Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 18

MAKALAH

KESEHATAN LINGKUNGAN PEMUKIMAN


PEMUKIMAN TRADISIONAL

KELOMPOK I

NAMA: BERNADUS BOY


DIANA C. YOHANES
YODHIKSON BANG
MARIA LENGARI
ELSA M.A.L. DA COSTA
ANTONIUS KEWOHON
MALDO LIKUMAHUA
FERNANDO RATU
KONSTANTINO G. BEKE
KELAS/SEMESTER:ABC/VI

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2018
KATA PENGANTAR
Terpujilah Tuhan sumber segala pengetahuan dan kasih setia. Segala puji syukur dari
segenap hati, penulis haturkan kehadirat Tuhan yang maha kuasa, atas rahmat karunia-nya yang
senantiasa mengasihi, melindungi, dan membimbing penulis di dalam menyelesaikan
penyusunan laporan ini. Adapun maksud dan tujuan penulisan laporan ini adalah untuk
mengetahui dan mengidentifikasi aspek budaya pada sistem perumahan dan permukiman,
khususnya di Indonesia.
Penulis telah berupaya semaksimal mungkin, agar penulisan laporan ini dapat memenuhi
harapan semua pihak. Namun demikian, penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan senang hati penulis bersedia menerima kritik
dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak demi kesempurnaan laporan ini.
Akhirnya penulis berharap, semoga penulisan ini ada manfaatnya bagi para pembaca.
Dan semoga Tuhan senantiasa menyertai kita semua. Amin.

Kupang, 11 Maret 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................. i


DAFTAR ISI................................................................................................................................ ii
A. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................................................. 4
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................. 5
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................................... 5
B. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Permukiman Tradisional ................................................................................. 6
2.2 Unsur Permukiman Tradisional ........................................................................................ 7
2.3 Elemen-Elemen Pembentuk Permukiman Tradisional ..................................................... 9
2.4 Karakteristik Permukiman Tradisional Permukiman ........................................................ 12
2.5 Contoh Pemukiman Tradisional Pemukiman Tradisional Bena ....................................... 14
C. PENUTUP
3.1 Simpulan .......................................................................................................................... 17
3.2 Saran ................................................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Permukiman merupakan wujud dari ide pikiran manusia dan dirancang semata-mata
untuk memudahkan dan mendukung setiap kegiatan atau aktifitas yang akan dilakukannya.
Permukiman merupakan gambaran dari hidup secara keseluruhan, sedangkan rumah adalah
bagian dalam kehidupan pribadi. Pada bagian lain dinyatakan bahwa rumah adalah
gambaran untuk hidup secara keseluruhan, sedangkan permukiman sebagai jaringan
pengikat dari rumah tersebut. Oleh karena itu, permukiman merupakan serangkaian
hubungan antara benda dengan benda, benda dengan manusia, dan manusia dengan
manusia. Hubungan ini memiliki suatu pola dan struktur yang terpadu (Rapoport dalam
Sudirman Is, 1994).

Dalam aspek budaya yang turut mempengaruhi sistem permukiman, dapat dijumpai
pola atau tatanan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai
adat dari suatu tempat tertentu. Hal tersebut diatas memiliki pengaruh cukup besar dalam
pembentukan suatu lingkungan hunian atau permukiman, khususnya pada permukiman
tradisional. (Rapoport, 1985). Dalam permukiman tradisional, dapat dijumpai pola atau
tatanan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat dari
suatu tempat tertentu. Hal tersebut diatas memiliki pengaruh cukup besar dalam
pembentukan suatu lingkungan hunian atau permukiman tradisional.

