Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 14

JOURNAL READING

MANAJEMEN TERHADAP TONSILITIS BERULANG PADA ANAK

Disusun Oleh:
Defany Novita Sary
130100431

Pembimbing: dr. Carlo Maulana Akbar

Diperiksa oleh: dr. Rico Radityatama Susilo

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

DEPARTEMEN/SMF

ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK

BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RUMAH SAKIT UMUM UPSAT HAJI ADAM MALIK

MEDAN

2018
Manajemen terhadap tonsilitis berulang pada anak
Diaa El Din El Hennawi a, Ahmed Geneid b, Salah Zaher c, Mohamed Rifaat
Ahmed a

Abstrak

Tujuan: untuk membandingkan azithromycin (AZT) dengan penicilin (BP) dalam


pengobatan tonsilitis berulang pada anak

Metode: penelitian ini terdiri dari 350 anak yang memiliki tonsilitis streptococal
berulang, 284 diantaranya berhasil menjalani masa penelitian ini dan 162 anak
menerima pengobatan bedah konvensional. Sisa anak-anak lainnya, 122, dibagi
secara acak menjadi dua kelompok umum. Anak pada kelompok A menerima satu
kali intramuscular BP (600,000 IU untuk anak  27 kg dan 1,200,000 IU untuk anak
 27kg) setiap dua minggu selama enam bulan. Anak pada kelompok B menerima
satu kali oral AZT (250 mg untuk anak  25 kg dan 500 mg untuk anak  25 kg)
setiap satu minggu selama enam bulan.

Hasil: Kedua Kelompok anak tersebut menunjukkan tanda-tanda reduksi signifikan


terhadap tonsilitis berulang yang dapat dibandingkan dengan hasil dari
tonsillectomy. Tidak ada perbedaan statistikal antara kelompok A dan kelompok B
mengenai rekurensi infeksi dan keamanan obat setelah tindak lanjut selama enam
bulan. Kelompok B menunjukkan pemenuhan yang lebih baik.

Kesimpulan: AZT terbukti sebagai alternatif yang baik terhadap BP dalam


manajemen tonsilitis berulang dengan hasil yang sama dengan tonsilektomi setelah
6 bulan pengobatan.
1. PENDAHULUAN
Pada kondisi literatur medis saat ini, tonsil dianggap sebagai aset oleh
sistem immunological dan dibuang atau dipotong sebagai ketika diharuskan
secara medis dikarenakan ukurannya, infeksi bakteri berulang atau tumor [1].
Tonsilitis berulang telah didefinisikan sebagai empat atau lebih episode infeksi
yang telah dikonfirmasi per tahun dengan streptococci A-infection sebagai salah
satu infeksinya[2]. Prevelansinya dimulai dari 11.0 ke 12.3% dengan beban
keluarga yang ditandai dan resiko komplikasi yang serius pada negara
berkembang[3]. Tonsilits berulang biasanya diobati dengan melakukan
tonsillectomy atau pengobatan medis konservatis ketika kriteria tonsillectomy
tidak terpenuhi atau terdapat kontraindikasi terhdap tonsillectomy[4]. Ulasan oleh
Burton et al. pada tahun 2014 menemukan bahwa anak dengan tonsilitis berulang
akut hanya memiliki pengaruh manfaat yang sedikit dari adeno-/tonsillectomy[5].
Prosedur tersebut hanya akan mengurangi 0.6 episode dari berbagai macam sakit
tenggorokan pada tahun pertama setelah bedah dibandingkan dengan pengobatan
tanpa bedah. Anak yang sudah dibedah memiliki tiga episode sakit tenggorokan
pada umumnya dibandingkan dengan 3.6 episode yang dialami anak lainnya. Satu
dari tiga episode tersebut adalah episode sakit yang disebabkan oleh bedah. Oleh
karena itu anak dengan tonsilitis yang lebih parah dan sering adalah anak yang
mendapat manfaat dari bedah jika dibandingkan dengan anak yang terjangkit tidak
parah.[5].
Sirimanna et al. mengatakan bahwa long-acting penicilin berguna terhadap
reduksi signifikan tonsilitis berulang[6]. Namun, long-acting penicillin memiliki
beberapa kekurangan seperti reaksi hypersensitive, anaphylaxis dan nyeri lokal
yang parah[7].
Azithromycin (AZT) merupakan Azalide, subkelas dari antibiotik
macrolide yang didistribusikan secara luas didalam tubuh, mencapai konsentrasi
lebih tinggi pada jaringan tonsillar dengan level terapeutik cukup selama
pengobatan dengan efek samping yang sedikit [8].
Tonsilitis berulang selalu muncul pada kontinum daripada representasi
dikotik. Anak-anak tampaknya menderita dari berbagai tingkat tonsilitis berulang.
Kemungkinan adanya pengobatan lain selain tonsillectomy sangat menarik
khususnya ketika anak yang memiliki tonsilitis berulang tidak mencukupi kriteria
untuk dilakukan tonsillectomy [9].
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan efikasi AZT dan
benzathine penicilin (BP) -keduanya diberikan selama enam bulan pada
manajemen tonsilitis berulang- terhadap tonsillectomy konvensional.

