Professional Documents
Culture Documents
Responsi DHF Gabung
Responsi DHF Gabung
Responsi DHF Gabung
Oleh:
Ni Kadek Risa Astria (1302006003)
Yogi Haditya (1302006022)
Pembimbing:
Dr. dr. Ketut Agus Somia, Sp.PD - KPTI
BAB I Pendahuluan 3
BAB IV Pembahasan 34
BAB V Kesimpulan 38
DAFTAR PUSTAKA 39
2
BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi virus dengue merupakan masalah kesehatan yang sudah menjadi
perhatian dunia terutama di negara-negara tropis dan subtropis di Asia Tenggara,
Pasifik Barat, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan.1 Sampai saat ini infeksi virus
Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia karena tingginya angka
perawatan rumah sakit dan kematian akibat demam berdarah dengue (DBD),
khususnya pada anak-anak. Pada data tahun 2006 berdasarkan Departemen
kesehatan RI disajikan adanya peningkatan jumlah penduduk yang terjangkir
penyakit ini dengan case fatality rate sebesar 1,01%.2 Faktor-faktor yang
mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus dengue ini sangat kompleks,
yaitu pertumbuhan penduduk, urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkontrol,
tidak adanya kontrol terhadap nyamuk yang efektif di daerah endemik, dan
peningkatan sarana transportasi. Morbiditas dan mortalitas infeksi dengue
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain status imunologis pejamu, kepadatan
vektor nyamuk, transmisi virus dengue, faktor keganasan virus, dan kondisi
geografis setempat.1,2,3
DBD dapat menyerang semua golongan umur. Proporsi kasus DBD
berdasarkan umur di Indonesia menunjukkan bahwa DBD paling banyak terjadi
pada anak usia sekolah yaitu pada usia 5-14 tahun.4 DBD masih sulit diberantas
karena belum ada vaksin untuk pencegahan dan penatalaksanaannya hanya bersifat
suportif. Keberhasilan penatalaksanaan DBD terletak pada kemampuan mendeteksi
secara dini fase kritis dan penanganan yang cepat dan tepat.5
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah suatu penyakit arthropod-borne,
yang disebabkan oleh virus dengue tipe 1-4, dengan manifestasi klinis demam
mendadak 2-7 hari yang dapat disertai gejala perdarahan dengan atau tanpa syok,
disertai pemeriksaan laboratorium menunjukkan trombositopenia (trombosit
kurang dari 100.000) dan peningkatan hematokrit 20% atau lebih dari nilai
normal.1,4,5 Infeksi virus Dengue dapat disertai dengan kebocoran plasma.
Perubahan patofisiologi pada infeksi dengue menentukan perbedaan perjalanan
penyakit antara DBD dengan demam dengue (DD). Perubahan patofisiologis
tersebut adalah kelainan hemostasis dan perembesan plasma. Kedua kelainan
tersebut dapat diketahui dengan adanya trombositopenia dan peningkatan
hematokrit.1
2.2 Epidemiologi
Dengue merupakan penyebaran penyakit virus yang paling cepat
ditanggung nyamuk di dunia. Dalam 50 tahun terakhir, insiden telah dinyatakan
meningkat sebanyak 30 kali lipat sejajar dengan peningkatan ekspansi geografis ke
negara-negara baru dan, dalam dekade ini, dari kota ke pedesaan. Diperkirakan 50
juta orang yang terinfeksi dengan dengue setiap tahun dan sekitar 2,5 miliar orang
hidup di negara-negara yang berendemik DBD. Epidemi dengue merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, Myanmar, Sri Lanka,
Thailand dan Timor-Leste yang berada di hujan tropis dan zona khatulistiwa di
mana nyamuk Aedes aegypti tersebar luas baik di daerah perkotaan dan pedesaan,
yang terdiri dari beberapa serotipe virus yang beredar, di mana merupakan
penyebab utama rawat inap dan kematian pada anak-anak. Di Indonesia khususnya,
lebih dari 35% dari penduduk hidup di daerah perkotaan, di mana 150.000 kasus
dilaporkan pada tahun 2007 (rekor tertinggi) dengan lebih dari 25 000 kasus yang
dilaporkan dari Jakarta dan Jawa Barat. Tingkat fatalitas kasus adalah sekitar 1%.
Demam berdarah dengue (DBD) disebabkan oleh salah satu dari empat virus erat
4
terkait, atau serotipe: dengue 1-4. Infeksi dengan satu serotipe tidak melindungi
terhadap serotipe yang lain, dan infeksi berurutan menempatkan orang pada risiko
yang lebih besar untuk demam berdarah dengue (DBD) dan dengue shock
syndrome (DSS).1
b. Vektor
Berbagai serotipe virus dengue yang ditularkan ke manusia adalah melalui
gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi, terutama dari nyamuk Aegypti. Nyamuk ini
merupakan spesies tropis dan subtropis yang terdistribusi secara luas di seluruh
dunia. Tahapan nyamuk yang belum matang sering ditemukan di habitat air yang
penuh, terutama di wadah buatan yang berkaitan erat dengan tempat tinggal
manusia dan sering di dalam ruangan. Studi menunjukkan bahwa kebanyakan
nyamuk Aegypti betina dapat sering dijumpai menghabiskan hidup mereka di
dalam atau di sekitar rumah di mana mereka tumbuh sebagai nyamuk dewasa.
