Case III Internship Olivia

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 55

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : An. A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 11 bulan
Anak ke- : 2 (kedua)
Agama : Islam
Alamat : Jln. Sentra Primer, Cakung
Tanggal Masuk RS : 25/5/2018

Orang Tua / Wali


Profil Ayah Ibu
Nama N W
Umur 37 tahun 35 tahun
Alamat Cakung Cakung
Pekerjaan Wiraswasta Ibu Rumah Tangga
Pendidikan SMA SMA
Hubungan dengan orang tua : Pasien merupakan anak kandung

I. ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu kandung pasien.
Lokasi : IGD RSIJ Pondok Kopi
Keluhan utama :
Sesak

A. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSIJ Pondok Kopi diantar oleh ibunya pada tanggal 25 Mei
2018 pukul 08:08 WIB dengan keluhan sesak sejak 2 jam SMRS. Menurut ibu pasien saat
pasien dalam keadaan batuk dan terlihat sesak, pasien diberi makan dan obat. Sebelumnya
pasien batuk dan pilek sejak 4 hari SMRS. Menurut ibu pasien saat batuk pasien disertai
dengan dahak. Keluhan ini disertai dengan BAB cair sejak 3 hari SMRS. Dalam 1 hari
pasien 2 kali ganti pampers dengan kondisi pampers penuh terisi feses. BAB cair tidak

1
diserta dengan ampas, terdapat lendir, darah disangkal. Keluhan lain berupa demam.
Demam sejak 3 hari SMRS. Demam naik turun. Setiap diberi obat demam turun namun
beberapa jam kemudian demam tinggi kembali. Pasien juga muntah, muntah dikeluhkan
sejak 3 hari SMRS. Setiap harinya menurut ibu pasien muntah hanya 2x, muntah
bercampur dengan makanan. Saat di IGD pasien kejang 2 kali.
Riwayat kejang sebelumnya disangkal oleh ibu pasien.

B. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita


Penyakit Umur

Alergi (-)

Kejang (-)

Kesimpulan riwayat penyakit yang pernah diderita: Pasien belum pernah menderita
penyakit lain sebelumnya.

C. Riwayat Keluarga
Pada anggota keluarga pasien tidak ada yang menderita gejala atau penyakit yang sama
seperti yang dialami oleh pasien yaitu kakak pasien.
Kesimpulan riwayat keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang mengalami gejala
dan penyakit yang serupa dengan pasien.

D. Riwayat Pengobatan
Pasien telah berobat ke klinik sebelumnya dan diberikan obat penurun panas yang
diminum 3 kali sehari selama 3 hari. Obat batuk dan pilek yang diminum 3 kali sehari.
Namun, keluhan tidak membaik.
Kesimpulan pengobatan: Tidak ada perbaikan setelah diberi obat penurun panas.

E. Riwayat Kehamilan/Kelahiran
Morbiditas Anemia (-), hipertensi (-), diabetes melitus (-),
Kehamilan kehamilan penyakit jantung (-), penyakit paru (-), merokok
(-), infeksi (-), minum alkohol (-)

2
Perawatan antenatal Rutin kontrol ke bidan setiap bulannya. Riwayat
imunisasi TT (-), konsumsi suplemen selama
kehamilan (+) namun jarang diminum.

Tempat persalinan Bidan

Penolong persalinan Bidan

Cara persalinan Spontan

Masa gestasi Cukup bulan (9 bulan)

Keadaan bayi Berat lahir: 2500 gram

Kelahiran Panjang lahir: 45 cm

Lingkar kepala : (ibu pasien tidak ingat)

Langsung menangis (+)

Kemerahan: (+)

Nilai APGAR: (ibu pasien tidak tahu)

Kelainan bawaan: (-)

Kesimpulan riwayat kehamilan dan kelahiran: Pasien lahir spontan, cukup bulan,
dengan berat badan lahir normal.

F. Riwayat Makanan
Usia ASI/PASI Buah/ Biskuit Bubur Susu Nasi Tim

(bulan)

0–6 ASI - - -

6 – 11 ASI dan Susu - + -


Formula

3
Kesimpulan riwayat makanan: Pasien mendapatkan ASI namun dicampur dengan
susu formula.

G. Riwayat Imunisasi
Vaksin Dasar (umur)

Hepatitis 0 bulan - -
B

Polio 1 - - -
bulan

BCG 1 bulan

DPT/PT - - -

Campak -

Kesimpulan riwayat imunisasi: Imunisasi dasar pasien tidak lengkap

II. PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 25 Mei 2018, pukul 08.30 WIB)


STATUS GENERALIS
Keadaan Umum
Kesan sakit : Tampak sakit berat
Kesadaran : E3 M4 V3 = 10 (Delirium)
Kesan gizi : Kurus
Keadaan lain : Pucat (-), Ikterik (-), sesak (+), sianosis (-)
Data antropometri
Berat badan sebelum sakit : 8 kg
Berat badan setelah sakit : 7 kg
Tinggi badan : 70 cm
Status Gizi (dengan menggunakan penghitungan WHO):

4
Z- Score BB/U = -2
Pada pasien untuk status gizi = kurus

5
Tanda vital
Tekanan darah :-
Heart Rate : 220x/menit, regular
Nafas : 51x/menit, cepat dan dalam, SpO2 84% room air
Suhu : 41.3 C
Kepala
Normosefali, UUB Cekung
Rambut
Rambut hitam, lurus, dan tidak mudah dicabut
Mata
Sklera ikterik : Tidak ada Konjungtiva anemis : Tidak ada
Cekung : Ada Pupil : 2 mm, bulat, isokor
Refleks cahaya : Langsung ada/ada, tidak langsung ada/ada
Telinga
Bentuk : Normotia Nyeri tarik aurikula : Tidak ada
Nyeri tekan tragus : Tidak ada
Hidung
Bentuk : Simetris Napas cuping hidung : Ada
Sekret : Tidak ada Deviasi septum : Tidak ada
Bibir
Mukosa bibir kering , tidak sianosis
Mulut
Trismus (tidak ada), oral hygiene baik
Lidah
Sulit dinilai
Tenggorokan
Sulit dinilai
Leher
Bentuk tidak tampak kelainan, tidak teraba pembesaran tiroid, tidak teraba pembesaran
KGB
Thoraks
Bentuk dada datar dan gerak statis dan dinamis

COR : Bunyi Jantung Murni Regular, Murmur (-) Gallop (-)

6
Pulmonal :

Pergerakan dada simetris kanan dan kiri, tidak ada bagian yang tertinggal, terdapat retraksi

suprastrenal dan intercostal.

Vesicular Breath Sound kanan = kiri, Rhonki +/+ (diseluruh lapang paru), Wheezing -/-

Abdomen
Inspeksi : datar, tidak ada kelainan kulit
Auskultasi : Bising usus(+)
Palpasi : Soepel, lembut, turgor kembali lambat, splenomegali
(-) , hepatomegali (-)
Perkusi : Suara timpani pada keempat kuadran abdomen
Genitalia
Jenis kelamin : laki-laki
Ekstremitas Atas dan Bawah
Inspeksi : simetris, tidak terdapat kelainan pada bentuk tulang, posisi tangan dan
kaki, serta sikap badan, tidak tampak edema, ruam (tidak ada)
Palpasi : akral dingin pada keempat ekstremitas, capillary refill time 2 detik
Kulit
Warna sawo matang merata, tidak ikterik, tidak sianosis, lembab, ruam (tidak ada)

III. PEMERIKSAAN LABORATORIUM (Tanggal 25 Mei 2018 pukul 09:02 WIB)


Darah Rutin
Hematologi Hasil Nilai normal

Hemoglobin 11,8 g/dL 10.5-13.5 g/dL

Leukosit 15.500/mm3 5.000-13.000/mm3

Trombosit 489.000/mm3 150.000-400.000/mm3

Hematokrit 34 % 36-44%

Diff Count

Basofil 0.1% 0.0 – 1.0%

7
Eosinophyl 0.0 % 1.0 – 3.0%

Neutrofil 34.1 % 37.0 – 72.0%

Lymphocyte 53.4% 25.0 – 50.0%

Monocyte 12.4% 1.0 – 6.0%

Elektrolyte

Natrium 144 mmol/L 132-145 mmol/L

Kalium 2.83 mmol/L 3.50-5.5 mmol/L

Chloride 96 mmol/L 98-110 mmol/L

Chemistry

Glucose Random 143 mg/dL 60-100 mg/dL

Blood Gas

Corrected Temp 41.3 C

pH 7.184 7.350 - 7.450

PCO2 34.3 mmHg 35.0 - 45.0 mmHg

PO2 90.7 mmHg 75.0 – 100.0 mmHg

HCO3 14.0 mmol/L 22.0 – 24.0 mmol/L

Base Excess -15.3 mmol/L -2.5 – 2.5 mmol/L

O2 Saturation 90.7 % 94.0 – 98.0 %

(Tanggal 25 Mei 2018 pukul 13:12 WIB, setelah dilakukan rehidrasi cairan)
Elektrolyte

Natrium 145 mmol/L 132-145 mmol/L

Kalium 3.11 mmol/L 3.50-5.5 mmol/L

8
Chloride 99 mmol/L 98-110 mmol/L

Blood Gas

Corrected Temp 40.1 C

pH 7.147 7.350 - 7.450

PCO2 54.4 mmHg 35.0 - 45.0 mmHg

PO2 61.6 mmHg 75.0 – 100.0 mmHg

HCO3 15.8 mmol/L 22.0 – 24.0 mmol/L

Base Excess -10.6 mmol/L -2.5 – 2.5 mmol/L

O2 Saturation 75.7 % 94.0 – 98.0 %

IV. RESUME
An. A, 11 bulan diantar oleh ibunya karena sesak. Keluhan sesak muncul setelah ibu
memberi makan dan obat saat pasien batuk dan terlihat sesak. Sebelumnya pasien batuk dan
pilek sejak 4 hari SMRS. Menurut ibu pasien saat batuk pasien disertai dengan dahak.
Keluhan ini disertai dengan BAB cair sejak 3 hari SMRS. Dalam 1 hari pasien 2 kali ganti
pampers dengan kondisi pampers penuh terisi feses. BAB cair tidak diserta dengan ampas,
terdapat lendir, darah disangkal. Keluhan lain berupa demam. Demam sejak 3 hari SMRS.
Demam naik turun. Setiap diberi obat demam turun namun beberapa jam kemudian demam
tinggi kembali. Pasien juga muntah, muntah dikeluhkan sejak 3 hari SMRS. Setiap harinya
menurut ibu pasien muntah hanya 2x, muntah bercampur dengan makanan. Saat di IGD
pasien kejang 2 kali.
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium, GCS E3 M4 V3 , Heart
Rate 220x/menit, regular, RR 51x/menit, cepat dan dalam, SpO2 84% room air, Suhu 41.3 C,
UUB cekung, Mata Cekung, Mukosa bibir kering, Thoraks terdapat retraksi suprasternal dan
intercostal, terdengar rhonki diseluruh lapang paru, turgor kulit kembali lambat, ke empat
ekstremitas akral dingin, CRT 2 detik
Hasil pemeriksaan penunjang didapatkan leukositosis, hipokalemi, hipokloremia,
asidosis metabolik

