Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 30

AMBROSIUS A. K. S.

GOBANG
156060500111001

BAB I
GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

1.1 Keunikan Lokasi studi


Para antropolog dan arkeolog mengatakan orang Sikka penghuni negeri Nuhan Ular
Tanah Lorang (Pulau Ular Flores Bagian Tengah) berasal dari Lembah Dong Son di Hulu
Sungai Mekong dan Hoang Ho, China. Menurut Pater Sareng Bao SVD, manusia menghuni
bumi Sikka sejak bumi diciptakan.
Para penulis sejarah lokal, Oscar Mandalangi Parera berpendapat bahwa orang Sikka
berasal dari penghuni asli dan pendatang dari seberang lautan. Para penghuni asli ini disebut
Ata Teri Nian E’ra Natar atau Ata Tawa Tanah atau Bapak Pengasal. Keturunan penduduk
asli di Mekeng Detung (cikal bakal Kampung Sikka) yakni Mo’ang Ria Raga dengan
istrinya Du’a Soru Dedang serta keturunan pendatang dari negeri Siam (Benggala, kini
Bangladesh) yakni Mo’ang Rae Raja dengan istrinya Du’a Rubang Sina yang melahirkan
raja-raja Sikka kelak (Lewis & Mandalangi, 2008:25).
Nama Kabupaten Sikka agaknya berasal dari nama ibu pelahir para pahlawan negeri
ini. Nama ini pun menunjuk pada Dewi Sikh, nama seorang Dewi Padi Ilalang dari India.
Selain Bangladesh, lelulur orang Sikka-pun diyakini berasal dari Malaka, kini Semenanjung
Malaysia. Kata hikayat, leluhur itu seorang pelaut lantaran kapalnya rusak dan terdampar di
Paga Mbengu, lalu mengawini perempuan setempat. Leluhur itu disapa Laka dari kata
Malaka dan keturunannya kini tinggal di wilayah bagian barat Kabupaten Sikka, yakni
Paga, Mauloo dan Wolowiro di Kecamatan Paga.
Prasejarah menunjukkan kawasan Sikka telah ada sejak jaman batu–megalithikum,
dimana banyak artefak arkeologis menunjukkan jejak-jejak prasejarah tersebut. Zaman pra-
sejarah dan roh kepurbakalaan Sikka bisa ditelusuri dalam sastra lisan, dalam mitos dan
legenda, sekaligus dapat diraba melalui artefak dan fosil-fosil peninggalan zaman purbakala.
Misalnya batu dengan tapak tangan manusia raksasa di Ewa, Kecamatan Waigete, juga ada
tapak kaki kiri manusia raksasa yang panjang, tapak kakinya lebih tinggi dari ukuran tinggi
manusia normal, dengan lebar tapak kaki bisa mencapai tiga orang manusia berbadan
gemuk. Fosil-fosil ini ditemukan disebuah batu cadas yang keras. Masyarakat menyebutnya
dengan La’e Ripu terdapat di Rejo, Desa Wolorego, Kecamatan Paga. Ada juga sejumlah
gua yang diyakini dahulunya ditempati manusia-manusia purba asli Sikka. Seperti Gua Pati
Ahu dan Liang (gua) Keytimu di Talibura, Kubur batu Nuabari di Paga. Artefak emas
berbentuk kampak atau Bahartaka dan ukiran Tuhan Berwajah Tiga atau Bahar Ama Pu
Waen Telu di Desa Hale, Kecamatan Bola. Artefak perunggu berbentuk perahu Jong Dobo,
ditemukan di Kecamatan Kewapante.
Pada tahun 2012, pemerintah melalui Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
menetapkan Kampung Tua di Desa Sikka, Kecamatan Lela Kabupaten Sikka Flores NTT ini
menjadi Desa Pariwisata. Penetapan dan pengukuhan Desa Sikka tersebut tentunya melalui
berbagai pertimbangan. Salah satunya yang menjadi ikon dan daya tarik destinasi wisata
baik manca negara maupun domestik adalah Gereja Tua St. Ignatius Loyola, yang telah
berusia lebih dari seratus tahun, tapi masih tetap tegak kokoh berdiri ditengah Kampung
Sikka. Menariknya lagi, pada setiap tahun menjelang perayaan Paskah, di Gereja ini

1
Lansekap Tradisional
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
156060500111001

dilaksanakan prosesi Jalan Salib yang dikenal dengan upacara Logu Senhor atau dalam
bahasa Indonesia berarti “Merunduk dibawah Salib”. Logu Senhor di Kampung Sikka
diadakan pada setiap Jumat Agung. Adapula atraksi tarian Toja Bobu yang dipentaskan
setiap bulan Desember setelah upacara misa hari raya Natal. Tarian ini bermakna sebagai
perayaan kemenangan bagi seorang pria dalam keberhasilan meminang gadis untuk
dijadikan istri.

Gambar 2. Kiri : Prosesi Logu Senhor; Kanan : Tarian Toja Bobu


Sumber : http://www.floresbangkit.com/2015/01/perpaduan-arsitektur-eropa-lokal/

Selain itu, telah tercatat dalam sejarah bahwa ditengah kampung ini juga berdiri suatu
hasil karya arsitektur yang monumental yaitu Istana Raja Sikka (Lepo Gete) yang menjadi
pusat kontak sosial budaya masyarakat Sikka dengan dunia luar. Tersedia pula berbagai
kerajinan tangan tenun ikat “Utan Sikka” dan souvenir yang unik dan menarik.

Gambar 3. Kerajinan Tangan Tenun Ikat “Utan Sikka”


Sumber : http://protomalayans.blogspot.com/2013/08/suku-sikka-nusa-tenggara-timur.html

Hal lain yang menarik dan unik yang ada di Kampung Sikka ini yaitu tradisi
perkawinan serta tradisi membangun dan memasuki rumah baru. Catatan sejarah
menyebutkan bahwa tradisi ini merupakan tradisi asli peninggalan nenek moyang yang
hidup pada zaman awal pembentukan kampung Sikka (Lewis & Mandalangi, 2008:20-26).
Tradisi perkawinan dan tradisi rumah baru masih ada dan dilestarikan masyarakat hingga
sekarang walaupun sudah terjadi beberapa perubahan atau pergeseran.
Desa Sikka sebagai kampung tua yang bersejarah tersebut telah dikenal luas oleh para
wisatawan dunia. Kampung inilah yang melahirkan sejarah agama Katolik dan peletak dasar
tata pemerintahan dari Kerajaan sampai tata pemerintahan Kabupaten Sikka saat ini. Warga

2
Lansekap Tradisional
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
156060500111001

kampung Sikka meyakini bahwa sejarah telah menggarisbawahi ‘Puat Wawa Sikka’, yang
artinya pokok dan asal mula berasal dari Sikka.
Setiap hari Kampung Sikka tidak pernah sepi dari kunjungan para wisatawan, baik
domestik maupun manca negara. Para wisatawan, tidak saja datang membeli sarung dan
kerajinan tangan lainnya yang ada di Kampung Sikka, tapi umumnya datang menikmati
keindahan alam laut di Sikka, melihat Gereja Tua, Senhor (Salib) dan Istana Lepo Gete.

Gambar 4. Kiri : Gereja Tua & Kapel Senhor, Kanan : Istana Lepo Gete
Sumber : http://www.floresbangkit.com/2015/01/lepo-gete-istana-raja-yang-merana/

Para wisatawan baik mancanegara maupun domestik yang berdatangan akan


menikmati berbagai pesona peninggalan sejarah dan wisata alam Kampung Sikka, juga akan
lebih mudah berbelanja sarung dan selendang hasil tenunan masyarakat desa Sikka.

1.1.1 Adminitrasi
A. Kabupaten Sikka
Kabupaten Sikka sebagai salah satu kabupaten yang terdapat di Propinsi Nusa
Tenggara Timur termasuk dalam gugusan Pulau Flores dan terletak di antara 8022’ sampai
8050’ Lintang Selatan dan 121055’40” sampai 122041’30” Bujur Timur.

Kabupaten Sikka

Gambar 5. Peta Provinsi Nusa Tenggara Timur


Sumber : Bappeda Kabupaten Sikka, 2006

Ibukota wilayah Kabupaten Sikka terletak di Maumere. Secara fisik dan administrasi,
wilayah Kabupaten Sikka berbatasan dengan :

3
Lansekap Tradisional
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
156060500111001

- Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Flores


- Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Sawu
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Ende
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Flores Timur

Secara administrasi, wilayah Kabupaten Sikka terdiri dari 21 kecamatan, 147 desa dan
13 kelurahan. Total luas wilayah daratan dan lautan yang dimiliki Kabupaten Sikka adalah
3.253,24 km2, yang terdiri dari daratan seluas 1.731,91 km2 dan lautan seluas 1.521,33 km2.
Wilayah kecamatan terluas yang terdapat di Kabupaten Sikka adalah Kecamatan
Talibura yaitu seluas 404,47 km2 atau sekitar 23,35% dari total luas wilayah di Kabupaten
Sikka. Sedangkan luas wilayah terkecil terdapat pada Kecamatan Lela yaitu seluas 31,33
km2 atau sekitar 1,81% dari total luas wilayah di Kabupaten Sikka. Di Kecamatan Lela
inilah, terdapat Desa Sikka atau Kampung Sikka yang diyakini sebagai awal terbentuknya
kehidupan dan peradaban masyarakat Sikka. (Sumber : Bappeda Kabupaten Sikka,Tahun 2012).

B. Desa Sikka
Desa Sikka termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Lela. Secara fisik dan
administrasi Desa Sikka (Kampung Sikka) berbatasan dengan :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Iligai
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Sawu
- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Lela
- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Hokor, Kec. Bola

Gambar 8. Peta Adminitrasi Kab. Sikka, Kec. Lela dan : Google Earth Desa Sikka (Sikka Natar)
Sumber : Bappeda Kabupaten Sikka, 2014

4
Lansekap Tradisional
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
156060500111001

Kampung Sikka berjarak kurang lebih 27 km dari Kota Maumere (ibukota Kabupaten
Sikka) ke arah pesisir selatan Laut Sawu.

