Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 30

7

BAB 8
PIROMETALURGI TEMBAGA

8.1. Bahan Baku


Proses produksi tembaga pada umumnya menggunakan
beberapa bahan baku dalam proses peleburan tembaga antara lain
konsentrat tembaga, flux, batubara, C-slag, dan material daur
ulang. Proses yang digunakan dalam melakukan ekstraksi
tembaga adalah proses Mitsubishi.
1. Konsentrat Tembaga
Konsentrat tembaga yang digunakan dalam proses
Mitsubishi memiliki kadar tembaga, besi dan sulfur beragam. Di
Indonesia konsentrat tembaga diperoleh dari dua perusahaan
besar, yaitu PT. Freeport Indonesia dan PT. Newmont Nusa
Tenggara. Saat ini, kandungan konsentrat dari PT. Freeport
Indonesia sekitar 23-25%, sedangkan dari PT. Newmont Nusa
Tenggara sekitar 26-28%. Kandungan sulfur dan besi pun
beragam. Selain tembaga, besi, dan sulfur, konsentrat ini
memiliki kandungan lain seperti emas, perak, timbal, seng,
selenium, arsenic, antimony, dan bismuth dalam jumlah yang
sangat kecil.
2. Flux
Flux yang digunakan dalam proses kontinu Mitsubishi
adalah silika dan batu kapur. Silika diumpankan pada saat
charging di Smelting Furnace (S-furnace) sedangkan batu kapur
8

diumpankan pada Converting Furnace (C-furnace). Silika


ditambahkan dengan maksud untuk menurunkan titik leleh dari
slag dan juga membuat larutan tidak saling larut, yaitu FeO dan
FeS. Dalam hal ini silika akan berikatan dengan FeO membentuk
slag dan memisahkannya dengan matte. Hal ini dilakukan untuk
meminimalisir kehilangan tembaga dalam slag.
Berbeda dengan S-furnace, pada C-furnace kadar FeS
dalam lelehan sudah cukup rendah. Penambahan silika pada C-
furnace justru menyebabkan terbentuknya lapisan padat magnetit
yang menghalangi proses konversi lebih lanjut. Oleh karenanya
digunakan flux berbasis CaO yang mampu bereaksi dengan
magnetit, lelehan Cu dan oksigen untuk membentuk lelehan slag
Cu2O-CaO-Fe3O4 yang memiliki titik leleh dan viskositas yang
redah. CaCO3 ditambahkan karena selain lebih ekonomis juga
digunakan untuk menjaga temperatur di C-furnace karena
sifatnya yang endotermis pada pembentukan CaO.
3. Batubara
Batubara berfungsi sebagai penambah panas atau penaik
temperatur di dalam S-Furnace. Dalam proses peleburan
dibutuhkan temperatur yang sangat tinggi, yaitu di atas
temperatur leleh tembaga. Temperatur yang digunakan sekitar
1250⁰C sehingga proses peleburan dapat berlangsung secara
efisien.
Batubara yang digunakan dalam proses ini sebelumnya
mengalami penggerusan terlebih dahulu sehingga didapatkan
ukuran partikel yang lebih kecil sehingga cocok untuk digunakan.
9

Proses penggerusan dilakukan dengan menggunakan rod mill


yang terdiri dari banyak rod steel. Ukuran batubara yang
optimum dapat dicapai dengan mengatur banyaknya rod steel
yang digunakan di dalam rod mill dan mengatur besarnya gate.
Ukuran partikel batubara yang optimum akan mempercepat
terjadinya reaksi dan menghasilkan panas yang cukup untuk
proses peleburan selain itu saat charging diharapkan batubara
tidak mudah terbang. Batubara dimasukkan dengan
mencampurnya dengan konsentrat.
4. Converting Slag (C-Slag)
Slag yang dihasilkan dari C-furnace masih terdapat tembaga
yang cukup tinggi dan dapat dikatakan berharga, sehingga
dimasukkan kembali sebagai umpan dalam S-furnace untuk
diambil kembali tembaganya. Selain itu, C-slag berguna sebagai
pendingin. Kondisi yang terjadi merupakan kondisi eksoterm
sehingga temperaturnya dapat lebih tinggi dari yang d8nginkan.
Apabila terlalu tinggi akan terjadi slag foaming yang tidak
diharapkan.
5. Material Daur Ulang
Material daur ulang yang diumpankan kembali ke dalam S-
furnace adalah lumpy atau revert. Lumpy atau revert adalah debu
yang diperoleh dari smelting dan converting furnace boiler serta
electrostatic precipitator dari kedua furnace tersebut. Bahan daur
ulang lain seperti sludge dan dust juga diumpankan ke dalam
furnace dengan cara dicampur dengan konsentrat.
8.2. Proses Peleburan
10

Proses peleburan konsentrat tembaga menjadi anoda


tembaga dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu proses raw
material handling, drying, Mitsubishi process, anode furnace,
dan casting.
8.2.1. Raw Material Handling
Proses yang terjadi pada raw material handling, yaitu
sebagai berikut :
1. Konsentrat didistribusikan dengan menggunakan belt
conveyor.
2. Pada bagian sampling and weighing, konsentrat diambil
untuk dijadikan sampel. Sampel ini akan dianalisis kadar
moisture di dalamnya.
3. Bahan baku batubara akan dilakukan proses drying di
rotary dryer kemudian dibawa dengan belt conveyor.