Terdapat suatu elemen utama dari hal yang sakral tersebut pada permukiman
tradisional. Jika permukiman dianggap sebagai suatu lingkungan yang diperadabkan, maka
bagi kebanyakan masyarakat tradisional di lingkungan tersebut, menurut ketentuan,
merupakan lingkungan yang sakral atau disucikan. Alasan pertama adalah karena orang-
orang banyak berpandangan bahwa masyarakat-masyarakat tradisional selalu terkait dengan
hal-hal yang bersifat religius. Agama dan kepercayaan merupakan suatu hal yang sentral
dalam sebuah permukiman tradisional. Hal tersebut tidak dapat terhindarkan, karena orang-
orang akan terus berusaha menggali lebih dalam untuk mengetahui makna suatu lingkungan
yang sakral atau disucikan, karena hal itu menggambarkan suatu makna yang paling penting.
Kedua, sebuah pandangan yang lebih pragmatik, adalah bahwa hal yang sakral tersebut
serta ritual keagamaan yang menyertainya dapat menjadi efektif untuk membuat orang-
orang melakukan sesuatu di dalam sesuatu yang disahkan atau dilegalkan. Ritual-ritual yang
mengandung nilai-nilai keagamaan adalah suatu cara ampuh untuk baik mengesahkan
maupun memelihara kebudayaannya. Elemen-elemen fisik yang dipergunakan dapat
membantu untuk mengingatkan orang-orang akan ritual keagamaan, sebagai wadah yang
dapat menunjang untuk hal-hal yang berkaitan dengan ritual keagamaan, dan
mengungkapkan baik ritual keagamaan maupun bagan- bagan dan kosmologi yang
mendasarinya dalam bentuk yang permanen, dan sering mengesankan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Permukiman Tradisional?

2. Apa saja Unsur Permukiman Tradisional?


3. Apa Elemen-Elemen Pembentuk Permukiman Tradisional ?

4. Bagaimana Karateristik Permukiman Tradisional Permukiman?

5. Bagaimana Contoh Pemukiman Tradisional Pemukiman Tradisional Bena?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui pengertian Permukiman Tradisional


2. Mengetahui Unsur Permukiman Tradisional
3. Mengetahui Elemen-Elemen Pembentuk Permukiman Tradisional

4. Mengetahui Karakteristik Permukiman Tradisional Permukiman


5. Mengetahui Contoh Pemukiman Tradisional Pemukiman Tradisional Bena
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Permukiman Tradisional


