Professional Documents
Culture Documents
Psikiatri Jurnal Translate
Psikiatri Jurnal Translate
Psikiatri Jurnal Translate
1
Department of Psychiatry and Psychotherapy, University of Cologne, Kerpener Strasse 62,
50924 Cologne, Germany; 2University Hospital of Child and Adolescent Psychiatry,
Research Department, Bern, Switzerland; 3Department of Psychiatry, University of
Melbourne, Australia
Abstrak
Dalam ilmu kedokteran modern, berbagai upaya dilakukan untuk dapat menemukan
cara memprediksi dan mencegah berbagai penyakit. Konsep ilmu kedokteran modern ini
tepat jika diterapkan pada gangguan mental. Penelitian terkini tentang indikator
neurobiologi dan psikososial untuk risiko berkembangnya skizofrenia ternyata tidak
memberikan kekuatan prediktif yang cukup baik untuk mencegah terjadinya gangguan
jiwa pada pasien yang berisiko mengalaminya tetapi tidak menunjukkan gejala. Namun,
jika dasar prediktif dan gejala-gejala pre-psikotik risiko tinggi psikosis berkembang menjadi
gejala prodormal dalam jangka waktu 5 tahun, kemungkinan berkembangnya gangguan jiwa
dapat diprediksi dengan akurat. Beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa strategi
pencegahan berupa cognitive behavioral therapy dan pemberian antipsikotik atipikal dosis
rendah pada pasien dengan gejala-gejala prodormal awal dapat bermanfaat. Tugas yang
penting untuk masa mendatang adalah meningkatkan kekuatan prediktif melalui penilaian
dan stratifikasi berbagai faktor risiko, dengan pengembangan strategi pencegahan terbaru,
serta berfokus pada etiologi gangguan mental. Selain itu, pendekatan prediksi dan
pencegahan gangguan jiwa dapat mengambil manfaat dari dimasukannya gejala-gejala risiko
pada kriteria diagnosis DSM-5.
Kata kunci : Skizofrenia, faktor risiko, proses awal penyakit, gejala utama, gejala risiko
tinggi, staging risiko, pencegahan beragam
Pergeseran paradigma klinis ke paradigma molekuler menimbulkan perubahan cara
pandang medis. Prediksi, pencegahan, dan personalisasi menjadi kata kunci pada pendekatan
ini. Sama halnya dengan disiplin ilmu kedokteran lainnya, psikiatri juga memperluas
fokusnya dari diagnosis dan terapi menjadi deteksi dan estimasi perkembangan faktor risiko
penyakit, prediksi terjadinya onset, serta strategi untuk mencegah manifestasi gejala (1-4).
Meskipun pengobatan skizofrenia mengalami banyak kemajuan dalam beberapa
dekade terakhir ini, banyak pasien yang penyakitnya berkembang menjadi kronis (5-6). Hal
inilah yang menyebabkan skizofrenia menjadi penyebab disabilitas yang permanen pada
individu berumur di bawah 40 tahun di Jerman (7) dan berada pada peringkat kedelapan
penyebab disabilitas seseorang dalam melakukan kegiatan sehari-hari/ disability adjusted life
years (DALYs) pada individu berumur 15-34 tahun di seluruh dunia (8), meskipun
prevalensinya rendah. Selain itu, skizofrenia memberikan beban sosial baik secara langsung
maupun tidak langsung (9) serta menjadi beban yang besar bagi pasien dan keluarganya
(8,10).
Saat ini semakin jelas bahwa skizofrenia merupakan gangguan yang kompleks dengan
hereditas poligenik dan patogenesisnya sangat dipengaruhi oleh interaksi antar gen maupun
interaksi antara gen dengan lingkungan. Saat ini sudah diakui adanya hubungan skizofrenia
dengan variasi gen pengkode dysbidin dan neuregulin-1, di lokus gen G72 dan DAOA (D-
amino acid oksidase activator). Sama halnya dengan penyakit-penyakit kompleks lainnya,
saat ini penelitian skizofrenia berfokus pada karakterisasi predisposisi poligenik dan
menganalisis pengaruhnya terhadap perkembangan fenotip (11). Metode penelitian yang
dilakukan berupa teknik molekular genetik melaui analisis proteome pada komponen biologi
sel, neurofisiologi, gambaran struktural dan fungsional otak, serta neuropsikologi. Dengan
metode-metode ini, beberapa indikator yang menunjukkan peningkatan risiko skizofrenia
dapat diidentifikasi. Akan tetapi, faktor-faktor risiko neurobiologi yang saat ini kita kenal
tidak cukup optimal untuk mengembangkan dan menerapkan upaya pencegahan selektif
dengan target berupa pasien-pasien yang asimptomatik. Untuk faktor-faktor risiko
neuropsikologi, hal ini menjadi sangat jelas dalam penelitian berskala besar yang dilakukan
oleh North American Prodrome Longitudinal Study (NAPLS) untuk meningkatkan
multivariasi dengan mengintegrasikan variabel-variabel neurokognitif (12).