8.2.2 Drying
Tahapan proses drying sebagai berikut :
1. Konsentrat tembaga masuk ke dalam wet concentrate
bin.
2. Konsentrat dari wet concentrate bin kemudian dicampur
dengan batubara yang diumpankan ke dalam rotary
dryer.
3. Hasil dari rotary dryer masuk ke cage mill menuju
cyclone.
4. Debu yang keluar dari cyclone akan ditangkap oleh bag
filter dan hasil debu tersebut akan dikembalikan menjadi
feeding smelting furnace.
11

Gambar 8.1 Flowsheet of Smelting Plant

8.2.3 Mitsubishi Process


Proses Mitsubishi adalah proses smelting dan
converting tembaga yang kontinyu menggunakan tiga buah
furnace, yaitu tanur peleburan (smelting furnace), tanur
pembersihan slag (cleaning furnace), dan converting furnace
berlangsung secara berurutan. Tiga buah furnace tersebut
dihubungkan satu sama lain oleh launder yang mengantarkan
material dari satu furnace ke furnace berikutnya selama
tahap-tahap produksi. Tahapan proses Mitsubishi dapat
dilihat pada gambar 8.2.
12

Gambar 8.2
Mitsubishi Process
Campuran konsentrat dari gudang penyimpanan
konsentrat diangkut dengan menggunakan belt conveyor
menuju wet concentrate bin kemudian diumpankan ke sistem
rotary atau flash dryer dengan sebuah belt feeder. Gas
pembakaran yang panas dari ruang bakar pengering
konsentrat itu atau gas buang dari anode furnace digunakan
untuk mengeringkan konsentrat basah tersebut. Konsentrat
kering yang kadar airnya diturunkan menjadi kurang dari
0,5% ditangkap dari aliran gas oleh siklon (cyclone) yang
dilanjutkan dengan sebuah baghouse yang kemudian
konsentrat kering tersebut diangkut ke dry concentrate bin.
Sedangkan gasnya dibuang ke atmosfir melalui cerobong
yang tinggi. Silika dan batu kapur yang digunakan sebagai
flux, C-Slag, reverts yang telah dihancurkan dan batubara
diumpankan dari stroge bins ke sebuah sistem conveyor yang
selanjutnya dikirim ke pressurized hopper (tangki
pengumpanan bertekanan).
13

Material dipanaskan secara pneumatik ke S-furnace dan


kemudian d8njeksikan melalui 11 lances pengumpanan yang
berada dibagian atas S-furnace itu, bersama-sama dengan
udara yang kaya oksigen, masuk ke dalam leburan (molten
bath) di dalam furnace. Turbulensi yang ditimbulkan oleh
penginjeksian umpan ke dalam bath, mencegah matte dan
slag terpisah menjadi dua fase dan campuran tersebut
dialirkan ke launders menuju cleaning furnace (Cl-furnace).
Matte dan slag terpisah menjadi dua fase di dalam Cl-
furnace, temperatur leburan dijaga dengan enam buah
elektroda grafit. Cl-slag meluap (overflow) secara kontinyu
dari Cl–furnace dan digranulasikan dengan air yang
tersikulasi. Matte dengan kandungan 65% tembaga, dialirkan
keluar melalui shipon dari Cl-furnace dengan menggunakan
launders menuju C-furnace.
Dalam C-furnace, matte diubah menjadi tembaga blister
dengan menginjeksikan udara kaya oksigen dan batu kapur
dengan menggunakan sepuluh buah lance yang berada di
bagian atas furnace. Batu kapur dialirkan ke C-furnace
lances dengan menggunakan sebuah sistem pneumatik
seperti pada S-furnace. Udara kaya oksigen bercampur batu
kapur di dalam lance. Turbulensi akibat penginjeksian
menyebabkan reaksi oksidasi menjadi cepat dengan efisiensi
pemanfaatan oksigen yang tinggi. Kandungan tembaga di
dalam C-slag adalah terlalu tinggi untuk dibuang dan dengan
14