Wabah demam berdarah juga telah dikaitkan dengan Aedes albopictus, Aedes
polynesiensis dan beberapa spesies kompleks Aedes scutellaris. Masing-masing
spesies ini memiliki ekologi, perilaku dan distribusi geografis yang tertentu. Dalam
beberapa dekade terakhir, nyamuk Aedes albopictus ini telah menyebar dari Asia
5
ke Afrika, Amerika dan Eropa, yang dibantu oleh perdagangan internasional ban
bekas di mana telur nyamuk disimpan ketika bannya menggenangkan air hujan.
Telur tersebut dapat pula bertahan hidup selama berbulan-bulan tanpa adanya air.1
c. Host
Setelah masa inkubasi sekitaran 4-10 hari, infeksi oleh salah satu dari
empat serotipe virus dapat menghasilkan spektrum yang luas dari penyakit ini,
meskipun sebagian besar infeksi tidak menunjukkan gejala atau subklinis. Infeksi
primer diduga menginduksi kekebalan protektif seumur hidup dengan serotipe yang
terinfeksi.1 Individu yang menderita infeksi dilindungi dari penyakit klinis dengan
serotipe yang berbeda dalam 2-3 bulan dari infeksi primer, tetapi tanpa kekebalan
lintas pelindung jangka panjang. Anak-anak muda khususnya mungkin kurang
mampu dibandingkan dengan orang dewasa untuk mengimbangi kebocoran kapiler
dan akibatnya memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami dengue shock.
Dalam proses transmisi, nyamuk menggigit penderita yang terinfeksi virus
dengue, dimana virus dengue banyak terdapat di dalam darah penderita terutama
pada hari ke 5. Beberapa penderita tidak menunjukkan gejala yang signifikan
namun dapat mentransmisikan virus ke dalam nyamuk yang menggigitnya. Setelah
virus masuk ke dalam nyamuk, virus tersebut akan memerlukan tambahan 8-12 hari
inkubasi sebelum dapat ditularkan ke manusia lain. Nyamuk tersebut tetap
terinfeksi selama sisa hidupnya, yang mungkin dari beberapa hari hingga beberapa
minggu.9
Data terbaru menunjukkan bahwa aktivasi sel endotel bisa memediasi
kebocoran plasma. Kebocoran plasma diduga berhubungan dengan efek fungsional
daripada merusak sel-sel endotel. Trombositopenia mungkin berhubungan dengan
perubahan dalam megakaryocytopoieses oleh infeksi sel hematopoietik manusia
dan gangguan pertumbuhan sel progenitor, disfungsi platelet (aktivasi platelet dan
agregasi) serta terjadi peningkatan penghancuran atau konsumsi. Perdarahan
mengakibatkan trombositopenia dan disfungsi trombosit yang terkait atau
disseminated intravascular coagulation. Kesimpulannya, ketidakseimbangan
sementara mediator inflamasi, sitokin dan kemokin terjadi selama perjalanan
dengue yang parah, didorong oleh beban virus pada fase awal yang tinggi sehingga
6
menyebabkan disfungsi sel endotel vaskular dan kekacauan sistem hemokoagulasi
yang menyebabkan kebocoran plasma dan syok.
7
trombosit yang menyebabkan trombositopenia, tetapi trombositopenia ini bersifat
ringan.5 Imunopatogenesis DBD dan DSS masih merupakan masalah yang
kontroversial. Dua teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan patogenesis
pada DBD dan DSS yaitu teori virulensi dan hipotesis infeksi sekunder (secondary
heterologous infection theory).4,10
Teori virulensi dapat dihipotesiskan sebagai berikut : Virus dengue seperti
juga virus binatang yang lain, dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan
sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh
nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat
menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi, dan
mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Renjatan yang dapat menyebabkan
kematian terjadi sebagai akibat serotipe virus yang paling virulen.2
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous
infection yang menyatakan DBD terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus
dengue dengan tipe yang berbeda. Jika terdapat antibodi yang spesifik terhadap
jenis virus tertentu maka antibodi tersebut dapat mencegah penyakit, tetapi
sebaliknya apabila antibodi terdapat dalam tubuh merupakan antibodi yang tidak
dapat menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan penyakit yang berat.10
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain
yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang
akan berikatan dengan reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag.
Sebagai respon terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang
kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.2,10
Patogenesis terjadinya kebocoran plasma pada DBD dapat dilihat pada
Gambar 1. Pada gambar 1 digambarkan bahwa terjadi konsentrasi kompleks imun
yang tinggi akibat reinfeksi yang mengakibatkan reaksi amnestik antibodi. Infeksi
virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis kompleks
virus-antibodi sehingga virus berkembang di makrofag. Infeksi makrofag oleh virus
dengue menyebabkan aktivasi T-helper dan T-sitotoksis sehingga diproduksilah
limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit
sehingga disekresikanlah berbagai mediator inflamasi, seperti TNF-α, IL-1, PAF
8
(platelet activating factor), IL-6, dan histamin yang megakibatkan terjadinya
disfungsi sel endotel dan terjadilah kebocoran plasma.
