Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 228

KONTRIBUTOR

1. H. Muhammad Fadhli, S.Kep, Ns


Ketua Hipgabi Kalimantan Selatan, Kepala ruangan UGD RSUD Ulin Banjarmasin
2. H. Yan Setiawan, Ns., M.Kep
Ketua Bidang Diklat Hipgabi Kalimantan Selatan, Humas RSUD Ulin Banjarmasin
3. Abdurrahman Wahid, Ns., M.Kep
Bagian Diklat Hipgabi Kalimantan Selatan, Dosen Gadar pada Universitas Lambung
Mangkurat Banjarmasin
4. Bagus Rahmat Santoso, Ns., M.Kep
Ketua Bidang Kesejahteraan Hipgabi Kalimantan Selatan, Dosen Gadar pada STIKes
Sari Mulia Banjarmasin
5. Doni Wibowo, Ns., M.Kep
Bidang Kesejahteraan Hipgabi Kalimantan Selatan, Dosen Gadar pada STIKes Cahaya
Bangsa
6. Hj. Noor Khalilati, Ns., M.Kep
Bendahara Hipgabi Kalimantan Selatan, Dosen Gadar pada Universitas Muhammadiyah
Banjarmasin
7. Hanura Aprilia, Ns., M.Kep
Sekertaris Hipgabi Kalimantan Selatan, Dosen Gadar pada Universitas Muhammadiyah
Banjarmasin
8. Muthmainnah, Ns., M.Kep
Dosen Gadar pada Universitas Muhammadiyah Banjarmasin

KATA PENGANTAR

Salam dan sejahtera semoga Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa memberkahi kita semua.
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas nikmat seta karunia Nya, sungguh suatu kebanggan
bagi kami dapat mempersembahkan buku pegangan Pelatihan Basic Trauma and Cardiac Life
Support ini yang dipakai sebagai salah satu acuan dalam pelatihan BTCLS untuk perawat dan
mahasiswa keperawatan tingkat akhir. Materi ini disusun oleh Tim Hipgabi Kalimantan
Selatan berdasarkan sumber yang sesuai dengan keilmuan.

Semoga buku ini dapat digunakan sebagai panduan dalam pelatihan BTCLS dan bermanfaat
untuk penatalaksanaan medis di lapangan, kami menyadari masih banyak kekurangan dalam
penyususnan buku panduan ini, kami ucapka terimakasih atas masukan, saran dan kritiknya
demi kesempurnaan buku ini dimasa yang akan datang.

Salam sejahtera bagi kita semua.

Banjarmasin, Juni 2018

DAFTAR ISI

BAB I ETIK DAN HUKUM DALAM KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


BAB II SISTEM PENANGGULANGAN GAWAT DARURAT TERPADU (SPGDT)

BAB III BANTUAN HIDUP DASAR

BAB IV FIRS INITIAL ASSESSMENT

BAB V MANAJEMEN JALAN NAFAS

BAB VI SYOK

BAB VII TRAUMA PEDIATRIK DAN GERIATRI

BAB VIII TRAUMA KEPALA

BAB IX TRAUMA DADA

BAB X TRAUMA ABDOMEN

BAB XI TRAUMA EKSTRIMITAS

BAB XII TRAUMA SPINAL

BAB XIV LUKA BAKAR

BAB XV SHOCKABLE VS NON SHOCKABLE RHYTHM

BAB XVI PENGGUNAAN DEFIBRILATOR

BAB XVII CHOKING MANAJEMEN

BAB XVIII PERDARAHAN DAN TENGGELAM

BAB XIX KERACUNAN

BAB XX LIFTING & MUVING

BAB XXI SISTEM PRE HOSPITAL DAN RUJUKAN NASIONAL

BAB XXII EMERGENCY DRUG

BAB XXIII PEMBALUTAN DAN PEMBIDAIAN

BAB XXIV GIGITAN BINATANG


DILEMA ETIK DALAM KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
Etik adalah apa yang seharusnya seseorang berperilaku dan bertindak dalam hubungannya
dengan dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungannya. Etik tidak selalu menggambarkan apa
yang sebenarnya terjadi atau apa yang dituntut secara hukum.

Dilema etik muncul ketika perawat-perawat gawat darurat sering berada pada situasi dimana
mereka dituntut untuk senantiasa menjadi agen atau advokat bagi pasien, dokter, dan
organisasinya. Mereka bisa saja punya konflik kebutuhan, kepentingan dan tujuan serta punya
perbedaan keyakinan nilai etik yang sifatnya personal. Bagaimana perawat gawat darurat
menangani situasi-situasi seperti itu akan mempengaruhi perawatan pasien dan kepuasan
moral perawat.

Perawat Gawat Darurat adakalanya harus memilih di antara pilihan yang ada, namun kurang
ideal. Menggunakan suatu pendekatan sistematis dan instrument etis yang tersedia akan
membantu perawat mengambil keputusan-keputusan etis yang lebih baik dan merasa yakin
dengan keputusannya tersebut.

Adanya konflik antara tenaga kesehatan dan pasien atau keluarganya, dalam keluarga pasien
sendiri, atau antara sesame tenaga kesehatan sendiri sering menjadi suatu tanda adanya dilema
etik

KERANGKA KONSEP ETIK UNTUK PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Kerangka konsep etik membantu mengklarifikasi nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan.


Tabel 5-1 berisi daftar beberapa kerangka konsep etik yang digunakan dalam pengambilan
keputusan.

TABEL 5-1 KERANGKA ETIK


KERANGKA PREMIS DASAR CONTOH
Utilitarian Memberikan yang terbaik untuk jumlah Skenario bencana
orang terbanyak.
Rights-based Setiap individu memiliki hak dasar yang Hak untuk menolak
(berbasis hak) melekat dan tidak bisa diganggu gugat.
Duty-based Kewajiban untuk melakukan suatu atau Perawat tidak membentak balik
(berbasis tugas) menolak melakukan sesuatu. ketika dibentak pasien
Intuisionis Setiap kasus diukur berdasarkan kasus per Haruskah pasien dengan penyakit
kasus untuk mentukan tujuan relative, paru yang parah diberikan
kewajiban dan haknya. ventilator mekanis ketika ada
sedikit harapan bisa proses
pelepasan ventilator dengan sukses.
PRINSIP-PRINSIP

Prinsip etik yang paling mendasar adalah menghargai semua orang. Prinsip-prinsip etik lain
diturunkan dari prinsip ini. Prinsip-prinsip tersebut termasuk:

 Autonomi: menentukan diri sendiri (self-determination) atau kebebasan dalam memilih

 Pasien bisa saja membuat keputusan yang berlawanan dengan tindakan medis, namun
jika keputusan tersebut dilakukan pasien dengan kapasitas penuh, maka hal tersebut
merupakan hak pasien.

 Beneficence: meningkatkan kebaikan

 Perawat berkeinginan melakukan apa yang diyakini paling baik bagi pasien. Dilema
muncul ketika hal ini bertentangan dengan otonomi pasien. Professionalisme
professional adalah bekerja sama dengan pasien untuk menciptakan keselarasan atau
keseimbangan dan bukan memperkuat hambatan diantara keduanya. Peningkatan
kualitas perawatan pasien dihasilkan dari adanya keselarasan hubungan antara pasien
dan perawat. Termasuk pada prinsip beneficence adalah paternalistic. Paternalistik
hadir ketika seseorang yakin terhadap apa yang menurutnya terbaik dan ia berusaha
mempengaruhi pembuatan keputusan untuk orang lain. Ini terjadi saat tenaga
kesehatan tidak memberi perhatian penuh terhadap keinginan pasien (missal; perintah
lanjut).

 Nonmaleficence: lakukan, jangan membuat injury / kerugian

 Hippocrates pertama kali menyatakan bahwa: jangan mengganggu proses


penyembuhan normal juga jangan pula memaksakan keyakinan diri sendiri kepada
pasien. Menahan atau menghentikan alat bantu kehidupan pasien termasuk ke dalam
prinsip ini.

 Justice: keadilan

 Pasien yang tidak memiliki asuransi mempunyai hak perawatan yang sama dengan
pimpinan eksekutif rumah sakit. Melekat pada prinsip ini adalah prinsip demokratis,
kemanusiaan dan profesionalisme. Meskipun demikian, keadaan-keadaan tertentu dan
keputusan triase di unit gawat darurat dapat menjadi tantangan terhadap kemampuan
perawat untuk melakukan hal yang sama terhadap semua pasien.
 Utility: kebaikan bersama melampaui keinginan dan kebutuhan individual.

 Prosedur infeksi control, dalam tindakan isolasi pasien adalah salah satu contoh
prinsip utilitas. Paternalistik dan utilitas seringkali dikaitkan pada kasus dimana hak
individu harus dibatasi jika berpotensi merugikan orang lain.

 Veracity: kejujuran, mengatakan kebenaran

 Kebenaran harus disampaikan, atau harus ada alasan kuat jika keadaan menuntut
untuk berbohong. Hellen menjelaskan peran dari “kebohongan yang bersifat terapi”
(therapeutic fib) pada pasien Alzheimer. Misalnya, ketika ada seorang pasien wanita
lansia penderita Alzheimer yang bersikukuh bahwa ia harus memberi makan bayinya,
perawat bisa mengatakan bahwa bayinya sudah diberi makan. Ini dimungkinkan
karena pasien tidak mampu lagi mencerna kebenaran fakta. (e.g., juga karena bayi
yang pasien maksud sudah tumbuh dewasa).

 Jujur termasuk di dalamnya adalah mengakui adanya kesalahan medis. Meskipun ada
kekhawatiran akan gugatan hukum bila terjadi kesalahan, namun kewajiban untuk
berkata jujur tetap ada. Pasien atau keluarga yang tahu bahwa ada kesalahan medis
padahal belum diberi tahu secara resmi, lebih cenderung mengajukan jalur hukum
ketimbang hal tersebut diberitahukan lebih dahulu. Selain itu, pasien yang dibiarkan
tidak tahu tentang suatu kesalahan mempunyai risiko berada dalam bahaya klinis yang
lebih besar bila kemudian terjadi gejala komplikasi atau ketika keputusan penting
menjadi diperlukan. Contoh, seorang pasien yang menerima therapy dosis anti
koagulan yang tidak tepat dan kemudian mengalami episode pendarahan dan bisa saja
akibat dari penyebab lain, hal ini berpotensi memerlukan prosedur tindakan medis
yang tadinya tidak diperlukan, prosedur medis yang membahayakan.

 Fidelity: menepati janji, setia, dan bertanggung gugat.

 Fokus dari prinsip menepati janji adalah menghargai komitmen. Jika terdapat konflik
antara berbagai tugas menepati janji, maka kode etik yang dikeluarkan oleh the
American Nurses Association’s (ANA), menunjukkan bahwa komitmen utama adalah
terhadap pasien.

Satu studi pada para perawat menemukan bahwa isu etik yang paling sering dihadapi adalah
penolakan pasien terhadap pengobatan/tindakan yang seharusnya dengan konflik antara otonomi
pasien dan beneficence (prinsip kemanfaatan)
KODE ETIK

Kode etik profesi tidak mempunyai kekuatan hukum, meskipun demikian kode etik bisa
menjadi pedoman bagi praktik keperawatan , memberikan standard implisit dan nilai bagi
profesi keperawatan. Kode etik ANA telah ada sejak 1950. Pada edisi 2001 ini, kode etik ini
mengalami sejumlah penambahan, diantaranya :

 Secara khusus mengindikasikan bahwa akuntabilitas yang mendasar adalah kepada


pasien

 Memastikan lingkungan kerja yang aman

 Menunjuk tugas/kewajiban untuk diri sendiri

Tabel 5-2 memuat sejumlah pernyataan pedoman praktik dalam kode etik yang dikeluarkan
ANA.

TABEL 5-2 KODE ETIK PERSATUAN PERAWAT NASIONAL INDONESIA


KATEGORI KODE ETIK
Perawat dan Klien 1. Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai
harkat dan martabat manusia, keunikan klien, dan tidak
terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna
kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik, dan agama yang dianut
serta kedudukan social.
2. Perawat dalam memberikan pelayan keperawatan senantiasa
memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai
budaya, adat istiadat dan kelangsungan hidup beragama dari
klien.
3. Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang
membutuhkan asuhan keperawatan.
4. Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui
sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali
jika diperlukan oleh berwenang sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku.
Perawat dan Praktik 1. Perawat memelihara dan meningkatkan kompetensi di bidang
keperawatan melalui belajar terus menerus.
2. Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan
yang tinggi disertai kejujuran professional yang menerapkan
pengetahuan serta keterampilan keperawatan sesuai dengan
kebutuhan klien.
3. Perawat dalam membuat keputusan didasarkan pada informasi
yang akurat dan mempertimbangkan kemampuan serta
kualifikasi seseorang bila melakukan konsultasi, menerima
delegasi dan memberikan delegasi kepada orang lain.
4. Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi
keperawatan dengan selalu menunjukkan perilaku professional.
Perawat dan Masyarakat 1. Perawat mengemban tanggung jawab bersama masyarakat untuk
memprakarsai dan mendukung berbagai kegiatan dalam
memenuhi kebutuhan dan kesehatan masyarakat.
Perawat dan Teman Sejawat 1. Perawat senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama
perawat maupun dengan tenaga kesehatan lainnya dan dalam
memelihara keserasuab sesuai lingkungan kerja maupun dalam
mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara menyeluruh.
2. Perawat bertindak melindungi klien dari tenaga kesehatan yang
memberikan pelayanan kesehatan secara tidak kompeten, tidak
etis dan illegal.
Perawat dan Profesi 1. Perawat mempunyai peran utama dalam menentukan standar
pendidikan dan pelayanan perawatan serta menerapkannya
dalam kegiatan pelayanan dan pendidikan keperawatan.
2. Perawat berperan aktif dalam berbagai kegiatan pengembangan
profesi keperawatan.
3. Perawat berpartisipasi aktif dalam upaya profesi untuk
membangun dan memelihara kondisi kerja yang kondusif demi
terwujudnya asuhan keperawatan yang bermutu tinggi.

Asosiasi perawat yang lain seperti Asosiasi Perawat Kanada / Canadian Nurses Association
(CAN) dan Konsil Keperawatan Internasional juga telah mengeluarkan kode etik untuk
mengarahkan pengambilan keputusan etik.

PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Berbagai proses dapat ditempuh dalam mengambil keputusan etik.

Proses Pemecahan Masalah secara Tradisional


 Definisikan tujuan secara jelas

 Kumpulkan data secara seksama

 Identifikasi beberapa alternative

 Berpikir logis

 Memilih dan bertindak secara tegas

Data harus dikumpulkan sesuai konteks dan berbasis bukti. Memahami mengapa sesuatu itu
tepat dan bagaimana hal tersebut bisa diterapkan ke dalam praktik, dapat membantu
implementasi yang lebih baik. Kesalahan yang umum terjadi adalah tidak
mempertimbangkan alternative yang cukup. Padahal, semakin banyak pilihan alternative
yang dihasilkan, semakin besar kemungkinan keputusan final yang diambil lebih kuat.

Proses Perawatan (The Nursing Process)

 Mengkaji (Assess)

 Menganalisis dan mendiagnosa (Analyze and diagnose)

 Merencanakan (Plan)

 Mengimplementasikan (Implement)

 Mengevaluasi (Evaluate)

Proses MORAL (The MORAL Process)

 Massage the dilemma / Urutkan dilemma. Kumpulkan data yang berkaitan dengan
masalah dan kaji siapa saja yang harus terlibat dalam proses ini.

 Outline options / Tuliskan beberapa pilihan. Identifikasi berbagai alternative dan analisa
penyebab serta konsekuensinya.

 Review criteria and resolve / Kaji kriteria dan penyelesaian masalah. Pertimbangkan
pilihan-pilihan yang ada dan bandingkan dengan nilai-nilai dari orang-orang yang terlibat
dalam pengambilan keputusan.

 Affirm position and act / Tegaskan posisi anda dan bertindak.

 Look back / Lihat kembali. Evaluasi keputusan yang sudah diambil.

Komite Etik
Rumah sakit diharuskan mempunyai mekanisme untuk menyelesaikan persoalan yang
menyangkut dilemma medis dan etis yang terjadi di dalam institusinya. Komite etik ataupun
konsultan etik seharusnya senantiasa siaga kapanpun dibutuhkan oleh perawat gawat darurat
ketika mengalami dilemma etik.

Institusi Dewan Pengkajian Etik (Institutional Review Boards)

Institusi Dewan Pengkajian Etik dibentuk utamanya untuk melindungi subjek riset sesuai
dengan prinsip-prinsip etik yang dikeluarkan oleh Komisi Nasional untuk Perlindungan
Subjek Manusia dari Penelitian Biomedis dan Perilaku. Terdapat kecenderungan akhir-akhir
ini, tentang terjadinya kekeliruan etik dari projek yang mengumpulkan data; menggunakan
institusi Dewan Pengkajian Etik Institusi sangat dianjurkan untuk keperluan ini.

SITUASI-SITUASI KHUSUS

Arahan Sebelumnya

Setiap individu memiliki hak untuk menyampaikan sebelumnya tentang tindakan medis apa
yang ingin atau tidak ingin dilakukan, pada situasi dimana mereka tidak mampu membuat
keputusan pada saat itu. Diskusi dan perbincangan berikut bisa disarankan :

 Menunjuk orang yang dipercaya untuk pelayanan kesehatan (attoney of health care):
pasien menunjuk seorang yang ia percaya (agen) yang diberi kuasa untuk mengambil
keputusan medis ketika pasien tidak mampu untuk mengambil keputusan. Agen yang
ditunjuk bisa siapa saja yang dikehendaki pasien.

 Wasiat kehidupan (Living will) : sesuatu yang popular walaupun bukan seperti dokumen
yang comprehensive, hal ini memberitahu kepada petugas kesehatan tentang apa yang
pasien inginkan terjadi pada situasi ketika ia sudah kehilangan harapan untuk bertahan
hidup secara bermakna. Berbeda dengan yang mengusahakan seperti di atas, pada wasiat
kehidupan prognosis pasien harus tidak ada harapan. Bila prognosis tidak bisa
ditetapkan, maka pernyataan wasiat kehidupan ini tidak bisa diberlakukan.

 Bertindak sesuai undang-undang perwakilan (Health Care Surrogate Act) : ketika pasien
tidak memiliki arahan di muka maka [engambilan keputusan sesuai undang-undang
perwakilan dalam pelayanan kesehatan. Dalam hal ini , orang tua atau wali menjadi
pihak yang paling mungkin dijadikan wakil dalam mengambil keputusan terkait tindakan
medis yang akan diambil. Disusul kemudian oleh suami atau istri, anak, saudara kandung
dan lainnya.

Arahan sebelumnya atau penunjukan orang kepercayaan dalam pengambilan keputusan dapat
mengesampingkan keinginan keluarga dan seharusnya dihormati. Jika keluarga menetapkan
keputusan ini (missal mereka menuduh bahwa keputusan diambil karena niat yang tidak baik,
missal karena motif uang) maka mereka bisa mengajukan gugatan ke pengadilan untuk
mencari keadilan.

Sebelum arahan di muka ini berlaku pasien harus dinyatakan dalam kondisi tidak memiliki
kapasitas untuk mengambil keputusan. Selalu membuat penentuan dengan hati-hati terkait
kapasitas pasien dalam mengambil keputusan. Pasien dalam hal ini punya hak otonomi.

Do Not Resuscitate (DNR)

Resusitasi jantung paru disingkat (RJP) adalah salah satu jenis tindakan medis agresif yang
hanya akan dilakukan dimana terjadi henti jantung paru (cardiopulmonary arrest). Untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seseorang bisa menolak dilakukan RJP. Menolak
dilakukan RJP merupakan hak dan bisa diajukan oleh siapapun yang punya kapasitas untuk
memutuskan. Beberapa hal berikut bisa dipertimbangkan :

 Pasien diidentifikasi sebagai Do Not Resuscitate (DNR) tetapi tidak mempunyai


dokumen yang lengkap. Ketika hal ini terjadi tenaga kesehatan wajib merawat pasien dan
pelaksanaan RJP tidak dibatalkan. Untuk menghindari konflik, tetap dibutuhkan
komunikasi yang baik antara pasien dan tenaga kesehatan.

 Pasien dengan prognosis buruk masih menginginkan RJP penuh walaupun hal ini bisa
sangat merepotkan perawat UGS, namun pasien memiliki hak otonomi dan keinginan.
Keinginan pasien tetap harus dihormati. Tenaga kesehatan tidak bisa memaksakan
pendapat tentang kualitas hidup mereka pada situasi seperti ini.

Informed Consent (Penjelasan dan Persetujuan) atau Penolakan

Persetujuan yang baik melibatkan banyak aspek. Apakah seorang pasien dewasa :

 Memahami tujuan dari tindakan medis atau perawatan termasuk keuntungan dan
resikonya?

 Memahami tindakan alternative termasuk keuntungan dan resikonya?


 Memahami konsekuensi yang akan terjadi jika tidak dilakukan tindakan medis atau
perawatan punya system nilai untuk menghargai apa yang sedang terjadi?

 Punya kemampuan untuk mengambil keputusan tanpa paksaan keluarga atau teman?

Diskusi tentang informasi paling baik disampaikan oleh orang yang akan melkukan
penanganan medis. Tanggung jawab perawat adalah menjadi saksi selama proses consent
tersebut dilakukan. Hal serupa juga harus diterapkan dan didokumentasikan dengan baik
ketika pasien menolak melakukan tindakan medis atau perawatan.

Meninggalkan Rumah Sakit tanpa Anjuran Medis atau Meninggalkan tanpa


Penanganan Medis

Terlepas dari perilaku atau penampilan pasien harus ditentukan secara objektif apakah pasien
dapat membuat keputusan. Kompetensi adalah suatu ketetapan legal namun kapasitas untuk
membuat keputusan adalah ketetapan medis. Hal yang terpenting bukanlah tanda tangan yang
tertera di atas kertas, melainkan apakah pasien memahami secara penuh atas tindakan yang
akan dilakukan. Apakah pasien yang bukan minor :

 Menunjukan bahwa ia sadar penuh terhadap kondisinya?

 Memahami resiko dari penolakan termasuk potensi komplikasi dan efek sampingnya?

 Mengulang lagi pemahaman tentang konsekuensi tersebut?

 Memiliki lingkungan yang aman dimana ia tinggal?

Upaya yang jujur harus dilakukan untuk meyakinkan pasien agar melakukan apa yang
menurutnya terbaik. Untuk menghindarkan penelantaran, pasien harus disarankan untuk
kembali ke UGD untuk minta pertolongan jika pasien berubah pikiran. Informasi tindak
lanjut yang cukup harus tetap diberikan. Keseluruhan proses ini harus terdokumentasi secara
lengkap dan disaksikan dengan baik.

Kerahasiaan (Confidentiality)

Tanggung jawab yang utama dari perawatan pasien adalah untuk menghargai kerahasiaan
pasien. Kepercayaan pasien tergantung dari kemampuan menjaga kerahasiaannya. Keadaan
unit gawat darurat biasanya merupakan sebuah lingkungan yang sangat sibuk, meskipun sulit,
semua tenaga kesehatan harus tetap sadar untuk akan pentingnya confidentiality pasien.
Percakapan dengan pasien, keluarganya, atau dengan staf yang lain seharusnya tidak
dilakukan di depan orang lain. Hanya orang-orang yang mempunyai keterkaitan dengan
perawatan pasien saja yang bisa mendapatkan informasi terkait pasien. Pasien memiliki hak
untuk memilih kepada siapa informasinya bisa diceritakan dan pilihan ini harus dihormati.

Memperlakukan Orang yang Belum Dewasa

Seringkali terjadi kontroversi ketika seorang yang belum dewasa harus menjalani perawatan
darurat, terutama dalam kondisi berikut :

 Anak tanpa didampingi orang tua dibawa ke UGD.

 Orang tua atau wali anak menolak menjalani perawatan.

Dilema semacam ini bisa diselesaikan dengan menentukan apa yang terbaik bagi anak
tersebut dan apakah melakukan kebalikannya berarti menelantarkan atau mengabaikannya.
Seoranga anak tanpa didampingi orang tua harus segera ditangani apabila dalam kondisi
medisnya memerlukan intervensi emergensi atau penatalaksanaan nyeri. Pengkajian dan
stabilisasi kondisi diperlukan. Ketika orang tua datang, tindakan yang sudah dilakukan dapat
minta persetujuan. Jika orang tua menolak untuk melanjutkan perawatan, ini bisa
dikategorikan sebagai penelantaran atau abuse, namun bagaimanapun pasien sudah dilakukan
pertolongan. Menunggu persetujuan orang tua dalam keadaan bahwaya mengancam bagi
anak adalah tidak tepat.

Jika pasien anak didampingi oleh orang tuanya dan orang tua menolak dilakukan tindakan
tertentu (misalnya lumbar pungsi bagi yang diduga meningitis atau kasus penolakan
penggunaan insulin atas dasar keyakinan agama), maka perlindungan terhadap hak anak
harus dipikirkan. Orang dewasa memang memiliki hak otonomi, tapi hak ini tidak dapat
dipaksakan pada seorang anak.

Ada beberapa keadaan ketika seorng anak dapat memberika persetujuan. Hal ini biasanya
terkait dengan infeksi akibat aktifitas seksual, atau yang disebabkan alcohol dan obat
terlarang atau yang menyangkut gangguan jiwa. Hukum Negara bisa diterapkan. Orang yang
belum dewasa juga bisa menjadi subjek untuk bahan legislasi. Adakalanya seseorang di
bawah umur 18 tahun sudah menikah dan hidup mandiri.

Triase

Triase di UGD bisa menjadi tantangan tersendiri bagi perawat. Pertanyaan berikut bisa
membantu prioritas dalam penanganan :

 Siapa yang dilihat lebih dulu?


 Siapa yang mendapat prioritas terakhir untuk dimasukan ke ruang perawatan intensif?

 Apa yang akan dilakukan ketika sumberdaya penanganan terbatas?

 Apakah menyangkut kejadian/korban masal, berbeda?

Paradigma normal di gawat darurat adalah memberikan pertolongan kepada yang paling
membutuhkan secara medis atau kondisi yang paling kritis. Prioritas kemudian diberikan bagi
pasien yang tidak berada dalam kondisi kritis, dan diikuti oleh pasien yang berada dalam
kondisi stabil atau tidak gawat darurat. Pada prinsipnya pola triase menandai tingkatan pada
kondisi tersebut dengan warna merah, kuning dan hijau.

Tantangan etis muncul ketika pasien yang lebih kritis namun kurang diharapkan,
berkompetisi untuk mendapatkan pelayanan perawatan dengan, mungkin dia atau yang lain
menjadi korbannya. Etik kesehatan professional mengarahkan tindakan / treatment harus
diberikan kepada pasien yang paling kritis, dan tidak membuat penilaian pribadi di samping
pasien.

Dalam hal serupa, menentukan prioritas untuk pasien dirawat harus didasarkan pada
peniliaian dan kebutuhan medis. Perkiraan nilai kemanusiaan seharusnya tidak menjadi
kriteria. Ketika sumberdaya medis terbatas, keputusan untuk treatment atau tindakan
pelayanan kesehatan menjadi sangat kompleks. Pertanyaan kembali terulang, siapakah yang
berhak mendapatkan prioritas pelayanan oleh tenaga kesehatan sesuai kemampuan dan
kapasitasnya? Pada kasus kejadian masal/ korbanmasal (MCI / Mass Casualty Incident)
menunjukan dilemma ini muncul. Pada kasus MCI ini logikanya menjadi terbalik. Melakukan
yang paling baik, untuk jumlah pasien yang lebih banyak, hal ini mungkin bertolak belakang
dengan memberikan treatment untuk yang paling kritis. Jika persediaan sumber daya, dan staf
tidak mampu memenuhi keseluruhan kebutuhan populasi pasien, keputusan yang mendasar
yang harus dibuat adalah bagaimanakah yang terbaik untuk focus merespons, kondisi
tersebut. Ketika perawat secara normal akan melakukan upaya resusitasi, resources yang
diperlukan untuk hal tersebut, akan menyedot sumber daya bagi yang lain, dan meletakkan
kelangsungan hidup mereka dalam bahaya. Hal ini merupakan contoh terbaik, bagaimana
berespons, pada bencana lingkungan besar. Panggilan telepon ke unit gawat darurat bisa pula
menghadirkan masalah etik yang berbeda. Banyak pasien yang melakukan panggilan ke unit
gawat darurat dengan alasan beragam dan kadang menarik. Bagaimana menangani panggilan
ini, dapat merupakan kesempatan untuk edukasi, langkah menenangkan atau bahkan
percakapan yang bisa menyelamatkan hiduo seseorang. Respons atau pertanyaan sederhana
yang tidak memerlukan penjelasan medis menunjukkan adanya kohesi social yang baik
(contoh frekuensi minum obat atau penjelasan istilah medis). Menenangkan orang tua yang
panic merupakan langkah yang baik. Menganjurkan panggilan darurat pada nomor darurat
juga bisa jadi mencegah bencana yang lebih besar (atau membantu melakukan panggilan
darurat 112). Namun, keinginan untuk menolong dengan memberikan advis medis dapat
berbahaya dan harus dihindari. Pasien tidak ada di depan petugas kesehatan. Perawat harus
menginstruksikan pada penelepon untuk datang ke unit gawat darurat, jika pertolongan medis
adalah jawabannya. Konsekuensi medis legal terhadap advis atau informasi telepon yang
tidak akurat sangat serius.

REFLEKSI: MENANGANI KESULITAN DENGAN INTEGRITAS DAN ETIK

Berpegang teguh pada prinsip etik dalam berbagai keadaan, bahkan dengan pasien yang sulit
menegaskan profesionalisme dan humanism perawat gawat darurat / emergency nurses.
Overcrodit pasien, keterbatasan staf, dan masalah lain di unit gawat darurat dapat
menyebabkan perawat stress sehingga mempengaruhi pengambilan keputusan. Untuk
menjaga pengambilan keputusan dalam koridor etik, perawat harus senantiasa mengingat
beberapa hal berikut :

 Orang yang sakit harus diperlakukan layaknya pasien, bukan sebagai pelanggan.

 Pengunjung yang sering datang ke unit gawat darurat mungkin mengalami terminal
event, jadi dia harus diperlakukan, dihargai dan dirawat sama sepeti pertama kali dia
datang.

 Setiap pasien adalah manusia yang mencari pertolongan.

 Setiap keputusan yang diambil harus berdasar kepada kebutuhan pasien.

 Setiap keputusan etis harus dibuat dengan pertimbangan berikut :

- Apakah keputusan yang diambil bisa dipertanggung jawabkan?

- Apakah keputusan yang diambil masih relevan dalam 5 tahun?

- Apa kira-kira yang akan ibu kita sarankan untuk dilakukan pada kondisi tersebut?

 Ingatlah alasan kenapa kita jadi perawat?


Seorang perawat gawat darurat dapat tetap menjalani profesinya dengan hati nurani yang utuh
dengan mengetahui bahwa langkah-langkah yang benar telah diambil untuk pasien ketika
dihadapkan dengan dilemma etik.

SISTEM PENANGGULANGAN GAWAT DARURAT TERPADU (SPGDT)

A. DEFINISI
SPGDT adalah merupakan suatu sistem dimana koordinasi merupakan unsur utama yang
bersifat multisektor dan harus ada dukungan dari berbagai profesi bersifat multidisiplin
dan multi profesi untuk melaksanakan dan penyelenggaraan suatu bentuk layanan
terpadu bagi penderita gawat darurat baik dalam keadaan sehari – hari maupun dalam
keadaan bencana dan kondisi – kondisi kejadian luar biasa. Didalam memberikan
pelayanan medis SPGDT dibagi menjadi 3 sub sistem, yaitu :
1. Sistem pelayanan pra rumah sakit
2. Sistem pelayanan di rumah sakit
3. Sistem pelayanan antar rumah sakit
Ketiga subsistem ini tidak terpisah satu sama lain yang bersifat saling terkait didalam
pelaksanaan sistem.

B. ATURAN PERUNDANGAN
Beberapa undang – undang yang berkaitan dengan pelayanan kegawat daruratan :
1. Undang – undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan
- Pasal 4
Setiap orang berhak atas kesehatan
- Pasal 32
(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah
maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan
nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.
(2) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah
maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.
- Pasal 85
(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah
maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan pada bencana bagi
penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan.
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada
bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak pasien
dan/atau meminta uang muka terlebih dahulu.
- BAB XX Ketentuan pidana pasal 190
(1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang
melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang
dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang
dalam keadaan gawat daruratsebagaimana dimaksud dalam pasal 32 ayat (2)
atau pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan
dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah).
2. Undang – undang No. 44 tahun 2009
- Setiap rumah sakit mempunnyai kewajiban :
a. Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan rumah sakit kepada
masyarakat.
b. Memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan
efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar
pelayanan rumah sakit.
c. Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai kemampuan
pelayanan.
d. Berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana, sesuai
dengan kemampuan pelayanannya.
e. Menyediakan sarana dan pelayanan bagi pasien tidak mampu/miskin.
f. Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas
pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang
muka, ambulance gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa,
atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan.
g. Membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di
rumah sakit sebagai acuan dalam melayani pasien.
h. Menyelenggarakan rekam medis.
i. Menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara lain sarana
ibadah, parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita menyusui,
anak – anak, lanjut usia.
j. Melaksanakan sistem rujukan.
k. Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan
etika serta peraturan perundang – undangan.
l. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan
kewajiban pasien.
m. Menghormati dan melindungi hak – hak pasien.
n. Melaksanakan etika rumah sakit.
o. Memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana.
p. Melaksanakan program pemerintah dibidang kesehatan baik secara regional
maupun nasional.
q. Membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktek kedokteran atau
kedokteran gigi dan tenaga kesehatan lainnya.
r. Menyusun dan melaksanakan peraturan internal rumah sakit (hospital by
lows).
s. Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas rumah sakit
dalam melaksanakan tugas.
t. Memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai kawasan tanpa
rokok.
- Pelanggaran atas kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat dikenakan sanksi
administratif berupa :
a. Teguran
b. Teguran tertulis
c. Denda dan pencabutan izin rumah sakit
- Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban rumah sakit sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan peraturan menteri.

C. PRINSIP SISTEM PENANGGULANGAN GAWAT DARURAT TERPADU


Prinsip dari SPGDT adalah memberikan pelayanan yang cepat, cermat dan tepat dimana
tujuannya adalah untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan (time saving is
life and limb saving) terutama ini dilakukan sebelum dirujuk dirumah sakit yang dituju.
Ada 3 fase pelayanan :
1. Sistem pelayanan medik pra rumah sakit
a. Publik safety center
Didalam penyelenggaraan sistem pelayanan pra rumah sakit harus membentuk
atau mendirikan pusat pelayanan yang bersifat umumdan bersifat emergency
dimana bentuknya adalah suatu unit kerja yang bersifat PSC (public safety
center). PSC ini merupakan suatu unit kerja yang memberi pelayanan umum
terutama yang bersifan emergencybisa merupakan UPT Dinas Kesehatan
Kabupaten maupun Kota yang sehari – harinya secara operasional dipimpin oleh
seorang Direktur. Selain itu pelayanan pra rumah sakit bisa dilakukan pula
dengan membentuk satuan khusus yang bertugas dalam penanganan bencana
dimana saat ini sering disebut dengan Brigade Siaga Bencana (BSB), pelayanan
ambulance dab komunikasi. Dalam pelaksanaan PSC bisa didirikan oleh
masyarakat untuk kepentingan masyarakat dimana pengorganisasiannya dibawah
pemerintah daerah sedangkan sumberdaya manusianya terdiri dari berbagai unsur
yaitu unsur kesehatan (ambulance), unsur pemadam kebakaran, unsur kepolisian,
unsur linmas serta masyarakat sendiri yang bergerak dalam bidang upaya
pertolongan bagi masyarakat. Sifat pembiayaan bisa dari masyarakat maupun dari
institusi pemerintah. PSC berfungsi sebagai tanggap cepat didalam
penanggulangan tanggap darurat.
b. Brigade siaga bencana (BSB)
Brigade Siaga Bencana (BSB) merupakan suatu unit khusus yang disiapkan
dalam penanganan pra rumah sakit khususnya yang berkaitan dengan pelayanan
kesehatan dalam penanganan bencana. Pengorganisasian dibentuk oleh jajaran
kesehatan baik ditingkat pusat maupun daerah (Depkes, Dinkes, Rumah Sakit)
petugas medis baik dokter maupun perawat juga petugas non medis baik
sanitarian gizi, farmasi dan lain – lain. Pembiayaan didapat dari instansi yang
ditunjuk dan dimasukan anggaran rutin APBN maupun APBD.
c. Pelayanan ambulance
Merupakan kegiatan pelayanan terpadu didalam satu koordinasi yang
memberdayakan ambulance milik puskesmas, klinik swasta, rumah bersalin,
rumah sakit pemerintah maupun swasta institusi kesehatan swasta maupun
pemerintah (PT. Jasa Marga, Jasa Raharja, Polisi, PMI, Yayasan yang bergerak
dibidang kesehatan dan lain – lain). Dari semua komponen ini akan
dikoordinasikan melalui center atau pusat pelayanan yang disepakati bersama
antara pemerintah dengan non pemerintah dalam rangka melaksanakan mobilisasi
ambulance terutama bila terjadi korban massal. Ada beberapa stadar kendaraan
ambulance, yatiu :
- Ambulance darat dengan berbagai persyaratan
- Ambulance udara yang sesuai dengan ketentuan standar international
- Sepeda motor
d. Komunikasi
Didalam melaksanakan kegiatan pelayanan kasus gawat darurat sehari – hari
memerlukan sebuah sistem komunikasi dimana sifatnya adalah pembentukan
jejaring penyampaian informasi jejaring koordinasi maupun jejaring pelayanan
gawat darurat sehingga seluruh kegiatan dapat berlangsung dalam satu sistem
yang terpadu terkoordinasi menjadi satu kesatuan kegiatan.
e. Pelayanan pada keadaan bencana
Pelayanan dalam keadaan bencana yang menyebabkan korban massal
memerlukan hal – hal khusus yang harus dilakukan. Hal – hal yang perlu
dilakukan dan diselenggarakan adalah :
- Koordinasi dan komando
Dalam keadaan bencana diperlukan pola kegiatan yang melibatkan unit – unit
kegiatan lintas sektor yang mana kegiatan ini akan menjadi efektif dan
efesien bila berada didalam suatu komando dan satu koordinasi yang sudah
disepakati oleh semua unsur yang terlibat.
- Eskalasi dan mobilisasi sumberdaya
Kegiatan ini merupakan penanganan bencana yang mengakibatkan korban
massal yang mengharuskan dilakukannya esklasi atau berbagai peningkatan.
Ini dapat dilakukan dengan melaksanakan mobilisasi SDM, mobilisasi
fasilitas dan sarana dan mobilisasi semua pendukung pelayanan kesehatan
bagi korban bencana.
- Simulasi
Didalam penyelenggaraan kegiatan diperlukan ketentuan – ketentuan yang
harus ada yaitu prosedur tetap petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis
operasional yang harus dilakukan oleh petugas yang merupakan standar
pelayanan. Ketentuan tersebut perlu diuji melalui simulasi agar dapat
diketahui apakah semua sistem dapat diimplementasikan pada kenyataan
dilapangan.
- Pelaporan monitoring dan evaluasi
Seluruh kegiatan penanganan bencana harus dilakukan pendokumentasian
dalam bentuk pelaporan baik yang bersifat manual maupun digital dan
diakumulasi menjadi satu data yang digunakan untuk melakukan monitoring
maupun evaluasi apakah yang bersifat keberhasilan ataupun kegagalan
sehingga kegiatan selanjutnya akan lebih baik.
2. Sistem pelayanan medik antar rumah sakit
Sistem pelayanan medik antar rumah sakit harus berbentuk jejaring rujukan yang
dibuat berdasarkan kemampuan rumah sakit dalam memberikan pelayanan baik dari
segi kwalitas maupun kwantitas untuk menerima pasien dan ini sangat berhubungan
dengan kemampuan SDM, ketersediaan fasilitas medis didalam system ambulance.
a. Evakuasi
Merupakan suatu bentuk pelayanan transportasi yang ditujukan dari pos
komando, rumah sakit lapangan menuju kerumah sakit rujukan atau transportasi
antar rumah sakit baik dikarenakan adanya bencana yang terjadi dirumah sakit
dimana pasien harus dievakuasi kerumah sakit lain. Pelaksanaan evakuasi tetap
harus menggunakan sarana yang terstandar memenuhi kriteria – kriteria yang
sudah ditentukan berdasarkan standar pelayanan rumah sakit.
- Syarat – syarat evakuasi
1) Korban berada dalam keadaan yang paling stabil dan memungkinkan
untuk dievakuasi.
2) Korban telah disiapkan/diberi peralatan yang memadai untuk trasportasi.
3) Fasilitas kesehatan penerima telah diberi tahu dan siap menerima korban.
4) Kendaraan dan pengawalan yang dipergunakan merupakan yang paling
layak yang tersedia.
- Beberapa bentuk evakuasi
1) Evakuasi darurat
Korban harus cepat dipindahkan dikarenakan lingkungan yang
membahayakan, keadaan yang mengancam jiwa yang membutuhkan
pertolongan segera maupun bila terdapat sejumlah pasien dengan
ancaman jiwa yang memerlukan pertolongan.
2) Evakuasi segera
Korban harus segera dilakukan penanganan segera karena adanya
ancaman bagi jiwanya dan tidak bisa dilakukan dilapangan, misalnya
pasien shock, pasien strees dilingkungan kejadian dan lain – lain. Juga
dilakukan pada pasien – pasien yang berada dilingkungan yang
mengakibatkan kondisi pasien cepat menurun akibat hujan, suhu dingin
ataupun suhu panas.
3) Evakuasi biasa
Korban biasanya tidak mengalami ancaman jiwa tetapi masih perlu
pertolongan dirumah sakit, dimana pasien akan dievakuasi bila sudah
dalam keadaan baik atau stabil dan sudah memungkinkan bisa
dipindahkan ini khususnya pada pasien – pasien patah tulang.
b. Kontrol lalu lintas
Untuk memfasilitasi pengamanan evakuasi, maka harus dilakukan kontrol lalu
lintas oleh kepolisian ini untuk memastikan kelancaran jalur lalu lintas antar
rumah sakit dan pos medis maupun pos komando. Pos medis dapat
menyampaikan kepada pos komando agar penderita dapat dilakukan evakuasi
bila sudah dalam keadaan stabil dalam pelaksanaan evakuasi ini, maka kontrol
lalu lintas harus seiring dengan proses evakuasi itu sendiri.
3. Sistem pelayanan medik di rumah sakit
Dalam penyelenggaraan system pelayanan medik dirumah sakit yang harus
diperhatikan adalah penyediaan sarana, prasarana yang harus ada di UGD, ICU,
kamar jenazah, unit – unit pemeriksaan penunjang seperti radiologi, laboratorium
klinik, farmasi, gizi, ruang rawat inap dan lain – lain.
a. Hospital disaster plan
Didalam rumah sakit sendiri harus membuat suatu perencanaan untuk
menghadapi kejadian bencana yang disebut Hospital Disaster Plan baik bersifat
yang kejadiannya didalam rumah sakit (Intra Hospital Disastr Plan), maupun
perencanaan yang bersifat external untuk menghadapi bencana yang terjadi diluar
rumah sakit (Extra Hospital Disaster Plan).
b. Unit gawat darurat (UGD)
Didalam pelayanan di UGD harus ada organisasi yang baik dan lengkap baik
pembiayaan, SDM yang terlatih, sarana yang standar baik sarana medis maupun
non medis dan mengikuti teknologi pelayanan medis. Prinsip utama dalam
pelayanan di UGD adalah Respone Time baik standar nasional maupun standar
internasional.
c. Brigade siaga bencana RS (BSB RS)
Didalam rumah sakit juga harus dibentuk Brigade Siaga Bencana dimana ini
merupakan satuan tugas khusus yang mempunnyai tugas memberikan pelayanan
medis pada saat – saat terjadi bencana baik dirumah sakit maupun diluar rumah
sakit dimana sifat kejadian ini menyebabkan korban massal.
d. High care unit (HCU)
Merupakan suatu bentuk pelayanan dirumah sakit bagi pasien dengan kondisi
yang sudah stabil baik respirasi hemodinamik maupun tingkat kesadarannya,
tetapi masih memerlukan pengobatan, perawatan dan pengawasan secara ketat
dan terus menerus, HCU ini harus ada baik dirumah sakit type C dan type B.
e. Intensive care unit (ICU)
Merupakan suatu bentuk pelayanan dirumah sakit multi disiplin bersifat khusus
untuk menghindari ancaman kematian dan memerlukan barbagai alat bantu untuk
memperbaiki fungsi fital dan memerlukan sarana teknologi yang canggih dan
pembiayaan yang cukup besar.
f. Kamar jenazah
Merupakan suatu bentuk pelayanan bagi pasien yang sudah meninggal baik
meninggal dirumah sakit maupun diluar rumah sakit dalam keadaan sehari – hari
maupun bencana. Pada saat kejadian massal memerlukan pengorganisasian yang
bersifat komplek dimana akan dilakukan pengidentifikasian korban baik yang
dikenal maupun yang tidak dikenal dan memrlukan SDM yang khusus selain
berhubungan dengan hal – hal aspek legalitas.

