Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 46

PRESENTASI KASUS

SIROSIS HEPATIS ET CAUSA HEPATITIS B

Diajukan kepada :
dr. Tiara Paramita, Sp.PD

Disusun oleh :
Astri Nur Yulianti G4A016132
Desty Ari Sandi G4A016022
Dzaky Lukmanul Hakim G4A017051
Riyanda Rama Putri G4A016027

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2018
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
SIROSIS HEPATIS ET CAUSA HEPATITIS B

Disusun oleh :
Astri Nur Yulianti G4A016132
Desty Ari Sandi G4A016022
Dzaky Lukmanul Hakim G4A017051
Riyanda Rama Putri G4A016027

Telah dipresentasikan pada


Tanggal, April 2018

Pembimbing,

dr. Tiara Paramita, Sp.PD


BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. W
Umur : 37 tahun
Jenis Kelamin : perempuan
Alamat : Kluwut RT 001/007 Bulakamba, Brebes–Jawa
Tengah
Tanggal Masuk IGD : 10 April 2018
Tanggal Pemeriksaan : 11 April 2018

B. ANAMNESA
1. Keluhan Utama : Perut membesar
2. Onset : 2 minggu yang lalu
3. Keluhan Tambahan: Mual, badan terasa lemas, nyeri ulu hati, kepala
pusing
4. Riwayat penyakit sekarang:

Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Margono dengan keluhan


perut membesar sejak 2 minggu yang lalu. Sebelumnya pasien sempat
di rawat di RS Harapan Anda dengan keluhan BAB hitam dan muntah
darah sejak 1 bulan yang lalu. Pasien mengatakan 1 tahun yang lalu
pernah mengalami muntah darah dan BAB hitam. Pasien mengatakan
ketika 1 tahun yang lalu, BAB dengan konsistensi keras dan berwarna
kehitaman dan muntah darah yang keluar berwarna merah gelap dan
bercampur sedikit makanan.
Pasien juga mengeluhkan kepala pusing, sering mual terutama
saat makan, nafsu makan menurun, badan terasa lemas, sulit ketika
berjalan, nafas dirasa kurang plong dan sulit tidur. Keluhan lain seperti
badan berwarna kuning dan nyeri ulu hati diakui. Keluhan ini membuat
pasien kurang bertenaga saat beraktivitas. Keluhan BAB hitam dan
muntah darah saat di RS margono saat ini di sangkal. Pasien
mengatakan BAB saat ini sudah berwarna kecoklatan. Pasien sering
membeli obat di warung ketika pasien merasa tidak enak badan.
Kebiasaan pasien membeli obat dari warung ini sudah berlangsung
sejak lama.
5. Riwayat Penyakit Dahulu :
a. Riwayat keluhan serupa : diakui, 1 tahun yang lalu
b. Riwayat mondok : disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : disangkal
d. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
e. Riwayat hipertensi : disangkal
f. Riwayat diabetes melitus : disangkal
g. Riwayat asma : disangkal
h. Riwayat alergi : disangkal
6. Riwayat penyakit Keluarga :
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat mondok : disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : disangkal
d. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
e. Riwayat hipertensi : disangkal
f. Riwayat diabetes mellitus : disangkal
g. Riwayat asma : disangkal
h. Riwayat alergi : disangkal
7. Riwayat Sosial Ekonomi
a. Community
Pasien tinggal bersama suami dan anaknya di lingkungan
padat penduduk. Rumah satu dengan yang lain berdekatan.
Hubungan antara pasien dengan tetangga dan keluarga dekat baik.
Di lingkungan rumah pasien tidak ada yang memiliki keluhan
serupa.
b. Occupational
Pekerjaan pasien adalah seorang ibu rumah tangga.
Pembiayaan rumah sakit pasien menggunakan BPJS. Pembiayaan
kebutuhan sehari-hari dibiayai oleh suami pasien.
c. Personal Habit
Pasien mengaku makan sehari 3 kali sehari dengan nasi dan
lauk pauk seadanya. Pasien mengaku tidak pernah mengkonsumsi
alkohol dan obat-obatan terlarang. Pasien sering membeli gorengan
di pinggir jalan.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan di bangsal Dahlia

1. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Sedang
b. Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4M6V5 (15)
c. BB : 58 kg
d. TB : 153 cm
e. Vital sign
- Tekanan Darah : 90/60 mmHg
- Nadi : 82x/menit
- RR : 20x/menit
- Suhu : 36.7oC
f. Status Generalis
1) Kepala
- Bentuk : mesochepal, simetris, venektasi temporal (-),
edema wajah (-)
- Rambut : warna hitam, tidak mudah dicabut, distribusi
merata, tidak rontok
2) Mata
- Palpebra : edema (-/-) ptosis (-/-)
- Konjungtiva : anemis (+/+)
- Sclera : ikterik (+/+)
- Pupil : reflek cahaya (+/+) normal, isokor ø3 mm

3) Telinga
- Otore (-/-) - nyeri tekan (-/-)
- Deformitas (-/-) - discharge (-/-)
4) Hidung
- Nafas cuping hidung (-/-) - discharge (-/-)
- Deformitas (-/-) - rinorhea (-/-)
5) Mulut
- Bibir sianosis (-)
- Bibir kering (-)
- Lidah kotor (-)

- Trakhea : deviasi trakhea (-/-)


- Kelenjar lymphoid : tidak membesar, nyeri (-)
- Kelenjar thyroid : tidak membesar
- JVP : nampak, 5+2 cm H2O
6) Dada
a) Paru
- Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-),
Jejas (-)
Retraksi suprasternalis (-)
Retraksi intercostalis (-)
Retraksi epigastrik (-)
- Palpasi : vocal fremitus kanan = kiri
Ketinggalan gerak (-)
- Perkusi : sonor pada lapang paru kiri dan kanan
Batas paru – hepar di SIC V LMCD
- Auskultasi: suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-)
Ronki basah kasar (-/-), ronki basah halus
(-/-)
b) Jantung
- Inspeksi : ictus cordis nampak pada SIC V LMCS
- Palpasi : ictus cordis teraba SIC V LMCS, kuat angkat
(-)
- Perkusi: Batas jantung kanan atas : SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas : SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah :SIC IV LPSD
Batas jantung kiri bawah : SIC V LMCS
- Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallop (-)

7) Abdomen
- Inspeksi : Cembung, caput medusa (-)
- Auskultasi : bising usus (+) 2-5 detik
- Perkusi : timpani, pekak sisi (+), pekak alih
(+),shifting dullness (+)
- Palpasi : supel, nyeri tekan (+) epigastrium, undulasi
(+)
- Hepar : Sulit di nilai
- Lien : tidak teraba
8) Ekstrimitas
Superior : deformitas (-), edema (-/-), sianosis (-/-)
Inferior : deformitas (-), edema (-/-), sianosis (-/-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium

Tanggal 11April 2018


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilairujukan
Darah Lengkap
Hb L 5.5 gr/dL 11.2 - 17.3
Leukosit H 15240 /ul 3800 – 10600
Hematokrit L 17 % 40 -52
Eritrosit L 2.2 106/ul 4.4 - 5.9
Trombosit L 146.000 /ul 150.000 - 440.000
MCV 80.9 fL 80 – 100
MCH L 25.6 Pg 26 – 34
MCHC L 31.6 % 32 – 36
RDW H 17.2 % 11.5 - 14.5
MPV 9.6 fL 9.4 - 12.4
Hitung Jenis
Basofil 0.2 % 0–1
Eosinofil H 12.9 % 2–4
Batang H 9.3 % 3–5
Segmen 50.8 % 50 – 70
Limfosit L 17.2 % 25 – 40
Monosit H 9.6 % 2–8
Kimia klinik
Total L 4.55 g/dL 6.40 – 8.20
Protein
Albumin L 1.67 g/dL 3.40 – 5.00
Globulin 2.88 g/dL 2.70 – 3.20
SGOT H 39 U/L 15 – 37
SGPT 37 U/L 14 – 59
GDS 97 mg/dL ≤ 200
Elektrolit
Natrium L 133 mmol/L 134 – 146
Klorida 102 mmol/L 96 -108
Kalium 4.4 mmol/L 3.4 - 4.5
Ureum 31.3 mg/dL 14.98 – 38.52
Kreatinin H 1.03 mmol/L 0.55 – 1.02
HBsAG Reaktif Non reaktif