1.1.2 Topografi
Desa Sikka berada di selatan Kota Maumere, tetapi pada sisi pantai yang berbeda.
Maumere di pantai utara Flores, menghadap ke Laut Flores; sebaliknya Desa Sikka berada
di pantai selatan, menghadap ke Laut Sawu.
Topografi Kabupaten Sikka sebagian besar berbukit-bukit dan bergunung-gunung
dengan lereng–lereng yang curam diselingi dengan lembah dan daratan yang tidak luas dan
umumnya terletak di daerah pantai.
Daratan Desa Sikka tergolong landai karena letaknya menghadap ke laut di bagian selatan
sedangkan bagian utara berupa perbukitan yang merupakan gugusan gunung Ili Gai yang
pada zaman awal sebagai tempat tinggal penduduk asli yang disebut Natar Gahar
(Kampung tinggi, kampung di perbukitan).

1.1.3 Ekonomi
Kehidupan ekonomi orang Sikka sangat tergantung kepada perladangan dengan
tanaman pokok padi dan jagung, ditambah dengan singkong, sorgum dan ubi jalar manis.
Sebagian kecil juga beternak babi, sapi, kambing, kuda, itik, dan ayam. Penduduk yang
tinggal dekat pantai bisa pula menangkap ikan, tetapi mereka bukan masyarakat nelayan
yang menggantungkan hidup dari hasil laut.
Komposisi mata pencaharian masyarakat Desa Sikka adalah 20 % sebagai nelayan,
70% petani daratan atau ladang, 10 % tersebar sebagai pegawai pemerintah, tukang kayu,
tukang batu, pedagang ternak atau blantik, dan sebagainya. Kegiatan pertanian merupakan
kegiatan utama dari kaum perempuan dan anak. Sementara itu, kaum laki-laki dan anak
laki-laki dewasa pekerjaan utamanya adalah melaut dan hanya pergi ke ladang pertanian
jika tidak melaut karena sesuatu hal, misal musim, atau ketika panen hasil pertanian.
Hambatan utama dalam sektor pertaniannya adalah curah hujan yang tidak teratur dan hama
tikus, yang terkadang menggagalkan panen dan mengakibatkan bencana kelaparan.
Kegiatan pertanian dilakukan ketika musim penghujan antara bulan November sampai April
atau Juni dengan kegiatan utamanya adalah membersihkan ladang, menanam,
membersihkan rerumputan dan memanen. Diantara bulan-bulan tersebut juga seringkali
diadakan upacara-upacara adat.
Mata pencaharian masyarakat Sikka umumnya pertanian. Adapun kalender pertanian
sebagai berikut : Bulan Wulan Waran - More Duru (Okt-Nov) yaitu bulan untuk
membersihkan kebun, menanam, menyusul di bulan Bleke Gete-Bleke Doi - Kowo (Januari,
Pebuari, Maret) masa untuk menyiangi kebun (padi dan jagung) serta memetik, dalam bulan
Balu Goit - Balu Epan-Blepo (April s/d Juni) masa untuk memetik dan menanam
palawija/kacang-kacangan. Sedangkan pada akhir kelender kerja pertanian yaitu bulan
Pupun Porun Blebe Oin Ali-Ilin (Agustus - September). Mata pencaharian lain adalah
sebagai pengrajin tenun ikat, peternak, nelayan, dan juga ada yang bekerja di kantor
pemerintah desa serta guru.

5
Lansekap Tradisional
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
156060500111001

1.1.4 Kepercayaan
Sistem kepercayaan tradisional orang Sikka awal adalah kepercayaan kepada dewa-
dewa. Dewa utama adalah pasangan Ama Lero Wulang (Bapa Langit) dan Ina Niang Tana
(Ibu Bumi), yaitu simbol bulan-matahari dan bumi. Selain itu ada pula dewa-dewa yang
berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dan kematian. Ritus religi lama yang mengharuskan
setiap remaja lelaki disunat sudah tidak ada lagi sejak ritus Katolik diterima sepenuhnya
pada awal terbentuknya Kerajaan Sikka tahun 1607.
Agama Katolik sudah masuk ke dalam masyarakat Sikka sejak zaman raja-raja Sikka
dulu, sehingga kehidupan seremonial sudah sejak lama pula diwarnai oleh ritus Katolik.
Sebagian besar masyarakat suku Sikka (sebutan untuk suku di daerah Kabupaten
Sikka) di Kabupaten Sikka, seperti juga di daerah Flores umumnya memang telah menganut
agama-agama bertradisi besar, Katolik dan sebagian beragama Islam, khususnya di daerah-
daerah pesisir Selatan pulau ini. Flores identik dengan Katolik karena mayoritas penduduk
Flores adalah penganut agama Katolik. Akan tetapi, meskipun telah menganut agama
Katolik, masyarakat suku Sikka juga memelihara dan meneruskan nilai-nilai religi warisan
leluhur mereka. Adat istiadat, upacara, dan kegiatan religius yang bersifat tradisional dan
turun temurun seperti ritual pratanam dan syukur pascapanen padi ladang, hingga kini masih
dilakukan.

1.2 Sejarah Pembentukan Kawasan


A. Kerajaan Sikka di Kampung Sikka (Sikka Natar)
Kampung Sikka atau Sikka Natar berlokasi di Pantai Selatan Kabupaten Sikka, di
Kecamatan Lela, berjarak sekitar 27 kilometer dari kota Maumere. Sikka Natar ini kelihatan
sederhana, namun sesungguhnya mengandung suatu perjalanan sejarah yang sangat panjang
dan bermakna. Di kampung inilah terdapat sebuah gereja tua dan rumah besar yang disebut
Lepo Gete (Istana Kerajaan Sikka).
Jauh sebelum Kabupaten Sikka menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, wilayah ini terdiri atas kampung-
kampung besar atau natar atau nua yang para pemimpinya disebut Mo’ang Watu Pitu atau
Moan Ina Gete Ama Gahar atau di Lio “Ria bhewa-Resi Langga”.
Sejak abad ke-12, kampung Sikka masih berupa hutan belantara dan di daerah
pantainya masih banyak dihuni oleh binatang liar. Kampung pertahanan orang Sikka yang
pertama adalah Natar Gahar yang artinya Kampung Tinggi, atau oleh Moang Bata Jawa
disebut dalam bahasa Sikka dengan Ina Gete Ama Gahar. Disebut Bata Jawa karena masih
ada pengaruh dari Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Bata Jawa adalah seorang ksatria
pemberani yang sangat ditakuti musuh-musuhnya dari luar.
Setelah Bata Jawa meninggal, munculah Moang Baga atau disebut juga dengan Baga
Ngang atau Baga Igor. Setelah Moang Baga meninggal, muncul Moang Don Alesu yang
kemudian menjadi Raja Sikka I, yaitu pada tahun 1607 dan pada saat itulah masuk agama
Katolik yang dibawa oleh bangsa Portugis dengan membangun Gereja Sikka, sehingga
setiap tahun, yang istilahnya pada masa sengsara Yesus, diadakan acara keagamaan Jumat
Agung. Pada tahun 1859 terjadi penyerahan kekuasaan dari Portugis ke Belanda. Pada masa
kolonialisasi Belanda, pada tahun 1925 ada 2 kerajaan lain di Sikka yaitu Kerajaan Kangae
dan Kerajaan Nita dilebur masuk dalam Kerajaan Sikka.

6
Lansekap Tradisional
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
156060500111001

Kerajaaan Sikka di kampung Sikka merupakan salah satu kerajaan tertua yang pernah
ada di Pulau Flores. Bahkan dikenal sebagai kerajaan Katolik pertama di Nusantara dan
Asia. Perkembangan Kerajaan Sikka sudah dimulai sejak awal abad 16 atau sekitar tahun
1500-an. Dalam sejarah kerajaan Sikka tercatat bahwa kerajaan ini pernah di nakhodai oleh
16 orang raja sejak tahun 1607 sampai dengan tahun 1958. Dibawa kepemimpinan raja-raja
tersebut di atas, Kerajaan Sikka tergolong kerajaan yang cukup diperhitungkan oleh
kerajaan lain di daratan Flores bahkan sampai kerajaan di luar Flores.
Dalam sejarah Kerajaan Sikka sejak dahulu telah memiliki tingkat peradaban yang
cukup tinggi, hal ini terlihat dari teknologi bangunan istana yang dikenal, serta penataan
kawasan berdasarkan pertimbangan tertentu, jika diperhatikan kawasan istana Kerajaan
Sikka memiliki konsepsi filosofi, yakni di dalamnya menyiratkan kesatuan unsur
pemerintahan, agama dan rakyat (masyarakat). Di bagian barat istana terdapat tempat
pemujaan leluhur disebut watu mahe, sebelum masyarakat Sikka mengenal agama.