ALUR PENANGANAN KORBAN BENCANA

BENCANA

PEMERINTAH MASYARAKAT

- TIM SAR
ORGANISASI
- TIM MEDIK BNPB
- PSC
LAPANGAN
- TIM PENYELIDIK
- BSB
BPBD/PROV/KAB/KOTA
- TIMKAMTIB
- AMBULANCE
- TIM SARANA/ LOGISTIK SATU
DAN SATLAK KOMANDO - KOMUNIKASI
- LAIN LAIN LOGISTIK PENGUNGSIAN
TEMPAT
DAPUR
KEJADIAN
UMUM
KOMANDO BENCANA SANITASI POS MEDIS
BANTUAN DLL
LAPANGAN
ALUR PENANGANAN KORBAN BENCANA DILAPANGAN

BENCANA

TIM PENILAI ( RAPPID ASSESMENT )

TIM MEDIK = BANTUAN LAINNYA


- UGD

- OK

- RAWAT INAP

- MENINGGAL
RUMAH SAKIT KONTROL ANTAR
TRIASE
POSLALU RUMAH SAKIT STABILISASI
LINTAS
MEDIK LAPANGAN EVAKUASI PENGOBATAN
PULANG
ALUR PENANGANAN KORBAN DIRUMAH SAKIT

KORBAN

RUMAH SAKIT

UGD
- ICU
KAMAR
- HCU
- HCU
TRIASE
GAWAT DARURAT
-JENAZAH
OK CYTO
MENINGGAL RUANGAN
SEMBUH
PULANG
RUJUK GAWAT
CYTOTIDAK DARURAT
-RUANGAN
SEMBUH
PULANG
OK RUJUK TIDAK DARURAT
PULANG
PENGOBATAN
BASIC LIFE SUPPORT (BANTUAN HIDUP DASAR)

Konsep Dasar
Pendahuluan
Kejadian henti jantung merupakan salad satu kondisi kegawat - daruratan yang
banyak terjadi di luar rumah sakit. Angka kematian akibat henti jantung masih sangat tinggi
baik di negara - negara maju maupun yang masih berkembang. Berdasarkan data dari the
American Heart Association (AHA), sedikitnya terdapat 2 juta kematian akibat henti jantung
di seluruh dunia. Di Jepang, Singapura, Malaysia, dan juga negara - negara asia lainnya,
angka kematian akibat henti jantung menempati urutan 3 besar penyebab kematian terbanyak.
Di Indonesia sendiri, banyak ditemukan laporan kematian mendadak akibat masalah henti
jantung.
Upaya untuk menurunkan angka kematian akibat henti jantung telah diupayakan
yakni dengan memberikan pelatihan penanganan henti jantung baik kepada orang awam
maupun kepada petugas kesehatan. Keterampilan melakukan deteksi dini tanda - tanda henti
jantung, resusitasi jantung paru, melakukan defibrilasi, dan bekerja secara tim merupakan
syarat yang harus dipenuhi oleh tenaga kesehatan dalam melakukan pertolongan pada korban
henti jantung.
Melalui modul ini, mahasiswa akan belajar melakukan resusitasi jantung paru dengan
menganut prinsip High Quality Cardiopulmonary Resuscitation (High Quality CPR),
menggunakan alat Automated External Defibrillation (AED), dan bekerja dalam kerangka
tim yang dinamis.
Chain of Survival

Gambar 1. Chain of Survival pada dewasa


Upaya penanganan henti jantung memerlukan sauté pendekatan sistem yang
terintegrasi dari tahap penanganan di tempat kejadian hingga perawatan paska henti jantung.
the American Heart Association (AHA) telah memperkenalkan suatu sistem penanganan
henti jantung yang terintegrasi yang meliputi 5 segmen yang saling berkaitan, meliputi
deteksi dini dan aktivasi segera Emergency Medical Services (EMS), Melakukan CPR
sesegera mungkin, melakukan defibrilasi sesegera mungkin, melakukan prosedur penanganan
henti jantung tingkat lanjut, dan melakukan perawatan paska henti jantung.

Gambar 2. Chain of Survival BLS pada anak dan bayi


Pada bayi, penyebab utama kematian dapat disebabkan oleh kondisi malformasi
kongenital, komplikasi dari premature dan SIDS. Sedangkan pada anak dengan umur > 1
tahun lebih sering disebbkan oleh injury atau trauma. Angka survival dari henti jantung yang
disebabkan oleh trauma lebih kecil dan bahkan jarang sekali. Oleh karena itu perlu
ditekankan pada tindakan pencegahan untuk meningkatkan kualitas hidup.
High Quality Cardiopulmonary Resuscitation (High Quality CPR)
Panduan Penatalaksanaan henti jantung yang dikeluarkan oleh AHA tahun 2010
menekankan pada pelaksanaan resusitasi jantung paru dengan standar kualitas yang tinggi.
Tujuan dari ditetapkannya standar ini dalam melakukan resusitasi adalah untuk menjamin
bahwa resusitasi dapat menjamin aliran darah bisa mencapai jantung dan terutama otak.
Resusitasi yang dilakukan dengan kualitas tinggi akan meningkatkan peluang jantung pasien
kembali berdenyut spontan dan kerusakan otak dapat diminimalkan.
Karakteristik dari High Quality CPR meliputi:
1. Segera melakukan kompresi dalam waktu paling lambat 10 detik sejak henti jantung
dikenali
2. Push Hard, Push Fast : Kompresi dengan kecepatan minimal 100
3. Complete Chest Recoil : kembalinya dinding dada secara penuh
4. Minimize Interruption : meminimalkan waktu tidak melakukan kompresi (interupsi tidak
melebihi 10 detik)
5. Berikan bantuan nafas yang efektif (cukup sampai terlihat dada bergerak naik saat
diberikan ventilasi)
6. Hindari ventilasi yang berlebihan.

Algoritme BLS Dewasa

BLS pada dewasa terdiri dari empat langkah dasar yakni:


Gambar 3. urutan BLS

Cara Melakukan CPR


Langkah - langkah dalam melakukan CPR adalah sebagai berikut:
1. Ambil posisi disamping pasien
2. Pastikan korban berbaring telentang pada permukaan yang rata dan keras
3. Tempatkan bagian tumit tangan pada pada bagian bawah garis tengah dada (lihat gambar
4)
4. Tempatkan tumit tangan yang satunya diatas tangan pertama
5. Perkuat lengan dan posisikan bahu untuk melakukan CPR (lihat gambar 5)
6. Push hard, push fast : lakukan kompresi dada dengan kedalaman minimal 5 cm (2 inches),
dan kecepatan minimal 100 kali / menit
7. Pastikan terjadinya pengembalian dinding dada secara penuh pada setiap kali kompresi.
8. Setelah 30 kompresi, berikan dua kali bantuan nafas dengan cara sebagai berikut:
1. Buka jalan nafas dengan teknik Head tilt - chin lift (gambar 6). Jika pasien terduga trauma
cervical, gunakan teknik jaw thrust / modified jaw thrust.
2. Berikan dua kali bantuan nafas sambil melihat pergerakan dada, tiap bantuan nafas diberi
jeda 1 detik.
9. Lanjutkan CPR
10. Jangan terlalu sering melakukan interupsi / jeda.

Cara Melakukan CPR dengan 2 Penolong:


Jika terdapat penolong lain, maka tugas masing - masing penolong dapat dilihat pada
tabel berikut:

Penolong Lokasi Tugas


Pertama Pada sisi korban Melakukan kompresi dada
Menghitung kompresi
dengan suara keras
Berganti peran setiap 5 siklus
atau setiap 2 menit
Kedua Pada kepala korban Membuka dan
mempertahankan jalan nafas
Memberi bantuan nafas,
memperhatikan naiknya
dinding dada, dan
menghindari ventilasi
berlebih
mengingatkan penolong
pertama untuk melakukan
High Quality CPR
Berganti peran setiap 5 siklus
atau setiap 2 menit
(*sumber: the American Heart Associaton tahun 2010)
Bantuan Ventilasi

Pada CPR dengan 1 penolong, direkomendasikan untuk melakukan bantuan ventilasi


menggunakan Pocket mask (Gambar 7). Jika CPR dilakukan dengan 2 penolong, maka
pemberian bantuan nafas diberikan melalui Bag - Valve Mask (BVM) baik dengan oksigen
aliran tinggi maupun tanpa aliran oksigen (gambar 8).
Basic Life Support (BLS) pada Anak Usia 1-8 tahun

Algoritma BLS pada anak dan infant


Penatalaksanaan BLS pada anak dilakukan dengan urutan berikut:
1. Pastikan lokasi aman, kemudian cek kesadaran dengan menepuk pundak korban sambil
memanggil korban. Jika korban tidak berespon, mintalah orang disekitar untuk
memanggil bantuan.
2. Cek pernafasan dan nadi (infant: arteri brakialis, anak: arteri karotis atau femoralis)
3. Jika pasien bernafas normal dan denyut nadi teraba, lakukan monitor kondisi pasien
4. Jika pasien tidak bernafas secara adekuat namun nadi teraba, berikan rescue breathing
(berikan bantuan nafas setiap 3 - 5 detik)
5. Jika pasien tidak bernafas dan tidak teraba denyut nadi; 10. Jika anda sendirian,
dahulukan menghubungi EMS dan mintalah seseorang untuk mengambil AED atau anda
mengambil sendiri.
6. Lakukan High Quality CPR dengan melakukan kompresi dengan ketentuan sebagai
berikut:
1. jika terdapat 1 penolong, teknik kompresi menggunakan 2 jari pada infant dan 1 atau
2 tangan pada anak.
2. jika terdapat 2 penolong, teknik kompresi menggunakan 2 jempol dengan tangan
mengelilingi dada infant
3. rasio kompresi : ventilasi adalah 30 : 2 pada BLS dengan 1 penolong
4. rasio kompresi : ventilasi adalah 15:2 pada BLS dengan 2 penolong
5. Kecepatan kompresi adalah 100 - 120 kali / menit

Teknik kompresi pada infant dengan 1 Penolong


Jika hanya terdapat 1 penolong dan korban (Anak) pada tempat kejadian, yang harus
dilakukan:
1. Tempatkan infant pada permukaan datar dan keras
2. Tempatkan 2 jari pada sentral dari dada infant, tepat dibawah garis puting susu, jangan
menekan ujung dari tulang dada
3. Berikan kompresi 100 - 120 kali / menit
4. Tekan dengan kedalaman 1/3 diameter anteroposterior (kurang lebih 4 cm)
5. Pastikan dinding dada kembali ke posisi awal ketika selesai melakukan kompresi
6. Berikan 2 kali bantuan nafas setiap 30 kali kompresi, buka jalan nafas dengan head tilt
chin lift. pastikan dinding dada terlihat naik setiap bantuan nafas diberikan
7. Setelah 5 siklus CPR atau 2 menit, jika anda sendirian dan EMS belum dihubungi, segera
aktifkan EMS dan carilah AED di sekitar anda
8. lanjutkan CPR dan gunakan AED segera setelah anda dapatkan.
9. Lanjutkan pertolongan sampai bantuan datang.

Teknik kompresi pada Infant dengan 2 Penolong


Jika terdapat 2 penolong dan korban (Anak) pada tempat kejadian, yang harus
dilakukan
1. Tempatkan infant pada permukaan datar dan keras
2. Tempatkan 2 jempol pada sentral dari dada infant, tpada setengah bawah tulang dada,
dengan jemari lain mengelilingi dada.
3. Berikan kompresi 100 - 120 kali / menit
4. Tekan dengan kedalaman 1/3 diameter anteroposterior (kurang lebih 4 cm)
5. Pastikan dinding dada kembali ke posisi awal ketika selesai melakukan kompresi
6. Berikan 2 kali bantuan nafas setiap 15 kali kompresi, buka jalan nafas dengan head tilt
chin lift. pastikan dinding dada terlihat naik setiap bantuan nafas diberikan
7. Setelah 5 siklus CPR atau 2 menit, jika anda sendirian dan EMS belum dihubungi, segera
aktifkan EMS dan carilah AED di sekitar anda
8. Lakukan pergantian peran penolong setiap 2 menit (5 siklus)
9. lanjutkan CPR dan gunakan AED segera setelah anda dapatkan.
10. Lanjutkan pertolongan sampai bantuan datang.
Bantuan Ventilasi

Jika tersedia masker, maka masker harus digunakan seperti pada orang
dewasa; Namun, Anda harus memastikan masker yang digunakan adalah ukuran yang benar
untuk anak. Masker harus menutup mulut dan hidung anak tanpa menutupi mata atau dagu.
Membuka jalan napas pada anak dapat dilakukan seperti pada orang dewasa yaitu dengan
menggunakan head tilt/chin lift. Setiap napas harus berlangsung satu detik dan harus
menyebabkan dada anak meningkat. Seperti korban dewasa, anda harus menghindari
memberikan napas terlalu cepat, karena hal ini dapat mengakibatkan distensi perut, muntah,
dan kemungkinan aspirasi isi lambung.

(sumber: Haedar, 2015)


Automated External Defibrillator (AED)

Penyebab terbanyak kejadian henti jantung adalah ventrikel fibrilasi (V Fib) dan
Ventrikel Takikardi. Terapi satu - satunya pada kondisi ini adalah melakukan defibrilasi.
AED merupakan suatu alat untuk melakukan defibrilasi. Alat ini mampu mendeteksi
gangguan irama pada henti jantung dan memberi arahan apakah korban harus dilakukan
defibrilasi ataukah tidak perlu dilakukan.

Automated External Defibrilator (AED)untuk Infant dan Anak


AED dapat digunakan pada bayi dan anak-anak. AED harus digunakan sedini
mungkin untuk meningkatkan kelangsungan hidup bayi dan anak. Periksa AED ketika tiba di
tempat kejadian. Gunakan Pads untuk anak jika korban berusia <8 tahun. Jika pads anak
tidak tersedia, maka pads untuk korban dewasa dapat digunakan. Untuk bayi berusia <1
tahun, harus dilakukan penggunaan defibrilator jika tersedia. Jika defibrilator manual tidak
tersedia, AED dapat digunakan.
Beberapa AED memiliki tombol yang dapat diatur untuk memberikan syok pada anak.
Jika tombol syok tersedia, maka berikan syok pada anak yang berusia <8 tahun. Jika AED
tidak dapat memberikan syok untuk anak, syok untuk dewasa haris diberikan. Hal ini penting,
sebab syok merupakan obat yang dapat diunkana untuk memunculkan kembali irama ata
denyutan jantung.

Cara Penggunaan

Cara penggunaan AED adalah sebagai berikut:


1. Tekan tombol “On” pada AED. Setelah itu, AED akan memberi panduan apa yang harus
dilakukan.
2. Lekatkan pad AED pada dada pasien (lihat gambar 19)

3. Ketika AED mengatakan “ANALYZE RHYTHM”, hentikan CPR dan pastikan tidak ada
yang memegang korban (Gunakan kesempatan ini untuk berganti peran jika CPR
dilakukan oleh 2 penolong)
4. Jika AED mengindikasikan untuk memberikan Shock, pastikan tidak ada orang lain yang
memegang korban dengan mengatakan “CLEAR”, setelah itu tekan tombol “SHOCK”
pada AED. Setelah memberikan shock, segera lanjutkan CPR, dimulai dengan kompresi
dada
5. Jika AED tidak mengindikasikan pemberian shock, segera lanjutkan CPR, mulai lagi
dengan kompresi dada
6. AED akan mengulang langkah diatas setiap 2 menit.
Choking (Sumbatan Jalan Nafas)

Pendahuluan
Sumbatan jalan nafas total merupakan keadaan gawat darurat yang dapat berakibat
kematian dalam hitungan menit jika tidak ditangani segera. Sumbatan jalan nafas total
menunjukkan adanya blokade total jalan nafas. Korban tidak bisa berbicara, bernafas, atau
batuk.
Sumbatan pada jalan nafas menyebabkan terganggunya suplai oksigen ke otak. Jika
tidak ditangani, dalam waktu singkat otak akan kekurangan oksigen dan dapat menyebabkan
kerusakan pada otak bahkan kematian.
Tersedak seringkali dihubungkan dengan kegiatan makan, dan sering pula disaksikan
orang lain. Peluang untuk bertahan hidup lebih baik bila penolong dapat segera memberikan
pertolongan pertolongan saat korban masih sadar. Teknik yang digunakan biasanya adalah
Heimlich maneuver (hentakan perut) dan Chest Trust (hentakan dada) untuk wanita hamil
atau korban yang gemuk.
Heimlich maneuver direkomendasikan bagi korban sumbatan jalan nafas dewasa yang
sadar dan bagi anak – anak usia 1 – 8 tahun. Manuver ini dilakukan dengan hentakan perut
sehingga mengangkat diafragma dan meningkatkan tekanan pada jalan nafas, yang akan
mendorong udara keluar paru – paru. Ini akan menciptakan batuk buatan dan mendorong
benda asing keluar dari jalan nafas. Bagi korban yang sedang hamil atau obesitas, yang
direkomendasikan adalah hentakan dada (Chest trust).
Tanda - tanda choking dan pertolongan yang diberikan
Derajat Sumbatan Tanda - tanda Tindakan penolong
Parsial Korban bernafas namun bisa tenangkan korban tetap
juga terdengar wheezing bersamanya
Korban batuk dan masih bisa Minta korban untuk batuk
bersuara
Panggil bantuan (EMS) jika
kondisi memburuk
Total Memegang erat leher (tanda Lakukan Heimlich maneuver
universal) (Abdominal thrust) atau
Chest thrust / back blows
(Infant)
lemas dan tidak terdengan Panggil bantuan (EMS)
batuk
Tidak mampu berkata - kata Jika pasien menjadi
unresponsive, segera lakukan
BLS
Sedikit bahkan tidak bernafas
Mungkin terlihat sianosis
pada bibir dan jari

Cara Melakukan Heimlich Maneuver


Teknik ini hanya digunakan pada korban yang masih responsive. Cara melakukan adalah
sebagai berikut:
1. Berdiri di belakang korban, peluk korban pada bagian pinggang dibawah tulang rusuk
terbawah
2. Tempatkan satu sisi kepalan tangan anda pada pusar korban. Jangan menekan pada
sternum bagian bawah
3. Dengan tangan satunya, genggam kepalan tangan pertama dan hentakkan pada abdomen
dengan mengarah ke atas dan ke dalam menuju dada
4. Lanjutkan tindakan tersebut sampai sumbatan keluar atau pasien menjadi unresponsive
5. Tindakan dianggap berhasil jika benda asing dapat dikeluarkan
Cara Melakukan Back Blows dan Chest Thrust pada Infant
Teknik melakukan Back blows dan Chest Thrust dapat dilihat pada gambar ini
FIRST INITIAL ASSESSMENT
A. PENDAHULUAN

Bencana baik yang berasal dari alam maupun akibat dari perbuatan manusia di
Indonesia sangat mungkin terjadi karena salah satu negara yang terletak dalam
pertemuan 5 lempeng bumi adalah Indonesia. Selain itu Indonesia juga terletak di
rentetan gunung berapi mulai dari ujung Aceh sampai Maluku. Ulah manusia seperti
pembabatan hutan banyak berakhir dengan macam bencana seperti banjir, tanah
longsor dan lain sebagainya.

Akhir-akhir ini berbagai bencana seperti kebakaran pabrik petrokimia, banjir, longsor,
kebakaran hutan, letusan gunung berapi, gempa bumi dan tsunami telah melanda
Indonesia. Busung lapar, diare, demam berdarah, aviant flu tak terelakkan untuk
menyumbang bentuk bencana di Indonesia dan bahkan Polio yang sudah dinyatakan
bebas di Indonesia muncul kembali sebagai bencana di Negara ini. Bencana yang
terjadi tersebut bisa besar atau kecil, bisa bersifat local atau nasional, dapat
mengakibatkan kerusakan baik kerusakan infrastruktur maupun material milik
penduduk bahkan sering kali bencana tersebut dapat mengancam penolongnya.

Salah satu akibat dari kerusakan tersebut berdampak langsung terhadap kesehatan
masyarakat yang mengalami bencana, demikian juga kerusakan fasilitas fasilitas
kesehatan serta sarana sarana pendukungnya berdampak pada terganggunya
aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang pada akhirnya juga
mempengaruhi status kesehatan dari masyarakat yeng terkena dampak bencana.

Kemampuan dari masyarakat yang terkena bencana dalam mengatasi kesulitan yang
terjadi secara tiba-tiba dan bertahan hidup merupakan modal utama dalam upaya
tanggap darurat terhadap ancaman bencana tersebut di atas sebelum mendapat
bantuan dari penolong. Kemampuan, kesiapan, dan kematangan masyarakat tersebut
menunjukkan keuntungan dari pengelolaan manajemen bencana berbasis masyarakat.

Oleh karena itu dalam decade terakhir timbul pemikiran tentang perlunya partisipasi
masyarakat secara berkesinambungan guna mengurangi dampak yang ditimbulkan
ooleh bencana melalui manajemen bencana berbasis masyarakat. Untuk itu diperlukan
adanya aktifitas manajemen proaktif terhadap bencana sertra peran yang signifikan
dari masyarakat local.

Memberikan pertolongan pada masyarakat membutuhkan cara dan manajemen yang


benar agar hasilnya dapat sesuai, efektif dan maksimal. Dengan seringnya kita
menjadi partisipan ataupun relawan pada daerah-daerah yang mengalami bencana
akan makin terlatih dan makin matang kemampuan kita untuk menangani masalah
tersebut, namun demikian kemampuan kita tidak akan dapat mengatasi bencana
dengan baik apabila dalam mengatasi kegawat-daruratan sehari-hari tidak
mengerjakannya dengan baik.

B. MANAJEMEN BENCANA BERBASIS KEGAWAT DARURATAN SEHARI-


HARI

Dalam hal kedaruratan sehari-hari maka basis utamanya terdiri atas 6 langkah :

1. Tahap Triage

2. Tahap Primary Survey

3. Tahap Secondary Survey

4. Tahap Stabilization

5. Tahap Transfer

6. Tahap Definitive Care

Ke 6 langkah ini harus dilaksanakan secara berurutan, tidak dapat tahap-tahap ini
dilakukan sebelum tahap demi tahap dilaksanakan, atau dengan kata lain tahap 2
dapat dilakukan setelah tahap 1 dilaksanakan atau tahap 3 dapat dilakukan bila tahap
2 telah dilakukan dan seterusnya.

1. TRIAGE

Adalah metode untuk mendapatkan hasil yang sebaik mungkin pada kondisi
jumlah pasien besar dengan sarana terbatas.

Dasar-Dasar Triage :

1. Derajat Cedera

2. Jumlah yang cedera

3. Sarana dan kemampuan

4. Kemungkinan bertahannya hidup


Digunakan pada kegawat-daruratan sehari-hari serta korban massal untuk
penilaian status pasien terhadap :

 Penilaian tanda vital dan kondisi

 Penilaian tindakan yang diperlukan

 Penilaian harapan hidup

 Penilaian kemampuan medis

 Prioritas penanganan definitive

 Pemberian label

 Penentuan prioritas akan menekankan

- Morbiditas

- Mortalitas

- Kecacatan

Siapa yang dapat melakukan triage, pada dasarnya setiap tenaga medis ataupun
paramedis dapat melakukan triage.

Siapa yang datang pertama di tempat kerja dialah yang wajib melakukan triage
dan selanjutnya apabila ada personil berikutnya yang dating dan mempunyai
tingkat kompetensi yang lebih tinggi wajib melakukan triage lebih lanjut. Triage
dapat dilakukan berulang kali dan bahkan setiap melakukan tindakan dianjurkan
terlebih dahulu melakukan triage karena status penderita senantiasa akan dapat
berubah-rubah (dapat dari merah ke kuning ataupun ke hijau atau sebaliknya dari
hijau ke merah)

Prosedur Triage :

 Triage dulu sebelum pengobatan

 Jangan lebih dari 60 detik tiap pasien


 Tentukan fasilitas terbaik untuk penanganan

- Di ruang emergency

- Di luar lapangan

Pada keadaan kegawat daruratan sehari-hari seperti bila kita bekerja di ruang
gawat darurat :

 Penting untuk mengatur supaya alur pasien baik terutama pada kondisi ruang
terbatas

 Prioritas pasien untuk menekan morbiditas dan mortalitas

 Tiga kategori :

a. Emergency (label merah) :

Penderita gawat dan darurat, penderita ini harus mendapat pertolongan


dengan prioritas penanganan ke 1 (P1)

b. Urgent (label kuning) :

Penderita tidak gawat tapi darurat atau gawat tidak darurat, penderita ini
harus mendapat pertolongan dengan prioritas penanganan ke 2 (P2)

c. Non urgent (label hijau) :

Penderita tidak gawat dan tidak darurat, penderita ini akan mendapat
prioritas penanganan ke 3 (P3)

Kasus emergency misalnya :

 Trauma berat

 Akut MCI

 Sumbatan jalan nafas

 Tension Pneumothorax

 Flail chest

 Shock Hipovolemic derajat III-IV

 Luka bakar dengan trauma inhalasi


Kasus urgent misalnya :

 Cedera tulang belakang

 Patah tulang terbuka

 Trauma capitis tertutup

 Luka bakar

 Apendiksi Akut

→ Akan terjadi peningkatan resiko jika ditangani dalam beberapa jam

Kasus Non Urgent misalnya :

 Luka lecet

 Luka memar

 Fraktur extremitas atas

 Deman

 Keluhan-keluhan lan

ALUR PASIEN DI RUANG GAWAT DARURAT


Dengan triage kita akan mendapatkan waktu emas

 Batasan waktu untuk mendapat pelayanan

 Jam pertama : morbiditas ↓, mortalitas ↓

Triage pada bencana dilakukan untuk memilih pasien dalam jumlah yang banyak,

 Bencana → - jumlah korban banyak

- Pelayanan terbaik sesuai dengan kondisi bencana

- Sangat tergantung dari kondisi yang dibutuhkan saat itu

 Kategorinya

1. Pelayanan cepat ( merah)

2. Pelayanan ditunda (kuning)

3. Pasien berjalan (hijau)

4. Meninggal – tak tertolong (hitam)

Melakukan START (Simple Triage And Rapid Treatment ) adalah


melakukan petolongan cepat dengan dasar :

- Respirasi

- Sirkulasi

- Status mental

 Tindakan penyelamatan

- Sumbatan jalan nafas

- Pendarahan hebat

 Tindakan lebih dari 60 detik

 Sencodary Assessment Victim End Poin (Save)


Triage dilapangan → ambulan terbatas

Keterbatasan RS-untuk definitive care

2. PRIMARY SURVEY

Adalah suatu kegiatan untuk menilai kndisi korban (diagnostic) sekaligus tindakan
(resusutasi) untuk menolong nyawa.

Kunci utama penanganan pada pasien trauma adalah adalah penanganan pada keadaan
yang mengancam nyawa.

Apa yang dimaksud dengan mengancam nyawa ?

Semua keadaaan yang mengganggu circulasi jalan nafas dan cairan disebut dengan
mengancam nyawa maka dalam menangani kegawatdaruratan pastikan tidak ada
ancaman terhadap dua hal tersebut diatas, bila ada dua hal yang mengancam tersebut
di atas, maka diperlukan tidakan darurat.

Semua tindakan resusitasi yang dilakukan melalui membebaskan jalan nafas


(airway), memberikan bantuan pernafasan (breathing) dan memperbaiki sirkulasi
cairan/darah (Circulation) disebut tindakan pertolongan untuk membebaskan
penderita terhadap ancaman nyawa.

Penilaian keadaan penderita dan prioritas terapi dilakukan berdasarkan jenis


perlakuan, tanda-tanda vital, danmekanisme trauma. Pada penderita yanag terluka
parah, terapi diberikan berdasrkan prioritas. Tanda vital penderita harus dinilai secara
capat dan efisien. Pengelolaan penderita secara triage, primary survey yang cepat dan
kemudian rresusitasi, secondary survey, stabilisasi, transportasi dan akhirnya terapi
definitive. Proses ini dinamakan 6 langkah penanganan trauma dengan berusaha untuk
mengenali keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu, dengan berpatokan pada
urutan berikut :

1. Airway, menjaga airway dengan control servikal (sevical spin control)

2. Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi

3. Circulation, dengan control pendarahan (hemorrhage control)

4. Disability, status neurologist

5. Exposure, buka baju penderita, tetapi mencegah hipotermia

Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali, dan
resusitasinya segera dilakukan pada sat itu juga. Penyajian primary survey di atas
adalah dalam bentuk berurutan (sekuensial), sesuai prioritas dan agar lebih jelas,
namun dalam praktek dalam hal-hal di atas sering dilakukan berbarengan (simultan).

Airway

Kerusakan otak yang irreversible dapat terjadi 6-8 menit setelah anoxia otak. Oleh
karena itu, prioritas pertama dalam penanganan trauma yaitu pastikan kelancaran jalan
nafas, ventilasi yang adekuat dan oksigenasi. Ini meliputi pemeriksaan adanya
obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fasktur
mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea. Penanganan airway juga harus
diperkirakan adanya dugaan trauma pada vetebra servikal. Usaha untuk
membebaskan airway harus melindungi vetebra servikal. Vetebra servikal harus
sangat hati-hati dijaga setiap saat dan jangan terlalu hiperekstensi, hiperfleksi atau
rotasi yang dapat mengganggu jalann nafas. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan
posisi dalam keadaan netral, chin lift atau jaw thrust diperlukan juga pada penanganan
airway.

Mekanisme pembersihan pada oropharing sering dilakukan dlam pembukaan jalan


nafas. Dalam hal ini kelancaran jalan nafas yang dibutuhkan dalam berbagai posisi
dapat terjadi dengan dilakukan nasal atau oropharigeal airway. Jika pembersihan jalan
nafas ini juga tidak berhasil, maka dapat dilakukan tindakan intubasi endoktrakeal.
Tindakan ini dinamakan airway definitif. Pada airway definitive maka ada pipa di
dalam trahea dengan balon (cuff) yang dikembangkan, pipa tersebut dihubungkan
dengan suatu alat bantu pernafasan yang diperkaya oksigen, dan airway tersebut
dipertahankan ditempatnya dengan plester. Penentuan pemasangan airway definitif
didasarkan pada penemuan-penemuan klinis antara lain :

1. Adanya apnoe

2. Ketidakmampuan mempertahankan aiarway yang bebas dengan cara-cara yang


lain.

3. Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau
vomitus.

4. Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway. Seperti multiple fraktur
pada tulang wajah,kejang kejang yang berkepanjangan.

5. Cedera kepala tertutup yang memerlukan bantuan nafas (GCS = 8).

6. Ketidakmampuan mempertahankan oksigen yang adekuat dengan pemberian


oksigen tambahan lewat masker wajah.

Intubasi nasotrakeal adalah teknik yang bermanfaat apabila urgensi pengelolaan


airway tidak stabil. Intubasi nasotrakeal secara membuta (blind nasotrakeal
intubation) hanya dilakukan pada penderita yang masih bernafas spontan. Prosedur ini
merupakan kontraindikasi untuk penderita yang apnoe. Fraktur wajah, fraktur
frontalis, fraktur basis cranii, dan fraktur lamina chiriformis merupakan kontraindikasi
relative untuk intubasi nasotrakeal.

Bila kesemua tindakan di atas juga tidak mampu untuk mengatasi di dalam control
airway, tindakan krikotiroidotomi dapat dilakukan. Tindakan ini dinamakan airway
surgical.

Breathing
Tindakan kedua setelah airway tertangani adalah ventilasi. Penurunan oksigen yang
tajam (10 L/min) harus dilakukan suatu tindakan ventilasi. Analisa Gas Darah dan
pulse oximeter dapat membantu untuk mengetahui kualitas ventilasi dari penderita.

Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang terjadi
pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan
karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru,
dinding dada dan diafragma. Setiap komponen ini harus dievaluasi secara cepat.

Tanda hipoksia dan hipercarbia bisa terjadi pada penderita dengan kegagalan ventilasi.
Kegagalan oksigenasi harus dinilai dengan dilakukan observasi dan auskultasi pada
leher dan dada melalui distensi vena, deviasi trakeal, gerakan paradoksol pada dada
dan suara nafas yang hanya pada satu sisi (unilateral).

Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat adalah tension


pneumothorax, flail chest dengan kontusio paru, open pneumothorax, massive
hemothorax. Keadaan-keadaan ini harus dikenali pada saat dilakukan primary survey.
Hematothorax, simple pneumothorax, patahnya tulang iga dan kontusio paru
mengganggu ventilasi dalam derajat yang lebih ringan dan harus dikenali pada saat
melakukan secondary survey.

Circulation

Pendarahan merupakan sebab utama kematian pasca bedah yang mungkin dapat
diatasi dengan terapi yang cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu keadaan hipotensi
harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia, sampai terbukti sebaliknya. Dengan
demikian maka diperlukan penilaian yang cepat dari status hemodinamik penderita.
Kerusakan pada jaringan lunak dapat mengenai pembuluh darah besar dan
menimbulkan kehilangan darah yang banyak. Menghentikan pendarahan yang terbaik
adalah dengan tekanan langsung.

Hipotensi pada pasien dengan multiple trauma selalu disebabkan oleh kehilangan
darah yang banyak. Penanganan segera dengan memberikan larutan ringer laktat
secara intravena harus memberikan respons yang baik (2-L pada dewasa, anak :
30mL/kgbb). Pendarahan oleh karena itu luka yang terbuka dapat dikontrol dengan
penekanan terbuka secara langsung . Perfusi jaringan dapat dievaluasi dengan
produksi urin dan pengisian kaviler pada ujung jari. Pengisian kaviler pada ujung-
ujung jari lebih dari 2 menit ini menandakan fungsi jaringan lemah.

Jika hipotensi memberikan respon yang baik pada penanganan pertama, maka
pemberian larutan Kristaloid dapat diberikan bahkan sampai dengan pemberian
transfusi darah. Namun jika respons tersebut sedikit atau sama sekali tidak
memberikan respon tidak, maka pemberian cairan dengan larutan ringer laktat (2-L)
dapat diulang kembali. Kemudian dapat dilakukan transfuse darah baik tipe spesifik
atau noncross matched universal donor O negative. Vasopressor tidak boleh diberikan
pada pasien dengan syok hipovolemik.

Klasifikasi perdarahan ini berguna untuk memastikan tanda-tanda dini dan


patofisiologi keadaan syok.

Terdapat 4 klasifikasi perdarahan antara lain :

1. Perdarahan kelas I (kehilangan volume darah sampai 15%); gejala kehilangan


volume ini adalah minimal. Bila tidak ada komplikasi, akan terjadi takikardi
minimal. Tidak ada perubahan yang berarti dari tekanan darah, tekanan nadi, atau
frekuensi pernafasan. Pengisian transkapiler dan mekanisme kompensasi lain
akan memulihkan volume darah dalam 24 jam.

2. Perdarahan kelas II (kehilangan volume darah 15% - 30%); gejala-gejala klinis


termasuk takikardi (denyut jantung lebih dari 100 pada orang dewasa), takipnea
dan penurunan tekanan nadi. perubahan saraf sentral seperti cemas, ketakuta, atau
sikap permusuhan. Produksi urin hanya sedikit terpengaruh. Ada pendeirta yang
kadang-kadang memerlukan transfusi darah, tetapi dapat distabilkan dengan
larutan kristaloid pada mulalnya.

3. Perdarahan kelas III (kehilangan volume darah 30% - 40%); akibat kehilangan
darah sebanyak ini (sekitar 2000 ml untuk orang dewasa) dapat sangat parah.
penderitanya hampir selalu menunjukkan tanda klasik perfusi yang tidak adekuat,
termasuk takikardi dan takipnea yang jelas, perubahan penting pada status mental,
dan perubahan tekanan darah sistolik. Dalam keadaan yang tidak berkomplikasi,
inilah jumlah kehilangan darah yang paling kecil yang selalu menyebabkan
tekanan sistolik menurun. Penderita dengan kehilangan darah tingkat ini hampir
selalu memerlukan transfuse darah. Keputusan untuk memberi transfuse darah
didasarkan atas respon penderita terhadap resusitasi cairan semula dan perfusi dan
oksigen organ yang adekuat.

4. Perdarahan kelas IV (lebih dari 40% kehilangan volume darah); dengan


kehilangan darah sebanyak ini, jiwa penderita terancam. Gejala-gejalanya
meliputi takikerdia yang jelas, penurunan tekanan darah sistolik yang cukup
besar, dan tekanan nadi yang sangat sempit (atau tekanan diastolic yang tidak
teraba). Produksi urine hampir tidak ada, dan kesadaran jelas menurun. Kulit
teraba dingin dan tampak pucat. Penderita ini seringkali memerlukan transfuse
cepat dan interfensi pembedahan segera. Keputusan tersebut didasarkan atas
respon resusitasi cairan yang diberikan. Kehilangan lebih dari 50% volume darah
penderita mengakibatkan ketidaksadaran, kehilangan denyut nadi dan tekanan
darah.

Patah tulang panjang dapat menimbulkan pendarahan yang berat. Fraktur kedua
femur dapat menimbulkan kehilangan darah di dalam tungkai sampai 3-4 liter.
Menimbulkan shock kelas III. Pemasangan bidai yang baik akan dapat
menurunkan pendarahan secara nyata dengan mengurangi pergerakan dan
meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar fraktur. Pada patah tulang
terbuka, penggunaan balut tekan steril umumnya dapat menghentikan perdarahan.
Resusitasi cairan yang agresif merupakan hal yang penting di samping usaha
menghentikan pendarahan.

Disability (evaluasi neurologis)

Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis


secara cepat. Yang dinilai di sini adalah tingkat kesadaran, serta ukuran dan reaksi
pupil.

Suatu cara sederhana untuk menilai tingkat kesadaran adalah metode AVPU :

A : Alert (sadar)

V : Respon terhadap rangsangan vocal (suara)

P : Respon terhadap rangsangan nyeri (pain)

U : Unresponsive (tidak ada respon)


GCS (Glasgow Coma Scale) adalah system scoring sederhana dan dapat meramal
kesudahan (outcome) penderita. GCS ini dapat dilkakukan sebagai pengganti AVPU.
Apabila belum dilakukan reevaluasi pada survey premir, harus dilakukan pada
secondary survey pada saat pemeriksaan neurologis.

Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi dan penurunan perfusi


ke otak, atau disebabkan trauma langsung ke otak. Penurunan kesadaran dituntut
dilakukannya reevaluasi oksigenasi, ventilasi, dan perfusi.

Exposure (kontrol lingkungan)

Keadaan dengan liserasi,kontusio, abrasi swelling, dan deformitas, sering terjadi pada
pasien trauma. Cara yang paling aman dengan membuka pakaian penderita secara
keseluruhan. Ini dilakukan dengan tujuan untuk memudahkan dalam memeriksa dan
mengevaluasi keadaan penderita, mencegah terjadinya displacement pada fraktur,
meminimalkan resiko terjadinya komplikasi lebiih lanjut. Hiportermia harus dapat
dicegah, fungsi jantung harus baik, terutama bila volume darah turun. Kain yang steril
apat digunakan untuk menutupi luka yang terbuka dengan tujuan untuk mencegah
kontamminasi lebih lanjut.

Pada prinsipnya penanganan kasus-kasus emergency adalah melepaskan


penderita dari beban masalah yang mengancam nyawa, selanjutnya baru lakukan
tindakan lain sampai dengan terapi definitive. Bila masalah yang mengancam
nyawanya belum teratasi jangan melangkah ke tahap berikutnya dan bila tindakan kita
telah dapat melepaskan penderita dari ancaman yang mengancam nyawanya maka
penderita harus di pastikan betul-betul dalam keadaan stabil. Sebelum penderita
belum betul-betul stabil jangan melangkah ketahap berikutnya ataupun melakukan
evakuasi, artinya penderita boleh dilakukan evakuasi apabila pendeirta telah stabil.
Pada keadaan penderita tidak juga bisa di stabilkan maka penderita hanya boleh di
evakuasi dengan ambulans yang mempunyai fasilitas resusilitasi.

Setelah tindakan primary survey maka dilanjutkan dengan pemeriksaan secondary


survey, pada tindakan secondary survey adalah pemeriksaan secara keseluruhan mulai
dari ujung rambut sampai ujung jempol kaki (Groin to toe), usahakan untuk tahap
pemeriksaan tahap ini melihat setiap bagian tubuh dan jangan tertutup penutup seperti
kain atau baju karena hal tersebut sering membuat menjalankan kekeliruan atau
terlewat melihat deformitas yang ada.

Colok semua lubang yang ada di badan supaya tak terlewat sign yang menjadi
penanda dari kelinan yang diderita penderita.

Setelah selesai melakukan tahap ini lanjutkan dengan tindakan untuk melakukan
stabilisasi pasien hingga stabil baru pasien boleh dilakukan transpotasi, bila pasien
belum stabil sebaiknya tidak dilakukan transpotasi kecuali kita membawa pasien
dengan ambulans yang mempunyai fasilitas resusitasi.

Tahap terapi definitive dilakukan di rumah sakit setelah pasien betul stabil.

Penanganan penderita pada bencana masal :

Tahapan penanganan pada penanganan bencana masal terdiri atas :

1. Rapid Assessment

2. Evakuasi

3. Stabilisasi di Field Hospital

4. Transpotasi ke rumah sakit

Tahap Rapid Assessment

Pada penilaian awal dilakukan oleh tim yang memang telah terbiasa untuk melakukan
penilaian di lapangan, siapa saja orang yang ada di dalam tim tersebut :

1. Chief Rapid Assessment

2. Chief Medical Team

3. Epidemologi

4. Komunikasi

Tim ini harus memberikan laporan segera ke Pos belakang untuk kondisi yang ada di
lapangan dengan waktu secepatnya.
Selanjutnya pimpinan tim disaster akan mengirimkan bantuan sesuai dengan apa yang
terjadi di lapangan, sedang tim rapid assessment tetap harus menilai kebutuhan di
lapangan dan melaporkan ke pimpinan disasteragar pimpinan dapat mengambil
langkah lanjut sampai tahap rehabilitisi.

Kelompok dan Tugas Penanganan di lapangan dan rumah sakit :

POS MEDIA LAPANGAN

Dapat berupa Puskesmas atau bangunan/tenda-tenda yang berada di sekitar area


bencana.

Tugas:

1. Memberikan pelayanan berupa Basic Life Support dan Advance Life Support
terbatas sesuai fasilitas

2. Seleksi korban (triage awal) gunakan label yang ditetapkan & perawatan sementara

3. Stabilisasi korban gawat darurat, melakukan komunikasi untuk rujukan

4. Melakukan koordinasi dengan unsur-unsur (non medis) di lapangan

5. Lakukan evakuasi sesuai kegawatan korban setelah tujuan ditetapkan

POS MEDIS DEPAN

Adalah rumah sakit terdekat dengan lokasi kejadian.

Tugas:

1. Menerima pasien-pasien dari pos medis lapangan

2. Melakukan seleksi lanjutan terhadap pasien untuk memberikan prioritas pelayanan


sesuai kasus

3. Memulai terapi definitive (lanjutan ALS) sesuai kemampuannya

4. Merujuk pasien bila diperlukan ke RS rujukan (pos medis belakang)


POS MEDIS BELAKANG

Adalah rumah sakit terbesar di wilayahnya sebagai pusat rujukan dan koordinasi di
wilayahnya juga berfungsi sebagai Pusat Komando Pengendalian Medis.

Tugas:

1. Menerima rujukan pasien dari pos medis lapangan atau pos medis depan dan
melakukan tindakan definitive.

2. Mengirimkan tim medis bantuan yang diperlukan k epos medis lapangan/pos


media depan.

3. Mengkordinasikan komunikasi pelayanan medis.

4. Mengkordinasikan kegiatan pelayanan rujukan.

5. Melakukan koordinasi dengan unsur Depkes/di luar kesehatan.


MANAGEMENT JALAN NAFAS / AIR WAY & BREATHING

A. ANATOMI JALAN NAFAS / AIRWAY


Untuk dapat mengelola jalan nafas dengan baik, seorang tenaga medis harus
mengetahui, dan memahami struktur anatomi jalan nafas, fisiologi dan patofisiologi
terjadinya gangguan jalan nafas.

Anatomi jalan nafas dibagi menjadi dua bagian yaitu jalan nafas bagian atas dimulai
dari dua lubang yaitu rongga hidung dan berlanjut ke posterior yang akan bertemu di
faring, kemudian melewati epiglottis kemudian melewati pita suara dan masuk ke
laring. Laring dikelilingi oleh kartilago tiroid, kartilago krikoid, dan kelenjar tiroid.
Jalan nafas bagian atas berakhir di sini. Selanjutnya adalah jalan nafas bagian bawah
yang diteruskan melalui trachea dan berakhir di paru-paru. Sumbatan jalan nafas dapat
terjadi di sepanjang jalan nafas ini. Pada bayi dan anak ada sedikit perbedaan anatomi
dimana lidah yang relative lebih besar dibandingkan rahang bawah, glottis yang
letaknya lebih atas dan anterior epiglottis yang lebih besar dan mudah terlipat serta
pita suara yang terletak lebih anterior sehingga pada bayi dan anak lebih mudah
terjadi sumbatan jalan nafas.

a. SUMBATAN JALAN NAFAS

Penyebab sumbatan jalan nafas bagian atas adalah sbb :

kongenital/genetik Infeksi medical trauma/tumor


tonsil yang besar Tonsilitis cystic fibrosis laringeal trauma
Makroglosia abses peritonsil angioedema hematom / abses
Mikrognati abses retrofiring laringospasme inhaslasi asap
massa leher abses pretrakeal relaksasi otot luka bakar
jalan nafas
adenoid yang besar epiglottitis, inflamasi, asma benda asing
laryngitis, angina
ludwig

Tujuan utama pengelolaan jalan nafas adalah untuk membersihkan atau


membypass sumbatan jalan nafas, mencegah aspirasi dan membantu pernafasan
atau mengambil alih pernafasan spontan dengan bantuan mesin ventilator.

Sumbatan jalan nafas bagian atas adalah kegawatdaruratan yang mengancam


nyawa. Penilaian yang cepat dan upaya mempertahankan patensi jalan nafas
adalah penting walaupun belum diketahui penyebab / diagnosis spesifik.
b. TEHNIK MANAJEMEN JALAN NAFAS

Tehnik yang dapat dilakukan untuk mengelola jalan nafas meliputi tindakan yang
non invasive atau invasive tergantung dari sumbatan di atas atau di bawah glottis,
dan apakah bersifat surgical atau non surgical.

Tehnik yang dipilih tergantung dari masing-masing situasi, yang merupakan


konsekuensi dari interaksi factor kondisi pasies, alat yang tersedia dan
pengalaman tenaga medis.

1. Tehnik Non Invasif

a. Tanpa alat

Pada kondisi dimana tidak terdapat alat maka dilakukan upaya


membebaskan jalan nafas secara manual dengan cara triple airway
manuver meliputi: ekstensi kepala, angkat dagu, dan mendorong
mandibular/rahang bawah. Upaya ini dilakukan untuk mengangkat lidah
yang jatuh menutupi saluran nafas. Jika terdapat benda asing di jalan nafas
maka dapat dilakukan upoaya sapuan menggunakan jari tangan. Jika
ventilasi tidak adekuat maka dilakukan upaya pernafasan dari mulut ke
mulut.

b. Bag-Mask Ventilation

Kombinasi antara triple airway maneuver dengan ventilasi menggunakan


bag mask merupakan upaya yang sangat dasar dalam menangani jalan
nafas. Tangan kiri melakukan jaw trust sambil memegang sungkup muka
sementara tangan kanan memompa baging. Berbagai jenis sungkup muka
tersedia tetapi yang disarankan adalah yang transparan sehingga dapat
melihat langsung keadaan mulut dan hidung serta ada tidaknya sumbatan.
Kunci utama tehnik ini adalah kemampuan mempertahankan seal antara
sungkup muka dan wajah pasien, jika tidak terjadi kebocoran maka
ventilasi akan adekuat. Komplikasi dari tehnik ini adalah distensi lambung
dan kemungkinan aspirasi paru.
c. Oro dan Nasofaringeal airway

Pada pasien yang tidak sadar, obstruksi terjadi akibat ketidakmampuan


untuk mempertahankan tonus lidah sehingga akan jatuh menutupi jalan
nafas. Orofaringeal airway/gudel/mayo dapat menahan lidah pada posisi
yang seharusnya. Cara memasukan guedel adalah dengan memasukan pada
posisi lengkungannya menghadap ke atas sampai menyentuh palatum
kemudian diputar 180o sambil didorong.

Nasofaringeal airway terbuat dari karet atau plastik yang lembut, yang
dimasukan melalui lubang hidung dan diteruskan sampai faring posterior.

