Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Serangan Asma Akut


2.1.1. Definisi
Serangan asma akut adalah episode peningkatan sesak napas, batuk, mengi
(wheezing), rasa tertekan di dada atau kombinasi gejala-gejala tersebut yang
terjadi secara cepat dan progresif ditandai dengan penurunan aliran udara
ekspirasi, dinilai dari arus puncak ekspirasi (APE) atau volume ekspirasi paksa
detik pertama (VEP-1).8

2.1.2 Epidemiologi
Prevalensi asma di dunia sangat bervariasi dan penelitian epidemiologi
menunjukkan bahwa kekerapan asma semakin meningkat terutama di negara
maju. Data dari berbagai negara menunjukkan bahwa prevalensi penyakit asma
berkisar antara 1-18% (GINA, 2011). Berdasarkan data dari WHO (2002) dan
GINA (2011), di seluruh dunia diperkirakan terdapat 300 juta orang menderita
asma dan tahun 2025 diperkirakan jumlah pasien asma mencapai 400 juta. Selain
itu setiap 250 orang, ada satu orang meninggal karena asma setiap tahunnya.
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di
Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 1986 menunjukkan asma
menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama
dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik
dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortaliti) ke-4 di Indonesia atau
sebesar 5,6 %.

3
4

Tahun 1993 UPF Paru RSUD dr. Sutomo, Surabaya melakukan penelitian
di lingkungan 37 puskesmas di Jawa Timur dengan menggunakan kuesioner
modifikasi ATS yaitu Proyek Pneumobile Indonesia dan Respiratory symptoms
questioner of Institute of Respiratory Medicine, New South Wales, dan
pemeriksaan arus puncak ekspirasi (APE) menggunakan alat peak flow meter dan
uji bronkodilator. Seluruhnya 6662 responden usia 13-70 tahun (rata-rata 35,6
tahun) mendapatkan prevalensi asma sebesar 7,7%, dengan rincian laki-kali 9,2%
dan perempuan 6,6%.

2.1.3 Klasifikasi
Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain
gambaran klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari,
pemberian obat inhalasi β-2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang
digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi
pemakaian obat). Tidak ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan
berat-ringannya suatu penyakit. Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji
faal paru dapat menentukan klasifikasi menurut berat-ringannya asma yang sangat
penting dalam penatalaksanaannya.4 Asma diklasifikasikan menjadi:
 Asma tanpa serangan
 Asma saat serangan
Dalam melakukan penilaian berat-ringannya asma saat serangan tidak
harus lengkap untuk setiap pasien. Penilaian tingkat serangan yang lebih tinggi
harus diberikan jika pasien memberikan respon yang kurang terhadap terapi awal,
atau serangan memburuk dengan cepat, atau pasien berisiko tinggi. Global
Initiative for Asthma (GINA) melakukan pembagian derajat asma berdasarkan
gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru dan pemeriksaan laboratorium. Derajat
serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Adapun klasifikasi tersebut
adalah asma serangan ringan, asma serangan sedang dan asma serangan berat
adalah sebagai berikut:1
5

Parameter klinis, Ringan Sedang Berat Ancaman


fungsi faal paru, henti napas
laboratorium
Sesak (breathless) Berjalan Berbicara Istirahat
Bayi: Bayi : Bayi :
Menangis -Tangis Tidak mau
keras pendek dan makan/minum
lemah
-Kesulitan
menetek/ma
kan
Posisi Bisa Lebih suka Duduk
berbaring duduk bertopang
lengan
Bicara Kalimat Penggal Kata-kata
kalimat
Kesadaran Mungkin Biasanya Biasanya Kebingungan
iritabel iritabel iritabel
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Wheezing Sedang, Nyaring, Sangat Sulit/tidak
sering sepanjang nyaring, terdengar
hanya ekspirasi ± terdengar
pada akhir inspirasi tanpa
ekspirasi stetoskop
Penggunaan otot Biasanya Biasanya ya Ya Gerakan
bantu respiratorik tidak paradok
torako-
abdominal
6