2. MATERIAL DAN METODE


2.1.Desain, tata cara dan peserta
Studi klinis acak terkontrol dilakukan di otolaryngology department – Suez
Canal University Hospital – Ismailia – Egypt dan Alexandria University Children
Hospital – Egypt dari bulan Maret 2005 sampai Mei 2012. Protokol studi telah
disetujui oleh komite etik lokal fakultas dan persetujuan tertulis telah diperoleh dari
seluruh keluarga pasien.

2.2.Kelayakan pasien dan pendaftaran


Sebanyak 350 anak dengan tonsilitis berulang terdaftar dalam penelitian ini.
Tonsilitis berulang didefinisikan sebagai empat atau lebih episode tonsilitis per
tahun (untuk anak pada kedua gender) dengan dua dari episode tersebut telah
dikonfirmasi sebagai kelompok A infeksi streptococcal. Anak yang terdaftar
berusia dari lima sampai 12 tahun. 350 anak yang terdaftar memenuhi kriteria yang
telah dibuat dan tidak memiliki significant co-morbidities apapun. Significant
morbidities yang dimaksud termasuk penyakit jantung rheumatic, demam
rheumatic, resiko anesthetic, sensitivitas terhadap AZT ataupun BP, obat yang telah
dikonsumsi yang dapat mengganggu AZT atau BP, kerusakan hati, atau sindrom
QT panjang (QT berkepanjangan dengan interval >45 ms pada ECG).

2.3.Rencana studi
Anak akan dibagi secara acak dan rata kedalam dua kelompok. Proses
pengacakan yang dilakukan sebelum pelaksanaan studi seperti berikut: amplop
buram telah diberi angka berturutan dari 1 sampai 350. Tabel angka acak yang
dihasilkan komputer digunakan untuk penentuan kelompok; jika angka terakhir dari
angka acak yang dihasilkan adalah dari 0 sampai 4, pengelompokkan ditujukan
pada kelompok 1 (menerima tonsillectomy konvensional), dan jika digit terakhir
adalah dari 5 sampai 9, maka pengelompokkan ditujukan pada kelompok 2
(menerima BP atau AZT). Kelompok 2 diacak lagi menggunakan teknik yang sama
dan dikelompokkan menjadi kelompok A dan B. penunjukkan kemudian
dimasukkan kedalam amplop buram dan amplop tersebut disegel. Pada saat peserta
memasuki masa percobaan, amplop tersebut dibuka berurutan untuk
pengelompokkan para peserta. Amplop dibuka oleh spesialis ORL atas persetujuan
pasien dan sebelum metode pengobatan dilakukan; kelompok A mendapatkan
pengobatan medis menggunakan BP dan kelompok B mendapatkan pengobatan
menggunakan AZT. Subkelompok A menerima satu kali intramuscular.

BP (600,000 IU untuk anak  27 kg dan 1,200,000 IU untuk anak  27kg)


setiap dua minggu selama enam bulan [10]. Subkelompok B akan mendapatkan
satu kali oral AZT (250 mg untuk anak  25 kg dan 500 mg untuk anak  25 kg)
setiap satu minggu selama enam bulan [11]. Anak pada subkelompok AZT akan
melakukan ECG, kalkulasi QT interval dan enzim liver sebelum melaksanakan
pengobatan.