Komplikasi pemasangan NPA adalah epistaksis, aspirasi, laringospasme


dan masuk ke esophagus.

d. Laryngeal Mask Airway (LMA)

Alat ini dimasukan ke mulut sampai dengan faring kemudian cuff nya diisi
udara sehingga akan terjadi seal. Berbeda dengan ETT alat ini tidak masuk
ke dalam trakea hanya ada lubang pipa nafas di depan glottis / pita suara.
e. Kombitube (oesofageal – trakeal double lumen airway)

Alat ini merupakan kombinasi dari dua pipa, satu untuk esophagus dan
yang satunya untuk trakea. Dimasukkan secara blind ke dalam esophagus
dan kemudian balon udara dikembangan.

2. Tehnik Invasif

a. Intubasi trakea

Pada kondisi gawat darurat jalan nafas merupakan komponen yang paling
penting dan menjadi prioritas utama dalam penanganannya. Banyak sekali
pasien yang tidak sadar maupun yang sadar yang tidak dapat
mempertahankan jalan nafasnya terbuka, tidak mampu mengeluarkan
secret, mencegah aspirasi dan membutuhkan bantuan ventilasi mekanik.

Tujuan utama dari penatalaksanaan jalan nafas darurat adalah


mempertahankan integritas jalan nafas, meyakinkan ventilasi adekuat, dan
mencegah aspirasi. Semua tujuan tersebut dapat dicapai dengan bantuan
intubasi trakea. Indikasi utama intubasi trakea pada situasi gawat darurat
adalah:

1. Koreksi hipoksia dan hiperkarbia


2. Mencegah ancaman hipoventilasi

3. Mempertahankan patensi jalan

4. Jalan untuk pemberian obat-obatan emergensi seperti lidokain, stropin,


nalokson, epinefrin

Sebelum melakukan intubasi, persiapan alat merupakan hal yang sangat


penting, jika terjadi nalfungsi alat atau tidak tersedianya alat yang
dibutuhkan karena persiapan yang kurang baik, maka akan sangat
membahayakan keselamatan dan nyawa pasien. Untuk menghindari hal itu
maka setiap alat harus dipersiapkan dengan baik dan lengkap dan
dilakukan pengecekan terhadap fungsinya.

Untuk mempermudah dan agar tidak ada alat yang terlewatkan maka
dibuatlah singkatan untuk persiapan alat yaitu : “S T A T I C S”

S (scope)

Scope terdiri dari laringoskop dan stetoskop. Berdasarkan bentuk bilahnya


terdapat dua macam laringoskop dengan berbagai ukuran mulai dari bayi
sampai dewasa. Yaitu bilah yang melengkung (macintosh) dan bilah yang
lurus (miller/magil).
Tidak ada perbedaan fungsi di antara keduanya, perbedaannya adalah bilah
lurus digunakan untuk visualisasi pita suaradengan cara mengangkat
epiglottis sedangkan bilah lengkung tidak mengangkat epiglottis secara
langsung tapi dengan cara menempatkan ujung bilah di dalam valecula dan
mengangkat epiglottis secara tidak langsung dengan menarik frenulumnya
tanpa menyentuh epiglotis. Penggunaannya tergantung dari situasi klinis
dan kondisi pasien. Bilah lengkung lebih sedikit menyebabkan trauma
karena sama sekali tidak menyentuh laring serta memberikan ruang yang
lebih besar untuk visualisasi saat menempatkan ETT sehingga sangat
berguna untuk pasien yang gemuk. Sedangkan bilah lurus lebih mudah
dimasukan terutama pada bayi dan lebih mudah mencari pita suara karena
secara langsung mencari epiglotis dan mengangkatnya.

Stetoskop digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap penempatan dan


kedalaman ETT. Jika terdengar suara baging di paru-paru berarti ETT
berada di posisi yang benar yaitu di trakea, sedangkan bila terdengar suara
baging di lambung berarti ETT pada posisi yang salah, harus segera ditarik
dan dilakukan intubasi ulang. Stetoskop juga digunakan untuk mengecek
kedalaman ETT, jika terlalu dalam maka ETT akan masuk ke bronkus
kanan sehingga suara nafas di paru kanan lebih keras daripada paru kiri,
ETT harus ditarik pelan-pelan 1 – 2 cm sambil terus didengarkan suara
nafas dan jika suara nafas paru kiri dan kanan telah sama maka penarikan
dihentikan dan batas ETT di mulut dilihat panjangnya kemudian ETT
difiksasi di level tersebut di bibir.

T (tube)

ETT tersedia dalam berbagai jenis dan ukuran. Berdasarkan bahan


pembuatnya ada yang dibuat dari karet ada pula dari PVC, berdasarkan ada
tidaknya Cuff (balon), ada yang memakai balon ada pula yang tidak
memakai balon, berdasarkan kemungkinan tertekuk atau tergigit, ada yang
bisa tertekuk (kinking) ada pula yang tidak bisa tertekuk (non kinking)
karena di sekeliling ETT dipalipisi oleh spiral yang terbuat dari logam.
Tube atau pipa nafas (ETT) harus dipilih sesuai dengan ukuran trakea
pasien, ukuran yang digunakan terlalu kecil maka akan terjadi kebocoran,
begitu pula jika ukuran ETT terlalu besar maka tidak akan masuk ke trakea
dan bisa menimbulkan cedera apabila dipaksakan.

Pemilihan yang tepat berdasarkan umur dan jenis kelamin, biasanya wanita
mempunyai ukuran trakea yang lebih kecil dari laki-laki. Rumus yang
dapat digunakan untuk anak-anak adalah : 4 + (umur dlm tahun / 4) atau
secara sederhana dapat dilihat ukuran dari jari kelingking pasien. Ukuran
untuk pasien laki-laki dewasa adalah 7,5 – 8. Sedangkan untuk wanita 7 –
7,5. Setelah didapatkan satu ukuran yang pas harus pula disiapkan 1
ukuran di bawahnya dan 1 ukuran di atasnya, Misalnya ukuran yang akan
dipakai adalah nomor 7 maka disiapkan pula no 6,5 dan 7,5.

A (airway)

Segala peralatan yang digunakan untuk membuka dan mengamankan jalan


nafas sementara harus disiapkan seperti orofaringeal airway (OPA /
guedel / mayo) dan nasofaringeal airway (NPA). Ukuran Guedel atau NPA
disesuaikan dengan ukuran jalan nafas. Panjangnya guedel yang
dibutuhkan diukur jarak dari sudut bibir sampai ke bagian depan liang
telinga.
T (tape)

Tape (plester) berguna untuk melakukan fiksasi setelah intubasi selesai


dilakukan. Tanpa fiksasi kemungkinan ETT akan tercabut atau terdorong
akan lebih besar sehingga perlu difiksasi dengan plester ke pipi atau wajah
pasien.

I (introducer)

Introducer digunakan untuk membantu intubasi. Alat yang biasa digunakan


adalah mandarin yaitu kawat yang bisa dimasukan ke dalam ETT dan
dibentuk / dilengkungkan sesuai dengan anatomi jalan nafas. Shingga akan
memudahkan mengarahkan ujung ETT melewati pita suara. Alat lain
adalah Kleim magil, berupa klem yang bisa menjepit ETT di dalam rongga
mulut untuk diarahkan ke mulut pita suara.

C (conector)

Merupakan alat untuk menghubungkan ETT dengan alat lainnya yaitu


baging, ventilator dll. Conector ini mempunyai ukuran / diameter yang
standar sehingga dapat dihubungkan ke semua alat.
S (suction)

Suction lengkap dengan kateter suction digunakan untuk menghisap


lender, secret ataupun darah yang berada di dalam rongga faring dan
menghalangi pandangan.

Dalam melakukan intubasi trakea seorang tenaga medis harus melakukan


evaluasi terhadap anatomi jalan nafas meliputi : pemeriksaan gigi geligi,
ukuran rongga mulut, jarak tiroid dan os mentalis mandibular, mobilitas
leher dan mandibular. Evaluasi tersebut untuk menyingkirkan
kemungkinan sulit intubasi.

Setelah semua perlengkapan disiapkan dengan baik dan lengkap, pasien


diposisikan dalam posisi sniffing position yaitu; fleksi pada leher bagian
bawah dengan ekstensi pada atlantoocipital joint. Posisi ini akan
menyebabkan aksis orofaringeolaringeal berada dalam satu garis dan
memudahkan visualisasi pita suara

Penambahan bantal atau kain yang dilipat setinggi 6 – 10 cm akan sangat


membantu menempatkan pasien pada sniffing position.

Setelah posisi pasien benar maka diteruskan dengan preoksigenasi, yaitu


pemberian oksigen 100% selama beberapa menit melalui baging. Hal ini
bertujuan untuk meningkatkan konsentrasi oksigen di dalam darah dan
paru-paru pasien sehingga mencegah terjadinya hipoksia selama tindakan
intubasi.

Laringoskop dipegang oleh tangan kiri , kemudian bilah dimasukan dari


sudut mulut pasien sebelah kanan menyusuri lidah. Setelah mendekati
pangkal lidah, laringoskop digeserkan ke sebelah kiri sampai berada di
garis tengah dengan menyingkirkan lidah ke sebelah kiri. Jika
menggunakan bilah lengkung (macintosh), maka ujung bilah ditempatkan
di dalam valekula ppada pangkal epiglottis, sedangkan jika menggunakan
bilah lurus, maka ujung bilah ditempatkan di bawah epiglottis secara
langsung. Setelah itu epiglotis diangkat untuk melihat / visualisasi pita
suara. Setelah pita suara terlihat maka tangan kanan memasukan ETT.
Untuk membantu melakukan visualisasi pita suara dapat dilakukan
tindakan menekan jakun / kartilago tiroid agar glottis turun sehingga pita
suara terlhat.

Setelah ETT masuk ke dalam trakea, balon udara dikembangkan sampai


tidak terdengar kebocoran di rongga mulut, untuk konfirmasi posisi ETT
dilakukan auskultasi pada dada kiri kanan serta lambung. Setelah suara
nafas di paru kiri dan kanan sama lalu dilakukan fiksasi dengan
menggunakan plester di wajah atau pipi. Kemuadian ETT dihubungkan
dengan manual baging atau ventilator.

Komplikasi intubasi

Tindakan laringoskopi dapat mengakibatkan trauma jalan nafas jika tidak


dilakukan dengan hati-hati. Cedera pada bibir, atau gigi patah merupakan
kejadian yang sering terjadi. Tindakan laringoskopi merupakan tindakan
yang menyakitkan, untuk itu perlu diberikan analgetik atau anastetik lokal,
jika nyeri ini terjadi maka dapat mengakibatkan gangguan irama jantung
sampai henti jantung.

Tindakan intubasi juga mempunyai komplikasi ringan sampa berat yang


dapat membahayakan nyawa pasien. Edema pita suara yang
mengakibatkan nyeri dan suara serak, ETT yang didorong terlalu dalam
sehingga masuk ke bronkus sebelah kanan dapat mengakibatkan hipoksia
dan hiperkarbia. Begitu pula ETT yang masuk ke dalam esophagus
menyebabkan distensi lambung samai perforasi. Untuk itu posisi ETT
harus diyakinkan berada pada posisi yang tepat.

b. Krikotirodotomi

Merupakan upaya emergensi untuk membypass sumbatan dengan cara


membuat lubang pada membrane krikoid. Dalam keadaan emergensi dapat
dilakukan penusukan di membrane krikoid dengan menggunakan Abocath
no 14.

c. Trakeostomi

Trakeotomi dilakukan jika tidak memungkinkan untuk dilakukan intubasi.


Merupakan upaya bypass jalan nafas dengan membuat lubang secara
langsung pada cincin trakea.
SYOK DAN PENATALAKSANAAN SYOK

1. Definisi
Syok merupakan suatu kondisi gangguan perfusi ke sel yang menyebabkan
terganggunya suplai oksigen dan nutrisi ke sel dan juga disertai dengan penurunan
kemampuan untuk membuang sisa metabolisme, mengakibatkan cedera hingga kematian
sel. Berdasarkan nilai Tekanan Arteri Rerata (Mean Arterial Pressure / MAP), syok
adalah jika nilai MAP < 60 mmHg.
Hipotensi merupakan suatu kondisi penurunan tekanan darah. Tidak semua pasien
dengan hipotensi adalah pasien syok dan juga tidak semua pasien dengan tekanan darah
normal tidak menjadi syok. Penurunan perfusi ini menyebabkan gangguan pada kerja
organ - organ vital seperti otak, ginjal, dan jantung (Leong dan Oei, 2016).

2. Konsep Dasar
a. Fisiologi Tekanan Darah
Tekanan darah merupakan hasil kerja dari Cardiac Output (Curah jantung) melawan
Vascular Resistance, dirumuskan sebagai berikut:

Tekanan Darah = Cardiac Output x Vascular Resistance

Adapun volume Cardiac output didapatkan dari volume sekuncup dikali frekuensi
jantung (per menit). Cardiac Output dirumuskan sebagai berikut:

Cardiac Output = Heart Rate x Stroke Volume

Pengaturan curah jantung dilakukan dengan mengatur frekuensi jantung permenit


(dipercepat atau diperlambat) dan volume sekuncup. Volume sekuncup sangat
tergantung dari seberapa banyak darah yang ada pada jantung pada periode akhir
diastolik (end diastolic volume), yang juga sangat tergantung dari seberapa banyak
alirah darah dari vena yang masuk ke jantung. Adapun resistensi vaskuler diatur
melalui mekanisme kontriksi dan dilatasi. Jika kontriksi, maka resistensi akan
meningkat dan jika dilatasi maka resistensi akan menurun.

b. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron


Sistem renin angiotensin aldosteron sangat berperan dalam upaya
mempertahankan tekanan darah pada manusia. Penurunan volume plasma akan
dideteksi oleh ginjal melalui aparatus juxtaglomerolus yang akan mengeluarkan
renin. Renin dengan bantuan enzim angitensinogen akan diubah menjadi angiotensin I
dan melalui enzim angiotensin converting enzyme diubah menjadi angiotensin II.
Angiotensin II akan memicu rasa haus, mencegah diurisis dengan mengeluarkan anti
diurisis hormon (ADH), dan meningkatkan kontriksi pembuluh darah sehingga dapat
diharapkan dapat meningkatkan tekanan darah. Sementara itu, di kortex adrenal akan
keluar aldosteron yang akan meningkatkan reabsorbsi natrium sehingga dapat
meningkatkan osmolaritas cairan vaskuler.

Skema Sistem Renin Angiotensi Aldosteron (kredit: Aria Rad, 2006)

c. Patofisiologi Syok
Ketika sel tubuh tidak mendapatkan suplai oksigen dan nutrisi yang adekuat akibat
penurunan perfusi, maka sel akan mengubah pola metabolisme dari aerob menjadi
anaerob. Metabolisme anaerob akan menghasilkan energi yang lebih sedikit
dibandingkan metabolisme aerob, dengan produk sisa berupa asam laktat. Produksi
asam laktat menyebabkan peningkatan permeabilitas membran sel sehingga sel
menjadi sangat permeabel. Akibatnya, terjadi gangguan dalam perpindahan cairan dan
elektrolit sel. Sel menjadi bengkak dan pompa Natrium Kalium menjadi terganggu.
Akibatnya, sel mengalami kematian.
Urutan proses patofisiologi syok dapat dijelaskan melalui skema berikut:

Penurunan Perfusi

Metabolisme Aerob menjadi Anaerob

Pembentukan Asam Laktat

Peningkatan permeabilitas membran sel

Perpindahan cairan dan elektrolit seluler

kerusakan sel

Pompa Na+/K+ terganggu

Penurunan Perfusi

3. Tahapan Syok
Pada perjalannya, syok terdiri dari 3 fase yakni;
a. Tahap kompensasi
Pada tahap ini, aliran darah masih normal dan organ vital masih berfungsi normal.
Tubuh berupaya mempertahankan perfusi dengan meningkatkan frekuensi
jantung. Tanda dan gejala yang muncul pada tahap ini berupa pusing, haus, pucat,
takikardi, nadi cepat dan lemah, diaporesis, takipnea, dan penurunan produksi
urine.

b. Tahap tidak terkompensasi


Pada tahap ini, tubuh gagal mempertahankan perfusi dan terjadi penurunan
volume sirkulasi secara signifikan. Tanda dan gejala yang muncul berupa
penurunan status mental, penurunan tekanan darah (hipotensi), bahkan bisa terjadi
henti jantung.
c. Tahap ireversibel
Akibat penurunan perfusi yang lama, sel mengalami kerusakan permanen.
Semakin banyak organ yang terlibat, kondisi pasien akan semakin memburuk.
Pada tahap ini bisa terjadi kegagalan fungsi beberapa organ tubuh (multiple organ
failure).

4. Klasifikasi Syok
Berdasarkan penyebabnya, syok dibedakan menjadi 3 jenis yakni Low volume shock, High
space shock, dan Mechanical shock.
a. Syok Low Volume
Syok ini terjadi karena berkurangnya volume sirkulasi tubuh, disebut juga dengan
istilah syok hipovolumik. Penyebab dari syok jenis ini adalah kehilangan darah
akibat perdarahan dan dehidrasi.
Tanda - tanda umum syok ini adalah sebagai berikut:
 Penurunan progresif tekanan darah sistolik dan diastolik
 Kulit dingin, pucat, basah
 Sianosis
 Nadi cepat dan lemah
 Nafas cepat dan dalam
 Oliguria
 Stupor, penurunan kesadaran
Untuk perdarahan, tanda dan gejala pada pasien tergantung dari berapa persen
darah yang hilang dari tubuh. Tanda dan gejala kehilangan darah adalah sebagai
berikut:
 kehilangan darah < 15 %: peningkatan denyut nadi, perdarahan,
pembengkakan lokal
 kehilangan darah 15 - 25 %: peningkatan denyut nadi, peningkatan
tekanan diastolik, pemanjangan waktu pengisian kapiler (Capillary Refill
Time)
 Kehilangan darah 25 - 50 %: tanda - tanda diatas disertai dengan hipotensi,
konfusi, asidosis, dan penurunan produksi urine
 Kehilanga darah > 50 %: hipotensi refraktori, asidosis refraktori, dan
kematian
b. Syok High Space
Penyebab dari syok ini adalah sepsis, anafilaktik, dan neurogenik (kerusakan
spinal). Syok ini terjadi karena pembuluh darah mengalami kehilangan
kemampuan melakukan kontriksi sehingga mengakibatkan ruang dalam pembuluh
darah menjadi sangat besar bagi volume darah. Syok jenis ini juga dikenal dengan
syok vasodalatasi.
Berbeda dengan syok lainnya, pada syok jenis ini pembuluh darah tidak
melakukan kontriksi untuk mempertahankan tekanan darah sehingga jika
diperiksa akral akan hangat. Jika gangguan ini berasal dari kerusakan sistem
simpatik (syok spinal), maka pada pasien juga tidak dijumpai peningkatan denyut
nadi.
c. Syok Mekanik
Syok mekanik terjadi karena gangguan pada fungsi jantung. Penyebab dari syok
ini adalah:
1. Tension pneumothorax
Tension pneumothorax adalah kondisi yang sangat mematikan yang
menyertai pasien dengan trauma dada. Akibat tingginya tekanan dalam
rongga torak, jantung tidak mampu memompa darah secara adekuat ke
seluruh tubuh. Peningkatan tekanan rongga torak juga menyebabkan
trakea pasien bergeser menjauhi bagian dada yang mengalami tension.
Tanda - tanda pasien mengalami tension pneumothorax adalah sebagai
berikut:
 Sesak nafas
 Sianosis
 Distensi vena leher
 deviasi trakea
 Penurunan kesadaran
 Penurunan tekanan darah
 Akral dingin, pucat
 Auskultasi: suara nafas menjauh pada sisi dada yang terkena
 Perkusi dada hiperesonan
2. Cardiac tamponade
Tamponade jantung adalah kondisi dimana terdapat akumulasi darah
pada perikardium jantung sehingga menyebabkan gangguan pada pompa
jantung. Tanda - tanda yang didapatkan pada pasien dengan tamponade
jantung adalah sebagai berikut:
 hipotensi
 tanda khas: Penyempitan tekanan nadi (Pulse pressure), pulsus
paradoksus, dan distensi vena leher
 suara nafas normal tapi dengan suara jantung menjauh
 Trakea tidak mengalami deviasi
 Takikardi
3. Kontusio jantung

5. Penatalaksanaan Syok
Secara umum, ada dua jenis syok yang paling sering terjadi pada pasien trauma yakni syok
hemoragik (perdarahan), syok neurogenik, dan syok kardiogenik akibat trauma (tension
pneumotorak dan tamponade jantung). Berhubung pembahasan syok sangat luas, maka pada
bagian ini hanya menekankan penatalaksanaan pada jenis syok yang berhubungan langsung
dengan trauma.
a. Syok Hemoragik
1. Penatalaksanaan Umum
Secara umum, prinsip utama penatalaksanaan syok hemoragik adalah
menghentikan perdarahan dan meningkatkan perfusi dengan resusitasi
cairan dan oksigenasi yang adekuat.
2. Perdarahan terkontrol
Penatalaksanaan pasien syok dengan perdarahan terkontrol adalah
sebagai berikut:
 Tempatkan pasien pada posisi horizontal
 Berikan O2 aliran tinggi
 Pasang IV Line dengan jarum ukuran besar
 Berikan normal saline bolus 20 ml / kg IV secara cepat (dapat
diberikan hingga tekanan darah normal)
 Pasang monitor EKG
 Pasang pulse oksimetri dan waveform capnograf jika tersedia
 Lakukan ongoing exam
 Pasang kateter urine dan pantau pengeluaran urine (normal
dewasa 0.5 cc / kg BB, anak 1 cc / kg BB, dan bayi 2 cc / kg BB
 Pasang bidai jika pasien mengalami fraktur

3. Perdarahan tidak terkontrol


Adapun perdarahan yang tidak terkontrol, penatalaksanaan dilakukan
sebagai berikut:
 Tempatkan pasien pada posisi horizontal
 Lakukan penekanan langsung pada lokasi perdarahan
 Jangan ragu untuk memasang tournikuet pada kondisi perdarahan
masif yang tidak bisa dikontrol
 Pertimbangkan pemberian agen hemostatik
 Berikan O2 aliran tinggi
 Pasang IV line dengan jarum ukuran besar
 Berikan NS secukupnya sampai tekanan darah cukup kuat untuk
memberi perfusi ke perifer (nadi perifer teraba)
 Pasang EKG monitor
 Pasang pulse oksmetri dan waveform capnograf jika tersedia
 Lakukan pemeriksaan lanjutan

4. Perdarahan internal
Perdarahan internal sangat sulit dikontrol dan tindakan operatif
merupakan cara untuk menghentikan perdarahan jenis ini.
Penatalaksanaan yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut:
 Tempatkan pasien pada posisi horizontal
 Agen hemostatik tidak direkomendasikan
 Berikan O2 aliran tinggi
 Berikan NS secukupnya sampai tekanan darah cukup kuat untuk
memberi perfusi ke perifer (nadi perifer teraba)
 Pasang EKG monitor
 Pasang pulse oksimetri dan waveform capnograf jika tersedia
 Lakukan ongoing exam

b. Syok non hemoragik


Syok non hemoragik yang diakibatkan langsung oleh trauma adalah syok
kardiogenik, diakibatkan oleh tension pneumotorak dan tamponade jantung.
Secara umum, penatalaksanaannya adalah sebagai berikut:
 Identifikasi penyebab
 Tension pneumothorax: needle decompression
 Pericardial tamponade: harus segera dibawa ke kamar operasi
 IV line dan cairan sesuai order
 O2 aliran tinggi
 Monitor jantung
Syok neurogenik
Syok neurogenik memberikan manifestasi yang berbeda dibandingkan dengan
jenis syok yang lain. Syok jenis ini biasanya terjadi pada pasien dengan trauma
spinal.
Penatalaksanaan pada pasien syok neurogenik adalah sebagai berikut:
 Patenkan jalan nafas
 O2 aliran tinggi
 Resusitasi cairan (pertahankan MAP 85 - 90 mmHg)
 Vasopressors jika resusitasi cairan tidak efektif
 Jika bradikardi, pertimbangkan pemberian atropin
Korticosteroid pada trauma tumpul.

TRAUMA PEDIATRIK

Teknik Komunikasi dengan Anak dan Orang Tua


1. Jelaskan kepada keluarga apa yang kita lakukan dan mengapa harus kita lakukan.
2. Memanfaatkan peran keluarga untuk membantu kepercayaan anak dengan kita.
3. Cara terbaik untuk mendapatkan kepercayaan orang tua adalah dengan menunjukkan
kompetensi anda dan belas kasih/perhatian yang tinggi dalam mengelola anak.
4. Orang tua lebih cenderung bersikap kooperatif jika mereka melihat bahwa kita percaya
diri, terorganisir, dan menggunakan peralatan yang tepat digunakan untuk anak-anak.

Kosen Orang Tua


Apakah tindakan kegawat daruratan pada anak harus membutuhkan persetujuan orang tua ?
1. Persetujuan orang tua dilakukan pada pasien anak dengan keadaan yang stabil.
2. Pasien anak yang mengalami kondisi kritis karena trauma sebaiknya bisa dilakukan
penangnan tanpa persetujuan dari orang tua.
3. Jika tindakan tidak diizinkan oleh orang tua pada pasien anak yang stabil maka kita
wajib untuk memberikan pengertian serta membujuk orang tua, ketika tetap menolak
maka keluarga harus menandatangani pernyataan penolakan tindakan.
4. Jika dalam keadaan kritis keluarga menolak tindakan maka keluarga harus
menandatangani pernyataan penolakan tindakan, dan beri tahu penegak hukum dan
otoritas sosial.

BLS Equipment and Supplies


Penting (Essential) Diharapkan (Desirable)
1. Oropharyngeal airways: infant, child, and 1. Infant car seat
adult sizes (sizes 0–5) 2. Nasopharyngeal airways: sizes 18F–34F,
2. Resuscitation bag, child and adult sizes or 4.5–8.5 mm
3. Masks for bag-mask device: neonatal, 3. Glasgow Coma Score reference
infant, child, and adult sizes 4. Pulse oximeter
4. Oxygen masks; infant, child and adult sizes
5. Nonrebreathing mask: pediatric and adult
sizes
6. Stethoscope
7. Pediatric femur traction splint
8. Pediatric backboard with head immobilizer
9. Pediatric cervical collars
10. Blood pressure cuff, infant and child
11. Portable suction
12. Suction catheter: tonsil-tip and 6F–14F
13. Extremity splints: pediatric size
14. Thermal blanket

Pengkajian dan Perawatan


Peralatan pada pediatrik

Mekanisme Umum Cedera


1. Anak-anak paling sering terluka karena jatuh.
2. Tabrakan kendaraan bermotor.
3. Luka bakar.
4. Obstruksi jalan napas dari benda asing.
5. Tenggelam.
6. Pelecehan anak.

Penilaian Umum
1. Ketika tiba di tempat kecelakaan atau cedera, sangat penting untuk dilakukan penilaian
dengan cepat pada situasi dan anak yang terluka.
2. Kesan umum
3. Buatlah catatan tentang tingkat kesadaran awal
4. Kaji pernapasan, dan sirkulasi secara keseluruhan
5. Setelah peristiwa traumatis, tingkat kesadaran mungkin menurun akibat hipoksia, syok,
karena trauma kepala, atau kejang.
6. Menilai keseluruhan keadaan trauma pada anak secara obyektif. Ini akan membantu kita
secara efisien dalam memprioritaskan perawatan.

Rumus Segitiga Penilaian Trauma Pediatrik


Penilaian Jalan Napas
1. Stabilkan leher dalam posisi netral dengan tanganmu.
2. Cari tanda-tanda obstruksi jalan napas pada anak, termasuk apnea, stridor, dan Respirasi
"berdeguk".
3. Jika teridentifikasi, lakukan manuver jaw-thrust tanpa pergerakan leher. Itu akan
membantu mengangkat lidah yang relatif besar keluar dari jalan napas.

PENGKAJIAN UTAMA
Kewaspadaan Standar
Bahaya, Jumlah Pasien, Kebutuhan sumber daya tambahan, Mekanisme Cedera
|
PENILAIAN AWAL
KESAN UMUM
Umur, Jenis Kelamin, Berat Badan, Penampilan Umum, Posisi, Gerakan, Cedera yang Jelas,
Warna Kulit
Pendarahan yang mengancam jiwa
|
A-V-P-U
Gejala Utama
|
AIRWAY (DENGAN KONTROL C-SPINE)
Mendengkur, Gurgling, Stridor; Diam
|
PERNAFASAN
Tingkat, Kedalaman, Upaya
|
SIRKULASI
Radial / Carotid; Tingkat, Ritme, Kualitas
Warna Kulit, Suhu, Kelembaban; Capillary Refill
Apakah perdarahan telah dikendalikan?

PENGKAJIAN TRAUMA CEPAT


KEPALA dan LEHER
Luka?
Distensi leher vena? Deviasi Trakea?
|
DADA
Asimetri (Paradoxical Motion?), Kontusio, Penetrasi, Krepitasi
Bunyi Nafas Jika tidak sama: perkusi
Nada Jantung
|
ABDOMEN
Kontusio, Penetrasi / Evisceration; Kelembutan, Kekakuan, Distensi
|
PANGGUL
Kelembutan, Ketidakstabilan, Krepitasi
|
EKSTRIMITAS
Pembengkakan Jelas, Deformitas
Motor dan Sensorik
|
BELAKANG
Luka yang jelas, Tenderness, Deformitas
|
TANDA-TANDA VITAL
Nadi, Pernapasan, Tekanan Darah
|
Jika perubahan status mental: Pemeriksaan Neurologis Singkat
PUPIL
Ukuran? Reaktif? Sama?
|
GLASGOW COMA SCALE
Mata, Suara, Motor

Penilaian Pernapasan
1. Kaji kemampuan anak dalam bernafas
2. Hitung laju pernapasan anak
3. Retraksi dada
4. Lihat pergerakan dada
5. Atur posisi untuk memaksimalkan ventilasi
6. Beri bantuan pernapasan jika tidak adekuat/depresi sistem pernapasan.

Evaluasi Pernapasan

1. Evaluasi kemampuan pernapasan anak (verventilasi dan oksigenasikan).


Kepatenan Ventilasi tergantung pada faktor :
 Kebersihan jalan nafas, adanya sumbatan atau obstruksi jalan napas akan
menghalangi masuk dan keluarnya udara dari dan ke paru-paru.
 Adekuatnya sistem saraf pusat dan pusat pernafasan
 Adekuatnya pengembangan dan pengempisan paru-paru
 Kemampuan otot-otot pernafasan seperti diafragma, eksternal interkosa, internal
interkosa, otot abdominal.
2. Antisipasi kegagalan pernafasan yang ditandai dengan:
 Peningkatan laju pernapasan (peningkatan usaha pernapasan termasuk nasal, faring,
retraksi, ekspresi wajah, mendengkur);
 Sianosis dengan pernapasan abnormal oksigen tambahan.
3. Temuan-temuan penting seperti hiper-resonan atau dullness memungkinkan terjadinya
tension pneumothorax atau hemotoraks.
4. Pemberian dan kebutuhan oksigenasi dengan memperhatikan hasil pemeriksaan oximetry.

Ventilasi Buatan
1. Pastikan tindakan ventilasi buatan dilakukan dengan baik
2. Perhatikan pengembangan dada sebagai indikator tindakan yang benar.
3. Periksa masuknya udara di kedua sisi dada dengan stetoskop
4. Ketika menyediakan ventilasi buatan, frekuensi yang diberikan adalah 20 per menit untuk
anak kurang dari 1 tahun, 15 per menit untuk usia lebih dari 1 tahun, dan 10 per menit
untuk seorang remaja.
5. Selalu pastikan BVM terhubung ke oksigen dan mengalir (biasanya 10–15 L / menit).

Intubasi endotrakeal
1. Jika bag-mask ventilasi anak efektif, maka
intubasi adalah prosedur elektif. Studi belum menunjukkan bahwa intubasi pada tahap
pra-rumah sakit tidak meningkatkan hasil pada anak-anak.
2. Pastikan tidak terjadi hiperventilasi, berikan 5-7 napas dengan oksigen aliran tinggi pada
tingkat normal untuk usia anak atau gunakan masker non rebreathing.
3. Dianjurkan penggunaan oksimetri selama setiap intubasi. Oksimetri adalah alat yang baik
untuk mengetahui kapan kita perlu menghentikan intubasi, dan kita berikan kembali
oksigen pada pasien sebelum upaya lain (biasanya saat SpO 2 turun di bawah sekitar
90%).
Oksigen Tambahan
Ketika kita merawat seorang anak, kita harus sering berimprovisasi. Setiap anak dengan
cedera signifikan harus menerima suplemen oksigen (sedekat mungkin dengan oksigen
100%), bahkan jika tampak tidak ada kesulitan bernafas. Pasien anak yang mengalami
cedera, ketakutan, dan menangis semua meningkatkan kebutuhan oksigen pada jaringan.
Anak-anak dengan semua jenis cedera cenderung muntah, jadi bersiaplah (hati-hati).

Penilaian Sirkulasi
1. Pada pasien anak, denyut nadi brakialis dan femoralis biasanya mudah dirasakan,
sedangkan nadi karotis tidak. Takikardia terjadi karena rasa takut dan kecemasan.
2. Penilaian sirkulasi pada anak penting untuk mengetahui tanda perfusi yang buruk, denyut
perifer lemah dibandingkan dengan nadi karotis, akral yang dingin, dan pengisian kapiler
yang lambat.
3. Denyut nadi lemah dengan frekuensi di atas 130 biasanya merupakan tanda syok pada
anak-anak, kecuali pada neonatus.
4. Nadi perifer yang mudah untuk memeriksa seorang anak adalah nadi dorsalis pedis.
Pengisian kapiler yang lambat, ekstremitas dingin, dan bintik-bintik kulit dapat
mengindikasikan penurunan perfusi jaringan.
5. Capillary refill dapat digunakan bersama dengan metode lain untuk menilai sirkulasi,
tetapi tidak bergantung pada saja untuk mendiagnosis syok karena itu bisa dipengaruhi
oleh apa pun yang menyebabkan vasokonstriksi, seperti lingkungan yang dingin atau
ketakutan.
6. Untuk menguji pengisian kapiler, kompres kuku, seluruh kaki, atau kulit di atas tulang
dada selama 2 detik dan lepaskan untuk melihat seberapa cepat darah kembali. Warna
kulit harus kembali ke kondisi sebelum dilakukan kompres dalam 2 detik. Jika tidak, anak
memiliki vasokonstriksi, yang bisa menjadi tanda syok.

Ranges for Vital Signs


International Trauma Life Support (2008).

Kontrol Perdarahan
1. Sumber perdarahan yang jelas harus dikontrol untuk mempertahankan sirkulasi. Ingat,
volume darah anak adalah sekitar 80–90 mL / kg, jadi anak 10 kg memiliki kurang dari 1
liter darah. Tiga atau empat luka laserasi dapat menyebabkan kehilangan darah 200 mL,
yaitu sekitar 20% dari total volume anak. Karena itu, kahilangan darah pada seorang anak
harus lebih diperhatikan dari pada pasien dewasa.
2. Ingat tanda-tanda perdarahan dari sumber yang tidak terlihat. Pastikan untuk memeriksa
anak itu dari kepala sampai ujung kaki untuk mengetahui semua kemungkinan yang
terjadi.
3. Laserasi pada kulit kepala posterior menyebabkan pendarahan dan mungkin tidak
diketahui. Gunakan tekanan yang cukup kuat untuk mengontrol perdarahan arteri jika
perlu.
4. Pastikan tekanan yang cukup untuk menghentikan pendarahan. Satu kesalahan orang tua
atau tenaga medis umumnya menggunakan balutan besar, handuk, atau sepotong pakaian
untuk mencoba menghentikan perdarahan. Sayangnya, dressing besar seringkali tidak
cukup memberikan tekanan langsung untuk menghentikan pendarahan. Sebaliknya, hanya
menyerap banyak darah dan menyamarkan pendarahan yang berpotensi serius.

Pemeriksaan Trauma Cepat dan Pemeriksaan Terfokus


1. Lakukan pemeriksaan cepat head-to-toe (pemeriksaan trauma cepat) pada anak-anak yang
memiliki luka karena mekanisme cedera secara umum atau ketika kita tidak tahu
mekanismenya.
2. Anak-anak yang memiliki cedera (terisolasi) terfokus mungkin membutuhkan
pemeriksaan fokus pada bagian yang cedera.
Penilaian Fungsi Neurologis
1. Lakukan penilaian dengan cepat fungsi neurologis di akhir primary survey, dan ulangi
selama secondary survey untuk memantau perubahan dalam status neurologis anak.
2. Penyebab penurunan tingkat kesadaran pada anak-anak yaitu cedera kepala, hipoksemia,
dan perfusi serebral yang buruk.

PEDIATRIC GLASGOW COMA SCALE (PGCS)


>1 Tahun < 1 Tahun Nilai
Eye Secara spontan Secara spontan 4
Opening Dengan perintah (Verbal) Berteriak 3
Rangsangan nyeri Rangsangan nyeri 2
Tidak ada respon Tidak ada respon 1
Motor Patuh Spontan 6
Response Melokalisasi Nyeri Melokalisasi Nyeri 5
Fleksi-Penarikan Fleksi-Penarikan 4
Fleksi-Abnormal (kekakuan decorticate) Fleksi-Abnormal (kekakuan 3
Perpanjangan (kekakuan deserebrasi) decorticate) 2
Tidak ada respon Perpanjangan (kekakuan 1
deserebrasi)
Tidak ada respon
>5 Tahun < 5 Tahun 0 – 23 Bulan
Verbal Berorientasi Kata / kalimat yang Senyum 5
Response Bingung / bingung tepat Menangis dan tidak bisa 4
Kata-kata yang tidak Kata-kata yang tidak dihibur 3
dipahami dipahami Terus menangis dan berteriak 2
Suara yang tidak Teriakan dan jeritan tidak dipahami 1
bisa dipahami terus menerus Gelisah
Tidak ada respon Gelisah Tidak ada respon
Tidak ada respon
International Trauma Life Support (2008).

Pemeriksaan Menyeluruh dan Kontrol Lingkungan


1. Pemeriksaan Menyeluruh
 Melepas seluruh pakaian pasien dengan cepat ; cedera, perdarahan, keanehan lainnya.
 Catat kondisi secara keseluruhan, adanya bau zat kimia, bahan bakar, atau urin.
2. Kontrol Lingkungan
Cegah Hipotermi;
 Lampu pemanas
 Selimut
 Pelindung kepala
 Berikan cairan IV hangat

Pemeriksaan trauma cepat


1. Pemeriksaan trauma cepat adalah pemeriksaan cepat dari kepala, leher, dada, perut,
panggul, ekstremitas, dan pemeriksaan neurologis singkat.
2. Cepat periksa kepala dan leher untuk tanda-tanda cedera, seperti memar, lecet, laserasi,
dan tusukan luka.
3. Periksa vena leher (membesar) dan deviasi trakea. Trauma kecil pada leher bisa
mengancam kehidupan karena pendarahan atau pembengkakan di leher dapat menekan
dan menghalangi saluran napas anak dengan sangat cepat.
4. Lihat, dengarkan, dan rasakan dadanya, cari cacat, memar, lecet, perforasi, luka bakar,
nyeri tekan, laserasi, dan pembengkakan.
5. Dengarkan suara nafas di setiap sisi dan catat adanya kelainan.
6. Rasakan kelembutan, ketidakstabilan, atau krepitasi.
7. Stabilkan jika adanya segmen flail, menutup luka terbuka, atau dekompresi tension
pneumothorax.
8. Meraba perut dengan lembut dan perhatikan kontusio, lecet, penetrasi, atau distensi. Jika
tidak ada keluhan nyeri di daerah panggul.

Situasi Trauma Kritis


1. Trauma pada anak dengan keadaan kritis secepatnya dilakukan proses transpot ketempat
pelayanan kegawat daruratan, dan sebaiknya tidak lebih dari 5 menit.
2. Lakukan fiksasi kepala, leher dan tulang belakang dengan memperhatikan ukuran
cervical collar, Head immobilizer dan long spine board.
3. Berikan 100% oksigen pada anak dengan cedera serius.
4. Proses transfer pasien harus mempertimbangkan sumber daya manusia, dan fasilitas yang
ada pada alat transportasi.
5. Tempat pelayanan gawat darurat yang dituju harus memperhatikan fasilitas, sumber daya
manusia, dan fasilitas terdekat untuk menstabilkan pasien lebih lanjut.

Kriteria yang Disarankan untuk Transfer Pasien ke Tempat Pelayanan Gawat Darurat
Pediatrik atau
Pusat Trauma Anak
Kriteria:
1. Obstruksi jalan nafas
2. Perlu intervensi saluran napas
3. Gangguan pernapasan
4. Shock
5. Perubahan status mental
6. Pupil melebar
7. Skala Glasgow Coma Scale <13
8. Skor Trauma Pediatric <8
9. Mekanisme cedera (indikator kurang dapat diandalkan) yang terkait dengan cedera parah:
 Jatuh dari ketinggian 10 kaki atau lebih
 Tabrakan kendaraan bermotor dengan korban jiwa
 Pejalan kaki atau pengendara sepeda yang ditabrak oleh kendaraan bermotor
 Fraktur di lebih dari satu ekstremitas
 Cedera yang signifikan lebih dari satu sistem organ

Pemeriksaan Sekunder
1. Seperti pada orang dewasa, catat tanda-tanda vital secara akurat.
2. Catat kronologis kejadian/trauma.
3. Lakukan pemeriksaan fisik lengkap dari kepala sampai ke kaki.
4. Lakukan pemeriksaan neurologis yang lebih rinci. Menghitung skor Glasgow Coma
Scale (GCS) atau skor GCS Pediatrik.
5. Monitoring secara berkala.
Pemeriksaan Fisik Pediatrik

Pemeriksaan fisik pasien harus tidak lebih dari dua atau tiga menit;

Leher Periksa pasien untuk nyeri tekan atau deformitas tulang servikal bagian belakang.
Periksa untuk melihat apakah pasien menggunakan neck breather, periksa deviasi
trakea.
Kepala Periksa kulit kepala untuk luka, memar, bengkak, dan tanda-tanda cedera lainnya.
Periksa tengkorak untuk kelainan bentuk, inpresi, periksa pupil, mata, hidung, mulut,
telinga
Dada Periksa dada untuk luka, memar, penetrasi, periksa fraktur. Perhatikan gerakan dada
untuk mencari ekspansi yang sama.
Perut Periksa perut untuk memar luka, penetrasi, dan benda yang tertusuk. Tekan dengan
lembut pada perut perhatikan setiap area yang kaku, bengkak, atau nyeri. Periksa
dengan regional dan mendokumentasikan masalah apa pun di regional tertentu.
Pelvis Catat adanya deformitas, nyeri.

Genital Cari kondisi basah yang disebabkan oleh inkontinensia atau perdarahan atau benda
Region yang tertusuk. Pada pasien pria memeriksa priapisme (ereksi terus-menerus penis).
Ini merupakan indikasi penting dari cedera tulang belakang.
Ekstremitas Periksa adanya deformitas, pembengkakan, perdarahan, perubahan warna, tonjolan
Bawah tulang dan fraktur yang jelas. Periksa denyut nadi distal. Yang paling berguna adalah
denyut nadi tibialis posterior yang dirasakan di balik pergelangan kaki medial.
Periksa kaki untuk fungsi dan sensasi motorik.
Ekstremitas Periksa adanya deformitas, pembengkakan, perdarahan, perubahan warna, tonjolan
Atas tulang dan fraktur yang jelas. Periksa denyut nadi radial (pergelangan tangan). Pada
anak-anak periksa isi ulang kapiler. Periksa fungsi dan kekuatan motorik.

Cedera Yang Berpotensi Mengancam Jiwa


Syok Hemoragik
1. Daerah yang paling umum terjadi perdarahan internal yang berat pada anak-anak adalah
dada, perut, panggul, dan tulang panjang (fraktur femur).
2. Takikardi adalah indikator awal syok pada anak.
3. Takikardi dapat terjadi karena takut atau demam.
4. Mottling mungkin normal pada bayi yang lebih muda dari usia 6 bulan, tetapi itu
mungkin juga merupakan tanda sirkulasi yang buruk, jadi catatlah.
5. Ekstremitas bisa menjadi dingin karena paparan dingin atau perfusi yang buruk.
6. Pengisian kapiler lebih lama pada anak yang kedinginan. Secara umum, seorang anak
harus mendapatkan manajemen yang baik, selalu dievaluasi dan diasumsikan memiliki
tanda-tanda syok jika ada takikardi persisten atau tanda perfusi perifer yang buruk
(pengisian kapiler yang berkepanjangan atau ekstremitas yang dingin).
7. Tekanan darah rendah adalah tanda akhir syok (juga disebut syok dekompensasi).
Seorang anak dengan cedera serius memiliki kemampuan kompensasi untuk
mempertahankan tekanan darah normal.

Resusitasi cairan
Jika ada syok (kompensasi dengan tekanan darah normal atau dekompensasi dengan tekanan
darah rendah), anak membutuhkan resusitasi cairan. Kita harus membangun akses vaskular
dengan cepat dan memberikan bolus cairan. Bolus awal seharusnya menjadi 20 mL / kg
saline normal yang diberikan secepat mungkin. Jika tidak ada perbaikan, 20 mL / kg
berikutnya dapat diberikan. Ketika mempertimbangkan IV perifer, cobalah untuk
memasukkan kateter praktis terbesar yang tersedia untuk memberikan bolus cairan dengan
cepat. Jika anak itu Terkejut mungkin sulit untuk melihat atau merasakan vena perifer. Jika
Anda tidak dapat memulai infus dalam dua kali atau 90 detik, Anda perlu memasukkan
intraoseus (IO).

Cedera Kepala
Cedera kepala adalah penyebab kematian paling umum pada pasien anak. Bagian kepala
adalah fokus utama cedera karena kepala anak secara proporsional lebih besar dari orang
dewasa.
Tujuan mengelola cedera kepala :
1. Pertama, penting untuk cepat mengenali semua yang mengancam jiwa seperti peningktan
intrakranial seperti hematoma epidural.
2. Kedua, meskipun beberapa cedera otak terjadi dari dampak awal, cedera lebih lanjut
dapat dicegah (cedera otak sekunder) seperti hipoksia dan syok.

Untuk meminimalkan risiko cedera sekunder, Kita harus memprioritaskan tiga prinsip
sederhana:
1. Berikan oksigen.
Cedera kepala meningkatkan laju metabolisme sel otak dan menurunkan darah mengalir
di bagian otak. Jadi semua pasien pediatrik dengan cedera kepala harus menerima 100%
oksigen dan mirip dengan orang dewasa, tidak boleh hiperventilasi kecuali mereka
memiliki bukti sindrom serebral herniasi.
2. Jaga tekanan darah normal.
Darah harus sampai ke otak untuk membawa oksigen. Penting untuk mengenali tanda-
tanda awal syok (takikardia dan penurunan perfusi) dan hipovolemia secara agresif. Ingat,
darah sistolik tekanan kurang dari 80 mmHg pada anak prasekolah dan kurang dari 90
mmHg pada anak yang lebih tua harus dianggap hipotensi dan telah terbukti menjadi
prediktor hasil yang buruk.
3. Mencegah aspirasi.
Pasien cedera kepala sering muntah. Manuver Sellick harus dilakukan selama ventilasi
dengan bag-mask dan percobaan intubasi. Suction harus siap untuk pasien anak dengan
cedera kepala.

