Professional Documents
Culture Documents
Desty Edit
Desty Edit
Diajukan kepada :
dr. Tiara Paramita, Sp.PD
Disusun oleh :
Astri Nur Yulianti G4A016132
Desty Ari Sandi G4A016022
Dzaky Lukmanul Hakim G4A017051
Riyanda Rama Putri G4A016027
2018
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
SIROSIS HEPATIS ET CAUSA HEPATITIS B
Disusun oleh :
Astri Nur Yulianti G4A016132
Desty Ari Sandi G4A016022
Dzaky Lukmanul Hakim G4A017051
Riyanda Rama Putri G4A016027
Pembimbing,
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. W
Umur : 37 tahun
Jenis Kelamin : perempuan
Alamat : Kluwut RT 001/007 Bulakamba, Brebes–Jawa
Tengah
Tanggal Masuk IGD : 10 April 2018
Tanggal Pemeriksaan : 11 April 2018
B. ANAMNESA
1. Keluhan Utama : Perut membesar
2. Onset : 2 minggu yang lalu
3. Keluhan Tambahan: Mual, badan terasa lemas, nyeri ulu hati, kepala
pusing
4. Riwayat penyakit sekarang:
C. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan di bangsal Dahlia
1. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Sedang
b. Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4M6V5 (15)
c. BB : 58 kg
d. TB : 153 cm
e. Vital sign
- Tekanan Darah : 90/60 mmHg
- Nadi : 82x/menit
- RR : 20x/menit
- Suhu : 36.7oC
f. Status Generalis
1) Kepala
- Bentuk : mesochepal, simetris, venektasi temporal (-),
edema wajah (-)
- Rambut : warna hitam, tidak mudah dicabut, distribusi
merata, tidak rontok
2) Mata
- Palpebra : edema (-/-) ptosis (-/-)
- Konjungtiva : anemis (+/+)
- Sclera : ikterik (+/+)
- Pupil : reflek cahaya (+/+) normal, isokor ø3 mm
3) Telinga
- Otore (-/-) - nyeri tekan (-/-)
- Deformitas (-/-) - discharge (-/-)
4) Hidung
- Nafas cuping hidung (-/-) - discharge (-/-)
- Deformitas (-/-) - rinorhea (-/-)
5) Mulut
- Bibir sianosis (-)
- Bibir kering (-)
- Lidah kotor (-)
7) Abdomen
- Inspeksi : Cembung, caput medusa (-)
- Auskultasi : bising usus (+) 2-5 detik
- Perkusi : timpani, pekak sisi (+), pekak alih
(+),shifting dullness (+)
- Palpasi : supel, nyeri tekan (+) epigastrium, undulasi
(+)
- Hepar : Sulit di nilai
- Lien : tidak teraba
8) Ekstrimitas
Superior : deformitas (-), edema (-/-), sianosis (-/-)
Inferior : deformitas (-), edema (-/-), sianosis (-/-)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
E. Dasar Diagnosis
- Anamnesis: Perut membesar, mual, muntah, badan lemas, nyeri ulu hati,
kepala pusing, riwayat BAB berwarna hitam dan muntah darah, dan
riwayat keluhan yang serupa 1 tahun yang lalu.
- Pemeriksaan Fisik:
Mata : Sclera ikterik (+/+), Konjungiva anemis (+/+)
Abdomen:
Perkusi : timpani, pekak sisi (+), pekak alih (+), shifting
dullness (+)
Palpasi : supel, nyeri tekan (+) epigastrium, undulasi (+).
- Pemeriksaan Penunjang
Hb 7,0 L
Leukosit 19980 H
Albumin 1,75 L
HbsAg Reaktif
F. Diagnosis
- Sirosis hepatis Child Pugh Score B
- Ascites
- Hepatitis B
- Anemia Mikrositik hipokromik
G. Penatalaksanaan
Farmakologi :
1. Terapi
a. Farmakologi
1) Inf D5% 10 tpm
2) Inj. Cefotaxime 2x1gr IV
3) Inj Asam Tranexamat 3x500mg
4) Inj Omeprazol 1 Amp/8 jam
5) Drip adona 1 Amp/8jam
6) PO Sucralfat syr 3x1C
7) PO Spironolacton 25 mg 1-0-0
8) PO Lactulac syr 3x1C
9) Transsfusi albumin 20% 100cc
10) Transfusi PRC 2 kolf
b. Non Farmakologi
1) Tirah baring
2) Diet cair
Diet Protein 1,2 gr/kgBB dan kalori 35-40 kal/kgBB
3) Memberi edukasi pada keluarga untuk ikut mendukung pasien
agar teratur minum obat karena pengobatan jangka panjang.