demikian harus didaur ulang untuk mendapatkan


tembaganya. Anode scrap dari refinery ditambahkan ke
dalam C-furnace dengan menggunakan sistem pengumpanan
yang menjatuhkan setiap anode scrap melalui sebuah lubang
di atas furnace. C-slag secara kontinyu meluap menuju
launders untuk dialirkan ke granulation pit dimana slag
tersebut digranulasikan dengan air yang disirkulasikan. C-
slag diambil dari granulation pit dan diangkut ke gudang
penyimpanan flux atau secara langsung dikeringkan di dalam
rotary dryer untuk selanjutnya dikirim ke storage bins.
Tembaga blister dari C-furnace dialirkan keluar melalui
shipon dan dengan menggunakan sebuah launders dialirkan
menuju satu dari tiga buah anode furnace yang berbentuk
silinder.
1. Smelting Furnace (S-Furnace)
Konsentrat yang telah dikeringkan dan material
tambahan (pasir silika) dimasukkan ke dalam S-Furnace
melalui pipa-pipa vertikal dan dioksidasi dengan udara yang
diperkaya oksigen untuk menghasilkan leburan matte dan
slag. Campuran matte dan slag mengalir menuju Cl-furnace
melalui launder. S-furnace merupakan tahap awal dari
peleburan. Di S-furnace terdapat slag dan matte yang masih
tercampur. Bahan baku untuk S-furnace yaitu konsentrat
dengan tambahan flux berupa silika dan batubara. Pemasukan
15

bahan baku dilakukan melalui feeding system. Reaksi yang


terjadi di S-furnace yaitu :
Thermal Decomposition (T: 1250oC)
2CuFeS2 → Cu 2 S + FeS + Fe S2 .....................................................(8.1)

4Fe S2 → 2FeS + S2 ............................................................................(8.2)

CaC O3 → CaO + C O 2 .....................................................................(8.3)

Oksida di Molten Metal

S2 + 2 O2 → 2 SO2 ..............................................................................(8.4)

FeS + Cu2 O → Cu2 S + Fe O..........................................................(8.5)

FeS + 3 Fe3 O4 → 10FeO + SO2 ....................................................(8.6)

Pembentukan Matte dan Slag

FeS + Cu2 S → FeS. Cu 2 S .................................................................(8.7)

4FeO + O2 → 4FeO.Si O2 ...................................................................(8.8)

CaO + Si O2 → CaO.Si O2 ................................................................(8.9)

Secara umum, konsentrat mengalami proses reduksi


karena adanya oksigen yang dialirkan ke dalam furnace
dengan menggunakan sistem injeksi yaitu blowing.
Konsentrat tembaga (CuFeS2) akan terpecah sehingga Sulfur
akan berikatan dengan oksigen membentuk gas SO2 yang
nantinya akan dikirim ke acid plant melalui boiler untuk
16

diubah menjadi H2SO4 yang akan dijual ke pabrik pupuk.


Besi (Fe) akan berikatan dengan silika (Si) membentuk slag
(Fe3O4.SiO2). Proses reduksi konsentrat meningkatkan kadar
Tembaga (Cu) menjadi 65-68 %. Proses peleburan ini
menghasilkan matte dengan konsentrasi tembaga sekitar 65-
68 %. Peningkatan kandungan Cu pada slag terjadi dengan
meningkatnya matte grade pada proses peleburan.
Maka dipilih matte grade dengan 65-68 % Cu, dengan
matte grade sekitar 65-68% maka didapat 0,7 % Cu di slag.
Pencapaian matte grade sekitar itu dapat terjadi dengan
kandungan SiO2 yang saturated. Matte dan slag yang masih
tercampur di dalam S-furnace akan diteruskan masuk ke Cl-
furnace dengan menggunakan launder.

2.
Slag Cleaning Furnace (Cl-Furnace)
Matte dan slag yang masih tercampur di dalam S-
furnace akan masuk ke dalam Cl-furnace yang kemudian
akan dipisahkan antara slag dan mattenya. Di dalam Cl-
furnace tidak ada reaksi kimia yang terjadi, sehingga dalam
furnace ini tidak ada gas buang (off gas). Proses ini hanya
untuk memisahkan dan hanya dilakukan penahanan
temperatur dengan menggunakan electrode yang berjumlah
6. Elektroda tersebut tidak boleh bersentuhan dengan matte
karena dapat mati elektrodanya, power electrode. Pengaturan
17

terhadap temperatur dilakukan dengan menaikkan dan


menurunkan. Matte yang telah terpisah dari slag selanjutnya
mengalir melalui Cl-siphon kemudian mengalir ke launder
dan kemudian masuk ke dalam C-furnace untuk mengubah
kadar matte 65-68 % menjadi blister (kandungan 98,50 %).
Slag yang telah terpisah mengandung 0,7 % Cu mengalir
melalui Cl-slag outlet. Slag ini kemudian digranulasi dengan
menggunakan penyemprotan air. Air yang disemprotkan
memiliki laju tertentu sehingga granulasi berjalan sempurna
karena bila laju air dalam granulasi kurang dikhawatirkan
bisa terjadi ledakan.

