Psikiatri Jurnal Translate

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 6

Prediksi dan Pencegahan Skizofrenia: Apa Yang Telah

Dicapai dan Bagaimana Langkah Selanjutnya?


Joachim Klosterkötter1, Frauke Schultze-Lutter2, Andreas Bechdolf1,3, Stephan Ruhrmann1
1
Department of Psychiatry and Psychotherapy, University of Cologne, Kerpener Strasse 62,
50924 Cologne, Germany; 2University Hospital of Child and Adolescent Psychiatry, Research
Department, Bern, Switzerland; 3Department of Psychiatry, University of Melbourne, Australia

Di dalam ilmu kedokteran modern, berbagai usaha sudah dilakukan untuk dapat
menemukan cara memprediksi dan mencegah penyakit-penyakit. Hal ini cocok jika diterapkan
pada gangguan mental. Penelitian terakhir tentang indikator faktor risiko neurobiologi dan
psikososial untuk skizofrenia tidak cukup kuat untuk mencegah pasien yang berisiko tetapi tidak
menunjukkan gejala. Bagaimanapun suatu dasar yang bisa memprediksi dan adanya gejala-gejala
pre-psikotik yag berisiko tinggi dapat berkembang menjadi gejala prodormal dalam jangka
waktu 5 tahun. Kejadian yang luar biasa akan penyakit ini dapat diprediksi dengan akurat.
Penelitian menunjukkan adanya strategi yang berbeda untuk pencegahan dengan status
prodromal dan penggunaan antipsikotik atipikal dosis rendah pada pasien dengan gejala-gejala
prodormal awal. Tugas yang penting untuk masa mendatang adalah peningkatan kekuatan
prediksi dengan memperbanyak faktor risiko dan stratifikasi sebagaimana dengan strategi
pencegahan, dengan fokus pada etiologi gangguan mental. Sebagai tambahan, prediksi dan
pencegahan akan bermanfaat daripada inklusi gejala-gejala yang berisiko pada kriteria DSM-5.

Sejak paradigma klinis digantikan oleh paradigma molekuler, cara pandang medis berubah.
Prediksi, pencegahan, dan personalisasi menjadi kata kuncinya. Seperti disiplin ilmu kedokteran
lainnya, psikiatri juga telah mengubah fokus dari diagnosis dan pengobatan menjadi deteksi dan
estimasi perkembangan faktor risisko penyakit, prediksi terjadinya onset, dan strategi untuk
mencegah manifestasi gejala (1-4).

