkan beberapa hari dan dilakukan
selambat-lambatnya hari ke-49 kehamilan, itu tidak memerlukan anestesi
dan perdarahan berlangsung lebih lama daripada dengan perawatan bedah
dengan lebih sering sakit perut. Komplikasi yang harus diungkapkan
adalah yang sudah disebutkan sebelumnya.
Informed consent bersifat sangat penting, karena memungkinkan
pasien untuk memutuskan secara sadar dan dengan validitas prosedur
aborsi mana yang diminta, dan itu harus mencakup percakapan antara
dokter dan pasien, serta penyediaan materi informasi tertulis yang dapat
dikonsultasikan dengan hati-hati oleh pasien. Tugas dokter bukan untuk
menyarankan teknik di atas yang lain, kecuali ada kontraindikasi khusus
untuk penggunaan teknik, tetapi untuk memberikan pasien dengan
informasi yang komprehensif dan jelas tentang bagaimana prosedur akan
dilakukan, komplikasi dan periode waktu yang diperlukan untuk kedua
prosedur.

5. Kesimpulan
Redaksi UU 194/78 tidak mengacu pada bagaimana penghentian kehamilan
harus dilakukan, apakah melalui teknik farmakologis atau bedah. Ketika
undang-undang itu diberlakukan, satu-satunya metode aborsi yang dapat
dilakukan dengan batas keselamatan adalah melalui operasi. WHO
menganggap aborsi medis sebagai metode yang cocok dan aman untuk
mengakhiri kehamilan sampai minggu kesembilan kehamilan. Di Italia, praktik
ini dimungkinkan hingga minggu ketujuh kehamilan. Tugas dokter bukan
untuk menyarankan teknik di atas yang lain, kecuali ada kontraindikasi khusus
untuk penggunaan teknik, tetapi untuk memberikan pasien dengan informasi
yang komprehensif dan jelas tentang bagaimana prosedur akan dilakukan,
komplikasi dan periode waktu yang diperlukan untuk kedua prosedur.

You might also like