Retraksi Dangkal, Sedang, Dalam, Dangkal /


retraksi ditambah ditambah hilang
interkostal retraksi napas cuping
suprasternal hidung
Frekuensi napas Takipnu Takipnu Takipnu Bradipnu
Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar :
Usia Frekuensi napas normal per
menit
< 2 bulan < 60
2-12 bulan < 50
1-5 tahun < 40
6-8 tahun < 30
Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Dradikardi

Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak:


Usia Frekuensi nadi normal per menit
2-12 bulan < 160
1-2 tahun < 120
6-8 tahun < 110
Pulsus paradoksus Tidak ada Ada Ada Tidak ada,
(pemeriksaannya (< 10 (10-20 (>20mm tanda kelelahan
tidak praktis) mmHg) mmHg) Hg) otot respiratorik
PEFR atau FEV1
Pra bonkodilator >60% 40-60% <40%
Pasca bronkodilator >80% 60-80% <60%,
respon
<2 jam
SaO2 % >95% 91-95% ≤ 90%
7

PaO2 Normal >60 mmHg <60


(biasanya mmHg
tidak perlu
diperiksa)
PaCO2 <45 <45 mmHg >45
mmHg mmHg
Sumber : GINA, 2006

2.1.4 Patofisiologi
Asma merupakan akibat obstruksi jalan napas difus reversible. Obstruksi
disebabkan oleh timbulnya tiga reaksi utama yaitu kontraksi otot-otot polos baik
saluran napas, pembengkakan membran yang melapisi bronki, pengisian bronki
dengan mukus yang kental. Selain itu, otot-otot bronki dan kelenjar mukusa
membesar, sputum yang kental, banyak dihasilkan dan alveoli menjadi
hiperinflasi, dengan udara terperangkap didalam jaringan paru.Antibodi yang
dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang
terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibody, menyebabkan
pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator) seperti histamine, bradikinin,
dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang bereaksi lambat (SRS-A).
Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar
jalan napas, menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membran mukosa, dan
pembentukan mucus yang sangat banyak.
Selain itu, reseptor α- dan β-adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak
dalam bronki. Ketika reseptor α- adrenergic dirangsang, terjadi bronkokonstriksi,
bronkodilatasi terjadi ketika reseptor β- adrenergik yang dirangsang.
Keseimbangan antara reseptor α- dan β-adrenergik dikendalikan terutama oleh
siklik adenosine monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor α- mengakibatkan
penurunan cAMP, yang mengarah pada peningkatan mediator kimiawi yang
dilepaskan oleh sel-sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi reseptor β-
mengakibatkan peningkatan tingkat cAMP yang menghambat pelepasan mediator
8

kimiawi dan menyebabakan bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa


penyekatan β- adrenergik terjadi pada individu dengan Asma. Akibatnya, asmatik
rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan konstriksi otot polos
(Smeltzer & Bare, 2002).

2.1.5 Faktor Risiko


Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu
(host faktor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu termasuk predisposisi genetik
yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik
(atopi), hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan
mempengaruhi individu dengan kecenderungan asma untuk berkembang menjadi
asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala
9

asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi


lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status
sosioekonomi dan besarnya keluarga. Interaksi faktor genetik/ pejamu dengan
lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan :
 Pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan
genetik asma
 Baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko
penyakit asma