Walaupun pengobatan skizofrenia mengalami banyak kemajuan dalam beberapa dekade terakhir,
banyak pasien yang memilih untuk tidak melanjutkan pengobatan (5-6). Hal ini membuat banyak
pasien skizofrenia mengalami disabilitas yang permanen diantara orang-orang yang berumur di
bawah 40 tahun di Jerman (7) dan pada seperdelapan kasus menjadi penyebab disabilitas
melakukan kegiatan sehari-hari diantara orang-orang berumur 15-34 tahun (8), meskipun dalam
prevalensi yang rendah. Bagaimanapun, skizofrenia mempengaruhi biaya sosial baik secara
langsung maupun tidak langsung (9) serta menjadi beban yang besar bagi paisen dan
keluarganya (8,10).
Saat ini semakin jelas bahwa skizofrenia merupakan penyakit yang kompleks dengan
hereditas poligenik dan patogenesisnya dipengaruhi oleh interaksi antar gen dan interaksi antara
gen dengan lingkungan. Saat ini sudah diakui adanya hubungan dari variasi gen untuk dysbidin
dan neuregulin-1, lokus gen G72 dan DAOA (D-amino acid oksidase activator). Seperti
penyakit-penyakit kompleks lainnya, saat ini penelitian berfokus pada karakteristik predisposisi
poligenik yang mempengaruhi perkembangan fenotip (11). Metode penelitian genetik dilakukan
melalui penelitian proteome pada biologi sel, neurofisiologi, gambaran struktural dan fungsional
otak, serta neuropsikologi. Dengan metode-metode ini beberapa indikator yang dapat
meningkatkan risiko skizofrenia dapat diidentifikasi. Akan tetapi, pengenalan akan faktor-faktor
risiko neurobiologi tidak cukup untuk memprediksi perkembangan dan pengunaan pengukuran
pencegahan secara “selektif” dengan target pasien-pasien yang asimptomatik. Untuk faktor-
faktor risiko neuropsikologi, hal ini menjadi sangat jelas dalam penelitian berskala besar yang
dilakukan oleh North American Prodrome Longitudinal Study (NAPLS) untuk meningkatkan
multivariasi dengan mengintegrasikan variabel-variabel neurokognitif (12).
Ada beberapa faktor risiko lingkungan pada skizofrenia, seperti kehamilan atau
komplikasi persalinan, hidup di kota besar, IQ yang rendah tetapi normal, dan konsumsi obat-
obatan. Dengan odds rasio sekitar 2, maisng-masing faktor risiko ini meningkatkan risiko
penyakit ini secara ringan (13). Akan tetapi, faktor-faktor risiko ini tidak dapat digunakan
sebagai prediksi dan pencegahan, tanpa pengetahuan yang lengkap tentang predisposisi yang
utama dan hubungan antar gen, serta hubungan antar gen dengan lingkungan, baik berdiri sendiri
atau secara bersamaan.
Berdasarkan situasi ini, bisa diasumsikan bahwa usaha prediksi dan pencegahan penyakit
ini masih belum matang dan masih diperlukan penelitian etiologi lebih lanjut. Akan tetapi
terdapat cara pandang yang berbeda, yang muncul dari lembaga-lembaga pusat pengenalan dan
pencegahan penyakit, yang dimulai dari Meulborne, Australia dan di Cologne, Jerman pada
pertengahan tahun 1990 an, kemudian disusul dengan tempat-tempat lainnya. Hal ini disebabkan
oleh adanya penelitian retrospektif tentang penanganan dini penderita psikosis, dimana secara
patofisiologi mengganggu perkembangan otak. Hal ini secara luas menyebabkan kelainan
perilaku dan secara psikopatologi dapat dikenali sebagai gejala-gejala dini dan gejala yang
berisiko tinggi. Gejala-gejala ini bergantung pada kombinasi stressor dan daya tahan seseorang.
Penelitian tentang episode pertama dari psikosis menunjukkan bahwa 70-80% kasus didahului
oleh adanya fase prodromal selama kurang lebih 5-6 tahun. Walaupun demikian, pada sistem
kesehatan yang berkembang, gejala-gejala positif psikosis menhilang dalam 1 tahun dengan
pengobatan dini yang adekuat (14,15).
Periode saat episode pertama psikosis (first episode psychosis (FEP)) yang tidak diatasi
berhubungan dengan keterlambatan atau remisi yang tidak sempurna dari gejala-gejala yang ada;
perlunya pengobatan yang lebih lama, risiko yang lebih besar akan adanya relaps; pemenuhan
yang lebih rendah, beban pada keluarga lebih besar, dan tingkat emosi yang lebih tinggi;
meningkatkan risiko depresi dan keinginan bunuh diri; berdampak besar pada pekerjaan atau
pendidikan; peningkatan penyalagunaan obat dan perilaku kejahatan; peningkatan biaya
pengobatan yang signifikan (16).
Korelasi ini sudah dibuktikan dengan meta-analysis (17), dengan koefisien 0.285-0.434
(95% CI). Penelitian ini tidak hanya menjadi alasan kuat perlunya pengobatan dini pada FEP
tetapi juga menjadi alasan perlunya penanganan yang sistematik untuk menurunkan insiden
terjadinya psikosis melalui tindakan pencegahan.