Ada beberapa faktor risiko lingkungan pada skizofrenia yang sudah banyak diketahui,
seperti komplikasi kehamilan atau persalinan, tumbuh di kota besar, IQ yang rendah tetapi
normal, dan konsumsi obat-obatan. Namun, dengan nilai odds rasio sekitar 2, masing-masing
faktor risiko ini hanya menyebabkan peningkatan ringan pada risiko penyakit (13). Oleh
karena itu, faktor-faktor risiko yang saat ini diketahui, baik berdiri sendiri atau secara
bersamaan, tidak dapat digunakan dalam memprediksi mencegah, tanpa adanya pengetahuan
yang komprehensif dan holistik tentang dasar dan hubungan antar gen, serta hubungan antara
gen dengan lingkungan.
Berdasarkan situasi ini, bisa diasumsikan bahwa usaha prediksi dan pencegahan
penyakit ini masih belum matang dan masih diperlukan penelitian etiologi lebih lanjut. Akan
tetapi terdapat cara pandang yang berbeda, yang muncul dari hasil penelitian di lembaga-
lembaga pusat identifikasi awal dan pencegahan penyakit di Meulborne, Australia dan di
Cologne, Jerman pada pertengahan tahun 1990-an, kemudian disusul oleh lembaga-lembaga
penelitian lainnya. Cara pandang yang berbeda ini berasal dari penelitian retrospektif tentang
psikosis tahap awal, dimana gangguan patofisiologi selama masa perkembangan otak dapat
menyebabkan berbagai kelainan mulai dari gangguan perilaku awal hingga gejala risiko
psikopatologis dini yang jelas dan gejala-gejala psikopatologis risiko tinggi/ ultra high risk
(UHR). Munculnya gangguan perilaku maupun gejala-gejala UHR ini bergantung pada
kombinasi stressor dan daya tahan seseorang. Penelitian tentang episode pertama dari
psikosis/ first episode psychosis (FEP) menunjukkan bahwa kemunculan 70-80% kasus
gangguan jiwa didahului oleh adanya fase prodromal yang bertahan selama kurang lebih 5-6
tahun. Bahkan pada sistem pelayanan kesehatan yang sudah maju pun, gejala-gejala positif
psikosis membutuhkan kira-kira 1 tahun mulai dari kemunculan gejala positif psikotik pada
manifestasi pertamanya hingga dimulainya pengobatan yang adekuat (14,15).
Periode dimana FEP tidak ditangani/ duration of untreated psychosis (DUP) dapat
menyebabkan keterlambatan atau remisi yang tidak sempurna dari gejala-gejala yang ada,
masa pengobatan yang lebih lama, risiko relaps yang lebih tinggi, kepuasan terhadap terapi
yang lebih rendah, beban pada keluarga lebih besar, emosi terekspresikan yang lebih tinggi,
peningkatan risiko depresi dan keinginan bunuh diri, dampak negatif yang lebih besar pada
pekerjaan atau pendidikan, peningkatan penyalagunaan obat dan perilaku kejahatan, serta
peningkatan biaya pengobatan yang signifikan (16).
Berbagai korelasi tersebut telah dibuktikan dalam suatu penelitian meta-analysis (17),
dengan koefisien penelitian yang berkisar antara 0,285 hingga 0,434 (95% CI). Korelasi ini
tidak hanya menjadi alasan kuat perlunya pengobatan pada FEP sedini mungkin, tetapi juga
menjadi alasan perlunya penanganan yang sistematik untuk menurunkan insidensi psikosis
melalui tindakan pencegahan yang sesuai indikasi.