Permukiman merupakan suatu hasil kebudayaan manusia yang terbentuk secara
bertahap dalam kurun waktu yang relatif lama seiring dengan perkembangan masyarakat dan
budayanya. Nilai – nilai yang terkandung dalam suatu permukiman sangat tergantung pada
nilai-nilai kebudayaan yang dipegang oleh masyarakat di dalamnya.
Menurut Undang-Undang No 4 Tahun 1992 Pasal 3, Permukiman adalah bagian dari
lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun
pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan
tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Jadi, pemukiman adalah
suatu wilayah atau area yang ditempati oleh seseorang atau kelompok manusia dan memiliki
kaitan yang cukup erat dengan kondisi alam dan sosial kemasyarakatan sekitar. Permukiman
tradisional biasanya terletak diluar kota dan masyarakatnya hidup dari agraris dan homogen
dengan kehidupan yang serba tradisional, kebudayaan yang dimiliki berhubungan erat
dengan alam. Ciri-ciri permukiman tradisional adalah:
(a) Kehidupan masyarakat bersifat tradisional, baik dalam teknologi, orientasi, organisasi
maupun pengelolaan;
(b) Orientasi tradisional tercermin dari motif pergerakan yang ditujukan untuk mencari
keuntungan maksimal, penggunaan sumber daya yang tidak optimal, kurang tanggap
terhadap rangsangan dari luar sebagai peluang untuk memajukan diri, sekedar
mempertahankan hidup serta pemenuhan kepuasan sosial bersifat konservatif serta
merupakan masyarakat yang tertutup dan statis;
(c) Ikatan kekeluargaan masyarakat sangat kuat, taat pada tradisi dan kaidah-kaidah sosial;
(d) Kehidupan masih tergantung pada hasil perkebunan dan pertanian.
Permukiman tradisional adalah hasil kebudayaan fisik, yang dalam konteks tradisional
merupakan bentuk ungkapan yang berkaitan erat dengan karakter masyarakatnya. Dalam
pertumbuhan dan perkembangannya kebudayaan fisik tersebut dipengaruhi oleh sosio-
kultural dan lingkungan. Perbedaan wilayah, kondisi alam dan latar budaya akan
menyebabkan perbedaan dalam ungkapan arsitekturalnya. Menurut Rapoport (1969), faktor
sosial budaya merupakan faktor penentu perwujudan arsitektur, karena terdapat sistem nilai
didalamnya yang akan memandu manusia dalam memandang serta memahami dunia
sekitarnya.
Kondisi alam dan lingkungan memegang peranan penting dalam membentuk kehidupan
manusia dalam hal ini adalah kebudayaan. Manusia dan alam selalu berdampingan dan tidak
dapat dipisahkan dari batasan dan hukum alam. Kondisi alam yang berbeda melahirkan
kebudayaan yang berbeda pula, demikian pula dengan arsitekturnya.
Menurut Sasongko (2005), permukiman tradisional sering direpresentasikan sebagai
tempat yang masih memegang nilai-nilai adat dan budaya yang berhubungan dengan nilai
kepercayaan atau agama yang bersifat khusus atau unik pada suatu masyarakat tertentu yang
berakar dari tempat tertentu pula di luar determinasi sejarah. Struktur ruang permukiman
digambarkan melalui pengidentifikasian tempat, lintasan, batas sebagai komponen utama,
selanjutnya diorientasikan melalui hirarki dan jaringan atau lintasan, yang muncul dalam
suatu lingkungan binaan mungkin secara fisik ataupun non fisik yang tidak hanya
mementingkan orientasi saja tetapi juga objek nyata dari identifikasi.
Bahkan menurut Habraken dalam Fauzia (2006), ditegaskan bahwa sebagai suatu
produk komunitas, bentuk lingkungan permukiman merupakan hasil kesepakatan sosial,
bukan merupakan produk orang per orang. Artinya komunitas yang berbeda tentunya
memiliki ciri permukiman yang berbeda pula. Perbedaan inilah yang memberikan keunikan
tersendiri kampung tradisional, yang antara lain dapat dilihat dari orientasi, dan bentuk pola
ruang serta konsep religi yang melatarbelakanginya.
Oleh karena itu bahwa benda–benda hasil karya manusia merupakan wujud kebudayaan
fisik, termasuk di dalamnya adalah permukiman dan bangunan tradisional yang menyimpan
segala nilai-nilai kulturalnya dan mempunyai batasan-batasan dan hukum alamnya.
Kampung Bena merupakan wujud fisik kebudayaan berupa permukiman dengan arsitektur
bangunan tradisionalnya yang dalam perkembangannya mempunyai nilai-nilai adat dan
budaya serta sejalan dengan kehidupan alam di sekitar gunung Inerie.
2.2 Unsur Permukiman Tradisional
Menurut Sujarto (1977), unsur permukiman terdiri dari unsur wisma (tempat tinggal),
karya (tempat berkarya), suka (tempat rekreasi/bersantai/hiburan), dan penyempurna
(peribadatan, pendidikan, kesehatan, utilitas umum) atau berintegrasi di dalam suatu
lingkungan dan hubungan satu sama lain oleh unsur Marga (jaringan jalan) Perumahan
adalah suatu lingkungan mukim (tempat tinggal) manusia yang terdiri dari sekelompok
rumah dengan berbagai macam fasilitas sosial, fasilitas umum, jaringan pergerakan, serta
sarana dan prasarananya. Secara umum permukiman tradisional memiliki 3 unsur, yaitu :
1) Daerah dan letak, yang diartikan sebagai tanah yang meliputi luas, lokasi dan batas-
batasnya yang merupakan lingkungan geografis;
2) Penduduk; meliputi jumlah, struktur umur, struktur mata pencaharian yang sebagian
besar bertani, serta pertumbuhannya.
3) Tata kehidupan; meliputi corak atau pola tata pergaulan dan ikatan-ikatan warga desa.