Gambar 9. Watu Mahe yang masih ada di Baomekot dan Hewokloang,


dua wilayah bagian Kerajaan Sikka
Sumber : http://press.anu.edu.au/austronesians/sharing/mobile_devices/ch08s03.html
Sikka, baru memiliki sistem pemerintahan kerajaan setelah kedatangan Don Alessu
dari perantauan mencari ilmu politik dan agama di Tanah Malaka. Ketika tiba di Sikka, Don
Alesu diangkat menjadi raja pertama pada tahun 1607 dan pada saat itu pula agama Katolik
untuk pertama kali masuk di wilayah Sikka (Lewis & Mandalangi, 2008 : xxii). Don Alessu
pulang ke Sikka diiringi oleh beberapa pendeta katolik Portugis dengan membawa
cinderamata sebagai simbol keagungan yaitu sebuah mahkota emas bertuliskan angka 1607,
70 gading gajah, sebuah tongkat dengan gelang emas, sejumlah pisau dengan kalung emas,
dan patung Yesus Kristus berukuran kecil (Menino). Dalam perkembangan dan
perjalanannya, Kerajaan Sikka dipengaruhi oleh agama Katolik, sehingga atas titah raja
seluruh rakyat harus dibabtis menjadi Katolik bahkan setelah pemerintahan kerajaan
dipegang oleh beberapa raja berikutnya, sekitar awal tahun 1800-an istana Lepo Gete yang
sebelumnya berada di tengah kampung harus dipindahkan ke bibir pantai Sikka karena
lokasi di tengah kampung didirikan bangunan gereja.
Hal ini menyebabkan sisa-sisa artefak kerajaan Sikka berupa istana, pohon beringin
dan juga tempat pemujaan “watu mahe” tidak dapat terlihat lagi dalam wujud aslinya.
Artefak yang masih dalam wujud asli sampai sekarang yaitu Regalia (pakaian kebesaran
raja), Songko Bahar (mahkota raja), Gai Bahar (tongat kerajaan), pisau, kalung dan gelang
emas. Keberadaan artefak tersebut di atas juga digambarkan oleh Don Alesu kepada Raja
Worilla ketika beliau berada di Tanah Malaka sekitar tahun 1600 untuk belajar politik dan
agama selama tiga tahun lamanya ((Lewis & Mandalangi, 2008 : 110-111).

7
Lansekap Tradisional
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
156060500111001

Gambar 10. Kiri : Regalia Kerajaan Sikka,


Kanan : Raja Sikka ke XV Don Thomas bersama Ratu dan Mo'ang Mangun Lajar (pemegang gading).
Sumber : http://floresunik.wordpress.com/2010/02/28/gading-sebagai-identitas-budaya/

Sejak Raja Don Alexius Alessu Ximenes da Silva, tercatat ada 15 orang Raja Sikka
namun yang terkenal adalah Raja Yoseph Nong Meak da Silva, dengan “revolusi kelapa”
yang menjadikan Sikka hingga kini dikenal sebagai Bumi Nyiur Melambai. Kemudian Raja
Don Yosephus Thomas Ximenes Da Silva yang membangun Sikka secara modern baik
sumber daya manusianya maupun infrastrukturnya.
Mengikuti “Traktat Lisabon” Tanggal 20 April 1859 antara Portugis dan Belanda
maka Flores termasuk Sikka diserahkan Portugis ke tangan Belanda. Sejak tahun 1859 itu
tata pemerintahan lokal dipengaruhi Belanda.
Berbeda dengan Portugis yang memakai pendekatan budaya. Belanda menggunakan
pendekatan militer sehingga tiga kerajaan diadu-domba dengan politik devide et impera
sehingga bumi Sikka tidak pernah aman dari perang antara suku dan antara kerajaan. Pada
tahun 1925 Kerajaan Nita dan Kerajaan Kangae disatukan kedalam Kerajaan Sikka.

Gambar 11. Peta Wilayah Kerajaan Sikka, Kerajaan Nita dan Kerajaan Kangae
Sumber : http://press.anu.edu.au/austronesians/sharing/mobile_devices/ch08s03.html

Untuk mendukung jalannya sistem pemerintahan kerajaan, maka dibentuk Dewan


Raja atau Moang Liting Puluh yang bertugas membantu raja dalam menjalankan
pemerintahannya dengan pembagian sepuluh wilayah koodinasinya.

8
Lansekap Tradisional
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
156060500111001

Gambar 12. Kiri : Struktur Organisasi Kerajaan,


Sumber : http://press.anu.edu.au/austronesians/sharing/mobile_devices/ch08s03.html

Pada tahun 1945 berdirilah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang wilayahnya
meliputi Sikka di pulau Flores. Tahun 1958 Kabupaten Sikka dibentuk maka Raja Sikka
waktu itu Don Yosephus Thomas Ximenes da Silva menyerahkan tampuk pemerintahan
kepada Dewan Swantantra Tingkat II Sikka dengan pejabat sementara Don Paulus Centis
Ximenes da Silva bertugas mempersiapkan pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II
Sikka.

B. Sejarah Pemerintahan Sikka


Sikka tumbuh kembang dalam empat era, yakni era pra-kolonial, era kolonial
Portugis, era kolonial Hindia-Belanda dan era pasca kemerdekaan. Sejarah menunjukkan
kronik Sikka dalam silang budaya yang sangat kental. Mulai dari silang budaya dengan
India, Portugis hingga budaya modern saat ini.
Tonggak sejarah Sikka dalam pemerintahan kerajaan dimulai oleh Raja Don Alexius
Alessu Ximenes da Silva pada awal tahun 1600-an sebagai Raja I dan peletak Agama
Katolik di Sikka, Ratu Dona Agnesia dan Ratu Dona Maria sebagai Raja III dan VI (1613-
1620) dan peletak emansipasi wanita, serta Raja Don Thomas Ximenes da Silva sebagai
Raja ke XV (1922-1954) dan peletak Sikka modern.
Tradisi pemerintahan kerajaan telah lebur dalam tata cara pemerintahan republik pada
pertengahan tahun 1950-an dengan dihilangkannya jabatan Raja Sikka setelah Raja Sikka
Don Thomas Ximenes da Silva adalah raja terakhir yang secara adat maupun administratif
diakui. Tahun 1958 terbit ketetapan pemerintah Republik Indonesia mengenai swapraja
Kabupaten Sikka dan Raja Don Thomas menyerahkan tampuk kepemimpinannya kepada
wakil raja saat itu yaitu Raja Don Paulus Centis Ximenes da Silva namun tidak dinobatkan
sebagai raja untuk mempersiapkan pembentukan Kabupaten Sikka definitif. Sampai dengan
tahun 2002, Kabupaten Sikka sesuai UU No. 24/99 dan 34/2003 menjadi daerah otonom.

C. Sebuah Tradisi : Dari Lepo Gete Mejadi Istana Kerajaan di Kampung Sikka
Istana Kerajaan Sikka atau disebut dalam bahasa Sikka, Lepo Gete berarti rumah
besar menjadi istana Raja Sikka, sebuah bangunan mewah pada zamannya.

9
Lansekap Tradisional
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
156060500111001

Dalam kisah sejarah kuno bahwa Lepo Gete dibangun oleh penghuni awal kampung
Sikka yaitu oleh penduduk asli dan kaum pendatang. Bangunan Lepo Gete dibangun dengan
pengaruh gaya arsitektur luar diperkirakan dibawa oleh kaum pendatang serta bagian ruang
ritual baik di dalam bangunan maupun di luar bangunan berupa megalit Wua Du’a dan
menhir Moat Mahe atau Watu Mahe diperkirakan dipengaruhi oleh tradisi penduduk asli
yang selalu memberikan persembahan kepada leluhur (Lewis & Mandalangi, 2008 : 20-21).
Tradisi dari Lepo Gete ini kemudian diyakini sebagai tradisi asli Sikka dalam
membangun rumah dan memberikan persembahan sebagai ucapan syukur kepada leluhur
yang diturunkan dari generasi dahulu sampai generasi sekarang.

Gambar 13. Istana Raja Sikka, “Lepo Gete” sekarang


Sumber : http://www.wisata.nttprov.go.id/index.php/sikka/436-rumah-adat-lepogete-sikka

Dalam rentang perjalanan sejarahnya, Lepo Gete ini menjadi Istana Kerajaan Sikka
dan sekaligus pusat pemerintahan Kerajaan Sikka dalam kurun waktu yang cukup lama.
Terutama dalam masa penjajahan Portugis abad ke XVI dan Belanda abad ke XVII. Lepo
Gete pernah menjadi pusat kontak budaya antara penduduk pribumi Sikka pada umumnya
dan bangsa asing seperti Portugal dan Belanda.
Sejak awal terbentuknya Kerajaan Sikka sekitar tahun 1607, Raja Sikka, Don Alexius
Alessu Ximenes da Silva, membangun pusat pemerintahannya dengan bermarkas di
Kampung Sikka (Sikka Natar) ini. Hampir semua raja Sikka mendiami Istana Kerajaan
Sikka ini. Dalam perjalanannya, Kerajaan Sikka dipengaruhi oleh agama Katolik, sehingga
setelah pemerintahan kerajaan dipegang oleh beberapa raja berikutnya, sekitar awal tahun
1800-an istana Lepo Gete yang sebelumnya berada di tengah kampung harus dipindahkan
ke bibir pantai Sikka karena lokasi di tengah kampung didirikan bangunan gereja.

Ket :

A : Istana Lepo Gete


B : Gereja Tua Sikka
C : Kapel Senhor
D : Pastoran
E : Aula Paroki

Gambar 14. Kawasan Istana Kerajaan Sikka sekarang


Sumber : CAD Drawing, 2015

10
Lansekap Tradisional
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
156060500111001

Selain istana raja, di Kampung Sikka juga dibangun rumah bagi Moagn Liting Puluh
(menteri/dewan/pembantu raja) yang bertugas membantu raja dalam menjalankan
pemerintahannya. Rumah pembantu raja sebanyak 10 (sepuluh) buah ini terletak di
sekeliling kampung Sikka berdekatan dengan istana raja.
Setelah Raja Don Alessu pulang dari Malaka, istana raja pun diperbesar karena
wilayah kerajaan juga diperluas. Bangunan ini berbentuk rumah panggung dengan panjang
20 meter dan lebar 15 meter beratap tinggi melancip dengan dua sisi air.
Rumah besar ini pada zaman Belanda dan sebelum kemerdekaan baru dipindah ke
Maumere. Raja Don Yosephus Thomas Ximenes da Silva, pernah tinggal di Lepo Gete tapi
setelah itu pindah ke Maumere. Ada rencana akan dibangun kembali seperti aslinya.
Pemerintah Kabupaten Sikka saat bupati dijabat Drs. Paulus Moa, membangun kembali
rumah adat ini pada tahun 2000 untuk melestarikan sejarah, budaya dan sekaligus menjadi
obyek wisata, tetapi bentuknya tidak sesuai aslinya.
Sedangkan rumah para pembantu raja juga berbentuk seperti Lepo Gete hanya
berukuran lebih kecil dan terletak di dalam Sikka Natar (kampung Sikka) berdekatan dan
mengelilingi istana raja untuk memudahkan raja berkoordinasi dengan pembantu-
pembantunya. Akan tetapi rumah para pembantu raja ini tak satupun yang tertinggal saat ini,
karena dirobohkan oleh anak cucu para Moang Puluh dengan alasan membutuhkan biaya
besar untuk perawatannya.