9
V. DIAGNOSIS BANDING
Dyspneu ec Pneumonia Aspirasi + Kejang Demam Sederhana + Gastroenteritis dengan
dehidrasi berat
Dyspneu ec Bronkopneumonia + Kejang Demam Sederhana + Gastroenteritis dengan
dehidrasi berat
VI. DIAGNOSIS KERJA
Dyspneu ec Pneumonia Aspirasi + Kejang Demam Sederhana + Gastroenteritis dengan
dehidrasi berat
VII. PEMERIKSAAN ANJURAN
Rontgen thoraks
VIII. PENATALAKSANAAN
O2 5lpm MNRB
IVFD Asering 210 cc/1jam -> 490 cc/5jam
NGT -> Cairan berwarna kuning
DC -> urine setelah loading  300 cc sebanyak 50 cc
Stesolid 2,5 mg supp
Propiretik 80 mg supp
Valium 2cc IV bolus
Nebulizer Bisolvon 5 tetes + NaCl 2cc
Konsul dr. Lany Sp.A (11:34)
 IVFD Asering 850cc/24 jam kecepatan 35cc/jam
 Dobutamin 210 mg diencerkan sampai 50 cc kecepatan 1cc/jam
 Paracetamol inj 4x70 mg
 Cefotaxime 3x350 mg IV
 Ranitidine 3x7mg IV
 Loading fenobarbitol 140mg IV persetengah jam
 Rawat Ruang PICU
 Rontgen thoraks
 Cek AGD dan elektrolit ulang jika urine 1cc/jam
IX. Prognosis

Quo ad Vitam : ad malam


Quo ad Functionam : ad malam
Quo ad Sanationam : ad malam

10
X. Follow Up

Tanggal/Jam Kesadaran HR x/m RR x/m SpO2% Suhu Implementasi

25/5/2018 E3 M4 V3 220 51 84 41.3 - O2 MNRB

(08:10) 5lpm

- IVFD Asering

210cc/1 jam

- NGT No.10

- DC No. 6

(urine  5cc)

- Propiretik 80

mg supp

- Pasien kejang

(Stesolid 2.5 mg

supp)

25/5/2018 193 48 100 39.7 Pasien kejang

(09:05) kembali (valium

2cc IV, pelan)

25/5/2018 198 45 100 - Start Asering

(10:00) 490 cc/5 jam

kecepatan 98

cc/jam

- Nebulizer (

Bisolvon 5

tetes + NaCl

2cc ->

11
suction, lendir

+)

25/5/2018 200 46 100

(10:30)

25/5/2018 200 43 100 39.9 Urine 20-25 cc

(11:14)

25/5/2018 197 35 100 - Cefotaxime

(12:00) 3x350 mg

- Ranitidine

3x7mg

- Paracetamol

4x70mg

- Cairan diganti

menjadi

850cc/24jam

kecepatan

35cc/jam

- Start

dobutamin

210 mg

(8.4cc)

diencerkan 50

cc NaCl 0.9%

dengan

12
kecepatan

1cc/jam

25/5/2018 Strat fenitoin

(12:50) loading 140 mg

dalam NaCl

100cc habis

dalam ½ jam

25/5/2018 Pasien kejang ->

(13:35) valium 3cc IV,

bolus pelan

25/5/2018 Saturasi oksigen

(13:50) menurun,

dilakukan

bagging, lalu

dilakukan

intubasi

25/5/2018 Heart Rate turun, SpO2 = 81 %, Napas spontan (-), VTP (+)

(14:54)

25/5/2018 Heart Rate semakin turun, SpO2 = 68%

(14:55) PEA, Carotis (-)

Adrenalin 0.1 mg, RJP (+)

25/5/2018 Adrenalin 0.1 mg, RJP (+), Respon (-)

(14:56) Edukasi kepada keluarga bahwa kondisi pasien kritis

25/5/2018 Adrenalin 0.1 mg, RJP (+), Respon (-)

(14:58)

13
25/5/2018 Pupil midriasis total, ulang adrenalin 0.1 mg, RJP (+), Respon (-)

(15:00)

25/5/2018 - Pupil midriasis total

(15:06) - Henti Jantung

- Henti Napas

- EKG Flat (asistol)

- Pasien dinyatakan meninggal dunia dihadapan keluarga

14
TINJAUAN PUSTAKA

PNEUMONIA ASPIRASI

DEFINISI
Pneumonia aspirasi didefinisikan sebagai inhalasi isi orofaring atau lambung ke dalam
larynx dan saluran pernafasan bawah. Beberapa sindrom pernafasan mungkin terjadi setelah
aspirasi, tergantung pada jumlah dan jenis material aspirasi, frekuensi aspirasi dan respon
host terhadap material aspirasi. Pneumonitis aspirasi (Mendelson’s syndrome) adalah jejas
kimia yang disebabkan oleh inhalasi isi lambung.
Nama lain Anaerobic pneumonia, aspirasi vomitus, pneumonia necrotizing, pneumonitis
aspirasi, pneumonitis kimia.

EPIDEMIOLOGI
Pneumonia pada anak merupakan infeksi yang serius dan banyak diderita anak-anak
di seluruh dunia yang secara fundamental berbeda dengan pneumonia pada dewasa. Di
Amerika dan Eropa yang merupakan negara maju angka kejadian pneumonia masih tinggi,
diperkirakan setiap tahunnya 30-45 kasus per 1000 anak pada umur kurang dari 5 tahun, 16-
20 kasus per 1000 anak pada umur 5-9 tahun, 6-12 kasus per 1000 anak pada umur 9 tahun
dan remaja.

ETIOLOGI
Terdapat 3 macam penyebab sindroma pneumonia aspirasi, yaitu aspirasi
asamlambung yang menyebabkan pneumonia kimiawi, aspirasi bakteri dari oral dan
oropharingealmenyebabkan pneumonia bakterial, Aspirasi minyak, seperti mineral oil atau
vegetable oil dapatmenyebabkan exogenous lipoid pneumonia. Apirasi benda asing
merupakan kegawatdaruratan paru dan pada beberapa kasus merupakan faktor predisposisi
pneumonia bacterial.
Pola kuman penyebab pneumonia biasanya berbeda sesuai dengan distribusi umur
pasien. Sebagian besar kasus pneumonia disebabkan oleh virus, sebagai penyebab tersering
adalah respiratory syncytial virus (RSV), parainfluenza virus, influenza virus dan adenovirus.
Secara umum bakteri yang berperan penting dalam pneumonia adalah Streptococcus
pneumonia, Haemophillus influenza, Staphylococcus aureus, Streptococcus group B, serta
kuman atipik klamidia dan mikoplasma.

15
Pada masa neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan
penyebab pneumonia paling banyak. Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada usia
prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia. Selain itu Streptococcus pneumoniae
merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bacterial.Mycoplasma pneumonia dan
Chlamidya pneumonia merupakan penyebab yang sering didapatkan pada anak diatas 5
tahun.
Kondisi yang mempengaruhi pneumonia aspirasi antara lain:
 Kesadaran yang berkurang, merupakan hasil ayang berbahaya dari reflex batuk dan
penutupan glottis.
 Disfagia dari gangguan syaraf
 Gangguan pada system gastrointestinal, seperti penyakit esophageal, pembedahan
yang melibatkan saluran atas atau esophagus, dan aliran lambung.
 Mekanisme gangguan penutupan glottis atau sfingter jantung karena trakeotomi,
endotracheal intubations (ET), bronkoskopi, endoskopi atas dan nasogastric feeding
(NGT)
 Anestesi faringeal dan kondisi yang bermacam-macam seperti muntahan yang
diperpanjang, volume saluran cerna yang lebar, gastrostomi dan posisi terlentang.
 Lain-lain: fistula trakeo-esofageal, pneumonia yang berhubungan dengan ventilator,
penyakit periodontal dan trakeotomi.
Kondisi-kondisi ini kesemuanya berbagi dalam seringnya dan banyaknya volume
aspirasi, yang meningkatkan kemungkinan pengembangan pneumonitis aspirasi.
Pasien dengan stroke atau penyaki kritis yang membutuhkan perawatan biasanya
mempunyai beberapa factor resiko dan memperbaiki kasus yang mempunyai proporsi yang
besar.Kurangnya kebersihan gigi khususnya pada orang tua atau pasien yang kondisinya
lemah, menyebabkan koloni dalam mulut dengan organism patogenik yang secara potensial
bisa menyebabkan bertambahnya jumlah bakteri.Peningkatan resiko infeksi dapat
menyebabkan aspirasi.