PREDIKSI SKIZOFRENIA DENGAN KRITERIA GEJALA-GEJALA YANG UTAMA


Dua penelitian penting yang berkonsentrasi pada tahap awal yang utama sampai tahap
konversi ke FEP menunjukkan bahwa gejala-gejala yang paling awal dan paling sering muncul,
dimana sebagian besar didominasi selama masa prodromal, tidak spesifik dan tidak bisa
dibedakan dengan gangguan mood, kontak, dan konsentrasi dari episode depresif. Penelitian ini
dilakukan oleh Age-Bginning-Course (ABC) dengan studi retrospektif dan metode yang optimal
(14), dan Cologne Early Recognition (CER) dengan studi prospektif jangka panjang dengan
masa pemantauan selama 10 tahun (18). Studi ini juga menemukan adanya gangguan kognitif
pada proses berpikir, pembicaraan, dan persepsi. Sub grup ini juga disebut sebagai gejala-gejala
utama, dimana dijumpai pada seperempat pasien. Hal ini memiliki spesifitas dan kekuatan
prediksi yang tinggi dengan derajat positif palsu ynag rendah (19-21).
Gejala-gejala utama pertama kali diterapkan dalam Bonn Scale for Assessment of Basic
Symtoms (BSABS). Terdapat bentuk yang lebih sederhana untuk dewasa dan anak-anak,yaitu
Schizophrenia Proness Instrument, Adult Version (SPI-A) dan Schizophrenia Proness
Instrument, Child and Youth Version (SPI-CY), yang dikembangkan dari analisis-analisis
dimensional (22-24). BSABS hanya menilai pada tahapan tertentu, SPI-A dan SPI-CY dapat
menilai derajatnya berdasarkan frekuensi kemunculan gejala dalam 3 bulan terakhir.
Dalam studi CER, sebanyak 385 pasien yang diduga berada dalam masa prodromal dari
skizofrenia dipantau dalam rata-rata 9.6 (±7.6) tahun. Didapatkan 20% kasus dengan kriteria
awal (1 dari 66 gejala utama) dimana didapatkan perkembangan skizofrenia setelah 12 bulan,
sebanyak 17% setelah 24 bulan , sebanyak 13% setelah 36 bulan, dan sebanyak 70% setelah 4.5
tahun. Jadi hanya 30% yang tidak berkembang menjadi skizofrenia. Ketiadaan sekurang-
kurangnya satu dari gejala utama memprediksikan ketiadaan transisi menjadi skizofrenia sebesar
78.1% dari kasus. Berdasar analisis yang lebih lanjut, secara parsial terdapat tumpang tindih
dalam kriteria gejala utama untuk menetukan risk mental states (ARMS) untuk psikosis,
terutama skizofrenia (Tabel 1).
Standar yang pertama, yang terdiri dari cognitive-perceptive basic symptoms yang
disingkat menjadi COPER, berdasar pada penemuan mengenai keakuratan prediksi dari gejala-
gejala utama pada individu (18, 25). Standar yang kedua berdasar pada re-analisis pada data yang
sama, dimana dikelompokkan menjadi 9 gejala utama kognitif yang paling mungkin digunakan
sebagai prediksi. Kelompok ini diebut dengan “cognitive disturbances” (COGDIS). Menurut
studi CER, COGDIS lebih konservatif dibanding dengan COPER . Perkiraan transisi berdasar
pemantauan dalam 10 tahun didapatkan 65% pada COPER dan 79% pada COGDIS, dengan
transisi yang sebagian besar terjadi dalam 3 tahun pertama.
Menurut studi prospektif yang kedua (26), berkaitan dengan SPI-A dan pemantauan yang
sistematik dalam 24 bulan, sebanyak 38% termasuk dalam 146 subjek yang berisiko untuk
menjadi psikosis, dan sebagian besar skizofenia dalam rata-rata 12.3 (±10.4) bulan (1-
48;median=9) berdasarkan COPER. Jadi hasil yang positif dari studi CER dapat dikonfirmasi.
Sehingga sekali lagi dapat disimpulkan bahwa kemunculan COGDIS lebih spesifik tetapi kurang
sensitif.
Sebagai konsekuensi dari penemuan-penemuan ini, gejala –gejala utama yang dapat
digunakan untuk memprediksi, digunakan sebagai kriteria untuk penilaian risiko pada penelitian
internasional pasa pengenalan awal adanya psikosis. Jaringan penelitian mengenai skizofrenia di
Jerman menggunakan gejala-gejala ini dikombinasikan dengan standar risiko deteriosasi
fungsional dan biologi, dalam menentukan adanya “early at-risk of psychosis state” (ERPS),
dengan menggunaka penilaian risiko secara klinis (Gambar 1).