Dari total 350 anak, hanya 284 yang dapat menyelesaikan studi ini. Anak-
anak tersebut memiliki median umur 7.4  1.6 tahun.

350 anak secara acak dibagi menjadi tonsillectomy dan kelompok


pengobatan medis dengan 175 anak pada masing-masing kelompok. Sebanyak 13
anak pada kelompok tonsillectomy dan 53 anak pada pengobatan medis konservatif
dikeluarkan. Kelompok tonsillectomy sebanyak 162 anak. Kelompok pengobatan
medis konservatif sebanyak 122 anak. 61 anak pada kelompok A yang menerima
BP dan 61 anak pada kelompok B yang menerima AZT. Ada beberapa pasien yang
dikeluarkan dari kelompok pengobatan medis konservatif. Hal ini disebabkan oleh
beberapa dari mereka lebih memmilih tonsillectomy konvensional pada sektor
kesehatan swasta atau dikarenakan kurangnya kepatuhan pada pengobatan medis
konservatif.
2.4.Penilaian objektif dan pengukuran hasil
Data yang dikumpulkan meliputi riwayat medis lengkap dengan penekanan
pada tonsilitis berulang. Keparahan gejala dihitung dengan skala visual analog
untuk keparahan gejala (0 menandakan tidak ada gejala dan 10 menandakan gejala
paling parah). Sebagai tambahan, pengujian ENT dan fisik yang lengkap
dilaksanakan sebelum mulainya penelitian. Data CBC, ASOT, dan ESR
dikumpulkan dari semua anak pada awal penelitian dan setelah enam bulan.

Hasilnya kemudian dinilai melalui pengukuran berikut:

1) Rekam medis dan evaluasi klinis pada saat berakhirnya penelitian.


2) Tingkat ASOT dan ESR diambil sebelum penelitian dimulai dan enam bulan
setelah penelitian.
3) Keparahan gejala diukur menggunakan skala visual analog untuk tingkat
keparahan gejala sesuai dengan deskripsi sebelumnya.
4) Kemanan dari obat yang digunakan diukur dengan ada tidaknya efek yang
merugikan, yang diklasifikasikan sebagai kecil dan masih ditolerir (GIT upset,
pusing) atau besar, diperlukan pengecualian terhadap anak tersebut dari
penelitian (anaphylaxis, jaundice, interval qt berkepanjangan).
5) Penilaian kepuasan dilaksanakan dengan menanyakan secara langsung terhadap
pasien, orang tua pasien, dan staf medis. Kepuasan pasien diklasifikasikan
sebagai a) pasien merasa nyaman dan menerima resimen; b) pasien tidak merasa
nyaman namun menerima dan melanjutkan resimen; c) pasien tidak nyaman
dan tidak menerima lalu memutuskan resimen (dimana kemudian pasien
tersebut dikecualikan dalam penelitian).

2.5.Analisis statistik
Data yang dikumpulkan diolah menggunakan SPSS versi 18 (SPSS Inc.,
Chicago, IL, USA). Data kuantitatif dinyatakan dengan median  SD sedangkan
data kualitatif dinyatakan dengan angka dan persentase. T-test siswa digunakan
untuk membandingkan signifikasi dari perbedaan variabel kuantitatif yang diikuti
dengan distribusi normal.

2.6.Pertimbangan etik
Protokol penelitian disetujui oleh komite etik fakultas dan pernyataan
persetujuan diperoleh dari orang tua anak yang ikut dalam penelitian ini setelah
penjelasan tentang desain penelitian dan manfaat serta resiko yang termasuk
kedalam pengobatan resimen.

3. HASIL
3.1.Tingkat ASOT dan ESR
Kelompok tonsillectomy memiliki level median ESR 70.3  13.1 ml/h
selama episode terakhir tonsilitis sebelum tonsillectomy. Enam bulan setelah
operasi level tersebut turun menjadi 8.7  1.9 ml/h (P = 0.005). Median ASOT
untuk kelompok tonsillectomy adalah 436 IU/ml sebelum operasi dan menurun
menjadi 115IU/ml setelah enam bulan dengan perkembangan signifikan secara
statistik (P = 0.006).