Cl-furnace dipanaskan oleh 2 set elektroda dengan


konfigurasi delta (2100 dan 1500 KVA). Matte dipisahkan
dari slag melalui perbedaan berat jenis. Slag yang overflow
digranulasi dengan air lalu dijual ke industri semen,
sedangkan leburan matte (Cu 65-68%) secara konstan
mengalir ke C-furnace melalui launder. Dalam proses
peleburan, kategori peleburan tersebut baik adalah bukan
dilihat dari kadar yang dihasilkan tinggi, tetapi bagaimana
proses berjalan untuk menghasilkan slag yang baik. Tabel 8.1
merupakan komposisi slag yang dihasilkan pada Cl-furnace

Tabel 8.1 Komposisi dari slag yang dihasilkan pada CL-


furnace

Komposisi Cl-Slag %
18

Cu < 0,7
Ratio Fe/SiO2 1,0 – 1,1

Ciri-ciri dari slag yang baik yaitu :


a. Memiliki melting temperatur yang rendah.
b. Sedikit tembaga yang larut ke dalam slag.
c. Memiliki viskositas yang rendah.
d. Memiliki densitas yang rendah.

3. Converting Furnace (C-furnace)

Hasil dari matte yang telah dipisahkan dari slag dalam


CL-furnace akan masuk ke dalam C-furnace. Di dalam C-
furnace, akan terjadi proses oksidasi dan reduksi kembali.
Prosesnya yaitu dengan mengambil kandungan Fe dan sulfur
yang terdapat dalam matte dan mengubah matte menjadi
blister (98.5%). Pada C-furnace feeding system berbeda
dengan yang ada pada S-furnace. Pada S-furnace dimasukan
silika sedangkan pada C-furnace dimasukan limestone
(CaCO3). Di dalam C-furnace juga terjadi reaksi kimia dan
juga menghasilkan gas buangan yang akan dikirim ke acid
plant. Reaksi kimia pada C-furnace yaitu seperti pada
gambar 8.3.

Blister

Zone A
C Slag
19

Gambar
8.3 Reaksi-reaksi kimia yang terjadi pada C-furnace

Reaksi kimia pada zona A :


4Cu + O 2 ⇌ 2Cu 2 O ...........................................................................(8.10)
CaC O3 ⇌ CaO + CO2 ........................................................................(8.11)
Reaksi kimia pada zona B :
3FeS + 3Cu 2 O ⇌ 20 Cu + Fe3 O4 +3 SO2 ..........................................(8.12)
Cu 2 S + 2Cu 2 O ⇌ 6 Cu +SO 2 ...........................................................(8.13)
Slag yang dihasilkan pada C-furnace memiliki
kandungan sekitar 11-14 % Cu. Slag ini kemudian
digranulasi dengan menggunakan air, kemudian C-slag
dimasukkan ke dalam S-furnace dan C-furnace yang
berfungsi sebagai coolant (pendingin). Di dalam C-furnace
sangat penting untuk mengatur tebalnya slag. Hal ini
dikarenakan bila slag sangat tebal, reaksi yang terjadi pada
zona A menjadi terhambat sehingga matte tidak bereaksi
homogen. Hal ini dapat menyebabkan blister muda yaitu
blister dengan kandungan Cu < 98%.
20

8.2.4. Anode Furnace


Blister dengan kandungan Cu sekitar 98,50% yang
dihasilkan dari proses Mitsubishi selanjutnya masuk ke anode
furnace untuk persiapan proses casting. Hal ini karena
kandungan sulfur dalam blister masih sangat cukup tinggi, yaitu
sekitar 0,7 – 1,0 %. Sulfur termasuk unsur yang sangat reaktif
terhadap oksigen sehingga membentuk gas-gas yang dapat
merusak permukaan casting, yang akan mengakibatkan pada
penurunan kualitas katoda tembaga pada proses pemurnian.
Untuk itu, dilakukan proses pengurangan kandungan sulfur
dengan cara direaksikan dengan oksigen (oksidasi), dengan ini
diharapkan kandungan sulfur menjadi sekitar 100 ppm. Proses
oksidasi ini menyebabkan kandungan oksigen dalam blister
meningkat. Oksigen yang tinggi akan menyebabkan kandungan
oksigen dalam blister meningkat. Oksigen yang tinggi akan
menyebabkan terbentuknya porositas pada hasil casting. Selain
itu juga oksigen akan bereaksi dengan elektrolit dan akan
mengganggu proses refinery. Oleh karena itu dilakukan proses
deoksidasi setelah proses oksidasi sampai kadar oksigen kurang
dari 1200 ppm. Proses oksidasi dan reduksi yang terjadi di
anode furnace adalah proses fire refining. Proses ini merupakan
batch process, furnace akan d8si penuh blister terlebih dahulu
baru kemudian diproses. Selain kandungan sulfur dan oksigen,
yang harus dipersiapkan sebelum proses casting adalah
21

kandungan Pb dalam blister. Kandungan Timbal (Pb) ini akan


mengganggu proses pemurnian anode tembaga yang dihasilkan.
Gambar 8.4 di bawah ini menunjukkan bagian-bagian
anode furnace yang digunakan sebagai berikut:

Gambar 8.4 Bagian-bagian Anode Furnace

1. Receiving Mouth
22

Merupakan lubang yang terdapat pada ujung atas anode


furnace yang berfungsi sebagai lubang pemasukan blister
copper dari C-furnace. Dari lubang ini pula, dapat
diketahui selesainya proses reduksi dengan melihat
bentuk api yang keluar dari receiving mouth.
2. Charging Mouth
Charging mouth merupakan lubang yang terdapat pada
tengah-tengah anode furnace yang berfungsi sebagai
berikut :
a. Keluarnya slag dan melt pada proses slag skimming.
b. Memasukkan anode scrap dari refinery.
c. Memasukkan anode reject dari hazelett casting.
d. Memasukkan secondary scrap tembaga dari pabrik lain.
3. Burner
Burner merupakan alat pembakar dengan sistem spray
melalui nozzle yang berfungsi untuk menjaga temperatur
tembaga cair di dalam furnace. Burner menggunakan
bunker C-Oil atau natural gas sebagai bahan bakar.
Pembakaran yang sempurna dapat tercapai dengan
penambahan atomizing air dan combustion air. Atomizing
air hanya ditambahkan bila natural gas tidak dapat
digunakan.
4. Tuyere
Tuyere adalah lubang berbentuk silindris dengan pipa, yang
terdapat di salah satu sisi anode furnace. Pada saat proses
oksidasi, tuyere berfungsi untuk menginjeksikan udara dan
oksigen tinggi, sedangkan pada proses reduksi tuyere
digunakan untuk menginjeksikan oil dan steam.

5. Tapping Hole
23

Tapping hole adalah lubang yang terletak


bersebrangan dengan tuyere yang berfungsi sebagai jalur
keluarnya tembaga cair selama casting. Proses oksidasi ini
merupakan proses yang dilakukan untuk mengurangi kadar
sulfur pada blister. Proses oksidasi dilakukan dengan
menambahkan udara yang diperkaya oksigen (250 Nm3/h)
dan udara (1700 Nm3/h) melalui dua tuyere. Persamaan
reaksi secara sederhana dapat dituliskan sebagai berikut:
S + O2 → SO 2 .............................................................(8.14)
Jumlah blister minimal agar dapat dioksidasi adalah 250
ton dengan kapasitas maksimum anode furnace 450 ton.
Proses oksidasi yang terjadi saat receiving mouth masih
menerima blister copper untuk mencapai kapasitas
maksimum disebut pre-oksidasi, sekitar 4-5 jam sebelum
anode furnace tersebut penuh. Pre-oksidasi dilakukan untuk
menghemat waktu oksidasi agar tidak terlalu lama. Proses
oksidasi membutuhkan waktu sekitar 1 jam. Pada saat pre-
oksidasi dan oksidasi anode furnace diputar sehingga posisi
tuyere terendam logam cair (blister). Ini dimaksudkan agar
udara yang diperkaya oksigen dari tuyere dapat masuk ke
dalam blister dan mengaduk blister, sehingga oksigen
bereaksi sempurna dengan sulfur pada blister. Pada saat
oksidasi, lubang burner yang tidak terpakai disumbat dengan
menggunakan ceramic blanket. Hal ini dilakukan agar
burner tidak tersumbat oleh splash. Jika kondisi furnace
memungkinkan maka proses oksidasi akan lebih baik
24

menggunakan burner untuk mempertahankan temperatur


logam cair.
Proses oksidasi diakhiri jika kadar sulfur dalam logam
cair kurang dari 0,01 %. Untuk mengetahui proses oksidasi
berakhir ada 2 cara, yaitu :
a. Oksigen probe yaitu merupakan alat yang digunakan
untuk mengukur kadar oksigen dalam blister secara
langsung. Dengan mengetahui kadar oksigen dalam
blister, maka dapat diketahui kadar sulfur dengan
menggunakan grafik antara gas oksigen dengan sulfur.
Apabila kadar oksigen dalam logam cair 5500-7500
ppm, maka kadar sulfur dalam logam cair di bawah 100
ppm. Jika kondisi tercapai maka proses oksidasi
dihentikan.

b. Sampling yaitu mengambil sampel langsung dari anode


furnace yang telah membeku. Dengan mengamati bentuk
sampel, maka dapat diperkirakan kandungan sulfur
dalam blister tersebut. Selain itu, pengambilan sampel
itu juga dapat mengetahui terjadinya atau tidak over
oksidasi di dalam anode furnace.
Proses reduksi merupakan proses yang dilakukan untuk
mengurangi kadar oksigen pada logam cair setelah proses
oksidasi dengan persamaan reaksi sebagai berikut :
CuO + C → Cu + CO2 ...........................................................(8.15)
25