4) Pencegahan penularan pada anggota keluarga dengan modifikasi
pola hidup untuk pencegahan transmisi dan imunisasi.
2. Monitoring
a. Keadaan umum dan kesadaran
b. Tanda vital
c. Evaluasi klinis
- Pasien dievaluasi setiap hari, meliputi keluhan, berat badan,
pemeriksaan fisik, dan hasil laboratorium.
3. Prognosis
Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. 1. Anatomi Hepar
Hepar terbagi menjadi lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan
oleh ligamentum falciforme, di inferior oleh fissure dinamakan dengan
ligamentum teres dan di posterior oleh fissure dinamakan dengan
ligamentum venosum. Lobus kanan hepar enam kali lebih besar dari lobus
kirinya dan mempunyai 3 bagian utama yaitu : lobus kanan atas, lobus
caudatus dan lobus quadrates. Hepar dikelilingi oleh kapsula fibrosa yang
dinamakan kapsul glisson dan dibungkus peritorium pada sebagian besar
keseluruhan permukaannnya. Hepar disuplai oleh dua pembuluh darah
yaitu Vena porta hepatica yang berasal dari lambung dan usus, yang kaya
akan nutrien seperti asam amino, monosakarida, vitamin yang larut dalam
air, dan mineral dan Arteri hepatica cabang dari arteri iliaca yang kaya
akan oksigen (Setiawan & Purnomo, 2007).
1. Fungsi Hepar
Fungsi dari sel-serl hepar dapat dibagi (Setiawan & Purnomo, 2007).
1. Fungsi Sel Epitel di antaranya ialah:
a. Pusat metabolisme di antaranya metabolisme hidrat, arang,
protein, lemak, empedu, Proses metabolisme akan diuraikan
sendiri
b. Alat penyimpan vitamin dan bahan makanan hasil
metabolisme. Hepar menyimpan makanan tersebut tidak
hanya untuk kepentingannnya sendiri tetapi untuk organ
lainya juga.
c. Alat sekresi untuk keperluan badan kita: diantaranya akan
mengeluarkan glukosa, protein, factor koagulasi, enzim,
empedu.
d. Proses detoksifikasi, dimana berbagai macam toksik baik
eksogen maupun endogen yang masuk ke badan akan
mengalami detoksifikasi dengan cara oksidasi, reduksi,
hidrolisa atau konjugasi.
3. Epidemiologi
Insiden sirosis hepatis di Amerika diperkirakan 360 per 100.000
penduduk. Penyebabnya sebagian besar akibat penyakit hepar alkoholik
maupun infeksi virus kronik. Data di Indonesia, RS Sardjito Yogyakarta
jumlah pasien dengan sirosis hepar berkisar 4,1% dari pasien yang dirawat
di Bagian ilmu penyakit dalam dalam kurun waktu tahun 2004. Di Medan,
dalam kurun waktu 4 tahun di jumpai pasien sirosis hepatis sebanyak 819
(4%) dari seluruh pasien di Bagian Ilmu Penyakit Dalam (David, 2012).
Case Fatality Rate (CSDR) Sirosis hepar laki-laki di Amerika
Serikat tahun 2001 sebesar13,2 per 100.000 dan wanita sebesar 6,2 per
100.000 penduduk. Di Indonesia, kasus ini lebih banyak ditemukan pada
kaum laki-laki dibandingkan kaum wanita. Dari yang berasal dari
beberapa rumah sakit di kita-kota besar di Indonesia memperlihatkan
bahwa penderita pria lebih banyak dari wanita dengan perbandingan antara
1,5 sampai 2 : 1. Hasil penelitian Suyono dkk tahun 2006 di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta menunjukkan pasien sirosis hepar laki-laki (71%)
lebih banyak dari wanita (29%) dengan kelompok umur 51-60 tahun
merupakan kelompok umur yang terbanyak. Ndraha melaporkan selama
Januari –Maret 2009 di Rumah Sakit Koja Jakarta dari 38 penderita sirosis
hepar, 63,7% laki-laki dan 36,7 % wanita, terbanyak (55,3%) adalah
kelompok umur 40-60 tahun (David, 2012).