Gambar . Interaksi faktor genetik dan lingkungan pada kejadian asma

Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma memberikan


kecenderungan untuk terjadinya asma. Fenotip yang berkaitan dengan asma,
dikaitkan dengan ukuran subjektif (gejala) dan objektif (hipereaktiviti bronkus,
kadar IgE serum) dan atau keduanya. Karena kompleksnya gambaran klinis asma,
maka dasar genetik asma dipelajari dan diteliti melalui fenotip-fenotip perantara
yang dapat diukur secara objektif seperti hipereaktiviti bronkus, alergik/ atopi,
10

walau disadari kondisi tersebut tidak khusus untuk asma. Banyak gen terlibat
dalam patogenesis asma, dan beberapa kromosom telah diidentifikasi berpotensi
menimbulkan asma, antara`lain CD28, IGPB5, CCR4, CD22, IL9R,NOS1,
reseptor agonis beta2, GSTP1; dan gen-gen yang terlibat dalam menimbulkan
asma dan atopi yaitu IRF2, IL-3,Il-4, IL-5, IL-13, IL-9, CSF2 GRL1, ADRB2,
CD14, HLAD, TNFA, TCRG, IL-6, TCRB, TMOD dan sebagainya.

Genetik mengontrol respons imun


Gen-gen yang berlokasi pada kompleks HLA (human leucocyte antigen)
mempunyai ciri dalam memberikan respon imun terhadap aeroalergen. Kompleks
gen HLA berlokasi pada kromosom 6p dan terdiri atas gen kelas I, II dan III dan
lainnya seperti gen TNF-α. Banyak studi populasi mengamati hubungan antara
respons IgE terhadap alergen spesifik dan gen HLA kelas II dan reseptor sel T,
didapatkan hubungan kuat antara HLA alel DRB1*15 dengan respons terhadap
alergen Amb av.

Genetik mengontrol sitokin proinflamasi


Kromosom 11,12,13 memiliki berbagai gen yang penting dalam
berkembangnya atopi dan asma. Fenotip alergik dikaitkan dengan kromosom 11,
kromosom 12 mengandung gen yang mengkode IFN-, mast cell growth factor,
insulin-like growth factor dan nictric oxide synthase. Studi berkesinambungan
menunjukkan ada ikatan positif antara petanda-petanda pada lokus 12q, asma dan
IgE, demikian pula kromosom 14 dan 19.
11

Faktor Pejamu
Prediposisi genetik
Atopi
Hiperesponsif jalan napas
Jenis kelamin
Ras/ etnik

Faktor Lingkungan
Mempengaruhi berkembangnya asma pada individu dengan predisposisi asma
Alergen di dalam ruangan
 Mite domestik
 Alergen binatang
 Alergen kecoa
 Jamur (fungi, molds, yeasts)
Alergen di luar ruangan
 Tepung sari bunga
 Jamur (fungi, molds, yeasts)
Bahan di lingkungan kerja
Asap rokok
 Perokok aktif
 Perokok pasif
Polusi udara
 Polusi udara di luar ruangan
 Polusi udara di dalam ruangan
Infeksi pernapasan
 Hipotesis higiene
Infeksi parasit
Status sosioekonomi
12

Besar keluarga
Diet dan obat
Obesiti

Faktor Lingkungan
Mencetuskan eksaserbasi dan atau`menyebabkan gejala-gejala asma menetap
Alergen di dalam dan di luar ruangan
Polusi udara di dalam dan di luar ruangan
Infeksi pernapasan
Exercise dan hiperventilasi
Perubahan cuaca
Sulfur dioksida
Makanan, aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan), obat-obatan
Ekspresi emosi yang berlebihan
Asap rokok
Iritan (a.l. parfum, bau-bauan merangsang, household spray)

Mutasi pada kluster-kluster gen sitokin pada kromosom 5 dihipotesiskan


sebagai predisposisi terjadinya asma. Berbagai gen pada kromosom 5q berperan
dalam progresiviti inflamasi baik pada asma maupun atopi, yaitu gen yang
mengkode sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-12, IL-13, dan GMCSF. Interleukin-4
sangat penting dalam respons imun atopi, baik dalam menimbulkan diferensiasi
sel Th2 maupun merangsang produksi IgE oleh sel B. Gen IL-4 dan gen-gen lain
yang mengatur regulasi ekspresi IL-4 adalah gen yang berpredisposisi untuk
terjadi asma dan atopi.
Alergen dan sensitisasi bahan lingkungan kerja dipertimbangkan adalah
penyebab utama asma, dengan pengertian faktor lingkungan tersebut pada
awalnya mensensitisasi jalan napas dan mempertahankan kondisi asma tetap aktif
dengan mencetuskan serangan asma atau menyebabkan menetapnya gejala. Pada
asma akut berat faktor risiko yang dapat menyertai adalah:
13