Tanggal 13 April 2018


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilairujukan
Darah Lengkap
Hb L 7.0 gr/dL 11.2 - 17.3
Leukosit H 19980 /ul 3800 – 10600
Hematokrit L 21 % 40 -52
Eritrosit L 2.5 106/ul 4.4 - 5.9
Trombosit L 145.000 /ul 150.000 - 440.000
MCV 85.4 fL 80 – 100
MCH 28.6 Pg 26 – 34
MCHC 33.3 % 32 – 36
RDW H 17.1 % 11.5 - 14.5
MPV 10.6 fL 9.4 - 12.4
Hitung Jenis
Basofil 0.3 % 0–1
Eosinofil 3.7 % 2–4
Batang L 0.0 % 3–5
Segmen 65.0 % 50 – 70
Limfosit L 12.2 % 25 – 40
Monosit H 18.8 % 2–8
Kimia klinik
Total L 4.68 g/dL 6.40 – 8.20
Protein
Albumin L 1.75 g/dL 3.40 – 5.00
Globulin 2.93 g/dL 2.70 – 3.20

USG Abdomen (21/4/2017)


Kesan:
- Chronic liver disease
- Ascites
- Cholecystitis

E. Dasar Diagnosis
- Anamnesis: Perut membesar, mual, muntah, badan lemas, nyeri ulu hati,
kepala pusing, riwayat BAB berwarna hitam dan muntah darah, dan
riwayat keluhan yang serupa 1 tahun yang lalu.
- Pemeriksaan Fisik:
Mata : Sclera ikterik (+/+), Konjungiva anemis (+/+)
Abdomen:
Perkusi : timpani, pekak sisi (+), pekak alih (+), shifting
dullness (+)
Palpasi : supel, nyeri tekan (+) epigastrium, undulasi (+).
- Pemeriksaan Penunjang
Hb 7,0 L
Leukosit 19980 H
Albumin 1,75 L
HbsAg Reaktif

Skor Child pugh :


o Albumin < 3,0 (skor 3)
o Ascites (skor 3)
o Ensefalopati (skor 1)

Total skor 5-6 Kelas A


Total skor 7-9 Kelas B
Total skor 10-15 Kelas C
Pada pasien skor total 7 = Child Pugh kelas B

F. Diagnosis
- Sirosis hepatis Child Pugh Score B
- Ascites
- Hepatitis B
- Anemia Mikrositik hipokromik

G. Penatalaksanaan
Farmakologi :
1. Terapi
a. Farmakologi
1) Inf D5% 10 tpm
2) Inj. Cefotaxime 2x1gr IV
3) Inj Asam Tranexamat 3x500mg
4) Inj Omeprazol 1 Amp/8 jam
5) Drip adona 1 Amp/8jam
6) PO Sucralfat syr 3x1C
7) PO Spironolacton 25 mg 1-0-0
8) PO Lactulac syr 3x1C
9) Transsfusi albumin 20% 100cc
10) Transfusi PRC 2 kolf
b. Non Farmakologi
1) Tirah baring
2) Diet cair
Diet Protein 1,2 gr/kgBB dan kalori 35-40 kal/kgBB
3) Memberi edukasi pada keluarga untuk ikut mendukung pasien
agar teratur minum obat karena pengobatan jangka panjang.
4) Pencegahan penularan pada anggota keluarga dengan modifikasi
pola hidup untuk pencegahan transmisi dan imunisasi.
2. Monitoring
a. Keadaan umum dan kesadaran
b. Tanda vital
c. Evaluasi klinis
- Pasien dievaluasi setiap hari, meliputi keluhan, berat badan,
pemeriksaan fisik, dan hasil laboratorium.
3. Prognosis
Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. 1. Anatomi Hepar
Hepar terbagi menjadi lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan
oleh ligamentum falciforme, di inferior oleh fissure dinamakan dengan
ligamentum teres dan di posterior oleh fissure dinamakan dengan
ligamentum venosum. Lobus kanan hepar enam kali lebih besar dari lobus
kirinya dan mempunyai 3 bagian utama yaitu : lobus kanan atas, lobus
caudatus dan lobus quadrates. Hepar dikelilingi oleh kapsula fibrosa yang
dinamakan kapsul glisson dan dibungkus peritorium pada sebagian besar
keseluruhan permukaannnya. Hepar disuplai oleh dua pembuluh darah
yaitu Vena porta hepatica yang berasal dari lambung dan usus, yang kaya
akan nutrien seperti asam amino, monosakarida, vitamin yang larut dalam
air, dan mineral dan Arteri hepatica cabang dari arteri iliaca yang kaya
akan oksigen (Setiawan & Purnomo, 2007).

Gambar 1.Anatomi hepar

1. Fungsi Hepar

Hepar selain salah satu organ ditubuh terbesar juga mempunyai


fungsi yang terbanyak. Fungsi dari hepar dapat dilihat sebagai organ
keseluruhannya dan dapat dilihat dari sel-sel dalam hepar (Setiawan &
Purnomo, 2007).
Fungsi hepar sebagai organ keseluruhannya diantaranya ialah
(Setiawan & Purnomo, 2007):
1. Ikut mengatur keseimbangan cairan dan elekterolit, karena semua
cairan dan garam akan melewati hepar sebelum ke jaringan
ekstraseluler lainnya.
2. Hepar bersifat sebagai spons akan ikut mengatur volume darah,
misalnya pada dekompensasio kordis kanan maka hepar akan
membesar.
3. Sebagai alat saringan (filter) Semua makanan dan berbagai macam
substansia yang telah diserap oleh intestine akan dialirkan ke organ
melalui sistema portal.

Fungsi dari sel-serl hepar dapat dibagi (Setiawan & Purnomo, 2007).
1. Fungsi Sel Epitel di antaranya ialah:
a. Pusat metabolisme di antaranya metabolisme hidrat, arang,
protein, lemak, empedu, Proses metabolisme akan diuraikan
sendiri
b. Alat penyimpan vitamin dan bahan makanan hasil
metabolisme. Hepar menyimpan makanan tersebut tidak
hanya untuk kepentingannnya sendiri tetapi untuk organ
lainya juga.
c. Alat sekresi untuk keperluan badan kita: diantaranya akan
mengeluarkan glukosa, protein, factor koagulasi, enzim,
empedu.
d. Proses detoksifikasi, dimana berbagai macam toksik baik
eksogen maupun endogen yang masuk ke badan akan
mengalami detoksifikasi dengan cara oksidasi, reduksi,
hidrolisa atau konjugasi.

2. Fungsi sel kupfer sebagai sel endotel mempunyai fungsi sebagai


systemretikulo endothelial.
a. Sel akan menguraikan Hb menjadi bilirubin
b. Membentuk a-globulin dan immune bodies
c. Alat fagositosis terhadap bakteri dan elemen puskuler atau
makromolekuler.
2. Definisi Sirosis Hepar
Sirosis hepar adalah penyakit hepar menahun yang difus ditandai
dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya
dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hepar yang luas,
pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur
hepar akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi
tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut. Telah
diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium terakhir dari penyakit
hepar kronis dan terjadinya pengerasan dari hepar yang akan
menyebabkan penurunan fungsi hepar dan bentuk hepar yang normal akan
berubah disertai terjadinya penekanan pada pembuluh darah dan
terganggunya aliran darah vena porta yang akhirnya menyebabkan
hipertensi portal. Pada sirosis dini biasanya hepar membesar, teraba
kenyal, tepi tumpul, dan terasa nyeri bila ditekan (Setiawan & Purnomo,
2007).

3. Epidemiologi
Insiden sirosis hepatis di Amerika diperkirakan 360 per 100.000
penduduk. Penyebabnya sebagian besar akibat penyakit hepar alkoholik
maupun infeksi virus kronik. Data di Indonesia, RS Sardjito Yogyakarta
jumlah pasien dengan sirosis hepar berkisar 4,1% dari pasien yang dirawat
di Bagian ilmu penyakit dalam dalam kurun waktu tahun 2004. Di Medan,
dalam kurun waktu 4 tahun di jumpai pasien sirosis hepatis sebanyak 819
(4%) dari seluruh pasien di Bagian Ilmu Penyakit Dalam (David, 2012).
Case Fatality Rate (CSDR) Sirosis hepar laki-laki di Amerika
Serikat tahun 2001 sebesar13,2 per 100.000 dan wanita sebesar 6,2 per
100.000 penduduk. Di Indonesia, kasus ini lebih banyak ditemukan pada
kaum laki-laki dibandingkan kaum wanita. Dari yang berasal dari
beberapa rumah sakit di kita-kota besar di Indonesia memperlihatkan
bahwa penderita pria lebih banyak dari wanita dengan perbandingan antara
1,5 sampai 2 : 1. Hasil penelitian Suyono dkk tahun 2006 di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta menunjukkan pasien sirosis hepar laki-laki (71%)
lebih banyak dari wanita (29%) dengan kelompok umur 51-60 tahun
merupakan kelompok umur yang terbanyak. Ndraha melaporkan selama
Januari –Maret 2009 di Rumah Sakit Koja Jakarta dari 38 penderita sirosis
hepar, 63,7% laki-laki dan 36,7 % wanita, terbanyak (55,3%) adalah
kelompok umur 40-60 tahun (David, 2012).