Ket :

A : Istana Lepo Gete


B : Watu Mahe
C : Lokasi Bangunan
Para Moang Puluh

Gambar 15. Kawasan Istana Kerajaan Sikka zaman dulu


dan Lokasi Rumah para Moang Liting Puluh
Sumber : CAD Drawing, 2015

Tradisi Membangun
Menurut Lewis & Mandalangi (2008 : 20-21), bangunan Lepo Gete memang sejak
dulu sudah ada, dan tradisi membangun rumah (lepo) serta persembahan kepada leluhur,
bagi masyarakat Sikka telah tertanam sejak nenek moyang pada awal terbentuknya
kampung Sikka sampai dengan saat ini. Rumah atau Lepo oleh masyarakat awal dalam
syair-syair disebut sebagai Lepo Gete Blapu Sina, Blapu Rae Blapu Raja atau balai agung
Sina dan Rae Raja (Rubang Sina, istri dari Rae Raja). Dengan ini menyiratkan bahwa rumah
digambarkan seperti suami istri atau orang tua yang melindungi, merawat dan memelihara
bagi segenap penghuninya.

11
Lansekap Tradisional
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
156060500111001

Hal diatas telah menjadi tradisi dan kepercayaan turun temurun bahwa seorang Sikka
yang hidup dan membangun rumah adalah seoarang yang memiliki keberhasilan yang tak
ternilai. Rumah adalah ibu yang melindungi dan menjaga penghuninya. Keberhasilan
membangun rumah selalu diikuti dengan tradisi syukur kepada leluhur yaitu memberikan
persembahan berupa sesajian dan doa syukur di atas Watu Mahe (meja persembahan). Pada
masa sekarang, bentuk dan ukuran telah mengalami perubahan namun bernilai dan
bermakna sama serta tradisi ini tetap bertahan.
Lepo Gete, terdiri atas dua bagian utama yakni tedang yang berfungsi sebagai
pendapa rumah, tempat menerima tamu, tempat musyawarah, tempat perjamuan atau acara
pesta lainnya. Bagian kedua disebut une. Tempat ini khusus hanya untuk penghuni rumah
atau anggota keluarga dekat dimana di situ juga terdapat tempat tidur dan tempat
menyimpan harta kekayaan yang berharga. Bagian une letaknya lebih tinggi dari bagian
tedang dan ada tangga (dang) yang menghubungkan kedua bagian itu. Selain tedang dan
une, pada bagian belakang terdapat dapur dan tempat menyimpan persediaan makanan
yakni awu dan ronang. Bagian ini letaknya juga lebih rendah dari tedang dan dilengkapi
dengan kamar tidur untuk pembantu rumah.

Une Tedang Awu

Gambar 16. Kondisi Lepo Gete sekarang


Sumber : Dokumntasi Pribadi, 2010

Berpindah Ke Maumere
Istana Raja Sikka pernah berpindah ke Maumere atas saran penguasa Belanda.
Pemerintah Belanda untuk pertama kalinya pada tanggal 24 Agustus 1879 mengangkat
seorang ”Posthouder” di Maumere. Posthouder G. A.Van Siek itulah yang menyarankan
agar Raja Sikka sebaiknya selalu berada di Maumere. Ketika itu Maumere sudah ramai
sekali sebagai tempat pertemuan para pedagang dari berbagai jurusan. Saran yang baik itu
sangat menarik perhatian sang Raja Sikka (Gomez & Mandalangi, 2006 : 64).
Secara bertahap, Raja Sikka mulai membuat rencana untuk memindahkan ibukota
Kerajaan Sikka ke Maumere. Akan tetapi hal ini baru terlaksana pada tanggal 26 Februari
1894 dengan dipancangkanlah tiang pertama bangunan Istana Raja Sikka itu di Maumere.
Dan pada tanggal 8 Maret 1894 diselenggarakan suatu pesta rakyat yang meriah
dengan acara main dadu dan sabung ayam selama seminggu sebagai tanda peresmian
pembangunan istana itu. Istana yang sudah runtuh tersebut kini di atasnya berdiri bangunan
rumah dua bersaudara sekandung keturunan Raja Sikka, Mikhael da Silva dan Rafael da
Silva. Namun demikian, Raja Sikka masih tetap saja berdiam di Kampung Sikka. Beliau
datang ke Maumere hanya sesewaktu apabila perlu atau diminta Posthouder.

12
Lansekap Tradisional
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
156060500111001

Don Josephus Nong Meak da Silva dinobatkan menjadi Raja Sikka ke-14 pada tahun
1903. Pada mulanya beliau menetap di Kampung Sikka, dan baru pada tahun 1918, beliau
mengambil keputusan untuk memindahkan ibukota pemerintahan Kerajaan Sikka ke
Maumere. Kepindahan itu terjadi tahun 1917. Raja Nong Meak membangun istananya, yang
disebut oleh masyarakat setempat sebagai ”Oring Sirat“, di lokasi yang sekarang sudah
berdiri bangunan Losmen Lareska, sedangkan bangunan kantor pemerintahan Kerajaan
Sikka (Landschaap Sikka) terletak di kompleks lapangan Tugu (sekarang sudah menjadi
lokasi sakral patung Kristus Raja ).

13
Lansekap Tradisional
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
156060500111001

BAB II
TEORI DAN METODE

2.1 Pengertian Lanskap


Landscape/lansekap secara umum memiliki makna yang hampir sama dengan istilah
‘bentanglahan’ atau ‘fisiografis’ dan ‘lingkungan’. Perbedaan diantara ketiganya terletak
pada aspek interpretasinya. Bentanglahan yang di dalamnya terdapat unit-unit bentuk lahan
merupakan dasar lingkungan manusia dengan berbagai keseragaman maupun perbedaan
unsur-unsurnya. Kondisi bentang lahan seperti ini memberikan gambaran fisiografis atas
suatu wilayah.Wilayah yang mempunyai karakteristik dalam hal bentuk lahan, tanah
vegetasi dan atribut (sifat) pengaruh manusia,yang secara kolektif ditunjukkan melalui
kondisi fisiografi dikenal sebagai suatu lansekap.(Vink 1983)
Simond (2006) mendefinisikan lanskap sebagai suatu bentang alam dengan
karakteristik yang dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia, dimana karakter tersebut
menyatu secara harmoni dan alami untuk memperkuat karakter lanskapnya. Naveh (1984)
dan Kier(1979) mengartikan lansekap sebagai hubungan antara komponen biotik dan
abiotik, termasuk komponen yang berpengaruh terhadap manusia, yang terdapat di dalam
suatu sistem yang menyeluruh dan membutuhkan analisa dan konsep yang terpadu.
Menurut Suharto (dalam Susanti, 2000) lansekap mencakup semua elemen pada
wajak/karakter tapak, baik elemen alami(natural landscape), elemen buatan (artificial
landscape) dan penghuni atau makhluk hidup yang ada di dalamnya (termasuk manusia).
Menurut Zain Rachman, pada hakikatnya arsitektur Lanskap adalah ilmu dan seni
perencanaan (planning) dan perancangan (design) serta pengaturan dari pada lahan,
penyusunan dan elemen-elemen alam dan buatan melalui aplikasi ilmu pengetahuan dan
budaya, dengan memperhatikan keseimbangan kebutuhan pelayanan dan pemeliharaan
sumber daya, pada akhirnya dapat tersajikan suatu lingkungan yang fungsional dan estetis.

2.2 Elemen-Elemen Lanskap


Elemen taman, atau disebut juga unsure taman adalah apa saja yang berkaitan dengan
taman. Elemen taman dapat dibedakan berdasarkan karakter menjadi :
1. Material Lunak (soft material)
Terdiri dari tanaman dan satwa yang ada dilahan maupun yang diadakan pada taman.
Manusia juga dipandang sebagai elemen lunak yaitu berkepentingan langsung,
dalam merencanakan taman, unsure manusia (social) sangat perlu diperhatikan.
2. Material Keras (hard material)
Kelompok ini mencakup semua elemen taman yang sifat/karakter keras dan tidak
hidup seperti : tanah, bartuan, perkerasan/paving, jalan setapak, pagar, bangunan
taman, dan bangunan rumah.
Ahira (dalam Susanti,2000) di dalam bukunya membagi elemen lansekap dalam tiga bagian:
1. Hard Material :perkerasan, beton, jalan paving block,gazebo, pagar dan pergola.
2. Soft Material : tanaman dengan bersifat dan karakternya.
3. Street Furniture : elemen pelengkap dalam tapak, seperti bangku taman, lampu
taman, kolam dan sebagainya.