Cedera Dada
Anak-anak dengan cedera dada umumnya
memberikan tanda-tanda distres pernapasan, seperti tachypnea, merintih, cuping hidung, dan
retraksi. Anak yang terluka dengan setiap gangguan pernapasan akan mendapat manfaat dari
oksigen tambahan.
Anak-anak dengan cedera dada tumpul beresiko mengalami pneumotoraks. Karena dada
kecil, perbedaan suara nafas dari sisi ke sisi mungkin lebih halus daripada pada orang
dewasa. Anak-anak dalam kelompok usia pra-remaja memiliki dinding dada yang sangat
elastis. Tulang rusuk fraktur, flail chest, tamponade perikardial, dan ruptur aorta ini jarang
terjadi.

Cedera Abdomen
Penyebab utama kedua kematian traumatis di pusat pelayanan trauma pediatrik adalah
trauma tumpul abdomen yang mengakibatkan cedera organ padat dan pendarahan.
Mekanisme umum termasuk tabrakan kendaraan bermotor, kecelakaan sepeda, cedera terkait
olahraga, dan pelecehan terhadap anak. Pada anak-anak, hati dan limpa relatif besar dan
keduanya menonjol di bawah tulang rusuk, sehingga organ-organ ini beresiko mengalami
trauma.

Temuan pada pemeriksaan fisik yang menunjukkan keadaan signifikan cedera abdomen
meliputi kelembutan, memar, dan tanda-tanda syok. Sabuk pengaman tanda dan tanda stang
sepeda juga mengkhawatirkan. Penilaian Anda harus cepat. Jika seorang anak dengan trauma
tumpul syok tanpa sumber perdarahan yang jelas, keputusan kita harus secepatnya membawa
pasien ketempat pelayanan kegawat daruratan.

Bagaimanapun tanda-tanda vital pasien jangan mengkesampingkan kondisi/tanda-tanda


cedera abdomen, lakukan tindakan untuk mengantisipasi resiko syok. Setiap anak yang
menangis dengan mengalami cedera abdomen maka distensi lambung maupun abdomen akan
meningkat, waspadai resiko pasien muntah.

Cedera Tulang Belakang


Meskipun anak-anak memiliki leher pendek, kepala besar, dan ligamen longgar, cervical
spine merupakan cedera yang jarang terjadi sebelum masa remaja. Semua anak-anak dengan
trauma harus diasumsikan memiliki cedera servikal dan tulang belakang sampai terbukti
sebaliknya.
TRAUMA LANSIA

Patofisiologi Penuaan
Patofisiologi penuaan adalah proses bertahap di mana perubahan dalam fungsi tubuh dapat
terjadi. Perubahan tersebut sebagian bertanggung jawab atas risiko cedera yang lebih besar
pada pasien geriatri.

Penuaan Tubuh
Jalan Napas
Perubahan struktur saluran napas pasien geriatri mungkin termasuk pada kerusakan gigi,
penyakit gusi, dan penggunaan prostesis gigi. Pelapis gigi, gigi palsu, dan tambalan gigi
dapat menyebabkan obstruksi jalan napas pada pasien trauma Geriatri.

Sistem Respirasi
Perubahan sistem pernapasan mulai muncul pada usia dewasa awal dan meningkat secara signifikan
setelah usia 60 tahun.

Sirkulasi ke sistem pernapasan berkurang 30%, terjadi penurunan jumlah karbon dioksida dan oksigen
pada proses difusi di alveolar.

Ada penurunan gerakan dinding dada dan fleksibilitas otot-otot dinding dada. Perubahan menyebabkan
inhalasi yang menurun, napas menjadi cepat.

Ada penurunan kapasitas vital (jumlah udara yang ditukar setiap kali napas) karena volume residu yang
meningkat (volume udara di paru-paru setelah pernapasan yang dalam). Jika ada riwayat merokok, atau
riwayat bekerja di daerah polutan, maka akan terjadi perubahan pernapasan bahkan lebih signifikan.

Sistem Kardiovaskuler

1. Sirkulasi berkurang karena perubahan pada jantung dan pembuluh darah.


2. Cardiac output dan stroke volume terjadi penurunan, begitu juga sistem konduksi
jantung.
3. Terjadi penurunan fungsi pada katup jantung.
4. Terjadi Arteriosklerosis selama proses penuaan, dan mengakibatkan peningkatan
resistensi pembuluh darah perifer (mungkin terjadi hipertensi sistolik).
5. Mungkin ada tekanan darah yang biasanya lebih tinggi pada orang tua. Dengan demikian,
perubahan signifikan dalam perfusi jaringan dapat terjadi ketika tekanan darah normal
160 turun menjadi 120 sebagai akibat trauma.

Fungsi Sensori dan Persyarafan


Beberapa perubahan terjadi di otak seiring bertambahnya usia :
1. Otak menyusut, dan lapisan terluar meningeal, dura mater, tetap melekat erat pada
tengkorak. Ini menyebabkan ruang atau peningkatan jarak antara otak dan tengkorak.
Ruang ini memungkinkan terjadinya peningkatan insiden hematoma subdural pada kasus
trauma.
2. Ada juga yang mengeras, menyempit, dan hilangnya elastisitas beberapa arteri di otak.
Dapat menyebabkan cedera karena deselerasi yang menyebabkan pembuluh darah pecah
dan berpotensi terjadinya pendarahan di dalam tengkorak.
3. Penurunan aliran darah ke otak. Pasien mungkin akan mengalami penurunan respon
sensorik seperti persepsi nyeri dan penurunan fungsi pendengaran, penglihatan, atau
persepsi inderawi lainnya.

4. Penurunan sirkulasi serebral karena proses penuaan dapat menyebabkan dimensia seperti;
kebingungan, sifat lekas marah, kelupaan, berubah pola tidur, dan disfungsi mental seperti
kehilangan memori dan regresif tingkah laku.

Sistem Pengaturan Suhu Tubuh


Mekanisme untuk mempertahankan suhu tubuh yang normal mungkin tidak berfungsi dengan
baik. Pasien Geriatri mungkin tidak dapat merespon infeksi dengan demam, atau pasien
mungkin tidak dapat mempertahankan suhu normal dalam menghadapi cedera.

Sistem Renal
Penurunan jumlah nefron sehingga mempengaruhi fungsi ginjal. Keadaan tersebut dapat
menyebabkan penurunan filtrasi dan penurunan kemampuan untuk mengeluarkan air kencing
dan obat-obatan.

Sistem Muskuloskeletal
Pasien geriatri dapat menunjukkan tanda-tanda perubahan dalam postur tubuh. Mungkin ada
penurunan tinggi badan karena penyempitan pada cakram vertebral, sedikit fleksi lutut dan
pinggul, dan penurunan kekuatan otot, ini dapat menyebabkan kifosis, deformitas tulang
belakang, menghasilkan kelengkungan "S" tulang belakang yang sering terlihat
membungkuk.

Pasien Geriatri juga mungkin mengalami osteoporosis lanjutan – penipisan tulang yang
menghasilkan penurunan kepadatan tulang. Ini membuat tulang lebih rentan terhadap fraktur.
Ada jaringan subkutan yang sering berkurang yang mengurangi perlindungan dari jatuh dan
trauma tumpul.
Kurangnya jaringan subkutan ini dapat menurunkan kemampuan seseorang untuk
menanggapi perubahan suhu. Akhirnya, mungkin ada pelemahan dalam kekuatan otot dan
tulang dari penurunan aktivitas fisik. Ini juga akan membuat pasien geriatri lebih rentan
terhadap fraktur dengan hanya sedikit jatuh.

Sistem Gastrointestinal
Produksi air liur, motilitas esofagus, dan sekresi lambung dapat menurun. Ini dapat
mengakibatkan penurunan kemampuan untuk menyerap nutrisi. Konstipasi dan tumbukan
tinja biasa terjadi. Hati dapat membesar karena proses penyakit atau mungkin gagal karena
penyakit atau kekurangan gizi. Ini dapat menyebabkan penurunan kemampuan dalam
memetabolisme obat-obatan.

Sistem Imun
Ketika proses penuaan berlanjut, pasien geriatri mungkin kurang mampu untuk melawan
infeksi. Pasien dalam keadaan gizi buruk akan lebih rentan infeksi karena luka terbuka, akses
IV, infeksi paru-paru dan ginjal. Pasien trauma Geriatri yang tidak terluka parah dapat
meninggal karena sepsis karena gangguan sistem kekebalan tubuh.

Perubahan Lain
Total air tubuh dan jumlah sel tubuh mungkin menurun, dan peningkatan proporsi berat
badan karena lemak. Mungkin ada kerugian kemampuan sistem tubuh untuk menyesuaikan
diri dengan penyakit atau cedera.

Pengobatan
Banyak jenis obat yang dapat mengganggu kemampuan untuk mengkompensasi setelah
mengalami trauma pada pasien geriatri.
1. Antikoagulan dapat meningkatkan perdarahan.
2. Antihipertensi dan vasodilator perifer dapat mengganggu tubuh terhadap kemampuan
untuk menyempitkan pembuluh darah sebagai respons terhadap hipovolemia.
3. Beta-blocker bisa menghambat kemampuan jantung untuk meningkatkan laju kontraksi
bahkan dalam hipovolemik syok.

Sejumlah proses penuaan berkontribusi pada peningkatan risiko cedera pasien geriatrik.
Perubahan yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap cedera :
1. Refleks yang lebih lambat
2. Gagal penglihatan
3. Gangguan pendengaran
4. Arthritis
5. Kulit rapuh dan pembuluh darah
6. Tulang rapuh

Pengkajian
Hal-hal yang menjadi perhatian pada pengkajian pasien geriatri:
1. Kita harus membedakan antara tanda dan gejala penyakit kronis dan masalah akut;
contohnya:
a. Hilangnya elastisitas kulit dan adanya pernapasan dengan menggunakan mulut
mungkin tidak selalu mengindikasikan dehidrasi.
b. Edema dependen mungkin sekunder akibat insufisiensi vena dengan varises vena dari
pada gagal jantung kongestif.
2. Gangguan pada pendengaran mengharuskan kita untuk bisa mencari sumber informasi
yang dapat dipertanggung jawabkan ct; Keluarga dalam 1 rumah, atau tetangga terdekat.
3. Perhatian dalam mengkaji jalan napas seperti; kemungkinan gangguan jalan napas karena
perangkat atau fragmen gigi yang terlepas.
4. Membuka jalan napas secara perlahan dengan mempertahankan kepala, leher, dan tulang
belakang menjadi sedikit kendala karena pasien kemungkinan mengalami arthritis dan
kyphosis tulang belakang.
5. Pasien lansia dengan penurunan kesadaran juga harus mempertimbangkan perlunya
pemeriksaan glukosa darah.
6. Perhatian pernapasan pasien jika frekuensi kurang dari 10 atau lebih dari 20 kali/menit
maka perlu adanya bantuan pemberian oksigen dengan capaian saturasi oksigen
maksimal.
7. Pilihan antara penilaian trauma cepat dan penilaian terfokus tergantung pada mekanisme
cedera dan / atau hasil penilaian awal. Jika ada yang berbahaya pada mekanisme umum
cedera (kecelakaan mobil atau jatuh dari ketinggian) atau jika pasien tidak sadar, Anda
harus melakukan penilaian trauma cepat. Jika ada mekanisme terfokus pada cedera seperti
luka peluru pada paha atau luka tikam ke dada, anda harus melakukan penilaian terfokus.
8. Cedera dada lebih cenderung menyebabkan masalah serius pada orang tua dengan paru-
paru yang buruk, perlu waspada terhadap masalah pasien dengan penyakit paru-paru
kronis, sehingga resiko hipoksia lebih besar.
9. Semua pasien usia lanjut seharusnya dilakukan pemantauan jantung, dan pulse oximetry.

Pertimbangan Transport Pasien Kritis


Beberapa intervensi kritis yang mungkin untuk dilakukan di tempat kejadian sebelum proses
transport pasien adalah sebagai berikut:
1. Berikan manajemen jalan nafas.
2. Bantu ventilasi.
3. Mulailah CPR.
4. Kendalikan pendarahan besar.
5. Dekompresi tension pneumothorax.

Daftar Pustaka

TRAUMA KEPALA

1. Anatomi
Pengenalan anatomi kepala sangat berguna dalam mempelajari akibat – akibat trauma
kepala.
- Kulit kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai ACALP yaitu :
a. Skin atau kulit
b. Connective tissue atau jaringan penyambung
c. Aponeurosis atau jaringan ikat yang berhubungan langsung dengan tengkorak
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
e. Perikranium
Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga apabila terjadi luka kecil
saja akan banyak mengeluarkan darah. Bila luka dalam maka kontraksi otot akan
menyebabkan luka tampak menganga tetapi pembuluh darah juga akan kontraksi
sehingga perdarahan akan berkurang.
- Tulang kepala
Terdiri dari calvaria (atap tengkorak) dan basis cranium (dasar tengkorak). Diregio
temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranium
berbentuk tidak rata dan tidak teratur sehingga trauma kepala dapat menyebabkan
kerusakan pada bagian dasar otak yang bergerak akibat cedera akselerasi dan
deselerasi.
- Meningen
Selaput meingen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
durameter, piameter dan araknoid. Perdarahan dalam rongga tengkorak mungkin
dapat berupa perdarahan epidural (antara durameter dengan otak) ata subdural
(dibawah durameter). Perdarahan juga dapat terjadi didalam jaringan otak sendiri
(intraserebral).
Rongga tengkorak tidak besar dan tertutup oleh tulang tengkorak yang keras.
Perdarahan yang terjadi didalam rongga tengkorak sebanyak 100 cc mungkin sudah
dapat menimbulkan kematian. Dengan demikian apabila didapatkan penderita
dengan trauma kepala dalam keadaan syok maka syok tersebut biasanya berasal dari
cedera ditempat lain (rongga thorax, abdome, tulang pelvis atau tulang panjang).
- Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum dan batang otak. Serebrum terdiri
atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan
durameter. Otak terdapat didalam liquor cerebro spinal. Apabila terdapat hubungan
langsung antara otak dengan dunia luar (fraktur cranium terbuka, fraktur basis
cranium dengan cairan otak keluar dari hidung atau telinga) maka ini merupakaan
keadaan yang sangat berbahaya karena dapat menimbulkan peradangan otak. Otak
dapat mengalami pembengkakan (edema) baik karena trauma langsung (primer)
maupun setelah trauma (sekunder). Pembengkakan otak ini dikenal sebagai edema
cerebri dan karena tengkorak merupakan ruangan yang tertutup rapat maka edema
ini akan menimbulkan peninggian tekanan dalam rongga tengkorak (peninggian
tekanan intra cranial).
- Cairan serebro spinal
Cairan serebro spinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 30 ml/jam. CSS akan diserap kedalam sirkulasi vena melalui
granulasio araknois. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio
araknoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan
tekanan intra cranial.
2. Fisiologi
- Tekanan intra kranial
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan kenaikan
tekanan intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu fungsi otak. Tekanan
intrakranial normal pada saat istirahat kira – kira 10 mmHg (136 mmH2O), tekanan
intrakranial lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap tidak normal. Peninggian tekanan
intrakranial dapat disebabkan misalnya oleh membengkaknya otak (edema cerebri)
atau karena terdapatnya perdarahan dalam otak (intra cranial bleeding). Peninggian
tekanan intrakranial yang cukup tinggi akan dapat menyebabkan turunnya batang
otak (herniasi batang otak) yang akan berakibat kematian.
- Doktrin monro-kellei
Doktrin monro-kellei adalah suatu konsep sederhana bahwa volume intra kranial
selalu konstan, karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga yang tidak
mungkin mekar. Tekanan intra kranial yang normal tidak berarati tidak adanya lesi
masa intra kranial karena tekanan intra kranial umumnya tetap dalam batas normal
sampai kondisi penderita mencapai titik dekompensasi dimana setelah melewati fase
ini kenaikan jumlah masa yang sedikit saja akan menyebabkan kenaikan tekanan
intra kranial yang tajam.
- Tekanan perfusi otak
Mempertahankan tekanan darah yang adekuat pada penderita trauma kepala adalah
sangat penting, dan ternyata dalam observasi selanjutnya tekanan perfusi otak adalah
indikator yang sama pentingnya dengan tekanan intra kranial.
3. Kerusakan otak akibat trauma
Kerusakan otak akibat trauma dapat karena :
- Cedera langsung (primer)
Mudah dipahami, apabila otak menumbuk bagian dalam tengkorak maka mungkin
terjadi perdarahan jaringan (contusia cerebri), robekan jaringan otak (laserasi
cerebri) ataupun perdarahan karena putusnya pembuluh darah.
- Cedera tidak langsung (sekunder)
Hipovolemia
Pada trauma, maka hipovolemia biasanya disebabkan karena perdarahan yang
kemudian akan menyebabkan terjadinya shock. Hipovolemia ini bila ringan akan
dikompensasi oleh tubuh sehingga otak masih dapat tetap mendapatkan darah.
Apabila hipovolemia sudah cukup berat maka darah yang keotakpun akan
berkurang. Hypovolemia berat juga akan menyebabkan perfusi darah keotak
berkurang sehingga dapat menyebabkan iskemia otak (jaringan otak kurang
mendapatkan darah) bahkan dapat terjadi infark otak (kematian jaringan otak).

Hipoksia
Kurangnya oksigen dalam darah akan menyebabkan otak menerima oksigen yang
berkurang. Sama seperti pada hypovolemia, hipoksia akan menyebabkan iskemia
otak, yang bila berat akan menjadi infark otak.

Hiperkarbia dan hipokarbia


Pengaruh kadar CO2 dalam darah sangat penting pada trauma kapitis. Peningkatan
kadar CO2 darah akan menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah otak yang
kemudian menyebabkan edema cerebri.
Pengurangan kadar CO2 darah akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah
otak akan terjadi iskemia jaringan otak yang dapat berlanjut menjadi infark cerebri.
Kadar CO2 dalam darah yang ideal pada trauma kapitis adalah 26 – 32 mmHg,
sehingga dalam penanganan penderita dengan trauma kapitis yang penting adalah
jangan sampai penderita mendapat gangguan ventilasi.

4. Klasifikasi cedera kepala

Mekanisme Tumpul - Kecepatan tinggi


- Kecepatan rendah
Tembus - Cedera peluru
- Cedera tembus lain
Beratnya Ringan GCS 14 - 15
Sedang GCS 9 - 13
Berat GCS 3 - 8
Morfologi Fraktur tengkorak Kalvaria - Garis-bintang
(CT Scan) - Depresi-non depresi
- Terbuka-tertutup
Dasar tengkorak - Dengan/tanpa kebocoran
CSS
- Dengan/tanpa parese N VII
Lesi intrakranial Fokal - Epidural
- Subdural
- Intraserebral
Difus - Komosio ringan
- Komosio klasik
- Cedera akson difus

Penderita trauma kepala sering mengalami perubahan – perubahan morfologis dalam


waktu beberapa jam, hari atau minggu. Secara morfologis trauma kepala dapat dibagi
atas :
- Fraktur kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat berbentuk
garis (linier) atau bintang dan dapat pula tertutup atau terbuka, serta bisa non imprasi
(tidak masuk/menekan) atau imprasi (menekan). Bila patah terbuka (ada hubungan
dengan dunia luar) maka diperlukan operasi segera. Pada fraktur basis cranium
mungkin keluar darah dari hidung dan atau telinga. Dalam keadaan ini harus hati –
hati memasanag NGT karena dapat masuk kerongga tengkorak. Yang juga harus
diwaspadai pada fraktur basis cranium adalah perdarahan hebat, bila penderita tidak
sadar maka perdarahan mungkin akan mengganggu jalan nafas.
- Commotio serebri
Kehilangan kesadaran sebentar (dibawah 15 menit), tidak berbahaya. Penderita
dibawa kerumah sakit karena kemungkinan cedera yang lain.
- Contusia cerebri
Kehilangan kesadaran lebih lama, dalam kepustakaan saat ini dikenal sebagai DAI
(difuse axonal injury) yang mempunnyai prognosis lebih buruk.
- Perdarahan kranial
Perdarahan dapat berupa epidural, subdural atau intra cerebral.
Perdarah epidural terletak diluar durameter tetapi didalam rongga tengkorak dan
cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung.
Kausa : trauma
Klinis : lusid interval, lateralisasi
Rontgen : fraktur linear, gambaran hematom (+)
Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak. Terutama
perdaearaha epidural dapat berbahaya karena perdarahan berlanjut yang akan
menyebabkan tekanan intra kranial yang semakin berat. Terkumpulnya darah/bekuan
darah dalam ruang antara durameter dan arakhnoid.
Terbagi dalam : akut dan kronis
Kausa : trauma (akut lebih >> kronis)
Klinis : penurunan kesadaran, lateralisasi
Rontgen : gambaran hematom (+)

5. Penilaian glasgow coma scale


Penurunan kesadaran merupakan tanda utama kecurigaan adanya perdarahan
intrakranial. Penurunan kesadaran dapat dinilai dengan memakai Glasgow Coma Scale
(GCS). Nilai GCS = (M+M+V) nilai terbaik = 15, nilai terburuk = 3.
GCS memakai 3 komponen yaitu :
Tabel penilaian GCS

Jenis pemeriksaan Nilai


Respon buka mata (eye opening/E)
- Spontan 4
- Terhadap suara 3
- Terhadap nyeri 2
- Tidak ada respon 1
Respon motorik terbaik (M)
- Ikut perintah 6
- Melokalisir nyeri 5
- Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang) 4
- Fleksi abnormal (dekortikasi) 3
- Ekstensi abnormal (deserebrasi) 2
- Tidak ada respon (flasid) 1
Respon verbal (V)
- Berorientasi baik 5
- Berbicara mengacau (bingung) 4
- Kata – kata tidak teratur 3
- Suara tidak jelas 2
- Tidak ada respon 1

6. Indikasi CT scan kepala


Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT Scan kepala, terutama
apabila dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia atau sakit
kepala hebat, namun bila pemeriksaan CT Scan tidak dapat dilakukan segera dan kondisi
penderita tanpa gejala neurologis dan sadar penuh maka penderita dapat diobservasi
selama 12 – 24 jam dirumah sakit.
Pada penderita cedera kepala inidikasi pemeriksaan CT Scan adalah :
- Semua cedera kepala berat
- Penurunan scor GCS lebih dari 1 (satu)
- Lateralisasi (pupil anisokor, hemiparesis dll) dan tanda klinis hematoma epidural
yang lain
- Luka tusuk atau luka tembak kepala
- GCS dibawah 15 dan tidak membaik selama terapi konservatif
- Kejang
- Nyeri kepala dan muntah yang menetap
Lesi traumatik yang menetap pada pemeriksaan CT Scan kepala :
- Edema : lokal/difus
- Kontusio/laserasi serebri
- Hematoma : intraserebral, intraventrikular, epidural dan subdural
- Perdarahan subarakhnoid
- Higroma subdural
- Fraktur, pergeseran fragmentulang, kontuso jaringan lunak, hematoma subgaleal,
korpus alenium, pneumosefalus
- Lesi fase traumatic : infark, hidrosefalus, atrofi, abses
Penatalaksanaan cedera kepala secara umum :
Perbaiki jalan nafas (airway), pernafasan (breathing) dan sirkulasi pasien, cegah jangan
sampai terjadi hipoventilasi dan hipovolemi yang dapat menyebabkan secundary brain
damage.
7. Penatalaksanaan cedera kepala ringan
Definisi : penderita cedera kepala dengan GCS 14 – 15, sadar dan orientasi baik
Anamnesa : identitas, mekanisme cedera, waktu cedera, tidak sadar setelah
cedera, tingkat kewaspadaan, amnesia, sakit kepala, kejang/muntah.
Pemeriksaan :
- Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik
- Pemeriksaan neurologis terbatas
- Pemeriksaan rontgen vertebra servikal dan lainnya sesuai indikasi
- Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksin dalam urine
- Pemeriksaan CT Scan kepala sangat ideal pada setiap penderita cedera kepala
ringan, kecuali memang sama sekali asimtomatik dan pemeriksaan neurologis
normal.

Observasi atau dirawat dirumah sakit :


- CT Scan tidak ada
- CT Scan abnormal
- Semua cedera tembus
- Riwayat hilang kesadaran
- Kesadaran menurun
- Sakit kepala sedang – berat
- Intoksikasi alkohol/obat – obatan
- Fraktur tengkorak
- Rhinorea – otorea
- Cedera penyerta yang bermakna
- Tidak ada keluarga dirumah
- Tidak mungkin kembali ke RS dengan segera
- Amnesia
- Semua cedera tembus

Rawat jalan
Tidak memenuhi kriteria rawat. Berikan pengertian kemungkinan kembali ke RS bila
memburuk dan berikan lembar observasi.

Lembar observasi :
Berisi mengenai kewaspadaan baik keluarga maupun penderita cedera kepala ringan.
Apabila dijumpai gejala – gejala dibawah ini maka penderita harus segera dibawa
kerumah sakit :
- Mengantuk berat atau sulit dibangunkan
- Mual dan muntah
- Kejang
- Perdarahan atau keluar cairan dari hidung dan telinga
- Sakit kepala hebat
- Kelemahan atau rasa baal pada lengan atau tungkai
- Bingung atau perubahan tingkah laku
- Pupil mata lebih besar salah satu, melihan double atau gangguan penglihatan yang
lain
- Denyut nadi sangat lambat atau sangat cepat
- Pernafasan yang tidak teratur

Perhatian :

- Penderita harus tinggal bersama kerabat atau keluarga sekurang – kurangnya 24 jam
stelah kejadian
- Tidak boleh mengkonsumsi alkohol
- Tidak diperbolehkan mengkonsumsi analgetik yang lebih kuat daripada paracetamol
- Tidak diperbolehkan meminum obat yang mengandung aspirin
- Jadwalkan untuk kontrol ulang kepoli

8. Penatalaksanaan cedera kepala sedang


Penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk, namun masih mampu menuruti
perintah – perintah (GCS 9 – 13).
Pemeriksaan awal :
- Sama dengan untuk periksaan cedera kepala ringan ditambah pemeriksaan darah
sederhana
- Pemeriksaan CT Scan kepala
- Dirawat untuk diobservasi
Perawatan :
- Pemeriksaan neurologis periodik
- Pemeriksaan CT Scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila penderita
akan dipulangkan
Bila kondisi membaik (90%)
- Pulang
- Kontrol dipoli
Bila kondisi memburuk (10%)
Bila penderita tidak mampu melakukan perintah lagi segera lakukan pemeriksaan CT
Scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala berat.

9. Penatalaksanaan cedera kepala berat


Penderita tidak mampu melakukan perintah – perintah sederhana karena kesadarannya
menurun.
Pemeriksaan dan penatalaksanaan :
- Airway dan breathing
a. Penderita dibaringkan dengan elevasi 20 – 300 untuk membantu menurunkan
tekanan intra kranial
b. Pastikan jalan nafas korban aman, bersihkan jalan nafas dari lendir, darah atau
kotoran, pasang pipa guedel dan siapkan untuk intubasi endotrakheal, berikan
oksigen 100% yang cukup untuk menurunkan tekanan intra kranial
c. Jangan banyak memanipulasi gerakan leher sebelum cedera servikal dapat
disingkirkan.
- Sirkulasi
a. Berikan cairan secukupnya (ringer laktat/ringer asetat) untuk resusitasi korban
agar tetap normovolemia. Jangan memberikan cairan berlebihan atau yang
mengandung glukosa karena dapat menyebabkan edema otak
b. Atasi hipotensi yang terjadi, yang biasanya merupakan petunjuk adanya cedera
ditempat lain yang tidak tampak
c. Berikan transfusi darah jika Hb kurang dari 10 gr/dl.
- Pemeriksaan umum dan neurologis
a. Vital sign : tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernafasan dan temperatur
b. Periksa adanya cedera sistemik dibagian anggota tubuh yang lain
c. GCS dan pemeriksaan reflek batang otak.
- Terapi medikasi
a. Manitol intravena dengan dosis 1 g/kg diberikan secepat mungkin terutama
ditujukan pada penderita dengan ancaman herniasi dan peningkatan TIK yang
mencolok
b. Furosemide 1 mg/kg dapat diulang tiap 6 – 12 jam untuk diberikan bersama
dengan antiedema yang lain
c. Koreksi asidosis laktat yang terjadi dengan Natrium Bikarbonas (meylon)
d. Berikan obat anti kejang (diazepam) jika penderita mengalami kejang
e. Berikan obat – obatan neurotonik seperti pirasetam sebagai obat lini kedua
f. Berikan antibiotik dosis tinggi pada cedera kepala terbuka, rinorea, otorea
(dapat diberikan ampisilin 4x3 gr dab kloramfenikol 4x1 gr)
g. Berikan antagonis H2 simetidin, ranitidine IV untuk mencegah perdarahan
gastrointestinal.
- Prosedur diagnostik
a. Foto polos kepala AP dan lateral
b. Foto servikal
c. Scan otak
d. Foto thorak
- Terapi bedah saraf
a. Konservatif
b. Operasi.
TRAUMA DADA

A. Introduction
Trauma dada, baik itu tumpul atau penetrasi, merupakan sumber morbiditas dan
mortalitas yang signifikan. Karena dada terdiri dari banyak organ yang bertanggung
jawab untuk ventilasi, oksigensi, dan sirkulasi, cedera traumatic pada dada dapat
menyebabkan kerusakan fungsi vital paling banyak.
25 % kematian trauma disebabkan oleh trauma dada dan setengah dari korban
multiple trauma disebabkan oleh trauma dada. 2/3 pasien dengan trauma dada yang fatal
dapat bertahan hidup bila mencapai instalasi gawat darurat dan hanya 15% nya yang
memerlukan tindakan pembedahan. Dengan demikian pasien dengan trauma dada dapat
terselamatkan tergantung dari tindakan yang diberikan selama prehospital dan tindakan
yang didapatkan di ruang instalasi gawat darurat. Tujuan dari bab ini adalah bagaimana
kita dapat menentukan tanda dan gejala utama pada trauma dada dan memberikan
perawatan yang tepat. Trauma dada yang berat dapat disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas, jatuh dari ketinggian, luka oleh shotgun, crush injury, luka tusuk atau mekanisme
yang lain.

B. Anatomi

Gambar Anatomi rongga dada (Wikipedia)


Dada merupakan rongga bertulang yang terbentuk dari 12 pasang tulang rusuk, di
posterior di hubungankan dengan tulang belakang dan di anterior oleh tulang dada.
Bundle saraf dan pembuluh darah intercostal sepanjang permukaan inferior pada setiap
tulang rusuk.
Permukaan dalam rongga dada dan paru dilapisi selaput tipis, disebut pleura.
Ruangan antara dua lapisan pleura normalnya hampa (potensial space), bila ruangan ini
berisi udara akan menimbulkan pneumotoraks, bila berisi darah akan menimbulkan
hemotoraks. Pada orang dewasa, ruangan potensial ini dapat menampung 3 liter cairan.
Setiap paru menempati sebelah rongga dada. Diantar 2 rongga dada terdapat mediastum,
yang ditempati oleh jantung, aorta, vena cava superior & inferior, trakea, bronkus dan
esophagus.
Medulla spinalis dilindungi oleh columna vertebralis. Diafragma memisahkan
organ-organ toraks dengan rongga abdomen. Organ perut bagian atas seperti lien, hepar,
ginjal, pancreas dan lambung dilindungi tulang rusuk bagian bawah. Setiap penderita luka
tusuk setinggi putting susu (ICS IV) kebawah dianggap mengalami Cedera dada dan
perut. Hal sama terjadi pula pada trauma tumpul deselerasi (misal cedera kemudi), yang
akan berakibat juga Cedera dada dan perut.

C. Fisiologi
Bila melakukan evaluasi korban dengan kemungkinan trauma toraks, harus selalu
mengikuti prioritas secra BTCLS. Hal ini untuk menghindarai terlewatkannya kondisi
yang mengancam jiwa. Selama survey primer pada BTLS carilah penderita yang
mengalami cedera paling parah untuk memberikan kesempatan bertahan hidup pada
korban tersebut. Pada semua penderita trauma, mekanisme cedera penting diketahui untuk
penanganan selanjutnya. Cedera dada mungkin merupaka akibat dari trauma tumpul atau
penetrasi. Pada trauma tumpul energi yang di distribusikan meliputi area yang luas dan
cedera yang terjadi di dalam karena deselerasi, robekan, kompresi. Luka penetrasi
biasanya berasal dari tembakan atau tusukan, energi yang di distribusikan meliputi area
sempit. Terjangan peluru sering sulit diperkirakan akibatnya dan semua yang berada
didalam dada berisiko terkena.
Hal umum yang sering terjadi pada trauma thorak adalah hipoksia jaringan
1. Oksigen yang tidak adekuat ke jaringan sekunder menyebabkan obstruksi jalan nafas
2. Hypovolemia karena banyak darah yang hilang
3. Ventilasi/ perfusion mismatchdari parenkim paru yang mengalami injuri
4. Perubahan tekanan pleura dari adanya tension pneumothorak
5. Kegagalan pompa jantung karena trauma miocardial berat

D. Trauma Dada Yang Mengancam Nyawa


1. Tension pneumothorax
Gambar Tension Pneumothoraks (Campbell, 2012)

Tension pneumothorax terjadi ketika udara masuk ruang pleura sepanjang


inspirasi dan tidak dapat keluar selama ekspirasi. Udara berkumpul pada cavum
thoraks menyebabkan ancaman hemodinamik yang mengancam nyawa. Peningkatan
tekanan intrathorakal menyebabkan sisi paru-paru yang mengalami trauma menjadi
kolaps. Tekanan dari akumulasi udara akan meningkat, paru-paru yang berlawanan
kolaps dan mediastinum bergeser, menekan jantung dan pembuluh vena besar. Venous
return dan kemudian cardiac output mengalami penurunan. Pada kondisi ini
memerlukan intevensi segera.
Tension pneumothoraks disebabkan trauma tumpul atau penetrasi, atau
komplikasi dari ventilasi mekanik. Pasien dengan pneumothoraks kecil dapat
berkembang menjadi tension pneumothoraks dengan cepat setelah ventilasi tekanan
positif dengan bag-mask atau ventilator mekanik, dapat diketahui sejak awal.
a. Tanda dan gejala
1) Respiratory distrees berat: Dyspnea, Gelisah, dan Takipnea
2) Tanda penurunan curah jantung: Takikardia, Hipotensi, Perfusi perifer yang
tidak baik, sianosis, dan gelisah
3) Distensi vena jugularis karena mediastinum bergeser dan pembuluh vena besar
4) Deviasi trachea, menjauh dari sisi yang terkena (mengarah pada paru-paru
yang baik) dan memungkinan deviasi mediastinum
5) Hasil perkusi hipersonor pada dinding dada sisi yang terkena
6) Bunyi jantung menjauh
7) Gejala seperti distensi vena jugularis, pergeseran trakhea dan sianosis akan
meningkat saat kondisi memburuk, dan pasien mungkin menunjukkan tanda
perburukan hipoksia seperti penurunan tingkat kesadaran.
b. Prosedur diagnostik
1) Temuan klinis mungkin mengindikasikan perlu untuk dekompresi jarum pada
paru-paru yang terkena sebelum melakukan prosedur diagnostik khusus,
seperti radiografi dada
2) Radiografi dada: deviasi trakea dan pergeseran mediastinal mungkin
ditemukan.
Note: Jangan menunda dekrompresi jarum pada temuan klinis tension
pneumothoraks untuk mendapatkan kepastian dan radiografi dada.
c. Intervensi terapeutik
1) Dukung airway, breathing dan circulation pasien: berikan suplementasi
oksigen.
2) Lakukan dekompresi jarum secepatnya jika hemodinamik membahayakan
terjadi.
3) Gunakan kateter jarum ukuran 14 atau 16 gauge atau lebih, panjang 3-6 cm
(ukuran 18 atau 20 gauge pada pasien pediatric/anak-anak)
4) Tusukan jarum diatas costae ke tiga pada ruang intercostal (ICS) kedua, garis
midklavikula, pada sisi yang terkena.
5) Udara di bawah tekanan akan keluar. Keluarkan stylet jarum, tinggalkan
kateter pada tempatnya sampai tube dada dapqt dimasukan. Sambungkan
Hemlich flutter valve jika tidak dapat cepat memasukan tube.
6) Siapkan insersi tube dada secepatnya
7) Sediakan pengontrol nyeri

2. Cardiac tamponade

Gambar Cardiac Tamponade (Campbell, 2012)

Tamponade kordis merupakan pengumpulan darah atau bekuan darah pada


rongga pericardial, akumulasi darah tersebut menekan jantung, membatasi pengisian
ventrikel dan menurunkan curah jantung. Penurunan fungsi jantung langsung
berhubungan dengan kecepatan dan luasnya akumulasi cairan. Jika akumulasi
berlangsung cepat sebanyak 100-150 ml darah dirongga pericardial dapat berpengaruh
buruk terhadap curah jantung. Penyebab utama tamponade kordis adalah trauma dada
penetrasi (80-90%) seperti luka tembak.
a. Tanda dan Gejala
1) Nyeri dada
2) Distensi vena leher (mungkin tidak ada pada hypovolemia berat)
3) Suara jantung lemah atau terdengar jauh
4) Perubahan status mental
5) Pulsus paradoxus- penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 10 mmHg
selama inspirasi, disebabkan oleh menurunya aliran balik vena.
b. Prosedur Diagnostik
Elektrokardiogram (EKG) mungkin menunjukan:
1) Voltase rendah kompleks QRS
2) Pulseless electrical activity
3) Perubahan arus listrik-ampitudo komplek QRS berubah
4) Radiografi dada mungkin normal pada awalnya: mungkin terdapat pelebaran
mediastinum atau pembesaran bayangan jantung.
5) Focused Assessment with sonography for trauma ( FAST) selama pengkajian
primer dan sukender mempunyai tingkat false negative yang signifikan
6) Bedside echocardiography
7) CT Scan jika hemodinamik pasien stabil
c. Intervensi Terapeutik
1) Dukung airway, breathing and circulation : berikan oksigen tambahan
2) Infus cairan intravena dengan dengan cepat untuk meningkatkan tekanan
pengisian cardiac
3) Pada pasein dengan hemodinamik tidak stabil , pericardiocentesis jantung
mungkin diperlukan untuk mengurangi tekanan jantung sementara,
memperpanjang waktu untuk memindahkan pasien keruang operasi atau pusat
penanganan khusus.
4) Intervensi pembedahan secara umum diperlukan.
3. Open pneumothoraks

Gambar Open Pneumothoraks (Wikimedia.org)


Jika luka penetrasi berhubungan langsung dengan cavum pleura, maka udara
memasuki thoraks dan tekanan negatif intrathorakal hilang. Seperti pada
pneumothorax tertutup, paru-paru pada sisi yang terkena akan kolaps. Udara berlanjut
masuk dan keluar rongga dada melalui luka tersebut selama pasien inspirasi, membuat
suara menghisap (sucking sound). Jika luka pada dinding dada mendekati dua pertiga
diameter trakea, pada waktu inspirasi udara akan memilih masuk ruang pleura dari
pada melalui jalan nafas atas pasien. Situasi ini menghasilkan hipoksia berat dan
hiperkapnea.
a. Tanda dan Gejala
1) Riwayat trauma dada penetrasi : terlihat luka di dada (mungkin sekecil lubang
pemecah es)
2) Tanda distress pernafasan : dyspnea, takipnea, gelisah, dan sianosis
3) Terdengar suara menhgisap (sucking sound) pada saat inspirasi
4) Ekspansi dada asimetris
5) Gelembung darah disekitar luka pada saat ekspiras. Dapat berkembang
emfisema subkutan
b. Prosedur Diagnostik
1) Temuan pengkajian klinis
2) Radiografi dada akan menunjukkan tanda pneumothrox
c. Intervensi Terapeutik
1) Dukung injury, breathing, dan circulatin : memberikan oksigen kebutuhan
2) Tutup luka dengan balutan tertutup tiga sisi secepatnya
3) Observasi pasien dengan ketat terhadap perkembangan menjadi tension
pneumothorax (distress respirasi meningkat, distensi vena jugularis,
hipotensi). Jika tension pneumothorax terjadi, angkat balutan secepatnya
untuk mengurangi tension
4) Siapkan insersi tube dada secepatnya

4. Hemothorax
Gambar Hemothorax (Campbell, 2012)

Hemothorax merupakan akumulasi darah diruang pleura dan dapat terjadi


akibat trauma penetrasi maupun trauma tumpul. Seringkali diikuti oleh
pneumothorax, perdarahan disebabkan laserasi pada pada intercostal, vena atau arteri
mamae interna, atau dari kerusakan parenkim paru secara langsung. Hemothorax
massif dihasilkan dari akumulasi cepat lebih dari 1500 ml darah pada rongga dada dan
menyebabkan kerusakan respirasi dan sirkulasi.
a. Tanda dan Gejala
1) Tanda distress dispnea dan takipnea
2) Nyeri pada saat inspirasi
3) Pergerakan dinding dada asimetris
4) Tanda klinis syok hipovolemi; takipnea, takikardia, hipotensi, akral dingin,
penurunan capillary refill, gelisah, dan kebingungan
5) Penurunan suara nafas pada sisi yang terkena
6) Perkusi dullness pada sisi yang terkena
b. Prosedur Diagnostik
1) Lakukan pemeriksaan darah lengkap: mungkin terjadi penurunan kadar HB
dan hematocrit
2) Lakukan radiografi dada: dapat menunjukkan trauma tumpul pada sisi yang
terkena
c. Intervensi Terapeutik
1) Dukungan airway dan breathing; berikan oksigen tambahan
2) Resusitasi cairan dengan cairan kristaloid, jika diperlukan dapat diberikan
transfuse
3) Bantu penempatan tube dada.
a) Tube besar dapat dipasang pada ICS 4 atau 5 pada linea midaksilaris
b) Hubungkan tube dengan suction
c) Tempatkan drainage lebih rendah dari dada untuk membantu aliran
drainage
d) Evaluasi fluktuasi drainage meliputi jumlah, warna, kebocoran udara.
e) Pertimbangkan auto transfusi
f) Siapkan pembedahan darurat jika drainage awal lebih dari 1500 ml atau
drainage awal 1000 ml yang diikuti 200 ml darah tiap 2-4 jam

5. Fail Chest
Gambar Fail Chest (Campbell, 2012)

Fail chest terjadi ketika dua atau lebih costa yang berurutan mengalami fraktur
lebih dari 2 titik pada costa yang sama sehingga menyebabkan costa yang mengalami
fraktur lepas dari sternum. Segmen yang mengalami fraktur kehilangan kontinuitas
dengan dinding dada dan mengakibatkan perubahan tekanan intrathorakal melalui
gerakan paradoksal. Gerakan paradoksal dapat diartikan sebagai pergerakan fail
segment berlawanan dengan gerakan dinding dada pada saat bernafas. Pada saat
inspirasi, fail segmen bergerak ke dalam dan begitu juga sebaliknya pada saat
ekspirasi, fail segment bergerak keluar. Sering kali fail segment yang mengalami
fraktur tidak terlihat pada awalnya, fail segment akan terlihat pada saat korban
mengalami kelelahan sebagai akibat peningkatan kerja pernafasan.
a. Tanda dan gejala
1) Nyeri dada dan krepitasi tulang
2) Distress respirasi: dyspnea, takipnea, dan kegagalan respirasi dapat mungkin
terjadi
3) Hemothoraks dan pneumothoraks
4) Pergerakan dinding dada asimetri atau pergerakan paradoksal
5) Emfisema subkutan dapat terjadi
b. Prosedur diagnostik
1) Radiografi dada: dapat menunjukkan segmen fraktur dengan cepat
2) AGD: Dapat menentukan status ventilasi
c. Intervensi Terapeutik
1) Untuk mengurangi nyeri dan stress pernafasan dapat diberikan anti nyeri yang
bersifat narkotik maupun bukan
2) Berikan oksigen tambahan dan maintenance pO2 80-100 mmHg; monitoring
pulse oksimetri secara kontinue.
3) Intubasi endotracheal dengan menggunakan ventilasi mekanik dan positive
end ekspiratory pressure (PEEP)
4) Koreksi hypovolemia; manajemen resusitasi cairan diberikan secara bijaksana
hal ini dikarenakan kemungkinan juga terjadi kontusio pulmonal.
5) Pertimbangkan untuk pemasangan kateter arterial untuk pemeriksaan AGD
secara continue
6) Persiapkan pasien rawat inap maupun tindakan pembedahan
7) Stabilisasi pada segmen yang patah menggunakan splinting gulungan handuk
yang dapat meningkatkan tidal volume pasien.