4. Klasifikasi Sirosis Hati


Secara klinis sirosis hati dibagi menjadi:
a. Sirosis hati kompensata, yang berarti belum adanya gejala klinis yang
nyata
b. Sirosis hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinik
yang jelas. Sirosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari proses
hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaanya secara
klinis, hanya dapat dibedakan melalui biopsi hati (Caroline, 2011).

Secara morfologi Sherrlock membagi Sirosis hati bedasarkan besar


kecilnya
nodul, yaitu:
a. Makronoduler (Ireguler, multilobuler)
b. Mikronoduler (reguler, monolobuler)
c. Kombinasi antara bentuk makronoduler dan mikronoduler (Caroline,
2011).

Menurut Gall seorang ahli penyakit hati, membagi penyakit sirosis hati
atas:
a. Sirosis Postnekrotik, atau sesuai dengan bentuk sirosis makronoduler
atau sirosis toksik atau subcute yellow, atrophy cirrhosis yang
terbentuk karena banyak terjadi jaringan nekrose.
b. Nutrisional cirrhosis , atau sesuai dengan bentuk sirosis mikronoduler,
sirosis alkoholik, Laennec´s cirrhosis atau fatty cirrhosis. Sirosis
terjadi sebagai akibat kekurangan gizi, terutama faktor lipotropik.
c. Sirosis Post hepatic, sirosis yang terbentuk sebagai akibat setelah
menderita hepatitis (Caroline, 2011):

Shiff dan Tumen secara morfologi membagi atas:


a. Sirosis portal adalah sinonim dengan fatty, nutrional atau sirosis
alkoholik.
b. Sirosis postnekrotik
c. Sirosis biliaris (Caroline, 2011):

5. Faktor Risiko
Penyebab pasti dari sirosis hati sampai sekarang belum jelas, tetapi
sering disebutkan antara lain:
a. Faktor Kekurangan Nutrisi
Menurut Spellberg, Shiff (2010) bahwa di negara Asia faktor
gangguan nutrisi memegang penting untuk timbulnya sirosis hati. Dari
hasil laporan Hadi di dalam simposium Patogenesis sirosis hati di
Yogyakarta tanggal 22 Nopember 2010, ternyata dari hasil penelitian
makanan terdapat 81,4 % penderita kekurangan protein hewani dan
ditemukan 85 % penderita sirosis hati yang berpenghasilan rendah,
yang digolongkan ini ialah: pegawai rendah, kuli-kuli, petani, buruh
kasar, mereka yang tidak bekerja, pensiunan pegawai rendah
menengah (Setiawan dan Purnomo, 2007).
b. Hepatitis Virus
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu
penyebab sirosis hati, apalagi setelah penemuan Australian Antigen
oleh Blumberg pada tahun 2011 dalam darah penderita dengan
penyakit hati kronis, maka diduga mempunyai peranan yang besar
untuk terjadinya nekrosa sel hati sehingga terjadi sirosis. Secara klinik
telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak mempunyai
kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi gejala sisa serta
menunjukan perjalanan yang kronis, bila dibandingkan dengan
hepatitis virus A. Dari data yang ada di Indonesia Virus Hepatitis B
menyebabkan sirosis 40-50% kasus, sedangkan hepatitis C dalam 30-
40 % . sejumlah 10-20% penyebabnya tidak diketahui dan termasuk
disini kelompok virus yang bukan B atau C (Setiawan dan Purnomo,
2007).
c. Zat Hepatotoksik
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan pada sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati akut
akan berakibat nekrosis atau degenerasi lemak, sedangkan kerusakan
kronis akan berupa sirosis hati. Zat hepatotoksik yang sering disebut-
sebut ialah alcohol (Setiawan dan Purnomo, 2007).
d. Penyakit Wilson
Suatu penyakit yang jarang ditemukan biasanya terdapat pada
orangorang muda dengan ditandai sirosis hati, degenerasi basal ganglia
dari otak, dan terdapatnya cincin pada kornea yang berwarna coklat
kehijauan disebut Kayser Fleischer Ring. Penyakit ini diduga
disebabkan defesiensi bawaan dari seruloplasmin. Penyebabnya belum
diketahui dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan
penimbunan tembaga dalam jaringan hati (David, 2012)
e. Hemokromatosis
Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua kemungkinan
timbulnya hemokromatosis, yaitu:
1) Sejak dilahirkan si penderita menghalami kenaikan absorpsi dari
Fe.
2) Kemungkinan didapat setelah lahir (acquisita), misalnya dijumpai
pada penderita dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya
absorpsi dari Fe, kemungkinan menyebabkan timbulnya sirosis hati
(David, 2012)
f. Sebab-Sebab Lain
1) Kelemahan jantung yang lama dapat menyebabkan timbulnya
sirosis kardiak. Perubahan fibrotik dalam hati terjadi sekunder
terhadap reaksi dan nekrosis sentrilobuler
2) Sebagai saluran empedu akibat obstruksi yang lama pada saluran
empedu akan dapat menimbulkan sirosis biliaris primer. Penyakit
ini lebih banyak dijumpai pada kaum wanita.
3) Penyebab sirosis hati yang tidak diketahui dan digolongkan dalam
sirosis kriptogenik (Caroline, 2011).
6. Patogenesis

Mekanisme terjadinya fibrosis pada penyakit sirosis sepenuhnya


belum diketahui, nekrosis yang terjadi pada sel hati yang meliputi daerah
yang luas akan menyebabkan kolaps pada daerah tersebut sehingga
memicu timbulnya pembentukkan kolagen. Tingkat awal yang terbentuk
adalah septa pasif yang dibentuk oleh jaringan retikuler penyangga yang
dibentuk oleh jaringan retikuler kemudian berubah menjadi jaringan parut.
Jaringan parut yang demukian dapat menghubungkan daerah porta yang
satu dengan daerah porta yang lain atau antara porta dan sentral (Don,
2006).
Pada tahap selanjutnya kerusakan parenkim dan peradangan yang
terjadi sel duktulus, sinusoif dan sel-sel retikuloendotelial di dalam hati
akan memacu terjadinya fibrogenesis yang akan menimbulkan septa yang
aktif. Sel limfosit T dan makrofag juga berperan dalam sekresi limfokin
dan monokin yang dianggap sebagai mediator fibrogenesis. Mediator ini
dibentuk tanpa adanya nekrosis dan inflamasi aktif. Septa akan menjalar
menuju ke dalam paremkim hati yang berawal dari daerah porta.
Pembentukkan septa tingkat kedua ini yang menentukan perjalanan
progresif sirosis hati. Pada tingkat yang bersamaan nekrosis parenkim
akan memacu proses regenerasi sel-sel hati. Regenerasi yang timbul akan
menyebabkan ganguan pembentukan susunan jaringan ikat. Keadaan
regenerasi dan fibrogenesis yang terus berlanjut mengakibatkan perubahan
pada vascular dan kemampuan faal hati dan akhirnya terjadi fibrosis
hepatis (Don, 2006).
Patogenesis sirosis hepatis menurut penelitian memperlihatkan
adanya peranan sel stelata. Dalam keadaan normal sel stelata mempunyai
peran dalam keseimbangan pembentukan matriks ekstraseluler dan proses
degradasi. Pembentukan fibrosis menunjukkan perubahan proses
keseimbangan. Jika terpapar faktor tertentu yang berlangsung terus
menerus seperti hepatitis virus, bahan hepatotoksik dll, maka sel stelata
akan membentuk sel kolagen. Jika proses ini berjalan terus makan fibrosis
akan terus terbentuk di dalam sel stelata, dan jaringan hati yang normal
diganti oleh jaringan ikat (Don, 2006).
Pada tahap selanjutnya kerusakan parenkim dan peradangan yang
terjadi sel duktulus, sinusoif dan sel-sel retikuloendotelial di dalam hati
akan memacu terjadinya fibrogenesis yang akan menimbulkan septa yang
aktif. Sel limfosit T dan makrofag juga berperan dalam sekresi limfokin
dan monokin yang dianggap sebagai mediator fibrogenesis. Mediator ini
dibentuk tanpa adanya nekrosis dan inflamasi aktif. Septa akan menjalar
menuju ke dalam paremkim hati yang berawal dari daerah porta.
Pembentukkan septa tingkat kedua ini yang menentukan perjalanan
progresif sirosis hati. Pada tingkat yang bersamaan nekrosis parenkim
akan memacu proses regenerasi sel-sel hati. Regenerasi yang timbul akan
menyebabkan ganguan pembentukan susunan jaringan ikat. Keadaan
regenerasi dan fibrogenesis yang terus berlanjut mengakibatkan perubahan
pada vascular dan kemampuan faal hati dan akhirnya terjadi fibrosis
hepatis (Don, 2006).