14
Lansekap Tradisional
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
156060500111001

2.3 Unsur-Unsur Bentang Alam


Bentang alam merupakan salah satu wujud budaya, sehingga bentang alam suatu
kawasan bergantung dari kebudayaan daerahnya, terkait dengan manusia, aktifitas dan
lingkungannya. Bentang alam nusantara adalah wujud budaya nusantara, yang memiliki
macam dan karakteristik yang sangat beraneka ragam, karena nusantara memiliki alam
lingkungan dengan kebudayaan yang khas dan beragam. Semua suku dari berbagai daerah
di Nusantara memiliki pandangan hidup-filosofi hidup yang diturunkan pada generasi
penerusnya melalui simbol-simbol dalam wujud fisik lingkungan binaannya, termasuk
dalam pola tatanan bentang alamnya.
Untuk mengkaji karakteristik bentang alam suatu lingkungan dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi unsur unsurnya yang ada dalam suatu kawasan (Page et al, 1998),
komponen-komponen itu antara lain :
 Sistem dan ciri alam (Natural Systems and Features); ciri-ciri alam yang
mempengaruhi perkembangan lansekap dan bentukan yang dihasilkan alam pada
kawasan (geomorfologi, geologi, hidrologi, ekologi, iklim, vegetasi setempat).
 Organisasi keruangan (Spatial Organization); pengaturan ele-men-elemen pencipta
bidang dasar, bidang vertikal dan bidang atap yang membentuk dan menegaskan
sistem ke-ruangan dalam skala tapak maupun kawasan.
 Penggunaan lahan (Land Use); organisasi, bentuk dan bentuk-an lansekap terkait
dengan penggunaan lahan.
 Tradisi budaya (Cultural Traditions); kegiatan kegiatan yang mempengaruhi peng-
gunaan dan pola pembagian lahan, bentuk bangunan, dan penggunaan material.
 Penataan kluster (Cluster Arrangement); lokasi bangunan dan struktur lain dalam
kawasan.
 Sirkulasi (Circulation); ruang-ruang, fitur-fitur, dan material-material yang
membentuk sistem pergerakan.
 Topografi (Topography); kon-figurasi tiga dimensi per-mukaan lansekap yang
dicirikan oleh struktur yang terbentuk dan orientasinya.
 Vegetasi (Vegetation); tana-man-tanaman asli atau baru berupa pohon, semak, tana-
man rambat, rumput, dan tanaman herbal.
 Bangunan dan struktur (Buildings and Structures); konstruksi tiga dimensi seperti
bangunan umum, jalan, rumah, jembatan.
 View dan vista (Views and Vistas); fitur-fitur alami atau buatan yang dapat
menciptakan kontrol pandangan.
 Fitur-fitur air buatan (Constructed Water Features); fitur buatan dan elemenelemen
air untuk tujuan fungsional dan estetika.
 Fitur-fitur berskala kecil (Small Scale Features); kombinasi fungsi dan estetik
dengan elemen-elemen detil yang memberikan keanekaragaman.
 Kawasan arkeologis (Archeological Sites); kawasan yang didalamnya terdapat sisa
peninggalan masa lampau yang bernilai historis.

15
Lansekap Tradisional
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
156060500111001

2.4 Antropologi Permukiman Tradisional


Berbicara mengenai arsitektur, niscaya akan terkait dengan ruang. Ruang menjelma
dalam berbagai pola dan tatanan, yang dikelola dan disusun oleh arsitektur (Lawson,
2001:6). Sehingga, terlihat hubungan yang erat antara arsitektur dan ruang. Hubungan
tersebut tidak sesederhana seperti tampaknya, namun keberadaannya tak terelakkan. Isi
ruang, merujuk pada manusia sebagai pemilik dan/atau pemakai ruang tersebut. Seperti
hubungan antara arsitektur dan ruang, maka hubungan antara ruang dan manusia juga tak
terelakkan. Baik dari segi fisik, sosial maupun psikologi. Karena manusia merupakan
makhluk sosial, maka dalam penggunaan ruang, ia tidak sendiri, tetapi berkelompok.
Ahli Arkeologi bekerja mencari benda-benda peninggalan manusia dari masa
lampau. Mereka akhirnya banyak melakukan penggalian untuk menemukan sisa-sisa
peralatan hidup atau senjata. Benda-benda ini adalah barang tambang mereka. Tujuannya
adalah menggunakan bukti -bukti yang mereka dapatkan untuk merekonstruksi atau
membentuk kembali modelmodel kehidupan pada masa lampau. Dengan melihat pada
bentuk kehidupan yang direnkonstruksi tersebut dapat dibuat dugaan-dugaan bagaimana
masyarakat yang sisa-sisanya diteliti itu hidup atau bagaimana mereka datang ketempat itu
atau bahkan dengan siapa saja mereka itu dulu berinteraksi.
Gagasan mengenai arsitektur atau lingkungan binaan sebagai unit budaya berhuni
bisa ditelusuri dari wacana House-Society yang diselidiki oleh sarjana Strukturalis
terkemuka. Levi Straus juga Habitus oleh Peter Bordieu dan Nold Egenter dengan
konseptualisasi empat tipe habitat (ruang semantik, ruang domestik, arsitekturpemukiman
dan ruang urban). Konseptualisasi gagasan tersebut mengarah pada kritik terhadap istilah-
istilah seperti arsitektur, bangunan, kota yang kemudian dipandang terlalu parsial dan
teknis kernanya perlu diganti dengan istilah yang lebih holistik – paradigm habitat.
Paradigma habitat mendudukan aspek arsitektur sejarah dan budaya berhuni sebagai
kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan. Nold Egenter menggagas “toposemantik”
sebagai prinsip-prinsip berulang yang ditemukan di setiap lapisan atau tingkatan konsep
lingkungan binaan yang kemudian dipandang sebagai kunci rumuskeholistikan lingkungan
binaan. Habraken dengan metoda analisis Kontrol Teritori menjadikan situasi teritori yang
terkontrol sebagai indikator keutuhan sebuah unit habitat.
Menurut Rapoport (1989), pengertian tata ruang merupakan lingkungan fisik tempat
terdapat hubungan organisatoris antara berbagai macam objek dan manusia yang terpisah
dalam ruang-ruang tertentu. Ketataruangan secara konsepsual menekankan pada proses
yang saling bergantung antara lain: 1. Proses yang mengkhususkan aktivitas pada suatu
kawasan sesuai dengan hubungan fungsional tersebut; 2. Proses pengadaan ketersediaan
fisik yang menjawab kebutuhan akan ruang basi aktivitas seperti bentuk tempat kerja,
tempat tinggal, transportasi dan komunikasi; dan 3. Proses pengadaan dan penggabungan
tatanan ruang ini antara berbagai bagian-bagian permukaan bumi di atas, yang mana
ditempatkan berbagai aktivitas dengan bagian atas ruang angkasa, serta kebagian dalam
yang mengandung berbagai sumber daya sehingga perlu dilihat dalam wawasan yang
integratik. Dalam lingkup kota, suatu kota yang merupakan pusat kegiatan usaha terdiri
dari berbagai unsur ruang dan unsur-unsur ruang kota ini akan membentuk struktur kota.
Proses pembentukan ini akan berbeda antara satu kota dengan kota lainnya. Struktur ruang

16
Lansekap Tradisional
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
156060500111001

dapat ditinjau dari tiga aspek, yaitu 1. Struktur Sosial. merupakan struktur yang
menggambarkan adanya tingkat perhubungan dengan kondisi sosial dalam ruang; 2.
Struktur Ekonomi, menggambarkaan kegiatan-kegiatan ekonomi yang terselenggara oleh
penduduk; dan 3. Struktur Fisik dan Kegiatan, menampilkan bentukanbentukan fisik ruang
yang diidentifikasikan dengan pengelompokkan tasilitas, kegiatan di lokasi tertentu.
Ruang-ruang terbentuk karena kegiatan/aktifitas masyarakat, menurut Ronels dalam
Sasongko (2005), sistem kegiatan dilihat dari pola perilaku digolongkan menjadi tiga,
yaitu 1. Sistem kegiatan rutin yakni aspek kegiatan utama individu meliputi pergi belanja.
Ke kantor dan sebagainya; 2. Sistem kegiatan berlembaga, yakni kegiatan kelembagaan
baik swasta maupun pemerintahan yang difokuskan pada particular point; dan 3. Sistem
kegiatan yang menyangkut organisasi dari pada proses-prosesnya sendiri yang
menyangkut hubungan yang lebih kompleks dengan berbagai sistem kegiatan lain baik
dengan perorangan, lembaga/kelompok tercipta lingkungan (pertanian yang sangat banyak
dalam satu system saja).
Permukiman tradisional sering direpresentasikan sebagai tempat yang masih
memegang nilai-nilai adat dan budaya yang berhubungan dengan nilai kepercayaan atau
agama yang bersifat husus atau unik pada suatu masyarakat tertentu yang berakar dari
tempat tertentu pula di luar determinasi sejarah. Struktur ruang permukiman digambarkan
melalui pengidentifikasian tempat, lintasan, batas sebagai komponen utama, selanjutnya
diorientasikan melalui hirarki dan jaringan atau lintasan, yang muncul dalam suatu
lingkungan binaan mungkin secara fisik ataupun non fisik yang tidak hanya mementingkan
orientasi saja tetapi juga objek nyata dari identifikasi.
Oleh karena itu Koentjaraningrat (1980) menjelaskan bahwa benda–benda hasil
karya manusia merupakan wujud kebudayaan fisik, termasuk di dalamnya adalah
permukiman dan bangunan tradisional.
Permukiman merupakan wujud dari ide pikiran manusia dan dirancang semata- mata
untuk memudahkan dan mendukung setiap kegiatan atau aktifitas yang akan
dilakukannya. Permukiman merupakan gambaran dari hidup secara keseluruhan,
sedangkan rumah adalah bagian dalam kehidupan pribadi. Pada bagian lain dinyatakan
bahwa rumah adalah gambaran untuk hidup secara keseluruhan, sedangkan permukiman
sebagai jaringan pengikat dari rumah tersebut. Oleh karena itu, permukiman merupakan
serangkaian hubungan antara benda dengan benda, benda dengan manusia, dan manusia
dengan manusia. Hubungan ini memiliki suatu pola dan struktur yang terpadu (Rapoport,
1994).

