Professional Documents
Culture Documents
Bab Ii Tinjauan Pustaka: 2.1. Serangan Asma Akut 2.1.1. Definisi
Bab Ii Tinjauan Pustaka: 2.1. Serangan Asma Akut 2.1.1. Definisi
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Epidemiologi
Prevalensi asma di dunia sangat bervariasi dan penelitian epidemiologi
menunjukkan bahwa kekerapan asma semakin meningkat terutama di negara
maju. Data dari berbagai negara menunjukkan bahwa prevalensi penyakit asma
berkisar antara 1-18% (GINA, 2011). Berdasarkan data dari WHO (2002) dan
GINA (2011), di seluruh dunia diperkirakan terdapat 300 juta orang menderita
asma dan tahun 2025 diperkirakan jumlah pasien asma mencapai 400 juta. Selain
itu setiap 250 orang, ada satu orang meninggal karena asma setiap tahunnya.
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di
Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 1986 menunjukkan asma
menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama
dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik
dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortaliti) ke-4 di Indonesia atau
sebesar 5,6 %.
3
4
Tahun 1993 UPF Paru RSUD dr. Sutomo, Surabaya melakukan penelitian
di lingkungan 37 puskesmas di Jawa Timur dengan menggunakan kuesioner
modifikasi ATS yaitu Proyek Pneumobile Indonesia dan Respiratory symptoms
questioner of Institute of Respiratory Medicine, New South Wales, dan
pemeriksaan arus puncak ekspirasi (APE) menggunakan alat peak flow meter dan
uji bronkodilator. Seluruhnya 6662 responden usia 13-70 tahun (rata-rata 35,6
tahun) mendapatkan prevalensi asma sebesar 7,7%, dengan rincian laki-kali 9,2%
dan perempuan 6,6%.
2.1.3 Klasifikasi
Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain
gambaran klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari,
pemberian obat inhalasi β-2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang
digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi
pemakaian obat). Tidak ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan
berat-ringannya suatu penyakit. Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji
faal paru dapat menentukan klasifikasi menurut berat-ringannya asma yang sangat
penting dalam penatalaksanaannya.4 Asma diklasifikasikan menjadi:
Asma tanpa serangan
Asma saat serangan
Dalam melakukan penilaian berat-ringannya asma saat serangan tidak
harus lengkap untuk setiap pasien. Penilaian tingkat serangan yang lebih tinggi
harus diberikan jika pasien memberikan respon yang kurang terhadap terapi awal,
atau serangan memburuk dengan cepat, atau pasien berisiko tinggi. Global
Initiative for Asthma (GINA) melakukan pembagian derajat asma berdasarkan
gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru dan pemeriksaan laboratorium. Derajat
serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Adapun klasifikasi tersebut
adalah asma serangan ringan, asma serangan sedang dan asma serangan berat
adalah sebagai berikut:1
5
2.1.4 Patofisiologi
Asma merupakan akibat obstruksi jalan napas difus reversible. Obstruksi
disebabkan oleh timbulnya tiga reaksi utama yaitu kontraksi otot-otot polos baik
saluran napas, pembengkakan membran yang melapisi bronki, pengisian bronki
dengan mukus yang kental. Selain itu, otot-otot bronki dan kelenjar mukusa
membesar, sputum yang kental, banyak dihasilkan dan alveoli menjadi
hiperinflasi, dengan udara terperangkap didalam jaringan paru.Antibodi yang
dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang
terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibody, menyebabkan
pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator) seperti histamine, bradikinin,
dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang bereaksi lambat (SRS-A).
Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar
jalan napas, menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membran mukosa, dan
pembentukan mucus yang sangat banyak.
Selain itu, reseptor α- dan β-adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak
dalam bronki. Ketika reseptor α- adrenergic dirangsang, terjadi bronkokonstriksi,
bronkodilatasi terjadi ketika reseptor β- adrenergik yang dirangsang.