Ketiga unsur dari permukiman tradisional tersebut tidak lepas satu sama lain, melainkan
merupakan satu kesatuan. Ciri yang paling pokok dalam kehidupan masyarakat tradisional
adalah ketergantungan mereka terhadap lingkungan alam sekitarnya. Faktor ketergantungan
masyarakat tradisional terhadap alam ditandai dengan proses penyesuaian terhadap
lingkungan alam itu. Jadi, masyarakat tradisional, hubungan terhadap lingkungan alam
secara khusus dapat dibedakan dalam dua hal, yaitu:

(a) Hubungan langsung dengan alam, dan;


(b) Kehidupan dalam konteks yang agraris.

Demikian pola kehidupan masyarakat tradisional tersebut ditentukan oleh 3 faktor, yaitu :

1) Ketergantungan terhadap alam;


2) Derajat kemajuan teknis dalam hal penguasaan dan penggunaan alam, dan
3) Struktur sosial yang berkaitan dengan dua faktor ini, yaitu struktur sosial geografis
serta struktur pemilikan dan penggunaan tanah.
2.3 Elemen-Elemen Pembentuk Permukiman Tradisional
Pengaruh agama, sosial, budaya, ekonomi, dan politik serta lingkungan dan iklim pada
bentuk-bentuk arsitektur yang terjadi pada masa dan tempat tertentu. Menurut Rapoport
(1969), bentuk bangunan rumah tinggal sangat dipengaruhi oleh iklim, religi, dan
lingkungan. Jadi, bentuk arsitektur hunian sebagai wujud lingkungan yang dibentuk oleh
manusia ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu lingkungan, sosial budaya, dan iklim. Di
samping itu, elemen ekistik juga turut sebagai faktor yang tidak terlepas sebagai elemen
pembentuk permukiman.
a. Lingkungan Permukiman
Terbentuknya lingkungan permukiman dimungkinkan karena adanya proses
pembentukan hunian sebagai wadah fungsional yang dilandasi oleh pola aktivitas
manusia serta pengaruh setting atau rona lingkungan, baik yang bersifat fisik maupun
non fisik (sosial-budaya) yang secara langsung mempengaruhi pola kegiatan dan proses
pewadahannya (Rapoport dalam Nuraini, 2004:11). Secara tradisional, skala, dan
organisasi dari permukiman kelompok telah menggambarkan tidak hanya pengaturan
fisis tetapi juga pengaturan sosialnya.
Menurut Budiharjo (1989), kepekaan lingkungan dan keikutsertaan masyarakat
dalam meningkatkan karakter spesifik lingkungan mereka adalah faktor yang sangat
menentukan. Tampilan bangunan dapat juga didapatkan dari pemilihan-pemilihan
elemen-elemen bangunan yang digunakan pada bangunan tersebut, misalnya dengan
pertimbangan persediaan bahan-bahan tersebut di lokasi bangunan, lokasi produksi,
kemungkinan transportasinya atau bahkan mengadopsi dari aktivitas apa yang diwadahi
di dalamnya (Lippsmeier, 1980), yaitu bambu, kayu, tanah liat, pasir, batu alam, batu
bata, serta blok beton. Dalam meninjau fenomena lingkungan hunian dapat
menggunakan dasar yang ditawarkan oleh Schulz dalam Tjahjono (1993), yaitu topologi
dan morfologi. Topologi diidentikkan dengan tatanan spasial yang nantinya dapat
difokuskan dalam menelusuri notion of space masyarakat setempat. Morfologi
merupakan artikulasi formal untuk membuat karakter arsitektur. Hal ini dapat dijadikan
alat untuk analisis hubungan antara lingkungan buatan dengan alam.
b. Sosial Budaya
Manusia yang berkelompok dalam jumlah tertentu dalam satu ruang tidaklah
semuanya memiliki strata sama. Setiap masyarakat memiliki kelompok dan strata
tertentu dan setiap strata tersebut memiliki pola atau pengaruh ruang tertentu. Krancauer
menyatakan bahwa setiap strata sosial memiliki ruang yang sesuai untuk mereka
(Krancauer dalam Sasongko, 2002:pg.119). Juga penataan ruang tertentu merupakan
hasil dari perilaku masyarakat tertentu pula. Perancangan ruang harus juga bersesuaian
dengan perilaku dan kontak sosial yang sesuai dengan tempatnya (Crowhurst &
Lennard dalam Sasongko, 2002:pg.119). Pembentukan ruang ini juga ditentukan oleh
aturan-aturan yang berlaku. Lowson dalam Sasongko (2002:pg.119) menyatakan bahwa
dimanapun masyarakat berada tentu ada aturan tertentu dalam mengelola ruangnya.
Dalam hubungannya dengan faktor sosial di masyarakat, Rapoport dalam Nuraini
(2004) memberikan penjelasan bahwa lingkungan (termasuk di dalam lingkungan
hunian) harus mencerminkan kekuatan sosio-kultural, termasuk kepercayaan, struktur
keluarga dan klan, organisasi sosial, mata pencaharian, dan hubungan sosial antar
individu.

