Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 9

ANALISA ZAT ASING (FORMALIN)

A. Formalin
Formalin merupakan cairan jernih yang tidak berwarna dengan bau menusuk, uapnya
merangsang selaput lendir hidung dan tenggorokan dan rasa membakar. Bobot tiap
mililiter adalah 1,08 gram. Dapat bercampur dengan air dan alkohol, tetapi tidak
bercampur dengan kloroform dan eter (Norman and Waddington, 1983).
Didalam formalin mengandung sekitar 37% formaldehid dalam air, biasanya ditambah
methanol hingga 15% sebagai pengawet. Formalin dikenal sebagai bahan pembunuh hama
(desinfektan) dan banyak digunakan dalam industri. Nama lain dari formalin adalah
Formol, Methylene aldehyde, Paraforin, Morbicid, Oxomethane, Polyoxymethylene
glycols, Methanal, Formoform, Superlysoform, Formaldehyde, dan Formalith (Astawan,
Made, 2006).
Berat Molekul Formalin adalah 30,03 dengan Rumus Molekul H2CO. Karena kecilnya
molekul ini memudahkan absorpsi dan distribusinya ke dalam sel tubuh. Gugus karbonil
yang dimilikinya sangat aktif, dapat bereaksi dengan gugus –NH2 dari protein yang ada
pada tubuh membentuk senyawa yang mengendap (Harmita, 2006).
Formaldehid (formalin) adalah larutan tidak berwarna, reaktif, dan dapat membentuk
polimer pada suhu normal pada saat berwujud gas. Kalor pembakaran untuk gas formalin
4,47 Kcal / gram. Daya bakar dilaporkan pada rentang volume 12,5 – 80 % di udara.
Campuran 65 – 70 % formaldehid di dalam udara sangat mudah terbakar. Formaldehid
dapat terdekomposisi menjadi metanol dan karbonmonooksida pada suhu 150°C dan pada
suhu 300°C jika dekomposisi tidak menggunakan katalis. Pada tekanan atmosfer
formaldehid mudah mengalami fotooksidasi menjadi karbondioksida (WAAC Newsletter,
2007).
Formaldehid yang lebih dikenal dengan nama formalin ini adalah salah satu zat
tambahan makanan yang dilarang. Meskipun sebagian banyak orang sudah mengetahui
terutama produsen bahwa zat ini berbahaya jika digunakan sebagai pengawet, namun
penggunaannya bukannya menurun namun malah semakin meningkat dengan alasan
harganya yang relatif murah dibanding pengawet yang tidak dilarang dan dengan
kelebihan. Formalin sebenarnya bukan merupakan bahan tambahan makanan, bahkan
merupakan zat yang tidak boleh ditambahkan pada makanan. Memang orang yang
mengkonsumsi bahan pangan (makanan) seperti tahu, mie, bakso, ayam, ikan dan bahkan
permen, yang berformalin dalam beberapa kali saja belum merasakan akibatnya. Tapi efek
dari bahan pangan (makanan) berformalin baru bisa terasa beberapa tahun kemudian.
Formalin dapat bereaksi cepat dengan lapisan lendir saluran pencernaan dan saluran
pernafasan. tubuh cepat teroksidasi membentuk asam format terutama di hati dan sel darah
merah. Pemakaian pada makanan dapat mengakibatkan keracunan pada tubuh manusia,
yaitu rasa sakit perut yang akut disertai muntah-muntah, timbulnya depresi susunan syaraf
atau kegagalan peredaran darah (Effendi, 2009).
Formalin merupakan salah satu pengawet non pangan yang sekarang banyak
digunakan untuk mengawetkan makanan. Formalin adalah nama dagang dari campuran
formaldehid, metanol dan air dengan rumus kimia CH2O. Formalin yang beredar di
pasaran mempunyai kadar formaldehid yang bervariasi, antara 20% –40%. Di
Indonesia, beberapa undang-undang yang melarang penggunaan formalin sebagai
pengawet makanan adalah Peraturan Menteri Kesehatan No 722/1988, Peraturan
Menteri Kesehatan No. 1168/Menkes/PER/X/1999, UU No 7/1996 tentang Pangan dan
UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hal ini disebabkan oleh bahaya residu
yang ditinggalkannya bersifat karsinogenik bagi tubuh manusia (Sitiopan, 2012).
Formaldehid membunuh bakteri dengan membuat jaringan dalam bakteri dehidrasi
(kekurangan air) sehingga sel bakteri akan kering dan membentuk lapisan baru di
permukaan. Artinya formalin tidak saja membunuh bakteri, tetapi juga membentuk lapisan
baru yang melindungi lapisan di bawahnya supaya tahan terhadap serangan bakteri lain.