Tabel 1. Definisi status mental yang berisiko terkena psikosis atas dasar gejala utama dan
keakuratan prediksi pada penelitian Cologne Early Recognition (CER).
Kriteria Keakuratan prediksi
Gejala utama persepsi dan kognisi/ cognitive- Sensitivitas = 0,87
perceptive basic symptoms (COPER) Spesifitas = 0,54
Paling sedikit terdapat 1 dari 10 gejala utama Nilai prediksi positif = 0,65
dengan skor SPI-A/SPI-CY > 3 selama kurun Nilai prediksi negatif = 0,82
waktu 3 bulan dan onset awal > 12 bulan yang Likelihood ratio positif = 1,9
lalu, yaitu: thought interference, thought Likelihood ratio negatif = 0,24
perseveration, thought pressure, thought Odds ratio = 7.86
blockages, gangguan pemahaman bahasa, Positif palsu = 23.1 %
penurunan kemampuan untuk membedakan ide Negatif palsu = 6.3 %
dan persepsi, fantasi dan memori nyata, ideas of
reference ,ang tidak stabil, derealisasi, halusinasi
visual (selain kasus mata kabur dan terlalu peka
cahaya), halusinasi auditorik (selain kasus terlalu
peka suara)
Gangguan kognisi/ cognitive disturbance Sensitivitas = 0,67
(COGDIS) Spesifitas = 0,83
Paling sedikit 2 dari 9 gejala utama dengan skor Nilai prediksi positif = 0,79
SPI-A/SPI-CY >3selama kurun waktu 3 bulan, Nilai prediksi negatif = 0,72
yaitu: ketidakmampuan membedakan perhatian, Likelihood ratio positif = 3.94
thought interference, thought pressure, thought Likelihood ratio negatif = 0.40
blockages, gangguan pemahaman bahasa, ideas Odds ratio = 9,91
of reference yang tidak stabil gangguan Positif palsu = 8,8 %
mengungkapkan dengan bahasa lisan, gangguan Negatif palsu = 16,3 %
dalam berpikir abstrak, pemusatan perhatian pada
detil objek yang dilihat
Kriteria yang pertama, yang terdiri dari 10 gejala utama kognisi dan persepsi/
cognitive-perceptive basic symptoms yang disingkat menjadi COPER, didasarkan pada
penemuan mengenai keakuratan prediksi dari gejala-gejala utama pada individu (18, 25).
Kriteria yang kedua berdasar pada analisis ulang pada data yang sama, dimana
dikelompokkan menjadi 9 gejala kognitif utama yang dianggap paling prediktif. Kelompok
ini disebut dengan “cognitive disturbances” (COGDIS). Menurut studi CER, COGDIS lebih
konservatif dibanding dengan COPER dalam hal tingkat keakuratan prediksi secara umum.
Perkiraan transisi berdasar pemantauan dalam 10 tahun didapatkan 65% pada COPER dan
79% pada COGDIS, dengan transisi yang sebagian besar terjadi dalam 3 tahun pertama.
Menurut studi prospektif kedua (26) yang dilakukan dengan SPI-A dan pemantauan
yang sistematik dalam 24 bulan, sebanyak 38% dari 146 subjek penelitian mengalami
perkembangan gangguan jiwa menjadi psikosis nyata, khususnya skizofenia, dalam rata-rata
12.3 (±10.4) bulan (1-48; median=9) berdasarkan COPER. Hal ini menunjukkan kesesuaian
dengan hasil positif pada penelitian CER. Oleh karenanya dapat disimpulkan kembali bahwa
COGDIS lebih spesifik tetapi kurang sensitif.
Sebagai konsekuensi dari penemuan-penemuan ini, gejala-gejala utama yang dapat
digunakan untuk memprediksi, digunakan sebagai kriteria untuk penilaian risiko mengenai
pengenalan awal adanya psikosis pada penelitian internasional. Jaringan penelitian mengenai
skizofrenia di Jerman menggunakan gejala-gejala ini dikombinasikan dengan standar risiko
deteriosasi fungsional dan biologi, dalam menentukan adanya “early at-risk of psychosis
state” (ERPS), dengan menggunaka penilaian risiko secara klinis (Gambar 1).