 Pernah mengalami asma yang parah sebelumnya


 Pernah dirawat dengan asma sebelumnya, terutama pada tahun pertama
 Tiga atau lebih pemakaian obat asma
 Penggunaan dosis tinggi obat beta-2 agonis
 Brittle Asthma
 Asma yang tidak diobati/ ketidakpatuhan penggunaan obat
 Non-steroid anti-inflamasi sensitivitas.
 Penggunaan long-acting beta 2 agonis seperti salmeterol, terutama jika tidak
menggunakan inhaler steroid.

2.1.6 Diagnosis
Mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan
titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak umumnya hanya
menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi maupun sesak.
Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak
episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru digunakan
untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat
membantu diagnosis.
Ketika diagnosis asma ditegakkan dan komorbiditas ditangani, asma berat
didefinisikan sebagai asma yang memerlukan pengobatan dengan kortikosteroid
dosis tinggi inhalasi ditambah kontroler kedua dan atau kortikosteroid sistemik
untuk mencegah dari menjadi 'tak terkendali' atau yang tetap 'tak terkendali'
meskipun terapi ini.
Onset bertahap, sekitar 80%, serangan berat berkembang selama lebih dari
48 jam. Ini berhubungan dengan infiltrasi eosinofilik dan respons yang lambat
terhadap terapi. Onset mendadak, sering dalam hubungan dengan paparan alergen
yang signifikan.
14

Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain:
riwayat hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan
berair (konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik)
disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca,
adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga),
sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau
alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak
kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah.

Batuk
Batuk kering, paroksismal, iritatif dan non produktif, kemudian menghasilkan
sputum yang berbusa, jernih dan kental.6

Tanda-Tanda Terkait Pernapasan


Sesak napas, fase ekspresi memanjang, mengi dapat terdengar, tulang zigomatik
memerah dan telinga merah, bibir berwarna merah gelap, dapat berkembang
menjadi sianosis pada dasar kuku dan/sianosis sirkumoral, dengan
berkembangnya serangan asma. Pada anak yang sudah besar dapat duduk tegak
dengan bahu dibukungkukkan, tangan berada di atas meja atau kursi dan lengan
menahan. Berbicara dengan frasa yang singkat, terpatah-patah dan terengah-
engah.6

Dada
Hiperesonansi pada perkusi, bunyi napas kasar dan keras.Mengi di bidang seluruh
bidang paru, ekspirasi memanjang, ronki kasar serta mengi pada saat inspirasi dan
ekspirasi: nada meninggi.

Pada episode berulang


Dapat berupa dada barrel, bahu meninggi dan penggunaan otot-otot
pernapasan aksesori. Tampilan wajah: tulang zigomatik mendatar, lingkaran di
sekeliling mata, hidung mengecil, gigi atas menonjol.
15

Pemeriksaan Fisik
Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara
rinci, menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada
pemeriksaan fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan
terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada pasien dengan serangan asma akut
dapat ditemukan pemeriksaan fisik toraks sebagai berikut:
Inspeksi
Pada inspeksi napas cepat, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas tambahan
di leher, perut dan dada.
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Ditemukan mengi dan ekspirasi memanjang
16