2.5 Metode Penelitian


Metode penelitian yang digunakan pada tulisan ini adalah metode penelitian
kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Pendekatan Deskriptif berlandaskan pada cara
analisis terhadap suatu data dengan cara diperbandingkan dengan teori dan aturan
normatif, tetapi tetap dibangun melalui cara berpikir rasional, yang berasal dari
pemahaman kemampuan intelektual, yang dibangun atas kemampuan argumentasi secara
logika, berdasarkan Data Sekunder dan Kajian Pustaka melalui beberapa sumber data.
Pendekatan deskriptif tersebut kemudian menguraikan dengan menggunakan elemen-
elemen karakteristik alam (Page et al, 1998), dan dijabarkan poin per poin.

17
Lansekap Tradisional
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
156060500111001

BAB III
ANALISA KARAKTERISTIK LOKAL LANSEKAP TRADISIONAL

3.1 Identifikasi dan Analisa Karakter Sosial-Budaya Masyarakat


a. Sistem Religi
Dalam sistem religi, masyarakat Sikka lebih banyak memeluk agama/kepercayaan
dari nenek moyang, namun seiring dengan perkembangan zaman maka kepercayaan tersebut
mulai dilupakan. Menurut P. Arndt (1932) dalam tulisannya, Mythologie, Religion Und
Magie Im Sikkagebiet, mengemukakan tentang adanya tokoh dewa tertinggi yang abadi,
yang menciptakan seluruh alam dan manusia, yang mengawasi kesusilaan, yang tinggal di
langit yang abadi, dan sebagainya (P.Arndt:1932).
Religi tradisional orang Sikka adalah kepercayaan kepada dewa-dewa. Dewa utama
adalah pasangan Ama Lero Wulang (Bapa Matahari-Bulan) dan Ina Niang Tana (Ibu Bumi),
yaitu simbol bulan-matahari dan bumi. Selain itu ada pula dewa-dewa yang berkaitan
dengan kehidupan sehari-hari dan kematian. Ritus religi lama yang mengharuskan setiap
remaja lelaki disunat sudah tidak ada lagi sejak ritus Katolik mereka terima sepenuhnya.
Agama Katolik sudah masuk ke dalam masyarakat Sikka sejak zaman raja-raja Sikka dulu,
sehingga kehidupan seremonial sudah sejak lama pula diwarnai oleh ritus Katolik.

b. Sistem Ekonomi & Mata Pencaharian


Kehidupan ekonomi orang Sikka sangat tergantung kepada perladangan dengan
tanaman pokok padi dan jagung, ditambah dengan singkong, sorgum dan ubi jalar manis.
Sebagian kecil juga beternak babi, sapi, kambing, kuda, itik, dan ayam. Penduduk yang
tinggal dekat pantai bisa pula menangkap ikan, tetapi mereka bukan masyarakat nelayan
yang menggantungkan hidup dari hasil laut.
Komposisi mata pencaharian masyarakat Desa Sikka adalah 20 % sebagai nelayan,
70% petani daratan atau ladang, 10 % tersebar sebagai pegawai pemerintah, tukang kayu,
tukang batu, pedagang ternak atau blantik, dan sebagainya. Kegiatan pertanian merupakan
kegiatan utama dari kaum perempuan dan anak. Sementara itu, kaum laki-laki dan anak
laki-laki dewasa pekerjaan utamanya adalah melaut dan hanya pergi ke ladang pertanian
jika tidak melaut karena sesuatu hal, misal musim, atau ketika panen hasil pertanian.
Hambatan utama dalam sektor pertaniannya adalah curah hujan yang tidak teratur dan hama
tikus, yang terkadang menggagalkan panen dan mengakibatkan bencana kelaparan.
Kegiatan pertanian dilakukan ketika musim penghujan antara bulan November sampai April
atau Juni dengan kegiatan utamanya adalah membersihkan ladang, menanam,
membersihkan rerumputan dan memanen. Diantara bulan-bulan tersebut juga seringkali
diadakan upacara-upacara adat.
Mata pencaharian masyarakat Sikka umumnya pertanian. Adapun kalender pertanian
sebagai berikut : Bulan Wulan Waran - More Duru (Okt-Nov) yaitu bulan untuk
membersihkan kebun, menanam, menyusul di bulan Bleke Gete-Bleke Doi - Kowo (Januari,
Pebuari, Maret) masa untuk menyiangi kebun (padi dan jagung) serta memetik, dalam bulan
Balu Goit - Balu Epan-Blepo (April s/d Juni) masa untuk memetik dan menanam
palawija/kacang-kacangan. Sedangkan pada akhir kelender kerja pertanian yaitu bulan

18
Lansekap Tradisional
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
156060500111001

Pupun Porun Blebe Oin Ali-Ilin (Agustus - September). Mata pencaharian lain adalah
sebagai pengrajin tenun ikat, peternak, nelayan, dan juga ada yang bekerja di kantor
pemerintah desa serta guru.

3.3 Unsur dan Elemen Lanskap


Analisis dan pembahasan pada bagian ini merupakan perkiraan kondisi yang ada pada
zaman awal sampai zaman kerajaan. Penggambaran analisis sebagai upaya melihat kembali
kondisi dan keadaan unsur serta elemen lansekap yang pernah ada pada zaman tersebut
berdasarkan beberapa sumber referensi.
Unsur dan elemen yang ada di Desa Sikka merupakan satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan. Beberapa elemen tersebut membentuk lansekap permukiman tradisional
kerajaan Sikka maupun permukiman warga umumnya yaitu :
a. Istana Lepo Gete
b. Rumah-rumah adat Mo’ang Puluh
c. Watu Mahe/meja pelataran merupakan mesbah adat berupa susunan batu ceper
besar untuk meletakan bahan persembahan kepada leluhur dalam ritual-ritual
adat. Upacara-upacara adat di Sikka sebagian besar dilakukan dengan
persembahan di atas Watu Mahe. Posisinya berada di depan Lepo Gete dengan
ukuran panjang 1 m, lebar 1 m dan tinggi 1 meter (Lewis & Mandalangi, 2008 :
35). Watu Mahe sudah ada sejak keberadaan penghuni asli dan dibangun dengan
bentuk yang lebih monumental pertama kali bersamaan dengan berdirinya
bangunan Lepo Gete sebagai bukti kepercayaan masyarakat kepada leluhur juga
untuk menghormati penduduk asli dengan adat kebiasaan ritualnya tersebut.

Gambar 9. Watu Mahe


Sumber : http://press.anu.edu.au/austronesians/sharing/mobile_devices/ch08s03.html

3.4 Peran Lansekap bagi Masyarakat dan Lingkungan Sekitar


Lansekap di Desa Sikka merupakan lansekap permukiman tradisional yang memiliki
karakter dan tatanan lansekap yang dipengaruhi oleh kondisi alami lansekap berupa daerah
perbukitan dan adat budaya Sikka. Masyarakat yang memiliki sikap konservatif namun
senantiasa mengalami transisi ke gaya hidup modern menjadi suatu kekuatan dan kelemahan
bagi keberlanjutan tatanan lansekap Desa Sikka. Peran lansekap bagi masyarakat adalah
suatu hal yang sangat penting. Keadaan ini sangat penting melihat Desa Sikka merupakan
desa adat yang memiliki sejarah penting dengan karakteritik lansekap yang sudah ada sejak
19
Lansekap Tradisional
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
156060500111001

dahulu. Secara garis besar, lansekap Desa Sikka mempunyai pedoman khusus yang sangat
dipegang oleh masyarakat dalam pembentukan tatanan dan membangun permukiman
penduduk. Aspek Ama Lero Wulang dan Ina Niang Tana masih tetap terjaga hingga saat ini.

3.5 Ciri dan Komponen Karakteristik Lansekap


a. Sistem dan Ciri Alam ( Natural System & Features)
Pembentukan permukiman awal terjadi di area bagian tengah dengan tingkat
kemiringan yang relatif datar atau landai dan berada pada ketinggian ± 15 mdpl.
Permukiman tradisional di Desa Sikka berada pada dataran rendah atau lembah yang
dilindungi oleh perbukitan sebagai gugusan pegunungan dan lautan. Berkaitan dengan
sejarah dan kepercayaan yang diceritakan secara turun temurun oleh pendahulu, manusia
pertama di wilayah Sikka yaitu penduduk asli turun dari Gunung Ili Gai dan Gunung Ili
Newa atau Natar Gahar dengan pendatang dari seberang lautan yang bertemu dan
membentuk suatu kawasan permukiman tradisional Sikka.
Posisi permukiman penduduk berada di tengah-tengah apabila dilihat dari ketinggian bukit.
Kondisi topografi di Desa Nggela sangat mempengaruhi bentukan lanskap secara keseluruhannya.

Gambar 3.11 Sistem dan Ciri alam Desa Sikka


Sumber : Diolah dari Google Earth, 2015

b. Organisasi keruangan (Spatial Organization)


Organisasi keruangan pada lansekap permukiman tradisional kerajaaan Sikka terbagi
menjadi 3 bagian utama yaitu istana Lepo Gete, rumah Mo’ang Puluh dan Watu Mahe.
Secara zonasi terdapat pembagian antara permukiman tradisional kerajaaan dan
permukiman warga biasa sangat jelas. Pada masa awal kerajaan, di dalam kawasan hanya
dibangun istana dan rumah-rumah pembantu raja beserta elemen-elemen pendukungnya.
Sedangkan di luar kawasan kerajaan adalah permukiman masyarakat biasa. Namun pada
saat ini, zonasi tersebut tidak lagi jelas karena perumahan warga sudah memasuki area
kawasan kerajaan.

20
Lansekap Tradisional
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
156060500111001

Permukiman Tradisional
Permukiman Warga
Gambar 3.12 Organisasi Keruangan Desa Sikka
Sumber : Diolah dari Google Earth, 2015

c. Penggunahan Lahan (Land Use)


Secara spasial, zonasi keruangan pada Desa Sikka terbagi atas tiga zonasi yaitu zona
permukiman tadisional Kerajaan Sikka, zona permukiman biasa dan zona kebun, ladang dan
hutan. Oleh karena itu pola penggunaan lahan yang terbentuk pada Desa Sikka adalah terdiri
dari kebun dan ladang di bagian utara dan permukiman di bagian selatan.