6. Ruptur /injury aorta


Merupakan penyebab kematian tersering dari kecelakaan kendaraan bermotor
atau jatuh dari suatu ketinggian. 90% pasien akan meninggal dengan segera.
Diagnosis yang tepat dan pembedahan akan menyelamatkan nyawa. Robekan aorta
thorakalis biasanya akibat dari deselerasi dengan jantung dan aorta yang tiba-tiba
bergerak ke anterior, yang sebelumnya aorta ini terikat ligamentum arteriosum. Pada
10% kasus terdapat perdarahan yang tidak nyata, robekan aorta ini dikelilingi jaringan
disekitarnya dan lapisan adventitia. Tetapi ini hanya sementara dan tetap akan rupture
bila tidak diperbaiki.
Diagnose rupture aorta traumatik sangat sulit ditegakkan dilapangan, bahkan
di rumah sakit juga sering terlewatkan. Riwayat atau mekanisme kecelakaan
merupakan hal yang sangat penting, meskipun pada banyak pasien tidak dijumpai
trauma thorak yang nyata. Informasi seberapa parah mobil, kerusakan kemudi akibat
benturan dengan dinding dada atau pada ketinggian berapa tinggi pasien jatuh
menjadi informasi yang sangat penting. Pada keadaan yang sangat jarang, mungkin
didapatkan hipertensi tungkai atas dan tungkai bawah pulsasi nadi pasien berkurang.
a. Tanda dan gejala
1) Riwayat injuri deselerasi mendadak (tabrakan sepeda motor, terpental dari
sepeda motor, jatuh dari ketinggian)
2) Tanda signifikan trauma dinding dada (fraktur scapula, fraktur costa pertama
atau kedua, fraktur sternal, terbentur roda kemudi)
3) Nyeri dada
4) Nyeri punggung
5) Tanda distress pernafasan: dyspnea dan takipnea
6) Tanda kegawatan sirkulasi: takikardia, hipotensi, perubahan tingkat kesadaran,
penurunan perfusi perifer
7) Murmur berat pada region paraskapular
8) Tekanan darah tidak sama pada ekstremitas bagian atas
9) Paraplegi akibat iskemi bagian distal aorta yang mengalami injuri
b. Prosedur diagnostik
1) Radiografi dada
a) Mediastinum melebar
b) Gambaran aortic knob tampak kabiur atau tidak terlihat
c) Hemothoraks
d) Elevasi bronkus kanan
2) CT dada apabila hemodinamik pasien stabil
3) Pemeriksaan FAST pada dada
4) Autografi merupakan standar emas untuk mendeteksi injuri aorta, sehingga
mendapatkan visualisasi aorta dan setiao oklusi.
c. Intervensi terapeutik
1) Dukung airway dan breathing dengan cara pemberian oksigen tambahan
2) Monitoring saturasi oksigen secara kontinue
3) Kontrol perdarahan apapun sumbernya
4) Resusitasi cairan dengan kristaloid, jika perlu tranfusi produk darah
5) Jika transeksi gagal, berikan short-acting beta-blokers (labelol, esmolol) untuk
menurunkan heart rate dan menurunkan MAP mendekati 60 mmHg. Terapi ini
memungkinkan pasien untuk dipindahkan kepusat perawatan khusus.
6) Penempatan stent endovascular pada sisi yang mengalami transeksi parsial
apabila memungkinkan
7) Pembedahan terbuka dengan bypass cardiopulmonal mungkin diperlukan

TRAUMA ABDOMEN

A. Introduction
Trauma abdomen merupakan jenis cidera yang sangat sulit untuk dilakukan
manajemen tatalaksana kegawatdaruratan dan itu merupakan tantangan bagi perawat
maupun dokter yang bertugas di ugd (Baird, 2016). Hal ini dikarenakan trauma abdomen
merupakan kondisi yang sulit untuk dievaluasi, riwayat trauma dapat menjadi guideline
untuk melakukan identifikasi pada pasien trauma abdomen (LSTC FKUB, 2013).
Trauma abdomen menyebabkan 13-15% kematian pada kasus trauma, sehingga trauma
abdomen menjadi penyebab kematian ketiga dibawah trauma kepala dan dada (Kurniati,
et.al., 2018).
Trauma tumpul dan trauma penertrasi dapat menjadi penyebab trauma abdomen.
Trauma tersebut dapat menyebabkan cidera pada organ padat (pancreas, ginjal, liver,
kandung kemih, dan limfe) dan organ berongga (peritoneal, ileus, dan colon) (Braid,
2016; Legome, 2017). Trauma penetrasi harus segera dilakukan evaluasi dan
memerlukan tindakan pembedahan (Offner, 2017). Sedangkan trauma tumpul dapat
menyebabkan ancaman jiwa yang sama dengan trauma penetrasi yaitu perdarahan dan
infeksi (LSTC FKUB, 2013, 2013).
Pengetahuan akan mekanisme terjadinya trauma, melakukan pemeriksaan fisik
dengan cermat, intervensi secara tepat dan tepat serta observasi secara continue harus
dilakukan baik di luar rumah sakit maupun di ugd dapat mengurangi angka kecacatan
dan kematian pada trauma abdomen (Kurniati, et.al., 2018). Perdarahan trauma abdomen
mempunyai konsekuensi yang segera harus diwaspadai yaitu adanya bahaya syok.
Bahaya lain yaitu Infeksi juga sama bahayanya, namun tidak memerlukan intervensi di
lapangan (LSTC FKUB, 2013, 2013).
Masih terdapat beberapa hal yang dipertimbangkan pada abdomen
penatalaksanaan pra rumah sakit pada trauma abdomen. Penelitian di pertengahan tahun
1980-an menunjukan, bahwa intervensi yang cepat dan tepat paramedic yang terlihat
baik, dapat memperbaiki status hemodinamik dari korban dengan kasus luka di abdomen.
Pada penelitian akhir-akhir ini menunjukan bahwa pemakaian PASG (Pneumatik Anti
Shok Garment) dan pemberian resusitasi dengan infus yang diberikan dengan cepat (di
grojog) yang dilakukan dilapangan akan lebih membahayakan dibanding dengan
memberikan pertolongan yang baik pada trauma tembus abdomen.
Dilapangan, haus benar-benar diingat bahwa penilaian cepat pada penderita serta
penatalaksanaan syok yang segera pada korban trauma abdomen merupakan suatu
prosedur yang penting, sebab perdarahan pada trauma abdomen akan fatal bila tak
dilakukan pertolongan yang cepat dan efesien.

B. Anatomi & Fisiologi

Gambar Anatomi Rongga Abdomen (Campbell, 2012)

Menurut Braid (2016) rongga abdomen dibagi menjadi intratoracic abdomen, Pelvic
abdomen, retroperitoneal abdomen, dan true abdomen.

1. Intratoracic Abdomen
Abdomen bagian atas adalah rongga abdomen yang terletak dibawah tulang
iga bagian bawah yang terdiri dari diagfragma, hati, limfe, dan organ pencernaan.
Trauma tumpul abdomen dapat menyebabkan rupture diagfragma terutama pada
bagian left posterior. Evaluasi paling mudah dengan dilakukan pemeriksaan fisik
dengan terdengarnya suara peristaltik usus di rongga dada. Selain itu dapat
ditemukan naiknya diagfragma bagian kiri da nada udara dibawah diagfragma setelah
dilakukan pemeriksaan x-ray.
Limfe sangat rawan mengalami injuri setelah terjadi trauma tumpul abdomen.
Perdarahan massive sering terjadi setelah terjadi injuri pada limfe. Injuri limfe juga
bisa berkaitan dengan injuri hepar dan pankreas, hal ini dikarenakan letaknya yang
berdekatan. Diperlukan pembedahan jika terjadi trauma major pada organ limfe.
Sedangkan trauma hepar hampir 80% disebabkan trauma penetrasi, hal ini
dikarenakan luas hepar dan letaknya yang berada dibawah costa bagian bawah
sehingga proporsi terjadiny trauma tumpul hanya 20%. Injuri pada hepar dapat
menyebabkan perdarahan sehingga diperlukan kontrol perdarahan dan pemasangan
drainase menjadi prioritas. 10% kematian diakibatkan trauma hepar

2. Pelvic Abdomen
Pelvis merupakan bagian dari abdomen yang didalamnya ada organ bladder, urethra,
rectum, usus halus serta jika pada perempuan ada tambahan ovarium, tuba falopi, dan
uterus.

Gambar Retroperitoneal Abdomen


(https://www.flickr.com/photos/internetarchivebookimages/14596925387)

3. Retroperitoneal abdomen
Didalam rongga retroperitoneal abdomen terdapat organ-organ seperti ginjal,
pakreas, aorta dan vena cava. Jika mengalami trauma pada daerah ini sebaiknya
segera dilakukan pemeriksaan penunjang CT scan, angiography, dan IV pyelogram
(IVP).
a. Retroperitoneal vessel: trauma pada otot retroperitoneal berkaitan dengan fraktur
pelvis atau kerusakan pada organ yang ada didalam rongga peritoneal yang dapat
menyebabkan perdarahan.
b. Rongga peritoneal dapat menampung sampai 4 liter darah jika mengalami
perdarahan. Mendeteksi hematoma pada rongga peritoneal sangat sulit dilakukan,
mekanisme trauma dapat menjadi petunjuk penting pada saat evaluasi.
Pemeriksaan diagnostik dapat membantu untuk memastikan masalah yang
dialami korban.

4. True Abdomen
Organ yang rongga abdomen usus halus dan usus besar. Pada saat perempuan hamil,
uterus juga berada di rongga abdomen sama seperti kandung kemih jika mengalami
distensi. Cidera yang sering terjadi pada rongga ini adalah perforasi sehingga dapat
menyebabkan infeksi, peritonitis dan syok.

C. Jenis-jenis Trauma
1. Trauma tumpul
Menurut Kurniati, et.al. (2018) trauma tumpul abdomen terjadi ketika adanya
benturan yang mengenai dinding abdomen namun tidak menyebabkan luka terbuka,
penyebabnya bisa dari kecelakaan kendraan bermotor, olahraga, jatuh, dan abuse.
a. Bagian visceral dan struktur lain abdomen terkena injuri akibat trauma langsung,
kompresi atau deselarasi.
 Cedera kompresi terjadi akibat trauma dapat terjadi secara langsung pada
objek yang tetap (sabuk pengaman, roda setir atau tulang belakang) sehingga
dapat menyebabkan kerusakan organ padat pada abdomen dan organ berongga
(LSTC FKUB, 2013; Kurniati, et.al., 2018)
 Deselerasi menyebabkan robekan pada organ maupun organ berongga pada
abdomen.
b. Organ solid paling sering terjadi trauma pada abdomen adalah limfe, hepar, ginjal.
Pada organ-organ tersebut dapat mengalami ruptur sebagai akibat trauma tumpul.
c. Sabuk pengaman pada mobil bisa menjadi alat keselamatan dan juga dapat
menyebabkan cidera yaitu rupture visceral abdominal, kompresi pada organ
abdomen, fraktur pelvis.
d. Penempatan sabuk pengaman diatas tulang pelvis dapat menyebabkan jeratan
pada jaringan dibawahnya melawan tulang belakang dan menyebabkan pergeseran
dan cedera kompresi. Evaluasi tanda memar dapat mengindikasikan cidera pada
organ dibawahnya sehingga memerlukan evaluasi secara kontinue.
2. Trauma penetrasi
Trauma penetrasi dapat terjadi ketika ada benda tajam seperti pisau/peluru masuk
dalam cavum abdomen (Kurniati, et.al., 2018; Offner, 2017).
a. Luka tusuk abdomen paling sering menjadi penyebab cidera pada abdomen.
Namun angka kematiannya relatif rendah (1-2%) dan angka kematiannya rendah
dikarenakan banyak luka tusuk tersebut tidak menembus cavum peritoneal
(Campbell, 2012)
b. Luka tembak
Luka tembak menyebabkan kematian lebih tinggi dari pada luka tusuk abdomen
yaitu 5-15%. Namun secara signifikan hamper 96-98% menyebabkan kerusakan
organ intraabdominal dan pembuluh darah. Sehingga memerlukan tindakan
pembedahan untuk menyelamatkan pasien.
Korban yang mengalami luka tusuk pada awalnya mungkin tidak
menunjukkan tanda gejala perburukan kondisi pada saat dilapangan. Namun tanda-
tanda peritonitis dapat muncul berberapa jam kemudian. Trauma penetrasi pada
abdomen memerlukan evaluasi di Rumah Sakit. Pasien tidak boleh pulang sebelum
dilakukan evaluasi secara menyeluruh sampai dinyatakan tidak ada cidera pada organ
abdomen. Luka yang ada pada kulit korban tidak selalu lurus dengan luka yang ada
dibawahnya. Trauma abdomen juga dapat menyebabkan trauma dada begitu juga
sebaliknya. Jika korban mengalami perdarahan dapat menyebabkan syok hipovolemik
(Braid, 2016).

D. Evaluasi dan Stabilisasi


1. Mekanisme cidera & riwayat pasien
Mekanisme cidera dapat menjadi petunjuk penting terjadinya trauma
abdomen. Situasi ditempat kejadian bisa menjadi informasi yang sangat berharga
untuk memperkirakan trauma yang terjadi pada pasien. Misalnya apakah korban jatuh
dari ketinggian, tertabrak mobil, menabrak mobil, korban terlempar akibat tabrakan,
penggunaan sabuk pengaman kendaraan, dll (Braid, 2016).
Semua mekanisme diatas dapat menyebabkan trauma tumpul atau tembus
abdomen. Trauma penetrasi bisa bersifat terlokalisir pada abdomen, namun pada
trauma tumpul abdomen sangat jarang terjadi trauma tunggal. Trauma yang lain
seperti trauma kepala, dada, fraktur bisa menjadi penyerta, sehingga dapat menjadi
faktor penyulit dalam pengkajian dan perawatan (Kurniati et.al., 2018).
Evaluasi mengenai tempat kejadian seperti contoh pada kecelakaan penting
untuk dilakukan observasi, misalnya korban berada dikursi penumpang/driver, kaca
candela pecah, perubahan bentuk setir. Semua mekanisme tersebut dapat
menyebabkan trauma abdomen. Sampaikan hasil observasi ke petugas UGD yang
mengarah pada trauma abdomen. Jika kita curiga pasien mengalami trauma abdomen
segera rujuk pasien dan jangan menunda rujukan karena kondisi korban dapat berubah
dengan cepat. Mayoritas penyebab kematian trauma abdomen adalah keterlambatan
diagnosis dan pengobatan (Campbell, 2012).
2. Pemeriksaan Fisik Abdomen
Seperti pada pasien trauma pada tahap awal wajib dilakukan pemeriksaan
primary survey pada korban. Pemeriksaan primary survey harus selesai pada saat
prehospital. Pemeriksaan tidak hanya terfokus pada rongga abdomen saja, namun
harus dilakukan secara komprehensif terutama rongga dada dan abdomen hanya
dibatasi oleh diagfragma.
a. Inspeksi
Lakukan inspeksi secara cepat pada rongga dada dan abdomen yang
meliputi deformitas, kontusio, abrasi, luka penetrasi, evicerasi, dan distensi.
Sebagai contoh fraktur costa pada bagian bawah dapat menyebabkan trauma pada
hepar, limfe, dan diagfragma. Nyeri pada bagian bahu bagian belakang sebelah
kiri merupakan salah satu tanda trauma pada limfe. Luka lecet yang diakibatkan
sabuk pengaman pada daerah abdomen juga merupakan salah satu indikasi trauma
dengan presentase sekitar 25% dari semua kasus trauma abdomen. Tanda memar
ungu kebiruan disekitar umbilicus (Cullen sign) merupakan salah satu tanda
adanya perdarahan peritoneal (Campbell, 2012; Kurniati et.al., 2018).

TANDA-TANDA KLINIS YANG BERHUBUNGAN DENGAN TRAUMA ABDOMEN


TANDA DESKRIPSI INDIKASI
Tanda Balance Dullness menetap pada perkusi Adanya perdarahan pada
pinggang kiri dan dullnesss pada abdomen bagian kanan akan
perkusi pinggang kanan namun hilang tetapi ada koagulasi pada
dengan perubahan posisi sebelah kiri
Tanda Cullen Memar ungu kebiruan atau ekimosis Perdarahan peritoneal
disekitar umbilicus
Tanda Grey-Turner Memar ungu kebiruan atau ekimosis Perdarahan retroperitoneal
diatas area panggul atau pinggang
bagian belakang
Tanda Kehr Nyeri yang menyebar ke bahu Darah, cairan atau udara
intraabdominal yang
mengiritasi nervus frenikus
pada diafragma
Nyeri lepas Nyeri pada saat palpasi dalam kemudian Iritasi peritoneal
dilepaskan
(Kurniati et.al., 2018)
b. Palpasi
Lakukan palpasi pada korban untuk menemukan distensi, tenderness, atau
rigiditas. Distensi abdomen merupakan salah satu tanda intraabdominal hemorage.
Tenderness dan involuntary guarding pada abdomen merupakan salah satu tanda
adanya trauma intraabdominal. Jika Tenderness dan involuntary guarding muncul
pada saat tempat kejadian aatu luar rumah sakit dapat disimpulkan adanya
perdarahan yang menimbulkan iritasi pada rongga peritoneal. Hal ini juga menjadi
petunjuk pasien dapat mengalami syok dengan segera. Palpasi secara perlahan
pada darah pinggang dibagian krista iliaka dan pubis, jika ditemukan tenderness
atau krepitasi hal ini menunjukkan pasien juga mengalami fraktur. Fraktur pelvis
juga dapat menyebabkan syok hemoragic. Inspeksi genetalia wajib dilakukan pada
saat secondary survey untuk melihat adanya luka maupun perdarahan (Campbell,
2012; Legome, 2017).

3. Stabilisasi
Intervensi harus segera dilakukan dan merupakan prioritas pada saat
melakukan primary survey. Penanganan korban harus mengikuti protocol yang ada
meliputi: (A) Airway, (B) Breathing, dan (C) Circulation (Namun protokol tersebut
dapat berubah menjadi CABC jika pasien mengalami perdarahan yang tidak
terkendali). Jika anda curiga korban mengalami trauma abdomen, segera berikan
oksigen konsentrasi tinggi dengan menggunakan NRM maupun lainnya. Pastikan
breathing korban adekuat sebelum melakukan tindakan pemberian cairan untuk
mencegah terjadinya syok (Campbell, 2012).
Selanjutnya dapat dilakukan pemasangan 2 infus RL atau NS dengan jarum
besar untuk membuka vena pada pembuluh darah. Jaga tekanan darah sistolik
dikisaran 90 mmHg. Jika tekanan darah sistolik turun dibawah 90 mmHg pasien
mengalami syok, lakukan resusitasi cairan untuk maintenance tekanan darah sistolik
antara 80-90 mmHg. Resusitasi cairan tidak boleh dilakukan secara agresif karena
akan menyebabkan terlepasnya faktor pembekuan darah yang diharapkan terjadi jika
terjadi perdarahan intaabdomen, sehingga akan memperburuk perdarahan (BTLS
FKUB, 2013; Campbell, 2012).
Gambar Penanganan pada evicerasi pada trauma abdomen (Campbell, 2012)
Jika korban mengalami evicerasi atau ada organ yang keluar dari abdomen
harus ditutup dengan kasa steril yang dibasahi dengan RL. Bila yang keluar usus yang
jika dibiarkan akan mongering, akan mengakibatkan kerusakan yang irreversible.
Jangan sekali-kali berusaha memasukkan kembali organ yang keluar dari abdomen
masuk kedalam abdomen. Begitu juga jika ada benda asing yang menancap pada
abdomen seperti pisau atau pecahan kaca, jangan mecoba melepas atau memanipulasi
karena dapat menyebabkan perdarahan yang tidak terkontrol. Jika ada benda asing
yang menancap pada rongga abdomen, lakukan stabilasi secara hati-hati sehingga
benda yang menancap tersebut tidak bergerak (Campbell, 2012).
Korban harus segera dilakukan transportasi secepatnya kerumah sakit untuk
dapat dengan segera mendapatkan tindakan yang lebih advance. Evaluasi secara
komprehensif pada saat perjalanan dan cegah terjadinya syok pada pasien (kurniati,
et.al., 2018).
TRAUMA EKSTREMITAS

A. Pendahuluan
Trauma pada ektermitas terdiri dari trauma tertutup dan terbuka. Namun anda
tidak boleh teralihkan perhatian atau terdistraksi akibat luka atau trauma ekstremitas yang
ada, sedangkan terdapat trauma lain yang mengancam jiwa seperti trauma kepala, trauma
dada, atau trauma abdomen. Trauma yang dramastis pada ekstremitas sangat mudah untuk
diidentifikasi, namun sangat jarang mengancam jiwa. Hal yang penting untuk diingat
adalah memastikan jalan nafas bersih, pola nafas pasien baik, maintenance sirkulasi darah
dengan baik, dan terapi pencegahan terhadap syok sudah diberikan terlebih dahulu
sebelum melakukan penatalaksannaan fraktur maupun dislokasi (Campbell, 2012).
Syok hemoragik merupakan bahaya potensial yang bisa terjadi pada trauma
ekstremitas. Jika terjadi laserasi pada arteri atau fraktur pada pelvis atau femur dapat
mengakibatkan kehilangan darah yang cukup besar sehingga dapat menyebabkan syok.
Namun jika terjadi perdarahan internal mungkin tidak terdeteksi pada saat pemeriksaan
fisik sehingga dapat menyebabkan akumulasi kehilangan darah yang cukup besar.
Komplikasi pada dislokasi dan fraktur sering menyebabkan cidera pada syaraf dan
pembuluh darah. Untuk mengetahui hal tersebut harus segera dilakukan pemeriksaan
Pulse, Motorik, dan sensasi (PMS) pada daerah distal yang mengalami fraktur (Campbell,
2012).
Selain itu trauma ekstremitas dapat menyebabkan nyeri, sehingga membuat pasien
sering merasa tidak nyaman dan gelisah karena nyeri yang ditimbulkan. Tujuan dari
penanganan pasien trauma ekstremitas adalah menyelamatkan pasien, mempertahankan
fungsi dan mencegah komplikasi pada ektrimitas pasien (Kurniati, et.al., 2018).

B. Jenis Trauma Ekstremitas


1. Fraktur
Fraktur diklasifikan menjadi 2 yaitu: fraktur terbuka dan tertutup. Fraktur
terbuka terjadi ketika fragmen patahan dari tulang menembus kulit. Sedangkan fraktur
tertutup terjadi jika fragmen fraktur tidak menembus kulit (kulit pasien utuh) sehingga
tidak berhubungan langsung dengan dunia luar. Fragmen patahan tulang bersifat tajam
dan sangat berbahaya bagi jaringan tissue yang berada disekitar tulang. Hal ini
dikarenakan saraf, vena dan arteri berada didekat tulang, disisi sendi atau sangat dekat
dengan kulit (tangan dan kaki) sehingga sangat mudah mengalami cidera. Cidera
neurovaskuler dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Cidera langsung
dapat terjadi jika ada patahan fragmen tulang melukai syaraf atau cidera tidak
langsung dapat terjadi jika ada penekanan yang disebabkan bengkak atau hematom
(Campbell, 2012).
Bahaya pada fraktur terbuka yaitu adanya kontaminasi dan perdarahan
eksternal. Bakteri dapat masuk kedalam luka sehingga dapat menyebabkan infeksi
pada luka. Infeksi pada luka menyebabkan hambatan dalam proses penyembuhan
luka, hal yang paling berbahaya yaitu terjadinya syok sepsis yang dapat menyebabkan
kematian (Braid, 2016).

Gambar Open fracture (Wikimedia)

Fraktur tertutup juga dapat sama berbahayanya dengan open fraktur, hal ini
disebabkan cidera pada jaringan lunak dapat menyebabkan perdarahan. Fraktur femur
tertutup dapat menyebabkan perdarahan sebanyak 1-2 liter. Jika terjadi fraktur femur
bilateral dapat menyebabkan perdarahan yang mengancam nyawa. Pelvis dapat
mengalami fraktur minimal 2 tempat dan dapat menyebabkan perdarahan lebih dari 1
liter. Tergantung dari lokasi, fraktur pelvis dapat menyebabkan cidera pada saluran
kemih, bladder, usus besar dan laserasi pada pembuluh darah besar disekitar pelvis.
Sehingga fraktur pelvis dapat menyebabkan perdarahan di rongga retroperitoneal
abdomen. Tanda klinis yang dapat ditemukan pada fraktur yaitu deformitas bentuk
tulang, deformitas tulang menjadi salah satu tanda yang dapat menyebabkan cidera
pada jaringan lunak yang dapat memicu perdarahan. Maka dari hal tersebut multiple
fraktur dapat menyebabkan perdarahan yang mengancam nyawa (Peitzman, et.al.,
2002; Campbell 2012).

Gambar Close fraktur (Wikipedia)

2. Dislokasi
Dislokasi, merupakan keadaan dimana terjadi lepasnya persendian secara
komplit sehingga tidak ada kontak lagi antara beberapa bagian tulang yang
membentuk persendian. Tanda gejala klinis pada dislokasi biasanya berupa nyeri
hebat, deformitas pada persendian, ketidakmampuan menggerakkan sendi, bengkak,
dan tenderness (Gisness, 2007). Meskipun dislokasi bukan kondisi yang mengancam
jiwa, namun merupakan kondisi kegawatdaruratan karena menyebabkan gangguan
neurovaskuler yang jika tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan amputasi.
Dari hal tersebut sangat penting untuk mengkaji PMS pada bagian distal yang
mengalami dislokasi. Yang harus segera dilakukan yaitu segera memasang bidai pada
posisi awal pasien ditemukan. Segera rujuk pasien ke fasilitas yang mempunyai
perawatan ortopedi (Campbell, 2012).
Gambar dislokasi (Flickr)

3. Luka terbuka
Perdarahan pada luka terbuka biasanya dapat dengan mudah dihentikan
dengan cara menekan luka dengan kasa atau pembebatan. Sangat penting untuk
melakukan penekanan pada sumber perdarahan bukan area sekitar luka. Jika perlu
gunakan obat untuk membantu menghentikan perdarahan seperti asam traneksamat.
Penggunaan tourniquet sebaiknya dihindari kecuali pada luka amputasi. Pasien
dengan perdarahan hebat harus segera dirujuk setelah dilakuakan primary survey.
Pada perdarahan yang mengancam jiwa alogarima yang digunanakan yaitu ABC dapat
dirubah menjadi CABC (Kontrol perdarahan, Airway, Breathing, dan Circulation)
(Campbell, 2012).
Jika perdarahan dapat dikontrol, balut luka dengan menggunakan kassa steril
dan elastis bandage. Kontaminasi seperti daun, pasie harus dihilangkan dari luka jika
memungkinkan. Komtaminasi kecil dapat dihilangkan dengan irigasi menggunakan
normal saline (Campbell, 2012).
4. Amputasi
Amputasi parsial maupun amputasi komplit terkadang merupakan kondisi
yang mengancam jiwa. Amputasi dapat menyebabkan perdarahan masif, namun
perdarahan dapat dikontrol dengan melakukan penekanan langsung pada area yang
mengalami amputasi. Bagian tubuh yang terpotong harus ditutup dengan kassa steril
dan balutan elatis untuk memberi efek penekanan. Gunakan tourniquet jika
perdarahan tidak dapat dikontrol dengan penekanan langsung. Pada kondisi ini
tourniquet dapat membantu menyelamatkan nyawa pasien (Campbell, 2012).
Temukan bagian tubuh yang teramputasi dan membawanya selama pasien
dalam kondisi stabil dan tidak ada penundaan rujukan. Ini akan berdampak serius
terhadap rencana implantasi yang dapat dilakukan pada pasien. Bagian tubuh yang
teramputasi sebaiknya diletakan dalam kantung plastik. Berikan label sesuai dengan
nama pasien dan waktu terjadinya amputasi. Jika es tersedia letakkan plastik yang
berisi bagian yang teramputasi kedalam es. Jangan langsung menaruh bagian yang
teramputasi langsung kedalam es tanpa pembungkus karena dapat menyebabkan
kontaminasi. Dengan teknik diatas dapat menurunkan proses kimiawi dan
meningkatkan waktu untuk reimplantasi (Campbell, 2012).
5. Neurovascular injury
Syaraf dan pembuluh darah besar posisinya berdekatan satu dengan yang
lainnya, biasanya terletak pada bagian fleksor sendi. Keduanya dapat mengalami
cidera secara bersamaan dan menyebabkan kehilangan fungsi sirkulasi atau sensasi
karena putus, bengkak atau akibat penekanan fragmen tulang atau hematoma. Selalu
lakukan pemeriksaan PMS sebelum dan sesuadah melakukan tindakan pada
ekstremitas yang mengalami cidera, pemasangan bidai atau traksi. Jika pasien
mengalami kehilangan sensasi maupun sirkulasi pada bagian distal fraktur, pasien
harus segera dirujuk kerumah sakit yang memiliki fasilitas kegawatdaruratan ortopedi
(Campbell, 2012).
6. Sprains dan strain
Sprain merupaka cidera pada ligament yang mengalami peregangan atau robek
akibat gerak yang berlebihan. Sedangkan strain merupakan peregangan atau robekan
pada otot atau tendon sebagai akibat gerak yang berlebihan. Cidera ini diluar rumah
sakit tidak dapat dibedakan dengan fraktur. Sehingga terapi pada kedua kondisi ini
diperlakukan sama dengan pasien fraktur (Campbell, 2012; Kurniati, et.al., 2018).
7. Benda yang menancap
Jangan melepaskan benda yang menancap pada bagian tubuh. Stabilisasi
dengan menggunakan bantalan yang tebal untuk mempertahankan posisi benda yang
menancap tersebut dan segera rujuk pasien kerumah sakit. Kulit dapat digunakan
untuk mencegah pergerakan yang dapat merusak struktur yang lebih sensitive
dibawahnya (LSTC FKUB, 2013).
8. Sindrom kompartemen
Sindrom kompartemen merupakan proses patologis dimana terjadi tekanan
yang berlebihan dalam ruang tubuh yang tertutup. Pada trauma musculoskeletal
cenderung mempengaruhi ekstremitas yang merupakan ruang tertutup yang berisi
tulang, otot, pembuluh darah dan syaraf. Ruang tertutup, atau kompartemen ini
dikelilingi oleh fasia yang tidak elastis yang tidak dapat menyesuaikan dengan
perubahan volume sehingga berpengaruh pada gangguan mikrosirkulasi yang
menyebabkan terjadinya edema lanjut (Kurniati, et.al., 2018).
Pada akhirnya tekanan dalam kompartemen otot melebihi tekanan hidrostastik
intraarteri yang menyebabkan pembuluh darah kecil kolaps sehingga terjadi iskemia
dan nekrosis (Kurniati, et.al., 2018). Cidera ini dapat terjadi dalam beberapa jam.
Tanda gejala akhir yang muncul pada kondisi ini yaitu nyeri, pallor, pulselessness,
parathesia, dan paralisis. Pada tahap awal sinrom kompartemen hanya muncul nyeri
dan parathesia (Campbell, 2012).

C. Pengkajian dan Management


1. Scene size up dan riwayat
Pada saat melakukan pengkajian pasien dengan trauma ekstremitas, sangat
penting untuk mengetahui riwayat mekanisme cidera dan kondisi ektremitas karena
dapat memberikan informasi tingkat keparahan cidera. Jika anda bekerja dalam tim,
salah satu personel dapat menggali riwayat trauma sedangkan yang lain melakukan
primary survey. Jika anda sendirian lakukan pemeriksaan airway, breathing, dan
circulation baru melakukan pengkajian riwayat trauma. Jika pasien sadar, riwayat
trauma pasien harus diperoleh pada akhir primary survey.
Cidera ektremitas akibat meloncat dari ketinggian sering disertai dengan
cidera pada bagian lumbal tulang belakang. Jika cidera lutut dan pasien pada posisi
duduk sering berkaitan dengan cidera pada bagian Hip. Cidera Hip tanda gejala yang
muncul nyeri menjalar ke lutut, karena lutut dan hip cideranya berkaitan dan harus
dievaluasi secara bersamaan. Cidera pada wist sering juga menyebabkan cidera pada
elbow, karena itu keduanya harus dievaluasi secara bersamaan. Demikian juga pada
ankle dan fibula proximal
Adanya cidera pada bahu harus dievaluasi dengan baik dan hati-hati karena
dapat dengan mudah melibatkan leher dan dada. Patah tulang pada pelvis biasanya
berhubungan dengan perdarahan dalam jumlah besar. Ketika diagnose fraktur pelvis
dapat diidentifikasi, harus dicurigai terjadi syok dan resusitasi cairan harus segera
dilakukan.
2. Pengkajian
Pada primary survey, anda harus memperhatikan fraktur pada pelvis dan tulang besar
diekstremitas. Pemeriksaan dan mengontrol perdarahan yang berasal dari ekstremitas
harus segera dilakukan. Selanjutnya pada saat melakukan secondary survey, lakukan
pengkajian pada seluruh ekstremitas untuk menemukan adanya deformitas, contusio,
abrasi, penetrasi, burn, tenderness, laserasi dan swelling (DCAP-BTLS). Rasakan
adanya instabilitas dan krepitasi. Lakukan pemeriksaan fungsi sendi dan nyeri.
Periksa dan catat PMS bagian distal ekstremitas. Lokasi nadi dapat ditandai sehingga
mempermudah mengidentifikasi dan pemeriksaan. Krepitasi dapat digunakan untuk
mengidentifikasi fraktur hanya boleh dilakukan satu kali dan harus segera dilakukan
imobiliasi untuk mencegah kerusakan jaringan lunak. Pemeriksaan krepitasi harus
dilakukan dengan sangat lembut, khususnya saat memeriksa pelvis untuk mencegah
cidera lanjut.

Gambar pemeriksaan PMS (Campbell, 2012)


D. Manajemen Cidera Ekstremitas
1. Pembidaian
a. Tujuan
Tujuan dari pemasangan bidai adalah untuk mencegah pergerakan fragmen
tulang yang mengalami fraktur. Syaraf yang menyebabkan nyeri hebat pada
fraktur ekstremitas menjalarr pada membrane yang membungkus tulang. Fragmen
tulang yang mengalami fraktur mengiritasi syaraf, menyebabkan nyeri yang hebat.
Pembidaian tidak hanya menurunkan tingkat nyeri tetapi juga meminimalisir
kerusakan yang lebih lanjut pada otot, syaraf, dan pembuluh darah dengan cara
mencegah pergerakan fragmen tulang yang mengalami fraktur
b. Kapan melakukan pembidaian
Tidak dapat aturan yang pasti yang menyatakan waktu yang paling tepat
untuk melakukan pembidaian pada semua pasien trauma. Umumnya, pasien yang
mengalami luka serius akan lebih baik jika hanya dilakukan pembidaian tulang
belakang dengan menggunakan long spine board (LSB) sebelum dirujuk kerumah
sakit. Pada pasien yang memerlukan rujukan segera “load and go” dapat dilakukan
imobilisasi sementara dengan menempatkan pasien secara hati-hati di LSB.
Namun bukan berarti anda tidak wajib melakukan pembidaian pada daerah
ekstremitas yang mengalami cidera. Hal ini menunjukkan bidai dapat dipasang
diambulan selama perjalanan kerumah sakit. Sedangkan jika pasien kondisi stabil,
imobilisasi pada ekstremitas harus diselesaikan sebelum pasien dirujuk.
c. Prosedur pembidaian
1) Perhatikan dengan seksama area yang mengalami cidera. Baju atau celana
yang menutupi harus dibuka untuk memudahkan pengajian dan melakukan
pembidaian
2) Periksa PMS sebelum dan sesudah pembidaian. Tandai lokasi arteri untuk
memudahkan pemeriksaan
3) Jika ekstremitas mengalami pembengkokan dan nadi tidak teraba, lakukan
traksi dengan lembut untuk meluruskannya. Tekanan traksi ini tidak boleh
melebihi 5 kg. namun jika traksi tidak dapat dilakukan, bidai pasien pada
posisi awal.
4) Luka terbuka harus ditutup terlebih dahulu dengan menggunakan kasa steril
sebelum dilakukan pembidaian.
5) Gunakan bidai untuk mengimobilisasi sendi diatas dan dibawah area fraktur
6) Berikan bantalan yang memadai sebelum melakukan pembidaian, terutama
pada tulang yang menonjol
7) Jangan menekan tulang yang dibawah kulit ketika pemasangan traksi
dilakukan
8) Pada kondisi yang mengancam nyawa, pembidaian dapat dilakukan selama
proses transportasi. Jika pasien stabil lakukan pembidaian sebelum
memindahkan/merujuk pasien
9) Jika anda ragu, lakukan pembidaian pada area yang dicurigai mengalami
cidera
Gambar pembidaian (Campbell, 2012)

d. Jenis bidai
1) Rigid splint
Bidai ini dapat dibuat dari berbagai macam bahan seperti papan, metal, plastik
dan kayu. Bidai jenis ini harus diberi bantalan yang memadai dan harus cukup
panjang sampai sendi diatas dan dibawah area yang cidera
2) Soft splint
Bidai yang termasuk jenis ini adalah bidai udara, bantal dan sling.
Bidai udara baik untuk patah tulang pada lengan bawah dan kaki bawah.
Pneumatic anti shock garment (PSAG) merupakan bidai yang sangat
memadai. Keuntungan dari bidai udara ini adalah dapat memberikan
penekanan yang dapat membantu memperlambat perdarahan, tetapi
peningkatan tekanan ini menyebabkan naiknya temperature. Anda tidak boleh
memasang angulated fraktur pada bidai udara, karena secara otomatis dapat
memberikan tekanan untuk meluruskan patah tulang
Kerugian lain yang terjadi pada penggunaan bidai udara adalah nadi
ekstremitas yang terkena tidak dapat dimonitor ketika bidai sudah dipasang
dan bidai jenis iini juga lengket dikulit dan menimbulkan nyeri ketika dilepas.
Untuk mengembangkan bidai jenis ini harus ditiup menggunakan mulut atau
dengan menggunakan pompa tangan atau kaki. Dilakukan sampai
mengembang dan mampu memberikan sokongan yang baik. Ketika
menggunakan bidai jenis ini, harus secara continue memerika tekanan bidai
supaya tidak terlalu ketat atau terlalu longgar.
Hal yang perlu diingat jika pemasangan bidai udara dilakukan
dilingkungan yang dingin dan pasien dipindahkan ke lingkungan yang lebih
hangat dalam ambulan, tekanan udara dalam bidai akan meningkat. Hal ini
berlaku sebaliknya.
Bantal dapat digunakan dengan baik untuk membidai cidera pada kaki
atau angkle. Bantal juga sangat membantu ketika digunakan secara bersamaan
dengan sling untuk menstabilkan dislokasi bahu. Sling dan mitela merupakan
alat yang sangat memadai untuk memfiksasi cidera clavikula, bahu, lengan
atas dan kadang-kadang pergelangan. Alat ini digunakan dengan dasar dinding
dada. Pada trauma bahu yang tidak dapat didekatkan pada dinding dada tanpa
gaya yang besar. Untuk itu diperlukan bantak sebagai bantalan antara dinding
dada dengan lengan.
3) Traksi splint
Alat ini didesain untuk digunakan pada fraktur femur. Ini akan
memfikasi femur yang mengalami trauma dengan memberikan tarikan pada
ankle dan counter traksi pada ischium. Jika traksi ini tidak dipasang nyeri yang
dialami oleh pasien akan semakin meningkat karena ujung tulang yang patah
akan saling bergesekan. Traksi ini juga mencegah pergerakan ujung tulang
yang dapat merobek syaraf, arteri dan vena. Terdapat banyak tipe dan desain
yang dapat diimplikasikan pada ekstremitas bawah, tetapi harus hati-hati dan
diberi bantalan agar tidak memberikan tekanan yang berlebihan pada jaringan
lunak disekitar pelvis.
2. Manajemen pada cidera yang spesifik
a. Cidera tulang belakang
Spinal motion restriction harus dilakukan pada trauma tulang belakang
untuk mencegah paralisis atau kematian akibat dari cidera spinal. Pada kasus
tertentu, pemasangan LSB dengan adekuat cukup memberikan proteksi yang baik.
Namun ada hal yang perlu diingat, ada beberapa trauma tertentu misalnya jatuh
dari ketinggian dan pasien mendarat menggunakan kaki, dapat menyebabkan
fraktur lumbal karena gaya yang terjadi di transmisikan ketubuh bagian atas.
Gambar Kendrick extrication device untuk trauma spinal (Wikimedia)

b. Cidera pelvis
Cidera yang terjadi pada pelvis sering berkaitan dengan cidera pada
ekstremitas. Trauma pelvis sering disebabkan kecelakaan kendaraan bermotor atau
jatuh dari ketinggian. Fraktur pelvis dapat diidentifikasi dengan cara penekanan
dengan lembut pada krista iliaka selama pemeriksaan pasien. Pada fraktur pelvis
ada risiko pasien mengalami syok hemoragik, maka dari itu segera rujuk pasien ke
rumah sakit. Internal bledding akbibat fraktur pelvis yang tidak stabil dapat
diminimalkan dengan stabilisasi dengan menggunakan Pelvic sling. Pada saat
memindahkan pasien fraktur pelvis harus menggunakan scope stretcher.

Gambar Pemakaian pelvic sling untuk fraktur pelvis (Campbell, 2012)


c. Cidera femur
Fraktur femur biasanya terjadi pada bagian tengah, namun tidak jarang
terjadi pada daerah hip. Fraktur femur dapat terbuka maupun tertutup. Terdapat
banyak jaringan lunak pada sekitar tulang femur yang mengalami fraktur. Ketika
terjadi spasme setelah fraktur, terjadi gesekan pada ujung tulang yang patah
sehingga menyebabkan cidera jaringan lunak yang lebih berat. Pada kondisi ini
traksi biasanya digunakan untuk stabilisasi frakmen fraktur dan mencegah
pemendekan. Hal ini disebabkan masa otot yang besar, risiko perdarahan dalam
jumlah besar dapat terjadi. Fraktur femur bilateral dapat menyebabkan kehilangan
darah sampai 50% volume sirkulasi.

Gambar Kendrick traction device untuk fraktur femur (Campbell, 2012)


Hip fraktur sering terjadi pada leher femur, dimana ligament yang dapat
menyangga berat badan. Ligament ini sangat kuat dan menyebabkan gerakan yang
minimal. Hip fraktur dapat terjadi pada lansia yang terjatuh dan nyeri pada lutut,
hip, dan area pelvis. Ketika ada manifestasi ini dan nyeri, harus dipikirkan bahwa
terjadi fraktur sampai pemeriksaan rongten menyatakan sebaliknya. Pada lansia,
nyeri yang terjadi dapat ditoleransi dengan baik sehingga jarang diikuti kerusakan
yang parah pada jaringan lunak. Tidak boleh menggunakan traksi pada pasien hip
fraktur.
Dislokasi hip adalah cerita yang berbeda. Sebagian besar dislokasi hip
terjadi akibat terbentur dashboard. Pada pasien yang mengalami kecelakaan
kendaraan bermotor harus dilakukan pemeriksaan hip secara hati-hati. Dislokasi
hip merupakan kegawatan orthopedic dan memerlukan reduksi secepatnya untuk
mencegah sciatic nerve injury dan necrosis kepala femur akibat interupsi aliran
darah. Ini merupakan reduksi yang sulit dilakukan karena memerlukan gaya yang
sangat besar dan gerakannya harus presisi.
d. Cidera lutut
Fraktur atau dislokasi pada lutut sering berdampak serius karena arteri
yang ada diatas dan dibawah sendi lutut dapat mengalami laserasi karena posisi
lutut yang abnormal. Sebagian besar dislokasi lutut berhubungan dengan cedera
pada pembuluh darah dan banyak cidera lutut yang memerlukan amputasi.
Merupakan hal yang sangat penting untuk mengembalikan sirkulasi dibawah lutut
jika mungkin.
Reduksi yang tepat pada dislokasi lutut merupakan hal yang sangat
penting. Jika terdapat kehilangan kemampuan sensoris dan nadi, anda harus
melakukan traksi secara halus dengan menggunakan tangan atau splint. Harus
hati-hati dalam proses splinting ini, jangan memberikan gaya lebih dari 10 pound.
Jika terdapat tahanan dalam meluruskan lutut, pasang splint pada posisi yang
paling nyaman bagi pasien dan segera transport kerumah sakit. Kondisi ini
merupakan kondisi kegawatan yang sebenarnya.

Gambar Pembidaian pada cidera lutut (Wikimedia)

e. Cidera tibia/fibula
Fraktur tibia/fibula sering merupakan fraktur terbuka karena kulit diatas tulang
tibia sangat tipis dan sering menyebabkan perdarahan yang cukup banyak baik
internal maupun eksternal. Perdarahan internal dapat mempengaruhi sirkulasi ke
kaki jika terjadi kompartement syndrome. Fraktur pada area ini dapat dibidai
dengan menggunakan rigid splint atau air splint atau bantal. Penting untuk
melakukan perawatan luka dengan baik dan memberikan bantalan yang memadai
pada tulang yang menonjol.
f. Cidera klavikula
Fraktur klavikula merupakan fraktur yang paling sering terjadi dan jarang menjadi
masalah yang serius. Cara imobilisasi yang paling baik adalah dengan
menggunakan sling dan mitela. Sangat jarang injury pada area ini mengenai vena
atau arteri subclavia. Penting juga mengkaji costae dan dada secara hati-hati untuk
mengevaluasi adanya cedera pada dada.

Gambar Pemasangan sling dan mitela pada fraktur clavikula (Wikimedia)

g. Cidera shoulder
Sebagian besar trauma pada bahu tidak mengancam nyawa, tetapi biasanya
berkaitan dengan cidera pada leher atau dada. Kebanyakan cedera yang terjadi
adalah dislokasi sendi bahu, fraktur pada humerus bagian atas sering juga
dikategorikan pada kondisi ini. Syaraf radialis merambat dekat dengan tulang
humerus dan sering terjadi injury ketika tulang humerus patah. Cidera pada syaraf
radialis menyebabkan ketidakmampuan pasien mengangkat tangannya. Dislokasi
bahu menyebabkan nyeri yang sangat hebat dan sering memerlukan bantal antara
lengan dan badan untuk memberikan posisi yang nyaman bagi pasien. Bahu yang
mengalami posisi abnormal tidak boleh dipaksa untuk dikembalikan keposisi
anatomis.
h. Cidera elbow
Pada cidera elbow, sangat sulit untuk mengatakan ini fraktur atau dislokasi,
keduanya dapat berbahaya karena merusak pembuluh darah dan syaraf yang
menjalar sepanjang permukaan elbow. Dislokasi elbow harus dibidai sesuai
dengan posisi yang paling nyaman bagi pasien dan dievaluasi fungsi distalnya.
Jangan pernah berusaha meluruskan atau melakukan tarikan pada cidera elbow
karena strukturnya yang kompleks.
Gambar fraktur dan dislokasi siku (Campbell, 2012)

i. Cidera fore arm dan wrist


Fore arm dan wrist sangat sering mengalami fraktur, biasanya terjadi karena
terjatuh dan tangan menumpu. Teknik imobilisasi terbaik adalah rigid atau air
splint. Jika menggunakan rigid splint, gulung melingkar dengan kasa untuk
mempertahankan lengan dan mendapatkan posisi yang nyaman. Posisi ini juga
berpotensi terjadi perdarahan internal yang dapat mengganggu aliran darah ke jari
dan tangan.

Gambar manajemen fraktur tangan dan pergelangan (Campbell, 2012)

j. Cidera tangan dan kaki


Beberapa kecelakaan industry melibatkan cidera pada tangan dan kaki yang
menyebabkan fraktur multiple terbuka dan avulsi. Cidera pada lokasi ini sering
terlihat mengerikan tetapi jarang menyebabkan kondisi mengancam nyawa akibat
perdarahan. Bantal dapat digunakan untuk mempertahankan posisi dengan cukup
nyaman pada cidera jenis ini. Untuk meminimalkan perdarahan ekstremitas yang
terkena dapat ditinggikan melebihi batas jantung selama proses transportasi.

PENATALAKSANAAN PASEIN TRAUMA SPINAL

(kredit : BruceBlaus)
1. Pendahuluan
Cidera medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan
seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah L1-2 dan
atau di bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik
serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih. Cidera medula spinalis
diklasifikasikan sebagai komplet, yaitu: kehilangan sensasi fungsi motorik volunter
total dan tidak komplet : campuran kehilangan sensasi dan fungsi motorik volunteer
Cara penanganan harus hati-hati dan ingat bahawa manipulasi yang berlebihan serta
imobilisasi yang tidak adekuat akan menambahkan cedera tulang belakang dan
kerusakan neurologic dan memperburuk prognosis.