Pemeriksaan Penunjang
Spirometri
Spirometri merupakan suatu alat sederhana yang digunakan untuk
mengukur volume udara dalam paru. Alat ini juga dapat digunakan untuk
mengukur volume statik dan volume dinamik paru. Volume statik terdiri atas
volume tidal (VT), volume cadangan inspirasi (VCI), volume cadangan ekspirasi
(VCE), volume residu (VR), kapasitas vital (KV), kapasitas vital paksa (KVP),
kapasitas residu fungsional (KRF) dan kapasitas paru total (KPT).
Spirometri adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur faal ventilasi
paru. Reversibilitas penyempitan saluran napas yang merupakan ciri khas asma
dapat dinilai dengan peningkatan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1)
dan atau kapasiti vital paksa (FVC) sebanyak 12% atau lebih sesudah pemberian
bronkodilator. Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan
kapasiti vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui
prosedur yang standar.
Pemeriksaan ini sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga
dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk
mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang
reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio
VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
Spirometri merupakan pemeriksaan yang relative mudah namun sering
kali hasilnya tidak dapat digunakan. Karena itu perlu beberapa persiapan sebagai
berikut:
 Operator, harus memiliki pengetahuan yang memadai , tahu tujuan
pemeriksaan dan mampu melakukan instruksi kepada subjek dengan manuver
yang benar
 Persiapan alat, spirometer harus telah dikalibrasi untuk volume dan arus udara
minimal 1 kali seminggu
17

 Persiapan subjek, selama pemeriksaan subjek harus merasa nyaman. Sebelum


pemeriksaan subjek sudah tahu tentang tujuan pemeriksaan dan manuver
yang akan dilakukan. Subjek bebas rokok minimal 2 jam sebelumnya, tidak
makan terlalu kenyang, tidak berpakaian terlalu ketat, penggunaan obat pelega
napas terakhir 8 jam sebelumnya untuk aksi singkat dan 24 jam untuk aksi
panjang.
 Kondisi lingkungan, ruang pemeriksaan harus mempunyai sistem ventilasi
yang baik dan suhu udara berkisar antara 17 – 40oC

Hasil spirometri berupa spirogram yaitu kurva volume paru terhadap waktu akibat
manuver yang dilakukan subjek. Usaha subjek diobservasi di layar monitor untuk
meyakinkan bahwa usaha yang dilakukan subjek benar dan maksimal.
 Manuver KV, subjek menghirup udara sebanyak mungkin dan kemudian
udara dikeluarkan sebanyak mungkin tanpa manuver paksa.
 Manuver KVP, subjek menghirup udara sebanyak mungkin dan kemudian
udara dikeluarkan dengan dihentakkan serta melanjutkannya sampai ekspirasi
maksimal. Apabila subjek merasa pusing maka manuver segera dihentikan
karena dapat menyebabkan subjek pingsan. Keadaan ini disebabkan oleh
gangguan venous return ke rongga dada.
 Manuver VEP1 (volume ekspirasi paksa detik pertama). Nilai VEP1 adalah
volume udara yang dikeluarkan selama 1 detik pertama pemeriksaan KVP.
Manuver VEP1 seperti manuver KVP.
 Manuver APE (arus puncak ekspirasi). APE adalah kecepatan arus ekpirasi
maksimal yang dapat dicapai saat ekspirasi paksa. Tarik napas semaksimal
mungkin, hembuskan dengan kekuatan maksimal segera setelah kedua bibir
dirapatkan pada mouthpiece.
 Manuver MVV (maximum voluntary ventilation). MVV adalah volume udara
maksimal yang dapat dihirup subjek. Subjek bernapas melalui spirometri
dengan sangat cepat, kuat dan sedalam mungkin selama minimal 10-15 detik.
18

Minimal terdapat 3 hasil acceptable yaitu:

1. Inspirasi penuh sebelum pemeriksaan dimulai


2. Memenuhi syarat awal ekspirasi yaitu dengan usaha maksimal dan tidak ragu-
ragu
3. Tidak batuk atau glottis menutup selama detik pertama
4. Memenuhi lama pemeriksaan yaitu minimal 6 detik atau sampai 15 detik pada
subjek dengan kelainan obstruksi
5. Tidak terjadi kebocoran
6. Tidak terjadi obstruksi pada mouthpiece