Carbon didapat dari natural gas atau oil yang diproses


steam melalui tuyere. Natural gas yang digunakan sekitar 400 –
500 Nm3/h untuk setiap tuyere sedangkan oil yang ditambahkan
sebanyak 400 – 500 Nm3/h untuk setiap tuyere dengan
menambahkan udara sebesar 600 Nm3/h per tuyere. Pengaliran
steam berguna untuk mendekomposisi ikatan karbon, agitasi
logam cair dan mencegah supaya tuyere tidak buntu. Untuk
mengetahui akhir proses reduksi dengan menggunakan oksigen
probe yang dapat secara langsung mengukur kadar oksigen
dalam logam cair.
Pada anode furnace, pemisahan antara slag dan blister
dilakukan berdasarkan perbedaan berat jenis antara slag dengan
tembaga cair dimana berat jenis slag lebih ringan sehingga slag
akan ada dipermukaan tembaga cair. Proses pembuangan slag
dilakukan dengan cara memiringkan anode furnace hingga slag
yang ada di atas permukaan tembaga cair akan tumpah melalui
charging mouth menuju ladle yang diletakkan di bawah anode
furnace. Pada proses slag skimming memungkinkan adanya
tembaga cair yang terbawa ke dalam ladle. Slag yang ada di
permukaan ladle lebih cepat membeku daripada tembaga cair
karena perbedaan temperatur beku, sehingga tembaga cair dapat
dipisahkan dari slag yang membeku dan dapat dimasukkan
kembali ke anode furnace. Proses slag skimming dapat
dilakukan dengan cara menggunakan dam pot. Slag dan logam
cair yang telah membeku dalam dam pot akan dicharging
kembali ke anode furnace. Apabila proses reduksi masih
26

menghasilkan jumlah slag yang terlalu banyak, maka slag


skimming dilakukan kembali. Setelah proses Fire Refining, di
dalam anode furnace diperlukan peningkatan temperatur logam
cair 1500 C. Hal ini bertujuan untuk mencapai temperatur
O

tapping.

8.2.5
Casting Blister Copper
Setelah proses fire refining selesai, tembaga cair dari
anode furnace akan di alirkan menuju holding furnace
melalui launder. Holding furnace berfungsi untuk mengatur
laju aliran logam cair sebelum masuk kedalam mesin casting
hazellet caster serta mempertahankan temperatur tembaga
cair (1100-1130oC) dengan menggunakan burner. Apabila
temperatur tembaga cair terlalu tinggi, maka dapat merusak
belt dan menimbulkan retak pada mesin caster. Keretakan
pada belt dapat membuat belt bocor sehingga air dibawah
belt bersentuhan langsung dengan logam cair dan
menyebabkan terjadinya ledakan. Apabila temperatur terlalu
rendah, maka tembaga cair dapat membeku sebelum mengisi
ruang pada mesin caster secara sempurna.
27

Gambar 8.5 Hazellet Caster Machine

Tembaga cair dalam holding furnace di alirkan ke mesin


hazellet caster melalui tundish. Tundish berfungsi sebagai
pengarah aliran tembaga cair agar ketika masuk kedalam
hazellet caster dapat mengisi seluruh rongga cetakan.
Tundish terbuat dari batu tahan api yang dilapisi oleh mortar.
Sebelum digunakan, tundish terlebih dahulu dipanaskan
dengan burner sekitar 1 jam untuk mencegah terjadinya
thermal shock. Sebelum melakukan proses casting, terlebih
dahulu dilakukan proses slag skimming pada holding furnace
yang dilakukan dengan mengalirkan tembaga cair menuju ke
dam pot melalui tundish, setelah slag terpisah, tundish
diarahkan ke mesin caster untuk mengalirkan tembaga cair
sehingga proses casting dapat dilakukan. Gambar Hazellet
Caster machine dapat dilihat pada gambar 8.5
Temperatur inlet dari hazellet caster diatur agar stabil
pada suhu 1100-1130oC untuk mencegah adanya kerusakan
pada mesin sedangkan temperatur keluaran dari hazellet
caster yaitu 850-950oC. Hazellet caster terdiri dari dua buah
belt low carbon steel yang berputar berlawanan arah. Belt
ditopang oleh back up roller yang ikut berputar untuk
menjaga kedataran permukaan anode tembaga yang
28

dihasilkan. Setiap 3 back up roller memiliki sebuah header


yang mempunyai nozzle untuk menyemprotkan air ke bagian
bawah belt dan pada back up roller. Setiap nozzle memiliki
pengarah air untuk mengarahkan agar air masuk ke bawah
belt dan ke sela-sela back up roller. Header mempunyai
saringan yang berfungsi sebagai penyaring kotoran dari air
yang disemprotkan. Saringan pada header harus sering
dibersihkan untuk menghindari mampatnya saringan oleh
kotoran sehingga air sulit keluar. Kontak langsung antara belt
dengan tembaga cair dihindari dengan menggunakan coating
silicon oil yang direaksikan dengan udara dan disemprotkan
pada belt bagian atas dan bawah. Silicon oil direaksikan
dengan udara bertujuan membentuk kabut ketika
disemprotkan ke belt sehingga silicon oil menyebar lebih
merata ke seluruh permukaan belt. Pada masing-masing belt
terdapat 5 buah penyemprot silicon oil.
Di tepi belt bagian bawah, terdapat dam block yang
berfungsi sebagai cetakan tepi anode dan juga sebagai
cetakan kuping (lug) dari anode copper. Di belakang dam
block terdapat side seal, yaitu karet yang berfungsi untuk
mencegah masuknya air ke dam block dan ke dalam cetakan
yang dapat menyebabkan terjadinya ledakan. Untuk
mendapatkan hasil anode copper yang bagus, maka posisi
penyangga sebelah kanan dan kiri harus sejajar. Pada awal
casting posisi penyangga sebelah kanan dan kiri sudah
29