Gejala-gejala positif yang khas pada skizofrenia, seperti delusi, halusinasi, atau
gangguan berpikir, terkadang muncul pertama kali dalam waktu sementara selama fase
prodromal. Adanya gejala-gejala ini menunjukkan prediksi yang valid akan adanya konversi
ke episode psikosis pertama (FEP), khususnya dalam waktu singkat. Gejala-gejala yang harus
diwaspadai ini digunakan dalam kriteria ultra high risk (UHR) (27, 28). Meskipun ada
perbedaan-perbedaan diantara beberapa penelitian, kriteria ini secara umum terdiri dari
elemen-elemen alternatif yang meliputi gejala positif/ attenuated positive symptoms (APS),
gejala psikotik sementara yang terbatas/ brief limited intermitten psychotic symptoms
(BLIPS), atau kombinasi dari satu atau lebih faktor risiko (selalu melibatkan risiko genetik)
dan penurunan fungsional dalam periode waktu tertentu.
Untuk memastikan kriteria UHR, kelompok peneliti Melbourne mengembangkan
instrumen yang spesifik, yaitu Comprehensive Assessment of at Risk Mental States
(CAARMS) (29). Berdasarkan difinisi yang ditetapkan oleh para peneliti Australia tentang
kriteria UHR, dikembangkanlah the Structured Interview for Prodromal syndromes (SIPS),
the Scale for Prodromal Syndromes (SOPS), dan the Criteria of Prodromal Syndromes
(COPS) (30,31). UHR yang berbeda juga dikembangkan oleh the Hillside Recognition and
Prevention (RAP) di New York dan pada studi Basel Fürherkennung von Psychosen
(FEPSY).
Hingga saat ini telah ada sedikitnya 15 penelitian prediksi menggunakan kriteria
UHR, dimana beberapa diantaranya menggunakan sampel dalam jumlah besar (34-41).
Tingkat transisi dalam 12 bulan menuju FEP berdasarkan berbagai penelitian terdapat sekitar
13-50%. Variasi yang besar juga diamati dengan masa observasi yang berbeda pada pusat
penelitian yang sama (34,35). Insidensi tahunan dari segala bentuk psikosis di populasi umum
hanya sekitar 0,034% (42). Walaupun dalam tingkat konversi yang rendah masih dapat
mengindikasikan adanya peningkatan yang dramatis dalam risiko relatif suatu penyakit,
paling tidak dalam bantuan pencarian sampel di pusat-pusat yang khusus. Tabel 2
menggambarkan pengukuran keakuratan prediksi yang telah dilakukan sejauh ini, dengan
sekurang-kurangnya 5 penelitian yang mempresentasikan analisis faktor-faktor yang dapat
memprediksi sampel-sampel yang masuk dalam kriteria berisiko. Sebagai hasilnya, di dalam
jaringan penelitian tentang skizofrenia di Jerman, pendekatan dengan UHR dikombinasikan
dengan pendekatan gejala-gejala utama dan diterapkan dalam bentuk yang dimodifikasi
sebagai ketentuan “late at-risk of psychosis state” (LRSPS) (Gambar 1). Model penentuan
tingkatan secara klinis (staging) ini sangat mendukung diagnosis, yang juga menunjukkan
adanya rangkaian perkembangan progresif FEP dari gejala-gejala prodromal yang tidak
spesifik menjadi gejala-gejala utama yang dapat diprediksi, kemudian menjadi APS, BLIPS,
sampai menculnya gejala-gejala psikotik yang jelas.
Penilaian Risiko
Apabila fase prodromal inisial bertahan selama kurang lebih 5 tahun, maka sebagian
besar periode follow-up yang ditunjukkan pada tabel 2 tidak dapat memenuhi atau tidak
sesuai dengan tingkat transisi nyata dari gangguan jiwa. Banyak perubahan yang tidak
terklasifikasikan sebagai perubahan, dan oleh karenanya kekuatan prediktif dari gejala-gejala
yang berisiko mengarah kepada gangguan jiwa dapat jadi kurang diperhatikan (12). Oleh
karena itu, tugas pertama dan paling penting di masa yang akan datang adalah untuk
mengadakan penelitian berskala besar dengan periode follow-up yang panjang yang meliputi
keseluruhan durasi fase prodormal inisial seperti pada studi CER (18).