2.1.6 Tatalaksana
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah dengan meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Tujuan umum penatalaksanaan
asma antara lain:11
 Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
 Mencegah eksaserbasi akut
 Meningkatkan dan mempertahankanfaal paru seoptimal mungkin
 Mengupayakan aktiviti normal termasukexercise
 Menghindari efek samping obat
 Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) irreversible
 Mencegah kematian karena asma

Sedangkan tujuan penatalaksanaan serangan asma akut adalah:


 Menghilangkan obstruksi secepat mungkin
 Menghilangkan hipoksemi
 Mengembalikan faal paru ke normal secepat mungkin
 Mencegah kekambuhan
19

The Global Initiative For Asthma (GINA) membagi tatalaksana serangan


asma menjadi dua, tatalaksana di rumah dan di rumah sakit. Tatalaksana di rumah
dilakukan oleh pasien asma sendiri di rumah. Hal ini dapat dilakukan oleh pasien
yang sebelumnya telah menjalani terapi dengan teratur, dan mempunyai
pendidikan yang cukup. Terapi awal berupa inhalasi beta agonis kerja pendek
hingga tiga kali dalam satu jam. Kemudian pasien atau keluarganya diminta
melakukan penilaian respons untuk penentuan derajat serangan, untuk
ditindaklanjuti sesuai derajatnya.

Tabel. Penatalaksaan serangan asma akut di rumah


20

Tabel. Penatalaksanaan serangan asma akut di rumah sakit


21

1. Stimulan adrenergik
Obat dalam kategori ini terdiri atas kelompok obat katekolamin,
resorsinol, dan saligenin. Semua preparat ini berupa analog dan menghasilkan
dilatasi jalan napas melalui stimulasi reseptor beta dan pembentukan cAMP
sebagai hasilnya. Obat-pbat tersebut juga mengurangi pelepasan mediator dan
memperbaiki transportasi mukosiliaris. Kelompok katekolamin dalam
penggunaan klinis yang luas terdiri atas epinefrin, isoproterenol, isoetarin,
rimiterol, dan helsoprenalin. Sebagai satu kelompok, senyawa ini bekerja sangat
singkat dan hanya efektif melalui pemberian secara inhalasi atau parenteral. Dosis
epinefrin yang lazim digunakan adalah 0,3 hingga 0,5 mL larutan 1:1000 dengan
penyuntikan subkutan. Isoproterenol diberikan dalam bentuk larutan 1:200
dengan cara inhalasi.
Kelompok preparat resorsinol yang paling sering digunakan adalah
metaproterenol, terbutalin serta fenoterol dan preparat saligenin yang dikenal
paling luas adalah albuterol dan salbutamol. Kecuali metaproterenol, semua obat
ini sangat selektif untuk traktus pernafasan dan pada hakekatnya kurang
memberikan efek kardiak yang berarti kecuali jika digunakan dengan dosis tinggi.
Efek sampingnya yang paling penting adalah tremor.
2. Metilxantin
Teofilin dan berbagai jenis garamnya merupakan bronkodilator dengan
potensi sedang yang bekerja lewat mekanisme yang belum jelas. Dahulu
diperkirakan bahwa obat ini akan meningkatkan cAMP melalui inhibisi enzim
fosfodiestrase. Pemberian teofilin dosis tunggal di waktu sore mungkin dapat
mengurangi gejala di malam hari. Sebaliknya, untuk pemberian senyawa oral
dalam jumlah besar, hanya aminofilin yang tersedia untuk penggunaan intravena.
Efek samping yang paling sering ditemukan pada pemakaian teofilin adalah gejala
gugup, nausea, vomitus, anoreksia dan nyeri kepala. Dengan kadar plasma yang
lebih dari 30 µg/mL terdapat risiko untuk terjadinya serangan kejang dan aritmia
jantung.
22