2. Anatomi Fisiologi
(kredit : Cancer Research UK)

Medula spinalis adalah bagian dari susunan saraf pusat yang seluruhnya terletak
dalam kanalis vertebralis. Medula spinalis dikelilingi oleh struktur-struktur yang
secara berurutan dari luar ke dalam terdiri atas:
1. dinding kanalis vertebralis yang terdiri atas tulang vertebrae dan ligamen
2. lapisan jaringan lemak ekstradural yang mengandung anyaman pembuluh darah
vena
3. meninges, yang terdiri atas:
a. dura mater (pachymeninx)
b. arachnoid (leptomeninx) yang menempel secara langsung pada dura mater,
sehingga di antara kedua lapisan ini dalam keadaan normal tidak dijumpai
suatu ruangan
c. ruangan subarachnoid yang di dalamnya terdapat cairan serebrospnal (CSF)
d. pia mater, yang menempel langsung pada bagian luar medula spinalis

Kredit : AHA

Pada tubuh orang dewasa panjang medula spinalis adalah sekitar 43cm. Pada masa
tiga bulan perkembangan intrauterin, panjang medula pinalis sama dengan panjang
korpus vertebrae. Pada masa perkembangan berikutnya, kecepatan pertumbuhan
korpus vertebrae melebihi kecepatan pertumbuhan medula spinalis. Akibatnya pada
masa dewasa, ujung kaudal medula spinalis terletak setinggi tepi kranial korpus
vertebrae lumbal II atau intervertebral disk I/II. Perbedaan panjang medula spinalis
dan korpus vertebrae ini mengakibatkan terbentuknya konus medularis (bagian paling
kaudal dari medula spinalis yang berbentuk kerucut dan terutama terdiri atas segmen-
segmen sakral medula spinalis) dan cauda equina (kumpulan radiks nervus lumbalis
bagian kaudal dan radiks nervus sakralis yang mengapung dalam CSF). Ke arah
kaudal, ruangan subarachnoid berakhir setinggi segmen sakral II atau III korpus
vertebrae. Dengan demikian, di antara korpus vertebrae lumbal II sampai korpus
vertebrae sakral III tidak lagi terdapat medula spinalis, melainkan hanya terdapat
cauda equina yang terapung-apung di dalam CSF. Hal ini memungkinkan tindakan
punksi lumbal di daerah intervertebral disk III/IV atau IV/V tanpa mencederai medula
spinalis.

korpus vertebrae, medula spinalis juga terbagi ke dalam beberapa segmen, yaitu:
1. cervikal (C1-C8) : 8 pasang
2. segmen torakal (T1-T12) : 12 Pasang
3. segmen lumbal (L1-L5) : 5 Pasang
4. segmen sakral (S1-S5) : 5 Pasang
5. 1 segmen koksigeal yang vestigial : 1 Pasang
Serabut saraf yang kembali ke medula spinalis diberi nama sesuai lokasi
masuk/keluarnya dari kanalis vertebralis pada korpus vertebrae yang bersangkutan.
Saraf dari C1-C7 berjalan di sebelah atas korpus vertebrae yang bersangkutan,
sedangkan dari saraf C8 ke bawah berjalan di sebelah bawah korpus vertebrae yang
bersangkutan.

Diameter bilateral medula spinalis selalu lebih panjang dibandingkan diameter


ventrodorsal. Hal ini terutama terdapat pada segmen medula spinalis yang melayani
ekstremitas atas dan bawah. Pelebaran ke arah bilateral ini disebut intumesens, yang
terdapat pada segmen C4-T1 (intumesens cervikalis) dan segmen L2-S3 (intumesens
lumbosakral). Pada permukaan medula spinalis dapat dijumpai fisura mediana
ventalis, dan empat buah sulkus, yaitu sulkus medianus dorsalis, sulkus dorsolateralis,
sulkus intermediodorsalis dan sulkus ventrolateralis.

(Kredit : Bettina Guebeli)

3. Patofisiologi
Cedera sumsum tulang belakang terjadi akibat patah tulang belakang dan terbanyak
mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi,
kompressi atau rotasi tulang belakang. Daerah torakal tidak banyak terjadi karena
terlindung dengan struktur toraks.

Salah satu cedera pada vertebra terjadi akibat fraktur kompresi. Adanya kekuatan
secara vertical yang mengenai pada vertebra akan menimbulkan kompresi aksial.
Muatan aksial yang terjadi akan melebihi kemampuan peredam kejut (shok absorber)
yang dimiliki oleh diskus intervertebralis Dengan adanya kekuatan yang besar
tersebut, maka diskus akan terdorong masuk ke dalam korpus vertebra dan
menghancurkannya. Pecahan korpus tersebut akan menyebar ke posterior dan
merusak medulla spinalis.

Kerusakan medulla spinalis berkisar dari komosis sementara (dimana pasien sembuh
sempurna) sampai kontusio, laserasi, dan kompresi substansi medulla (baik salah satu
atau dalam kombinasi), sampai transeksi lengkap medulla (yang membuat pasien
paralisis di bawah tingkat cedera). Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis
darah dapat merembes ke ekstradural, subdural atau daerah subarakhnoid pada kanal
spinal. Segera setelah terjadi kontusion atau robekan akibat cedera, serabut-serabut
saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke substansi grisea medulla
spinalis menjadi terganggu. Tidak hanya hal ini saja yang terjadi pada cedera
pembuluh darah medulla spinalis, tetapi proses patogenik dianggap menyebabkan
kerusakan yang terjadi pada cedera medulla spinalis akut. Suatu rantai sekunder
kejadian-kejadian yang menimbulkan iskemia, hipoksia, edema, dan lesi-lesi
hemoragi, yang pada gilirannya mengakibatkan mielin dan akson. Reaksi sekunder
ini, diyakini menjadi penyebab prinsip degenerasi medulla spinalis pada tingkat
cedera, sekarang dianggap reversibel 4 sampai 6 jam setelah cedera. Untuk itu jika
kerusakan medulla tidak dapat diperbaiki, maka beberapa metode mengawali
pengobatan dengan menggunakan kortikosteroid dan obat-obat antiinflamasi lainnya
yang dibutuhkan untuk mencegah kerusakan sebagian dari perkembangannya, masuk
kedalam kerusakan total dan menetap.

4. Jenis-jenis trauma
a. Flexion Injury

Cedera fleksi menyebabkan beban renggangan padda ligamentum posterior dan


selanjutnya dapat menimbulkan kompresi pada bagian anterior korpus vertebra
dan mengakibatkan wedge fracture (teardrop fracture). Cedera semacam ini
dikategorikan sebagai cedera yang stabil.

b. Compression Injury
Cedera kompresi vertical mengakibatkan pembebanan pada korpus vertebra dan
dapat menimbulkan brust fracture

c. Hyperextension injury

Cedera ekstensi dapat merusak ligamentum longitudinalis anterior dan


menimbulkan herniasi diskus. Baiasanya terjadi pada daerah leher, selama kolum
vertebra dalam posisi fleksi .

d. Distraction Injury
cedera distraksi fleksi dapat terjadi melalui tulang atau jaringan lunak, dan
mungkin melibatkan satu atau beberapa tingkat;
a. cedera distraksi fleksi terjadi sekunder untuk gangguan distractif dari posterior
dan kolom tengah walaupun kegagalan kompresi kolom anterior;
b. Peluang Fraktur: Kolom anterior, tengah, dan posterior semua gagal dalam
ketegangan;
c. mekanisme cedera:
d. cedera:
1) Cedera yang paling umum pada penumpang yang dikencangkan sabuk
pangkuan adalah trauma usus dan lumbar tulang belakang;
2) Menghancurkan usus antara sabuk pangku dan tulang belakang
menghasilkan devaskularisasi atau ruptur usus akut;

e. Flexion-rotation Injury
Beban fleksi-rotasi akan menimbulkan cedera pada ligamentum posterior dan
kadang juga prosesus artikularis, selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya
dislokasi fraktur rotasional yang dihubungkan dengan slice fraktur korpus
vertebra. Cedera ini merupakan cedera yang paling tidak stabil.

5. Gambaran Klinis
Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi.
Kerusakan meningitis lintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi motoric
maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai shock spinal.
Shock spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena
hilangnya rasngsangan yang bersala dari pusat. Peristiw aini umumnya berlangsung
selaama 1-6 minggu, kadang dapat lebih lama.
Tandanya adalah kumpulan flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fesfirasi, gangguan
fungsi rectum dan kandung kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi. Setelah
shock spinal pulih kembali akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda
gangguan fungsi otonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi
ortostatisk serta gangguaan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi.
Sindrom sumd=sum tulang belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot
lurik di bawah tempat kerusakan disertai hilangnya ras anyeri suhu dan kedua sisinya,
sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu.
Cedera sumsum tulang belakang sentral jarang ditemukan. Keadaan ini pada
umumnya terjadi akibat cedera di daerah servikal dan disebabkan oleh hipersktensi
mendadak sehingga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum
yang terlipat. Cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul barang berat di
atas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak sehingga
beban jatuh dan tulang belakang menjadi hiperektensi. Gambaran klinik berupa
tetraparase parsial.
Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1 dan 2 mengakibatkan
anaestasia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya reflex
anal dan reflex bulbokafernosa.

6. Tanda dan Gejala


a. Nyeri leher atau punggung
b. Nyeri gerak leher atau punggung
c. Nyeri tekan leher posterior atau midlinepunggung
d. Deformitas kolumna spinalis
e. Paralisis, Paresis,Baal atau kesemutan pada ektremitas pasca kejadian
f. Tanda dan gejala syok neurogenic
g. Priapismus

7. Panduan Umum penderita dengan dugaan Cedera servikal


a. Adanya paraparesis aatau tetraparesis adalah bukti pendahuluan adanya
instabilitas servikal
b. Jika kondisi korban sadar atau pasca mabuk sangat jarang terjadi cedera servikal,
namun posisi harus dipertahankan pada posisi netral dan pasangkan neck collar
untuk antisipasi. Lakukan pemeriksaan palpasi pada daerah leher ’’apakah adanya
rasa nyeri atau tidak’’, jika ada rasa nyeri maka segera lakukan foto.
c. Jangan memaksa menggerakkan leher.
d. Letakkan penderita di atas long spine board dengan teerpasang neck collar
e. Lakukan foto servikalis untuk melihat adakah deformitas tulang, fraktur korpus
atau prosesus, hilangnya kesegarisan (aligment) aspek posterior korpus, jarak
yang meningkat antara beberapa prosesus spinosus, penyempitan kanalais
vertebralis, bayangan jaringan lunak yang melebar.
Imobilisasi servikalis dengan kolar yang semirigid tidak menjamin stabilisasitulang
leher yang lengkap. Imobilisasi dengan menggunakan spine board dengan memakai
tambahan alat penyangga, jauh lebih efektif dalam mengurangi gerakan leher. Bila
akan dilakukan transfer ke fasilitas yang definitive maka penderita trauma servikalis
membutuhkan imobilisasi dengan menggunakan kolar servikal, backboard.
Hiperektensi atau fleksi harus dihindari. Bila keadaan airway tidak adekuat, maka
perlu dilakukan intubasi sebelum transfer penderita dan selalu memperhatikan posisi.

8. Penilaian dan pengelolaan trauma spinal


Perhatian yang paling utama pada penderita cedera tulang belakang ditujukan pada
usaha mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder. Untuk
maksud tersebut dilakukan immobilisasi di tempat kejadian dengan memanfaatkan
alas yang keras. Pengangkatan penderita tidak dibenarkan tanpa menggunakan tandu
atau sarana apapun yang beralas keras. Selalu harus diperhatikan jalan nafas dan
sirkulasi. Bila dicurigai cedera di daerah servikal harus diusahakan agar kepala tidak
menunduk dan tetap di tengah dengan menggunakan penyanggah leher/neck collar
untuk menyangga leher pada saat pengangkatan.
a. Primary survey : Airway, Breathing, Circulation, disability, Exposure, Foley
Catheter, Gastric Tube, Heart Monitor.
b. Secondary survey : Anamnesis dan mekanisme trauma, riwayat medis, identifikasi
dan mencatat obat yang diberikan kepada penderita sewaktu dating dan selama
pemeriksaan dan penatalaksanaan. Penilaian ulang GCS, Penilaian Tulang
belakang (palpasi, Nyeri, paralisis, parastesia, sensasi, fungsi motoric, reflex
tendon dalam, pencatatan dan pemeriksaan ulang), evaluasi ulang akan adanya
cedera penyerta/cedera yang tersembunyi.

LUKA BAKAR

A. Pendahuluan
Menurut American Burn Association ada lebih dari 1 juta kasus pertahun di
Amerika Serikat, dengan jumlah kematian lebih dari 4500 orang. Banyak pasien yang
survival, terjadi kecatatan atau kerusakan tubuh (kontraktur otot). Namun terjadi
penurunan jumlah kematian akibat luka bakar dalam 30 tahun terakhir. Hal ini disebabkan
oleh peningkatan dalam perawatan pasien luka bakar, namun luka bakar masih menjadi
masalah kesehatan di masyarakat kita. Penerapan secara benar mengenai tatalaksana
kegawatdaruratan dapat menurunkan angka kematian dan kecacatan akibat luka bakar.
Hal ini dikarenakan pada saat menolong pasien luka bakar dapat menjadi sangat
berbahaya, mengikuti prosedur sangat penting untuk dilakukan. Banyak faktor yang dapat
menyebabkan luka bakar, namun secara umum kerusakan yang terjadi pada kulit relatif
sama apapun penyebabnya (Campbell, 2012; Kurniati et.al., 2018).
Tabel. Tipe Jenis Luka Bakar
N Jenis Luka Bakar
o
1. Thermal: Api, Uap Panas, Air panas
2. Elektrical
3. Chemical
4. Radiasi

B. Anatomi dan Patofisiologi


1. Kulit
Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh,
merupakan organ terberat dan terbesar dari tubuh. Seluruh kulit mempunyai berat 16
% dari berat tubuh dan luasnya sekitar 1,5-1,9 meter persegi. Tebalnya kulit bervariasi
mulai 0,5 mm sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan jenis kelamin. Bagian
terluar disebut epidermis yang merupakan pembatas/pelindung tubuh kita dengan
lingkungan luar. Lapisan dibawah lapisan epidermis disebut dermis yang lebih tebal
karena mengandung banyak kolagen (Campbell, 2012).

Gambar Anatomi Kulit

Kulit mempunyai fungsi sangat penting. Selain menjadi pelindung tubuh


dengan lingkungan luar, kulit berfungsi untuk menjaga cairan tubuh supaya tidak
hilang, serta mencegah bakteri dan mikroorganisme masuk kedalam tubuh. Disamping
itu kulit merupakan salah satu organ vital yang memberi informasi spesifik kepada
otak dan salah satu regulator yang mengatur suhu tubuh. Kerusakan yang terjadi pada
kulit membuat kulit tidak bisa berfungsi dengan baik dan meningkatkan kerentanan
tubuh terhadap penyakit (Campbell, 2012).
Tabel Karakteristik berdasarkan kedalaman luka bakar
N Jenis Derajat I Derajat II Derajat III
o Superficial Partial Thickness Full Thickness
1. Penyebab Matahari atau Cairan panas, Cairan kimia,
sengatan api Sengatan api, api listrik, api, logam
panas
2. Warna Kulit Kemerahan Merah cherry Putih pucat atau
mengkilat hangus,
3. Permukaan Kering tanpa Melepuh Kering dan terlihat
kulit melepuh pembuluh darah
nekrosis
4. Sensasi Nyeri Nyeri tajam Nyeri tajam Nyeri tumpul pada
bagian yang
mengalami
nekrosis
5. Lama 3-6 hari 2-4 minggu Memerlukan skin
Penyembuhan tergantung grafting
kedalaman

Luka bakar terjadi ketika panas atau penyebab lainnya


berinteraksi/bersentuhan dengan kulit sehingga merusak kulit sampai ketingkat sel.
Selain itu terjadi reaksi inflamasi diakibatkan luka bakar yang dapat meningkatkan
derajat keparahan dari luka bakar. Kulit yang mengalami luka bakar akan mengalami
nekrosis yang menyebabkan aliran darah terganggu. Jika aliran darah terganggu akan
menyebabkan jaringan sel akan mengalami kematian (Campbell, 2012).
2. Klasifikasi kedalaman luka bakar
Luka bakar diklasifikasikan berdasarkan kedalaman dan respon kulit yaitu:
derajat I (superfisial), derajat II (partial thickness) dan derajat III (full thickness).
Pada luka bakar derajat I (superficial) terjadi kerusakan kulit yang kecil hanya pada
bagian epidermis, namun dapat menimbulkan nyeri dan reaksi inflamasi tubuh. Paling
sering luka bakar derajat I disebabkan oleh sengatan sinar matahari. Tidak diperlukan
penanganan medis dalam bentuk apapun termasuk pemberian obat-obatan. Luka bakar
derajat I dapat sembuh dengan sendirinya dan nyeri yang ditimbulkan akibat reaksi
inflamasi juga akan menurun.
Gambar Luka Bakar Derajat I (superficial) (Wikimedia)
Luka bakar derajat II menyebabkan kerusakan pada epidermis dan dermis,
untuk dermis kerusakan sangat tergantung pada kedalamannya. Luka bakar derajat II
biasanya bisa sembuh tanpa meninggalkan bekas luka (Jaringan parut). Hal ini
disebabkan karena sel-sel yang melapisi bagian dalam folikel rambut, kelenjar
keringat akan bertambah banyak dan merangsang pertumbuhan sel kulit baru untuk
proses penyembuhan. Untuk mengobati luka bakar derajat II perlu diberikan creams
yang mengandung antibiotik secara rutin, namun perlu dilakukan evaluasi secara
berkala untuk melihat perkembangan proses penyembuhan luka pada kasus ini.
Gambar Luka Bakar Derajat II (Wikimedia)

Luka bakar sengatan (flash) sebenarnya termasuk derajat I atau II, luka bakar
ini terjadi ketika ada suatu ledakan atau sejenisnya, jika tidak benar-benar terbakar.
Suatu gelombang panas yang ditimbulkan oleh ledakan tersebut mengakibatkan
sengatan panas pada pasien dan hanya melukai superfisial kulit. Hanya daerah yang
kontak langsung dengan gelombang panas tersebut akan terluka. Pada kondisi yang
beresiko terkena ledakan, anda harus memakai pelindung yang memadai dan
menghindari masuk ke area yang terbakar. Luka lain seperti fraktus, internal bleeding,
blast chest injury kemungkinan besar akan terjadi akibat dari ledakan.
Luka bakar derajat III menyebabkan kerusakan pada semua lapisan kulit baik
epidermis dan dermis, sehingga tidak ada lagi lapisan kulit yang tertinggal. Oleh
karena itu tidak mungkin terjadi penyenmbuhan spontan, kecuali bila lukanya kecil
akan tertutup jaringan parut dari samping. Semua luka bakar derajat III meninggalkan
jaringan parut. Luka bakar derajat III biasanya menyebabkan denaturasi protein kulit
yang menjadi keras, sehingga meninggalkan suatu lapisan penutup menyerupai kulit
yang kaku yang dikenal dengan nama eschar.

Gambar Luka Bakar Derajat III (Wikimedia)

3. Penentuan derajat keparahan luka bakar


Luka bakar menyebabkan reaksi inflamasi yang mengakibatkan kerusakan
secara progresif jaringan lunak pada hari pertama dan kedua. Peningkatan reaksi
inflamasi dapat meningkatkan derajat keparahan luka bakar. Setiap kondisi yang
menyebabkan gangguan sirkulasi ke jaringan luka bakar, selanjutnya akan menambah
progresifitas luka bakar dengan meningkatkan kedalaman luka bakar. Karena proses
luka bakar ini, tidak terlalu penting untuk menentukan secara tepat derajat luka bakar
di lokasi kejadian. Namun anda harus dapat membedakan secara jelas luka bakar yang
terjadi hanya superfisial atau luka bakar pada derajat yang lebih dalam, karena
keputusan merujuk pasien ke pusat perawatan luka bakar didasarkan pada kedalaman
dan luasnya luka bakar. Penanganan awal luka bakar harus berfokus pada upaya untuk
membatasi progresifitas luka bakar, yang meliputi dalam dan luasnya.
Perhitungan luas luka bakar diluar rumah sakit berdasarkan rule of nines.
Tubuh dibagi menjadi daerah 9% atau 18% dari total permukaan tubuh. Dengan
melihat daerah mana yang mengalami luka bakar akan menggambarkan berapa luas
luka bakar. Luas luka bakar hanya dihitung derajat II dan III, sedangkan untuk derajat
I tidak perlu diperhatikan.

Gambar The rule of nines (Campbell, 2012)

C. Pengkajian Pasien dan Tatalaksana


Evaluasi kondisi pasien luka bakar sering disertai komplikasi akibat dari trauma
yang dialami. Walaupun biasanya luka tersebut tampak jelas dan memberi kesan sangat
berat di tempat kejadian, namun perawatan luka bakar dilokasi kejadian sendiri
merupakan prioritas yang rendah. Kematian setelah terjadinya luka bakar biasanya terjadi
akibat trauma yang menyertai atau terjadi gangguan jalan nafas atau trauma inhalasi.
Pendekatan yang sistematis akan memberikan kesempatan pada petugas untuk
mengidentifikasi dan menangani kondisi yang mengancam nyawa serta dapat
meningkatan peluang hidup pasien.
1. Scene Size-Up
Langkah untuk mengkaji pasien luka bakar adalah sama dengan pengkajian
pasien trauma pada umumnya. Dimulai dengan melakukan scene size up dengan
memperhatikan keamanan dan keselamatan anda. Setelah scene size up selesai
dilakukan, prioritas selanjutnya yang harus segera dilakukan adalah memindahkan
pasien dari sumber api.
Menghilangkan sumber luka bakar adalah langkah pertama untuk mengatasi
luka bakar pasien. Selain itu perlu kita ketahui api bisa menyala karena ada oksigen
dan menghasilkan banyak produk beracun dan asap. Karena itu, penolong yang masuk
dan melakukan penyelamatan harus menggunakan alat bantu pernafasan atau dirinya
sendiri berisiko menjadi korban.
Penyebab luka bakar akibat bahan kimia tidak selalu mudah untuk dideteksi,
baik ditubuh pasien atau benda lain di lingkungan. Beberapa luka bakar kimia dapat
terjadi pada penolong karena mereka tidak mampu mengenali sumber racun, bahan
kimia, dan tidak menggunakan alat proteksi yang memadai. Perlu diberikan pelatihan
khusus khusus mengenai hazmat management untuk semua tim SAR.
Aliran listrik tidak kalah berbahayanya, dan menyentuh kawat listrik
bertegangan tinggi adalah hal yang sangat berbahaya. Pelatihan khusus diperlukan
untuk dapat melakukan hal ini, dan anda jangan mencoba memindahkan kecuali anda
terlatih dan mempunyai peralatan yang memadai. Jika kondisinya memungkinkan,
sumber listrik harus dimatikan terlebih dahulu sebelum pertolongan dilakukan.
Gambar Meskipun pada area kecil yang terkena luka bakar, hal ini akan menjadi serius.
Terlebih jika pasien mengalami luka bakar derajat II atau III pada area yang bertanda merah
harus dirawat dirumah sakit

2. Pengkajian Pasien
Pasien luka bakar berbeda dengan pasien trauma karena proses terjadinya
cidera disebabkan oleh penyebabnya harus segera dihentikan. Korban bisa
dipindahkan dari sumber yang menyebabkan luka bakar. Hal pertama yang harus
segera dilakukan adalah mengirigasi luka bakar dengan air mengalir pada suhu
ruangan dan jangan lupa gunakan air bersih. Lakukan irigasi selama 1-2 menit dan
jangan sampai pasien mengalami hipothermia. Hal ini bisa dilakukan dalam jika kita
bekerja sebagai tim, salah satu tim penolong melakukan irigasi dan yang lainnya
melakukan primary survey
Korban biasanya tidak segera meninggal akibat luka bakar. Kematian yang
segera terjadi setelah pasien mengalami luka bakar biasanya akibat gangguan jalan
nafas atau trauma inhalasi atau trauma lain yang menyertai pasien. Kematian akibat
dari shock karena kehilangan cairan dampak dari luka bakar yang terjadi tidak segera
terjadi dalam hitungan jam dan sepsis juga baru terjadi beberapa hari kemudian.
Pasien luka bakar dapat mengalami trauma lain seperti jatuh atau yang lainnya.
Sehingga prioritas penanganan berdasarkan trauma yang mengancam nyawa ditangani
terlebih dahulu. Meskipun luka bakar terlihat dengan jelas dan parah, tetapi
melakukan perawatan luka merupakan prioritas yang lebih rendah dari management
jalan nafas. Anda harus melakukan penatalaksanaan pasien luka bakar ini sama
dengan pasien trauma lainnya dan melakukan primary survey secepatnya setelah
pasien luka bakar ditempat yang aman.
Mulai dengan melakukan pengkajian dan jika perlu amankan jalan nafas,
secara simultan lakukan juga pemeriksaan tingkat kesadaran dan melindungi tulang
cervical. Mengkaji pernafasan, sirkulasi dan control pendarahan harus segera
dilakukan.
3. Rapid Trauma Survey
Berdasar temuan pada scene size up dan initial assestment, rapid trauma
survey selanjutnya dilakukan. Mengukur tanda-tanda vital dan mendapatkan riwayat
SAMPLE. Sampai pada titik ini, keputusan dibuat, apakah pasien memerlukan
transportasi segera atau intervensi kritis. Masalah kritis yang memerlukan intervensi
segera adalah gangguan jalan nafas, penurunan tingkat kesadaran, dan atau adanya
trauma ditempat lain yang menyertai luka bakar. Kata kunci dari mekanisme cidera
yang menjadi poin penting adalah berapa jarak dengan api atau asap, luka bakar
listrik, paparan bahan kimia, jatuh dari ketinggian. Berikan oksigen 12-15 L/menit
dengan menggunakan NRM harus segera diberikan pada semua pasien luka bakar
berat.
Rapid trauma survey pada pasien luka bakar langsung diarahkan pada
identifikasi jalan nafas dan gangguan sirkulasi. Selain kata kunci dari mekanisme
cidera, temuan lain yang mengindikasikan adanya gangguan jalan nafas adalah
adanya luka bakar pada wajah dan kulit kepala, sputum yang berjelaga, bulu hidung
atau bulu mata yang terbakar. Ingat bahwa riwayat terpapar asap pada ruangan yang
tertutup merupakan prediktor adanya trauma inhalasi. Periksa rongga mulut terhadap
adanya jelaga, bengkak, dan kemerahan. Minta pasien untuk berbicara. Suara yang
serak dan batuk terus menerus menandakan struktur yang lebih dalam juga terkena
sehingga segera perlu dilakukan manajemen tatalaksana jalan nafas.
Dengarkan di dinding dada. Adanya wheezing dan rales mengindikasikan
adanya obstruksi jalan nafas bawah akibat trauma inhalasi. Periksa area luka bakar
dan cek nadi bagian distal luka bakar. Luka bakar derajat III yang melingkar dapat
memicu terjadinya gangguan neurovaskuler. Luka bakar derajat III pada dinding dada
yang membentuk eschar dapat menggangu pengembangan dinding dada dan ventilasi.
Berdasarkan hasul pengkajian awal dan mekanisme cidera, temukan cidera lainnya
pada saat rapid trauma survey.
4. Secondary survey
Lakukan secondary survey yang meliputi evaluasi dari luka bakar mengenai
luas dan kedalaman. Dengan kita mengetahui luas dan kedalaman luka bakar akan
membantu menentukan level dari perawatan yang diperlukan pasien.
5. Manajemen pasien
Satu lagi kondisi yang dapat segera mengancam nyawa dan perlu segera
diatasi adalah luka bakar itu sendiri. Anda harus membatasi progresifitas luka bakar
sebanyak mungkin. Pendinginan segera pada permukaan kulit yang mengalami luka
bakar dapat membantu membatasi progresifitas luka bakar. Hilangkan baju atau benda
panaas yang menempel pada tubuh, karena hal ini dapat menyebabkan berlanjutnya
luka bakar yang dapat meningkatkan derajad dan keseriusan cidera yang dialami.
Pendinginan dapat dilakukan dengan menggunakan air bersih yang mengalir, tetapi
tidak dilakukan terlalu lama (satu atau dua menit). Pendinginan yang dilakukan terlalu
lama dapat memicu terjadinya hipotermia.
Setelah periode pendinginan dilakukan, tutup luka bakar dengan menggunakan
kain bersih dan kering. Selimuti pasien untuk menjaga tetap hangat dan mencegah
hipotermia. Pasien sebaiknya tetap diberikan selimut meskipun suhu lingkungan tidak
terlalu dingin karena kulit telah kehilangan kemampuan mengatur suhu tubuh akibat
luka bakar. Pasien tidak boleh dikirim ke pusat luka bakar dalam kondisi basah,
menggunakan handuk basah atau baju bsah dan penggunaan es sama sekali tidak
diperkenankan. Es akan memperberat cidera karena memicu terjadinya vasokonstriksi
dan menurunkan suplai darah ke area yang cidera.
Pada saat melakukan pengkajian luka bakar perhatikan dan catat tipe luka
bakar dan kondisi khusus yang menyertai luka bakar, seperti adanya ledakan, paparan
asap, adanya paparan bahan kimia/listrik, dan kemungkinan adanya cidera lain yang
menyertai. Perlu juga didokumentasikan riwayat penyakit lalu dari pasien. Jika pasien
tidak dapat berbicara, bertanyalah pada orang yang menolong atau tim pemadam
kebakaran tentang apa yang terjadi.
Lakukan detailed exam pada pasien yang stabil. Pemeriksaan ini meliputi
evaluasi luka bakar, estimasi derajad luka bakar berdasarkan kondisi luka dan juga
memperkirakan luas luka bakar. Hasil temuan ini sangat menentukan tingkat
perawatan yang harus dilakukan pada pasien luka bakar ini. Luas luka bakar dapat
diperkirakan dengan baik dengan metode rules of nines (lihat gambar). Tubuh dibagi
menjadi beberapa area yang diperkiraan luas nya menjadi 9 atau 18% dari total
seluruh permukaan tubuh. Hanya luka bakar derajad 2 dan 3 yang daoat dihitung
dengan menggunakan rumus ini. Pada anak kecil, terdapat beberapa perbedaan
proporsi tubuhnya dan kita dapat menggunakan Lund dan Browder chart untuk
membantu menghitungnya (lihat gambar). Pada luka bakar kecil-kecil dan tidak
teratur, luas luka bakar dapat dilakukan dengan menggunakan luas telapak tangan
pasien, yang kurang lebih sama dengan 1% dari luas total permukaan tubuh.
Meskipun luka bakar kecil, dapat menjadi luka bakar yang serius jika melibatkan
bagian tubuh tertentu yang dapat mempengaruhi fungsinya (lihat gambar).
Selama mengevaluasi luas luka bakar, anda harus tetap melepas pakaian dan
perhiasan yang dikenakan oleh pasien, potong baju pasien yang terbakar dan
menempel di kulit, tetapi jangan mencoba menarik baju tsb dari kulit pasien. Hal ini
sangat penting untuk menentukan luas dan derajad luka bakar karena akan
menentukan terapi dan tempat perawatan yang akan dituju (lihat gambar).

D. Management Masalah Khusus pada Luka Bakar


Pada bagian ini akan dibahas oenanganan pada luka bakar yang khusus,
berdasarkan mekanisme cidera yang terjadi. Waspadalah, karena dapat terjadi lebih dari
satu tipe luka bakar yang dapat terjadi pada pasien. Contohnya, pasien yang tersengat
listrik tekanan tinggi juga dapat menghasilkan luka bakar yang dalam akibat lelehan baju
pasien yang terbakar.
1. Trauma inhalasi

Gambar Tanda gejala trauma inhalasi

Trauma inhalasi dapat terjadi lebih pada separuh 4500 kematian yang terjadi di
Amerika Serikat. Trauma inhalasi diklasifikasikan menjadi keracunan carbon
monoksida, heat inhalation injury atau smoke (toxic) inhalation injury. Cedera
inhalasi yang sering terjadi pada pasien yang mengalami luka bakar di ruang tertutup
dan jarang terjadi pada luka bakar di ruang terbuka.
Keracunan carbon monoksida dan asphiksia sejauh ini merupakan penyebab
tersering kematian pada luka bakar. Carbon monoksida merupakan hasil dari
pembakaran merupakan salah satu dari bahan kimia yang terkandung di dalam asap
pembakaran. Carbon monoksida ini bersifat tidak terlihat, tidak berbau, atau tidak
berasa yang menyebabkan keberadaannya sulit untuk terdeteksi. Carbon monoksida
berikatan dengan hemoglobin (257 kali lebih kuat dari oksigen) yang menyebabkan
hemoglobin tidak dapat membawa oksigen. Pasien secara cepat akan menjadi hypoxic
meskipun menghirup carbon moniksida dengan konsentrasi rendah dan dapat
menyebabkan perubahan tingkat kesadaran yang merupakan tanda dari hipoksia. Kulit
kemerahan seperti cherry atau sianosis jarang muncul pada keracunan carbon
monoksida dan tidak dapat digunakan sebagai pedoman ketika mengkaji pasien
dengan keracunan carbon monoksida. Pulse oksimetri akan tetap normal atau tinggi
pada kadar carbon monoksida yang tinggi dan tidak dapat digunakan untuk mengkaji
pasien ini.
Kematian biasanya terjadi akibat cerebral atau myocardial oschemia atau
myocardial infarction akibat dari hipoksia jantung yang progresif. Terapi pasien yang
dicurigai mengalami keracunan carbon monoksida adalah dengan menggunakan
masker oksigen aliran tinggi. Jika pasien mengalami penurunan kesadaran, mulai
memberikan ventilasi dengan menggunakan oksigen 100%. Jika pasien tidak dapat
dengan mudah dipindahkan dari sumber carbon monoksida, bawa ke tempat yang
berudara segar dan ini memerlukan waktu sampai 7 jam untuk menurunkan kadar
carbon monoksida-hemoglobin complex dampai ke level yang aman. Pada pasien
yang bernafas dengan menggunakan oksigen 100% menurunkan kadar carbon
monoksida-hemoglobin complex pada level yang aman dengan waktu 90-120 menit,
sedangkan ketika menggunakan hiperbarik okdigen (oksigen 100% pada 2.5
atmosphere) untuk menurunkan ke batas normal memerlukan waktu 30 menit.
Seluruh pasien yang dicurigai mengalami keracunan carbon monoksida atau toxic
inhalation harus segera dikirim ke rumah sakit yang mengalami fasilitas memadai.
Trauma inhalasi akibat sengatan panas dapat merusak bagian tertentu dari
sistem pernafasan bagian atas, karena bernafas di kobaran api dan gas panas tidak
menyebabkan perjalanan nafas sampai ke jaringan paru. Uap air didalam udara
merupakan pengecualian untuk aturan ini (karena uap air sudah dalam keadaan sangat
panas). Akibat dari sengatan panas tersebut akan terjadi pembengkakan jaringan
seperti pada permukaan yang terbakar. Pita suara tidak membengkak karena terdiri
dari jaringan ikat fibrous. Mukosa yang longgar didaerah supraglotik (hipofaring)
mengalami pembengkakan, sehingga dengan mudah mengalami sumbatan total jalan
nafas dan kematian.
Inflamasi jalan nafas seperti halnya reaksi inflamasi permukaan kulit pada
luka bakar biasanya terjadi setelah cairan intravena diberikan. Pada pasien yang
berpotensi mengalami sumbatan jalan nafas, pasien sebaiknya diberikan sedasi dan
diintubasi sebelum dikirim ke rumah sakit. Stridor menadakan pembengkakan jalan
nafa syang lebih parah dengan obstruksi lebih dari 85% dan ini merupakan keadaan
kedaruratan.
Trauma karena inhalasi asap yang diakibatkan dari bahan kimia yang terhirup
dapat menyebabkan kerusakan struktur sel jaringan paru. Asap yang mengandung
ratusan bahan kimia toxic yang membahayakan alveoli paru. Asap yang berasal dari
plastic dan bahan sintesis merupakan hal yang sangat merusak. Kerusakan jaringan
pada bronkud dan alveoli dapat terjadi dalam beberapa jam atau hari. Bagaimanapun
juga produk toxic yang ada di asap bersifat iritatif, yang dapat memicu terjadinya
bronkospasme atau spasme arteri koroner pada individu yang rentan.
2. Luka bakar kimia
Terdapat banyak sekali bahan kimia yang dapat menyebabkan luka bakar.
Bahan kimia tidak hanya menyebabkan trauma pada kulit tetapi juga terabsorpsi ke
badan dan dapat menyebabkan kegagalan organ (khususnya hepar dan ginjal). Bahan
kimia yang udah menguap dapat terhirup dan menyebabkan kerusakan jaringan tissue
paru-paru dan berdampak pada gagal nafas yang mengancam nyawa. Efek bahan
kimia terhadap sistem organ seperti paru atau jantung mingkin tidak segera nampak
setelah terpapar. Paparan bahan kimia biasanya memberikan manifestasi awal pada
kulit. Luka bakar akibat bahan kimia yang minimal mungkin tidak nampak dan
berpotensi menyebabkan kontaminasi pada penolong. Faktor yang memicu terjadinya
kerusakan akibat bahan kimia meliputi: konsenteasi, jumlah, pola, lama komtak
dengan kulit, dan cara kerja bahan kimia tersebut. Upaya untuk inaktivasi dengan
bahan kimia khusus merupakan hal yang berbahaya karena proses netralisasi dapat
menyebabkan reaksi kimia baru yang menghasilkan panas yang dapat memperberat
luka bakar. Anda harus mengikuti petunjuk yang menghilangkan bahan kimia seperti
dibawah ini:
a. Kenakan alat pelindung diri yang memadai meliputi glovesm kacamata (google) dan
alat proteksi pernafasan (jika diperlukan)
b. Lepaskan semua pakaian yang dikenakan pasien. Tempatkan pada kantong plastic
untuk meminimalkan kontak lebih lanjut.
c. Guyur bahan kimia dari tubuh dengan menggunakan air bersih atau irrigan yang lain.
Jika terdapat bahan kimia kering di kulit, anda sebaiknya menyikatnya terlebih dahulu
sebelum melakukan irigasi. “solusi terbaik untuk menghilangkan polusi adalah
dengan mendilusinya”
d. Hilangkan agen yang menempel pada kulit dengan menggunakan peralatan yang
memadai

Gambar Luka bakar akibat zat kimia


Idealnya semua pasien yang terkontaminasi harus dilakukan dekontaminasi
terlebih dahulu sebelum dikirim ke rumah sakit, untuk mencegah kerusakan kulit dan
mencegah kontaminasi didalam ambulans dan rumah sakit. Intervensi kritis seperti
managemen jalan nafas dapat dilakukan sebelum, dan selama proses dekontaminasi.
Jika pasien belum di dekontaminas dengan baik sebelum dikirim, rumah sakit yang
dituju harus segera diberitahu untuk mempersiapkan terapi pada pasien sebaik-
baiknya.
Irigasi bahan kimia iritatif dimata harus segera dilakukan karena kerusakan
yang bersifat irreversible dapat terjadi dalam waktu yang pendek. Irigasi pada mata
relative sulit dilakukan karena menimbulkan nyeri akibat membuka mata.
Bagaimanapun juga, anda harus segera memulai irigasi untuk mencegah keparahan
dan kerusakan permanen pada kornea. Periksa adanya lensa kontak atau benda asing
dan lepaskan selama proses irigasi. Nasal canule dapat dihubungkan dengan kantong
IV dapat digunakan sebagai alat irigasi yang baik untuk membilas mata selama proses
transportasi ke rumah sakit.

3. Luka bakar listrik


Pada kasus luka bakar listrik, kerusakan yang terjadi akibat aliran listrik
masuk ke dalam tubuh melalui jaringan tissue. Kerusakan dapat terjadi akibat
kerusakan fungsi organ dan dari panas yang dihasilkan akibat aliran listrik.
Ekstrimitas merupakan bagian tubuh yang mempunyai resiko kerusakan paling besar
karena ukuran tubuh yang kecil menghasilkan kerusakan yang lebih parah. Faktor
yang menentukan keparahan luka bakar listrik diantaranya:
a. Tipe dan tegangan listrik
b. Bagian tubuh yang dilalui oleh lostrik
c. Lama kontak dengan sumber listrik
Cidera yang dapat segera terjadi dan serius akibat kontak langsung dengan
aliran listrik adalah aritmia jantung. Pada semua pasien yang mengalmi kontak
dengan aliran listrik, walaupun terlihat stabil, harus dilakukan evaluasi dengan hati-
hati pada fungsi jantung dan monitoring secara kontinyu pada aktivitas listrik jantung.
Aritmia yang paling sering mengancam nyawa adalah premature ventrikel
contraction, ventrikel tachycardia, dan ventrikel fibrillation. Management terhadap
aritmia ini harus segera dilakukan, meskipun pasien terlihat masih normal. Pada
pasien yang mengalami ventrikel fibrillation, otot jantung biasanya tidak mengalami
kerusakan akibat dari aliran listrik. Meskipun CPR dilakukan dalam periode yang
lama, resusitasi biasanya berhasil dengan baik.
Luka bakar listrik biasanya menyebabkan kulit terbakar termasuk pada lokasi
masuk dan keluarnya aliran listrik karena tingginya temperature akibat arus listrik.
Luka bakar tambahan biasanya dapat terjadi pada baju pasien yang terbakar. Fraktur
dan dislokasi dapat terjadi pada pasien yang tersengat listrik dan jatuh. Cidera pada
organ internal terjadi pada otot, syaraf, dan penggumpalan darah akibat dari aliran
listrik. Kerusakan organ internal seperti hepar dan isi abdominal jarang terjadi pada
aliran listrik.
Pada lokasi kejadian trauma elektrik, yang harus jadi prioritas adalah
keamanan dilokasi kejadian. Tentukan, pasien masih kontak dengan aliran listrik atau
tidak. Jika masih kontak dengan aliran listrik, anda harus melepaskan pasien tanpa
harus menjadikan diri anda korban selanjutnya. Jangan menggunakan potongan kayu,
balok untuk mencoba memindahkan kawat listrik, karena aliran listrik tegangan tinggi
benda tersebut dapat menghantarkan aliran listrik. Meskipun anda menggunakan
sarung tangan pemadam kebakaran dan sepatu boot, tidak menjamin proteksi yang
adekuat pada kondisi ini. Jika memungkinkan, padamkan aliran listrik atau
memanggil tenaga terlatih untuk menangani kondisi seperti ini.

Gambar Luka bakar pada kaki karena listrik (Campbell, 2012)

4. Luka bakar akibat petir


Cidera yang terjadi akibat tersengat listrik sangat berbeda dengan cidera
sengatan listrik biasanya karena petir menghasilkan tegangan listrik yang tinggi
(>10.000.000 volt) dan arus (>2.000 Ampere), meskipun dengan kontak yang sangat
sebentar (<100msec). Sengatan petir menghasilkan “flashover” fenomena, akibat
aliran listrik yang terjadi dipermukaan tubuh, yang menghasilkan splatter pattern.
Gambar Splatter Pattern akibat petir
Efek serius dari sengatan petir adalah kardiorespirasi arres, akibat aliran listrik
yang massif seperti kerja defibrillator yang menghentikan aliran listrik. Aktivitas
listrik berhenti secara spontan dalam hitungan menit. Demikian juga pusat nafas di
otak yang terdepresi akibat serangan kilat ini. Konsekuensinya, korban mengalami
respiratory arrest akibat dari hypoxic cardiac arrest.
Komponen essensial dari managemen dari korban tersengat listrik adalah
mengembalikan fungsi jantung dan paru, dengan tetap memproteksi tulang belakang.
Ikuti alorithma standar untuk melakukan CPR. Sengatan listrik sering terjadi pada
kegiatan olahraga atau aktivitas lain di luar rumah dan sering terjadi pada banyak
orang. Pada korban yang banyak, pendekatan triage konvensional ‘pasien tidak ada
nadi atau tidak bernafas adalah meninggal” tidak dapat digunakan. Jika pasien sadar
atau bernafas setelah tersengat petir, biasanya akan bertahan hiduo tanpa perlu
intervensi lebih lanjut. Upaya resusitasi harus dilakukan pada pasien ini, tidak hanya
CPR yang memberikan kesempatan hidup pada pasien ini. Cidera lain yang sering
terjadi pada pasiendengan tersengat listrik adalah perforasi gendang telinga.

E. Transpor ke Pusat Perawatan Luka Bakar


Luka bakar yang berat sering tidak terjadi dilokasi kejadian jika pasien segera
dikirim kepusat perawatan luka bakar. Akibatnya, perlu dipikirkan untuk mengirimkan
secepat mungkin korban luka bakar dari tempat perawatan pertama menuju ke pusat
perawatan luka bakar untuk memperbaiki hasil perawatan pasien. Selama transportasi,
merupakan hal yang sangat penting untuk melakukan resusitasi awal sebelum dikirim ke
pusat perawatan luka bakar.
Sebelum anda melakukan pengiriman pasien ke pusat perawatan luka bakar,
petugas yang melakukan pengiriman harus melakukan hal dibawah ini:
1. Stabilisasi fungsi hemodinamik dan fungsi respirasi, termasuk melakukan intubasi dan
pemberian cairan intravena
2. Mengkaji dan melakukan terapi pada trauma yang menyertai
3. Memeriksa pemeriksaan laboratorium yang diperlukan (Analisa Gas Darah)
4. Memasang Nasogastric Tube, biasanya dilakukan pemasangan NGT pada pasien yang
mengalami luka bakar lebih dari 20% dari luas permukaan tubuh
5. Lakukan pemasangan kateter urine untuk memantau produksi urine, yang dapat
digunakan untuk menilai apakah resusitasi cairan yang dilakukan adekuat.
6. Lakukan pengkajian terhadap sirkulasi perifer dan managemen perawatan luka
7. Lakukan persiapan merujuk pasien dengan sebaik-baiknya.
Anda sebaiknya mendiskusikan dengan fasiltias yang akan menerima pasien untuk
menentukan apakah ada hal khusus yang diperlukan dan menentukan jumlah cairan yang
tepat untuk diberikan pada pasien ini. Resusitasi cairan awal pada pasien luka bakar dapat
dihitung dengan menggunakan formula parkland:
4cc/Kg RL atau Salin x % LB x BB = Cairan yang dibutuhkan dalam 24 jam pertama.
Setengah dari cairan ini diberikan dalam 8 jam pertama dan sisanya dalam 16 jam
selanjutnya.
Hal penting yang harus diingat adalah untuk selalu mencatat kondisi pasien dan
terapi yang telah dilakukan selama dalam transportasi ke rumah sakit.

SHOCKABLE Vs NON SHOCKABLE

Henti jantung disebabkan karena gangguan irama yang disebut sebagai aritmia. 70% dari
kasus henti jantung baik di dalam maupun di luar rumah sakit disebabkan karena aritmia jenis
ventrikel fibrilasi dan ventrikel takikardi. Sementara sisanya di sebabkan oleh asistol dan
Pulseless Electrical Activity (PEA).
Irama ventrikel fibrilasi dan ventrikel takikardi merupakan jenis gangguan yang harus
ditangani dengan cara pemberian defibrilasi. Sehingga, henti jantung yang disebabkan oleh
jenis irama ini dikategorikan sebagai Shockable Rhythm. Adapun jenis irama asistol dan PEA
tidak dianjurkan untuk di berikan defibrilasi (non shockable rhythm).
1. Shockable Rhythm
1. Ventrikel Fibrilasi

Gambaran Ventrikel Fibrilasi


Gambar diatas merupakan suatu Ventrikel Fibrilasi yang terlihat pada monitor. Tampak sangat
jelas irama yang tidak memiliki pola yang dapat diidentifikasi, komplek QRS yang lebar,
tanpa disertai pembentukan gelombang P. Anda harus segera melakukan CPR jika melihat
gambaran ini pada monitor.
2. Ventrikel Takikardi

Gambaran Ventrikel Takikardi


Gambaran monitor diatas menampilkan irama Ventrikel Takikardi monomorfik. Ventrikel
takikardi memiliki dua bentuk klinis yakni yang disertai denyut nadi dan yang tidak disertai
denyut nadi (Pulseless Ventricular Tachicardi). Oleh karena itu, jika Anda melihat gambaran
tersebut maka anda harus melakukan cek nadi karotis terlebih dahulu sebelum memutuskan
memberikan CPR.