9
menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakibat fatal, oleh karena itu
pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.2,10
Kompleks Virus-Antibody
Aktivasi Komplemen
Komplemen
Anafilatoksin (C3a, C5a) Histamin dalam urin meningkat
SYOK
Anoksia Asidosis
MENINGGAL
10
sehingga terjadi aktivasi sistem kinin kalikrein sehingga memacu peningkatan
permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan
masif pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan
(akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler.
Akhirnya perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.10
11
berdarah shock syndrome (DSS). Bentuk parah biasanya terwujud setelah hari 2-7
fase demam dan sering digembar-gemborkan oleh tanda-tanda peringatan klinis dan
laboratorium. Walaupun tidak ada agen terapeutik untuk infeksi dengue, kunci
keberhasilan penanganan adalah penggunaan waktu yang tepat dan kebijaksanaan
perawatan suportif, termasuk pemberian cairan isotonik intravena atau koloid, serta
pemantauan ketat tanda-tanda vital dan status hemodinamik, keseimbangan cairan,
dan parameter hematologi.1
Perjalanan infeksi virus di dalam tubuh manusia sangat tergantung dari
interaksi antara kondisi imunologik dan umur seseorang. Oleh karena itu infeksi
virus dengue dapat tidak menunjukan gejala (asimptomatik) ataupun bermanifestasi
klinis ringan yaitu demam tanpa penyebab yang jelas, demam dengue (DD) dan
bermanifestasi berat dengan demam berdarah dengue (DBD) tanpa syok atau
dengue shock syndrome (DSS).1 Manifestasi klinis bergantung pada strain virus,
faktor host misalnya umur, dan status imun. Berikut ini adalah bagan manifestasi
klinis dari infeksi virus dengue.1
Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang
diikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak
demam, akan tetapi mempunyai resiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat
pengobatan adekuat.1
12
2.6 Kriteria Diagnosis dan Derajat Penyakit
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO
tahun 2011 terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris. Penggunaan kriteria ini
dimaksudkan untuk mengurangi diagnosis yang berlebihan (overdiagnosis).1
Kriteria Klinis
a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terus menerus
selama 2-7 hari.
b. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan:
Uji torniquet positif,
Petekie, ekimosis, purpura,
Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis
dan/atau melena.
c. Pembesaran hati. (terdapat pada 90-98% kasus pada anak)
d. Hemokonsentrasi yang ditandai dengan adanya efusi plera atau ascites
e. Syok yang ditandai dengan nadi cepat (takikardia), perfusi jaringan yang
buruk dengan nadi lemah, serta penurunan tekanan nadi (pulse pressure 20
mmHg or less), hipotensi dengan adanya kaki dan tangan dingin dan/atau
pasien tampak gelisah.
Kriteria Laboratorium
a. Trombositopeni (100.000/l atau kurang).
b. Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20% atau lebih
dari baseline pada populasi sesuai usia.
13
syndrome (DSS). Hasil ESR yang rendah (<10mm pada jam pertama) pada saat
syok membedakan DSS dengan syok sepsis.1
Berikut ini adalah tabel klasifikasi infeksi dengue berdasarkan tingkat
keparahannya menurut WHO tahun 2011.
Tabel 1. Klasifikasi infeksi dengue berdasarkan tingkat keparahan1
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menunjang
diagnosis DBD adalah pemeriksaan darah lengkap, urine, serologi dan isolasi virus.
Yang signifikan dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, selain itu untuk
14
mendiagnosis DBD secara definitif dengan isolasi virus, identifikasi virus dan
serologis.1,5
Darah Lengkap:
Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk memeriksa kadar hemoglobin,
hematokrit, jumlah trombosit. Peningkatan nilai hematokrit yang selalu dijumpai
pada DBD merupakan indikator terjadinya perembesan plasma, Selain
hemokonsentrasi juga didapatkan trombositopenia, dan leukopenia.1,5 Parameter
darah lengkap yang dapat diperiksa antara lain:
Leukosit : dapat normal atau menurun. Mulai demam hari ke 3
dapat ditemui limfositosis relatif (>45% total leukosit)
Trombosit : terdapat trombositopenia (<100.000) di hari ke 3-8
Hematokrit : kebocoran plasma ditandai dengan peningkatan
hematokrit ≥20% dari hematokrit awal. Biasanya terjadi mulai dari
hari ke-3 demam.
Deteksi Antigen.