3. Glukokortikoid
Glukokortikoid bukan merupakan preparat bronkodilator dan
pemakaiannya yang penting pada penyakit asma adalah untuk mengurangi radang
jalan napas. Preparat steroid akan memberikan hasil yang paling menguntungkan
jika digunakan pada keadaan akut ketika obstruksi jalan napas yang berat tidak
berkurang atau bahkan semakin memburuk kendati sudah dilakukan terapi yang
optimal dengan bronkodilator, selain pada penyakit kronik jika terjadi kegagalan
dengan susunan terapi yang sebelumnya memberikan hasil optimal dan disertai
eksaserbasi gejala yang sering dengan intensitas yang progresif.
Dosis steroid yang harus diberikan masih menjadi masalah yang
diperdebatkan. Namun, data yang ada menunjukkan bahwa pemberian dosis yang
sangat tinggi tidak mempunyai kelebihan dibandingkan pemberian dosis dengan
jumlah yang lebih konvensional. Perlu ditekankan bahwa efek pemberian steroid
pada serangan asma yang akut tidak timbul seketika dan mungkin baru terlihat 6
jam atau lebih sesudah pemberian inisialnya.
4. Penstabil Sel Mast
Kromolin sodium dan nedokromil sodium bukan merupakan preparat
bronkodilator. Efek terapeutik utama yang dimiliki oleh kedua preparat ini adalah
inhibisi terhadap proses degranulasi sel mast sehingga mencegah pelepasan
mediator kimiawi untuk anafilaksis. Kromolin dan nedokromil, seperti halnya
preparat steroid inhalasi akan memperbaiki fungsi paru, mengurangi gejala dan
menurunkan reaktivitas jalan napas pada pasien asma. Preparat ini paling
berkhasiat pada pasien atopic yang menderita serangan musiman atau yang
mengalami stimulasi terus menerus pada jalan napasnya. Untuk menimbulkan
efek penyembuhannya, uji coba terapeutik dengan dua kali hirupan per hari
selama 4 hingga 6 minggu kadang diperlukan. Berbeda dengan steroid,
nedokromil dan kromolin jika diberikan sebagai preparat profilaksis akan
menyekat efek obstruktif yang akut akibat pajanan terhadap antigen, respons yang
lanjut juga dihilangkan.
23

Dengan demikian, seorang pasien yang mengalami pajanan yang


intermiten terhadap stimulus antigenik atau nonantigenik yang memicu serangan
akut asma tidak perlu menggunakan obat ini secara terus menerus. Sebaliknya,
pasie tersebut mudah dilindungi hanya dengan menggunakan kromolin atau
nedokromil 15 hingga 20 menit sebelum mengalami kontak dengan zat yang
menjadi pencetus serangan.
5. Antikolinergik
Obat antikolinergik seperti atropine sulfat akan menghasilkan
bronkodilatasi pada pasien penyakit asma, namun penggunaanya dibatasi oleh
efek sistemik yang ditimbulkan. Preparat kelompok ini (atropine metilnitrat dan
ipratropium bromide) sangat bermanfaat khususnya bagi pasien penyakit asma
yang juga menderita penyakit jantung. Kerugian utama yang tedapat pada
penggunaan obat antikolinergik adalah bahwa obat tersebut bekerja lambat (60
hingga 90 menit sebelum efek puncak bronkodilatasi) dan memiliki potensi yang
paling kecil.

Nama Obat Dosis Kemasan Dosis Pemberian Efek Samping

2 Agonis
MDI=IDT+Spacer
Salbutamol 100mg/puff 2-8 puff setiap 20 Takikardi, tremor
Terbutalin 250mg/puff menit sampai 1 otot
Fenoterol 100mg/puff jam, lalu setiap 1-4 seketal,hipokale
Procaterol 10mg/puff jam diperlukan mia, peningkatan
asam laktat,
pusing
hiperglemia.
Secara umum
pada inhalasi
efek samping
sistematikanya
24

lebih sedikit,
terutama reaksi
kardiovaskuler
pada usia tua,
khususnya yang
sudah
mempunyai
1-2 mL penyakit
Nebulizer/Inhalasi (Salbutamol kardiovaskuler
Salbutamol 2,5mg/mL,5mg/mL 2,5mg-5mg,
Terbutalin 2,5 mg/mL terbutalin 2,5-5mg,
Fenoterol 100 mcg/mL fenoterol 100mcg-
100mcg) setiap 20
menit untuk 3
dosis, lalu 1-4 jam
jika diperlukan