2. Non Shockable Rhythm


1. Asistol

Gambar Asistol
Asistol adalah gambaran garis datar irama jantung pada monitor EKG. Kondisi ini
menggambarkan ketiadaan aktivitas kelistrikan pada jantung. Oleh karena itu CPR harus
dilakukan supaya aliran darah ke jantung lancar untuk menstimulasi aktivitas kelistrikannya.
Jika Anda melihat gambaran asistol pada monitor, maka Anda harus memastikan bahwa
gambaran tersebut memang benar gambaran asistol. Karena, gambaran asistol bisa saja
merupakan gambaran ventrikel fibrilasi yang berukuran kecil, atau juga muncul karena
kesalahan teknis pada mesin monitor. Untuk itu, diperlukan serangkaian pemeriksaan yang
disebut dengan “Flat Line Protocol”, meliputi:
1. Memeriksa denyut nadi karotis, jika tidak teraba segera lakukan CPR dan perbesar
ukuran gelombang EKG pada monitor.
2. Jika denyut nadi karotis teraba, maka lakukan hal - hal berikut ini:
a. Pemeriksaan terhadap semua sambungan kabel yang terhubung pada
memonitor.
b. Pemeriksaan terhadap semua sadapan monitor yang terpasang pada tubuh
pasien.
c. Memperbesar ukuran gelombang dengan mengubah kalibrasi EKG
monitor
2. Pulseless Electrical Activity (PEA)

Gambar sinus Bradikardi


PEA merupakan suatu kondisi tidak terabanya denyut nadi dengan gambaran EKG yang
masih memperlihatkan adanya aktivitas kelistrikan, selain ventrikel fibrilasi dan ventrikel
takikardi. PEA terjadi karena adanya hambatan mekanik yang membuat jantung tidak bisa
berkontraksi. Penyebab tersering dari PEA adalah cedera dada dengan manifestasi Tension
Pneumothorax dan Cardiac Tamponade.
Automated External Defibrillator (AED)
Penyebab terbanyak kejadian henti jantung adalah ventrikel fibrilasi (V Fib) dan
Ventrikel Takikardi. Terapi satu - satunya pada kondisi ini adalah melakukan defibrilasi.
AED merupakan suatu alat untuk melakukan defibrilasi. Alat ini mampu mendeteksi
gangguan irama pada henti jantung dan memberi arahan apakah korban harus dilakukan
defibrilasi ataukah tidak perlu dilakukan.
Automated External Defibrilator (AED)untuk Infant dan Anak
AED dapat digunakan pada bayi dan anak-anak. AED harus digunakan sedini
mungkin untuk meningkatkan kelangsungan hidup bayi dan anak. Periksa AED ketika tiba di
tempat kejadian. Gunakan Pads untuk anak jika korban berusia <8 tahun. Jika pads anak
tidak tersedia, maka pads untuk korban dewasa dapat digunakan. Untuk bayi berusia <1
tahun, harus dilakukan penggunaan defibrilator jika tersedia. Jika defibrilator manual tidak
tersedia, AED dapat digunakan.
Beberapa AED memiliki tombol yang dapat diatur untuk memberikan syok pada anak.
Jika tombol syok tersedia, maka berikan syok pada anak yang berusia <8 tahun. Jika AED
tidak dapat memberikan syok untuk anak, syok untuk dewasa haris diberikan. Hal ini penting,
sebab syok merupakan terapi utama untuk memunculkan kembali irama atau denyutan
jantung.
Cara Penggunaan
Cara penggunaan AED adalah sebagai berikut:
7. Tekan tombol “On” pada AED. Setelah itu, AED akan memberi panduan apa yang harus
dilakukan.
8. Lekatkan pad AED pada dada pasien.

Gambar Lokasi Pemasangan Pad AED


9. Ketika AED mengatakan “ANALYZE RHYTHM”, hentikan CPR dan pastikan tidak ada
yang memegang korban (Gunakan kesempatan ini untuk berganti peran jika CPR
dilakukan oleh 2 penolong).
10. Jika AED mengindikasikan untuk memberikan Shock, pastikan tidak ada orang lain
yang memegang korban dengan mengatakan “CLEAR”, setelah itu tekan tombol
“SHOCK” pada AED. Setelah memberikan shock, segera lanjutkan CPR, dimulai dengan
kompresi dada
11.Jika AED tidak mengindikasikan pemberian shock, segera lanjutkan CPR, mulai lagi
dengan kompresi dada
AED akan mengulang langkah diatas setiap 2 menit.

PENGGUNAAN DEFIBRILATOR

1. Pendahuluan
Keberhasilan penanganan fibrilasi ventrikel tergantung dari keberhasilan defibrilasi dan
berhubungan negative dengan waktu yang diperlukan antara onset fibrilasi ventrikel dan
saat dilakukan defibrilasi pertamakali. Petugas kesehatan yang bertugas dalam resusitasi
jantung paru harus terlatih dalam menggunakan defibrilator, bahkan direkomendasikan
untuk melakukan defibrilasi seawal mungkin (early defibrillation) baik pada pasien
diruang gawat darurat maupun diluar fasilitas kesehatan.
Keberhasilan defibrilasi tergantung dari pemilihan energi untuk menimbulkan arus yang
akan dialirkan kejantung dengan akibat kerusakan jantung seminimal mungkin. Bila
energi dan arus yang ditimbulkan dari defibrilator terlalu rendah tidak dapat
menghentikan aritmia, sebaliknya apabila energi dan arus terlalu tinggi akan merusak
fungsi dan anatomi jantung. Pemilihan energi dan arus yang tepat akan mengurangi
pengulangan kejutan listrik dan kerusakan miokard. Tidak ada hubungan antara besarnya
energi yang dibutuhkan dalam defibrilasi dengan ukuran tubuh penderita.

2. Defibrilator
- Sebagai monitor
- Sebagai defibrilasi/asyncrone
- Sebagai kardioversi/syncrone
- Sebagai pace maker/pacu jantung (trans cutan pacing)
Syarat defibrilator :
- Dilakukan kalibrasi dan uji coba rutin
- Batterey dalam kondisi penuh (full berrerey)

3. Energi kejut listrik


Energi yang direkomendasikan untuk defibrilasi adalah 360 joule. Apabila gagal dapat
diselingi dengan tindakan RJP dan pemberian obat – obatan terlebih dahulu, kemudian
defibrilasi dapat diulangi dengan energi 360 joule. Arus yang mengalir dari defibrillator
akan lebih tinggi bila energi yang sama diberikan berulang, karena transthoracic
impedance menurun dengan pengulangan kejutan listrik. Apabila fibrilasi ventrikel dapat
didefibrilasi akan tetapi kembali fibrilasi ventrikel, dilakukan defibrilasi dengan level
energi yang sama yang digunakan terakhir.
Batasan :
Kejut listri (electric shock) dengan memberikan aliran listrik secara “asinkron” sehingga
terjadi depolarisasi sel miokard dan akan terjadi repolarisasi yang seragam dan akan
menjadikan jantung berkontraksi dengan baik.
Tujuan :
Membuat kontraksi jantung menjadi lebih baik.
Indikasi :
Ventrikel fibrilasi/ventrikel takhikardi pulseless.
Persiapan :
- Defibrilator lengkap dengan pedalnya
- EKG monitor
- Trolley emergency siap dengan obat jantung
- Alat pemberian oksigen
- Peralatan intubasi.
Prosedur penggunaan defibrilator :
Defibrilator diletakkan disamping (dekat telingan kiri) korban, penolong pertama sebagai
pemegang paddle defibrillator disamping kanan korban, dan penolong kedua yang
melakukan resusitasi jantung disamping kiri korban. Posisi ini dapat disesuaikan dengan
situasi dan kondisi.
Langkah – langkah dalam menggunakan defibrillator :
- Pastikan klinis penderita dan gambaran EKG ventrikel fibrilasi/ventrikel takikardi
tanpa nadi
- Siapkan peralatan, bila peralatan belum siap lakukan resusitasi jantung paru terlebih
dahulu
- Nyalakan power defibrilator, usahakan layar monitor terbaca jelas
- Putar energi 360 joule, kemudian lakukan pengisian energi dengan menekan tombol
“CHARGE”, kemudian setelah paddle terisi penuh (alarm akan berbunyi)
- Letakkan paddle electride di upper-right sternal border (dibawah klavikula) dan
disamping kiri puting susu. Atau “apex” paddle diletakkan di prekordium kiri dan
“sternum” paddle diletakkan di ICS 2-3 tepi kanan sternum. Apabila korban
menggukana pacu jantung permanen/ICD, jangan terlalu dekat meletakkan paddle
dengan generator tersebut.
- Pastikan penolong tidak bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan
korban, tekan tombol ANALIZE untuk menganalisa irama. Pada alat defibrillator
tertentu akan menganalisis secara otomatis setelah paddle electrode ditempelkan.
- Tekan tombol “SHOCK/DISCHARGE”, dengan sebelumnya memastikan tidak ada
seorangpun bersentuhan dengan korban dengan mengucapkan “I’m clear, you’r
clear, everybody clear” atau “clear”. Setelah defibrilasi selesai, langsung dilakukan
RJP selama 5 siklus, kemudian analisa lagi iramanya dan berikan obat – obatan
sesuai dengan algoritma.
Perhatian :
- Lakukan RJP terlebih dahulu, jika alat belum siap
- Jika pasien terpasang pace maker maka matikan terlebih dahulu.
Perawatan post defibrilasi :
- Nilai sirkulasi pasien
- Monitor EKG, pasang IV line (jika belum ada)
- Siapkan pemberian obat – obatan dan observasi efeknya
- Terapi oksigen sesuai dengan keadaan pasien
- Catat kejadian yang ada selama dilakukan defibrilasi, antara lain : perubahan EKG
sebelum, selama dan setelah tindakan, kejadian selama defibrilasi.

4. Kardioversi
Kardioversi adalah usaha mengembalikan irama jantung keirama sinus dengan diberikan
kejutan listrik. Kardioversi untuk fibrilasi atrium direkomendasikan 100 – 200 joule,
flutter atrium atau paroxysmal supraventrikelertakikardi (PSVT) dapat dimulai dengan
50 – 100 joule. Untuk kasus takikardi ventrikel tergantung dari karakteristik morfologik
takikardi ventrikel. Pada monomorphic takikardi ventrkel dimulai 100 joule dan pada
polymorphic takikardi ventrikel dapat dimulai 200 joule. Pada kasus takikardi ventrikel
dengan pulseless, unconscious, hypotensive atau oedeme paru berat harus diberikan
unsynchronized.
Batasan :
Memberikan therapi kejut listrik secara “syncronise” sehingga terjadi irama sinus.
Indikasi :
- Ventrikel tachicardi (VT) dengan pulls
- Supra ventrikel tachicardi (SVT)
- Proxismal atrial tachicardi (PAT)
- Atrial fibrilasi
Prosedur tindakan :
Sama dengan fibrilasi hanya energinya mulai dari 50 joule, jika pasiennya sadar
diberikan dulu obat penenang, dan minta persetujuan keluarga (inform consent).

5. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan defibrilator


- Lamanya terjadi VF/kecepatan tindakan
- Kondisi dan lingkungan miokard, antara lain :
a. Hipoksia
b. Asidosis
c. Hypothermia
d. Gangguan elektrolit
e. Penyakit dasar jantung yang berat
- Ukuran pedal
- Letak pedal
a. Pedal I : intercosta 2-3/bawah klavikula, tepi kanan sternum
b. Pedal II : intercosta V midklavikula kiri
- Pemberian jelly pada pedal
- Energi yang digunakan

CHOKING MANAGEMENT

A. Pendahuluan
Sumbatan jalan nafas total merupakan keadaan gawat darurat yang dapat berakibat
kematian dalam hitungan menit jika tidak ditangani segera. Sumbatan jalan nafas total
menunjukkan adanya blokade total jalan nafas. Korban tidak bisa berbicara, bernafas,
atau batuk.
Sumbatan pada jalan nafas menyebabkan terganggunya suplai oksigen ke otak.
Jika tidak ditangani, dalam waktu singkat otak akan kekurangan oksigen dan dapat
menyebabkan kerusakan pada otak bahkan kematian.
Tersedak seringkali dihubungkan dengan kegiatan makan, dan sering pula
disaksikan orang lain. Peluang untuk bertahan hidup lebih baik bila penolong dapat
segera memberikan pertolongan pertolongan saat korban masih sadar. Teknik yang
digunakan biasanya adalah Heimlich maneuver (hentakan perut) dan Chest Trust
(hentakan dada) untuk wanita hamil atau korban yang gemuk.
Heimlich maneuver direkomendasikan bagi korban sumbatan jalan nafas dewasa
yang sadar dan bagi anak-anak usia 1-8 tahun. Manuver ini dilakukan dengan hentakan
perut sehingga mengangkat diafragma dan meningkatkan tekanan pada jalan nafas, yang
akan mendorong udara keluar paru-paru. Ini akan menciptakan batuk buatan dan
mendorong benda asing keluar dari jalan nafas. Bagi korban yang sedang hamil atau
obesitas, yang direkomendasikan adalah hentakan dada (Chest trust).

Tanda-tanda choking dan pertolongan yang diberikan


Derajat Sumbatan Tanda-tanda Tindakan Penolong
Parsial Korban bernafas namun Tenangkan korban tetap
bisa juga terdengar bersamanya
wheezing
Korban batuk dan masih Minta korban untuk batuk
bisa bersuara
Panggil bantuan (EMS) jika
kondisi memburuk
Total Memegang erat leher Lakukan Heimlich maneuver
(tanda universal) (Abdominal thrust) atau Chest
thrust / back blows (Infant)
lemas dan tidak Panggil bantuan (EMS)
terdengan batuk
Tidak mampu berkata- Jika pasien menjadi
kata unresponsive, segera lakukan
BLS
Sedikit bahkan tidak
bernafas
Mungkin terlihat sianosis
pada bibir dan jari
Gambar Tanda Universal Choking
(https://medlineplus.gov/ency/presentations/100222_1.htm)

B. Manajemen Tatalaksana
1. Heimlich Maneuver
Teknik ini hanya digunakan pada korban yang masih responsive. Cara melakukan
adalah sebagai berikut:
a. Berdiri di belakang korban, peluk korban pada bagian pinggang dibawah tulang
rusuk terbawah
b. Tempatkan satu sisi kepalan tangan anda pada pusar korban. Jangan menekan
pada sternum bagian bawah
c. Dengan tangan satunya, genggam kepalan tangan pertama dan hentakkan pada
abdomen dengan mengarah ke atas dan ke dalam menuju dada
d. Lanjutkan tindakan tersebut sampai sumbatan keluar atau pasien menjadi
unresponsive
e. Tindakan dianggap berhasil jika benda asing dapat dikeluarkan
Gambar Teknik Hemlich untuk orang dewasa & anak (Wikimedia)

Gambar Teknik Hemlich untuk ibu hamil (National Sacety Council)


2. Chest trust & Back Slap
Teknik ini hanya digunakan pada bayi yang mengalami choking. Cara melakukan
adalah sebagai berikut:
a. Jika bayi menangis tanpa keluar suara atau batuk-batuk, lihat benda asing pada
mulut korban
b. Jika bayi tidak bisa menangis atau batuk:
1) Telepon Ambulan
2) Berikan 5 kali back blows dan dilanjutkan 5 kali chect trust. Ulangi sampai
benda asing keluar dari mulut bayi
c. Jika keadaan bayi berubah menjadi tidak sadar segera lakukan CPR sambil
memeriksa benda asing di mulut korban pada saat sebelum memberikan bantuan
nafas
Gambar Teknik Chest Trust & Back Slap

LUKA DAN PERDARAHAN

A. Luka
1. Definisi
Luka adalah hilang/rusaknya sebagian jaringan tubuh
2. Macam-macam luka
a) Vulnus scissum (Luka sayat)
b) Vulnus puctum (Luka tusuk)
c) Vulnus laseratum (Luka robek)
d) Eskoriasi (luka lecet/gesek)
e) Combustio (Luka bakar)

(Kredit : pxhere)
3. Etiologi
a) Trauma benda tajam/tumpul
b) Perubahan suhu
c) Zat kimia
d) Ledakan
e) Sengatan listrik
f) Gigitan hewan
Fase yang kemudia terjadi adalah rusaknya jaringan kemudian penyembuhan. Fase
penyembuhan terbagi menjadi 3 yaitu :
1. Fase inflamasi
Berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira-kira hari ke 5 (lima). Pembuluh darah
yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan dan tubuh akan berusaha
menghentikannya dengan vasokonstriksi, pengerutan pembuluhan darah yang terputus
dan reaksi hemostatis. Hemostatis terjadi karena trombosit yang keluar dari pebuluh
darah saling melengket dan bersama jala fibrin yang terbentuk membekukan darah
yang keluar dari pembuluh darah, sementara itu terjadi reaksi inflamasi.
Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamine yang
meningkatkan permiabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi cairan. Penyebukan sel
radang disertai vasodilatasi setempat yang menyebabkan edema dan pembengkakan.
2. Fase proliferasi
Fase ini juga disebut dengan fase fibroblast yang menonjol adlaah proses proliferasi
fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamsi sampai kira-kira akhir minggu
ke 3 (tiga). Fase ini seat dibentuk dan dihancurkan kembali untuk penyesuaian diri
dengan tegangan luka yang cederung mengerut. Sifat ini bersama dengan sifat
kontraktil fibroblast. Fase ini dipenuhi sel radang, fibroblast, kolagen membentuk
jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan halus yang disebut granulasi.
Epitel tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah
mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari
proses mitosis. Proses migrasi hanya bisa terjadi ke arah yang lebih rendah/datar,
sebab epitel tak dapat bermigrasi ke arah yang lebih tinggi. Proses ini baru berhenti
setelah sel epitel saling menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka. Dengan
tertutupnya permukaan luka proses fibroplasia dengan pembentukan jaringan
granulasi juga akan berheni dan mulailah proses pematangan dlam fase penyudahan.
3. Fase penyudahan
Fase ini terjadi proses pematangan yan terdiri dari penyerapan kembali jaringan yang
berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi dan akhirnya perubahan kembali
jaringan yang baru terbentuk, fase ini dapat berlangsung berbulan-bulan dann
dinyatakan berakhir kalua semua tanda radang sudah lenyap.
Klasifikasi penyembuhan :
a) Penyembuhan sekunder (sanatio persecundam intentioem) penyembuhan luka
tanpa bantuan dari luar
b) Penyembuhan primer (sanatio perprimam intentioem) luka diusahakan bertaut
B. Perdarahan
1. Definisi
Perdarahan merupaka keluarnya darah dari pembuluh darah
Tipe perdarahan :
a) Arteri (darah tampak keluar menyemprot, berwarna merah segar)
b) Vena ( darah keluar mengalir, berwarna kehitaman)
c) Kapiler (darah keluar merembes, berwarna merah segar)
2. Tindakan pada perdarahan
Menghentikan perdarahan :
a) Menekan pada salah satu titik dari 6 titik pada satu sisi badan
b) Penekanan langsung pada luka (dengan kain steril-bersih)
c) Balut tekan
d) Tourniquet hanya pada amputasi/sebagi life saving.
3. Tanda komplikasi hemolitik
a) Adalah inkontabilitas golongan darah A, B, O dari donor resipien
b) Reaksi cepat sehingga harus diawasi 30 menit pertama/50 cc dengan tanda :
demam, pruritis, menggigil, hemoglobunuri dan perdarahan difus
c) Reaksi lambat setelah beberapa jam/minggu adalah anemi, lemas, jaundice
d) Penggulangan terbaik
1) Menghentikan transfuse
2) Mengatasi hipotensi
3) Mengatasi perdarahan
4) Mencegah anuria
4. Sebab-sebab alergi
a. Penderita yang sudah sering mendapat transfuse menjadi alergi terhadap serum
protein
b. Lekosit dan trombosit donor mempunyai antigen yang lain dari darah merah
c. Mungkin darah donor mengandung allergic antibodies
5. Hiperpireksia
Sebab-sebabnya tidak jelas, dapat oleh pirogen, reaksi dari sebagian komponen darah
dan lekosit dan trombosi.
6. Perubahab darah yang disimpan lama
a. Afinitas Hb terhadap O2 bertambah. Karena pada darah yang lbih 5 (lima)
hariterjadi deplesi 2,3 dpg.
b. Adanya asam citrate dan dibentuknya asam laktat maka darah menjadi asidotik
c. Konsentrasi K berkisar 30 mlgr/l lebih banyak dari normal. K keluar dari darah
merah ke dalam plasma
d. Transfuse darah lama dapat menyebabkan aritmia jantung dan arrest. Afinitas Hb
yang meninggi dan Ph yang rendah dapat merusak ginjal yang menyebabkan hiper
K tambah hebat. Citrate dalam darah yang didonor akan mengikat kalsium
resipien dan keadaan hipokalsemia ini akan memperhebat hiperkalemia terhadap
jantung.
e. Darah lama dapat muncul ammonia yang akibatnya buruk jika diberikan pada
penderita sirkotik
f. Jumah trombosit setelah 1 (satu) hari adalah nol pada minggu ke 3 (tiga) V dan
VIII hanya tinggal 10%
7. Kebiasaan yang keliru
a) Transfuse 1 botol untuk mengejar syarat anastesi Hb ≥ 10gr%
b) Pemakaian darah segar pada penderita tanpa gangguan hemostatis
c) Suhu tinggi bukan merupakan kontraindikasi transfuse
d) Darah tak perlu dipanaskan lebih dahulu kecuali pada transfudi massif.

8.
TENGGELAM/NEAR DROWING

(kredit : Pixabay)
Tenggelam (drowning) adalah proses terjadinya gangguan pernapasan akibat jalan napas
terendam air (submersion) atau terguyur di seluruh wajah (immersion).
1. Proses tenggelam.
Ketika kepala masuk ke dalam air
 Air mungkin terhisap masuk jalan nafas  paru-paru berisi air  udara tidak dapat
masuk hipoksia  cardiac arrest
 Air mungkin tertahan tidak terhisap masuk sebab pita suara menutup kuat paru-paru
kering tetapi udara habis terpakai cardiac arrest dalam keadaan paru-paru “kering”
 Air mungkin tertahan tidak terhisap masuk sebab pita suara menutup kuat  lalu korban
berusaha menarik nafas  menghisap air masuk  paru terisi air  cardiac arrest.
2. Akibat tenggelam
 Jika air masuk paru-paru
 Air asin beda dengan air tawar
 Memicu rangkaian kerusakan otak, darah, ginjal, paru
 Mungkin ada cedera kepala/cedera lain sebelum atau sesudah tenggelam
 Hipotermia, suhu tubuh turu , 35oC
Juga terjadi di daerah tropis
3. Penanganan pada KorbanTenggelam (ABC)
a. ABC
A : Airway  Bebaskan Jalan Nafas
B : Breathing  Beri nafas bantuan, Oksigen
C : Circulation  Pijat Jantung, Posisi Shock
b. ABC pada Korban tenggelam
 Anggap korban masih hidup
 Segera tiupkan udara ke mulut/hidung korban
 Bias di dlam air atau segera kepala diangkat dari air
 Tiup berulang, tidak usah berusaha mengeluarkan air dengan menjungkir dsb.
 Raba nadi carotis, jika (-) segera CPR
 Usahakan jantung berdenyut kembali
Bawa ke Rumah Sakit, Sebaiknya Ke ICU
 Jika korban bernafas, jaga jalan nafas tetap bebas
 Jaga C-Spine karena korban mungkin trauma

(kredit : tbmmpanacea)

4. Pertolongan korban
a. Pertolongan Ketika Korban Berada dalam Air
1) Penolong mengaktifkan sistem bentuan medis darurat
2) Penolong menilai respon dan pernapasan korban
a) Bila sadar, korban harus dibawa ke darat dan bantuan hidup dasar harus segera
dilakukan.
b) Bila korban tidak sadar, tindakan resusitasi berupa pemberian napas (ventilasi)
buatan di dalam air akan tiga kali meningkatkan kemungkinan pasien selamat,
namun harus dilakukan oleh penolong yang terlatih. Tindakan kompresi dada
di dalam air tidak efektif. Korban biasanya akan berespon setelah pemberian
beberapa napas buatan. Bila tidak respons, kemungkinan korban mengalami
henti jantung dan harus dikeluarkan dari air atau dibawa ke darat untuk
dilakukan resusitasi jantung paru yang efektif.
3) Imobilisasi leher hanya diindikasikan pada korban yang dicurigai mengalami
cedera kepala leher, seperti pada kecelakaan saat menyelam, ski air, selancar air,
atau kapal. Posisi diupayakan ventrikal dan pertahankan jalan napas terbuka agar
mencegah muntah dan aspirasi air dan isi lambung.
b. Pertolongan Awal di Darat (Setelah korban dikeluarkan dari dalam air)
1) Penolong membuat posisi korban terlentang
2) Penolong memeriksa respon dan pernapasan korban
a) Bila tidak sadar namun masih bernapas, korban dibuat dalam posisi pemulihan
(lateral decubitus)
b) Bila tidak bernapas, korban diberikan napas bantuan. Pada tenggelam korban
dapat gasping atau apneu namun jantung tetap berdetak. Henti jantung pada
korban tenggelam terjadi karena kekurangan oksigen sehingga urutan RJP
mengikut urutan ABC (airway, breathing, circulation) bukan CAB (circulation,
airway, breathing). Penolong memberikan napas bantuan 5 kali, lalu diikuti
kompresi dada 30 kali, selanjutnya napas bantuan 2 kali dan kompresi dada 30
kali. RJP dilakukan hingga tanda kehidupan tampak penolong lelah, atau
tindakan bantuan hidup lanjut dilakukan. Tindakan penekanan abdomen
(abdominal thrust) atau membuat posisi kepala lebih rendah tidak
direkomendasikan karena akan menunda pemberian napas buatan dan
meningkatkan risiko muntah dan aspirasi

5. Pertolongan lanjutan
a. Jika jantung sudah berdenyut kembali
1) Korban tak sadar tapi bernafas, baringkan miring (dengan log-roll, hati-hati C-
Spine)
2) Bersihkan mulut dari darah, muntahan dan benda asing lain dengan jari
3) Jangan menekan perut yang kembung untuk membuang udara.
b. Terapi di Rumah Sakit
1) Berikan Oksigen, kadar tinggi
2) Bersihkan jalan nafas (suction)
3) Mungkin perlu intubasi Trachea
4) Nafas buatan, PEEP
5) 2-3 Liter air bias masuk lewat paru
6) Dibuang dengan diuretic lasix
6. Akibat tenggelam di air tawar
a. Hipoksia karena paru-paru terisi air
1) Kerusakan alveoli dan surfactantgagal nafas
2) Broncho-pneumonia
b. Air cepat terhisap masuk sirkulasi
1) volume darah meningkat 2-3 Liter  overload
2) Plasma jadi encer, osmolaritas turun, eritrosit pecah (hemolisis)
haemoglobinemia hemoglobuliuris gagal ginjal
3) Edema otak, hyponatremia/water excess syndr
7. Akibat tenggelam di air asin
a. Air asin
1) Air lama berada di alveoli, hipoksia
2) Kerusakan surfactant alveoli
3) Gagal nafas
4) Broncho-pneumonia
b. Terapi nafas buatan sangat diperlukan
8. Ginjal
a. Hemolisis  hemoglobinuriagagal ginjal akut
b. Urine harus . 1 ml/kg/jam, Lasix 1-2 mg/kg iv
c. Beri cukup cairan Na Cl 0.9%
d. Jangan hipotensi, dopamine 5-10 mcg/kg/menit
e. Alkalinisasi urine, mencegah pengendapan Hb di GlomerulusNatrium bikarbonat
50-100 mEq iv diulang 6 jam selama urine masih merah kehitaman.
9. Evaluasi otak
Tidak sadar bisa diakibatkan oleh
a) Hipoksia selama tenggelam atau cardiac arrest
b) Edema otak, TIK Tinggi karena water excess
c) Trauma capitis sebelum atau sesudah tenggelam
10. Terapi edema otak
a) Infus NaCl 0.9% semua
b) Lasix 1-2 mg/kg iv
c) Buat balance cairan negatif
d) (Manitol)
e) (Steroid, dexamethasone)
KERACUNAN

Pengertian
Keracunan atau intoksikasi menurut WHO adalah kondisi yang mengikuti masuknya suatu
zat psikoaktif yang menyebabkan gangguan kesadaran, kognisi, persepsi, afek, perlaku,
fungsi, dan repon psikofisiologis.

Klasifikasi Racun
Racun diklasifikasikan menurut aksinya sebagai berikut :
1. Racun Korosif: racun ini adalah agen pengiritasi yang sangat aktif yang menghasilkan
peradangan dan ulserasi jaringan. Kelompok ini terdiri dari asam kuat dan basa.
2. Racun Iritan : racun ini menghasilkan gejala sakit di perut, muntah
a. Racun Anorganik
Logam : arsen, merkuri, timbal, tembaga dan antimon Non logam : fosfor, klorin,
bromin, dan iodin.
b. Racun organik
Tumbuh-tumbuhan : minyak jarak
Hewan : ular, kalajengking,laba-laba
c. Racun mekanik : bubuk kaca, debu berlian
3. Racun Saraf
Racun ini beraksi di sistem saraf pusat.
Gejala yang ditimbulkan biasanya sakit kepala, ngantuk, pusing, delirium, stupor, koma,
dan kejang.
Contoh : Racun serebral; opium, alkohol, anastetik.
4. Racun jantung : Digitalis, rokok.
5. Asphyxiants: Gas batubara, CO, CO2.

Penggolongan Keracunan
1. Menurut cara terjadinya
a. Meracuni diri (Self poisoning).
Penderita berusaha bunuh diri dengan tujuan menarik perhatian saja. Penderita
biasanya menelan racun dalam dosis besar untuk membahayakan dirinya. Contohnya
adalah keracunan baygon.
b. Usaha bunuh diri (attempted suicide).
Dalam hal ini penderita ingin benarbenar bunuh diri dan dapat berakhir dengan
kematian.
c. Keracunan akibat kecelakaan (accidental poisoning).
Keracunan ini terjadi benar-benar karena kecelakan dan tidak ada unsur kesengajaan.
d. Keracunan akibat pembunuhan (homicidal poisoning).
Terjadi akibat tindakan criminal yaitu diracuni pasien.
e. Keracunan akibat ketergantungan obat.
Keracunan terjadi akibat sifat toleransi obat sehingga memerlukan peningkatan dosis.
Peningkatan dosis yang tidak terukur/ tidak terkendali menimbulkan overdosis yang
fatal.

2. Menurut cepat lambatnya proses keracunan


a. Keracunan akut
Gejala keracunan muncul dengan cepat segera setelah korban menelan atau kontak
dengan zat racun misalnya keracunan makanan, sianida dan insektisida.
b. Keracunan kronik
Gejala muncul dalam waktu relative lama sehingga korban sering tidak sadar
mengalami keracunan. Keracunan kronis yang sering terjadi antara lain keracunan
bromid, salisilat, fenitoin dan digitalis karena tidak diawasi.
3. Menurut organ yang terkena
Keracunan dapat dibedakan menurut organ yang terkenan yaitu neurotoksik (racun
saraf), kardiotoksik (racun pada jantung), nefrotoksik dan hepatotoksik.

4. Bahan kimia
Zat kimia dalam golongan sejenis biasanya menimbulkan gejala keracunan yang sama
seperti keracunan alkohol, logam berat, fenol dan organofosfat.

Mekanisme Terjadinya Keracunan


Absorpsi racun ditandai oleh masuknya racun dari tempat paparan menuju sirkulasi sistemik
tubuh atau pembuluh limfe. Absorpsi didefinisikan sebagai jumlah racun yang mencapai
sistem sirkulasi sistemik dalam bentuk tidak berubah. Racun dapat terabsorpsi umumnya
apabila berada dalam bentuk terlarut atau terdispersi molekular.

Jalur utama absorpsi racun adalah saluran cerna, paru-paru dan kulit. Setelah racun
mencapai sistemik, ia bersama darah akan diedarkan ke seluruh tubuh. Dari sistem sirkulasi
sistemik ia akan terdistribusi lebih jauh melewati membran sel menuju sistem organ atau ke
jaringan-jaringan tubuh. Selanjutnya racun akan mengalami reaksi biotransformasi
(metabolisme) dan ekskresi racun melalui ginjal, empedu, saluran pencernaan, dan jalur
ekskresi lainnya (kelenjar keringat,kelenjar mamae, kelenjar ludah, dan paru-paru). Jalur
eliminasi yang paling penting adalah eliminasi melalui hati (reaksi metabolisme) dan
ekskresi melalui ginjal.

Tanda Gejala Keracunan


1. Tingkat kesadaran penderita keracunan
Tingkat Kesadaran merupakan Petunjuk penting untuk mengetahui beratnya keracunan
yang dialami oleh penderita. derajat tingkat keracunan didalam toksikologi dibagi dalam
beberapa tingkat berdasarkan kesadaran pasien :
a. Keracunan Tingkat 1 :
Penderita mengantuk tetapi masih sadar dan mudah di ajak berbicara
b. Keracunan Tingkat 2 :
Penderita dalam keadaan sopor, tetapi dapat dibangunkan dengan rangsangan minimal
seperti panggilan atau digoyangkan lengannya.
c. Keracunan Tingkat 3 :
Penderita dalam keadaan soporkoma dan hanya bereaksi terhadap rangsangan
maksimal seperti dengan menggosok tulang dada dengan keras menggunakan kepalan
tangan.
d. Keracunan Tingkat 4 :
Penderita dalam keadaan koma dan tidak ada reaksi sedikitpun terhadap rangsangan
seperti diatas. ini merupakan tingkat yang lebih parah dan mengancam keselamatan
jiwa.
2. Gejala respirasi penderita keracunan
Pada banyak kasus keracunan seringkali adanya hambatan pada jalan nafas yang dapat
menyebabkan kematian, ini merupakan hal yang wajib dan salah satu cara menolong
orang keracunan yaitu dengan memastikan jalan nafas tetap terbuka dan bersihkan/
keluarkan / bebaskan jalan nafas nya jika memang ada hambatan. Sering terjadi
penyumbatan jalan nafas pada penderita keracunan akibat hipersalivasi dan bronkus
yang menyumbat.
3. Tekanan darah dan jantung penderita keracunan
Syok terjadi karena depresi dan berkurangnya curah jantung dan terkadang berhentinya
denyut jantung.
4. Sebagian penderita keracunan mengalami kejang
Kejang ini merupakan pertanda terhadap adanya respon dari SSP atau medula spinalis
atau Hubungan saraf-saraf otot. Selain itu beberapa gejala keracunan yang lain adalah
retensio urin, diare, mual-muntah dan adanya kerusakan ginjal dan hati yang dibuktikan
dengan tes laboratorium.

Efek Racun Terhadap Tubuh


1. Lokal
a. Kulit
Bahan-bahan kimia yang membahayakan kulit menyebabkan kulit memerah, sakit
ketika kulit disentuh, tapi tidak menyebabkan rasa terbakar ketika sudah dicuci. Agen
korosif dapat dengan cepat menyebabkan rasa sakit dan terbakar dan membahayakan
kulit. Mungkin ada rasa melepuh dan kulit berubah warna menjadi abu- abu-putih
atau coklat.
b. Mata
Agen pengiritasi atau agen korosif dapat menyebabkan sakit yang parah ketika
terpapar di mata. Mereka dapat dengan cepat membakar permukaan mata dan
menyebabkan bekas luka bahkan kebutaan. Mata akan terlihat merah dan berair.
Pasien yang terkena racun mungkin tidak ingin membuka matanya dan cahaya akan
menyebabkan rasa sakit di mata.
c. Usus
Bahan kimia beracun dapat membahayan mulut dan tenggorokan atau usus. Pasien
mungkin merasakan sakit perut, muntah dan diare serta muntah dan fesesnya mungkin
mengandung darah. Jika tenggorokan terbakar maka dengan cepat membengkak dan
menyebakan pasien sulit bernafas.
d. Saluran Udara dan Paru-paru
Beberapa gas dan uap dapat mengiritasi hidung, tenggorokan dan saluran udara
bagian atas dan menyebabkan batuk dan terjadi dengan cepat ketika pasien menghirup
zat racun atau ketika setelah 48 jam.

e. Lokasi Injeksi
Racun yang mengiritasi yang disuntikkan ke dalam kulit, seperti racun dari sengatan
serangga dan gigitan ular, dapat menyebabkan rasa sakit dan bengkak di tempat
mereka disuntikkan. Pasien-pasien yang sengaja menyuntikkan diri dengan produk
hewan mungkin mendapatkan efek lokal.

2. Sistemik
Ada banyak cara di mana racun dapat menyebabkan kerusakan:
a. Dengan merusak organ-organ seperti otak, saraf, jantung, hati, paru-paru, ginjal
atau kulit. Kebanyakan racun memiliki efek lebih besar pada satu atau dua organ
dari pada bagian lain tubuh. Organ yang paling terpengaruh disebut organ sasaran.
b. Dengan memblokir pesan antara saraf.
c. Dengan menghentikan tubuh bekerja dengan baik misalnya, dengan memblokir
pasokan energi atau suplai oksigen.
Efek sistemik hanya terjadi ketika jumlah racun dalam tubuh lebih besar dari jumlah
yang dapat tubuh tangani. Biasanya bila kontak dengan racun berlangsung hanya dalam
waktu singkat (akut), efek terjadi segera setelah terpapar dan tidak berlangsung lama.
3. Efek racun terhadap bayi dalam rahim
Beberapa racun dapat membahayakan bayi dalam rahim. Hal ini kemungkinan besar
selama tiga bulan pertama kehamilan ketika sistem saraf dan semua organ utama mulai
terbentuk. Bagian-bagian tubuh dari bayi biasanya terkena adalah tulang, mata, telinga,
mulut dan otak. Jika kerusakan sangat buruk, bayi akan berhenti tumbuh dan mati.
Sindroma Intoksisasi Yang Sering Terjadi
1. Sindroma Antikholinergik
Tanda-tanda delirium, takhikardia, kulit kering dan kemerahan, pupil dilatasi/midriasis,
myokionus, suhu meningkat sedikit, retensi urin, suara usus/peristaltik berkurang. Kejang
dan disritmia dapat terjadi pada kasus berat. Penyebab yang umum: Obat antihistamin,
obat antiparkinson, atropin, scopolamin, obat antispasmodik, obat midriatik.
2. Sindroma Simpatomimetik
Tanda-tanda : Delusi, paranoid, takhikardia, hipertensi, hiperpireksia, diaphoresis,
piloereksi, medriasis, hiperrefleksia. Kejang, hipotensi, dan disritmia dapat terjadi pada
kasus berat. Penyebab yang umum: Cocain, amfetamin, metamfetamin dan derivatnya,
dekongestan (contoh: fenilpropanolamin, efedrin). Tanda-tanda tersebut dapat terjadi pada
overdosis coffein dan teofihin.
3. Intoksikasi Opiat, Obat Sedative atau Etanol
Tanda-tanda : Koma, depresi nafas, miosis, hipotensi, bradikardia, hipotermia, udema
pulmonal, suara peristaltik berkurang, hiporefleksia, dan dapat terjadi kejang. Penyebab
yang umum : Narkotika, Obat-obat barbiturat, benzodiazepin, meprobamat, clonidin, dan
etanol.

Siodronia Kolinergik
Tanda-tanda: Bingung, depresi sistem saraf pusat, lemas, salivasi, lakrimasi, inkontinensia
urin dan fekal, kram gastrointestinal, emesis, diaphoresis, fasikulasi otot, udema pulmo,
miosis, bradikardia atau takhikardia, dan kejang-kejang. Penyebab yang umum: insektisida
organofosfat dan karbamat, fisostigmin, edrofonium, dan beberapa jenis jamur.
Pengkajian dan Prioritas Utama
Pengkajian pasien dengan intoksikasi meliputi pengkajian riwayat kejadian, hal ini bisa
ditanyakan pada pengantar pasien atau pasien sendiri jika ia kooperatif, Pengkajian fisik
meliputi:
1. Initial assessment berupa: Airway- Breathing- Circulation ( ABC)
2. Tingkat kesadaran
3. Pernafasan dan efektifitas nafas
4. Irama jantung
5. Ada tidaknya kejang
6. Keadaan dan warna kulit
7. Besar dan reaksi pupil mata
8. Lesi, bau mulut

Penatalaksanaan Umum Keracunan


1.Airway
Faktor yang paling banyak berpengaruh terhadap kematian akibat overdosis obat dan
keracunan adalah karena kehilangan refleksi perlindungan jalur nafas dengan obstruksi
jalur nafas yang disebabkan oleh lidah yang kaku. Optimasi posisi jalan nafas dan
lakukan intubasi endotrakeal jika perlu. Penggunaan segera naloxon atau flumazenil dapat
menyadarkan pasien yang keracunan opioid atau benzodiazepin berturut-turut sehingga
intubasi endotrakeal tidak perlu dilakukan.
2.Breathing
Untuk menguji pernafasan yang adekuat dilakukan dengan mengukur gas darah arteri.
Pada pasien yang memiliki kadar pCO 2 darah naik (misalnya >60 mm Hg)
mengindikasikan pernafasan perlu dibantu dengan ventilasi. Jangan menunggu sampai
pCO2 pasien diatas 60 mmHg untuk memulai ventilasi.
3.Circulation
Sirkulasi yang cukup diuji dengan mengukur tekanan darah, denyut nadi dan ritme.
Lakukan Cardiopulmonary resuscitation (CPR). Berikan infus cairan dengan ringert
laktat, larutan dekstrosa 5% dalam air atau normal salin. Pada pasien yang memiiki sakit
yang serius (koma, hipotensi, kejang) pasang alat kateter di kandung kemih dan urin
diambil untuk uji toksisitas racun dan pengeluaran urin tiap jam.
4. Dekontaminasi
Dekontaminasi bertujuan untuk mengurangi absorbsi racun di dalam tubuh dan dilakukan
bergantung cara masuk bahan racun.
a. Dekontaminasi permukaan
1) Kulit
Agen korosif dapat dengan cepat melukai kulit dan harus dihilangkan segera.
Untuk dekontaminasi racun di kulit harus berhati-hati sehingga petugas kesehatan
yang menangani tidak ikut terkontaminasi. Kenakan alat pelindung (sarung
tangan, pakaian, dan kacamata) dan mencuci daerah yang terkena dengan segera.
Lepaskan pakaian yang terkontaminasi dan daerah yang terkena dialirkan dengan
air yang banyak. Cuci dengan hati-hati di belakang telinga, di bawah kuku, dan
lipatan kulit. Gunakan sabun dan sampo untuk zat berminyak.
2) Mata
Kornea sangat sensitif terhadap agen korosif dan hidrokarbon. Mata yang terkena
disiram dengan air keran yang banyak atau salin. Jika tersedia, berikan anestesi
lokal tetes mata untuk memfasilitasi irigasi. Jika racun adalah asam atau basa,
periksa pH air mata korban setelah irigasi dan irigasi diteruskan jika pH tetap
normal.
3) Inhalasi
Jauhkan korban dari paparan gas beracun kemudian periksa dan berikan oksigen
bila tersedia. Lakukan ventilasi bila perlu. Amati edema saluran nafas bagian atas
yang ditandai oleh suara serak.
b. Dekontaminasi saluran cerna
1) Muntah
Sirup ipekak dapat diberikan untuk merangsang muntah dan akan efektif jika
racun sudah tertelan kurang dari satu jam dan diberikan dengan cepat. Setelah
sirup ipekak diberikan muntah akan terjadi dalam waktu 20-30 menit. Pemberian
sirup ipekak secara oral sebanyak 30 ml untuk dewasa dan 15 ml untuk anak
dibawah 5 tahun, 10 ml untuk anak dibawah 1 tahun dan tidak direkomendasikan
untuk anak dibawah 6 bulan. Setelah 2-3 menit, berikan 2-3 gelas air. Jika muntah
tidak terjadi setelah 20 menit dari waktu pemberian, pemberian sirup ipekak dapat
diulang. Ipekak tidak boleh diberikan jika penyebab keracunan adalah agen
konvulsan (antidepresan trisiklik, opioid, kokain, isoniazid), tertelan agen korosif
(asam atau basa), dan tertelan hidrokarbon alifatik.
2) Bilas lambung
Bilas lambung dilakukan untuk menghilangkan obat atau racun dalam bentuk
padat dan larutan, untuk memberikan arang aktif pada pasien yang tidak bisa
menelan dan untuk melarutkan dan mengeliminasi agen korosif dari perut dan
mengosongkan perut untuk keperluan endoskopi. Bilas lambung dapat dilakukan
bila pasien dalam keadaan sadar atau apabila napas telah dilindungi oleh pipa
endotrakeal.
3) Katarsis
Katarsis dilakukan untuk mempercepat pengeluaran toksin dari dalam saluran
cerna namun hal ini masih kontroversi karena belum ada penelitian ilmiah yang
membuktikan hal tersebut. Agen katarsis (10% magnesium sitrat 3-4ml/kg atau
70% sorbitol 1-2 ml/kg) diberikan bersamaan dengan arang aktif atau dicampur
membentuk bubur. Ulangi satu sengah kali dosis tersebut jika setelah 6-8 jam
pemberian tidak ada arang aktif dalam tinja.