Menurut Gall seorang ahli penyakit hati, membagi penyakit sirosis hati
atas:
a. Sirosis Postnekrotik, atau sesuai dengan bentuk sirosis makronoduler
atau sirosis toksik atau subcute yellow, atrophy cirrhosis yang
terbentuk karena banyak terjadi jaringan nekrose.
b. Nutrisional cirrhosis , atau sesuai dengan bentuk sirosis mikronoduler,
sirosis alkoholik, Laennec´s cirrhosis atau fatty cirrhosis. Sirosis
terjadi sebagai akibat kekurangan gizi, terutama faktor lipotropik.
c. Sirosis Post hepatic, sirosis yang terbentuk sebagai akibat setelah
menderita hepatitis (Caroline, 2011):
5. Faktor Risiko
Penyebab pasti dari sirosis hati sampai sekarang belum jelas, tetapi
sering disebutkan antara lain:
a. Faktor Kekurangan Nutrisi
Menurut Spellberg, Shiff (2010) bahwa di negara Asia faktor
gangguan nutrisi memegang penting untuk timbulnya sirosis hati. Dari
hasil laporan Hadi di dalam simposium Patogenesis sirosis hati di
Yogyakarta tanggal 22 Nopember 2010, ternyata dari hasil penelitian
makanan terdapat 81,4 % penderita kekurangan protein hewani dan
ditemukan 85 % penderita sirosis hati yang berpenghasilan rendah,
yang digolongkan ini ialah: pegawai rendah, kuli-kuli, petani, buruh
kasar, mereka yang tidak bekerja, pensiunan pegawai rendah
menengah (Setiawan dan Purnomo, 2007).
b. Hepatitis Virus
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu
penyebab sirosis hati, apalagi setelah penemuan Australian Antigen
oleh Blumberg pada tahun 2011 dalam darah penderita dengan
penyakit hati kronis, maka diduga mempunyai peranan yang besar
untuk terjadinya nekrosa sel hati sehingga terjadi sirosis. Secara klinik
telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak mempunyai
kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi gejala sisa serta
menunjukan perjalanan yang kronis, bila dibandingkan dengan
hepatitis virus A. Dari data yang ada di Indonesia Virus Hepatitis B
menyebabkan sirosis 40-50% kasus, sedangkan hepatitis C dalam 30-
40 % . sejumlah 10-20% penyebabnya tidak diketahui dan termasuk
disini kelompok virus yang bukan B atau C (Setiawan dan Purnomo,
2007).
c. Zat Hepatotoksik
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan pada sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati akut
akan berakibat nekrosis atau degenerasi lemak, sedangkan kerusakan
kronis akan berupa sirosis hati. Zat hepatotoksik yang sering disebut-
sebut ialah alcohol (Setiawan dan Purnomo, 2007).
d. Penyakit Wilson
Suatu penyakit yang jarang ditemukan biasanya terdapat pada
orangorang muda dengan ditandai sirosis hati, degenerasi basal ganglia
dari otak, dan terdapatnya cincin pada kornea yang berwarna coklat
kehijauan disebut Kayser Fleischer Ring. Penyakit ini diduga
disebabkan defesiensi bawaan dari seruloplasmin. Penyebabnya belum
diketahui dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan
penimbunan tembaga dalam jaringan hati (David, 2012)
e. Hemokromatosis
Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua kemungkinan
timbulnya hemokromatosis, yaitu:
1) Sejak dilahirkan si penderita menghalami kenaikan absorpsi dari
Fe.
2) Kemungkinan didapat setelah lahir (acquisita), misalnya dijumpai
pada penderita dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya
absorpsi dari Fe, kemungkinan menyebabkan timbulnya sirosis hati
(David, 2012)
f. Sebab-Sebab Lain
1) Kelemahan jantung yang lama dapat menyebabkan timbulnya
sirosis kardiak. Perubahan fibrotik dalam hati terjadi sekunder
terhadap reaksi dan nekrosis sentrilobuler
2) Sebagai saluran empedu akibat obstruksi yang lama pada saluran
empedu akan dapat menimbulkan sirosis biliaris primer. Penyakit
ini lebih banyak dijumpai pada kaum wanita.