Kebun, Ladang dan Hutan

Permukiman Warga

Permukiman Tradisional

Gambar 3.12 Pola Penggunaan Lahan


Sumber : Diolah dari Google Earth, 2015

Penggunaan lahan sebagian besar didominasi oleh guna lahan kebun, ladang dan
hutan. Hal ini dapat dibuktikan bahwa hampir 50% lebih penduduk Sikka bermata
pencaharian sebagai petani kebun atau ladang. Permukiman tradisional Kerajaan Sikka
berbentuk melingkar sedangkan permukiman warga menyebar sesuai dengan keadaan
topografi dan linear mengikuti jalur jalan. Secara spasial permukiman tradisional Kerajaan
Sikka terdapat ruang luar yaitu ruang yang berada ditengah-tengah permukiman tradisional
digunakan untuk aktivitas ritual. Batas permukiman tradisional Kerajaan Sikka dapat
diidentifikasi dari jalur jalan yang melingkari kawasan ini.

d. Tradisi Budaya ( Cultural Tradisition)


21
Lansekap Tradisional
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
156060500111001

Orang Sikka masih memegang teguh adat istiadatnya, walaupun sebagian


masyarakat telah mereduksi ritualnya dengan alasan ekonomi. Namun dalam masyarakat
adat khususnya di kampung Sikka juga beberapa kampung adat lainnya masih kental masih
utuhnya pelaksanaan seremonial atau ritual adatnya sampai sekarang. Hal ini dapat dilihat
pada beberapa tradisi berikut :
1. Ritual siklus tahunan, yakni:
 Musim tanam (Wulang Leleng) dan
 Musim panen (Wulang Dereng)
 Adapun kalender pertaniannya yaitu :
 Bulan Wulan Waran-More Duru (Oktober-November) yaitu bulan untuk
membersihkan kebun, menanam,
 Bulan Bleke Gete Bleke Doi-Kowo (Januari, Pebuari, Maret) masa untuk
menyiangi kebun (padi dan jagung),
 Bulan Balu Goit Balu Epan-Blepo (April-Juni) masa untuk menanam palawija
/kacang-kacangan.
 Bulan Pupun Porun Bleke Oin Ali-Ilin (Agustus-September) sebagai akhir
kelender kerja pertanian yaitu masa panen atau memetik hasil.
2. Siklus daur hidup (Hu’er Hereng Ata Bi’ang), yakni:
 Kelahiran (Wua Det Ae Doda), terdiri dari 8 ritual, mulai dari pemberian nama
hingga penyunatan
 Pernikahan (Lema Lepo ‘Rawit Woga), termasuk ritual yang paling rumit terdiri
dari 11 ritual, mulai dari ritual meminang hingga ritual mengantar istri ke pihak
keluarga suami. Adat mas kawin (belis) menurut para ahli dan sejarahwan berasal
dari perintah Ratu Dona Inez dan Ratu Dona Maria Du’a Lise Ximenes da Silva
pada awal abad ke 17, guna mengangkat harkat kaum wanita di Kerajaan Sikka.
“Nilai tolong-menolong (tali tulung) atau kerjasama diungkapkan dalam waing
taling atau delung telu ene welung. Ungkapan ini diwujudkan dalam kehidupan
sosial, misalnya tolong menolong di antara anggota kerabat dalam menghimpun
belis (mas kawin) yang diserahkan kepada pihak wanita” (Melalatoa,1995:772).
Masyarakat Sikka lebih dominan mengenai pernikahan adat dan mas kawin.
Alasannya adalah masyarakat Sikka memberikan syarat khusus bagi para wanita
muda dalam suku ini untuk menikah. Para wanita muda belum boleh menikah
apabila belum menenun sendiri tiga sampai empat kerudung kepala (lensu). Selain
sebagai syarat pernikahan, kain tenun juga berfungsi sebagai imbalan yang sangat
penting dalam upacara mengantarkan belis (mas kawin) dalam rangkaian upacara
perkawinan.
 Kematian (Hu’er Hereng Ata Mateng Potat), terdiri dari 7 ritual, mulai dari ritual
pembawaan kain, lilin hingga ritual malam ke empat, minggu pertama sampai
ketujuh.

22
Lansekap Tradisional
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
156060500111001

Gambar 3.15 Upacara Adat


Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2012

e. Penataan Kluster (Cluster Arrangement)


Sistem kepercayaan tradisional orang Sikka awal adalah kepercayaan kepada dewa-
dewa. Dewa utama adalah pasangan Ama Lero Wulang (Bapa Langit) dan Ina Niang Tana
(Ibu Bumi), yaitu simbol bulan-matahari dan bumi. Selain itu ada pula dewa-dewa yang
berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dan kematian. Pola permukiman tradisional di
kampung Sikka inipun sesuai tradisi kepercayaan penghuni awal, yang terlihat dari tata letak
Lepo Gete sebagai bangunan rumah yang dibangun pada awal terbentuknya kampung.
Berdasarkan referensi sejarahwan Lewis & Mandalangi (2008 : 20-21), bangunan
Lepo Gete memang sudah ada sejak awal terbentuknya kampung oleh penghuni awal.
Membangun rumah (lepo) serta persembahan kepada leluhur, diikuti dengan tradisi syukur
memberikan persembahan berupa sesajian dan doa syukur di atas Watu Mahe (meja
persembahan). Hal ini ditandai dengan pola lingkungan hunian yang memiliki Watu Mahe
(meja persembahan) di pekarangan rumah dan menghadap ke timur sebagai arah terbit
matahari.

Permukiman
Warga Permukiman Tradisional Sikka

Gambar 13. Orientasi Permukiman Tradisional Sikka


Sumber: Hasil Analisis

23
Lansekap Tradisional
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
156060500111001

Pada gambar diatas menunjukan bahwa permukiman tradisional di Desa Sikka


berada pada dataran rendah yang dilindungi oleh perbukitan sebagai gugusan pegunungan
Ili Gai dan lautan. Berkaitan dengan kepercayaan yang diceritakan secara turun temurun
oleh pendahulu, manusia pertama di wilayah Sikka yaitu penduduk asli turun dari Gunung
Ili Gai atau Natar Gahar dengan pendatang dari seberang lautan. Arah gunung merupakan
arah utara dari pemukiman sedangkan arah selatan merupakan arah laut yang sebagian
masyarakat berorientasi ke laut.

f. Sirkulasi (Circulation)
Sistem sirkulasi merupakan aspek penting yang menentukan hubungan lingkungan
di dalam permukiman dan juga lingkungan di dalam dengan di luar permukiman. Untuk
mencapai Desa Sikka dibutuhkan waktu ± 45 menit perjalanan dari pusat kota yaitu Kota
Maumere dengan menggunakan bis angkutan umum atau sepeda motor. Kondisi jalan dari
Kota Maumere ke Desa Sikka masih cukup baik. Akses jalan pada permukiman penduduk
biasa berupa jalan aspal untuk kendaraan roda dua dan empat. Sedangkan sirkulasi mikro
pada permukiman tradisional kerajaan Sikka tidak diperbolehkan untuk kendaraan bermotor
dan kondisi berupa jalan tanah dan diperkeras pada bebrapa bagian. Adanya pagar pembatas
ini merupakan penanda bahwa permukiman adat ini tidak sembarang boleh memasukinya.

Gambar 3.18 Kondisi Sirkulasi


Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2012

Pada permukiman tradisional Kerajaan Sikka posisi rumah-rumah adat selalu


menghadap ke arah space bagian tengah yang merupakan ruang kosong yang terdapat
beberapa elemen yang dikeramatkan seperti Watu Mahe. Akses entrance pada permukiman
tradisional Kerajaan Sikka terdapat di bagian Utara dan Selatan.

g. Topografi (Topgraphy)
Daratan Desa Sikka tergolong landai karena letaknya menghadap ke laut di bagian
selatan sedangkan bagian utara berupa perbukitan dan gugusan pegunungan (Gunung Ili
Bekor, Gunung Ili Gai dan Gunung Ili Newa) yang pada zaman awal sebagai tempat tinggal
penduduk asli yang disebut Natar Gahar (kampung tinggi, kampung di perbukitan).
Pembentukan permukiman awal terjadi di area bagian tengah dengan tingkat
kemiringan yang relatif datar atau landai dan berada pada ketinggian ± 15 mdpl.

24
Lansekap Tradisional
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
156060500111001

Permukiman tradisional di Desa Sikka berada pada dataran rendah yang dilindungi oleh
perbukitan sebagai gugusan pegunungan dan lautan. Berkaitan dengan sejarah dan
kepercayaan yang diceritakan secara turun temurun oleh pendahulu, manusia pertama di
wilayah Sikka yaitu penduduk asli turun dari Gunung Ili Gai dan Gunung Ili Newa atau
Natar Gahar dengan pendatang dari seberang lautan yang bertemu dan membentuk suatu
kawasan permukiman tradisional Sikka.

G. Ili Bekor, G. Ili Gai, G. Ili Newa

Perkampungan Warga
Kawasan Kerajaan Sikka

Laut Sawu

Gambar Atas : Potongan A – A, Bawah : Topografi Kawasan Permukiman Tradisional Sikka


Sumber : Diolah dari Google Earth, 2015

h. Vegetasi (Vegetation)
Desa Sikka terletak diantara daerah pegunungan yang dikelilingi oleh bukit-bukit dan
lautan. Vegetasi yang tumbuh pada lingkungan permukiman sesuai dengan spsefikasi iklim
dan ketinggian lahannya. Pertanian dan perkebunan menjadi hal yang utama bagi
masyarakat Sikka, sehingga lahan perkebunan dan ladang berdekatan dengan area
permukiman.
Adapula tanaman keras seperti, jati, mahoni, lontar, kelapa dan bambu. Tanaman-
tanaman keras tersebut dimanfaatkan masyarakat untuk membangun rumah adat maupun
rumah tinggal bagi mereka. Disepanjang jalan menuju Desa Sikka terdapat bermacam-
macam jenis vegetasi yang tumbuh pada jalur itu. Pada area permukiman tradisional,
vegetasi yang tumbuh berupa beberapa pohon kelapa, pisang, beringin, mahoni serta perdu
dan semak yang berada di area permukiman tradisional Kerajaan Sikka. Penyebaran
vegetasi di permukiman Desa Sikka secara umum tidak merata berdasarkan keinginan
masyarakat setempat atau tumbuh secara liar.