PATOFISIOLOGI
Aspirasi merupakan hal yang dapat terjadi pada setiap orang.Di sini terdapat
perananaksi mukosilier dan makrofag alveoler dalam pembersihan material yang

16
teraspirasi.Terdapat 3faktor determinan yang berperan dalam pneumonia aspirasi, yaitu sifat
material yang teraspirasi,volume aspirasi, serta faktor defensif host.
Perubahan patologis pada saluran napas pada umumnya tidak dapat dibedakan antara
berbagai penyebab pneumonia, hampir semua kasus gangguan terjadi pada parenkim disertai
bronkiolitis dan gangguan interstisial.Perubahan patologis meliputi kerusakan
epitel,pembentukan mukus dan akhirnya terjadi penyumbatan bronkus.Selanjutnya terjadi
infiltrasi sel radang peribronkial (peribronkiolitis) dan terjadi infeksi baik pada jaringan
interstisial, duktus alveolaris maupun dinding alveolus, dapat pula disertai pembentukan
membran hialin danperdarahan intra alveolar.Gangguan paru dapat berupa restriksi, difusi
dan perfusi.
Pneumonia aspirasi mengarah kepada konsekuensi patologis akibat secret
orofaringeal,nanah, atau isi lambung yang masuk ke saluran napas bagian bawah. Penyakit
ini terjadi pada orang dengan level kesadaran yang berubah karena serangan cerebrovascular
accident (CVA), CNS lesion mass, keracunan obat atau overdosis dan cidera kepala.
Kebanyakan individumengaspirasi sedikit secret orofaringeal selama tidur, dan secret tersebut
akan dibersihkan secaranormal.
Faktor predisposisi terjadinya aspirasi berulangkali adalah:
1. Penurunan kesadaran yang mengganggu proses penutupan glottis, reflex batuk
(kejang,stroke, pembiusan, cedera kepala, tumor otak)
2. Disfagia sekunder akibat penyakit esophagus atau saraf (kanker nasofaring,
scleroderma)
3. Kerusakan sfingter esophagus oleh selang nasogastrik. Juga peran jumlah bahan
aspirasi,hygiene gigi yang tidak baik, dan gangguan mekanisme klirens saluran
napas.
Predisposisi terjadinya pneumonia aspirasi
Perubahan tingkat kesadaran
 Stroke
 Kejang
 Intoksikasi (alkohol dan obat lainnya)
 Trauma kepala
 Anastesi
Mekanisme
 Nasogastric tube

17
 Intubasi endotrakeal
 Tracheostomy
 upper gastrointestinal endoscopy
 bronchoscopy
Penyakit neuromuskuler
 multiple sclerosis
 parkinson’s disease
 myasthenia gravis
 bulbar atau pseudobulbar palsy
Gangguan gastro-oesophageal
 inkompetensi sfingter cardiac
 striktur oesophageal
 neoplasma
 obstruksi gaster
 protracted vomiting
Lainnya
 posisi recumbent
 general debility

Tabel 1: predisposisi terjadinya pneumonia aspirasi

Aspirasi mikroorganisme patologik yang berkoloni pada orofaring adalah cara infeksi
saluran pernapasan bagian bawah yang paling sering dan menyebabkan pneumonia bakteri.
Pneumonia anaerobik disebabkan oleh aspirasi sekret orofaringeal yang terdiri dari
mikroorganisme anaerob seperti Bacteroides, Fusobacterium,Peptococcus, dan
Peptostreptococcus yang merupakan spesies yang paling sering ditemukan diantara pasien-
pasien dengan kebersihan gigi yang buruk. Awitan gejala biasanya terjadi secara perlahan-
lahan selama 1 hingga 2 minggu, dengan demam, penurunan berat badan, anemia,
leukositosis, dispnea, dan batuk disertai produksi sputum berbau busuk. Abses-abses paru
yang terbentuk pada parenkim paru dapat rusak, dan empiema dapat timbul seperti mikroba-
mikroba yang berjalan ke permukaan pleura. Kebanyakan abses-abses tersebut terbentuk
pada paru kanan bagian posterior dan segmen basilar bronkopulmonal akibat gaya gravitasi
karena banyak cabang yang langsung menuju cabang bronkus utama kanan.

18
Resiko dari aspirasi secara langsung terkait dengan level kesadaran pasien (contoh:
penurunan Glascow ComaScale [GCS] yang dihubungkan dengan resiko aspirasi yang
meningkat). Luasnya dan sulitnya penyakit ini secara langsung terkait dengan volume dan
kadar asam cairan yang dihirup. Aspirasi isi lambung dalam jumlah besar juga dikenal
dengan Mendelson syndrome, yang bisa menyebabkan pernafasan akut dalam waktu 1
jam.Kadar asam dan isi lambung menghasilkan pembakaran kimia pada cabang
tracheobronchial yang terlibat dalam aspirasi.
Sebuah penelitian pada tikus menunjukkan bahwa terdapat dua fase mekanisme
kerusakan paru setelah aspirasi asam. Puncak fase pertama terjadi pada satu hingga dua jam
setelah aspirasi dan menghasilkan efek langsung yang diakibatkan pH yang rendah saat
aspirasi pada sel-sel alveolar-permukaan kapiler. Fase kedua, puncak pada empat hingga
enam jam, berhubungan dengan infiltrasi neutrofil ke dalam alveoli dan intestinum paru,
dengan karakteristik gambaran histologist inflamasi akut. Mekanisme jejas pada paru setelah
aspirasi lambung melibatkan mediator-mediator inflamasi, sel-sel inflamasi, adesi molekuler,
dan enzim, terdiri dari Tumor Necrosis Factor a,, interleukin-8, cyclooxygenase dan produk
lipoxygenasedan Reactive Oxygen Species (ROS). Meskipun neutrofil dan komplemen
berperan dalam perkembangan jejas, penelitian pada hewan, neutropenia, inhibitor fungsi
neutrofil, menginaktivasi interleukin-8 (chemoatraktan poten neutrofil), dan inaktivasi
komplemen melemahkan jejas akut pada paru yang diinduksi aspirasi asam.
Karena asam lambung mencegah pertumbuhan bakteri, isi lambung tetap steril
dibawah kondisi normal.kesterilan isi lambung yang relatif normal, bakteri tidak menjalankan
peran dalam tahap awal penyakit. Ini tidak sepenuhnya baik bagi pasien dengan gastroparesis
atau sembelit atau bagi mereka yang menggunakan antasida (Proton Pump Inhibitor [PPI],H2
receptor antagonist). Dengan tanpa melihat jumlah bakteri inokulum, infeksi bakteri yang
parah bisa saja terjadi setelah cidera kimia awal.Aspirasi isi lambung secara bersama dengan
adanya partikel, menyebabkan terjadi fokus peradangan dan reaksi tubuh terhadap benda
asing dengan kerusakan jaringan secara menyeluruh akibat asam. Partikel dan asam lambung
bekerja sama secara sinergis menyebabkan kebocoran kapiler alveolar. Isi lambung tidak
steril sehingga aspirasi yang terjadi dapat disertai bakteri.Enam puluh sampai 100% terdiri
dari kuman anaerob.Gabungan kuman aerob dan anaerob sering dijumpai pada aspirasi yang
terjadi di Rumah sakit.
Ada dua persyaratan untuk menghasilkan pneumonia aspirasi:
1. membahayakan bagi pertahanan biasa yang melindungi saluran bawah, termasuk
penutupan glottis, reflek batuk, dan mekanisme pembukaan.

19
2. Sebuah inolukrum mengganggu saluran bawah dengan sifat toksiknya langsung,
stimulasi proses peradangan dari bakteri inolukrum yang cukup atau
penghambatan karena volume zat atau zat partikelnya yang cukup.

Gambar 1: paru-paru yang mengalami infeksi

Sindrom aspirasi lain berkaitan dengan bahan yang diaspirasi (biasanya makanan)
atau cairan bukan asam (misalnya karena hampir tenggelam atau saat pemberian makanan)
yang menyebabkan obstruksi mekanik. Bila cairan teraspirasi, trakea harus segera diisap
untuk menghilangkan obstruksinya. Bila yang diaspirasi adalah bahan padat, maka gejala
yang terlihat akan bergantung pada ukuran bahan tersebut dan lokasinya dalam saluran
pernapasan. Jika bahan tersebut tersangkut dalam bagian atas trakea, akan menyebabkan
obstruksi total, apnea, aphonia, dan dapat terjadi kematian cepat. Jika bahan tersangkut pada
bagian saluran pernapasan yang kecil, tanda dan gejala yang timbul dapat berupa batuk
kronik dan infeksi berulang.

20
Gambar 2: Alveoli yang terisi oleh aspirasi makanan

MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung kuman penyebab, usia
pasien, status imunologis pasien dan beratnya penyakit. Manifestasi klinis bisa berat yaitu
sesak, sianosis, dapat juga gejalanya tidak terlihat jelas seperti pada neonates.Gejala dan
tanda pneumonia dapat dibedakan menjadi gejala umum infeksi (non spesifik), gejala
pulmonal, pleural dan ekstrapulmonal.Gejala non spesifik meliputi demam, menggigil,
sefalgia dan gelisah.Beberapa pasien mungkin mengalami gangguan gastrointestinal seperti
muntah, kembung, diare atau sakit perut.
Gejala pada paru biasanya timbul setelah beberapa saat proses infeksi berlangsung.
Setelah gejala awal seperti demam dan batuk pilek, gejala nafas cuping hidung, takipnea,
dyspnea dan apnea baru timbul. Otot bantu nafas intercostal dan abdominal mungkin
digunakan. Batuk umumnya dijumpai pada anak besar, tapi pada neonates bisa tanpa batuk.
Wheezing mungkin akan ditemui pada anak-anak dengan pneumonia viral atau mikoplasma,
seperti yang ditemukan pada anak-anak dengan asma atau bronkiolitis.
Keradangan pada pleura biasa ditemukan pada pneumonia yang disebabkan oleh
Streptococcus pneumoniae dan Staphylococcus aureus, yang ditandai dengan nyeri dada pada

21
daerah yang terkena. Nyeri dapat berat sehingga akan membatasi gerakan dinding dada
selama inspirasi dan kadang-kadang menyebar ke leher dan perut.
Gejala ekstra pulmonal mungkin ditemukan pada beberapa kasus.Abses pada kulit
atau jaringan lunak seringkali didapatkan pada kasus pneumonia karena Staphylococcus
aureus.Otitis media, konjuntivitis, sinusitis dapat ditemukan pada kasus infeksi karena
Streptococcuspneumoniae atau Haemophillus influenza.Sedangkan epiglottitis dan meningitis
khususnya dikaitkan dengan pneumonia karena Haemophillus influenza.Frekuensi nafas
merupakan indeks paling sensitif untuk mengetahui beratnya penyakit.Hal ini digunakan
untuk mendukung diagnosis dan memantau tatalaksana pneumonia.Pengukuran frekuensi
nafas dilakukan dalam keadaan anak tenang atau tidur.WHO bahkan telah
merekomendasikan untuk menghitung frekuensi nafas pada setiap anak dengan batuk.Dengan
adanya batuk, frekuensi nafas yang lebih cepat dari normal serta adanya tarikan dinding dada
bagian bawah ke dalam (chest indrawing), WHO menetapkannya sebagai kasus pneumonia
berat di lapangan dan harus memerlukan perawatan di Rumah Sakit untuk pemberian
antibiotik.
Secara klinis pada anak sulit membedakan antara pneumonia bakterial dan pneumonia
viral.Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bakterial awitannya cepat,
batuk produktif, pasien tampak toksik, lekositosis dan perubahan nyata pada pemeriksaan
radiologis.Namun keadaan seperti ini kadang-kadang sulit dijumpai pada seluruh kasus.
Penggunaan BPS (Bacterial Pneumonia Score) pada 136 anak, usia 1 bulan – 5 tahun dengan
pneumonia di Argentina yang mengevaluasi suhu aksilar, usia, jumlah netrofil absolut,
jumlah bands dan foto polos dada ternyata mampu secara akurat mengidentifikasi anak
dengan resiko pneumonia bakterial sehingga akan dapat membantu klinisi dalam penentuan
pemberian antibiotika.
Perinatal pneumonia terjadi segera setelah kolonisasi kuman dari jalan lahir atau
ascending dari infeksi intrauterine.Kuman penyebab terutama adalah GBS (Group B
Streptococcus) selain kuman-kuman gram negatif.Gejalanya berupa respiratory distress yaitu
merintih, nafas cuping hidung, retraksi dan sianosis. Sepsis akan terjadi dalam hitungan jam,
hampir semua bayi akan mengarah ke sepsis dalam 48 jam pertama kehidupan. Pada bayi
premature, gambaran infeksi oleh karena GBS menyerupai gambaran RDS (Respiratory
Distress Syndrome).