3) Penyebab sirosis hati yang tidak diketahui dan digolongkan dalam
sirosis kriptogenik (Caroline, 2011).
6. Patogenesis
a. Ensepalopati Hepatikum
2. Patomekanisme
Patogenesis dan manifestasi klinis dari infeksi hepatitis B terjadi
akibat interaksi virus dan sistem imun host. Sistem imun menyerang HBV
dan menyebabkan kerusakan hepatosit, reaksi imunologi terjadi ketika
limfosit CD4+ dan CD8+ mengenal peptida HBV di permukaan hepatosit
yang terinfeksi atau status imun yang relatif toleran sehingga
menyebabkan hepatitis kronik. Karsinoma hepatoseluler dapat
berkembang dari infeksi HBV baik dengan atau tanpa adanya sirosis
hepatis.
Infeksi hepatitis B diketahui memiliki 5 stadium, dimana
perkembangan setiap stadium dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin,
kondisi imunosupresif, dan koinfeksi virus lain. 5 stadium yang sudah
diketahui diantaranya :
a. Toleransi imun
Stadium ini bertahan kira-kira 2-4 minggu pada dewasa sehat,
menunjukan masa inkubasi. Pada bayi baru lahir, durasi stadium ini
bisanya berdekade. Replikasi aktif dapat terus berlangsung dengan
enzim aminotransferase yang sedikit meningkat atau normal dan
asimptomatis.
b. Immune active/immune clearance
Stadium dengan immune active menunjukan adanya reaksi
inflamasi akibat adanya kerusakan hepatosit. HbeAg dapat
diidentifikasi di serum. Durasi stadium ini pada pasien dengan infeksi
akut dapat bertahan selama 3-4 minggu (periode simtomatik).
Stadium dengan immune clearance dapat berkembang menjadi
infeksi kronik. Pasien dengan infeksi kronik dapat tidak menunjukan
gejala smapai 10 tahunatau lebih sebelum adanya sirosis atau
karsinoma hepatoceluler terjadi.
c. Infeksi kronik inaktif
Stadium infeksi kronik inaktif, host dapat mendeteksi adanya
hepatosit yang terinfeksi HBV. Replikasi virus rendak atau tidak lagi
terdeteksi di serum dan anti-Hbe dapat dideteksi. Enzim
eminotransferase berada di level normal. HbsAg tetap dapat dideteksi
di serum.
d. Penyakit kronik
Penyakit kronik Hbe-Ag negatif dapat muncul dari stadium
infeksi kronik inaktif (stadium 3) atau langsung dari stadium 2.
e. Recovery
Virus sudah tidak dapat dideteksi di darah baik dengan
pemeriksaan DNA atau HbsAG dan antibodi dari berbadai antigen
sudah diproduksi.
5. KOMPLIKASI
a. Karsinoma hepatoseluler
b. Glomerulonefritis
c. Poliartritis nodosa
C. 1. Definsi Ascites
4. Tatalaksana
1. Bed rest
2. Diet rendah garam : untuk asites ringan dicoba dulu dengan istirahat
dan diet rendah garam dan penderita dapat berobat jalan.
3. Diuretik
Pemberian diuretik hanya bagi penderita yang telah menjalani diet
rendah garam dan pembatasan cairan namun penurunan berat
badannya kurang dari 1 kg setelah 4 hari. Mengingat salah satu
komplikasi akibat pemberian diuretic adalah hipokalemia dan hal ini
dapat mencetuskan encepalophaty hepatic, maka pilihan utama
diuretic adalah spironolacton, dan dimulai dengan dosis rendah, serta
dapat dinaikkan dosisnya bertahap tiap 3-4 hari, apabila dengan dosis
maksimal diuresinya belum tercapai maka dapat kita kombinasikan
dengan furosemid. Bila pengobatan konservatif tidak berhasil, dapat
dilakukan parasintesis cairan asites, dapat dilakukan 5 10 liter / hari,
dengan catatan harus dilakukan infus lbumin sebanyak 6 – 8 gr/l
cairan asites yang dikeluarkan (Sutadi, 2003).
5. Komplikasi
Asites yang jika tidak dikelola dengan baik dapat berdampak
komplikasi yaitu spontaneus bacterial peritonitis (mengancam nyawa),
sindrom hepatorenal (vasokonstriksi renal akibat aktivitas penarikan garam
dan cairan dari ginjal), malnutrisi, hepatik-ensefalopati, serta komplikasi lain
yang dikaitkan dengan penyakit penyebab asites.