Penilaian risiko juga dapat dicapai melalui inklusi biomarker, seperti pada contoh dari
beberapa penelitian terbaru mengenai prediksi demensia Alzheimer yang dilakukan dengan
penilaian terhadap sindroma gangguan kognitif ringan/ mild cognitive impairment (MCI)
syndrome (55). Kondisi ini mengindikasikan suatu risiko demensia Alzheimer dengan tingkat
konversi yang dapat diperbandingkan dengan gejala-gejala risiko FEPS. Namun, jika pada
pasien MCI secara simultan didapatkan hasil pencitraan yang jelas dan marker biokimiawi,
kekuatan prediktifnya meningkat secara signifikan. Penilaian risiko dapat dilakukan pada
FEPS dengan mengamati perubahan morfologis otak, selain itu juga mengamati gangguan
dalam kecepatan pemrosesan dan memori verbal, yang mana berubungan dengan dengan
gejala risiko psikosis, serta lebih sering ditemukan dan lebih berat pada kasus-kasus yang
mengarah ke transisi menuju skizofrenia dan psikosis lainnya (12,56-60). Hanya penelitian
baru berskala besar dengan periode observasi yang cukup panjanglah yang dapat
memperjelas apakah penilaian risiko dapat dicapai dengan menggunakan biomarker.
Kesuksesan strategi ini bergantung pada kemajuan penelitian pada faktor risiko biologis dan
lingkungan dan interaksinya, seperti yang dijelaskan oleh European Network of national
schizophrenia networks studying Gene-Environment Interactions (EU-GEI) study (61).
Stratifikasi Risiko
Dalam ranah disiplin medis lain seperti onkologi atau pneumologi, suatu prosedur
model risiko yang disusun dengan baik, yang tidak menyebabkan hilangnya sensitivitas,
menggunakan indeks prognosis/ prognosis indices (PI) untuk menentukan staging klinis
multivariat dengan cara stratifikasi risiko. Pada penelitian European Prediction of Psychosis
(EPOS), pendekatan ini digunakan dalam penelitian mengenai prediksi psikosis untuk
pertama kalinya (41). Suatu model klinis dikembangkan berdasarkan persamaan regresi Cox
yang meliputi enam variabel (skor positif SIPS, skor pemikiran aneh SIPS, skor gangguan
tidur SIPS, gangguan personal skizotipal SIPS, nilai Global Assessment of Functioning
(GAF) tertinggi dalam setahun terakhir, dan berapa tahun yang ditempuh untuk pendidikan).
Berdasarkan skor regresi individual, diusulkanlah suatu PI multivariat untuk menstratifikasi
lebih lanjut risiko transisi menuju psikosis ke dalam empat kelas risiko, dimana masing-
masing kelas risikonya menggambarkan risiko relatif yang meningkat signifikan dibanding
populasi umum, yang meningkat di tiap kelasnya.
Model empat kelas ini diperdebatkan apakah dapat meningkatkan prediksi psikosis
secara signifikan serta apakah dapat mendiferensiasi risiko individual berkaitan dengan
tingkat keparahannya (derajatnya) dan waktu. Suatu estimasi risiko yang lebih bersifat
individual atau staging klinis terhadap risiko, jika berhasil didapatkan di penelitian di masa
yang akan datang, akan dapat meningkatkan pengembangan kriteria inklusi berdasarkan
risiko untuk penelitian lanjutan dengan teknik randomisasi yang bersifat preventif. Pada
aplikasi pendekatan ini untuk pertama kalinya pada EPOS, hanya variabel klinis dan
demografik saja yang dipertimbangkan. Hal yang perlu dieksplorasi lebih lanjut adalah
apakah model multilevel yang meliputi neurokognitif, neurobiologi, sosiobiografis, atau
variabel lingkungan dapat meningkatkan akurasi prediktif di masa yang akan datang. Selain
itu, penelitian lebih lanjut harus memeriksa apakah model tersebut juga dapat diaplikasikan
untuk memprediksi psikosis dalam kerangka waktu yang berbeda.
Pengenalan status mental berisiko/ at risk mental state (ARMS) dalam diagnosis
gangguan jiwa
Revisi DSM yang saat ini sedang berjalan telah memicu perdebatan mengenai inklusi
suatu gejala risiko psikosis dengan tujuan untuk memfasilitasi upaya pencegahannya (62).