DIAGNOSIS

22
Untuk mendiagnosis pneumonia aspirasi, harus melihat gejala pasien dan temuan
daripemeriksaan fisik. Keterangan dari foto polos dada, pemeriksaan darah dan kultur sputum
yangjuga bermanfaat. Foto torak biasanya digunakan untuk mendiagnosis pasien di rumah
sakit danbeberapa klinik yang ada fasilitas foto polosnya.Namun, pada masyarakat (praktek
umum),pneumonia biasanya didiagnosis berdasarkan gejala dan pemeriksaan fisik
saja.Mendiagnosispneumonia bisa menjadi sulit pada beberapa orang, khususnya mereka
dengan penyakit penyertalainnya. Adakalanya CT scan dada atau pemeriksaan lain
diperlukan untuk membedakanpneumonia dari penyakit lain.
Orang dengan gejala pneumonia memerlukan evaluasi medis. Pemeriksaan fisik
olehtenaga kesehatan menunjukkan adanya peningkatan suhu tubuh, peningkatan laju
pernapasan(tachypnea), penurunan tekanan darah (hipotensi) , denyut jantung yang cepat
(takikardi) danrendahnya saturasi oksigen, yang merupakan jumlah oksigen di dalam darah
yang indikasikanoleh oksimetri atau analisis gas darah. Orang dengan kesulitan bernapas,
yang bingung, ataumemiliki sianosis memerlukan perhatian segera.
Pemeriksaan fisik tergantung pada luas lesi di paru.Pada pemeriksaan terlihat
bagianyang sakit tertinggal waktu bernapas, fremitus raba meningkat disisi yang sakit. Pada
perkusiditemukan redup, pernapasan bronkial, ronki basah halus, egofoni, bronkofoni,
“whisperedpectoriloquy”. Kadang- kadang terdengar bising gesek pleura (pleural friction
rub). Distensiabdomen terutama pada konsolidasi pada lobus bawah paru, yang perlu
dibedakan dengankolesistitis dan peritonitis akut akibat perforasi.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan yang penting untuk pneumonia pada keadaan yang tidak jelas
adalah fotopolos dada.Foto thoraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan
penunjang utama untukmenegakkan diagnosis.Gambaran radiologis dapat berupa
infiltrat sampai konsolidasidengan “air bronchogram”, penyebaran bronkogenik
dan interstitial dengan atau tanpadisertai gambaran kaviti pada segmen paru yang
terinfeksi.Gambaran lusen disertaidengan infiltrat menunjukkan nekrotik
pneumonia.Air fluid level mengindikasikan absesparu atau fistula
bronkopleura.Sudut costofrenicus yang blunting dan meniscus yangpositif
menunjukkan para pneumonic pleural effusion.4
2. Pemeriksaan Laboratorium

23
Pemeriksaan darah lengkap menunjukkan jumlah leukosit yang meningkat
(lebih dari10.000/mm3, kadang- kadang mencapai 30.000/mm3), yang
mengindikasikan adanyainfeksi atau inflamasi.Tapi pada 20% penderita tidak
terdapat leukositosis. Hitung jenisleukosit “shift to the left”. LED selalu naik.
Billirubin direct atau indirect dapatmeningkat, oleh karena pemecahan dari sel
darah merah yang terkumpul dalam alveolidan disfungsi dari hepar oleh karena
hipoksia. Untuk menentukan diagnosa etiologidiperlukan pemeriksaan dahak,
kultur darah dan serologi. Analisis gas darah menunjukanhipoksemia dan
hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.

Lokasi infiltrat:
 Bagian tengah dan bawah lobus kanan paru paling sering terjadi inflamasi
denganukuran lebih besar
 Pasien yang mengalami aspirasi pada keadaan berdiri, infiltrat akan terbentuk
padalobus kanan dan kiri bagian bawah.
 Pasien yang mengalami aspirasi pada pada keadaan berbaring posisi dekubitus
lateralkiri, infiltrate akan terbentuk pada sisi kiri.
 Pada pasien pecandu alkohol yang mengalami aspirasi pada posisi prone,
kosolidasiyang terbentuk lebih sering pada lobus atas paru-paru kanan.

24
Gambar 3: rontgen thorax pasien dengan pneumonia aspirasi paru-paru
kiri

Gambar 4: rontgen thorax pasien dengan aspirasi masif pada paru-paru


kanan.

Gambar 5: CT-Scan dada pada Pneumonia aspirasi

25
Tanda dan gejala infeksi tractus respiratorius
inferior

Riwayat aspirasi isi lambung (pasti atau suspect supect)

Ya Tidak

Rontgen Thorax Rontgen Thorax

Negatif Positif Negatif Positif

Peristiwa aspirasi Pneumonia asprasi Bronkitis Pneumonia

Durasi gejala > Tidak diterapi Terapi antibiotik,


24 jam antibiotik, tindakan suportif
tindakan suportif

Tidak Ya

Tidak diterapi Terapi antibiotik,


antibiotik, tindakan suportif
tindakan suportif

26
KOMPLIKASI

1. Efusi pleura
2. Empyema
3. Pneumotoraks
4. Piopneumotoraks
5. Pneumatosel
6. Abses paru
7. Sepsis
8. Gagal nafas

PENATALAKSANAAN
Tata laksana pneumonia idealnya sesuai dengan kuman penyebabnya. Namun karena
berbagai kendala diagnostic etiologi, untuk semua pasien pneumonia diberikan antibiotika
secara empiris.Walaupun pneumonia viral dapat di tatalaksana tanpa antibiotika, tetapi pasien
diberikan antibiotika karena kesulitan membedakan infeksi virus dengan bakteri, kesulitan
diagnosis virologi dan kesulitan dalam isolasi penderita, disamping itu kemungkinan infeksi
bakteri sekunder tidak dapat disingkirkan.
Golongan beta laktam (Penisilin, sefalosporin, karbapenem dan monobaktam)
merupakan jenis-jenis antibiotika yang sudah dikenal cukup luas.Biasanya digunakan untuk
terapi pneumonia yang disebabkan oleh bakteri seperti Streptococcus pneumoniae,
Haemophillus influenza dan Staphylococcus aureus.Pada kasus yang berat diberikan
golongan sefalosporin sebagai pilihan, terutama bila penyebabnya belum
diketahui.Sedangkan pada kasus yang ringan sedang, dipilih golongan penisilin.
Streptokokus dan pneumokokus merupakan kuman gram positif yang dapat dicakup
oleh ampisilin, sedangkan hemofilus sebagai kuman gram negatif dapat dicakup oleh
ampisilin dan kloramfenikol.Dengan demikian keduanya dapat dipakai sebagai antibiotika
lini pertama untuk kasus pneumonia anak tanpa komplikasi. Pada pasien pneumonia yang
community acquired, umumnya ampisilin dan kloramfenikol masih sensitive. Pilihan
berikutnya adalah obat golongan sefalosporin.
Penanganan pneumonia pada neonates serupa dengan penanganan infeksi neonates
pada umumnya. Antibiotika yang diberikan harus dapat mencakup kuman kokus gram positif
terutama Streptococcus group B dan batang gram negative.Penisilin dan derivatnya

27
meruupakan pilihan utama untuk gram positif sedangkan untuk kuman gram negatif terutama
Escherichia coli dan Proteus mirabilis digunakan golongan aminoglikosida.Kombinasi
kloksasilin dan gentamisin efektif untuk terapi pneumonia dibawah 3 bulan karena dapat
mencakup kuman Staphylococcus aureus. Umur kehamilan, berat badan lahir dan umur bayi
akan menentukan dosis dan frekuensi pemberian obat khususnya untuk golongan
aminoglikosida. Sefalosporin generasi 3 dapat digunakan jika ada kecurigaan penyebab
bakteri batang gram negatif.
Evaluasi pengobatan dilakukan setiap 48-72 jam.Bila tidak ada perbaikan klinis
dilakukan perubahan pemberian antibiotic sampai anak dinyatakan sembuh. Lama
pemberianantibiotik tergantung pada kemajuan klinis penderita, hasil laboratoris, foto polos
dada dan jenis kuman penyebab. Jika kuman penyebab adalah stafilokokus diperlukan
pemberian terapi 6-8 minggu secara parenteral.Jika penyebab Haemophylus influenza atau
Streptococcus pneumoniae pemberian terapi secara parenteral cukup 10-14 hari.Secara umum
pengobatan antibiotik untuk pneumonia diberikan 10-14 hari.

28
TINJAUAN PUSTAKA

GASTROENTERITIS PADA ANAK

I. Definisi

Menurut WHO (1998) diare adalah buang air besar encer atau cair lebih dari tiga kali

sehari

Diare didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang BAB-nya (buang air

besar) ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja melembek sampai mencair dan

bertambahnya frekuensi berak lebih dari biasanya, lazinnya 3 kali atau lebih dalam satu hari

(DINKES, 2006).

Diare akut adalah buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dan konsistensi

tinja yang lebih lembek atau cair dan bersifat mendadak datangnya; dan berlangsung dalam

waktu kurang dari 2 minggu

Jenis - jenis diare secara klinik di bedakan tiga (3) yang masig-masing mencerminkan

pathogenesis yang berbeda dan memerlukan pendekatan yang berlainan dalam

pengobatannya.

Diare cair akut adalah diare yang terjadi secara akut dan berlangsung kurang dari 7

hari dengan pengeluaran tinja yang lunak atau cair yang sering tanpa darah. Mungkin disertai

muntah atau panas. Diare cair akut dapat menyebabkan dehidrasi dan bila masukan makanan

berkurang, juga mengakibatkan kurang gizi. Kematian terjadi karena diare. Peyebab diare

cair akut di Negara berkembang adalah : Eschericia coli enterotoxogenik, Shigella,

Campylobacter Jejuni, dan Crystoporidium . di beberapa tempat Vibrio cholera, Salmonella,

dan E.coli enteropatogenik. Diare melanjut adalah diare yang yang berlangsung antara 7

sampai 14 hari.