BAB III
PEMBAHASAN
Menurut Atmarita (2005), terdapat 3 jenis diet khusus penyakit hati. Hal
ini didasarkan pada gejala dan keadaan penyakit pasien. Jenis diet penyakit hati
tersebut adalah Diet Hati I (DH I), Diet Hati II (DH II), dan Diet Hati III (DH III).
Selain itu pada diet penyakit hati ini juga menyertakan Diet Garam Rendah I.
1. Diet Garam Rendah I (DGR I)
Diet garam rendah I diberikan kepada pasien dengan edema, asites dan
atau atau hipertensi berat. Pada pengolahan makanannya tidak menambahkan
garam dapur. Dihindari bahan makanan yang tinggi kadar natriumnya. Kadar
Natrium pada Diet garam rendah I ini adalah 200-400 mg Na.
2. Diet Hati I (DH I)
Diet Hati I diberikan bila pasien dalam keadaan akut atau bila
prekoma sudah dapat diatasi dan pasien sudah mulai mempunyai nafsu
makan. Melihat keadaan pasien, makanan diberikan dalam bentuk cincang
atau lunak.Pemberian protein dibatasi (30 g/hari) dan lemak diberikan dalam
bentuk mudah dicerna.Formula enteral dengan asam amino rantai cabang
(Branched Chain Amino Acid /BCAA) yaitu leusin, isoleusin, dan valin dapat
digunakan.Bila ada asites dan diuresis belum sempurna, pemberian cairan
maksimal 1 L/hari.
Makanan ini rendah energi, protein, kalsium, zat besi, dan tiamin;
karena itu sebaiknya diberikan selama beberapa hari saja.Menurut beratnya
retensi garam atau air, makanan diberikan sebagai Diet Hati I Garam rendah.
Bila ada asites hebat dan tanda-tanda diuresis belum membaik, diberikan Diet
Garam Rendah I. Untuk menambah kandungan energi, selain makanan per
oral juga diberikan makanan parenteral berupa cairan glukosa.
3. Diet Hati II (DH II)
Diet hati II diberikan sebagai makanan perpindahan dari diet hati II
kepada pasien dengan nafsu makannya cukup. Menurut keadaan pasien,
makanan diberikan dalam bentuk lunak / biasa.Protein diberikan 1 g/Kg berat
badan dan lemak sedang (20-25% dari kebutuhan energi total) dalam bentuk
yang mudah dicerna.Makanan ini cukup mengandung energi, zat besi,
vitamin A & C, tetapi kurang kalsium dan tiamin.Menurut beratnya retensi
garam atau air, makanan diberikan sebagai diet hati II rendah garam.Bila
asites hebat dan diuresis belum baik, diet mengikuti pola Diet Rendah garam .
4. Diet Hati III (DH III)
Diet Hati III diberikan sebagai makanan perpindahan dari Diet Hati II
atau kepada pasien hepatitis akut (Hepatitis Infeksiosa/A dan Hepatitis
Serum/B) dan sirosis hati yang nafsu makannya telah baik, telah dapat
menerima protein, lemak, mineral dan vitamin tapi tinggi karbohidrat.
Menurut beratnya tetensi garam atau air, makanan diberikan sebagai Diet
Hati III Garam Rendah I.
Syarat Diet :
a. Energi tinggi untuk mencegah pemecahan protein, yang diberikan
bertahap sesuai kemampuan pasien, yaitu 40-45 kkal/Kg BB.
b. Lemak cukup, yaitu 20-25% dari kebutuhan energo total, dalam
bentuk yang mudah dicerna atau dalam bentuk emulsi. Bila pasien
mengalami steatorea, gunakan lemak dengan asam lemak rantai
sedang. Pemberian lemak sebanyak 45 Kg dapat mempertahankan
fungsi imun dan proses sintesis lemak.
c. Protein agak tinggi, yaitu 1.25-1.5 g/Kg BB agar terjadi anabolisme
protein. Asupan minimal protein 0.8-1g/Kg BB, protein nabati
memberikan keuntungan karena kandungan serat yang dapat
mempercepat pengeluaran amoniak melalui feses.
d. Vitamin dan mineral diberikan sesuai dengan tingkat defisiensi. Bila
perlu, diberikan suplemen vitamin B kompleks, C, dan K serta mineral
Zn dan Fe bila ada anemia.
e. Natrium diberikan rendah, tergantung tingkat edema dan asites. Bila
pasien mendapat diuretika, garam natrium dapat diberikan lebih
leluasa.
f. Cairan diberikan lebih dari biasa, kecuali bila ada kontraindikasi.
g. Bentuk makanan lunak bila ada keluhan mual dan muntah, atau
makanan biasa sesuai kemampuan saluran cerna.