7. Gejala dan Tanda Klinis Sirosis Hati


a. Gejala

Gejala sirosis hati mirip dengan hepatitis, karena terjadi sama-


sama di liver yang mulai rusak fungsinya, yaitu kelelahan, hilang
nafsu makan, mual-mual, badan lemah, kehilangan berat badan, nyeri
lambung dan munculnya jaringan darah mirip laba-laba di kulit
(spider angiomas). Pada sirosis terjadi kerusakan hati yang terus
menerus dan terjadi regenerasi noduler serta ploriferasi jaringan ikat
yang difus.
b. Tanda Klinis

Tanda-tanda klinik yang dapat terjadi yaitu:


1) Adanya ikterus (penguningan) pada penderita sirosis.
Timbulnya ikterus (penguningan ) pada seseorang merupakan
tanda bahwa ia sedang menderita penyakit hati. Penguningan
pada kulit dan mata terjadi ketika liver sakit dan tidak bisa
menyerap bilirubin. Ikterus dapat menjadi penunjuk beratnya
kerusakan sel hati. Ikterus terjadi sedikitnya pada 60 %
penderita selama perjalanan penyakit.
2) Timbulnya asites dan edema pada penderita sirosis
3) Ketika liver kehilangan kemampuannya membuat protein
albumin, air menumpuk pada kaki (edema) dan abdomen
(ascites). Faktor utama asites adalah peningkatan tekanan
hidrostatik pada kapiler usus . Edema umumnya timbul setelah
timbulnya asites sebagai akibat dari hipoalbuminemia dan
resistensi garam dan air.
9. Diagnosis

Pada stadium kompensasi sempurna sulit menegakkan diagnosis


sirosis hati. Pada proses lanjutan dari kompensasi sempurna mungkin bisa
ditegakkan diagnosis dengan bantuan pemeriksaan klinis yang cermat,
laboratorium biokimia/serologi, dan pemeriksaan penunjang lain. Pada
saat ini penegakan diagnosis sirosis hati terdiri atas pemeriksaan fisis,
laboratorium dan USG. Pada kasus tertentu diperlukan pemeriksaan biopsi
hati atau peritoneoskopi karena sulit membedakan hepatitis kronik aktif
yang berat dengan sirosis hati dini. Diagnosis pasti sirosis hati ditegakkan
dengan biopsi hati. Pada stadium dekompensata diagnosis kadang kala
tidak sulit ditegakkan karena gejala dan tanda-tanda klinis sudah tampak
dengan adanya komplikasi (Robert, 2012).
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan penderita yang tampak
kesakitan dengan nyeri tekan pada regio epigastrium. Terlihat juga tanda-
tanda anemis pada kedua konjungtiva mata dan ikterus pada kedua sklera.
Tanda-tanda kerontokan rambut tidak terlalu signifikan. Pada pemeriksaan
jantung dan paru, masih dalam batas normal, tidak ditemukan tanda-tanda
efusi pleura seperti penurunan vocal fremitus, perkusi yang redup, dan
suara nafas vesikuler yang menurun pada kedua lapang paru. Pada daerah
abdomen, ditemukan perut yang membesar pada seluruh regio abdomen
dengan tanda-tanda ascites seperti pemeriksaan shifting dullness dan
gelombang undulasi yang positif. Hati, lien, dan ginjal sulit untuk
dievaluasi karena besarnya ascites dan nyeri yang dirasakan oleh pasien.
Pada ekstremitas juga ditemukan adanya edema pada kedua tungkai bawah
(Robert, 2012).
Pada pemeriksaan laboratorium dapat diperiksa tes fungsi hati
yang meliputi aminotransferase, alkali fosfatase, gamma glutamil
transpeptidase, bilirubin, albumin, dan waktu protombin. Nilai aspartat
aminotransferase (AST) atau serum glutamil oksaloasetat transaminase
(SGOT) dan alanin aminotransferase (ALT) atau serum glutamil piruvat
transaminase (SGPT) dapat menunjukan peningkatan. AST biasanya lebih
meningkat dibandingkan dengan ALT, namun bila nilai transaminase
normal tetap tidak menyingkirkan kecurigaan adanya sirosis. Alkali
fosfatase mengalami peningkatan kurang dari 2 sampai 3 kali batas normal
atas. Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis
sklerosis primer dan sirosis bilier primer. Gammaglutamil transpeptidase
(GGT) juga mengalami peningkatan, dengan konsentrasi yang tinggi
ditemukan pada penyakit hati alkoholik kronik. Konsentrasi bilirubin
dapat normal pada sirosis hati kompensata, tetapi bisa meningkat pada
sirosis hati yang lanjut (Robert, 2012).
Konsentrasi albumin, yang sintesisnya terjadi di jaringan parenkim
hati, akan mengalami penurunan sesuai dengan derajat perburukan sirosis.
Sementara itu, konsentrasi globulin akan cenderung meningkat yang
merupakan akibat sekunder dari pintasan antigen bakteri dari sistem porta
ke jaringan limfoid yang selanjutnya akan menginduksi produksi
imunoglobulin. Pemeriksaan waktu protrombin akan memanjang karena
penurunan produksi faktor pembekuan pada hati yang berkorelasi dengan
derajat kerusakan jaringan hati. Konsentrasi natrium serum akan menurun
terutama pada sirosis dengan ascites, dimana hal ini dikaitkan dengan
ketidakmampuan ekskresi air bebas (Robert, 2012).
Selain dari pemeriksaan fungsi hati, pada pemeriksaan hematologi
juga biasanya akan ditemukan kelainan seperti anemia, dengan berbagai
macam penyebab, dan gambaran apusan darah yang bervariasi, baik
anemia normokrom normositer, hipokrom mikrositer, maupun hipokrom
makrositer. Selain anemia biasanya akan ditemukan pula trombositopenia,
leukopenia, dan neutropenia akibat splenomegali kongestif yang berkaitan
dengan adanya hipertensi porta (Robert, 2012).
Terdapat beberapa pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan
pada penderita sirosis hati. Ultrasonografi (USG) abdomen merupakan
pemeriksaan rutin yang paling sering dilakukan untuk mengevaluasi
pasien sirosis hepatis, dikarenakan pemeriksaannya yang non invasif dan
mudah dikerjakan, walaupun memiliki kelemahan yaitu sensitivitasnya
yang kurang dan sangat bergantung pada operator. Melalui pemeriksaan
USG abdomen, dapat dilakukan evaluasi ukuran hati, sudut hati,
permukaan, homogenitas dan ada tidaknya massa. Pada penderita sirosis
lanjut, hati akan mengecil dan nodular, dengan permukaan yang tidak rata
dan ada peningkatan ekogenitas parenkim hati. Selain itu, melalui
pemeriksaan USG juga bisa dilihat ada tidaknya ascites, splenomegali,
thrombosis dan pelebaran vena porta, serta skrining ada tidaknya
karsinoma hati (Don, 2006).
10. Komplikasi

Terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada penderita


sirosis hati, akibat kegagalan dari fungsi hati dan hipertensi porta,
diantaranya (Caroline, 2011):

a. Ensepalopati Hepatikum

Ensepalopati hepatikum merupakan suatu kelainan


neuropsikiatri yang bersifat reversibel dan umumnya didapat pada
pasien dengan sirosis hati setelah mengeksklusi kelainan
neurologis dan metabolik. Derajat keparahan dari kelainan ini
terdiri dari derajat 0 (subklinis) dengan fungsi kognitif yang masih
bagus sampai ke derajat 4 dimana pasien sudah jatuh ke keadaan
koma. Patogenesis terjadinya ensefalopati hepatik diduga oleh
karena adanya gangguan metabolisme energi pada otak dan
peningkatan permeabelitas sawar darah otak. Peningkatan
permeabelitas sawar darah otak ini akan memudahkan masuknya
neurotoxin ke dalam otak. Neurotoxin tersebut diantaranya, asam
lemak rantai pendek, mercaptans, neurotransmitter palsu (tyramine,
octopamine, dan betaphenylethanolamine), amonia, dan
gammaaminobutyric acid (GABA). Kelainan laboratoris pada
pasien dengan ensefalopati hepatik adalah berupa peningkatan
kadar amonia serum.
b. Varises Esophagus
Varises esophagus merupakan komplikasi yang diakibatkan
oleh hipertensi porta yang biasanya akan ditemukan pada kira-kira
50% pasien saat diagnosis sirosis dibuat. Varises ini memiliki
kemungkinan pecah dalam 1 tahun pertama sebesar 5-15% dengan
angka kematian dalam 6 minggu sebesar 15- 20% untuk setiap
episodenya.
c. Peritonitis Bakterial Spontan (PBS)
Peritonitis bakterial spontan merupakan komplikasi yang
sering dijumpai yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri
tanpa adanya bukti infeksi sekunder intra abdominal. Biasanya
pasien tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri
abdomen. PBS sering timbul pada pasien dengan cairan asites yang
kandungan proteinnya rendah ( < 1 g/dL ) yang juga memiliki
kandungan komplemen yang rendah, yang pada akhirnya
menyebabkan rendahnya aktivitas opsonisasi. PBS disebabkan oleh
karena adanya translokasi bakteri menembus dinding usus dan juga
oleh karena penyebaran bakteri secara hematogen. Bakteri
penyebabnya antara lain escherechia coli, streptococcus
pneumoniae, spesies klebsiella, dan organisme enterik gram negatif
lainnya. Diagnosis PBS berdasarkan pemeriksaan pada cairan
asites, dimana ditemukan sel polimorfonuklear lebih dari 250 sel /
mm3 dengan kultur cairan asites yang positif.
d. Sindrom Hepatorenal
Sindrom hepatorenal merepresentasikan disfungsi dari
ginjal yang dapat diamati pada pasien yang mengalami sirosis
dengan komplikasi ascites. Sindrom ini diakibatkan oleh
vasokonstriksi dari arteri ginjal besar dan kecil sehingga
menyebabkan menurunnya perfusi ginjal yang selanjutnya akan
menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus. Diagnose
sindrom hepatorenal ditegakkan ketika ditemukan cretinine
clearance kurang dari 40 ml/menit atau saat serum creatinine lebih
dari 1,5 mg/dl, volume urin kurang dari 500 mL/d, dan sodium urin
kurang dari 10 mEq/L.
e. Sindrom Hepatopulmonal
Pada sindrom ini dapat timbul hidrotoraks dan hipertensi
portopulmonal. Pada kasus ini, pasien mengalami komplikasi
berupa perdarahan pada saluran cerna akibat pecahnya varises
esophagus dan gastropati hipertensi porta yang dibuktikan melalui
pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi. Selain itu, pasien juga
diduga mengalami ensepalopati hepatikum karena mengalami
berbagai gangguan tidur selama menderita sakit ini.
11. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan kasus sirosis hepatis dipengaruhi oleh etiologi dari


sirosis hepatis. Terapi yang diberikan bertujuan untuk mengurangi
progresifitas dari penyakit. Menghindarkan bahan-bahan yang dapat
menambah kerusakaan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi
merupakan prinsip dasar penanganan kasus sirosis. Pada kasus sirosis
hepatis pasien diberikan diet cair tanpa protein, rendah garam, serta
pembatasan jumlah cairan kurang lebih 1 liter per hari. Jumlah kalori
harian dapat diberikan sebanyak 2000-3000 kkal/hari. Diet protein tidak
diberikan pada pasien yang mengalami ensepalopati hepatikum, sehingga
pemberian protein yang dapat dipecah menjadi amonia di dalam tubuh
dikurangi (Robert, 2012).
Pembatasan pemberian garam juga dilakukan agar gejala ascites
yang dialami pasein tidak memberat. Diet cair dapat diberikan pada
pasien yang mengalami perdarahan saluran cerna. Hal ini dilakukan
karena salah satu faktor resiko yang dapat menyebabkan pecahnya
varises adalah makanan yang keras dan mengandung banyak serat.
Selain melalui nutrisi enteral dapat diberi nutrisi secara parenteral
dengan pemberian infus kombinasi NaCl 0,9%, dekstrosa 10%, dan
aminoleban (Robert, 2012).
12. Prognosis

Prognosis sirosis sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh


sejumlah faktor, diantaranya etiologi, beratnya kerusakan hati,
komplikasi, dan penyakit yang menyertai. Beberapa tahun terakhir,
metode prognostik yang paling umum dipakai pada pasien dengan
sirosis adalah sistem klasifikasi Child-Turcotte-Pugh. Sistem klasifikasi
Child- Turcotte-Pugh dapat memprediksi angka kelangsungan hidup
pasien dengan sirosis tahap lanjut. Dimana angka kelangsungan hidup
selama setahun untuk pasien dengan kriteria Child-Pugh A adalah 100%,
Child-Pugh B adalah 80%, dan Child-Pugh C adalah 45% (Robert,
2012).

B. 1. Definisi dan Etiologi Hepatitis B


Hepatitis B merupakan infeksi hepar yang diakibatkan oleh infeksi
virus hepatitis B (HBV) yang biasanya menular melalui cairan tubuh
seperti darah, semen, dan sekret vagina. Infeksi HBV bisa menyebar
melalui kontak seksual, penggunaan jarum suntik bersamaan, transfusi
darah dan transplantasi organ. Ibu yang terinfeksi HBV juga bisa
menularkan infeksi kepada bayinya selama proses persalinan.
Virus hepatitis B (HBV) termasuk ke dalam famili hepadnaviridae,
berukuran 42 nm yang merupakan virus terkecil yang diketahui
menginfeksi manusia, berbentuk bulat dan bersifat onkogenik. HBV
merupakan virus yang resisten dan bisa bertahan pada temperatur dan
kondisi lingkungan ekstrem. HBV bisa bertahan selama 15 tahun pada
suhu -20oC, 24 bulan pada suhu -80oC, 6 bulan pada suhu ruangan, dan 7
hari pada suhu 44oC. HBV bahkan masih ditemukan pada hepar manusia
yang sudah dimumifikasi selama + 400 tahun di Korea.
Gambar 2. Ilustrasi gambar virus Hepatitis B (Aryal, 2015)

HBV memiliki beberapa gen dan antigen yang dapat diidentifikasi:


a. Gen S (gen permukaan, amplop): mengkode protein pre-S1, pre-S2,
dan S. HbsAg merupakan antigen permukaan hepatitis B yang dapat
terdekteksi pada jumlah yang besar di dalam serum.
b. Gen C (gen inti) : mengkode protein nukleokaspid inti yang meliputi
DNA virus. HbcAg merupakan antigen inti hepatitis B yang dapat
diidentifikasi di permukaan hepatosit dan menginisiasi respon imun
selular. HbeAg merupakan antigen e hepatitis B yang dapat larut,
berhubungan dengan replikasi HBV, dengan titer HBV yang tinggi
di dalam serum, dan dengan infektivitas di dalam serum.
c. Gen X : mengkode protein X
d. Gen P (gen polimerase)
Produksi antibodi anti HBV:
a. Anti-HBs : antibodi terhadap HbsAg yang menandakan adanya
infeksi lampau oleh HBV dan imunitas terhadap HBV atau respon
imun dari vaksin HBV.
b. Anti-HBc : antibodi terhadap HbcAg dapat ditemukan pada hampir
semua pasien dengan infeksi HBV sebelumnya dan
mengindikasikan adanya virus yang persisten. Reaktivasi virus bisa
terjadi ketika pasien mengalami defisiensi imun.
c. Anti-HBe : antibodi terhadap HbeAg menandakan adanya status
nonproliferatif dari HBV.
d. IgM anti-HBc : menandakan adanya infeksi akut atau reaktivasi
HBV, sedangkan IgG mengindikasikan adanya infeksi kronik.
Tetapi marker hepatitis tidak bisa hanya ditegakan dengan IgM
atau IgG.