29
Diare Persisten adalah diare yang berlangsung lebih dari 14 hari. Episode ini dapat di

mulai sebagai diare cair atau disentri. penyebab diare pada diare persisiten E.coli, Shigella,

dan Criptosporidium.

Diare kronik adalah diare yang diare yang berlangsung lebih dari 14 hari dan bukan

disebabkan oleh non bakterial seperti penyakit sensitive terhadap glutein dan gangguan

metabolism yang menurun.

Disentri adalah diare yang disertai darah pada tinja. Akibat terpenting disentri adalah

anoreksi , penurunan berat badan dengan cepat , dan kerusakan mukosa usus karena bakteri

invasi. Penyebab utama disentri adalah Shigella, dan Campilobacter jejuni. Yang jarang

adalah E.coli enteroinvasiv atau Salmonella. Entamoeba Histolytica dapat menyebabkan

disentri yang serius pada orang dewasa muda tapi jarang pada anak-anak.

II. Epidemiologi

Pada tahun 1995, diare akut karena infeksi sebagai penyebab kematian pada lebih dari 3

juta penduduk dunia. Kematian karena diare akut dinegara berkembang terjadi terutama pada

anak-anak berusia kurang dari 5 tahun

Hasil survei pada 2006 menunjukkan bahwa kejadian diare di Indonesia adalah 423 dari

tiap 1.000 orang, dan terjadi 1-2 kali per tahun pada anak-anak berusia di bawah 5 tahun.

Pada 2001, angka kematian rata-rata yang diakibatkan diare adalah 23 di tiap 100.000 orang

penduduk, sedangkan angka yang lebih tinggi terjadi pada kelompok anak berusia di bawah 5

tahun, yaitu 75 per 100.000 orang. Sementara kematian anak berusia di bawah tiga tahun

akibat diare adalah 19 persen, dengan kata lain sekitar 100.000 anak meninggal dunia tiap

tahunnya akibat diare.

30
1. Penyebaran Kuman yang menyebabkan diare

Kuman penyebab diare biasanya menyebar melalui fecal oral antara lain melalui

makanan/minuna yang tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan tinja penderita.

Beberapa perilaku dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan

risiko terjadinya diare perilaku tersebut antara lain :

a) Tidak memberikan ASI ( Air Susi Ibu ) secara penuh 4-6 bulan pada pertama

kehidupan pada bayi yang tidak diberi ASI risiko untuk menderita diare lebih besar

dari pada bayi yang diberi AsI penuh dan kemungkinan menderita dehidrasi berat

juga lebih besar.

b) Menggunakan botol susu , penggunakan botol ini memudahkan pencernakan oleh

Kuman , karena botol susah dibersihkan

c) Menyimpan makanan masak pada suhu kamar. Bila makanan disimpan beberapa jam

pada suhu kamar makanan akan tercemar dan kuman akan berkembang biak,

d) Menggunakan air minum yang tercemar . Air mungkin sudah tercemar dari

sumbernya atau pada saat disimpan di rumah, Perncemaran dirumah dapat terjadi

kalau tempat penyimpanan tidak tertutup atau apabila tangan tercemar menyentuh

air pada saat mengambil air dari tempat penyimpanan.

e) Tidak mencuci tangan sesudah buang air besar dan sesudah membuang tinja anak

atau sebelum makan dan menyuapi anak,

f) Tidak membuang tinja ( termasuk tinja bayi ) dengan benar Sering beranggapan

bahwa tinja bayi tidaklah berbahaya padahal sesungguhnya mengandung virus atau

bakteri dalam jumlah besar sementara itu tinja binatang dapat menyebabkan infeksi

pada manusia.

31
2. Faktor penjamu yang meningkatkan kerentanan terhadap diare

Beberapa faktor pada penjamu dapat meningkatkan insiden beberapa penyakit

dan lamanya diare. Faktor-faktor tersebut adalah :

a) Tidak memberikan ASI sampai 2 Tahun. ASI mengandung antibodi yang dapat

melindungi kita terhadap berbagai kuman penyebab diare seperti : Shigella dan v

cholerae

b) Kurang gizi beratnya Penyakit , lama dan risiko kematian karena diare meningkat

pada anak-anak yang menderita gangguan gizi terutama pada penderita gizi buruk.

c) Campak, diare dan disentri sering terjadi dan berakibat berat pada anak-anak yang

sedang menderita campak dalam waktu 4 minggu terakhir hal ini sebagai akibat

dari penurunan kekebalan tubuh penderita.

d) Imunodefesiensi /Imunosupresi. Keadaan ini mungkin hanya berlangsung

sementara, misalnya sesudah infeksi virus ( seperti campak ) natau mungkin yang

berlangsung lama seperti pada penderita AIDS ( Automune Deficiensy Syndrome )

pada anak imunosupresi berat, diare dapat terjadi karena kuman yang tidak parogen

dan mungkin juga berlangsung lama.

3. Faktor lingkungan dan perilaku :

Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan dua faktor

yang dominan, yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja kedua factor ini akan

berinteraksi bersamadengan perilaku manusia Apabila faktor lingkungan tidak sehat

karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak sehat

pula. Yaitu melalui makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan kejadian penyakit

diare.

32
III. Etiologi

Faktor infeksi

a. Infeksi enteral (infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan penyebab

utama diare)

i. Infeksi bakteri : vibrio, E. coli, salmonela, shigella, campylobacter, yersinia,

aeromonas, dan sebagainya

ii. Infeksi virus : enterovirus, adenovirus, rotavirus, astrovirus, daii lain-lain

iii. Infeksi parasite : cacing (ascaris), protozoa (entamoeba histolytica, giardia

lamblia, tricomonas hominis dan jamur (candida albicans)

b. Infeksi parenteral (infeksi diluar alat pencernaan) seperti: OMA (Otitis Media

Akut), tonsilitis, tonsilofaringitis, brankopneumoma, ensefalitis, dan sebagainya

(sering terjadi pada bayi dan umur dibawah 2 tahun)

Faktor Malabsorpsi

 Malabsorbsi karbohidrat

 Disakarida ; intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa

 Monosakarida: intoleransi glukosa, fruktosadan galaktosa

 Molabsorbsi lemak

 Molabsorbsi protein

Faktor makanan

 Makanan beracun

 alergi terhadap makanan

Lain-lain

 Imunodefisiensi

33
 Gangguan psikologis (cemas dan takut)

 Faktor-faktor langsung:

o KEP (Kurang Energi Protein)

o Kesehatan pribadi dan lingkungan

o Sosioekonomi

IV. Patofisiologi

Diare adalah kehilangan banyak cairan elektrolit melalui tinja. Bayi kecil mengeluarkan

tinja kira-kira 5g /kgbb/hari. Jumlah ini meningkat 200 gr /kgbb/ hari pada orang dewasa.

Penyerapan air terbanyak terjadi di usus, kolon memekatkan isi usus pada keadaan pada

keadaan osmotik tinggi.kelainan yang menggangu usus cenderung menyebabkan diare yang

lebih banyak. Sedangkan kelainan yang terjadi di kolon cenderung menyebabkan diare yang

lebih sedikit. Disentri dengan volume sedikit dan sering , tenesmus, rasa ingin buang air

besar, dan tinja betrdarah adalah gejala utama kolitis.

Dasar semua diare adalah gangguan transportasi larutan usus, perpindahan air melalui

membran usus berlangsung secara pasif dan ini di tentukan oleh aliran larutan secara aktif

maupun pasif terutama natrium dan klorida dan glukosa. Patomekanisme diare kebanyakan

dapat di jelaskan dari kelainan sekretorik, osmotik, motilitas, kombinasi dari hal tersebut.

Ada 3 prinsip mekanisme terjadinya diare cair sekretorik dan osmotik. Infeksi usus dapat

menyebabkan diare dengan 3 mekanisme tersebut. Diare sekretori lebih sering terjadi dan

keduanya dapat terjadi pada satu pasien .

Gangguan sekretorik disebabkan oleh sekresi air dan elektrolit kedalam usus halus.

Hal ini terjadi bila absorbsi natrium oleh villi gagal sedangkan sekresi klorida oleh sel epitel

berlangsung terus atau meningkat. Hasil akhirnya adalah sekresi cairan yang mengakibatkan

kehilangan cairan dan elektrolit dari tubuh sebagai tinja cair. Hali ini menyebabkan terjadinya

34
dehidrasi. Pada infeksi perubahan ini terjadi karena adanya rangsangan pada mukosa usus

oleh toxin bakteri seperti toxin Eschericia coli dan Vibrio colera atau rotavirus

Gangguan osmotik , mukosa usus halus adalah epitel berpori, yang dapat dilewati

air dan elektrolit dengan cepat untuk mempertahankan tekanan osmotik antara isi usus

dengan cairan ekstrasellular. Dalam keadaaan ini diare dapat terjadi apabila suatu bahan yang

secara osmotik aktif dan tidak dapat diserap. Jika bahan semacam itu berupa larutan isotonik,

air, dan bahan yang larut didalamnya akan lewat tanpa diabsorsi sehingga terjadilah diare .

Gangguan motilitas usus, hiperperistaltik akan menyebabkan berkurangnya

kesempatan usus untuk menyerap makanan, sehingga timbul diare- Sebaliknya bila peristaltik

usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan, selanjutnya dapat timbul diare

pula.

Sebagai akibat diare akan terjadi:

1. Kehilangan air dan elektrolit (terjadi dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan

keseimbangan asam basa (asidosis metabolik, hipokalemia)

2. Gangguan gizi bisa mengakibatkan penurunan berat badan dalam waktu yang singkat

oleh karena makanan sering dihentikan oleh orangtua karena takut diare/muntah

bertambah hebat. Walaupun susu diteruskan sering diencerkan dalam waktu yang

lama. Makanan yang diberikan sering tidak dapat dicerna dan diabsorpsi dengan baik

karena adanya hiperperistaltik

3. Gangguan sirkulasi darah akibat diare dengan/tanpa muntah-muntah dapat terjadi

syok hipovolemik. Hal ini menyebabkan perfusi jaringan berkurang dan dapat

menyebabkan hipoksi.

35
V. Manifestasi Klinis

Mula-mula anak cengeng, gelisah, suhu tubuh naik, nafsu makan berkurang kemudian

timbul diare. Tinja mungkin disertai lendir dan darah. Warna tinja makin lama berubah

kehijauan karena bercampur dengan, Daerah anus dan sekitarnya timbul luka lecet karena

sering deflkasi dan tinja yang asam akibat laktosa yang tidak diabsorbsi usus selama diare.