Bila desinfektan lainnya mendeaktifasikan serangan bakteri dengan cara membunuh maka
formalin akan bereaksi secara kimiawi dan tetap ada di dalam materi tersebut untuk
melindungi dari serangan berikutnya (Cipta Pangan, 2006)
B. Macam-macam Metode Uji Formalin
1.1 Uji kualitatif
a. Dengan Fenilhidrazina
Menimbang seksama 10 gram sampel kemudian memotong kecil-kecil, dan
memasukkan ke dalam labu destilat, menambahkan aquadest 100 ml kedalam labu
destilat, mendestilasi dan menampung filtrat dengan menggunakan labu ukur 50
ml. Mengambil 2-3 tetes hasil destilat sampel, menambahkan 2 tetes Fenilhidrazina
hidroklorida, 1 tetes kalium heksasianoferat (III), dan 5 tetes HCl. Jika terjadi
perubahan warna merah terang (positif formalin) (Ditjen POM, 1979).
b. Dengan asam kromatofat
Mencampurkan 10 gram sampel dengan 50 ml air dengan cara menggerusnya
dalma lumpang. Campuran dipindahkan ke dalam labu destilat dan diasamkan
dengan H3PO4. Labu destilat dihubungkan dengan pendingin dan didestilasi. Hasil
destilasi ditampung.
Larutan pereaksi Asam kromatofat 0,5% dalam H2SO4 60% (asam 1,8
dihidroksinaftalen 3,6 disulfonat) sebanyak 5 ml dimasukkan dlam tabung reaksi,
ditambahkan 1 ml larutan hasil destilasi sambil diaduk. Tabung reaksi dimasukkan
dalam penagas air yang mendidih selam 15 menit dan amati perubahan warna yang
terjadi. Adanya HCHO ditunjukkan dengan adanya warna ungu terang sampai
ungu tua (Cahyadi, 2008).
c. Dengan Larutan Schiff
Menimbang 10 gram sampel dan dipotong potong kemudian dimasukkan
kedalam labu destilat, ditambahkan 50 ml air, kemudian diasamkan dengan 1 ml
H3PO4. Labu destilat dihubungkan dengan pendingin dan didestilasi. Hasil
destilasi ditampung labu ukur 50 ml. Diambil 1 ml hasil destilat dalam tabung
reaksi, ditambahkan 1 ml H2SO4 1:1 (H2SO4 pekat) lewat dinding, kemudian
ditambahkan 1 ml larutan schiff, jika terbentuk warna ungu maka positif formalin.
1.2 Uji Kuantitatif
a. Dengan metode Asidialkalimetri
Dipipet 10,0 ml hasil destilat dipindahkan ke erlenmeyer, kemudian ditambah
dengan campuran 25 ml hidrogen peroksida encer P dan 50 ml natrium hidroksida
0,1 N. Kemudian dipanaskan di atas penangas air hingga pembuihan berhenti, dan
dititrasi dengan asam klorida 0,1 N menggunakan indikator larutan fenolftalein P.
Dilakukan penetapan blanko, dipipet 50,0 ml NaOH 0,1 N, ditambah 2-3 tetes
indikator fenolftalein, dititrasi dengan HCl 0,1 N. Dimana 1 ml natrium hidroksida
0,1 N ~ 3,003 mg HCHO (Ditjen POM, 1979).
b. Dengan metode Spektrofotometri
1. Asam Kromatofat
Dibuat larutan baku induk dari konsentrasi 1000 ppm dari formalin 37
%, kemudian diencerkan dalam labu takar 100 ml dengan aquadest sampai
tanda batas, kemudian larutan tersebut dibuat larutan baku standar. Larutan
pereaksi asam kromatofat 5 ml dimasukkan kedalam tabung reaksi kemudian
ditambahkan 1 ml larutan standar formalin sambil diaduk tabung reaksi
ditangas selam 15 menit dalam penangas air yang mendidih, angkat dan
didinginkan. Penetapan kadar formalin sampel, mencampurkan 10 g sampel
dengan 50 ml aquadest dengan cara menggerusnya didalam lumpang.
Kemudian didestilat dan diasamkan dengan H3PO4, ditampung dengan labu
ukur 50 ml. Ditambahkan 5 ml asam kromatofat. Kemudian diukur absorbansi
sampel dan standar dengan panjang gelombang 560 nm dan dihitung kadar
formalinnya (Cahyadi, 2008).
2. Larutan Schiff
Diambil 5,0 ml hasil destilat kemudian ditambahkan ditambahkan 1 ml
H2SO4 1:1 (H2SO4 pekat) lewat dinding, kemudian ditambahkan 1,0 ml
larutan schift. Dibaca dengan spektrofotometri. Dibuat juga blanko serta baku
seri. Dengan dicari panjang gelombang optimum, lama waktu kestabilan pada
spektrofotometer, dan kurva baku standar formalin.
C. Alat dan Bahan
a. Alat
Beaker glass
Pengaduk
kompor
tabung reaksi
erlenmeyer
spektrofotometer
b. Bahan
HCl
FeSO4
KMnO4
Kunyit
Formalin
D. Prosedur Kerja
Hal yang pertama dilakukan yaitu menyiapkan alat dan bahan, kemudian gerus sampel
hingga halus dan tambahkan aquadest untuk mendapatkan filtratnya, masukan sampel
kedalam tabung reaksi setelah itu tambahkan dengan kit FMR sebanyk 2 ml, kocok selama
2-3 menit, diamkan sampel hingga 8-10 menit sampai terjadi perubahan warna kemudian
produk yang mengandung formalin akan ditunjukkan dengan berubahnya warna dari
kuning menjadi ungu atau bahkan menjadi biru.