c. Iklim
Indonesia merupakan kepulauan yang berada di daerah khatulistiwa, sehingga
berilkim tropis basah. Menurut Juhana (2001), arsitektur tropis adalah arsitektur yang
beradaptasi terhadap iklim tropis. Bentuk denah berorientasi utara selatan. Bukaan
ditempatkan pada sisi ini dengan dimensi sepertiga luas lantai. Atap miring dengan
digabungkan dengan penyekat akan membantu pendinginan ruangan. Kenyamanan
termal merupakan ambang batas relatif yang menunjukkan bahwa kondisi iklim
tertentu, lingkungan sekitar, jenis kelamin, kelompok usia, aktivitas, dan sebagainya.
Dalam hubungan pola permukiman dan faktor yang mempengaruhinya, Archer
dalam Rapoport (1969) berpendapat bahwa kita membangun rumah untuk menjaga
iklim yang konsisten dan melindungi diri dari predator yang berupa cuaca dan iklim
yang buruk. Orang seharusnya membangun sendiri dengan berbagai bentuk rumah yang
berbeda dan berbeda pula iklimnya.

d. Elemen Ekistik
Terbentuknya sebuah permukiman dipengaruhi oleh beberapa faktor yang secara
keseluruhan dapat dilihat unsur-unsur ekistiknya. Menurut Doxiadis (1968) adapun
unsur-unsur ekistik pada sebuah pola permukiman yaitu sebagai berikut :

1) "Nature” (fisik alam), meliputi : tanah/geologi; kelerengan/ ketinggian; iklim;


hidrologi/sumber daya air; vegetasi/tanaman; dan hewan.

2) “Man” (manusia), meliputi : kebutuhan ruang untuk kegiatan manusia (ruang, udara,
suhu); sensasi dan persepsi; kebutuhan emosional dan nilai-nilai moral.

3) “Society” , meliputi : komposisi dan kepadatan penduduk; stratifikasi masyarakat;


bentuk-bentuk kebudayaan
masyarakat; pertumbuhan ekonomi; tingkat pendidikan; tingkat kesehatan dan
kesejahteraan; serta hukum dan administrasi.

4) “Shell” , meliputi : rumah; pelayanan masyarakat; pusat perdagangan dan pasar;


fasilitas rekreasi masyarakat; dan pusat kegiatan; sektor industry; dan pusat pergerakan.