Gejala muntah dapat timbul sebelum atau selama diare dan dapat disebabkan karena lambung

turut meradang atau akibat gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit. Bila kehilangan

cairan terus berlangsung tanpa pergantian yang memadai gejala dehidrasi mulai tampak yaitu

: BB turun, turgor kulit berkurang, mata dan ubun-ubun cekung (bayi), selaput lender bibir

dan mulut, serta kulit kering. Bila berdasarkan terus berlanjut, akan terjadi renjatan

hypovolemik dengan gejala takikardi, denyut jantung menjadi cepat, nadi lemah dan tidak

teraba, tekanan daran turun, pasien tampak lemah dan kesadaran menurun, karena kurang

cairan, deuresis berkurang (oliguria-anuria). Bila terjadi asidosis metabolik pasien akan

tampak pucat, nafas cepat dan dalam (pernafasan kusmaul)

36
VI. Derajat Dehidrasi

Derajat dehidrasi dapat dibagi berdasarkan :

 Kehilangan BB

1. Dehidrasi ringan ; menurun BB 0 - 5%

2. Dehidrasi sedang : menurun BB 5 - 10%

3. Dehidrasi berat : menurun BB > 10%

PENILAIAN A B C

Lihat

Keadaan Umum Baik, sadar *Gelisah, rewel *Lesu,lunglai, tidak


sadar

Mata Normal Cekung Sangat cekung

Air Mata Ada Tidak ada Tidak ada

Mulut dan lidah Basah Kering Sangat kering

Rasa Haus Minum Biasa, Tidak *Haus ingin minum *Malas minum atau
haus banyak tidak bias minum

Periksa Turgor Kembali cepat *Kembali lambat *Kembali sangat


Kulit lambat

Derajat Dehidrasi TANPA DEHIDRASI DEHIDRASI


DEHIDRASI RINGAN SEDANG BERAT

Bila ada 1 tanda* + Bila ada 1 tanda* + 1


1 atau lebih tanda atau lebih tanda lain
lain

Terapi Rencana Terapi A Rencana terapi B Rencana C

VII. Pemeriksaan Penunjang

 Feses  makroskopik (warna, konsistensi, darah(-/+), lendir (-/+) )

 Mikrokopik (leukosit, kista, telur cacing, )

 Darah (darah rutin, GDS, elektrolit.)

37
VIII. Diagnosis banding

 Diare Akut

 Diare Persisten

 Diare Kronik

 Disentri

IX. Kriteria Diagnosis

Anamnesis

 Buang air besar lebih cair/ encer dari biasanya, frekuensi > 3 x / hari

 Dapat disertai darah (disentri)

 Dapat terjadi muntah , nyeri perut atau panas

Pemeriksaan fisik

 Tanda dan gejala tanpa dehidrasi atau,

 Tanda dan gejala dehidrasi ringan sedang atau,

 Tanda dan gejala dehidrasi berat dengan atau tanpa syok

 Dapat disertai atau tidak tanda dan gejala gangguan keseimbangan elektrolit dan

atau gangguan keseimbangan asam basa.

Laboratorium

 Feses : dapat disertai darah atau lender

PH asam  diare osmotic

Leukosit > 5 / LPB - disentri

ELISA (bila memungkinkan untuk etiologi virus)

 Darah : Dapat terjadi gangguan elektrolit dan gangguan asam basa. 5

38
X. Komplikasi

1. Dehidrasi (ringan, sedang, berat)

2. Renjatan hipovolemik

3. Hipokalemia/ dengan gejala meteorismus, hipotoni otot, lemah, takikardia

4. Hipoglikemi

5. Kejang, yang biasanya disebabkan oleh hipogloikemik, hiponatremi,

hipernatremia.

6. Malnutrisi energi protein (muntah dan mual bila lama/ kronik)

XI. Tatalaksana

a. Mencegah terjadinya dehidrasi

Mencegah terjadinya dehidasi dapat dilakukan mulai dari rumah dengan

memberikan minum lebih banyak dengan cairan rumah tangga yang dianjurkan seperti

air tajin , kuah sayur, air sup. Bila tidak mungkin memberikan cairan rumah tangga

yang dianjukan , berikan air matang.

Macam Cairan yang dapat digunakan akan tergantung pada :

 Kebiasaan setempat dalam mengobati diare

 Tersedianya cairan sari makanan yang cocok

 Jangkauan pelayanan Kesehatan

 Tersedianya oralit

b. Mengobati dehidrasi

Bila terjadi dehidrasi (terutama pada anak), penderita harus segera dibawa ke

petugas atau sarana kesehatan untuk mendapatkan pengobatan yang cepat dan tepat,

yaitu dengan oralit. Bila terjadi dehidrasi berat, penderita harus segera diberikan

cairan intravena dengan ringer laktat sebelum dilanjutkan terapi oral

39
c. Memberi makanan

Berikan makanan selama diare untuk memberikan gizi pada penderita

terutama pada anak tetap kuat dan tumbuh serta mencegah berkurangnya berat badan.

Berikan cairan termasuk oralit dan makanan sesuai yang dianjurkan. Anak yang masih

mimun ASI harus lebih sering diberi ASI. Anak yang minum susu formula diberikan

lebih sering dari biasanya. Anak Usia 6 bulan atau lebih termasuk bayi yang telah

mendapat makanan padat harus diberikan makanan yang mudah dicerna sedikit

sedikit tetapi sering Setelah diare berhenti pemberian makanan ekstra diteruskan

selama 2 minggu untuk membantu pemulihan berat badan anak.

d. Mengobati masalah lain

Apabila diketemukan penderita diare disertai dengan penyakit lain, maka

diberikan pengobatan sesuai indikasi, dengan tetap mengutamakan rehidrasi. Tidak

ada Obat yang aman dan efektif untuk menghentikan diare.

Tentukan Derajat Dehidrasi

RENCANA TERAPI A

UNTUK MENGOBATI DIARE DIRUMAH

PENDERITA DIARE TANPA DEHIDRASI

GUNAKAN CARA INI UNTUK MENGAJARI IBU :

 Teruskan mengobati anak diare dirumah


 Berikan terapi awal bila terkena diare lagi

1. Berikan anak lebih banyak cairan daripada biasanya untuk mencegah dehidrasi

Gunakan cairan rumah tangga yang dianjurkan, seperti larutan oralit,makanan

yang cair (seperti sup, air tajin ) dan kalau tidak ada air matang. Gunakan larutan

oralit untuk anak seperti dijelaskan dalam kotak dibawah (catatan jika anak berusia

40
kurang dari 6 bulan dan belum makan makanan padat lebih baik diberi oralit dan air

matang dari pada makanan yang cair ). Berikan larutan ini sebanyak anak mau,

berikan jumlah larutan oralit seperti dibawah. Teruskan pemberian larutan ini hingga

diare berhenti

2. Beri anak makan untuk mencegah kurang gizi

Teruskan ASI , Bila anak tidak mendapat ASI berikan susu yang biasa diberikan,

untuk anak kurang dari 6 bulan dan belum mendapat makanan padat , dapat diberikan

susu,

Bila anak 6 bulan atau lebih atau telah mendapat makanan padat:

o Berikan bubur bila mungkin dicampur dengan kacanf-kacangan, sayur,

daging atau ikan , tambahkan 1 atau 2 sendok teh minyak sayur tiap porsi

o Berikan sari buah segar atau pisang halus untuk menanbahkan kalium

o Berikan makanan yang segar masak dan haluskan atau tumbuk makanan

dengan baik

o Bujuk anak untuk makan , berikan makanan sedikitnya 6 kali sehari

o Berikan makanan yang sama setelah diare berhenti, dan diberikan porsi

makanan tambahan setiap hari selama 2 minggu

3. Bawa anak kepada petugas kesehatan bila anak tidak membaik dalam 3 hari

atau menderita sebagai berikut :

 Buang Air besar cair lebih sering

 Muntah berulang-ulang

 Rasa haus yang nyata

 Makan atau Minum sedikit

 Demam

41
 Tinja berdarah

Usia Jumlah Oralit yang diberikan Jumlah Oralit yang di sediakan


tiap BAB (ml) di rumah ((ml/hari)

<1 50 – 100 400 (2 bungkus)

1–4 100-200 600-800 (3-4 bungkus)

> 5 200-300 800- 1.000 (4-5 bungkus)

Dewasa 300-400 1.200- 2600

Tunjukan kepada ibu cara mencampur oralit

 Berikan sesendok the tiap 1-2 menit untuk usia < 2 tahun
 Berikanlah beberapa gelas untuk anak yang lebih tua
 Bila anak muntah tunggulah 20 menit. Kemudian berikan caiaran lain untuk
mendapatkankan tambahan oralit.
Komposisi Formula WHO (200 ml)

Na Klorida (garam ) : 0,7 g

Glukosa :4g

Atau

Sukrosa (gula biasa) :8g

Trisodium sitrat dihidrat :0,5 g

K Klorida : 0,3 g

42
RENCANA TERAPI B

UNTUK TERAPI DEHIDRASI RINGAN/SEDANG

JUMLAH ORALIT YANG DIBERIKAN DALAM 3 JAM PERTAMA

ORALIT yang diberikan dihitung dengan mengalikan berat badan


penderita ( kg ) dengan 75 ml

Bila berat badan anak tidak diketahui dan atau untuk memudahkan di lapangan berikan
oralit sesuai tabel dibawah ini

Umur Umur < 1 Tahun 1 – 4 Tahun > 5 Tahun Dewasa

Jumlah oralit 300 ml 600 ml 1200 ml 2400 ml

Bila anak menginginkan lebih banyak oralit berikanlah

Bujuk ibu
Setelah 3-4untuk
jammeneruskan ASI
nilai kembali anak menggunakan bagan penilaian kemudian pilih
rencana terapi a , b atau c untuk melanjutkan terapi
Untuk bayi dibawah 6 bulan yang tidak mendapat ASI berikan juga 100 200 ml air masak
selama masa ini
 Bila tidak ada dehidrasi , ganti ke rencana terapi A, Bila dehidras telah hilang anak
biasanya kemudian mengantuk dan tidur
 Bila tanda menunjukkan dehidrasi ringan/ sedang ulang Rencana terap B , tetapi tawarkan
makanan susu dan sari buah seperti rencana terapi A
 Bila tanda menunjukkan dehidrasi berat ganti dengan rencana terapi C
Bila ibu harus pulang sebelum selesai rencana terapi B

 Tunjukkan jumlah orait yang harus dihabiskan dalam terapi 3 jam di rumah
 Berikan oralit untuk rehidrasi selama 2 hari lagi seperti dijelaskan dalam rencana terapi A
 Tunjukkan cara melarutkan oralit
 Jelaskan 3 cara dalam rencana terapi A untuk mengobati anak dirumah
 Memberikan oralit atau cairanlain hingga diare berhenti
 Memberi makan anak sebagaimana biasanya
 Membawa anak ke petugas kesehatan.