2. Patomekanisme
Patogenesis dan manifestasi klinis dari infeksi hepatitis B terjadi
akibat interaksi virus dan sistem imun host. Sistem imun menyerang HBV
dan menyebabkan kerusakan hepatosit, reaksi imunologi terjadi ketika
limfosit CD4+ dan CD8+ mengenal peptida HBV di permukaan hepatosit
yang terinfeksi atau status imun yang relatif toleran sehingga
menyebabkan hepatitis kronik. Karsinoma hepatoseluler dapat
berkembang dari infeksi HBV baik dengan atau tanpa adanya sirosis
hepatis.
Infeksi hepatitis B diketahui memiliki 5 stadium, dimana
perkembangan setiap stadium dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin,
kondisi imunosupresif, dan koinfeksi virus lain. 5 stadium yang sudah
diketahui diantaranya :
a. Toleransi imun
Stadium ini bertahan kira-kira 2-4 minggu pada dewasa sehat,
menunjukan masa inkubasi. Pada bayi baru lahir, durasi stadium ini
bisanya berdekade. Replikasi aktif dapat terus berlangsung dengan
enzim aminotransferase yang sedikit meningkat atau normal dan
asimptomatis.
b. Immune active/immune clearance
Stadium dengan immune active menunjukan adanya reaksi
inflamasi akibat adanya kerusakan hepatosit. HbeAg dapat
diidentifikasi di serum. Durasi stadium ini pada pasien dengan infeksi
akut dapat bertahan selama 3-4 minggu (periode simtomatik).
Stadium dengan immune clearance dapat berkembang menjadi
infeksi kronik. Pasien dengan infeksi kronik dapat tidak menunjukan
gejala smapai 10 tahunatau lebih sebelum adanya sirosis atau
karsinoma hepatoceluler terjadi.
c. Infeksi kronik inaktif
Stadium infeksi kronik inaktif, host dapat mendeteksi adanya
hepatosit yang terinfeksi HBV. Replikasi virus rendak atau tidak lagi
terdeteksi di serum dan anti-Hbe dapat dideteksi. Enzim
eminotransferase berada di level normal. HbsAg tetap dapat dideteksi
di serum.
d. Penyakit kronik
Penyakit kronik Hbe-Ag negatif dapat muncul dari stadium
infeksi kronik inaktif (stadium 3) atau langsung dari stadium 2.
e. Recovery
Virus sudah tidak dapat dideteksi di darah baik dengan
pemeriksaan DNA atau HbsAG dan antibodi dari berbadai antigen
sudah diproduksi.

Gambar 3. Temuan pemeriksaan serologi pada infeksi HBV. Bar mendatar


menunjukan durasi seropositif pada infeksi HBV akut (self-limited). DNA HBV
dan HbeAg menjadi tidak terdeteksi pada infeksi kronik. Hanya IgG anti-HBc
yang terprediksi dapat terdeteksi setelah resolusi hepatitis akut atau selama infeksi
kronik. Anti-HBs dapat terdeteksi setelah resolusi infeksi HBV akut namun bisa
menghilang pada waktu tertentu (Liaw & Chu, 2009).
Tabel 1. Stadium dan marker hepatitis B (WHO, 2015)
3. Penegakan Diagnosis
Patomekanisme dan manifestasi klinis dari hepatitis B tergantung
dari interaksi visrus dan sistem imun host. Pasien dapat menunjukan gejala
atau tidak menunjukan gejala sampai sudah mencapai adanya sirosis atau
karsinoma hepatoseluler. Hepatitis ikterik berhubungan dengan periode
predormal. Gejala yang biasanya muncul:
a. Anorkesia
b. Mual
c. Muntah
d. Demam
e. Mialgia
f. Fatigue
g. Gangguan dalam pengecapan maupun penghidu
h. Nyeri di kuadran kanan atas dan epigastrik (intermiten, mild to
modoerate)
Pasien dengan hepatitis fulminan dan subfulminan dapat
menunjukan gejala:
a. Ensefalopati hepatikum
b. Somnolen
c. Gangguan pola tidur
d. Koma
e. Ascites
f. Perdarahan gastrointestinal
g. Koagulopati
Temuan pemeriksaan fisik juga dapat bervariasi tergantung stadium
penyakit. Pemeriksaan fisik yang mungkin ditemukan pada hepatitis akut:
a. Subfebris
b. Jaundice (10 hari setelah munculnya gejala, bertahan 1-3 bulan)
c. Hepatomegali
d. Splenomegali (5-15%)
e. Eritema palmar (jarang)
f. Spider nevi (jarang)
Tanda pada penyakit kronik:
a. Splenomegali
b. Hepatomegali
c. Atrofi otot
d. Eritema palmar
e. Spider angioma
f. Vaskulitis (jarang)
Pasien dengan sirosis:
a. Ascites
b. Jaundice
c. Perdarahan variceal
d. Edema periferal
e. Ginekomastia
f. Atrofi testis
g. Vena kolateral abdominal (caput medusa)
Temuan pemeriksaa penunjang:
a. Peningkatan SGOT SGPT
b. Peningkatan alkalin fosfatase
c. Peningkatan Gamma-glutamyl transpeptidase
d. Peningkatan bilirubin total dan direk
e. Tombositopenia
f. Peningkatan ammonia
g. Tes imunoserologi
h. Imaging abdomen : USG, CT Scan, MRI
i. Biopsi hepar
4. Tatalaksana

Gambar 4. Algoritma tatalaksana hepatitis B (WHO, 2015).


Tabel 2. Agen antiviral infeksi HBV (WHO, 2015)

5. KOMPLIKASI
a. Karsinoma hepatoseluler
b. Glomerulonefritis
c. Poliartritis nodosa
C. 1. Definsi Ascites

Ascites adalah akumulasi dari cairan (biasanya cairan serous yang


adalah cairan berwarna kuning pucat dan bening) dalam rongga perut
(peritoneal). Cairan ascites bersumber dari seperti penyakit hati, kanker,
gagal jantung congestif atau gagal ginjal (EASL, 2010).
2. Etiologi

Gambar 5. Etiologi Ascites (EASL, 2010).


3. Patofisiologi
Terdapat 3 teori mengenai pembentukan asites, yaitu : teori underfilling,
overflow, dan vasodilatasi arteri perifer (EASL, 2010)
a. Teori underfilling menunjukkan bahwa kelainan utama adalah
penyerapan cairan dalam pembuluh darah splenikus yang tidak baik
karena hipertensi porta dan penurunan volume darah yang beredar
efektif. Ini mengaktivasi plasma renin, aldosteron, dan sistem saraf
simpatik, sehingga terjadi retensi natrium dan air pada ginjal.
b. Teori overflow menunjukkan bahwa kelainan utama adalah
terjadinya retensi natrium dan air pada ginjal padahal tidak terdapat
penurunan volume vaskular. Teori ini dikembangkan karena pada
pengamatan pasien dengan sirosis memiliki hipervolemia
intravaskular daripada hipovolemia.
c. Teori yang diterima saat ini ialah teori vasodilatasi perifer. Sirosis
(pembentukan jaringan parut) di hati akan menyebabkan
vasokonstriksi dan fibrotisasi sinusoid. Akibatnya terjadi
peningkatan resistensi sistem porta yang berujung kepada hipertensi
porta. Hipertensi porta ini dibarengi dengan vasodilatasi splanchnic
bed (pembuluh darah splanknik) akibat adanya vasodilator endogen
(seperti NO, calcitone gene related peptide, endotelin dll). Dengan
adanya vasodilatasi splanchnic bed tersebut, maka akan
menyebabkan peningkatan aliran darah yang justru akan membuat
hipertensi porta menjadi semakin menetap. Hipertensi porta tersebut
akan meningkatkan tekanan transudasi terutama di daerah sinusoid
dan kapiler usus. Transudat akan terkumpul di rongga peritoneum
dan selanjutnya menyebabkan asites. Selain menyebabkan
vasodilatasi splanchnic bed, vasodilator endogen juga akan
mempengaruhi sirkulasi arterial sistemik sehingga terjadi
vasodilatasi perifer dan penurunan volume efektif darah (underfilling
relatif) arteri. Sebagai respons terhadap perubahan ini, tubuh akan
meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik dan sumbu sistem
renin- angiotensin-aldosteron serta arginin vasopressin. Semuanya
itu akan meningkatkan reabsorbsi/penarikan garam (Na) dari ginjal
dan diikuti dengan reabsorpsi air (H20) sehingga menyebabkan
semakin banyak cairan yang terkumpul di rongga tubuh.

Gambar 5. Patofisiologi Ascites (EASL, 2010).