Median ASOT sebelum pengobatan pada kelompok A adalah 476 IU/ml


dan 491 IU/ml pada kelompok B. Setelah tindak lanjut selama enam bulan median
ASOT mengalami penurunan signifikan secara statistik pada kedua kelompok
dimana kelompok A menjadi 126 IU/ml dan kelompok B menjadi 141 IU/ml. tidak
terdapt perbedaan signifikan secara statistik terhadap dua kelompok tersebut.

Level median ESR juga menunjukkan pengurangan signifikan secara


statistik pada nilainya dari sebelum pengobatan ke tahap akhir tindak lanjut selama
enam bulan. Namun, tidak dapat perbedaan signifikan secara statistik antara
kelompok A dan kelompok B dalam hal peningkatan ESR. Flow chart dari
penilitian, pra dan pasca pengobatan dapat dilihat pada Fig 1.
3.2.Keparahan gejala
Median dari nilai intensitas gejala tonsilitis sebelum pengobatan pada
kelompok A dan kelompok B dirumuskan dalam tabel 1. Tidak terdapat perbedaan
signifikan secara statistik diantara dua kelompok tersebut.

Enam bulan setelah menjalankan pengobatan, median dari nilai gejala


tonsilitis pada kelompok A dan kelompok B dihitung. Terdapat perkembangan
signifikan secara statistik pada kedua kelompok sebelum pengobatan ke akhir
tindak lanjut selama enam bulan (P = 0.03). Namun, tidak terdapat perbedaan
signifikan secara statistik terhadap kedua kelompok tersebut (tabel 1).

Dalam hal efek samping yang ditemukan pada kelompok AZT, tiga pasien
memiliki gejala ringan seperti pusing, muntah, dan kram perut disertai diare. ECG
dilakukan untuk semua pasien sebagai tolak ukur dan semua pasien emnunjukkan
ritme sinus yang normal. Pada tindak lanjut ECG umum, 50 pasien (82%) dari
kelompok AZT menunjukkan perpanjangan QT dan 11 pasien (18%) menunjukkan
pengurangan. Median QT naik secara signifikan dari 41.6 + 1.7 ms sebelum
pengobatan menjadi 43.8 + 2.9 ms (P= 0.007). tidak terdapat perbedaan signifikan
secara statistik terhadap jenis kelamin pada perubahan interval QT. selain itu, enzim
liver tidak menunjukkan kenaikan signifikan pada saat sebelum pengobatan sampai
setelah pengobatan, dan juga tidak ada perbedaan pada kelompok A dan kelompok
B. Tidak terdapat reaksi efek samping yang serius pada kedua kelompok tersebut.
Tidak ada pasien yang mengalami aktivitas rheumatic selama penelitian dan masa
tindak lanjut.

Tingkat kenyamanan pada saat pengobatan dinilai pada kedua kelompok


menggunakan satu skala parameter dikotik nyaman vs. tidak nyaman. Kelompok A
memiliki tingkat kenyamanan yang lebih rendah yaitu 36 (59.1%) pasien,
dibandingkan 25 yang merasa tidak nyaman (40.9%). Namun, kelompok yang tidak
nyaman tetap mengikuti pengobatan sampai akhir tahun. Tingkat kepuasan pada
kelompok B lebih tinggi secara signifikan yaitu 58 pasien (95.61%). Hanya tiga
pasien yang merasa tidak nyaman (4.9%) namun mereka juga tetap mengikuti tahap
pengobatan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa pasien AZT lebih nyaman dengan
obat tersebut dibandingkan dengan pasien BP, dengan perbedaan signifikan secara
statistik terhadap kedua kelompok tersebut dalam hal tingkat kepuasan. >90% dari
kedua kelompok tersebut meminum obat secara rutin. Tidak terdapat perbedaan
signifikan secaara statistik dari kedua kelompok tersebut dalam hal kepatuhan.