PREDIKSI SKIZOFRENIA MENGGUNAKAN KRITERIA ULTRA HIGH RISK

Gejala-gejala tipikal positif pada skizofrenia, seperti delusi, halusinasi, atau gangguan
berpikir, terkadang muncul pertama kali dalam waktu sementara selama fase prodromal. Adanya
gejala-gejala ini menunjukkan prediksi yang valid akan adanya konversi ke episode psikosis
pertama (FEP), khususnya dalam waktu singkat. Gejala-gejala yang harus diwaspadai ini
digunakan dalam kriteria ultra high risk (UHR) (27,28). meskipun ada perbedaan-perbedaan
diantara beberapa studi, kriteria ini secara umum terdiri dari elemen-lemen alternatif: attenuated
positive symptoms (APS), brief limited intermitten psychotic symptoms (BLIPS), atau kombinasi
dari satu atau lebih faktor risiko (selalu melibatkan risisko genetik) dan berkurang secara
fungsional dalam periode waktu tertentu.
Untuk memastikan kriteria UHR, kelompok peneliti Melbourne mengembangkan
instrument yang spseifik, yaitu Comprehensive Assessment of At Risk Mental States (CAARMS)
(29). Berdasarkan pengertian para peneliti Australia tentang kriteria UHR dikembangkan the
Structured Interview for Prodromal syndromes (SIPS), the Scale for Prodromal Syndromes
(SOPS), dan the Kriteria of Prodromal Syndromes (COPS) (30,31). UHR yang berbeda juga
dikembangkan oleh the Hillside Recognition and Prevention (RAP) di New York dan pada studi
Basel Fürherkennung von Psychosen (FEPSY).
Telah ada paling tidak 15 penelitian prediksi menggunakan UHR, beberapa diantaranya
menggunakan sampel dalam jumlah besar (34-41). Didapatkan bahwa rata-rata dalam 12 bulan
terdapat transisi FEP sekitar 13-50%. Variasi yang besar juga diamati dengan masa observasi
yang seimbang pada tempat yang sama (34,35). Insiden tahunan dari segala bentuk psikosis di
populasi umum hanya sekitar 0,034% (42). Walaupun dalam tingkat konversi yang rendah masih
dapat mengindikasikan adanya peningkatan yang dramatis dalam risiko relatif suatu penyakit,
paling tidak dalam bantuan pencarian sampel di pusat-pusat yang khusus. Tabel 2
menggambarkan pengukuran keakuratan prediksi yang telah dilakukan sejauh ini, dengan
sekurang-kurangnya 5 penelitian yang mempresentasikan analisis faktor-faktor yang dapat
memprediksi sampel-sampel yang masuk dalam kriteria berisiko. Sebagai hasilnya, di dalam
jaringan penelitian tentang skizofrenia di Jerman, pendekatan dengan UHR dikombinasikan
dengan pendekatan gejala-gejala utama dan diterapkan dalam bentuk yang dimodifikasi sebagai
ketentuan “late at-risk of psychosis state” (LRSPS) (Gambar 1). Model penentuan tingkatan
secara klinis sangat mendukung diagnosis. Dimana menganjurkan adanya rangkaian
perkembangan progresif FEP dari gejala-gejala prodromal yang tidak spesifik menjadi gejala-
gejala utama yang dapat diprediksi, kemudian menjadi APS, BLIPS, sampai menculnya gejala-
gejala psikotik yang jelas.

You might also like