Subcutan
(Systemic) 0,25mg /20 menit
Terbutalin 1mg/mL untuk 3 dosis Hipoksik lebih
Epinefrine 1:1000(1mg/mL) 0,3-0,5 mg setiap besar
20 menit

Terapi Inhalasi
Pengobatan asma bertujuan untuk menghentikan serangan asma secepat mungkin,
serta mencegah serangan berikutnya, ataupun bila timbul serangan kembali,
serangannya tidak berat. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu diberi obat
25

bronkodilator pada saat serangan, dan obat anti inflamasi sebagai obat pengendali
untuk menurunkan inflamasi yang timbul.
Pemberian obat pada asma dapat melalui berbagai macam cara, yaitu
parenteral (melalui infus), per oral (tablet diminum), atau per inhalasi. Pemberian
per inhalasi adalah pemberian obat secara langsung ke dalam saluran napas
melalui hirupan. Pada asma, penggunaan obat secara inhalasi dapat mengurangi
efek samping yang sering terjadi pada pemberian parenteral atau per oral, karena
dosis yang sangat kecil dibandingkan jenis lainnya. Untuk mendapatkan manfaat
obat yang optimal , obat yang diberikan per inhalasi harus dapat mencapai tempat
kerjanya di dalam saluran napas. Obat yang digunakan biasanya dalam bentuk
aerosol, yaitu suspensi partikel dalam gas.
Pemberian aerosol yang ideal adalah dengan alat yang sederhana, mudah
dibawa, tidak mahal, secara selektif mencapai saluran napas bawah, hanya sedikit
yang tertinggal di saluran napas atas, serta dapat digunakan oleh pasien, orang
cacat, dan orang tua. Namun keadaan ideal tersebut tidak dapat sepenuhnya
tercapai. Berikut beberapa alat terapi inhalasi:
 Metered Dose Inhaler (MDI)
 MDI dengan Spacer
 MDI tanpa Spacer
Spacer (alat penyambung) akan menambah jarak antara alat dengan mulut,
sehingga kecepatan aerosol pada saat dihisap menjadi berkurang. Hal ini
mengurangi pengendapan di orofaring (saluran napas atas). Spacer ini berupa
tabung (dapat bervolume 80 ml) dengan panjang sekitar 10-20 cm, atau bentuk
lain berupa kerucut dengan volume 700-1000 ml. Penggunaan spacer ini sangat
menguntungkan pada anak.
26

Dry Powder Inhaler (DPI)


Penggunaan obat dry powder (serbuk kering) pada DPI memerlukan
hirupan yang cukup kuat. Pada anak yang kecil, hal ini sulit dilakukan. Pada anak
yang lebih besar, penggunaan obat serbuk ini dapat lebih mudah, karena kurang
memerlukan koordinasi dibandingkan MDI. Deposisi (penyimpanan) obat pada
paru lebih tinggi dibandingkan MDI dan lebih konstan. Sehingga dianjurkan
diberikan pada anak di atas 5 tahun.

Terapi Nebulasi
Alat nebulizer dapat mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi
aerosol secara terus-menerus, dengan tenaga yang berasal dari udara yang
dipadatkan, atau gelombang ultrasonik. Aerosol yang terbentuk dihirup penderita
melalui mouth piece atau sungkup.
Bronkodilator yang diberikan dengan nebulizer memberikan efek
bronkodilatasi yang bermakna tanpa menimbulkan efek samping. Hasil
pengobatan dengan nebulizer lebih banyak bergantung pada jenis nebulizer yang
digunakan. Ada nebulizer yang menghasilkan partikel aerosol terus-menerus, ada
juga yang dapat diatur sehingga aerosol hanya timbul pada saat penderita
melakukan inhalasi, sehingga obat tdak banyak terbuang.
27

You might also like