25
Lansekap Tradisional
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
156060500111001

1. Lahan Pertanian dan Perkebunan


1 2. Permukiman

Gambar 3.24 Penyebaran Vegetasi


Sumber : Google Earth, 2015

i. Bangunan dan Struktur ( Building and Structures)


Di Desa Sikka terdapat permukiman tradisional Kerajaan Sikka yang merupakan
kampung asal bagi masyarakat Sikka dan permukiman warga biasa serta sarana dan
prasarana umum yang menujang kehidupan warga Desa Sikka itu sendiri. Sarana-sarana
pendukung tersebut adalah sarana pendidikan, sarana peribadatan, fasilitas pemerintah dan
fasilitas umum lainnya.

Gambar Gereja Lela, Gereja Sikka dan SD Inpres Sikka


Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2012

Sedangkan bangunan yang terdapat pada permukiman tradisional Kerajaan Sikka


tidak dalam kondisi yang baik dan asli yang saat ini berjumlah 1 untuk istana Lepo Gete.

Gambar Istana Lepo Gete


Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2012

26
Lansekap Tradisional
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
156060500111001

j. View dan Vista ( View and Vistas)


Fitur-fitur alami atau buatan yang dapat menciptakan kontrol pandangan (view) di
Desa Sikka cukup beragam. Secara tata letaknya permukiman Desa Sikka berada diantara
bukit di utara dan sebelah selatan berbatasan langsung dengan Laut Sawu, sehingga secara
tidak langsung mendapat view langsung mengarah ke laut ataupun dari arah laut.

Gambar 3.27 View dari Laut


Sumber : Tropenmuseum, dari http://sukaberubah.blogspot.co.id/2013/10/foto-foto-raja-dan-masyarakat-sikka.

Titik fokus (focal point) di permukiman Desa Sikka mengarah ke istana Lepo Gete,
gereja tua Sikka dan Wisung Fatima Lela.

Gambar Istana Lepo Gete


Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2012

k. Fitur-fitur air buatan (Contructed Water Features)


Pemanfaatan air bersih oleh masyarakat Desa Sikka berasal dari PDAM dengan
sumber mata air berasal dari mata air pegunungan dari desa lain di kecamatan tetangga juga
berasal dari sumur galian di perumahan warga. Untuk itu dapat diketahui tingkat kedalaman
air tanah dari sumur galian warga dengan kedalaman rata-rata 6 – 8 meter. Selain dua
sumber mata air tersebut, untuk penerangan pada malam hari menggunakan listrik.
Salah satu fitur air yang menarik adalah aliran sungai Batik Wair yang berlokasi tidak
jauh dari permukiman Desa Sikka.

Gambar Batik Wair


Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2012

27
Lansekap Tradisional
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
156060500111001

l. Fitur-Fitur Berskala kecil ( Small Scala Features)


Fitur-fitur berskala kecil merupakan kombinasi fungsi dan estetik dengan elemen-
elemen detil yang memberikan keanekaragaman ciri kawasan. Fitur-fitur berskala kecil ini
memberikan ciri khusus pada karakteristik sebuah kawasan. Di desa Sikka terdapat banyak
fitur-fitur kecil yang menjadi penunjang permukiman mereka. Seperti elemen-elemen yang
ada di sekitar permukiman tradisional Kerajaan Sikka. Elemen-elemen tersebut memilki
fungsinya masing-masing bagi masyarakat Sikka.

Gambar 9. Watu Mahe


Sumber : http://press.anu.edu.au/austronesians/sharing/mobile_devices/ch08s03.html

m. Kawasan Arkeologis ( Archeological Sites)


Desa Sikka merupakan salah satu desa tradisional yang memiliki nilai sejarah penting
dan sudah lama ada di Kabupaten Sikka. Menurut beberapa catatan sejarah kampung Sikka
terbentuk dari pertemuan antara penduduk asli (Mo’ang Ria Raga Guneng dan Du’a Soru
Dedang) dengan pendatang dari negeri Siam (Mo’ang Rae Raja dan Du’a Rubang Sina)
pada ratusan tahun yang lalu dan kemudian berkembang sampai saat ini. Mo’ang Ria Raga
Guneng merupakan orang yang berkuasa atas tanah di Sikka dimana setelah pertemuannya
dengan pendatang lalu diserahkan sebagian tanah untuk pendatang tersebut dalam suasana
akrab nuansa kekeluargaan dan bersama-sama mulai membangun rumah pertama yaitu Lepo
Gete dan diikuti dengan membangun rumah untuk anak-anak mereka sampai dengan
terbentuknya masa kerajaan dengan pola permukiman tradisional Kerajaan Sikka. Ciri dan
kekhasan masih tetap terjaga sampai saat ini adalah ritual-ritual adat sedangkan bangunan
Lepo Gete sendiri telah mengalami pergeseran dan tidak lagi seperti aslinya.

Gambar Istana Lepo Gete


Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2012

28
Lansekap Tradisional
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
156060500111001

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Setiap tradisi memiliki karakteristik permukiman tradisional yang khas. Desa Sikka
merupakan sebuah desa tradisional yang ada di Kabupaten Sikka memegang nilai-nilai
sejarah penting dan memiliki tradisi yang cukup kuat. Tatanan lansekap pada Desa Sikka
dapat dilihat dari konsep ruang makro, meso dan mikro. Ruang makro terdiri dari ruang
pertanian dan perkebunan, dan ruang permukiman. Ruang meso merupakan area
permukiman masyarakat baik permukiman tradisional Kerajaan Sikka maupun permukiman
masyarakat biasa yang berada pada topografi yang landai sedangkan ruang mikro adalah
tata ruang pada skala rumah baik permukiman tradisional maupun permukiman masyarakat.
Lansekap Desa Sikka merupakan pola atau tata ruang yang didalamnya terdapat elemen-
elemen lansekap pembentuknya, ragam jenis, tata letak dan bentuk, fungsi dan makna
kepercayaan, sosial budaya, dan alam sekitarnya. Selain itu pembentuk karakter lansekap
Desa Sikka sangat dipengaruhi oleh tradisi atau aktivitas-aktivitas yang biasanya dilakukan
oleh masyarakat yang berhubungan dengan nilai-nilai tradisi.

4.2 Saran
Penataan ruang yang direncanakan sebaiknya memperhatikan perspektif tradisional
dan budaya setempat dalam pengembangan wilayah. Pengabaian budaya dan perspektif
tradisional akan mendorong permukiman yang tumbuh semrawut dan tidak bernilai.
Begitupun konflik-konflik kecil antara masyarakat adat dengan pemerintah setempat.
Menjaga dan melestarikan merupakan suatu hal penting untuk masa yang akan datang
sekaligus menjaga identitas wilayah dengan masyarakatnya. Mengetahui karakteristik dan
faktor-faktor yang mempengaruhi pola permukiman tradisional suatu masyarakat dalam
menghadapi tantangan pengaruh global merupakan hal yang diperlukan bagi negara yang
sedang berkembang seperti Indonesia sebelum nilai-nilai budaya tergerus oleh arus
globalisasi. Kajian ini akan menjadi informasi yang sangat berguna dalam menyusun
kebijakan pembangunan lingkungan budaya, khususnya perdesaan. Kegiatan inventarisasi
dan dokumentasi tentang pola pemukiman tradisional dalam semua aspek perlu ditingkatkan
dan dilakukan secara berkesinambungan.

29
Lansekap Tradisional
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
156060500111001

DAFTAR PUSTAKA

Ebed de Rosary. ‘Lepo Gete’ Istana Raja yang Merana, Majalah Flores Bangkit.
http://www.floresbangkit.com/2015/01/lepo-gete-istana-raja-yang-merana/. (diakses 13
Agustus 2015)

Forum Diskusi Pemuda Mahasiswa Sikka. Sekilas Berlalu Sejarah Pemerintahan


Kabupaten Sikka. https://fdpms.wordpress.com/2012/04/06/sekilas-berlalu-sejarah-
pemerintahan-kabupaten-sikka/ (diakses 13 Agustus 2015)

Gomez, E. P. d & O. P. Mandalangi. 2006. Don Thomas Peletak Dasar Sikka Membangun.
Maumere : Penerbit Yapenthom

Haryono, Paulus. 2007. Sosiologi Kota Untuk Arsitek. Jakarta : Bumi Aksara

Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Aksara Baru

Lewis, E. D. & O. P. Mandalangi. 2008. Hikayat Kerajaan Sikka. Maumere : Penerbit


Ledalero

Longginus Diogo. Pulau Ular Naga Sawaria. Kupang : Harian Spirit NTT
http://spiritentete.blogspot.com/2010/09/pulau-ular-naga-sawaria-2.html, (diakses 13
Agustus 2015)

Riril Mardiana F. Sosiologi Antropologi. 2011. http://irminarosmita.blogspot.co.id/


(diakses 12 Oktober 2015)

Sajogyo & Pudjiwati S. Sosiologi Pedesaan. Jakarta : Gadjah Mada University Press

Soekanto, Soerjono. 1969. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : UI-Press

Ubed A. Syarif. Kerajaan Sikka-Flores yang Hilang dan Pesona Wisata Flores. Jakarta :
Kompasiana. http://www.kompasiana.com/ubedasy/kerajaan-sikka-flores-yang-hilang-dan-
pesona-wisata-flores_54f37598745513962b6c7667, (diakses 13 Agustus 2015)

30
Lansekap Tradisional

You might also like