Keseimbangan antara reseptor α- dan β-adrenergik dikendalikan terutama oleh
siklik adenosine monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor α- mengakibatkan
penurunan cAMP, yang mengarah pada peningkatan mediator kimiawi yang
dilepaskan oleh sel-sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi reseptor β-
mengakibatkan peningkatan tingkat cAMP yang menghambat pelepasan mediator
8
walau disadari kondisi tersebut tidak khusus untuk asma. Banyak gen terlibat
dalam patogenesis asma, dan beberapa kromosom telah diidentifikasi berpotensi
menimbulkan asma, antara`lain CD28, IGPB5, CCR4, CD22, IL9R,NOS1,
reseptor agonis beta2, GSTP1; dan gen-gen yang terlibat dalam menimbulkan
asma dan atopi yaitu IRF2, IL-3,Il-4, IL-5, IL-13, IL-9, CSF2 GRL1, ADRB2,
CD14, HLAD, TNFA, TCRG, IL-6, TCRB, TMOD dan sebagainya.
Faktor Pejamu
Prediposisi genetik
Atopi
Hiperesponsif jalan napas
Jenis kelamin
Ras/ etnik
Faktor Lingkungan
Mempengaruhi berkembangnya asma pada individu dengan predisposisi asma
Alergen di dalam ruangan
Mite domestik
Alergen binatang
Alergen kecoa
Jamur (fungi, molds, yeasts)
Alergen di luar ruangan
Tepung sari bunga
Jamur (fungi, molds, yeasts)
Bahan di lingkungan kerja
Asap rokok
Perokok aktif
Perokok pasif
Polusi udara
Polusi udara di luar ruangan
Polusi udara di dalam ruangan
Infeksi pernapasan
Hipotesis higiene
Infeksi parasit
Status sosioekonomi
12
Besar keluarga
Diet dan obat
Obesiti
Faktor Lingkungan
Mencetuskan eksaserbasi dan atau`menyebabkan gejala-gejala asma menetap
Alergen di dalam dan di luar ruangan
Polusi udara di dalam dan di luar ruangan
Infeksi pernapasan
Exercise dan hiperventilasi
Perubahan cuaca
Sulfur dioksida
Makanan, aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan), obat-obatan
Ekspresi emosi yang berlebihan
Asap rokok
Iritan (a.l. parfum, bau-bauan merangsang, household spray)
2.1.6 Diagnosis
Mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan
titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak umumnya hanya
menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi maupun sesak.
Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak
episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru digunakan
untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat
membantu diagnosis.
Ketika diagnosis asma ditegakkan dan komorbiditas ditangani, asma berat
didefinisikan sebagai asma yang memerlukan pengobatan dengan kortikosteroid
dosis tinggi inhalasi ditambah kontroler kedua dan atau kortikosteroid sistemik
untuk mencegah dari menjadi 'tak terkendali' atau yang tetap 'tak terkendali'
meskipun terapi ini.
Onset bertahap, sekitar 80%, serangan berat berkembang selama lebih dari
48 jam. Ini berhubungan dengan infiltrasi eosinofilik dan respons yang lambat
terhadap terapi. Onset mendadak, sering dalam hubungan dengan paparan alergen
yang signifikan.
14
Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain:
riwayat hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan
berair (konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik)
disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca,
adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga),
sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau
alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak
kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah.
Batuk
Batuk kering, paroksismal, iritatif dan non produktif, kemudian menghasilkan
sputum yang berbusa, jernih dan kental.6
Dada
Hiperesonansi pada perkusi, bunyi napas kasar dan keras.Mengi di bidang seluruh
bidang paru, ekspirasi memanjang, ronki kasar serta mengi pada saat inspirasi dan
ekspirasi: nada meninggi.
Pemeriksaan Fisik
Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara
rinci, menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada
pemeriksaan fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan
terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada pasien dengan serangan asma akut
dapat ditemukan pemeriksaan fisik toraks sebagai berikut:
Inspeksi
Pada inspeksi napas cepat, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas tambahan
di leher, perut dan dada.