ANALISA Bahan Tambahan Pangan
A. Analisa Bahan Tambahan Pangan
Bahan tambahan pangan (BTP) adalah bahan atau campuran bahanyang secara alami
bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi ditambahkan dengan sengaja ke
dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk bahan pangan. Bahan tambahan
pangan ditambahkan untuk memperbaiki karakter pangan supaya meningkatkan kualitas.
Selain itu bahan tambahan pangan ditambahkan dan dicampurkan pada saat pengolahan
makanan untuk meningkatkan mutu dan mengubah sifat-sifat makanan sesuai yang
diinginkan (Winarno, 2004).
B. Alat dan Bahan
a. Alat
hot plate
benang wol
cawan petri
b. Bahan
Sampel minuman ringan
HCl
Akuades
NaOH
HCl pekat
NH4OH
H2SO4
C. Prosedur Kerja
Sampel yang telah diasamkan dipanaskan selama 30 menit dan masukan benang wol
ke dalam sampel Benang wol yang telah dididihkan dalam sampel lalu disimpan dalam
oven. Selanjutnya, benang wol dimasukan kedalam sampel.
Benang wol yang sudah dimasukan kedalam larutan dan dicuci di air mengalir sampel
namun belum dikeringkan warna pada benang wol tidak berubah masih berwarna putih.
Penggunaan kain wol ini untuk mengetahui apakah zat warna yang terkandung dalam
sampel terindikasi pewarna tekstil atau bukan, jika memang pewarna tekstil maka zat
warna akat terikat di benang wol sehingga benang wol akan berwarna.
Berbeda halnya dengan benang sampel sirup X yang berubah warna menjadi putih
kemerahan namun, warna menajdi pink pudar setelah proses pemanasan. Diindikasaikan
adanya zat pewarna pada sampel sirup x. Setelah melalui pengeringan dalam oven warna
dalam benang wol juga tidak mengalami perubahan. Benang wol yang telah kering ditetesi
dengan reagen NaOH 10%, HCl Pekat, NH4OH 12%, dan H2SO4 pekat.
Benang wol yang telah dikeringkan selanjutnya ditetesi reagen NH₄OH,HCl, NaOH
10%, H₂SO₄ 1,028 M. penetesan reagen tersebut agar dapat mengidentifikasi zat warna
pada sampel dengan mengamati perubahan warna pada benang wol. Namun, pada gambar
diatas benang wol yang telah ditetesi reagen tidak mengalami perubahan warna. Sampel
pada benang wol menunjukan dari setiap tahapan yang dilakukan pada benang wol tidak
menunjukan perubahan warna, diindikasikan sampel tidak mengandung zat warna sintetis
tetapi mengandung jenis pewarna lain karena perubahan warna pada saat penurunan pH
saja atau terdapat kemungkinan yang menyebabkan warna pada benang wol tidak berubah.
ANALISA ALKOHOL
A. Alkohol
Dalam ilmu kimia yang di maksud alkohol adalah suatu senyawa organik yang
mengandung gugus hidroksil (-OH) sebagai gugus fungsionalnya. Alkohol adalah
istilah yang umum di pakai di masyarakat, sedangkan istilah kimia dari alkohol adalah
etil alkohol (etanol) dengan rumus C2H5OH. Alkohol murni adalah alkohol yang hanya
mengandung etil alkohol, sediki air, serta bebas dari bahan-bahan lain yang berbahaya
bagi manusia. Alkohol ini biasa di gunakan untuk pembuatan minuman keras, pelarut
minyak, pelarut obat-obatan, serta untuk keperluan industri lainnya. Alkohol teknis
adalah alkohol yang selain mengandung etil alkohol dan juga masih mengandung bahan
ikutan lain yang membahayakan manusia antara lain: metil alkohol, aldehid, ester, dan
lain-lainnya ( Day,R.A,1992 ).
B. Alat dan Bahan
a. Alat
Alat destilat
Asbes
Erlenmeyer
Gelas ukur
Gelas kimia
Labu destilasi
Pipet tetes
Piknometer
Statif
Timbangan analitik
b. Bahan
NaOH
FeSO4
Larutan baku Iodine
Aquadest
Asam sulfat
Sampel Cap Tikus
C. Prosedur Kerja
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Dipipet 50 ml cairan uji kedalam labu destilat
3. Ditimbang aquadest hingga diperoleh destilat sebanyak 46 - 47 ml
4. Destilat yang diperoleh dimasukkan dalam piknometer 50 ml yang beratnya
telah diketahui dengan pasti
5. Dicukupkan volumenya dengan aquadest kemudian ditimbang
6. Terlebih dahulu timbang berat kosong pikno dan pikno isi air
7. Hitung berat jenis relative dan tentukan kadar etanolnya menggunakan daftar
bobot jenis dan kadar etanol
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama

Norman, R.O.C and D.J. Waddington, 1983. Modern Organic Chemistry. New York:
Colliens Educational.

You might also like