Beberapa peneliti awalnya tidak menyetujui proyek ini dan memberikan perhatian akan
adanya kerugian aplikasi ARMS sebagai kriteria diagnosis. Mereka menekankan bahwa
tingginya tingkat prediksi positif palsu dalam klinik spesialis (60-70%) dapat meningkat
hingga 90% pada klinik pasien rawat jalan. Kritik ini benar adanya dan harus mendapatkan
perhatian sebelum memutuskan apakah akan memasukkan ARMS dalam revisi selanjutnya
pada sistem diagnosis DSM. Meskipun demikian, debat yang selama ini terjadi secara khusus
berfokus pada validitas prediktif dari kriteria risiko / at risk criteria, dan oleh karenanya
mengesampingkan temuan utama yang meliputi: individu yang memenuhi kriteria risiko bisa
saja sudah mengalami gangguan mental dan fungsional multipel di saat mereka baru mencari
pertolongan. Selain itu, pada individu tersebut juga bisa didapatkan defisit fisiologis dan
kognitif beragam selain perubahan morfologi dan fungsi serebral. Oleh karenanya, mayoritas
individu berisiko yang mencari pertolongan medis yang juga memenuhi kriteria umum DSM-
IV untuk gangguan mental (misal gejala perilaku dan psikologis klinis signifikan yang
berhubungan dengna disabilitas atau stress berat) dan dianggap sakit, misalnya orang yang
membutuhkan bantuan dan perlu diberi penanganan medis. Dengan memiliki pertimbangan
ini, merupakan alasan yang baik untuk memasukkan suatu profil klinis ke dalam sistem
diagnosis seperti digambarkan dalam kriteria risiko, bukan sebagai suatu gejala risiko
prodromal untuk onset psikosis yang pertama, tetapi sebagai gangguan tersendiri. Di samping
mempermudah akses terhadap layanan medis standar, pengenalan diagnosis independen dapat
memberikan manfaat dalam mencegah stigmatisasi yang dapat diakibatkan status mental
seseorang yang dikaitkan dengan label negatif dan mengancam lingkungan. Meskipun
peningkatan risiko psikosis dapat berlanjut menjadi karakteristik diagnosis, fokus psikologis
dan medis dapat bergeser dari outcome yang belum jelas di masa mendatang menjadi
psikopatologi dan kebutuhan. Pada kondisi pengetahuan demikian, kriteria DSM-5 dapat
menjadi kerangka yang tepat untuk diinklusikannya gejala-gejala ini. Dorongan yang kuat
untuk perencanaan dan implementasi dari penelitian internasional dan nasional generasi baru
dapat dipacu dengan inklusi kriteria ini dalam DSM-5 dan selanjutnya juga di ICD-11.
Suatu pendekatan preventif yang baru didasarkan pada konsep neuroproteksi (63,64)
dan penelitian yang menunjukkan adanya kehilangan progresif dari volume gray matter
sebelum onset psikosis (56, 58, 60). Diantara berbagai substansi dengan kandungan
neuroprotektif, penelitian menunjukkan kandungan tersebut terdapat pada asam lemak omega
3 dosis tinggi, glisin, dan litium dosis rendah. Tingkat transisi 12 minggu secara signifikan
lebih rendah pada kelompok orang dewasa dengan UHR yang diberi terapi asam lemak
omega 3 dibanding kelompok yang diberi plasebo (65), dan efek ini bertahan hingga follow-
up 6 bulan. Koagonis reseptor glisin dan N-methyl-d-aspartate dievaluasi pada 10 pasien
dengan percobaan awal, dan terjadi perbaikan signifikan pada berbagai domain psikopatologi
pasien (66). Pada suatu penelitian pembuktian konsep terbuka, waktu relaksasi T2
hippocampus ditemukan berkurang secara signifikan pada kelompok penderita UHR yang
diterapi litium dosis rendah dibandingkan dengan kelompok serupa yang mendapatkan terapi
suportif standar. Hal ini menunjukkan adanya proteksi terhadap mikrostruktur hippocampus
(58, 67). Ini merupakan penelitian pertama yang menyediakan data pencitraan mengenai efek
neuroprotektif pada individu yang berisiko. Efek preventif nyata dari asam lemak omega 3
saat ini sedang dalam proses peninjauan lanjutan pada penelitian North-American, European,
Australian Prodrome (NEURAPRO) dengan sampel berukuran besar.
Kesimpulan