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Ditemukan mengi dan ekspirasi memanjang
16
Pemeriksaan Penunjang
Spirometri
Spirometri merupakan suatu alat sederhana yang digunakan untuk
mengukur volume udara dalam paru. Alat ini juga dapat digunakan untuk
mengukur volume statik dan volume dinamik paru. Volume statik terdiri atas
volume tidal (VT), volume cadangan inspirasi (VCI), volume cadangan ekspirasi
(VCE), volume residu (VR), kapasitas vital (KV), kapasitas vital paksa (KVP),
kapasitas residu fungsional (KRF) dan kapasitas paru total (KPT).
Spirometri adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur faal ventilasi
paru. Reversibilitas penyempitan saluran napas yang merupakan ciri khas asma
dapat dinilai dengan peningkatan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1)
dan atau kapasiti vital paksa (FVC) sebanyak 12% atau lebih sesudah pemberian
bronkodilator. Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan
kapasiti vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui
prosedur yang standar.
Pemeriksaan ini sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga
dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk
mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang
reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio
VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
Spirometri merupakan pemeriksaan yang relative mudah namun sering
kali hasilnya tidak dapat digunakan. Karena itu perlu beberapa persiapan sebagai
berikut:
Operator, harus memiliki pengetahuan yang memadai , tahu tujuan
pemeriksaan dan mampu melakukan instruksi kepada subjek dengan manuver
yang benar
Persiapan alat, spirometer harus telah dikalibrasi untuk volume dan arus udara
minimal 1 kali seminggu
17
Hasil spirometri berupa spirogram yaitu kurva volume paru terhadap waktu akibat
manuver yang dilakukan subjek. Usaha subjek diobservasi di layar monitor untuk
meyakinkan bahwa usaha yang dilakukan subjek benar dan maksimal.
Manuver KV, subjek menghirup udara sebanyak mungkin dan kemudian
udara dikeluarkan sebanyak mungkin tanpa manuver paksa.
Manuver KVP, subjek menghirup udara sebanyak mungkin dan kemudian
udara dikeluarkan dengan dihentakkan serta melanjutkannya sampai ekspirasi
maksimal. Apabila subjek merasa pusing maka manuver segera dihentikan
karena dapat menyebabkan subjek pingsan. Keadaan ini disebabkan oleh
gangguan venous return ke rongga dada.
Manuver VEP1 (volume ekspirasi paksa detik pertama). Nilai VEP1 adalah
volume udara yang dikeluarkan selama 1 detik pertama pemeriksaan KVP.
Manuver VEP1 seperti manuver KVP.
Manuver APE (arus puncak ekspirasi). APE adalah kecepatan arus ekpirasi
maksimal yang dapat dicapai saat ekspirasi paksa. Tarik napas semaksimal
mungkin, hembuskan dengan kekuatan maksimal segera setelah kedua bibir
dirapatkan pada mouthpiece.
Manuver MVV (maximum voluntary ventilation). MVV adalah volume udara
maksimal yang dapat dihirup subjek. Subjek bernapas melalui spirometri
dengan sangat cepat, kuat dan sedalam mungkin selama minimal 10-15 detik.
18
2.1.6 Tatalaksana
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah dengan meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Tujuan umum penatalaksanaan
asma antara lain:11
Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
Mencegah eksaserbasi akut
Meningkatkan dan mempertahankanfaal paru seoptimal mungkin
Mengupayakan aktiviti normal termasukexercise
Menghindari efek samping obat
Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) irreversible
Mencegah kematian karena asma
1. Stimulan adrenergik
Obat dalam kategori ini terdiri atas kelompok obat katekolamin,
resorsinol, dan saligenin. Semua preparat ini berupa analog dan menghasilkan
dilatasi jalan napas melalui stimulasi reseptor beta dan pembentukan cAMP
sebagai hasilnya. Obat-pbat tersebut juga mengurangi pelepasan mediator dan
memperbaiki transportasi mukosiliaris. Kelompok katekolamin dalam
penggunaan klinis yang luas terdiri atas epinefrin, isoproterenol, isoetarin,
rimiterol, dan helsoprenalin. Sebagai satu kelompok, senyawa ini bekerja sangat
singkat dan hanya efektif melalui pemberian secara inhalasi atau parenteral. Dosis
epinefrin yang lazim digunakan adalah 0,3 hingga 0,5 mL larutan 1:1000 dengan
penyuntikan subkutan. Isoproterenol diberikan dalam bentuk larutan 1:200
dengan cara inhalasi.