4. DISKUSI
Tonsilitis berulang dianggap sebagai salah satu alasan umum untuk kunjungan
rawat primer ke dokter. Tonsilitis berulang pada anak-anak memiliki pengaruh
besar pada kualitas hidup anak, tidak hanya karena efek terhadap anak namun juga
menjadi beban orang tua ketika anaknya menderita. Tonsillectomy tetap menjadi
prosedur umum, terutama pada negara bagian barat[12]. Namun, beberapa studi
immunological pada efek tonsillectomy menunjukkan pentingnya sikap konservatif
dari sudut pandang immunological terhadap adenotonsllectomy [13].

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari alternatif pengobatan dari
tonsillectomy, terutama ketika kriteria tonsillectomy tidak terpenuhi, tidak
tersedianya sumber daya ataupun orang tua lebih memilih untuk pengobatan medis.
Kedua alternatif tersebut adalah BP dan AZT.

Walapun intramuscular BP adalah obat yang dipilih untuk pengobatan dan


pencegahan demam rheumatik akut berulang, ada beberapa data internasional yang
menunjukkan tingkat reaksi alergi sebesar 3.2% dimana 0.2% dilaporkan memiliki
reaksi anaphylaxic dikarenakan injeksi BP setiap bulan. Sayangnya, terdapat tiga
korban meninggal dunia di Zimbabwe dikarenakan BP yang diproduksi oleh 3
manufaktur yang berbeda.

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa jika dibandingkan terhadap


oral penicilin, intramuscular penicilin terbukti lebih efektif terhadap demam
rheumatic berulang dan infeksi tenggorokan streptococcal [15].

Azithromycin yang merupakan antibiotik Azalide, memiliki keselerasan


yang lebih baik dan lebih mudah dikonsumsi dibandingkan intramuscullar BP.
Penelitian saat ini menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan signifikan
antara kelompok A dan kelompok B dalam hal tonsilitis berulang setelah tindak
lanjut selama enam bulan. Tingkat ASOT dan ESR juga turun menjadi normal dan
tidak terdapat perbedaan signifikan secara statistik antara kedua kelompok tersebut.

AZT terbukti sangat efektif dalam pengobatan streptococcal


tonsillopharyngitis akut pada kelompok A.

Pertimbangan khusus ketika menggunakan AZT pada pengobatan jangka


panjang adalah asosiasinya dengan bertambahnya resiko cardiovascular dan dapat
menyebabkan kematian terkait kardiovaskular pada pasien beresiko tinggi. Meta-
analisis dari percobaan acak terkontrol oleh Almalki dan Guo, melaporkan
keamanan AZT pada pasien yang telah diteliti dalam 12 percobaan yang termasuk
dalam meta-analisis dari tahun 1990 sampai 2013 [17]. Namun daripada itu,
keamanan dan efektifitas AZT sebanding dengan Penicilin V [18].

Penggunaan AZT jangka panjang terhadap infeksi streptococcal dilakukan


oleh Snider et al. dalam prophylaxis anak dengan PANDAS (pediatric autoimmune
neuropsychiatric disorders associated with streptococcal infections). Percobaan
penggunaan AZT dan penicillin selama 12 bulan dilakukan dan menunjukkan
efektifitasnya dalam pengurangan infeksi streptococcal [19].

Hasil dari penelitian ini menunjukkan efikasi AZT dalam pencegahan


tonsilitis berulang dan pengurang tingkat ASOT dan ESR yang sebanding dengan
BP dan tonsillectomy. Anak-anak merasa lebih nyaman menggunakan AZT
dibandingkan BP. Efek samping kecil muncul pada penggunaan AZT.

Kesimpulan dari penelitian ini yaitu adanya pilihan pengobatan selain


tonsillectomy untuk menangani tonsilitis berulang. AZT, yang merupakan salah
satu pilihan pengobatan, terbukti aman dan efektif dalam penelitian ini. Penelitian
selanjutnya harus melihat kemungkinan resimen AZT yang lebih pendek ketika
menangani tonsilitis berulang.
5. KESIMPULAN
AZT terbukti sebagai alternatif yang baik terhadap BP dalam manajemen
tonsilitis berulang dengan hasil yang sama dengan tonsilektomi setelah 6 bulan
pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA

[1] Sharma K, Kumar D. Ligation versus bipolar diathermy for hemostasis in


tonsillectomy:
a comparative study. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg 2011 Jan;63(1):15–9.
[2] Alho OP, Koivunen P, Penna T, et al. Tonsillectomy versus watchful waiting in
recurrent
streptococcal pharyngitis in adults: randomised controlled trial. BMJ 2007 May
5;334(7600):939 [Epub 2007 Mar 8].
[3] Kvestad E, Kvaerner K, Roysamb E, et al. Heritability of recurrent tonsillitis.
Arch
Otolaryngol Head Neck Surg 2005;131:383–7.
[4] Georgalas CC, Tolley NS, Narula PA. Tonsillitis. Clin Evid (Online) 2014
Jul;22:2014.
[5] Burton MJ, Glasziou PP, Chong LY, et al. Tonsillectomy or adenotonsillectomy
versus
non-surgical treatment for chronic/recurrent acute tonsillitis. Cochrane Database
Syst Rev 2014 Nov 19;11.
[6] Sirimanna KS, Madden GJ, Miles SM. The use of long-acting penicillin in the
prophylaxis
of recurrent tonsillitis. J Otolaryngol 1990 Oct;19(5):343–4.
[7] Brunton LL, Parker KL. Penicillin, cephalosporin and other beta lactam
inhibitor antibiotics.
Goodman and Goldman Pharmacol Therap 2008:730–52.
[8] Lister PJ, Balechandran T, Ridgway GL, et al. Comparison of azithromycin and
doxycycline
in the treatment of non-gonococcal urethritis in men. J Antimicrob
Chemother 1993;31(suppl E):185–92.
[9] Zielnik-Jurkiewicz B, Jurkiewicz D. Implication of immunological
abnormalities after
adenotonsillotomy. J Pediatr Otorhinolaryngol]–>Int J Pediatr Otorhinolaryngol
2002 Jun 17;64(2):127–32.
[10] Broderick MP, Hansen CJ, Russell KL, et al. Serum penicillin G levels are
lower than
expected in adults within two weeks of administration of 1.2 million units. PLoS
One 2011;6(10):e25308.
[11] Gopal R, Harikrishnan S, Sivasankaran S, et al. Once weekly azithromycin in
secondary
prevention of rheumatic fever. Indian Heart J 2012 Jan-Feb;64(1):12–5.
[12] Van Staaji BK, van den Akker EH, Rovers MM, et al. Effectiveness of
adenotonsillectomy in children with mild symptoms of throat infections or
adenotonsillar hypertrophy: open, randomised controlled trial. Clin Otolaryngol
2005;30:60–3.
[13] Brandtzaeg P. Immunology of tonsils and adenoids: everything the ENT
surgeon
needs to know. J Pediatr Otorhinolaryngol]–>Int J Pediatr Otorhinolaryngol Dec
2003;67(Suppl. 1):S69–76.
[14] Wyber R, Zühlke L, Carapetis J. The case for global investment in rheumatic
heartdisease
control. Bull World Health Organ 2014 Oct 1;92(10):768–70.
[15] Manyemba J, Mayosi BM. Intramuscular penicillin is more effective than oral
penicillin
in secondary prevention of rheumatic fever—a systematic review. S Afr Med J
2003 Mar;93(3):212–8.
[16] Casey JR, Pichichero ME. Higher dosages of azithromycin are more effective
in treatment
of group A streptococcal tonsillopharyngitis. Clin Infect Dis 2005 Jun 15;
40(12):1748–55 [Epub 2005 May 13].
[17] Almalki ZS, Guo JJ. Cardiovascular events and safety outcomes associated
with
azithromycin therapy: a meta-analysis of randomized controlled trials. Am Health
Drug Benefits 2014 Sep;7(6):318–28.
[18] O'Doherty B. Azithromycin versus penicillin V in the treatment of paediatric
patients
with acute streptococcal pharyngitis/tonsillitis. Paediatric Azithromycin Study
Group. J Clin Microbiol Infect Dis]–>Eur J Clin Microbiol Infect Dis 1996;15(9):
718–24.
[19] Snider LA, Lougee L, Slattery M, et al. Antibiotic prophylaxis with
azithromycin or
penicillin for childhood-onset neuropsychiatric disorders. Biol Psychiatry 2005 Apr
1;57(7):788–92.

You might also like