4) Arang aktif
Arang aktif banyak digunakan sebagai penyerap racun. Hanya beberapa racun
yang sedikit diserap oleh arang aktif seperti alkali, sianida, vetanol, fluorida,
litium dan besi. Berikan arang aktif 60-100g (1g/kg) per oral atau melewati
gastric tube.
5) Antidotum
Antidotum hanya tersedia untuk beberapa obat dan racun. Antidotum yang paling
sering digunakan adalah Asetilsistein untuk keracunan parasetamol dan naloxon
untuk keracunan opioid.
Berikut tabel antidotum lain yang juga digunakan dalam praktek klinis:
Intoksikasi/Toksin Antidotum
Parasetamol N-Asetilsistein
Antikolinergik Fisostigmin
Antikoagulan Vitamin K1, Protamine
Arsenik Dimercaprol
Benzodiazepin Flumazenil
Botulism Antitoksin Botulinum
Penyekat Beta Glukagon
Penyekat kanal kalsium Kalsium, Glukagon
Kolinergik Atropin
Karbon monoksida Oksigen, oksigen hiperbarik
Kaffein, teofilin Propanolol
Amil nitrat, Natrium nitrat, natrium
Sianida
teosulfat, hidroksikobalamin
Iron (zat besi) Deferoksamin
Isoniazid Piridoksin
Timbal BAL, EDTA, DMSA
Merkuri Dimerkaprol, DMSA, penisilamin
Opioid Nalokson
Agen hipoglikemik oral Dekstrose 50%, oktride
Organofosfat dan karbamat Atrofin dan pralidoksime
SSRI Klorpromazin
Antidepresan trisiklik Natrium bikarbonat
Alkohol toksik Drip etanol, dialisis
Labetolol atau fentolamin dengan
Kokain, Amfetamin
esmolol, metoprolol
Digoksin Antibodi Digoksin Fab

LIFTING & MOVING

A. Kategori Pemindahan Pasien


1. An Emergency Move: pemindahan segera dilakukan ketika terdapat bahaya yang
mengancam pasien atau penolong
2. An Urgent Move: dilakukan ketika butuh pertolongan segera dan harus dipindahkan
dengan cepat
3. A Non-Urgent Move: dilakukan bila tidak ada ancaman nyawa dan pasien dapat
dipindah dalam kondisi normal
B. Prinsip Umum
1. Jangan menambah cedera/keparahan pada pasien
2. Pindahkan pasien hanya jika perlu saja
3. Pindahkan pasien sesedikit mungkin
4. Pindahkan tubuh pasien sebagai satu kesatuan
5. Gunakan teknik mengangkat dan memindahkan yang benar untuk menjamin
keamanan diri anda sendiri
6. Usahakan ada satu orang yang memberikan komando ketika memindahkan pasien

C. Emergency Moves diperlukan pada keadaan:


1. Api/bahaya terbakar
2. Bahaya ledakan/bahan-bahan berbahaya lain
3. Kesulitan melindungi pasien dari bahaya di lokasi kejadian
4. Kesulitan menolong pasien dalam kendaraan/tempat lain yang memerlukan tindakan
lifesaving
5. Kesulitan memberikan pertolongan karena lokasi atau posisi pasien

D. Jenis-jenis pemindahan darurat


1. Clothes drag (tarikan baju)
2. Blanket drag (tarikan selimut)
3. Arm-to-arm drag (tarikan tangan ke tangan)
4. Fire fighter drag (tarikan pemadam kebakaran)
5. Emergency drag from a vehicle (pemindahan dari kendaraan)

Gambar Close Drag Gambar Tarikan Selimut

Gambar Fire fighter drag

Gambar Arm-to-arm drag

E. Cervical Collar Application


1. Penolong pertama menjaga leher tetap stabil
2. Penolong kedua memasang cervical collar
3. Penolong 1 memberikan bantuan ke penolong kedua sampai pasien dipindahkan ke
LSB

Gambar Pemasangan cervical collar pada pasien trauma


F. K E D Application

Gambar Pemasangan KED pada korban kecelakaan sebelum dilakukan evakuasi

1. Stabilisasi leher korban dan lakukan primary survey

2. Pasang cervical collar

3. Posisikan di belakang pasien. Koordinasikan semua gerakan untuk membatasi


gerakan tulang belakang. Kaitkan pengikat panel ke dada dengan baik melewati
bawah ketiak

4. Kencangkan pengikat dada


5. Kendurkan setiap kaki di sekitar kaki ipsilateral (sisi yang sama) dan masukkan tali
gesper melewati selakangan korban lalu kaitkan ke pinggang. Kencangkan dengan pas

6. Pasang pengikat kepala di bagian dagu dan dahi. Eratkan melewati samping kepala ke
bagian belakang KED

G. Rapid Extrication
1. Steps vary depending on:
a. Size and make of vehicle
b. Patient’s location inside vehicle
2. Rescuer 1 maintains neck stabilization and Rescuer 2 perform initial assessment
3. Rescuer 1 maintains in-line stabilization
4. Rescuer 2 Apply semirigid cervical collar
5. Rescuer 2 supports midthorax as rescuer 3 frees lower extremities
6. Patient lowered onto long spine board
7. Patient centered and secured on spine board
Gambar Rapid Ekstrikasi

H. Long Spine Board-Supine Patient


1. Secure forehead across supraorbital ridge
2. Secure lower head across front of cervical collar
3. Secure legs with two or more straps above and below knees

Long Spine board standing patient:


a. Rescuer 1 maintains manual in-line stabilization; rescuers 2 and 3 support
patient;
b. Patient is lowered onto long spine board for further immobilization

I. Cara Mengangkat Cots dan Strechers Secara Aman


1. Ketahuilah berat beban yang akan diangkat
2. Minimal 2 orang
3. Bila diperlukan mintalah bantuan tenaga
4. Ketahuilah batas beban maksimal strecher
5. Mengangkat dengan posisi jongkok
6. Pegangan strecher dengan kuat dan posisi tangan menghadap ke atas, jari tangan
dalam keadaan rapat
Gambar Posisi sewaktu akan mengangkat
pasien

Gambar Posisi mengangkat korban

Gambar Mengangkat pasien

Gambar Mengangkat pasien dengan posisi tidak benar

J. Beberapa Tips Dalam Mengangkat Pasien


1. Bekerja secara terkoordinasi dan lakukan komunikasi yang baik
2. Jagalah punggung anda agar tetap tegak, hindari posisi yang membuat punggung
terpluntir
3. Apabila membungkuk, gunakan sendi panggul dan sendi lutut, jangan membungkuk
di punggung
4. Jangan melakukan hiperekstensi pada punggung
5. Kalau mungkin hendaknya partner anda sesuai tingginya dengan anda
Gambar Kerja Tim dalam proses evakuasi

K. Cara membawa pasien melalui tangga secara aman


1. Tantangan: terlalu curam, pijakan kaki terlalu sempit, anak tangga tertutup oleh
material, tangga membelok tajam, berputar dengan anak tangga segitiga.
2. Pelajari tantangan yang ada, bersihkan hal-hal yang menghalangi jalan, periksa
kembali sebelum membawa pasien naik/turun tangga
3. Upayakan mendapatkan tenaga lain yang akan membantu di belakang EMT yang
sedang berjalan mundur khususnya saat turun tangga sebagai penunjuk jalan
4. Bila membawa pasien yang berat menaiki tangga, pakailah 2 orang di bagian atas

Gambar Memindahkan pasien melewati tangga

L. Prinsip-prinsip Memindahkan pasien


1. Emergency Moves
2. Urgent Moves/memindahkan secara darurat
3. Non Urgent Moves/pemindahan yang tidak segera
4. Direct Ground Lift/mengangkat lansung dari tanah
5. Extremity Lift/mengangkat kaki
6. Memindahkan pasien dari tempat tidur ke strecher/tandu

Gambar Memindahkan pasien tanpa alat (Direct Ground Lift)


Gambar Extremity Lift

Gambar One-Person Walking Assist

M. Peralatan untuk memindahkan pasien


1. Wheeled Strecher
2. Portable Strecher
3. Stair Chair
4. Long Back Board
5. Short Back Board
6. Scoop (Orthopaedic) Strecher
7. Flexibel Strecher

Gambar Wheeled Gambar Portable stretcher Gambar Stair Chair


Ambulan stretcher

Gambar LSB Gambar KED Gambar Scope Strecher


Gambar Memindahkan pasien dengen teknik Log roll

N. Perawatan Peralatan
1. Pelajari buku petunjuk pemakaian
2. Jangan hanya mempelajari cara pemakaiannya saja tetapi juga cara membersihkan,
memperbaiki, merawat dan memeriksa
3. Periksa peralatan saat awal dan akhir tugas sebelum serah terima dengan petugas lain
4. Hindari ketidak-lengkapan peralatan saat menolong oleh karena hilang atau rusak
5. Sediakan waktu memeriksa kebersihan maupun fungsi peralatan yang ada

Gambar Memindahkan pasien pada trauma spinal


SISTEM PREHOSPITAL DAN RUJUKAN NASIONAL

Pelayanan kesehatan kegawatdaruratan atau Emergency Medical Service (EMS)


adalah suatu pelayanan terkoordinasi yang memberikan bantuan medis, termasuk pertolongan
dari personel yang terlatih, stabilisasi, transportasi, dan pertolongan pengobatan lebih lanjut
pada kasus kedaruratan medis ataupun trauma (Greaves et al., 2001). Interfacility transfer
dilakukan bila pasien dengan kondisi penyakit tertentu dirawat di pusat kesehatan tertentu,
dan tempat tersebut tidak memiliki kemampuan untuk menangani, maka diperlukan transfer
atau pemindahan pasien ke fasilitas kesehatan yang lebih baik (Uren, 2009).
Interfacility transfer memiliki peran yang sangat penting dan sangat menentukan
kondisi akhir dari pasien kritis yang dibawa (Belway et al., 2006).
Proses interfaclity transfer dan faktor-faktor lain yang terjadi sebelum penderita tiba di IGD
sangat besar pengaruhnya terhadap prognosa penderita. Pengenalan dan penatalaksanaan
sedini mungkin pada suatu kondisi kegawatan akan sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan terapi, dan berarti sangat erat hubungannya dengan proses interfacility transfer.
Untuk pasien-pasien prioritas 1 dan 2, (terutama prioritas 1), pelayanan
kegawatdaruratan yang segera sangat diperlukan bahkan sejak fase pra-rumah sakit. (Dunn
et al., 2007). Di Indonesia kedokteran gawat darurat, prehospital dan Emergency Medical
Service (EMS) belum berkembang, sehingga belum ada pihak yang melakukan pembinaan
pada interfacility transfer penderita kritis. Sedikitnya perhatian pada interfacility transfer
juga dapat dilihat dari tidak adanya audit atau penelitian tentang interfacility transfer di
Indonesia walaupun pemerintah sebenarnya telah mengatur tentang sistem rujukan melalui
Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 032/Birhup/72 tanggal 4
September 1972 mengenai sistem rujukan nasional.
Akibat yang dapat ditimbulkan dari proses interfacility transfer yang buruk adalah
kejadian yang yang tidak diinginkan sampai kematian.Rujukan tanpa data penderita yang
lengkap, waktu tinggal di IGD menjadi lebih lama, dilakukan pemeriksaan berulang
(meningkatkan biaya) dan meningkatkan mortalitas (Fraser. 2009), juga hipotensi dan
hipoksia yang semestinya tidak terjadi (Wallace, 1999). Sangat penting mengetahui pasien
yang berisiko saat proses rujukan dan memperkirakan apa yang mungkin terjadi selama
perjalanan untuk menentukan persiapan pasien dan sumber daya yang akan digunakan.
Greaves et al., 2001 membagi klasifikasi transfer menurut American College and
Society of Critical Care Medicine menjadi 4, yaitu :

1. Rujukan primer : pemindahan penderita dari tempat kejadian ke rumah sakit


2. Rujukan sekunder : pemindahan penderita dari rumah sakit awal ke rumah sakit yang
lebih tinggi untuk mendapatkan penanganan spesialis
3. Rujukan tersier : pemindahan penderita karena alasan sosial, misalnya karena lokasi
rumah sakit lebih dekat dengan rumah penderita
4. Rujukan kategori empat : pemindahan antar rumah sakit misalnya karena rumah sakit
awal sudah tidak mampu menampung karena kekurangan tempat perawatan.

Proses perujukan pasien dilakukan dengan ambulans disertai petugas kesehatan yang
bertanggung jawab terhadap kondisi pasien selama proses rujukan tersebut (Mackenzie et
al., 2011).

Proses rujukan di bagi atas 3 tingkatan yaitu sebelum proses rujukan, selama proses
rujukan dan post-transfer. Sebelum merujuk harus dilakukan stabilisasi penderita (Airway,
breathing, circulation, disability) dan pemberitahuan awal kepada rumah sakit rujukan.
Selama proses merujuk, perawatan dan monitoring keadaan penderita harus dilakukan secara
terus menerus. Untuk menjamin perawatan penderita secara berkesinambungan maka perlu
alih data yang baik dari tim pengirim kepada tim penerima pada fase Post transfer. Tingkat
standart interfacility transfer yang tinggi sangat dipengaruhi oleh tenaga pengantar yang
kompeten, dukungan alat dan obat yang lengkap (Mackenzie et al., 2011).
Persiapan sebelum proses rujukan meliputi ambulans, petugas, komunikasi,
dokumentasi, peralatan pendukung, persiapan obat-obatan, pengkajian risiko dan tujuan
rujukan (Prehospital Guideline, 2002).
a. Ambulans
Hal penting adalah ambulans yang digunakan harus muat untuk petugas kesehatan
melakukan tindakan kegawatdaruratan, harus memiliki alat-alat kegawatdaruratan dasar.
Alat-alat yang harus muat dalam ambulan antara lain tabung oksigen, monitor, pompa infus,
ventilator ( Lilja, 2004)(Greaves et al., 2001). Perlengkapan ini harus dicek setiap hari,
dibersihkan, diisi kembali bila telah digunakan. Tata letak peralatan dalam ambulans harus
tidak membahayakan penderita ataupun petugas kesehatan (Mistovich & Karen, 2010).
Ambulans tidak boleh menggunakan kecepatan tinggi agar dapat meminimalkan
terjadinya proses akselerasi maupun deselerasi. Penggunaan lampu sirine bertujuan untuk
sampai ke tempat tujuan dengan cepat dan lancar. (Greaves et al, 2001).
b. Petugas
Keahlian dan kemampuan petugas ambulans merupakan hal penting dalam proses rujukan.
Beberapa tingkatan keahlian petugas dalam penanganan kegawatdaruratan menurut National
Highway Traffic Safety Administration (NHTSA), yaitu :
1. Emergency Medical Responder (EMR), yaitu petugas dengan kemampuan level
pertama, yang mampu melakukan penanganan pertama, selama menunggu responder
tingkat yang lebih tinggi tiba. Petugas dengan level ini harus memiliki kompetensi
dasar basic airway, ventilasi, terapi oksigen, analisa tanda vital penderita, stabilisasi
dan prediksi luka serius, kontrol perdarahan, irigasi mata, respon kegawatan,
resusitasi jantung paru, pertolongan partus darurat.
2. Emergency Medical Technician (EMT), yaitu petugas yang mampu melakukan
perawatan darurat dasar dan pengangkutan pasien. Intervensi yang dilakukan hampir
sama dengan EMR ditambah dengan mampu menggunakan peralatan dasar yang ada
di dalam ambulans, misalnya pulse oximetry dan alat pengukur tekanan darah.
3. Advance Emergency Medical Technician (AEMT), yaitu petugas yang memiliki
kemampuan mahir dalam penanganan gawat darurat, misalnya mampu memasang
peralatan jalan nafas lanjut (advance airways device), pemasangan infus intravena,
intraossesous dan memantau kadar gula darah.
4. Paramedis, yaitu petugas dengan kemampuan EMT dan AEMT, ditambah lagi dengan
kemampuan pemeriksaan dan penanganan lanjut pra rumah sakit yang paling tinggi.
Petugas pada tingkatan ini dirancang untuk mengurangi kegagalan dan kematian
penderita yang dilakukan transfer (Mistovich & Karen, 2010).
Menurut American Collage of Critical Care pada interhospital transfer minimal 2
(dua) orang petugas yang mendampingi untuk 1 (satu) penderita. Untuk penderita yang tidak
stabil didampingi oleh dokter yang memiliki keterampilan dalam manajemen jalan nafas,
resusitasi dan berpengalaman dalam perawatan kritis. Dokter harus berpengalaman dan
kompeten dalam transfer medis serta didampingi oleh perawat, paramedis yang juga
berpengalaman mengenai prosedur perawatan intensif setidaknya selama 2 tahun ( Greaves et
al., 2001). Petugas ambulans harus memiliki mampu melakukan prosedur ACLS, BLS
dengan baik (Sikka N et al., 2005).
c. Obat dan Peralatan
Persiapan obat-obatan untuk transfer harus mempertimbangkan lamanya perjalanan
dan kemungkinan yang dapat terjadi. Obat-obatan dan alat yang di rekomendasikan untuk
dibawa antara lain (Gomersall and Joynt, 2009) :
 Obat-obatan
Epinephrine amiodarone inotropik
Analgetik kortikosteroid salbutamol
Dextrose 40 % Diazepam
 Alat untuk bantuan pernafasan
Oksigen, masker Suction Bag valve mask
Peralatan intubasi Pulse oksimetri Ventilator yang bisa dibawa
Peralatan cricothyroidectomy
 Alat untuk sirkulasi
Monitor ECG / defibrillator Pengukur tekanan darah
Infusion pump Cairan Syringe jarum suntik
 Peralatan lain
Kateter urine Sarung tangan Nasogastric tube
Perban, antiseptik, jarum dan benang jahit Bidai Nebulizer
d. Komunikasi
Komunikasi yang baik sangat penting dalam proses transfer. Tujuan komunikasi selain
melaporkan mengenai kondisi pasien, perubahan kondisi pasien, tapi juga untuk mengetahui
perkembangan pasien selama di dalam perjalanan. Komunikasi juga dapat memberitahukan
tindakan apa saja yang dapat dilakukan jika terjadi perubahan kondisi pasien. Sebelum
dilakukan transfer, bila pasien yang dirujuk dengan penyakit kritis, rumah sakit yang akan di
rujuk telah mengetahui dan siap menerima pasien yang akan di rujuk untuk dapat segera
melakukan prosedur dan pemeriksaan penunjang lainya yang diperlukan. (Warren et al.,
2004)
Selain itu, kemampuan bekerja secara tim juga diperlukan dalam proses transfer.
Komunikasi dapat dilakukan melalui telefon bebas pulsa, radio komunikasi (Warren et al.,
2004, Bersten and Soni, 2009)
Kondisi pasien untuk proses transfer dibagi menjadi 4 tingkatan, yaitu :
Tingkat 0
Kondisi pasien bisa dilakukan di ruang perawatan biasa. Pasien dalam tingkatan ini,
proses transfernya tidak perlu di dampingi dokter maupun paramedis.
Tingkat 1.
Pasien dengan kondisi yang dapat mengalami perburukan, atau pada pasien yang dari
ruang perawatan akut yang memerlukan penanganan lebih khusus. Hal ini pada proses
transfer perlu di sertai oleh tim perawatan kritis atau paramedik.
Tingkat 2
Penderita dengan kondisi yang memerlukan observasi ketat dan intervensi serta
memerlukan perawatan yang lebih tinggi, penderita perlu didampingi dokter atau paramedik.
Tingkat 3.
Penderita dengan kondisi yang memerlukan dukungan pernafasan karena mengalami
gagal nafas atau gangguan jalan nafas, mengalami gagal organ multipel. Pasien dengan
tingkatan ini dalam proses transfernya memerlukan pengawalan oleh petugas terlatih dan
berpengalaman seperti dokter dan paramedik (Guideline, 2009).
Penderita dinyatakan stabil berdasarkan kondisi klinis, tanda vital, pemeriksaan fisik
maupun laboratorium. Penderita dengan kondisi kritis di nyatakan tidak stabil berdasarkan
(Hall et al., 2006) :
 Penurunan kesadaran
 Laju pernafasan < 10 x/menit atau > 30 x/menit
 Denyut nadi < 50 x/menit atau > 100x/menit
 Tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau > 200 mmHg
Selama perjalanan interhospital transfer perlu dilakukan pengamatan keadaan
penderita secara berkala , sehingga bila terjadi perubahan atau adanya efek yang tidak di
inginkan terjadi dapat segera diketahui dan bila perlu dapat segera dilakukan tindakan untuk
mengurangi cedera lebih lanjut. Efek yang tidak diinginkan mulai dari perubahan frekuensi
nadi, hipotensi atau hipertensi, aritmia, perubahan frekuensi nafas, hipoksia, hipotermi
bahkan sampai dengan henti jantung (Waydhas, 1999).
Efek tidak di inginkan di dalam perjalanan proses transfer ditandai dengan : - Gagal
nafas dengan frekuensi nafas < 12 x/menit
- Desaturasi ( Saturasi < 90%)
- Tekanan darah sistolik < 90 mmHg
- Aritmia jantung
- Bradiaritmia ( Nadi < 60 x/menit)
- Tachyaritmia ( Nadi > 100 x/menit)
- Penurunan kesadaran (GCS < 15)
- Hipotermi (suhu < 35ᴼC) , (Lee et al., 2010).
Tindakan yang harus dilakukan selama proses transfer adalah :
1. Penilaian ulang terhadap kondisi penderita
2. Melakukan pemeriksaan tanda vital secara rutin
3. Melakukan tindakan intervensi
4. Monitoring penggunaan monitor, ventilator, syringe atau infuse pump
5. Melakukan pencatatan semua tindakan dan kondisi penderita (Greaves I, et al., 2001)
Di Indonesia, semua aturan dan tata cara rujukan diatur dalam :
1. Permenkes No. 19 tahun 2016 mengenai SPGDT
2. Kepmenkes No. 143/Menkes-kesos/SK/II/2001 tanggal 23 Februari 2001
3. Permenkes No. 001 tahun 2012 tentang Sistem rujukan pelayanan kesehatan
EMERGENCY DRUG

1. Epinefrin
Epinefrin merupakan obat pilihan pertama pada pasien henti jantung. Pada kondisi henti
jantung, epinefrin diberikan setiap 3 - menit. Indikasi utama penggunaan epinefrin adalah
pada kondisi berikut:
a. Henti jantung dengan irama ventrikel fibrilasi
b. Henti jantung dengan irama ventrikel takikardi, yang tidak berespon terhadap
pemberian defibrilasi pertama
c. Henti jantung dengan Pulseless electrical Activity (PEA)
d. Henti jantung dengan irama asystol
e. Bradikardi dengan gejala ketidak - stabilan hemodinamik.
Obat ini dapat diberikan dengan beberapa cara sebagai berikut:
a. Intra vena (bolus); dosis henti jantung adalah 1 mg diikuti dengan 20 ml
normal salin, diberikan setiap 3 - 5 menit
b. Endotracheal tube (ETT): dosis 2 - 2.5 kali dosis IV
c. Infus: 1 mg (1 ml of 1:1000) ditambahkan ke 500 ml NS atau D5% .

2. Norepinefrin
Norepinefrin merupakan obat adrenergik yang bekerja utama pada reseptor alpha adrenergik
pada pembuluh darah. Efek utama obat ini adalah vasokontriksi pada pembuluh darah.
Indikasi pemberian obat ini adalah pada pasien dengan syok kardiogenik, syok septik, syok
neurogenik, syok anafilatik, dan syok hipovolumik (lakukan resusitasi cairan sebelum
pemberian obat). Dosis pemberian adalah 0.5 - 30 g/menit.
3. Dopamin
Obat ini merupakan obat yang bekerja pada reseptor alpa (pada pembuluh darah) dan reseptor
beta (pada jantung). Kekuatan efek reseptor alpa akan semakin meningkat seiring dengan
peningkatan dosis. Dopamin merupakan obat yang digunakan untuk syok kardiogenik, syok
septik, syok neurogenik, syok anafilatik, dan syok hipovolumik (lakukan resusitasi cairan
sebelum pemberian obat).
Dosis pemberian dopamin adalah sebagai berikut:
a. Dosis rendah 1 - 2 g/kg/menit: terjadi dilatasi renal dan pembuluh darah
mesenterik
b. Dosis sedang 2 - 10 g/kg/menit: terjadi peningkatan kontraktilitas miokard
c. Dosis tinggi > 10 g/kg/menit: terjadi vasokontriksi pembuluh perifer.
Dopamin dapat diberikan sebagai alternatif jika atropin tidak efektif. Dosis pemberian
dopamin adalah 2 - 10 mcg / kg / menit (melalui infus). Cara pemberian adalah melalui IV
atau vena sentral.
4. Dobutamin
Dobutamin merupakan obat yang bekerja dominan pada reseptor beta adrenergik pada otot
jantung. Indikasi pemberian obat ini adalah gagal jantung akut dan syok kardiogenik. Cara
pemberian adalah melalui infus via vena perifer atau vena sentral dengan dosis 2 - 20
g/kg/menit.
5. Adenosin
Adenosine memiliki waktu paruh yang sangat singkat yakni 8 - 10 detik. Obat ini diberikan
melalui jalur intra vena. Dosis pemberian pertama adalah 6 mg sedangkan dosis kedua
(diberikan jika diperlukan) adalah 12 mg. Setiap pemberian adenosin harus dilakukan dengan
cepat diikuti oleh pemberian iv flush dengan cairan NS.

Adenosine harus diberikan pada kondisi yang selektif. Jika kondisi takikardi diikuti oleh
penurunan status hemodinamik, maka adenosine hanya bisa diberikan jika irama EKG
menunjukkan gambaran komplek QRS yang sempit dan reguler. Sedangkan jika kondisi
takikardi tidak disertai dengan penurunan status hemodinamik, maka adenosine bisa
diberikan pada semua gambar EKG yang reguler.

6. Amiodarone
Amiodarone merupakan obat anti aritmia yang bisa digunakan pada spektrum yang luas.
Obat ini bisa digunakan baik pada takikardi dengan komplek QRS yang lebar ataupun yang
sempit, baik reguler ataupun ireguler. Obat ini merupakan obat anti aritmia kelas 3 dan
bekerja dengan cara menghambat konduksi dari nodus SA ke nodus AV pada jantung.

Pemberian amiodarone dilakukan melalui jalur IV bolus dengan dosis 150 mg dan dapat
diulang 10 min kemudian jika ventrikel takikardi masih terjadi, dengan dosis yang sama.
Setelah itu, dapat diikuti dengan pemberian IV infus dengan dosis 1 mg / menit selama enam
jam.

7. Atropin
Atropin merupakan obat pilihan utama untuk penanganan bradikardi. Dosis pemberian adalah
0.5 mg iv bolus dan dapat diulang setiap 3 - 5 menit dengan dosis maksimal adalah 3 mg.
Indikasi pemberian obat ini adalah sebagai berikut:
 Bradikardi dengan gangguan hemodinamik
 Keracunan akut agen kolinergik (organofosfat).
Rute pemberian adalah dengan IV push dan bisa juga dengan melalui ETT.
8. Procainamide
Procainamide dapat diberikan pada pasien takikardi dengan komplek QRS yang lebar tanpa
disertai gangguan hemodinamik. Obat ini diberikan melalui jalur infus dengan dosis 20 - 50
mg / menit sampai takikardi teratasi atau terjadi hipotensi, komplek QRS memanjang > 50 %,
atau dosis maksimum telah di berikan (17 mg / kg / menit). Untuk mempertahankan kondisi
berikan dengan dosis 1 - 4 mg / menit melalui infus.
BALUT BIDAI

A. TUJUAN PEMBALUTAN YAITU :


- Mencegah kontaminasi
- Menghentikan perdarahan (Balut tekan)
- Memperbaiki suhu tubuh
- Melekatkan sesuatu, seperti obat & bidai

B. MACAM-MACAM PEMBALUT YANG DIPAKAI :


- Pembalut segitiga / mitella
- Pembalut pita gulung / verband
- Pembalut elastic / Elastis verband
- Pembalut cepat / quick verband

Hal-hal penting dalam pembalutan :

1) Luka terlebih dahulu dibersihkan


2) Balutan harus bersih
3) Balutan mencakup seluruh permukaan luka
4) Dalam pembalut tidak boleh terlalu kencang atau longgar
5) Bila ada simpul balutan, usahakan sedater mungkin / jangan di atas luka
6) Bila timbul rasa kebal, kesemutan & dingin di sekitar balutan, segera lepas dan
kendorkan atau perbaiki balutan
7) Pastikan bentuk bagian yang akan dibalut (misalnya : bulat, siku, datar)

C. BIDAI / PEMBIDAIAN

BIDAI : Alat yang digunakan untuk mempertahankan (fiksasi) tulang yang patah.

TUJUAN PEMASANGAN BIDAI :

- Mempertahanakan posisi tulang yang patah agar tidak bergerak / bergeser


- Mencegah terjadinya komplikasi
- Memudahkan dalam transpotasi penderita
- Memberikan rasa nyaman

MACAM- MACAM ALAT BIDAI

- Anggota badan sendiri


- Papan, bambu, dahan, dll
- Karton, majalah, kain
- Air splint
- Vacum matrass
- Traksi, neck collar, spalk

PRINSIP – PRINSIP PEMASANGAN BIDAI :

- Bahan untuk bidai, tidak mudah patah dan tidak lentur


- Panjang bidai minimal mencakup 2 sendi
- Bidai tidak dipasang di atas luka atau fraktur
TUJUAN PEMBALUT DAN PEMBIDAIAN :

1. Mencegah terjadinya infeksi dan penularan


2. Menghentikan pendarahan
3. Imobilisasi (membuat stabil)
4. Mengurangi penderitaan rasa sakit
5. Mencegah komplikasi lebih lanjut
6. Mengurangi beban psikologis penderita
GIGITAN BINATANG/ SERANGGA

Berbagai jenis binatang menggigit manusia, mulai dari hewan jinak yang dipelihara
manusia di rumah sampai dengan hewan buas yang tinggal di alam bebas. Efek gigitan bisa
bervariasi, mulai dari rasa gatal sampai mengancam jiwa. Jenis gigitan yang paling berbahaya
justru bisa terjadi di rumah anda sendiri.

Gigitan binatang bisa terjadi karena adanya provokasi ataupun tanpa provokasi
sebelumnya. Gigitan karena provokasi terjadi karena seseorang mengganggu binatang
misalnya mengganggu anjing yang sedang makan.

Gejala infeksi infeksi merupakan gejala yang harus diwaspadai, biasanya diawali dengan
adanya gejala sebagi berikut:

 Kemerahan pada sekitar luka gigitan


 Bengkak
 Nanah yang keluar dari luka
 Sakit yang makin hebat
 Panas disekitar luka
 Gambaran kemerahan yang kelur disekitar gigitan
 Demam

Sebagian besar luka binatang harus dievaluasi oleh dokter di klinik ataupun UGD di rumah
sakit karena alasan sebagai berikut:

 Adanya resiko infeksi


 Adanya patahan gigi ataupun benda asing lainnya di dalam dalam luka
 Adanya kerusakan saraf atau pembuluh darah

Binatang berikut ini memerlukan evaluasi yang ketat mengingat mempunyai resiko infeksi
yang tinggi:

 Gigitan anjing – karena luka robekan akibat gigitan


 Gigitan kucing – karena luka tusukan gigi akibat gigitan
 Gigitan binatang buas dan resiko
Beberapa luka memerlukan perlakuan khusus antara lain:

 Gigitan akibat binatang buas atau kencing dan anjing yang liar
 Kemungkinan adanya gigi, kotoran atau brnda lain didalam luka
 Pendarahan yang masif
 Kelemahan atau rasa baal di area gigitan ataupun tempat yang jauh dari gigitan

Pertolongan pertama sebelum dilakukan permeriksaan oleh dokter meliputi:

 Bersihkan luka dengan air mengalir dan sabun segera setelah kejadian gigitan
 Penyiiktan dengan sikat yang halus dapat dilakukan selama pembilasan dengan air
 Letakkan kain atau perban yang bersih diatas luka gigitan untuk menutupi luka
 Bawa ke klinik atau rumah sakit untuk dilakukan penanganan yang sesuai

Katika tiba di rumah sakit paramedis harus melakukan evaluasi terhadap resiko infeksi,
mencari luka-luka yang lain, dan meminimalkan terjadinya luka perut ataupun deformitas
yang dapat terjadi akibat gigitan binatang tersebut.

Beberapa tindakan yang harud dilakukan antara lain:

INSPEKSI

Luka gigitan harus diperiksa secara keseluruhan untuk mencari adanya derbis seperti
kotoran, rumput, gigi, pakaian atau benda lain yang masih tertanam di dalam luka gigitan.
Seringkali memerlukan anedtedi lokal dengan lidokain untuk menghilangkan nyeri pada saat
pemeriksaan sehingga seluruh bagian dati luka dapat dievaluasi dengan baik.

FOTO RONTGEN

Untuk melihat adanya patah tulang binatang yang menggigit dilakukan poto rontgen.

IRIGASI

Irigasi luka merupakan al yang sangat penting, terutama untuk mencegah terjadinya
infeksi. Berbagai macam tektik irigasi dapat dilakukan tetapi pada intinya sama yaitu
membuang benda yang akan mengkontamonsi luka. Irigasi dapat dilakukan dengan
menggunakan cairan biasanya/ NaCI 0,9 % , yaitu dengan cara debridement

Debridement adalah membuang jaringan yang nekrosis (mati) dan sisa kotoran yang
menempel. Gigitan anjing biasanya merupakan tipe luka robek yang akan menyebabkan
compang camping dan tidak bisa diperbaiki, untuk itu jaringan ompang camping dan tidak
bisa diperbaiki, untuk itu jaringan tersebut harus dibuang. Jaringan tersebut biasanya tidak
ada suplai darah akibat pembuluh darah yang robek sehingga jika dibiarkan jaringan akan
mati/ nekrosis dan menjadi sumber infeksi. Selain mengurangi resiko infeksi tindakan ini
juga akan menyebabkan penyembuhan luka yang lebih cepat dan lebih baik.

Tidak semua jenid luks gigitan memerlukan penjahitan, jika terdapat jenis luka gigitan
yang penjahitan dapat dilakukan dengan cara primer dan sekunder. Pada penjahitan yang
dilakukan segera setelah luka disebut penjahitan primer, sedangkan penjahitan yang
dilakukan setelah beberapa hari kemudian disebut penjahitan sekunder.

Obat – obatan

Sebagian besar gigitan binatang diberikan pengobatan untuk mengobati rasa nyeri
misalnya analgetik (asetaminofen ataupun ibupropen), jika masih terasa nyeri dapat diberikan
analgenik dari golongan narkotik umtuk jangka waktu yang singkat.

Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi, beberapa luka yang


memerlukan terapi antibiotik antara lain:

 Gigitan kucing dengan luka tusuk yang dalam


 Luka yang memerlukan debridement
 Luka yang sangat terkontaminasi
 Gigitan pada orang tua
 Luka gigitan pada orang yang mengidap penyakit kronis seperti diabetes

GIGITAN ULAR

Gigitan ular berbisa mempunyai efek yang beragam mulai dari luka sederhana sampai
dengan mengancam nyawa dan menyebabkan kematian.

Gejala dan tanda yang tinbul di bagian dalam:

1. Efek local : pendarahan, bengkak dan nyeri


2. Pendarahan : pendarahan di dalam saluran cerna ataupun otak juga mulut dan dari
luka lama
3. Efek neurologis : kelumpuhan otot terutama otot pernafasan, yang diawali dengan
gangguan penglihatan, kesemutan, bicara susah dan sulit bernafas
4. Miotosik : kerusakan sel-sel
5. Mata : kerusakan langsung pada mata yang terkena bisa dan menimbulkan rasa nyeri

Pertolongan pertama yang dapat diberikan adalah :


 Imobilsasi daerah yang terkena dengan badai untuk meminimalkan gerakan untuk
mencegah penyebaran racun yang lebih cepat
 Jangan mengiris dan menghisap
 Jangan menggunakan es untuk mengompres
 Jangan menggunakan alkohol karena akan menyebabkan dilatasi dan mempercepat
absorpsi racun
 Jangan menggunakan turniket untuk mencegah penyebaran racun
 Lepaskan perhiasan seperti cincin atau gelang yang dapat menhambat aliran darah jika
jaringan menjadi bengkak

GIGITAN SERANGGA

Definisi

Insect bites adalah gigitan atau sengatan serangga. Insect bites adalah gigitan yang
diakibatkan karena serangga yang menyengat atau menggigit seseorang.

Penyebab

Kebanyakan gigitan dan sengatan tidak terjadi secara tiba-tiba. Gigitan atau sengatan
dapat menyuntikkan bisa (racun) yang tersusun dari protein dan substansi lain yang mungkin
memicu reaksi alergi terhadap penderita. Gigitan serangga juga mengakibatkan kemerahan
dan bengkak di lokasi yang tersengat.

Lebah, tawon, penyengat, si jaket kuning, dan semut api adalah anggota keluarga
Hymenoptera. Gigitan atau sengatan dari mereka dapat menyebabkan reaksi yang cukup
serius pada orang yang alergi. Kematian yang diakibatkan oleh serangga 3 – 4 kali lebih
sering dari pada kematian yang diakibatkan oleh gigitan ular.

Ketika lebah menyengat, dia melepaskan seluruh alat sengatnya dan sebenarnya ia mati
ketika proses itu terjadi. Seekor tawon dapat menyengat berkali-kali karena tawon tidak
melepaskan seluruh alat sengatnya setelah ia menyengat.

Gejala
Gejala dari gigitan serangga bermacam-macam dan tergantung dari berbagai macam
faktor yang mempengaruhi. Kebanyakan gigitan serangga menyebabkan kemerahan,
bengkak, nyeri, dan gatal-gatal di sekitar area yang terkena gigitan. Kulit yang terkena gigitan
bisa rusak dan terinfeksi. Gigitan serangga juga mengakibatkan bengkak pada tenggorokan
dan kematian karena gangguan pernapasan.

Pengobatan

Jika terjadi gejala seperti di atas maka berilah antigistamin. Jika gigitan menyebabkan
infeksi (kemerahan dengan atau tanpa nanah, suhu tubuh tinggi, demam, atau kemerahan di
tubuh), hubungi dokter. Jika ada luka yang terbuka, mungkin itu sengatan racun laba-laba.

Seseorang yang mempunyai riwayat tergigit atau tersengat serangga harus pergi ke
rumh sakit terdekat jika mendapati gejala lain. Sedang orang yang tidak mempunyai riwayat
tergigit serangga juga harus ke bagian gawat darurat jika :

1. Sesak nafas
2. Dada sesak atau sakit
3. Tenggorokan sakit atau susah berbicara
4. Pingsan atau lemah
5. Infeksi
6. Gelisah

Pengobatan pribadi di rumah

Pengobatan tergantung pada jenis reaksi yang terjadi. Jika hanya kemerahan dan nyeri
pada bagian yang digigit, maka cukup menggunakan es sebagai pengobatan. Bersihkan area
yang terkena gigitan dengan sabun dan air. Untuk menghilangkan partikel yang
terkontaminasi oleh serangga. Partikel-partikel dapat mengkontaminasi lebih lanjut jika luka
tidak dibersihkan.

Pengobatan dapat juga menggunakan antihistamin seperti diphenhidramin dalam


bentuk krim/salep atau pil. Losion calamine juga bisa membantu mengurangi gatal-gatal.

RABIES
Rabies merupakan suatu infeksi virus pada otak yang menyebabkan iritasi dan
peradangan otak dan medulla spinalis. Penyakit ini disebabkan oleh suatu virus, yaitu virus
rabies. Serangan biasanya dimulai dengan perasaan ketakutan, sakit kepala, demam, malaise,
perubahan perasaan sensoris, pada bekas gigitan binatang. Gejala yang sering muncul adalah
eksitabilitas dan aerophobia. Sedikit rangsangan berupa cahaya, suara, bau, angin sepoi-sepoi
dan mencoba untuk minum air dapat menimbulkan reflex kejang-kejang. Oleh karena itu
penderita rabies tidak dapat minum. Karena hal inilah, maka penyakit ini kadang-kadang juga
disebut hydrophobia (takut air).

Gangguan pada susunan saraf pusat (central nervous system) atau yang biasa disebut
encephalomyelitis akut dan fatal (radang yang mengenai otak dan medulla spinalis) dapat
menyebabkan lumpuh atau cacat. Virus rabies dapat bersembunyi dengan baik dari sistem
kekebalan tubuh, sehingga menyebabkan tidak adanya perkembangan respon kekebalan
tubuh, sehingga tubuh sulit untuk melawan.

Penyakit ini ditimbulkan oleh gigitan atau cakaran binatang liar yang telah terinfeksi
virus rabies. Prinsipnya semua hewan berdarah panas bisa terinfeksi rabies, tetapi penyakit ini
sangat sering ditemukan pada anjing, serigala, kucing, kelelawar dan monyet.

Pengobatan luka gigitan (pertolongan pertama)

Cara yang paling efektif untuk mencegah rabies adalah segera bersihkan luka gigitan
atau cakaran binatang dengan sabun atau deterjen lalu dibasuh dengan air.

Luka sebaiknya tidak dijahit kecuali dengan alasan kosmetik yang tidak dapat
dihindarkan atau untuk alasan dukungan jaringan. Bila diperlukan jahitan, dilakukan setelah
pemberian infiltrasi lokal antiserum, jahitan tidak boleh terlalu erat dan tidak menghalangi
pendarahan dan drainase. Setelah dibersihkan dengan baik luka diberi alkohol 70%, yodium
tincture.

Prosedur umum pengobatan terhadap gigitan binatang

1. Bersihkan dan basuh luka dengan segera (pertolongan pertama)


2. Bersihkan luka dengan seksama di bawah supervise medis
3. Berikan rabies immunoglobulin dan atau vaksin anti rabies sesuai dengan indikasi
4. Berikan profilaksasi terhadap tetanus dan berikan pengobatan antibacterial bila
diperlukan
5. Luka jangan dijahit atau ditutup kecuali kalau tidak dapat dihindari
PROTEKSI IMUNOLOGI

Pencegahanimunologis terhadap rabies pada manusia adalah dengan memberikan


Human Rabies Immunoglbulin (HRIG) secepat mungkin setelah terpajan (terinfeksi) untuk
menetralisir virus pada luka gigitan, kemudian diberikan vaksin pada tempat yang berbeda
untuk mendapatkan imunitas aktif.

Hal-hal yang diuraikan berikut ini adalah petunjuk umum yang harus dilakukan dalam
upaya profilaksasi terhadap rabies dalam rangka berbagai situasi yang berbeda:

1. Apabila seseorang digigit binatang dan bukan karena provokasi, dan binatang
tersebut tidak tertangkap dan di daerah tersebut rabies menyerang pesies binatang
tersebut, maka kepada korban gigitan diberikan HRIG dan vaksin. Gigitan oleh
karnivora liar dan kelelawar, orang tersebut dianggap potensial terpajan dengan
rabies, kecuali dibuktikan negative dengan pemeriksaan laboratorium.
2. Apabila fasilitas pemeriksaan laboratorium tersedia, maka anjing yang menggigit
tersebut harus dibunuh segera (dihadiri oleh pemilik dan petugas kesehatan) dan
diambil otaknya untuk diperiksa dengan teknik FA. Hasil pemeriksaan
laboratorium ini akan menentukan apakah seseorang memerlukan pengobatan anti
rabies ataukah tidak.
3. Keputusan untuk memberikan HRIG atau vaksin segera setelah terpajan dengan
anjing atau kucing, atau selama dilakukan pengawasan terhadap binatang tersebut
didasarkan kepada : perilaku binatang tersebut selama dilakukan observasi;
apakah di daerah tersebut ada rabies dan kondisi gigitan.

PEDOMAN PENANGANAN KASUS GIGITAN HEWAN TERSANGKA RABIES


1. Perawatan luka gigitan : luka dicuci dengan air dan sabun/detergent 5 – 10 menit →
beri alkohol 70% atau betadine, pencegahan infeksi tetanus & bakteri jika perlu
2. Luka parah/berbahaya : luka gigitan multiple, luka di muka, kepala, leher, jari tangan,
jilatan pada mukosa.
3. Luka ringan / tidak berbahaya : jilatan pada kulit, cakaran/abrasi, gigitan di
tangan/kaki/badan
4. Hentikan vaksinasi jika hari ke 5 hewan sehat
5. Luka tidak dibenarkan dijahit, kecuali jahitan situasi
6. Di sekitar luka yang tepaksa harus dijahit, suntikan SAR sebanyak mungkin, sisanya
suntikan IM
7. Macam VAR : suckling mice brain (SMB) biofarma, purified vero rabies, human
diploid cell
8. Macam SAR :
- Serum heterolog serum kuda borfarma. Dosis : 0,5 cc/kgBB atau 40 Ul/kgBB
- Serum homolog imugam, hyperab. Dosis: 20Ul.kgBB
DAFTAR PUSTAKA
1. American Heart Association. 2015. Advanced Cardiovascular Life Support Provider
Manual Professional. ISBN : 978-1-61669-010-6 American Heart Association. USA.
2. Greaves, I., Porter, M. K, Ryan, J. M. 2001. Trauma Care Manual. 272-288.
3. Guideline, A. S. 2011. Intrahospital Transfer. The Association of Anaesthetists of Great
Britain and Ireland.
4. Waydhas, C. 1999. Intrahospital Transport of Critically ill Patients Crit Care. 3.
5. Warren, J., Fromm, R, E, Orr, R, A., Rotello, L, C. & Horst, H, M. 2004. Guidelines for
The Inter-and Intrahospital Transport of Criticaly ill Patients Crit Care Med. 32.
6. Mistovich, J. J., Karen, K. J., 2010. Prehospital Emergency Care 9th Edition. Pearson
Education.
7. Kurniati A, Trisyani Y, Theresia S, I, M. 2018. Keperawatan Gawat Darurat dan
Bencana. Elsevier, Singapure.
8. Anonim, 2009, Kumpulan Kuliah Farmakologi , Ed 2, ECG, Jakarta.
9. Olson, Kent, Editor. 2004. Poisoning and Drug Overdose. Fourth Edition. California.
California Poison Control System.
10. Rosyanti Lilin. 2015. Penanganan Keracunan/Intoksikasi.
http://lilinrosyanti.wordpress.com/2015/03/02/penaganan keracunan intoksikasi/.
Diakses Tanggal 8 Juni 2018.
11. Rifan. 2017. Intoksikasi Akut : Diagnosa dan Tata Laksana (Bagian II).
http://whitecoathunter.com/intoksikasi-akut-2/. Diakses Tanggal Juni 2018.
12. World Health Organization. 1997. Menagement of Poisioning: A Handbook for Health
Care Workers, World Health Organization.
13. Wirasuta I Made G, dan Nururi Rasmaya. 2006. Buku Ajar Toksikologi Umum Bali.
Universitas Udaya.
14. Ooi, Shirleyand Peter Manning. 2015. Guide to The Essentials in Emergency Madicine
2nd Edition. ISBN 978-007-108788-9. Mc Graw Hill Education. Singapore.
15. Baird, M. S. 2016. Manual of Critical Care Nursing. Nursing Interventions and
Collaborative Management. 7th Edition. Missiori. Elsivier.
16. Cambell, Jhon. 2012. Internasional Trauma Life Support for Emergency Care
Providers. 7th Edition. New Jersey. Pearson Education.
17. Gisness, M. 2007. Muskuloskeletal Emergencies, In L. Newberry (Ed), Sheehy’s
Manual of Emergency Care (pp. 719). Missiouri. Elsevier Mosby.
18. Life Support Training Center. 2013. Basic Trauma Life Support. Malang. FKUB.
19. Legome, E, L. 2017. Blunt Abdominal Trauma. Retrieved November 02, 2017, from
https://emedicine.medscape.com/article/1980980-overview#showall
20. Offner, P. 2017. Penetrating Abdominal Trauma. Retrieved Januari 13, 2017. From
https://emedicine.medscape.com/article/2036859-overview#showall
21. Mancini, M.C. 2017. Blunt Chest Trauma. Retrieved July 07, 2016. From
https://emedicine. Medscape.com/article/428723-overview#showall
22. Shahani, R. 2017. Penetrating Chest Trauma. Retrived Desember 18, 2017. From
https://emedicine.medscape.com/article/425698-overview#showall
23. Campbell Jhon E., 2008. Internasional Trauma Life Support, for Emergency Care
Providers. American Collage of Emergency Physicians.
24. Fadyen J. Grant Mc, Ramaiah Ramesh, Bhananke Sanjay Mr. 2012. Initial Asessment
and Management of Pediatric Trauma Patients.
https://www.researchgate.net/publication/11764418. Initial assessment and management
of pediatric trauma patient. Diakses Tanggal 25 Mei 2018.
25. Haedar, Ali. 2015. BLS Provider Handbook. FKUB. Malang.

You might also like