disejajarkan, tetapi pada saat proses casting berjalan, posisi


penyangga dapat bergeser dan menjadi tidak sejajar. Lug
detector digunakan untuk mendeteksi perbedaan posisi antar
penyangga. Exit table merupakan suatu alat berupa meja
yang memiliki roller, digunakan untuk tempat keluarnya
anode strip dari hazellet caster menuju ke pitch roll. Pitch
roll adalah suatu alat yang terdiri dari dua buah silinder pejal
yang berputar berlawanan arah dan juga memiliki sistem
pendingin dengan menggunakan jaket air. Alat ini befungsi
untuk menarik dan menjepit anode strip sehingga mudah
mengikuti alur yang telah ditentukan dan sebagai perata
permukaan anode strip.
Mesin casting hazellet caster mencetak tembaga cair
dengan kemiringan tertentu, sehingga untuk memudahkan
proses pemotongan menjadi anode tembaga, anode strip
diluruskan terlebih dahulu dengan curve guide. Anode strip
yang berasal dari curve guide akan dipotong dengan
menggunakan mesin potong hidrolik (shear hidrolic
machine) menjadi anoda tembaga. Pemotongan dapat tepat
pada bagian penyangganya karena ada detector infrared yang
mendeteksi penyangga anoda tembaga dan kemudian
memberikan perintah kepada mesin potong untuk memotong
anode strip secara hidrolik. Pisau pemotong pada shear
hidrolic machine ini memiliki umur pakai 1 bulan, tetapi
karena kedua permukaan pisau dapat digunakan sebagai alat
pemotong, maka alat potong ini memiliki masa pakai 2
30

bulan. Setelah strip dipotong, maka anoda tembaga


dimasukkan ke terowongan pendingin (cooling tunnel). Pada
cooling tunnel, anoda tembaga akan disemprot dengan air
dingin dari atas dan bawah secara terus menerus. Anoda
tembaga yang telah didinginkan pada colling tunnel akan
menuju stacking device. Pada stacking device, anoda
tembaga ditumpuk pada dua bagian sebanyak 15 tumpuk
dengan masing-masing tumpuk kurang lebih 400 kg
kemudian diangkut oleh forklift ke anode storage sebelum
dibawa ke refinery.

8.3. Proses Pemurnian (Refinery)

Gambar 8.6 ISA proses


Pabrik pemurnian menggunakan teknologi ISA Process
yang modern seperti pada gambar 8.6, yang menggunakan plat
baja tahan karat sebagai katoda awal. Tugas utama refinery plant
adalah memurnikan anoda tembaga (± 99,40% Cu) menjadi
31

katoda tembaga (99,99% Cu) melalui proses electrorefining.


Selain itu, tujuan pemurnian tembaga yang dilakukan di pabrik
ini adalah mengambil unsur pengotor berharga yang ada di dalam
anoda sebagai hasil samping berupa slime yang mengandung
emas dan perak.
Proses pemurnian terbagi dalam beberapa tahapan seperti
sel komersial, hasil sampling dan pengambilan tellerium.
8.3.1 Sel Komersial (Commercial Cells)
Di dalam sel inilah produksi katoda tembaga dilakukan.
Anoda tembaga dan katoda dari baja tahan karat dirangkai
secara paralel rapi berselang seling yang dimasukkan ke
dalam sel yang berisi elektrolit. Selanjutnya katoda dan
anoda dialiri arus DC, tembaga yang ada pada anoda akan
terlarut dan terdeposisi di permukaan katoda. Setelah jangka
waktu tertentu, katoda diangkat, dan deposit tembaganya
dipisahkan menggunakan cathode stripping machine. Katoda
yang telah dikelupas (katoda kosong yang telah di ambil
deposit tembaganya) dicuci dan perbaikan, dimasukkan lagi
ke dalam sel untuk proses deposisi berikutnya. Deposisi
dilakukan secara kontinyu sampai anoda menipis dan harus
diganti dengan anoda baru.