Sampai saat ini, deteksi antigen dengue di fase akut serum jarang
dilakukan pada pasien dengan infeksi sekunder karena pasien tersebut memiliki
immunocomplexes antibodi virus-IgG yang sudah ada sebelumnya. Perkembangan
baru dalam ELISA dan tes dot blot diarahkan ke amplop / membran (E / M) antigen
dan protein non-struktural 1 (NS1) yang menunjukkan bahwa konsentrasi tinggi
antigen tersebut dalam bentuk kompleks imun dapat dideteksi pada pasien dengan
Infeksi dengue primer dan sekunder sampai sembilan hari setelah onset penyakit.
15
NS1 glikoprotein dihasilkan oleh semua flaviviruses dan dikeluarkan dari sel
mamalia. NS1 menghasilkan respon humoral yang sangat kuat. Banyak penelitian
telah diarahkan menggunakan deteksi NS1 untuk membuat diagnosis awal infeksi
virus dengue. Kit komersial untuk mendeteksi antigen NS1 sekarang tersedia,
meskipun mereka tidak membedakan serotipe-serotipe dengue.1
Antigen NS1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama sampai hari
ke delapan dengan sensitivitas 63%-93,4% dan spesifisitas 100%.
b. Tes Serologikal
IgG/IgM
IgG terdeteksi mulai hari ke 3-5 demam. Meningkat hingga minggu ke-3
dan dapat menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer IgG mulai terdeteksi
pada hari ke-14 dan pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi pada hari ke-2.
Rasio IgM/IgG
Sebuah virus dengue E / M protein spesifik IgM / IgG rasio dapat
digunakan untuk membedakan infeksi virus dengue primer dari infeksi virus
dengue sekunder. IgM pada ELISA dan IgG adalah tes yang paling umum untuk
tujuan ini. Di beberapa laboratorium, infeksi dengue didefinisikan sebagai primer
16
jika rasio IgM / IgG OD lebih besar dari 1,2 (menggunakan serum pasien pada
1/100 pengenceran) atau 1,4 (menggunakan serum pasien pada 1/20 pengenceran).
Infeksi sekunder jika rasio kurang dari 1,2 atau 1,4. Algoritma ini juga telah
diadopsi oleh beberapa vendor komersial. Namun, rasio dapat bervariasi antara
laboratorium, yang mengindikasikan perlunya standardisasi yang lebih baik dari
hasil tes 11.
c. Pemeriksaan Radiologi
Kelainan yang bisa didapatkan antara lain 3:
1. Dilatasi pembuluh darah paru
2. Efusi pleura
3. Kardiomegali atau efusi perikard
4. Hepatomegali
5. Cairan dalam rongga peritoneum
17
polimorfonuklear (pergeseran ke kiri pada hitung jenis). Pemeriksaan laju
endap darah (LED) dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi bakteri
dengan virus. Pada meningitis meningkokokus jelas terdapat rangsangan
meningeal dan kelainan pada pemeriksaan cairan serebrospinalis.
d. Idiopatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD, oleh
karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari-hari
pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dengan penyakit DBD, tetapi pada ITP
demam cepat menghilang, tidak dijumpai hemokonsentrasi, dan pada fase
penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat kembali normal daripada ITP.
e. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia atau anemia aplastik. Pada
leukemia demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat
anemis. Pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang akan memperjelas
diagnosis leukemia. Pada anemia aplastik anak sangat anemik, demam timbul
karena infeksi sekunder. 3
2.9 Penatalaksanaan
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah
terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat
diturunkan hingga kurang dari lo/o. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi
merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan
cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien
tidak mampu diperlahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena
untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.
Perhimpunan Dokter Ahli {enyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama
dengan Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi
Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protokol
penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa berdasarkan indikasi praktis dalam
pelaksanaanya serta mempertimbangkan cost elfectiveness, yaitu:
Protokol 1: Probable DBD tanpa syok
Protokol 2: Pemberian cairan pada probable DBD
Protokol 3: Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%
Protokol 4: Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD
18
Protokol 5: Tatalaksana Sindrom Syok Dengue
19
Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Ht >20%
Meningkatnya Ht > 20 % menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit
sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan
memberikan infus cairan kristaloid sebnayal 6-7 ml/kgBB/jam. Pasien kemudian
dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai
dengan tanda-tanda Ht turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi
urin meningkat maka jumlah cairan harus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. 2 jam
kemudian dilakukan pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan
dapat dihentikan 24-48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6 – 7 ml/ kgBB/ jam tadi
keadaan tetap tidak membaik, yang ditandai dengan Ht dan nadi meningkat, tekanan
nadi menurun <20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan
jumlah cairan infus menjadi 10 ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan
pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan
dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila keaadaan tidak menunjukkan
perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan menjadi 15ml/kgBB/jam dan bila
dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda-tanda
syok maka pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana sindrom syok
dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi
seperti terapi cairan awal.
20
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris
didapatkan tanda-tanda KID. Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi.
FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT
yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10g%. Transfusi
trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif
dengan jumlah trombosit <100.000/ul disertai atau tanpa KID.
21
cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi edema paru atau gagal
jantung dapat terjadi).
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan
terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadin renjatan ( karena selain proses
patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar
20% saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh
karena untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan
pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi,
frekuensi jantung dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium
kanan dan epigastrik serta jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2ml/kgBB/kam.