Bahan Makanan yang Dibatasi:
Bahan makanan yang dibatasi untuk Diet Hati I, II, dan III adalaha
dari sumber lemak, yaitu semua makanan dan daging yang banyak
mengandung lemak dan santan serta bahan makanan yang menimbulkan gas
seperti ubi, kacang merah, kol, sawi, lobak, ketimun, durian, dan nangka.
Balance cairan atau keseimbangan cairan adalah keseimbangan antara
pemasukan cairan (intake) dan pengeluaran cairan (output). Masukan cairan
orang dewasa normalnya adalah 1500 ml sampai 3500 ml. Pengeluaran cairan
orang dewasa normalnya adalah 1500 ml.
C. Balance cairan
- Rumus Balance Cairan :
- Intake / cairan masuk = Output / cairan keluar + IWL (Insensible
Water Loss
- Intake / Cairan Masuk : mulai dari cairan infus, minum, kandungan
cairan dalam makanan pasien, volume obat-obatan, termasuk obat suntik,
obat yang di drip, albumin dll.
- Output / Cairan keluar : urine dalam 24 jam, jika pasien dipasang kateter
maka hitung dalam ukuran di urobag, jka tidak terpasang maka pasien
harus menampung urinenya sendiri, biasanya ditampung di botol air
mineral dengan ukuran 1,5 liter, kemudian feses. IWL (insensible water
loss(IWL) : jumlah cairan keluarnya tidak disadari dan sulit diitung, yaitu
jumlah keringat, uap hawa nafas.
- Cara Menghitung Balance Cairan:
- Input Cairan : Air (makan+minum) = ................... cc
o Cairan infus = ................... cc
o Terapi injeksi = ................... cc
o Air Metabolisme = ..................... cc (hitung AM =
5cc/kgBB/hari)
- Output Cairan : Urin = .................cc
o Feses = .................cc
- Muntah/perdarahan =...................cc
(IWL) = ................. cc (hitung IWL = 15
cc/kgBB/hari)
Terapi spesifik pada sirosis hepatis diberikan jika telah terjadi komplikasi
seperti ascites, spontaneous bacterial peritonitis, hepatorenal syndrome,
ensefalophaty hepatic (Sherlock, 2003).
1. Ascites: Pada ascites dapat dikendalikan dengan terapi konservatif yang terdiri
atas:
a. Istirahat yang cukup
b. Diet rendah garam: Untuk ascites ringan dicoba dengan istirahat dan diet
rendah garam dan penderita dapat dirawat jalan dan apabila gagal maka
penderita harus dirawat inap.
c. Diuretik
- Pemberian diuretik hanya untuk pasien yang telah menjalani diet
rendah garam dan pembatasan cairan namun penurunan berat
badannya kurang dari 1 kg setelah 4 hari. Salah satu komplikasi akibat
pemberian diuretic adalah hipokalemia dan hal itu dapat mencetuskan
encephalophaty hepatic, maka pilihan utama duretiknya adalah
spironolakton, dimulai dengan dosis rendah, serta dapat dinaikkan
dosisnya secara bertahap tiap 3-4 hari, apabila dengan dosis maksimal
diuresisnya belum tercapai, maka dapat kita kombinasikan dengan
furosemid.
- Terapi lain dari ascites jika tidak berhasil dengan terapi konservatif
adalah dengan tindakan parasintesis. Cairan ascites dapat dkeluarkan
5-10 liter/hari, tetapi perlu diperhatikan kadar albumin dengan infus
albumin sebanyak 6-8 gr/l cairan ascites yang dikeluarkan. Tetapi
prosedur parasintesis in tidak dianjurkan untuk Childpugh C,
protrombin <40%, serum bilirubin .10 mg/dl, trombosit <40.000,
creatinin >3 mg/dl dan natrium urin <10 mmol/24 jam.