8.3.2 Hasil samping ( by product plant )


Di dalam pabrik ada dua unit proses yaitu :
1) Leaching untuk slime
32

Setelah elektrolit yang terbawa slime dipisahkan slime


siap untuk dileaching di dalam autoclave. Slime
mengandung tembaga sekitar 20%. Untuk mengambil
tembaga ini dilakukan proses leaching dengan larutan
asam sulfat yang cukup pekat dengan kadar 95% di dalam
alat autoclave. Oksigen disemprotkan untuk mengoksidasi
Cu agar larut dalam asam sulfat. Dengan pemanasan
steam, temperatur leaching yang baik berkisar 115-130oC.
Tembaga yang ada di dalam slime, larut dalam larutan
menjadi tembaga sulfat. Proses leaching berlangsung 2-4
jam. Slime yang telah dileaching kemudian dibilas dengan
air, dikeringkan, dimasukkan ke dalam kantong untuk
dijual emas dengan kadar 1% dan perak dengan kadar
3,2% di dalamnya.
2) Sel Liberator
Ada tiga rangkaian sel
liberator yaitu :
a. Liberator Primer
Laju pelarutan tembaga di anoda lebih besar daripada
laju deposisi tembaga di katoda, sehingga perlahan-
lahan jumlah tembaga di dalam larutan meningkat.
Hal ini akan memberi pengaruh buruk pada operasi
pemurnian. Liberator primer dipakai untuk
mengurangi kadar tembaga di dalam larutan ini secara
electrowinning yaitu tembaga dideposisikan langsung
33

dari larutan ke katoda dengan memakai anoda Pb. Sel


liberator primer mempunyai jumlah sel 16 dengan
ukuran yang sama dengan sel komersial. Kadar
tembaga dalam elektrolit diturunkan dari 49 g/L
hingga 35 g/L.

b. Liberator Sekunder
Liberator sekunder mempunyai 2 seksi dan setiap
seksi terdapat enam sel. Sel anoda yang digunakan
berjumlah 59 terbuat dari Pb sedangkan katoda
berjumlah 58 menggunakan scrap anoda yang tidak
larut setelah digunakan pada sel komersil. Arus yang
digunakan adalah 22 kA dan elektrolit yang
digunakan berasal dari liberator primer. Proses ini
akan menurunkan kadar Cu pada elektrolit dari 35 g/l
menjadi 20 g/l. Hasil liberator sekunder diproses lebih
lanjut di tellurium removal tank untuk mengikat
Tellurium (Te) menjadi Tembaga Tellurium (Cu2Te).
c. Liberator Tersier
Elektrolit keluaran liberator tersier diharapkan
mengandung tembaga serendah mungkin sampai 1
g/L. Liberator tersier sel ini merupakan rangkaian
terakhir proses elektrowinning. Semua elektrolit
keluaran sel liberator sekunder mengalir masuk ke sel
ini. Liberator tersier terdiri dari empat sel. Unsur seperti
arsen, antimoni, dan bismuth ikut terdeposisi bersama
34

tembaga menjadi lumpur liberator (liberator sludge )


karena kadar tembaga di dalam elektrolit sudah sangat
rendah. Lumpur liberator akan dikirim ke pabrik
peleburan. Gas arsen yang sangat beracun dapat timbul
dalam liberator tersier walaupun konsentrasinya rendah.

PERTANYAAN :
1. Sebutkan fungsi charging mouth pada anoda furnace !
2. Apakah tugas utama dari refinery plant ?
3. Apa itu misubishi process ?
4. Bagaimanakah ciri-ciri slag yang baik pada pirometalurgi
tembaga ?
5. Reaksi apa yang terjadi pada converting furnace ?
35

JAWABAN :
1. Charging mouth merupakan lubang yang terdapat
pada tengah-tengah anode furnace yang berfungsi
sebagai berikut :
a. Keluarnya slag dan melt pada proses slag
skimming.
b. Memasukkan anode scrap dari refinery.
c. Memasukkan anode reject dari hazelett casting.
d. Memasukkan secondary scrap tembaga dari
pabrik lain
2. Untuk melakukan pemurnian tembaga hingga
kadarnya mencapai 98%
3. Proses Mitsubishi adalah proses smelting dan
converting tembaga yang kontinyu menggunakan
tiga buah furnace, yaitu tanur peleburan (smelting
furnace), tanur pembersihan slag (cleaning
furnace), dan converting furnace berlangsung
secara berurutan.
4. Ciri-ciri dari slag yang baik yaitu :
a. Memiliki melting temperatur yang
rendah.
b. Sedikit tembaga yang larut ke dalam
slag.
c. Memiliki viskositas yang rendah.
d. Memiliki densitas yang rendah.
36

5. Reaksi Oksidasi

DAFTAR PUSTAKA

B.A. Wills, J.A Finch, “Wills Mineral Processing Technology 8th


ed”, Butterworth-Heinemann
Basics in Mineral Processing Handbook. Metso expect result.
Rosenqvist, Terkel. Principle of Extractive Metallurgy
Habashi, Fathi. 1997. Handbook of Extractive Metallurgy. Mc
Graw Hill

You might also like