43
RENCANA TERAPI C

UNTUK DEHIDRASI BERAT

Mulai diberikan cairan IV bila penderita bisa minum segera berikan oralit.
Sewaktu cairan IV di mulai beri 100 ml/kgBB

Umur Pemberian 30 Pemberian 70 ml /


ml/kgBB (jam ) kgBB (jam)

< 1 tahun 1 jam 5 jam

1 tahun ½ jam 2 ½ jam

Di ulangi bila denyut nadi masih lemah atau tidak teraba

 Nilai lagi penderita 1-2 jam bila nadi belum teraba percepat tetesan intravena
 Berikan oralit 5ml/kgBB. Kemudian nilai kembali. Dan pilih rencana terapi
XII. Tatalaksana Nutrisi Pada Diare
yang sesuai.

Perlu bimbingan ibu-ibu untuk tentang cara pemberian cara pemberian makanan yang

aik pada anak, mengajari pentingnya meneruskan pemberian makanan penuh selama diare

dan membantu usaha mereka untuk mengikuti anjuran ini. Empat kunci utama tatalaksana

gizi diare yang benar:

 Menilai status gizi

 Memberi makanan yang tepat pada saat episode diare

 Memberi makanan yang tepat pada waktu penyembuhan dengan tindak lanjutnya.

 Komunikasi yang efektif tentang anjuran diet kepada ibu.

Pemberian ASI selama diare tidak boleh di kurangi atau di hentikan tetapi

diperbolehkan sesering atau selama anak menginginkannya. ASI harus di berikan untuk

menambah larutan oralit. Susu sapi atau formula yang biasa di terima bila timbul

dehidrasi maka pemberian susu harus di hentikan selama rehidrasi untuk 4-6 jam dan

44
kemudian dilanjutkan lagi. Makanan lunak bila anak berumur 4 bulan atau lebih sudah

bisa menerima makanan lunak, makanan ini harus di teruskan. Bayi umur 6 bulan atau

lebih harus mulai di berikan makanan lunak bila belum pernah di beri. Bila timbul

dehidrasi makanan ini harus di hentikan 4 – 6 jam untuk rehidrasi untuk kemudian di

lanjutkan lagi. Paling tidak separuh makanan diet harus berasal dari makanan porsi kecil

tetapi sering (6 kali atau lebih) dan mereka harus di bujuk untuk makan.

Banyak literatur yang menyebutkan bahwa probiotik memberikan kebaikan dalam

penanganan diare akut pada bayi. Probiotik dengan pemberian dua kali sehari selama 5

hari dipercaya terbukti memberikan kebaikan dalam mengurangi frekuensi, serta durasi

penyakit diare. Probiotik dipercaya dapat mengurangi lama waktu kesakitan, dengan

meningkatkan respon imun, memperbaiki mukosa usus, sebagai substansi penting dalam

antimikroba dan menyeimbangan jumlah mikroba diusus. Angka penguranga dari

frekuensi defekasi secara drastis dalam <3 hari terdapat pada kelompok yang

memeperoleh probiotik dengan kelompok kontrol. Konsistensi faeces yang lebih padat

dan durasi yang lebih pendek pada kelompok probiotik. Rata-rata lama durasi diare juga

mengalami hasil yang signifikan pada kelompok probiotik.

XIII. Pencegahan

Air minum yang bersih dari sumber air yang terjaga kebersihannya dan dimasak.

Pengelolaan makanan yang dimasak dengan baik, untuk menghindari kontaminasi. Cuci tangan

dengan sabun setelah buang air besar, sebelum makan dan sebelum menyiapkan makanan.

Buang cepat tinja dengan cara memasukannya kedalam jamban atau menguburkan. Berikan

hanya ASI selama 4-6 bulan pertama, teruskan pemberian ASI paling sedikit 1 tahun pertama.

Berikan makanan sapihan yang bersih dan bergizi mulai usia 4-6 bulan. Anak usia > 9 bulan

yang tidak menderita campak untuk imunisasi campak.

45
TINJAUAN PUSTAKA

KEJANG DEMAM

DEFINISI

Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada suhu badan yang tinggi. Suhu badan
yang tinggi ini disebabkan oleh kelainan ekstrakranial.(1) Kejang demam dapat juga
didefinisikan sebagai kejang yang disertai demam tanpa bukti adanya infeksi intrakranial,
kelainan intrakranial, kelainan metabolik, toksin atau endotoksin seperti neurotoksin
Shigella.(7) Kejang demam pertama kali pada anak biasanya dihubungkan dengan suhu yang
lebih dari 38ºC, usia anak kurang dari 6 tahun, tidak ada bukti infeksi SSP maupun ganguan
metabolic sistemik akut.

Pada umumnya kejang demam terjadi pada rentang waktu 24 jam dari awal mulai
demam(1). Pada saat kejang anak kehilangan kesadarannya dan kejang dapat bersifat fokal
atau parsial yaitu hanya melibatkan satu sisi tubuh, maupun kejang umum di mana seluruh
anggota gerak terlibat. Bentuk kejang dapat berupa klonik, tonik, maupun tonik-klonik.
Kejang dapat berlangsung selama 1-2 menit tapi juga dapat berlangsung lebih dari 15 menit.

EPIDEMIOLOGI

Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang terjadi pada 2-4 % populasi anak
berusia 6 bulan-5 tahun dan 1/3 dari populasi ini akan mengalami kejang berulang (4). Kejang
demam dua kali lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak
perempuan.

ETIOLOGI

Etiologi dan patogenesis kejang demam sampai saat ini belum diketahui, akan tetapi
(1)
umur anak, tingginya dan cepatnya suhu meningkat mempengaruhi terjadinya kejang .
Faktor hereditas juga mempunyai peranan yaitu 8-22 % anak yang mengalami kejang demam
memiliki orangtua yang memiliki riwayat kejang demam pada masa kecilnya.

Kejang demam biasanya diawali dengan infeksi virus atau bakteri. Penyakit yang
paling sering dijumpai menyertai kejang demam adalah penyakit infeksi saluran pernapasan,
otitis media, dan gastroenteritis.

46
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. dr. Lumantobing pada 297 anak
penderita kejang demam, infeksi yang paling sering menyebabkan demam yang akhirnya
memicu serangan kejang demam adalah tonsillitis/faringitis yaitu 34 %. Selanjutnya adalah
otitis media akut (31 %) dan gastroenteritis (27%).

PATOFISIOLOGI

Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion
kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh natrium (Na+). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel
neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah. Keadaan sebaliknya terjadi di luar sel neuron.
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka terdapat perbedaan
potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan
potensial membran ini diperlukan energi yang berasal dari glukosa yang melalui proses
oksidasi oleh oksigen.

Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10%-15% dan meningkatnya kebutuhan oksigen sebanyak 20%. Akibatnya terjadi
perubahan keseimbangan dari membran sel otak dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari
ion kalium dan ion natrium melalui membran, sehingga terjadi lepasnya muatan listrik.
Lepasnya muatan listrik yang cukup besar dapat meluas ke seluruh sel maupun membran sel
di dekatnya dengan bantuan neurotransmiter dan menyebabkan terjadinya kejang.

Setiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda tergantung dari tinggi rendahnya
ambang kejang seorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak
dengan ambang kejang yang rendah, kejang dapat terjadi pada suhu 38oC, sedangkan pada
anak dengan ambang kejang tinggi kejang baru dapat terjadi pada suhu 40oC atau lebih.

Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya. Tetapi
pada kejang yang berlangsung lama biasanya disertai terjadinya apnoe sehingga kebutuhan
oksigen untuk otak meningkat dan menyebabkan terjadinya kerusakan sel neuron otak yang
berdampak pada terjadinya kelainan neurologis.

MANIFESTASI KLINIS

Kejang demam dapat dimulai dengan kontraksi yang tiba-tiba pada otot kedua sisi
tubuh anak. Kontraksi pada umumnya terjadi pada otot wajah, badan, tangan dan kaki. Anak

47
dapat menangis atau merintih akibat kekuatan kontraksi otot. Kontraksi dapat berlangsung
selama beberapa detik atau beberapa menit. Anak akan jatuh apabila sedang dalam keadaan
berdiri, dan dapat mengeluarkan urin tanpa dikehendakinya.

Anak dapat muntah atau menggigit lidahnya. Sebagian anak tidak bernapas dan dapat
menunjukkan gejala sianosis.

Pada akhirnya kontraksi berhenti dan digantikan oleh relaksasi yang singkat.
Kemudian tubuh anak mulai menghentak-hentak secara ritmis (pada kejang klonik), maupun
kaku (pada kejang tonik). Pada saat ini anak kehilangan kesadarannya dan tidak dapat
merespon terhadap lingkungan sekitarnya.

KLASIFIKASI

Klasifikasi kejang demam menurut Livingstone

A. Kejang Demam Sederhana:


1. Kejang bersifat umum
2. Lamanya kejang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit)
3. Usia saat kejang demam pertama muncul kurang dari 6 tahun
4. Frekuensi serangan 1-4 kali dalam 1 tahun
5. Pemeriksaan EEG normal

B. Epilepsi yang Dicetuskan oleh Demam:


1. Kejang berlangsung lama atau bersifat fokal
2. Usia penderita lebih dari 6 tahun saat serangan kejang demam yang pertama
3. Frekuensi serangan kejang melebihi 4 kali dalam 1 tahun
4. Pemeriksaan EEG yang dibuat setelah anak tidak demam lagi hasilnya abnormal

Sedangkan menurut Fukuyama kejang demam dibagi menjadi :

A. Kejang Demam Sederhana:


1. Riwayat penyakit keluarga penderita tidak ada yang mengidap epilepsi
2. Sebelumnya tidak ada riwayat cedera otak oleh penyebab apapun
3. Serangan kejang demam yang pertama terjadi antara usia 6 bulan-6 tahun
4. Lamanya kejang berlangsung tidak lebih dari 20 menit

48
5. Kejang tidak bersifat fokal
6. Tidak didapatkan gangguan atau abnormalitas pasca kejang
7. Sebelumnya juga tidak didapatkan abnormalitas neurologis atau abnormalitas
perkembangan
8. Kejang tidak berulang dalam waktu singkat

B. Kejang Demam Kompleks


Kejang demam yang tidak memenuhi kriteria di atas digolongkan sebagai kejang
demam kompleks

Sekitar 80-90 % dari keseluruhan kasus kejang demam adalah kejang demam sederhana.