Pemantauan kadar hemoglobin, hematoktrit, dan jumlah trombosit dapat
dipergunakan untuk pemantauan perkalanan penyakit.
Bila stelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi,
maka pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB dan
kemudian dievaluasi detelah 20-30 menit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti
perembesan plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan
pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun , berarti terjadi perdarahan ( internal
bleeding) maka pada penderita diberikan transfusi darah segar 10ml/kgBB dan
dapat diulang sesuai kebutuhan.
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui
sifat-sifat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mulu-mula diberikan
dengantetesan cepat 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila
keadaan tetap belum teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan
pemasangan kateter vena sentral dan pemberian koloid dapat ditambah hingga
jumlah maksimum 30ml/kgBB (maksimal 1-1,5 1/hari) dengan sasaran tekanan
vena sentral 15-18 smH2O. Bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan
dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia,
anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai
dengan target tetapi renjatan belum teratasi maka dapat diberikan obat
inotropik/vasopresor.
22
Gambar 6. Probable DBD tanpa syok
23
Gambar 8. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%
24
Gambar 10. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue
2.10 Penyulit
Ensefalopati Dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang
berkepanjangan dengan perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak
disertai syok. Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau
perdarahan, dapat menjadi penyebab ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD
bersifat sementara, kemungkinan dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh
darah otak sementara sebagai akibat dari koagulasi intravaskuler yang menyeluruh.
Dilaporkan bahwa virus dengue dapat menembus sawar darah otak. Dikatakan juga
bahwa keadaan ensefalopati berhubungan dengan kegagalan hati akut3.
Pada ensefalopati dengue, kesadaran pasien menurun menjadi apatis atau
somnolen, dapat disertai atau tidak kejang dan dapat terjadi pada DBD / SSD.
25
Apabila pada pasien syok dijumpai penurunan kesadaran, maka untuk memastikan
adanya ensefalopati, syok harus diatasi terlebih dahulu. Apabila syok telah teratasi
maka perlu dinilai kembali kesadarannya. Pungsi lumbal dikerjakan bila
kesadarannya telah teratasi dan kesadaran tetap menurun (hati-hati bila jumlah
trombosit <50.000/μl). Pada ensefalopati dengue dijumpai peningkatan kadar
transaminase (SGOT/SGPT), PT dan PTT memanjang, kadar gula darah menurun,
alkalosis pada analisa gas darah, dan hiponatremia (Bila mungkin periksa kadar
amoniak darah)3.
Kelainan Ginjal
Gagal ginjal akut umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari
syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik
walaupun jarang. Untuk mencegah gagal ginjal, maka setelah syok diobati dengan
menggantikan volume intravaskuler, penting diperhatikan apakah benar syok telah
teratasi dengan baik. Diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah
dikerjakan, untuk mengetahui apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1
ml / Kg BB per jam. Oleh karena bila syok belum teratasi dengan baik sedangkan
volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada keadaan syok berat
sering kali dijimpai akut tubular nekrosis ditandai penurunan jumlah urine dan
peningkatan kadar ureum dan kreatinin3.
Oedema Paru
Merupakan komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat dari
pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari ketiga sampai
kelima sakit sesuai dengan panduan yang diberikan, biasanya tidak akan
menyebabkan oedema paru karena perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada
saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskuler, apabila cairan yang
diberikan berlebih (Kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan hemoglobin
dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami distres
pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata dan ditunjang dengan gambaran
oedema paru pada foto rontgen3.
26
2.11 Pencegahan
Demam berdarah dapat dicegah dengan memberantas jentik-jentik
nyamuk Demam Berdarah (Aedes aegypti) dengan cara melakukan PSN
(Pembersihan Sarang Nyamuk). Upaya ini merupakan cara yang terbaik, ampuh,
murah, mudah dan dapat dilakukan oleh masyarakat, dengan cara sebagai berikut5:
1. Bersihkan (kuras) tempat penyimpanan air (seperti: bak mandi / WC, drum,
dan lain-lain) sekurang-kurangnya seminggu sekali. Gantilah air di vas
kembang, tempat minum burung, perangkap semut dan lain-lain sekurang-
kurangnya seminggu sekali
2. Tutuplah rapat-rapat tempat penampungan air, seperti tampayan, drum, dan
lain-lain agar nyamuk tidak dapat masuk dan berkembang biak di tempat
tersebut.
3. Kubur atau buanglah pada tempatnya barang-barang bekas, seperti kaleng
bekas, ban bekas, botol-botol pecah, dan lain-lain yang dapat menampung
air hujan, agar tidak menjadi tempat berkembang biak nyamuk. Potongan
bamboo, tempurung kelapa, dan lain-lain agar dibakar bersama sampah
lainnya.