5) "Network” , meliputi : sistem jaringan air; sistem jaringan listrik; sistem transportasi;
sistem komunikasi; sistem pembuangan dan drainase; dan bentuk fisik.
Secara kronologis kelima elemen ekistik tersebut membentuk lingkungan
permukiman. Nature (unsur alami) merupakan wadah manusia sebagai individu (man)
ada di dalamnya dan membentuk kelompok-kelompok sosial yang berfungsi sebagai
suatu masyarakat (society). Kelompok sosial tersebut membutuhkan perlindungan
sebagai tempat untuk dapat melaksanakan kehidupannya, maka mereka menciptakan
shell. Shell berkembang menjadi besar dan semakin kompleks, sehingga membutuhkan
network untuk menunjang berfungsinya lingkungan permukiman tersebut.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada dasarnya suatu permukiman terdiri dari
isi (content), yaitu manusia baik secara individual maupun dalam masyarakat dan wadah
(contain ner), yaitu lingkungan fisik permukiman (Doxiadis, 1968).
2.4 Karateristik Permukiman Tradisional Permukiman
Permukiman tradisional sering direpresentasikan sebagai tempat yang masih
memegang nilainilai adat dan budaya yang berhubungan dengan nilai kepercayaan atau
agama yang bersifat khusus atau unik pada suatu masyarakat tertentu yang berakar dari
tempat tertentu pula di luar determinasi sejarah (Sasongko 2005). Menurut Sasongko
(2005), bahwa struktur ruang permukiman digambarkan melalui pengidentifikasian tempat,
lintasan, batas sebagai komponen utama, selanjutnya diorientasikan melalui hirarki dan
jaringan atau lintasan, yang muncul dalam suatu lingkungan binaan mungkin secara fisik
ataupun non fisik yang tidak hanya mementingkan orientasi saja tetapi juga objek nyata
dari identifikasi.
1. Syarat-Syarat Permukiman
a. Lokasi
 Tidak terletak pada daerah rawan bencana alam seperti bantaran sungai, aliran
lahar, gelombang Tsunami, longsor dan sebagainya.
 Tidak terletak pada daerah bekas tempat pembuangan akhir sampah dan bekas
lokasi pertambangan.
 Tidak terletak pada daerah rawan kecelakaan dan daerah kebakaran seperti jalur
pendaratan penerbangan.
2. Fasilitas Sanitasi Dasar
a) Air :
 Kebutuhan air 60liter/orang/ hari
 Kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih dan atau air minum
sesuai dengan PERMENKES NO.416 Tahun 1990. Sedangkan persyaratan
kebutuhan air bersih dalam situasi di darurat menururt KEPUTUSAN MENTERI
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIANOMOR : 1357 / Menkes /SK / XII /
2001adalah sedikit–dikitnya 15 liter per orang dan Jarak pemukiman terjauh dari
sumber air tidak lebih dari 500 meter.
b) Jamban
 Menurut UU NO.23 Tahun 1992 tentang kesehatan : Setiap rumah tangga
wajib memiliki jamban keluarga.
 Sedangkan untuk situasi darurat menururt KEPUTUSAN MENTERI
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1357 / Menkes /SK / XII
/ 2001adalah: 1 jamban= 20 orang dan jarak jamban tidak lebih dari 50 meter
dari pemukiman (rumah atau barak di kamp pengungsian).

3. Pembuangan limbah

a.Limbah Padat

Menurut KMK RI NO. 829/MENKES/SK/VII/1999: Limbah padat harus dikelola


agar tidak menimbulkan bau, pencemaran terhadap permukaan tanah serta air tanah.
Dalam kondisi bencana menurut:KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1357 / Menkes /SK / XII / 2001 adalah Letak
permukiman daruarat dengan bak sampah keluarga lebih dari 15 meter atau ebih
dari 100 meter jaraknya dar lubang sampah umum, dan disediakan 2 drum =80-100
0rang.

b.Limbah Cair

Menurut KMK RI NO. 829/MENKES/SK/VII/1999:

 Memiliki sarana drainase yang tidak menjadi tempat perindukan vector penyakit.
 Limbah cair yang berasal dari rumah tidak mencemari sumber air, tidak
menimbulkan baud an tidak mencemari permukan tanah. Untuk kondisi bencana
menurut: KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 1357 / Menkes /SK / XII / 2001:
a) Tidak terdapat air yang menggenang disekitar titik–titik
pengambilan/sumber air untuk keperluan sehari–hari, didalam maupun di
sekitar tempat pemukiman,
b) Air hujan dan luapan air/banjir langsung mengalir malalui saluran
pembuangan air.
c) Tempat tinggal, jalan – jalan setapak, serta prasana – prasana pengadaan
air dan sanitasi tidak tergenang air, juga tidak terkikis oleh air.
4. Pemberantasan Vektor
Menurut KMK RI NO. 829/MENKES/SK/VII/1999:
 Indeks jenitik nyamuk tidak melebihi 5%
 Tidak terdapat tikus bersarang di dalam rumah.