4. Tatalaksana
1. Bed rest
2. Diet rendah garam : untuk asites ringan dicoba dulu dengan istirahat
dan diet rendah garam dan penderita dapat berobat jalan.
3. Diuretik
Pemberian diuretik hanya bagi penderita yang telah menjalani diet
rendah garam dan pembatasan cairan namun penurunan berat
badannya kurang dari 1 kg setelah 4 hari. Mengingat salah satu
komplikasi akibat pemberian diuretic adalah hipokalemia dan hal ini
dapat mencetuskan encepalophaty hepatic, maka pilihan utama
diuretic adalah spironolacton, dan dimulai dengan dosis rendah, serta
dapat dinaikkan dosisnya bertahap tiap 3-4 hari, apabila dengan dosis
maksimal diuresinya belum tercapai maka dapat kita kombinasikan
dengan furosemid. Bila pengobatan konservatif tidak berhasil, dapat
dilakukan parasintesis cairan asites, dapat dilakukan 5 10 liter / hari,
dengan catatan harus dilakukan infus lbumin sebanyak 6 – 8 gr/l
cairan asites yang dikeluarkan (Sutadi, 2003).
5. Komplikasi
Asites yang jika tidak dikelola dengan baik dapat berdampak
komplikasi yaitu spontaneus bacterial peritonitis (mengancam nyawa),
sindrom hepatorenal (vasokonstriksi renal akibat aktivitas penarikan garam
dan cairan dari ginjal), malnutrisi, hepatik-ensefalopati, serta komplikasi lain
yang dikaitkan dengan penyakit penyebab asites.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Penggunaan Asam tranexamat dan Cefotaksim

Pada pasien ini, ditemukan perdarahan saluran cerna yang ditunjukan


dengan melena dan hematemesis sehingga diberikan terapi cefotaxime yang
bertujuan untuk merusak membrane sel bakteri di usus yang bisa menyebabkan
peritonitis bakterial spontan serta untuk mengurangi produksi ammonia oleh
bakteri di usus yang dapat menyebabkan ensepalopati hepatikum jika terlalu
banyak ammonia yang masuk ke peredaran darah. Pasien juga mendapat obat
hemostatik berupa asam traneksamat unutk mengurangi atau menghentikan
terjadinya perdarahan saluran cerna akibat pecahnya varises.

B. Diet pada penyakit hati

Menurut Atmarita (2005), terdapat 3 jenis diet khusus penyakit hati. Hal
ini didasarkan pada gejala dan keadaan penyakit pasien. Jenis diet penyakit hati
tersebut adalah Diet Hati I (DH I), Diet Hati II (DH II), dan Diet Hati III (DH III).
Selain itu pada diet penyakit hati ini juga menyertakan Diet Garam Rendah I.
1. Diet Garam Rendah I (DGR I)
Diet garam rendah I diberikan kepada pasien dengan edema, asites dan
atau atau hipertensi berat. Pada pengolahan makanannya tidak menambahkan
garam dapur. Dihindari bahan makanan yang tinggi kadar natriumnya. Kadar
Natrium pada Diet garam rendah I ini adalah 200-400 mg Na.
2. Diet Hati I (DH I)
Diet Hati I diberikan bila pasien dalam keadaan akut atau bila
prekoma sudah dapat diatasi dan pasien sudah mulai mempunyai nafsu
makan. Melihat keadaan pasien, makanan diberikan dalam bentuk cincang
atau lunak.Pemberian protein dibatasi (30 g/hari) dan lemak diberikan dalam
bentuk mudah dicerna.Formula enteral dengan asam amino rantai cabang
(Branched Chain Amino Acid /BCAA) yaitu leusin, isoleusin, dan valin dapat
digunakan.Bila ada asites dan diuresis belum sempurna, pemberian cairan
maksimal 1 L/hari.
Makanan ini rendah energi, protein, kalsium, zat besi, dan tiamin;
karena itu sebaiknya diberikan selama beberapa hari saja.Menurut beratnya
retensi garam atau air, makanan diberikan sebagai Diet Hati I Garam rendah.
Bila ada asites hebat dan tanda-tanda diuresis belum membaik, diberikan Diet
Garam Rendah I. Untuk menambah kandungan energi, selain makanan per
oral juga diberikan makanan parenteral berupa cairan glukosa.
3. Diet Hati II (DH II)
Diet hati II diberikan sebagai makanan perpindahan dari diet hati II
kepada pasien dengan nafsu makannya cukup. Menurut keadaan pasien,
makanan diberikan dalam bentuk lunak / biasa.Protein diberikan 1 g/Kg berat
badan dan lemak sedang (20-25% dari kebutuhan energi total) dalam bentuk
yang mudah dicerna.Makanan ini cukup mengandung energi, zat besi,
vitamin A & C, tetapi kurang kalsium dan tiamin.Menurut beratnya retensi
garam atau air, makanan diberikan sebagai diet hati II rendah garam.Bila
asites hebat dan diuresis belum baik, diet mengikuti pola Diet Rendah garam .
4. Diet Hati III (DH III)
Diet Hati III diberikan sebagai makanan perpindahan dari Diet Hati II
atau kepada pasien hepatitis akut (Hepatitis Infeksiosa/A dan Hepatitis
Serum/B) dan sirosis hati yang nafsu makannya telah baik, telah dapat
menerima protein, lemak, mineral dan vitamin tapi tinggi karbohidrat.
Menurut beratnya tetensi garam atau air, makanan diberikan sebagai Diet
Hati III Garam Rendah I.
Syarat Diet :
a. Energi tinggi untuk mencegah pemecahan protein, yang diberikan
bertahap sesuai kemampuan pasien, yaitu 40-45 kkal/Kg BB.
b. Lemak cukup, yaitu 20-25% dari kebutuhan energo total, dalam
bentuk yang mudah dicerna atau dalam bentuk emulsi. Bila pasien
mengalami steatorea, gunakan lemak dengan asam lemak rantai
sedang. Pemberian lemak sebanyak 45 Kg dapat mempertahankan
fungsi imun dan proses sintesis lemak.
c. Protein agak tinggi, yaitu 1.25-1.5 g/Kg BB agar terjadi anabolisme
protein. Asupan minimal protein 0.8-1g/Kg BB, protein nabati
memberikan keuntungan karena kandungan serat yang dapat
mempercepat pengeluaran amoniak melalui feses.
d. Vitamin dan mineral diberikan sesuai dengan tingkat defisiensi. Bila
perlu, diberikan suplemen vitamin B kompleks, C, dan K serta mineral
Zn dan Fe bila ada anemia.
e. Natrium diberikan rendah, tergantung tingkat edema dan asites. Bila
pasien mendapat diuretika, garam natrium dapat diberikan lebih
leluasa.
f. Cairan diberikan lebih dari biasa, kecuali bila ada kontraindikasi.
g. Bentuk makanan lunak bila ada keluhan mual dan muntah, atau
makanan biasa sesuai kemampuan saluran cerna.
Bahan Makanan yang Dibatasi:
Bahan makanan yang dibatasi untuk Diet Hati I, II, dan III adalaha
dari sumber lemak, yaitu semua makanan dan daging yang banyak
mengandung lemak dan santan serta bahan makanan yang menimbulkan gas
seperti ubi, kacang merah, kol, sawi, lobak, ketimun, durian, dan nangka.
Balance cairan atau keseimbangan cairan adalah keseimbangan antara
pemasukan cairan (intake) dan pengeluaran cairan (output). Masukan cairan
orang dewasa normalnya adalah 1500 ml sampai 3500 ml. Pengeluaran cairan
orang dewasa normalnya adalah 1500 ml.
C. Balance cairan
- Rumus Balance Cairan :
- Intake / cairan masuk = Output / cairan keluar + IWL (Insensible
Water Loss
- Intake / Cairan Masuk : mulai dari cairan infus, minum, kandungan
cairan dalam makanan pasien, volume obat-obatan, termasuk obat suntik,
obat yang di drip, albumin dll.
- Output / Cairan keluar : urine dalam 24 jam, jika pasien dipasang kateter
maka hitung dalam ukuran di urobag, jka tidak terpasang maka pasien
harus menampung urinenya sendiri, biasanya ditampung di botol air
mineral dengan ukuran 1,5 liter, kemudian feses. IWL (insensible water
loss(IWL) : jumlah cairan keluarnya tidak disadari dan sulit diitung, yaitu
jumlah keringat, uap hawa nafas.
- Cara Menghitung Balance Cairan:
- Input Cairan : Air (makan+minum) = ................... cc
o Cairan infus = ................... cc
o Terapi injeksi = ................... cc
o Air Metabolisme = ..................... cc (hitung AM =
5cc/kgBB/hari)
- Output Cairan : Urin = .................cc
o Feses = .................cc
- Muntah/perdarahan =...................cc
(IWL) = ................. cc (hitung IWL = 15
cc/kgBB/hari)