4. Tutuplah lubang-lubang pagar pada pagar bambu dengan tanah atau adukan
semen
5. Lipatlah pakaian/kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak
hinggap disitu
6. Untuk tempat-tempat air yang tidak mungkin atau sulit dikuras, taburkan
bubuk ABATE ke dalam genangan air tersebut untuk membunuh jentik-
jentik nyamuk. Ulangi hal ini setiap 2-3 bulan sekali.
27
2. Selama 3 bulan bila tempat penampungan air tersebut akan
dibersihkan/diganti airnya, hendaknya jangan menyikat bagian dalam
dinding tempat penampungan air tersebut.
3. Air yang telah dibubuhi ABATE dengan takaran yang benar, tidak
membahayakan dan tetap aman bila air tersebut diminum.
2.12 Prognosis
Prognosis DBD ditentukan oleh derajat penyakit, cepat tidaknya
penanganan diberikan, umur, dan keadaan nutrisi. Prognosis DBD derajat I dan II
umumnya baik. DBD derajat III dan IV bila dapat dideteksi secara cepat maka
pasien dapat ditolong. Angka kematian pada syok yang tidak terkontrol sekitar 40-
50 % tetapi dengan terapi penggantian cairan yang baik bisa menjadi 1-2 %.
Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang, dan Jakarta memperlihatkan
bahwa prognosis dan perjalanan penyakit DBD pada orang dewasa umumnya lebih
ringan daripada anak-anak. Pada kasus- kasus DBD yang disertai komplikasi sepeti
DIC dan ensefalopati prognosisnya buruk3.
28
BAB III
RESPONSI KASUS
2.2 ANAMNESIS
Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama : Demam
Pasien datang ke RSUP Sanglah diantar oleh orangtuanya dengan keluhan
demam mendadak tinggi sejak 3 hari SMRS. Demam berlangsung sepanjang hari
dan turun untuk beberapa saat setelah mengonsumsi obat penurun panas tetapi
kemudian tinggi lagi. Demam dikatakan lebih buruk pada pagi dan sore menjelang
malam hari. Demam tidak disertai menggigil namun disertai keringat dingin.
Pasien juga mengeluh sakit kepala sejak 3 hari SMRS. Sakit kepala
dikatakan muncul pada saat awal terjadinya demam. Sakit kepala dirasakan seperti
tertekan benda yang berat dan muter-muter. Sakit kepala dirasakan sepanjang hari
dan terasa semakin berat ketika suhu tubuh meningkat. Sakit kepala tidak membaik
ketika pasien tidur, bahkan pasien sulit tidur selama dua hari. Sakit kepala dikatakan
berlokasi di bagian atas kepala dan di belakang mata.
Pasien juga mengeluh mual sejak hari pertama demam. Keluhan muntah
diakui pasien terjadi sejak 1 hari SMRS dengan frekuensi kurang lebih 3 kali sehari
dengan volume ± 0,5-1 gelas dengan komposisi seperti air bercampur makanan.
Keluhan muntah hanya terjadi pada satu hari SMRS. Keluhan mual dikatakan masih
29
sampai sekarang. Keluhan muntah berwarna kehitaman atau kemerahan disangkal
oleh pasien. Keluhan nyeri perut disangkal oleh pasien.
Keluhan nyeri ulu hati, nyeri perut, sesak nafas, batuk, mimisan dan gusi
berdarah, bintik-bintik merah di kulit, penglihatan kabur disangkal. BAK dan BAB
sekarang dikatakan normal.
Riwayat Pengobatan
Pasien sebelumnya sudah berobat ke Puskesmas II Dentim dan mendapat
dua buah obat, yaitu paracetamol dan obat lain yang tidak diingat namanya. Pasien
menyangkal mengkonsumsi obat herbal atau tradisional dan vitamin.
30
Temperatur aksila : 39°C
Nyeri : VAS 2/10
Tinggi badan : 150 cm
Berat badan : 50 kg
BMI : 22,2 kg/m2
31
Auskultasi : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
+/+ -/- -/-
+/+ -/- -/-
Abdomen
Inspeksi : distensi (-), Ascites (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : nyeri tekan (-), distensi (-), hepar dan lien tidak teraba,
ginjal tidak teraba.