2.5 Contoh Pemukiman Tradisional Pemukiman Tradisional Bena


Kampung adat Bena termasuk dalam wilayah desa Tiworiwu, Kecamatan Jerebu’u,
Kabupaten Ngada, Flores provinsi Nusa Tenggara timur yang memiliki luas wilayah 12, 5
ha. Desa bena memiliki jumlah penduduk 22,83 jiwa dan terdiri dari 649 kepala keluarga .
dan secara geografis berada pada sebuah lembah di antara dua buah gunung yaitu Gunung
Inerie dan Surolaki serta dikelilingi panorama pemandangan dan perbukitan Jerebu’u.
Lokasi kampung berada pada lahan yang berkontur, dengan struktur tanah berbatuan
vulkanik dan akses masuk melewati jalan raya yang rawan longsor. Kampung Bena
memiliki karakteristik yang spesifik dimana rumah-rumah adatnya memiliki bentuk serta
ukuran yang hampir sama.
Bena adalah sebuah kampung tradisional megalitik yang sampai saat ini masih
mempertahankan bentuk kampung yang ditinggalkan pendahulu mereka. Sebuah kampung
yang relatif kecil jika dilihat dari jumlah kepala keluarga yang tinggal disana yaitu sekitar 57
Ditinjau dari lokasinya, maka kampung ini dapat dikategorikan sebagai kampung
pegunungan. Sementara itu jika ditinjau dari matapencaharian penduduknya dapat dilihat
sebagai kampung agraris dan kampung tenun. Karena kekayaan nilai budaya dan kekuatan
ornamen fisik kampung maka pemerintah setelah menambah status kampung Bena ini
sebagai sebuah kampung wisata yang dikonservasi. Luas wilayah kampung Bena ± 3 hektar,
dengan bentuk menyerupai perahu layar yang terdampar.
Pola kampung terdiri atas dua baris rumah yang berjejer dari utara ke selatan, diantara
dua barisan rumah adat ini terdapat ruang terbuka, barisan pertama berada di sebelah Barat
dari ruang terbuka, dan barisan lainnya berada di sebelah Timur ruang terbuka. Dengan pola
seperti ini rumah-rumah adat tersebut dalam posisi berhadap-hadapan satu dengan yang
lainnya. Rumah adat yang terdapat di kampung Bena senantiasa memanfaatkan bahan baku
lokal, hal ini dapat dilihat pada hampir semua baku untuk pembuatan rumah tidak ada yang
menggunakan bahan-bahan yang didatangkan dari luar kampung. Apabila terdapat
penggunaan bahan material tambahan yang berasal dari luar kampung, digunakan untuk
membuat senderan penahan erosi bukan sebagai material untuk menyusun rumah adat.
Penambahan ini bertujuan untuk mengantisipasi bahaya erosi yang dapat mengancam
kelestarian kampung Bena.
Ada dua kelompok massa bangunan berdasarkan sifat kegiatan yang diwadahi yaitu

• Massa bangunan publik berupa : Kapela; WC; Gua Maria; gardu pandang; rumah
informasi dan pos pariwisata.