Kelompok preparat resorsinol yang paling sering digunakan adalah
metaproterenol, terbutalin serta fenoterol dan preparat saligenin yang dikenal
paling luas adalah albuterol dan salbutamol. Kecuali metaproterenol, semua obat
ini sangat selektif untuk traktus pernafasan dan pada hakekatnya kurang
memberikan efek kardiak yang berarti kecuali jika digunakan dengan dosis tinggi.
Efek sampingnya yang paling penting adalah tremor.
2. Metilxantin
Teofilin dan berbagai jenis garamnya merupakan bronkodilator dengan
potensi sedang yang bekerja lewat mekanisme yang belum jelas. Dahulu
diperkirakan bahwa obat ini akan meningkatkan cAMP melalui inhibisi enzim
fosfodiestrase. Pemberian teofilin dosis tunggal di waktu sore mungkin dapat
mengurangi gejala di malam hari. Sebaliknya, untuk pemberian senyawa oral
dalam jumlah besar, hanya aminofilin yang tersedia untuk penggunaan intravena.
Efek samping yang paling sering ditemukan pada pemakaian teofilin adalah gejala
gugup, nausea, vomitus, anoreksia dan nyeri kepala. Dengan kadar plasma yang
lebih dari 30 µg/mL terdapat risiko untuk terjadinya serangan kejang dan aritmia
jantung.
22
3. Glukokortikoid
Glukokortikoid bukan merupakan preparat bronkodilator dan
pemakaiannya yang penting pada penyakit asma adalah untuk mengurangi radang
jalan napas. Preparat steroid akan memberikan hasil yang paling menguntungkan
jika digunakan pada keadaan akut ketika obstruksi jalan napas yang berat tidak
berkurang atau bahkan semakin memburuk kendati sudah dilakukan terapi yang
optimal dengan bronkodilator, selain pada penyakit kronik jika terjadi kegagalan
dengan susunan terapi yang sebelumnya memberikan hasil optimal dan disertai
eksaserbasi gejala yang sering dengan intensitas yang progresif.
Dosis steroid yang harus diberikan masih menjadi masalah yang
diperdebatkan. Namun, data yang ada menunjukkan bahwa pemberian dosis yang
sangat tinggi tidak mempunyai kelebihan dibandingkan pemberian dosis dengan
jumlah yang lebih konvensional. Perlu ditekankan bahwa efek pemberian steroid
pada serangan asma yang akut tidak timbul seketika dan mungkin baru terlihat 6
jam atau lebih sesudah pemberian inisialnya.
4. Penstabil Sel Mast
Kromolin sodium dan nedokromil sodium bukan merupakan preparat
bronkodilator. Efek terapeutik utama yang dimiliki oleh kedua preparat ini adalah
inhibisi terhadap proses degranulasi sel mast sehingga mencegah pelepasan
mediator kimiawi untuk anafilaksis. Kromolin dan nedokromil, seperti halnya
preparat steroid inhalasi akan memperbaiki fungsi paru, mengurangi gejala dan
menurunkan reaktivitas jalan napas pada pasien asma. Preparat ini paling
berkhasiat pada pasien atopic yang menderita serangan musiman atau yang
mengalami stimulasi terus menerus pada jalan napasnya. Untuk menimbulkan
efek penyembuhannya, uji coba terapeutik dengan dua kali hirupan per hari
selama 4 hingga 6 minggu kadang diperlukan. Berbeda dengan steroid,
nedokromil dan kromolin jika diberikan sebagai preparat profilaksis akan
menyekat efek obstruktif yang akut akibat pajanan terhadap antigen, respons yang
lanjut juga dihilangkan.