Perkusi : timpani (+), ascites (-) , shifting dullness (-)
Ekstremitas : hangat +/+ edema −/− Petichiae −/−
+/+ −/− −/−
Rumple leed (-)
Genitalia : tidak dievaluasi
32
Darah Lengkap (07-12-2017) Pk 09.01 (Febris hari ke-5)
Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Remarks
Platelet 25,14 103µL 150,00-440,00 Rendah
RBC 6,34 106µL 4,50 – 5,90 Tinggi
Hematokrit 52,01 % 41,00-53,00
Hemoglobin 16,87 g/dL 13,50-17,50
WBC 6,18 103µL 4,10-11,00
2.5 DIAGNOSIS
- Observasi febris hari ke- 5 ec susp Dengue infection dd Thypoid
2.6 PENATALAKSANAAN
MRS
IVFD RL 30 tpm
Paracetamol tab 3x500mg IO
Domperidon 3x10mg IO
Rencana Kerja
Tes Serologi Dengue hari ke-7
IgM anti Salmonella Thypii
Cek darah lengkap tiap 24 jam
Monitor
Tanda-tanda vital, keluhan, keseimbangan cairan
Warning sign
2.7 PROGNOSIS
Dubius ad bonam
33
BAB IV
PEMBAHASAN
Gejala Klinis
Anamnesis
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue yang disertai dengan kebocoran plasma dengan gejala
utama demam 2-7 hari, nyeri kepala (cephalgia), nyeri retroorbital, nyeri otot dan
sendi, yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis
hemoragik. Gejala klinis DBD sangat bervariasi dari yang ringan atau yang
asimtomatik sampai yang berat dengan syok atau perdarahan, bahkan mungkin
dengan kematian. Dengan pemeriksaan klinis yang baik dan lengkap, diagnosis
DBD serta pemeriksaan penunjang (laboratorium) dapat membantu terutama bila
gejala klinis kurang memadai. Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam
tinggi, mendadak 2-7 hari. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot,
tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita mengeluh
nyeri menelan dengan faring hiperemis ditemukan pada pemeriksaan, namun jarang
ditemukan batuk pilek. Biasanya ditemukan juga nyeri perut dirasakan di
epigastrium dan dibawah tulang iga.5
Pada anamnesis didapatkan bahwa pasien pertama datang ke RSUP Sanglah
diantar oleh orangtuanya dengan keluhan demam mendadak tinggi sejak 3 hari
SMRS. Demam berlangsung sepanjang hari dan turun untuk beberapa saat setelah
mengonsumsi obat penurun panas tetapi kemudian tinggi lagi. Demam dikatakan
lebih buruk pada pagi dan sore menjelang malam hari. Demam tidak disertai
menggigil namun disertai keringat dingin.
Pasien juga mengeluh sakit kepala sejak 3 hari SMRS. Sakit kepala
dikatakan muncul pada saat awal terjadinya demam. Sakit kepala dirasakan seperti
tertekan benda yang berat dan muter-muter. Sakit kepala dirasakan sepanjang hari
dan terasa semakin berat ketika suhu tubuh meningkat. Sakit kepala tidak membaik
ketika pasien tidur, bahkan pasien sulit tidur selama dua hari. Sakit kepala dikatakan
berlokasi di bagian atas kepala dan di belakang mata.
34
Pasien juga mengeluh mual sejak hari pertama demam. Keluhan muntah
diakui pasien terjadi sejak 1 hari SMRS dengan frekuensi kurang lebih 3 kali sehari
dengan volume ± 0,5-1 gelas dengan komposisi seperti air bercampur makanan.
Keluhan muntah hanya terjadi pada satu hari SMRS. Keluhan mual dikatakan masih
sampai sekarang. Keluhan muntah berwarna kehitaman atau kemerahan disangkal
oleh pasien. Keluhan nyeri perut disangkal oleh pasien.
Keluhan nyeri ulu hati, nyeri perut, sesak nafas, batuk, mimisan dan gusi
berdarah, bintik-bintik merah di kulit, penglihatan kabur disangkal. BAK dan BAB
sekarang dikatakan normal.
Dari anamnesis ini didapatkan gejala demam yang mendadak tinggi, nyeri
kepala dan nyeri retro-orbita, mual dan muntah. Gejala-gejala inilah yang
mendukung diagnosis infeksi virus dengue.
Pemeriksaan Fisik
Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple leed)
positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau pada
bekas pengambilan darah. Kebanyakan kasus, petekie halus diternukan tersebar di
daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya ditemukan pada
fase awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan,
perdarahan saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase demam. Hati biasanya
membesar dengan variasi dari just palpable sampai 2-4 cm di bawah arcus costae
kanan. Sekalipun pembesaran hati tidak berhubungan dengan berat ringannya
penyakit namun pembesaran hati lebih sering ditemukan pada penderita dengan
syok. Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini terjadi
penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang
bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan
perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat
mengalami syok. Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang
selalu ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/l biasa
ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan
dengan perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh
kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit. Penurunan nilai
35
trombosit yang disertai atau segera disusul dengan peningkatan nilai hematokrit
sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun
atau sebelum syok terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi
oleh pemberian cairan atau oleh perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun
(leukopenia) atau leukositosis, Iimfositosis relatif dengan limfosit atipik sering
ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat
kebocoran plasma biasa ditemukan.5
Pada pasien ini didapatkan pemeriksaan tanda vital dalam batas normal, uji
tourniquet negatif. Pemeriksaan fisik pada mata, telinga, hidung, tenggorokan tidak
tampak adanya kelainan. Tidak ditemukan adanya pembesaran thyroid dan kelenjar
getah bening pada leher. Ektremitas teraba hangat dan tidak terdapat edema dan
petechiae. Pada kasus ini pasien didiagnosis suspek dengue infection day 7 without
warning sign karena pasien mengalami demam mendadak tinggi secara terus
menerus disertai dengan gejala lainnya seperti nyeri kepala retroorbital, mual dan
muntah.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menunjang
diagnosis DD adalah pemeriksaan darah lengkap, urine, serologi dan isolasi virus.