• Massa bangunan privat berupa : unit hunian yang terbagi dalam rumah pokok Sao Saka
Lobo; rumah pokok Sao Saka Pu’u dan rumah pendukung Sao Kaka Pu’u dan Sao kaka
Lobo
Menurut Rapoport (1969), pengertian tata ruang merupakan lingkungan fisik tempat
terdapat hubungan organisatoris antara berbagai macam objek dan manusia yang terpisah dalam
ruang-ruang tertentu. Ketataruangan secara konsepsual menekankan pada proses yang saling
bergantung antara lain :
1. Proses yang mengkhususkan aktivitas pada suatu kawasan sesuai dengan hubungan
fungsional tersebut;

2. Proses pengadaan ketersediaan fisik yang menjawab kebutuhan akan ruang bagi aktivitas
seperti bentuk tempat kerja, tempat tinggal, transportasi dan komunikasi; dan

3. Proses pengadaan dan penggabungan tatanan ruang ini antara berbagai bagian-bagian
permukaan bumi di atas, yang mana ditempatkan berbagai aktivitas dengan bagian atas
ruang angkasa, serta kebagian dalam yang mengandung berbagai sumber daya sehingga
perlu dilihat dalam wawasan yang integratik.
(a) Syarat-Syarat Permukiman Tradisional Kampong Bena

 Lokasi

Lokasi kampung berada pada lahan yang berkontur, dengan struktur tanah
berbatuan vulkanik dan akses masuk melewati jalan raya yang rawan longsor.

(b) Fasilitas Sanitasi Dasar (Air)

Sumber air dari sumur gali sebagai sarana air bersih

 Jamban

Di bena ada kepemilikan jamban pribadi sebanyak 639 rumah (92,08%) dan yang
tidak memilikki jamban 55 rumah (7,92%).Ada juga penempatan jamban pada
lokasi kampong bena pada Massa bangunan publik berupa : Kapela; WC; Gua
Maria; gardu pandang; rumah informasi dan pos pariwisata

 Pembuangan limbah

Pembungan air limbah pada kampong bena hanya 138 ( 19,98%) rumah yang
memiliki sedangkan yang tidak memiliki saliuran pembuangan limbah sebanyak
556 rumah ( 80,1%)

 Pemberantasan Vektor

Karena banyak rumah yang tidak memiliki saluran pembuangan air limbah,
sehingga menjadi tempat perindukan vector seperti lalat, nyamuk, tikus dan vector
lainnya untuk dapat menyebarkan penyakit.

 Tempat pembuangan sampah

Yang memiliki sarana pembuangan sampah hanya yang memnuhi syarat


kesehatan sebanyak 15 rumah( 19,2%) sedangkan yang tidak memiliki sarana
pembunagan sampah yang memenuhi syarat kesehatan adalah 63 rumah ( 80,8%)
masihg banyak massyarakat di kampong bena yang membuang sampah di
halaman sekitar bena
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Permukiman tradisional sering direpresentasikan sebagai tempat yang masih
memegang nilai-nilai adat dan budaya yang berhubungan dengan nilai kepercayaan atau
agama yang bersifat khusus atau unik pada suatu masyarakat tertentu yang berakar dari
tempat tertentu pula di luar determinasi sejarah. Struktur ruang permukiman digambarkan
melalui pengidentifikasian tempat, lintasan, batas sebagai komponen utama, selanjutnya
diorientasikan melalui hirarki dan jaringan atau lintasan, yang muncul dalam suatu
lingkungan binaan mungkin secara fisik ataupun non fisik yang tidak hanya
mementingkan orientasi saja tetapi juga objek nyata dari identifikasi
3.2 Saran
Terdapat suatu elemen utama dari hal yang sakral tersebut pada permukiman tradisional.
Jika permukiman dianggap sebagai suatu lingkungan yang diperadabkan, maka bagi
kebanyakan masyarakat tradisional di lingkungan tersebut, menurut ketentuan,
merupakan lingkungan yang sakral atau disucikan.
DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi , Rineka Cipta : Jakarta (2009 :pg.150-151)

Pola Pemukiman Tradisional,Antariksa.2011

Pola Pemukiman Lereng Gunung Inirie Kampung Bena.2013

Stefen Anyerdy Taosu dan R. Azizah.HUBUNGAN SANITASI DASAR RUMAH DAN PERILAKU
IBU RUMAH TANGGA DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI DESA BENA NUSA
TENGGARA TIMUR. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 7, No. 1 Juli 2013: 1–6

You might also like