1. Kejang demam sederhana


- Kejang berlangsung singkat < 15 menit
- Kejang umum tonik dan atau klonik
- Akan berhenti sendiri
- Tanpa gangguan fokal atau berulang dalam waktu 24 jam
2. Kejang demam kompleks
- Kejang lama > 15 menit
- Kejang fokal atau parsial 1 sisi (kejang umum didahului kejang parsial)
- Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.

DIAGNOSIS

Diagnosis kejang demam hanya dapat ditegakkan dengan menyingkirkan penyakit-


penyakit lain yang dapat menyebabkan kejang, di antaranya: infeksi susunan saraf pusat,
perubahan akut pada keseimbangan homeostasis air dan elektrolit, dan adanya lesi struktural
pada sistem saraf misalnya epilepsy(4). Diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang yang menyeluruh untuk menegakkan diagnosis ini.

Anamnesis

1. Kesadaran sebelum dan sesudah kejang (menyingkirkan diagnosis meningitis


encephalitis)

49
2. Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi)
3. Riwayat demam (sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan, menetap atau naik
turun)
4. Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (infeksi saluran napas, otitis
media, gastroenteritis)
5. Waktu terjadinya kejang, durasi, frekuensi, interval antara 2 serangan kejang
6. Sifat kejang (fokal atau umum)
7. Bentuk kejang (tonik, klonik, tonik-klonik)
8. Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak disertai demam
atau epilepsi)
9. Riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan
10. Trauma

Pemeriksaan Fisik

1. Temperature tubuh
2. Pemeriksaan untuk menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (infeksi
saluran napas, otitis media, gastroenteritis)
3. Pemeriksaan reflex patologis
4. Pemeriksaan tanda rangsang meningeal (menyingkirkan diagnosis meningitis,
encephalitis)

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan elektrolit, pemeriksaan fungsi hati dan ginjal untuk menyingkirkan


gangguan metabolisme yang menyebabkan perubahan homeostasis apabila pada
anamnesis ditemukan riwayat muntah, diare, gangguan asupan cairan, dan gejala
dehidrasi.
2. Pemeriksaan Cerebro Spinal Fluid (CSF) untuk menyingkirkan diagnosis meningitis
encephalitis apabila anak berusia kurang dari 12 bulan, memiliki tanda rangsang
meningeal positif, dan masih mengalami kejang beberapa hari setelah demam
3. CT Scan cranium pada umumnya tidak diperlukan pada kejang demam sederhana
yang terjadi pertama kali, akan tetapi dapat dipertimbangkan pada pasien yang
mengalami kejang demam kompleks untuk menentukan jenis kelainan struktural
berupa kompleks tunggal atau multipel.

50
4. EEG pada kejang demam tidak dapat mengindentifikasi kelainan yang spesifik
maupun memprediksikan terjadinya kejang yang berulang, tapi dapat
dipertimbangkan pada kejang demam kompleks.

TATALAKSANA

Antipiretik dan Antibiotik

Antipiretik diberikan sebagai pengobatan simptomatis terhadap demam. Dapat diberikan


paracetamol dengan dosis untuk anak yang dianjurkan 10-15 mg/kgBB/hari tiap 4-6 jam
atau ibuprofen 5-10 mg/kgBB/hari tiap 4-6 jam. Antibiotik untuk mengatasi infeksi yang
menjadi etiologi dasar demam yang terjadi.

A. Penanganan Kejang pada Neonatus


Hal pertama yang harus diperhatikan adalah tersumbat atau tidaknya jalan napas.
Selanjutnya dilakukan pemberian oksigen, dan menghentikan kejang dengan cara:
KEJANG
30 menit Luminal IM 20 mg/kg/BB dalam 5 menit

KEJANG (+)
Ulangi luminal IM 10 mg/kg/BB. Dapat diulangi
lagi jarak 30 menit bila masih kejang.
KEJANG (+)
Fenitoin bolus IV 20 mg/kgBB dalam 15 ml
NaCl, berikan dalam 30 menit (kecepatan 0.5-1
mg/kgBB/menit)
KEJANG (-)

Bila kejang berulang dalam 2 hari, berikan luminal 5 mg/kg/hari per oral sampai bebas
kejang 7 hari. Bila kejang berulang setelah bebas kejang 2 hari, ulangi pemberian luminal
dari awal.

B. Penanganan Kejang pada Anak


Hal pertama yang harus diperhatikan adalah tersumbat atau tidaknya jalan napas.
Selanjutnya dilakukan pemberian oksigen, dan menghentikan kejang dengan cara:

51
KEJANG
5 menit Diazepam rectal 0.5 mg/kgBB atau:
Berat badan ≤ 10 kg: 5 mg
Berat badan > 10 kg: 10 mg
KEJANG (+)
Ulangi diazepam rektal seperti sebelumnya.

DI RS
Cari akses vena
Periksa laboratorium (darah tepi, Na, Ca, Mg, Ureum, Kreatinin)

KEJANG (+)
Diazepam IV dosis 0.3-0.5 mg/kgBB
(kecepatan 0.5-1 mg/menit)

KEJANG (-) KEJANG (+)


Berikan terapi rumatan bila Fenitoin bolus IV 10-20
penyebab kejang diperkirakan mg/kgBB (dengan
kecepatan 0.5-1 mg/menit)
infeksi intrakranial. Berikan
fenobarbital 8-10
mg/kgBB/hari, dibagi 2 dosis.
Selama 2 hari selanjutnya 4-5
mg/kgBB/hari sampai resiko
kejang tidak ada. KEJANG (+) KEJANG (-)
Transfer ke Rumatan fenitoin IV 5-
ICU 7 mg/kgBB/hari 12
Koreksi Hipokalemia (FCCS) jam kemudian

Kadar K Koreksi

3-3,5 mEq/L KCL per oral 75 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis (1-3mEq.kg.hari) atau 0,25

52
mEq/kg IV KCL dalam 1 jam

2,5-3 mEq/L 0,5 mEq/kg IV KCL dalam 2 jam (rogers: dalam 1 jam)

<2,5 mEq/L 0,75 mg/kg IV KCL dalam 3 jam

PROGNOSIS
Penelitian yang dilakukan Tsunoda mendapatkan bahwa dari 188 penderita kejang
demam yang diikutinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun dan tanpa pengobatan dengan
antikonvulsan, 97 penderita mengalami kekambuhan .

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. dr. Lumantobing, dari 83
penderita kejang demam yang dapat diikuti selama rata-rata 21.8 bulan (berkisar dari 6 bulan-
3.5 tahun) dan tidak mendapatkan pengobatan antikonvulsan rumatan, kejang demam
kambuh pada 27 penderita .

Secara umum dapat dikatakan bahwa sekitar 1/3 penderita kejang demam akan
mengalami kekakmbuhan 1 kali atau lebih. Kemungkinan kambuh lebih besar bila kejang
demam pertama pada usia kurang dari 1 tahun. 3/4 dari kekambuhan ini terjadi dalam kurun
waktu 1 tahun setelah kejang demam pertama, dan 90 % dalam kurun waktu 2 tahun setelah
kejang demam pertama. 1/2 dari penderita yang mengalami kekambuhan akan mengalami
kekambuhan lagi. Pada sebagian terbesar penderita kambuh terbatas pada 2-3 kali. Hanya
sekitar 10 % kejang demam yang akan mengalami lebih dari 3 kali kekambuhan .

Anak yang mengalami kejang demam pertama pada usia sebelum 1 tahun
kemungkinan kekambuhan ialah 50 %, dan bila berusia lebih dari 1 tahun kemungkinan
kekambuhannya 28 % .

Kejang demam sederhana pada umumnya tidak menyebabkan kerusakan otak yang
permanen dan tidak menyebabkan terjadinya penyakit epilepsi pada kehidupan dewasa anak
tersebut. Sedangkan pada anak-anak yang memiliki riwayat kejang demam kompleks, riwayat
penyakit keluarga dengan kejang yang tidak didahului dengan demam, dan memiliki riwayat
gangguan neurologis maupun keterlambatan pertumbuhan, memiliki resiko tinggi untuk
menderita epilepsi pada kehidupan dewasa mereka.

53
DAFTAR PUSTAKA

1. Correa AG, Starke JR. Bacterial pneumonies. Dalam: Chernick V, Boat F, penyunting.
Kendig’s Disorders of the Respiratory Tract in Children. Edisi ke-6. Philadelphia: WB
Saunders, 1998: 485-503.
2. Gittens MM. Pediatric Pneumonia. Clin Ped Emerg Med J 2002;3(3): 200-14.
3. Klein JO. Antibacterial Therapy. Dalam Chernick V, Boat F, penyunting. Kendig’s
Disorder of the Respiratory Tract in Children. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders,
1998: 431-46.
4. Lichenstein R, Suggs AH, Campbell J. Pediatric pneumonia. Emerg Med Clin N Am
2003; 21: 437-451.

5. Marik. E.P, 2001. Aspiration Pneumonitis and Aspiration Pneumonia. N Engl J Med, Vol
334, No. 9. Texas tech University Health Science Center: Massacussetts
6. Miller MA, Ben-Ami T, Daum RS. Bacterial Pneumonia in Neonates and Older Children.
Dalam: Taussig LM, Landau LI, penyunting. Pediatric Respiratory Medicine. St Louis:
Mosby Inc, 1999 : 595-664.
7. Lumbantobing SM. Kejang Demam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.
8. Behrman RE, Kliegman RM, Jensen HB, Nelson Text book of pediatrics, 17th edition.
Philadelphia: WB Sauders company. 2004. Page 1813- 1829.
9. Rudolph AM. Febrile Seizures. Rudolph Pediatrics. 20th Edition. Appleton & Lange.
2002. Page 1994.
10. Behrman RE, Kliegman RM, Arvio, Nelson Ilmu Kesehatan anak, volume 3, edisi 15.
Jakarta: EGC 2005. Page 2059- 2066.
11. Tejani NR. Pediatrics, Febrile Seizures. Accessed on Dec 10th 2010. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/801500-overview
12. W Hay, William. Current Diagnosis and Treatment of Pediatrics. 19th edition. United
States of America: McGrawHill. 2009. Page 697-698.
13. Behrman, Kliagman: Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Vol2 Jakarta 2000
14. Depatemen Kesehatan. Diare Pada Anak . Kamis, 31 desember. 2006.
www.depkes.go.id
15. Ganna, Herry. Melinda, Heda. Ilmu Kesehatan Anak Pedoman Diagnosis dan Terapi.
Edisi 3. Bandung : 2005

54
55

You might also like