Yang signifikan dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, selain itu untuk
mendiagnosis DD secara definitif dengan isolasi virus, identifikasi virus dan
serologis. Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan trombositopenia dengan atau
tanpa disertai peningkatan hematokrit. Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk
mengonfirmasi diagnosis awal dan dan dilakukan rutin setiap hari sebagai
monitoring terapi. Pemeriksaan serologis dilakukan untuk mengonfirmasi infeksi
dari virus dengue. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah chest
x-ray dan bof untuk melihat tanda-tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura
maupun ascites.
Pada pasien ini telah dilakukan beberapa kali pemeriksaan darah lengkap.
Pemeriksaan pertama dilakukan saat demam hari keempat pada tanggal 06
Desember 2017 pukul 08.43 dengan hasil WBC dan platelet yang rendah dengan
adanya tanda hemokonsentrasi. Pemeriksaan darah lengkap selanjutnya dilakukan
36
pada hari yang sama pukul 18.42 dengan temuan WBC dan platelet yang rendah.
Kemudian pemeriksaan darah lengkap kembali dilakukan pada demam hari kelima
tanggal 07 Desember 2017 pukul 09.01 dan pukul 18.56 dengan memperoleh hasil
yang sama yaitu berupa trombositopenia, WBC dalam batas normal dan tanpa
adanya tanda hemokonsentrasi. Selanjutnya pemeriksaan darah lengkap dilakukan
pada tanggal 08 Desember 2017 pukul 08.00 ditemukan hasil trombositopenia tanpa
adanya tanda hemokonsentrasi. Pada demam hari ketujuh pada tanggal 09
Desember 2017 pukul 08.45 dilakukan pemeriksaan darah lengkap dengan temuan
trombositopenia tanpa adanya tanda hemokonsentrasi. Pada pasien juga dilakukan
uji serologi IgG dan IgM anti dengue pada hari ke-7 demam dengan hasil positif
pada keduanya sehingga dapat mengonfirmasi diagnosis.
Penatalaksanaan
Berdasarkan panduan PAPDI, penatalaksaan pasien dengan infeksi dengue
dibagi berdasarkan derajat penyakit. Prinsip terapi bersifat simptomatis dan
suportif. Pembagian tatalaksana meliputi Protokol 1-5.
Terapi cairan disesuaikan dengan kebutuhan cairan pasien sesuai dengan
berat badan atau berat badan ideal untuk pasien dengan obesitas. Pada pasien
dengan kecurigaan dehidrasi, terapi cairan dapat ditambah dengan 5% defisit cairan
dari total kebutuhan cairan. Volume cairan ini diberikan selama 48 jam. Pemberian
jumlah cairan infus disesuaikan dengan tingkat kehilangan cairan, yang dapat
dilihat dari kondisi klinis, tanda-tanda vital, produksi urin, dan level hematokrit.
Pada pasien ini diberikan penanganan seperti:
MRS
IVFD RL 30 tpm
Paracetamol tab 3x500mg IO
Domperidon 3x10mg IO
37
BAB V
SIMPULAN
38
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO, Regional Office for South East Asia (2011). Comprehensive Guidelines
for Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever:
Revised and expanded edition. SEARO Technical Publication Series No. 60.
India
2. Hadinegoro, S.Sri Rezeki, Pitfalls and Pearls.(2004). Diagnosis dan Tata
Laksana Demam Berdarah Dengue, dalam: Current Management of Pediatrics
Problem. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Hal 63-72
3. Putra TR, Suega K, dan Artana IGNB. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Penyakit Dalam. RSUP Sanglah, Denpasar. Hal 559-569.
4. Suzanne Moore Shepherd. 2014. Dengue. Pennsylvania. Hospital of University
of Pennsylvania.
5. Mansjoer, Arif & Suprohaita. (2000). Kapita Slekta Kedokteran Jilid II.
Fakultas Kedokteran UI : Media Aescullapius. Jakarta.
6. Leitmeyer KC. Dengue virus structural differences that correlate with
pathogenesis. Journal of Virology, 1999, 73(6):4738--4747.
7. Lanciotti RS et al. Molecular evolution and epidemiology of dengue-3 viruses.
Journal of General Virology, 1994, 75(Pt 1):65--75.
8. Messer WB. Emergence and global spread of a dengue serotype 3, subtype III
virus. Emerging Infectious Diseases, 2003, 9(7):800--809.
9. http://www.cdc.gov/dengue/epidemiology/
10. Suhendro, Nainggolan Leonard, Khie Chen, dan Pohan HT. 2009. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid III. Fakultas Kedokteran UI : Media
Aescullapius. Jakarta.
11. Falconar AK, de Plata E, Romero-Vivas CM. Altered enzyme-linked
immunosorbent assay immunoglobulin M (IgM)/IgG optical density ratios can
correctly classify all primary or secondary dengue virus infections 1 day after
the onset of symptoms, when all of the viruses can be isolated. Clinical and
Vaccine Immunology, 2006, 13:1044–1051.
39