Jika ada kenaikan suhu, maka untuk menghitung output dari


IWL menggunakan rumus: IWL peningkatan suhu = IWL normal +
200 (suhu tinggi-36,8oC) = ............... cc

- BALANCE CAIRAN = INTAKE CAIRAN – OUTPUT CAIRAN

Jika hasil perhitungan balance cairan adalah positif maka


menunjukkan adanya penambahan cairan dalam tubuh yaitu cairan yang
masuk lebih banyak daripada cairan yang keluar (I > O)
Jika hasil perhitungan balance cairan adalah negatif maka
menunjukkan adanya pengurangan cairan dalam tubuh yaitu jumlah cairan
yang keluar lebih banyak dibanding cairan yang masuk ke tubuh (O > I).
D. Terapi spesifik pada sirosis hepar
Pengobatan sirosis hepatis pada prinsipnya berupa: Simptomatis da suportif
yaitu istirahat yang cukup, pengaturan makanan yang cukup dan semibang:
misalnya cukup kalori, protein 1 gr/kgbb/hari dan vitamin serta pengobatan
berdasarkan etiologi:

Terapi spesifik pada sirosis hepatis diberikan jika telah terjadi komplikasi
seperti ascites, spontaneous bacterial peritonitis, hepatorenal syndrome,
ensefalophaty hepatic (Sherlock, 2003).
1. Ascites: Pada ascites dapat dikendalikan dengan terapi konservatif yang terdiri
atas:
a. Istirahat yang cukup
b. Diet rendah garam: Untuk ascites ringan dicoba dengan istirahat dan diet
rendah garam dan penderita dapat dirawat jalan dan apabila gagal maka
penderita harus dirawat inap.
c. Diuretik
- Pemberian diuretik hanya untuk pasien yang telah menjalani diet
rendah garam dan pembatasan cairan namun penurunan berat
badannya kurang dari 1 kg setelah 4 hari. Salah satu komplikasi akibat
pemberian diuretic adalah hipokalemia dan hal itu dapat mencetuskan
encephalophaty hepatic, maka pilihan utama duretiknya adalah
spironolakton, dimulai dengan dosis rendah, serta dapat dinaikkan
dosisnya secara bertahap tiap 3-4 hari, apabila dengan dosis maksimal
diuresisnya belum tercapai, maka dapat kita kombinasikan dengan
furosemid.
- Terapi lain dari ascites jika tidak berhasil dengan terapi konservatif
adalah dengan tindakan parasintesis. Cairan ascites dapat dkeluarkan
5-10 liter/hari, tetapi perlu diperhatikan kadar albumin dengan infus
albumin sebanyak 6-8 gr/l cairan ascites yang dikeluarkan. Tetapi
prosedur parasintesis in tidak dianjurkan untuk Childpugh C,
protrombin <40%, serum bilirubin .10 mg/dl, trombosit <40.000,
creatinin >3 mg/dl dan natrium urin <10 mmol/24 jam.

2. Suspect bacterial peritonitis


Pengobatan dengan pemberian golongan cephalosporine generasi
III seperti cefotaksim, secara parenteral selama lima hari secara oral.
Karena angka rekuren nya tinggi maka perlu diberikan profilaksis dapat
diberikan norfloxacin (400 mg/hari) selama 2-3 minggu.
3. Hepatorenal syndrome
Sindrom ini dapat dicegah dengan menghindari pemberian diuretik
yang berlebihan, penanganan secara dini setiap penyakit seperti gangguan
elektrolit, perdarahan dan infeksi. Penanganan secara konservatif dapat
dilakukan berupa: Restriksi cairan, garam, potassium dan protein. Serta
menghentikan obat-obatan yang nefrotoxic. Manitol tidak bermanfaat
bahkan dapat menyebabkan asitosis intra seluler. Diuretik dengaqn dosis
yang tinggi juga tidak bermanfaat, dapat mencetuskan perdarahan dan
shock.
4. Perdarahan akibat varices esophagus
Kasus ini merupakan kasus emergency sehingga penentuan etiologi
sering bukan menjadi prioritas, namun yang paling penting adalah prinsip
penanganan yang utama dengan tindakan resusitasi sampai keadaan pasien
stabil maka yang dapat dilakukan adalah: Pasien diistirahatkan dan
dipuasakan, lalu dilakukan pemasangan infuse NaCl 0,9% dan bial
diperlukan dapat dilakukan transfuse, kemudian perlu dilakukakn
pemasangan NGT untuk mengetahui perdarahan, pemberian obat-obatan
dan evaluasi. Selain itu, juga dapat diberikan obat-obatan berupa antasida,
ARH2, Anti fibrinolitik seperti asam traneksamat, vitamin K, atau
vasopressin. Disamping itu, diperlukan tindakan-tindakan lain dalam ragka
menghentikan perdarahan misalnya pemasangan ballon tamponade dan
tindakan skleroteraqpi/ligasi atau oesophageal transection.
5. Ensefalophaty hepatic
Prinsip penanganan nya dengan 3 hal yaitu:
a. Mengenali dan mengobati factor pencetus seperti infeksi, perdarahan
gastro intestinal, obat-obatan yang hepatotoxic.
b. Menurunkan produksi amoniak serta toxin-toxin yang berasal dari usus
dengan diet rendah protein, pemberian antibiotic misalnya (neomisin),
dan pemberan lactulose.
c. Obat-obatan yang memodifikasi balanced neurotransmitter secara
langsung (bromocriptin, flumazemil), dan tidak langsung (pemberian
AARS).
E. Kriteria diagnosis hipertensi porta
Perdarahan gastro intestinal merupakan gejala penting untuk pasien yang
mengalami hipertensi porta. Pasien yang memiliki penyakit hati tingkat lanjut
akan menunjukkan tanda-tanda ascites, ensefalopati hepatica, jaundice,
koagulapati, dan spider angiomata.

Pada pasien ini sudah didapatkan adaya tanda-tanda terjadinya hipertensi


porta karena sudah terjadi beberapa kondisi atau komplikasi yang diakibatkan
oleh hipertensi porta yaitu: Varises gastro-esofagus yang ditandai dengan riwayat
melena pada anamnesis dan pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya ascites.
DAFTAR PUSTAKA

Aryal, S. 2015. Hepatitis B Virus-Structure, Epidemiology, Symptoms,


Pathogenesis, Diagnosis, Treatmenr and Vaccines: Medical Microbiology.
Kathmandu : St. Xavier’s College.
Boedi Setiawan, et al. Buku Ajar Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga. 2007. Page 129-136
Brooks. GF, Butel, JS & Morse, SA. 2012. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta:
Salemba Medika.
Caroline R Taylor. 2011. Cirrhosis Imaging. http://emedicine.medscape.
com/article/366426-overview#showall.
Clinical Practice Guideline, EASL clinical practice guideline on the management
of ascites, spontaneous bacterial peritonitis, and hepatorenal syndrome in
cirrhosis. Journal of Hepatology, 2010, Vol. 53, p 397-417

David C Wolf. 2012. Cirrhosis. http://emedicine.medscape.com/article/ 185856-
overview#showall.
Don C. Rockey, Scott L. Friedman. 2006. Hepatic Fibrosis And Cirrhosis.
http://www.eu.elsevierhealth.com/media/us/samplechapters/9781416032588
/ 978 1416032588.pdf.
Guadalupe Garcia-Tsao. Prevention and Management of Gastroesophageal
Varices and Variceal Hemorrhage in Cirrhosis. Am J Gastroenterol. 2007.
102:2086–2102. 27
Liaw, YF & Chu, CM. 2009. Hepatitis B Virus Infection. Lancet. 373(9663); 582-
92.
Nikolaos, T.P. 2016. Hepatitis B. Medscape article
Riley TR, Taheri M, Schreibman IR. Does weight history affect fibrosis in the
setting of chronic liver disease? J Gastrointestin Liver Dis. 2009.
18(3):299-
302.
Robert S. Rahimi, Don C. Rockey. Complications of Cirrhosis. Curr Opin
Gastroenterol. 2012. 28(3):223-229
Setiawan, Poernomo Budi. Sirosis hati. In: Askandar Tjokroprawiro, Poernomo
Sherlock, S. Chronic Liver and biliarry disease. Oxford: England Baxkwell. 2003.
Siti Nurdjanah. 2009. Sirosis Hepatis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alvi I,
Simadibrata MK, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 5th ed. Jakarta;
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia. Page
668-673.
WHO. 2015.Guidelines for the Prevention, Care and Treatment of Persons with
Chronic Hepatitis B Infection. France: WHO library.

You might also like