23
2 Agonis
MDI=IDT+Spacer
Salbutamol 100mg/puff 2-8 puff setiap 20 Takikardi, tremor
Terbutalin 250mg/puff menit sampai 1 otot
Fenoterol 100mg/puff jam, lalu setiap 1-4 seketal,hipokale
Procaterol 10mg/puff jam diperlukan mia, peningkatan
asam laktat,
pusing
hiperglemia.
Secara umum
pada inhalasi
efek samping
sistematikanya
24
lebih sedikit,
terutama reaksi
kardiovaskuler
pada usia tua,
khususnya yang
sudah
mempunyai
1-2 mL penyakit
Nebulizer/Inhalasi (Salbutamol kardiovaskuler
Salbutamol 2,5mg/mL,5mg/mL 2,5mg-5mg,
Terbutalin 2,5 mg/mL terbutalin 2,5-5mg,
Fenoterol 100 mcg/mL fenoterol 100mcg-
100mcg) setiap 20
menit untuk 3
dosis, lalu 1-4 jam
jika diperlukan
Subcutan
(Systemic) 0,25mg /20 menit
Terbutalin 1mg/mL untuk 3 dosis Hipoksik lebih
Epinefrine 1:1000(1mg/mL) 0,3-0,5 mg setiap besar
20 menit
Terapi Inhalasi
Pengobatan asma bertujuan untuk menghentikan serangan asma secepat mungkin,
serta mencegah serangan berikutnya, ataupun bila timbul serangan kembali,
serangannya tidak berat. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu diberi obat
25
bronkodilator pada saat serangan, dan obat anti inflamasi sebagai obat pengendali
untuk menurunkan inflamasi yang timbul.
Pemberian obat pada asma dapat melalui berbagai macam cara, yaitu
parenteral (melalui infus), per oral (tablet diminum), atau per inhalasi. Pemberian
per inhalasi adalah pemberian obat secara langsung ke dalam saluran napas
melalui hirupan. Pada asma, penggunaan obat secara inhalasi dapat mengurangi
efek samping yang sering terjadi pada pemberian parenteral atau per oral, karena
dosis yang sangat kecil dibandingkan jenis lainnya. Untuk mendapatkan manfaat
obat yang optimal , obat yang diberikan per inhalasi harus dapat mencapai tempat
kerjanya di dalam saluran napas. Obat yang digunakan biasanya dalam bentuk
aerosol, yaitu suspensi partikel dalam gas.
Pemberian aerosol yang ideal adalah dengan alat yang sederhana, mudah
dibawa, tidak mahal, secara selektif mencapai saluran napas bawah, hanya sedikit
yang tertinggal di saluran napas atas, serta dapat digunakan oleh pasien, orang
cacat, dan orang tua. Namun keadaan ideal tersebut tidak dapat sepenuhnya
tercapai. Berikut beberapa alat terapi inhalasi:
Metered Dose Inhaler (MDI)
MDI dengan Spacer
MDI tanpa Spacer
Spacer (alat penyambung) akan menambah jarak antara alat dengan mulut,
sehingga kecepatan aerosol pada saat dihisap menjadi berkurang. Hal ini
mengurangi pengendapan di orofaring (saluran napas atas). Spacer ini berupa
tabung (dapat bervolume 80 ml) dengan panjang sekitar 10-20 cm, atau bentuk
lain berupa kerucut dengan volume 700-1000 ml. Penggunaan spacer ini sangat
menguntungkan pada anak.
26
Terapi Nebulasi
Alat nebulizer dapat mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi
aerosol secara terus-menerus, dengan tenaga yang berasal dari udara yang
dipadatkan, atau gelombang ultrasonik. Aerosol yang terbentuk dihirup penderita
melalui mouth piece atau sungkup.
Bronkodilator yang diberikan dengan nebulizer memberikan efek
bronkodilatasi yang bermakna tanpa menimbulkan efek samping. Hasil
pengobatan dengan nebulizer lebih banyak bergantung pada jenis nebulizer yang
digunakan. Ada nebulizer yang menghasilkan partikel aerosol terus-menerus, ada
juga yang dapat diatur sehingga aerosol hanya timbul pada saat penderita
melakukan inhalasi, sehingga obat tdak banyak terbuang.
27