Professional Documents
Culture Documents
Latar Belakang
Latar Belakang
Latar Belakang
Perbincangan soal etika bisnis semakin mengemuka mengingat arus globalisasi semakin deras
terasa. Globalisasi memberikan tatanan ekonomi baru. Para pelaku bisnis dituntut melakukan
bisnis secara fair. Segala bentuk perilaku bisnis yang dianggap ”kotor” seperti pemborosan
manipulasi, monopoli, dumping, menekan upah buru, pencemaran lingkungan, nepotisme, dan
kolusi tidak sesuai dengan etika bisnis yang berlaku. Pada saat banyak perusahaan semakin
berkembang, maka pada saat itu pula kesenjangan social dan kerusakan lingkungan sekitarnya
dapat terjadi. Karena itu muncul pula kesadaran untuk mengurangi dampak negative. Banyak
perusahaan swasta banyak mengembangkan apa yang disebut Corporate Social Responsibility
(CSR). Banyak peneliti yang menemukan terdapat hubungan positif antara tanggung jawab sosial
peruahaan atau (Corporate Social Responsibility) dengan kinerja keuangan, walaupun dampaknya
dalam jangka panjang. Penerapan CSR tidak lagi dianggap sebagai cost melainkan investasi
perusahaan. Tanggung jawab sosial perusahaan menunjukan kepedulian perusahaan terhadap
kepentingan pihak-pihak lain secara lebih luas daripada hanya sekedar kepentingan perusahaan
saja. Tanggung jawab dari perusahan (Corporate Social Responsibility) merujuk pada semua
hubungan yang terjadi antara sebuah perusahaan dengan semua stake holder,termasuk didalamnya
adalah pelanggan atau customers, pegawai, komunitas, pemilik atau investor, pemerintah, supplier
bahkan juga competitor. Pengembangan program-program sosial perusahaan berupa dapat
bantuan fisik, pelayanan kesehatan, pembangunan masyarakat ( community development),
outreach,beasiswa dan sebagainya.
Lebih lanjut, CSR sebagai praktik pemberdayaan masyarakat oleh perusahaan, harus dilandasi
oleh teori-teori:
Pembangunan berbasis masyarakat, yang mensyaratkan partisipasi dan pemberdayaan
masyarakat. Konsep pembangunan berbasis masyarakat, tidak hanya berbasis pada modal fisik
(sumber daya alam), tetapi juga memanfaatkan modal sosial, modal spiritual, kearifan lokal,
dan budaya setempat. Pemberdayaan masyarakat, diarahkan untuk memperbaiki kapasitas dan
kekuasaan masyarakat, kaitannya dengan peningkatan kesadaran, kemampuan, dan
kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Partisipasi
(dalam: pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, dan
pemanfaatan hasil pembangunan) akan meningkatkan pemerataan pendapatan dan berusaha
bagi seluruh warga masyarakat.
Pengembangan masyarakat (community development), yang merupakan upaya sadar yang
dilakukan oleh pihak luar (pemerintah, LSM, donor, dll.) untuk mengoptimalkan potensi yang
ada dalam masyarakat demi perbaikan mutu hidupnya.
Pemberdayaan masyarakat (community empowerment) yang merupakan penguatan kapasitas
individu, entitas, dan jejaring (sistem), baik kapasitas manusia, kapasitas usaha, kapasitas
lingkungan, dan kapasitas kelembagaan.
4. Model Dasar Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Satu model evaluasi kinerja tanggung jawab sosial perusahaan telah dikembangkan oleh
Archie B. Carroll. Dalam buku Poerwanto, Corporate Social Responsibility,Model Carroll
menunjukkan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan dapat dibagi ke dalam empat
kriteria, yaitu sebagai berikut:
a.Tanggung jawab ekonomi menunjukkan bahwa setiap usaha harus mampu memperoleh
keuntungan baik berupa uang, citra organisasi, keuntungan sosial maupun keberlangsungan
usaha.
b.Tanggung jawab legal berkaitan dengan kepatuhan perusahaan dalam memenuhi aturan-
aturan yang berlaku dalam tata kehidupan.
c.Tanggung jawab etika. Tanggung jawab etika adalah kebijakan perusahaan yang didasarkan
pada nilai-nilai dan norma-norma yang berkembang di masyarakat sebagai kepedulian dan
penghargaan serta menghormati hak-hak individu maupun kelompok.
Tanggung jawab diskresioner, yaitu kebijakan yang murni sukarela dan didasarkan pada
keinginan perusahaan untuk memberi kontribusi sosial yang tidak memiliki kepentingan timbal
balik secara langsung.
Etika bisnis merupakan penerapan tanggung jawab sosial suatu bisnis yang timbul dari dalam
perusahaan itu sendiri. Bisnis selalu berhubungan dengan masalah-masalah etis dalam
melakukan kegiatannya sehari-hari. Hal ini dapat dipandang sebagai etika pergaulan bisnis.
Seperti halnya manusia pribadi juga memilki etika pergaulan antar manusia, maka pergaulan
bisnis dengan masyarakat umum juga memiliki etika pergaulan yaitu etika pergaulan bisnis.
Standar etis merupakan fundalmental mendefinisikan etika ( ethics) sebagai standar perilaku
bermoral, yaitu perilaku yang diterima oleh masyarakat. Banyak yang memutuskan secara
situasional apakah boleh untuk mencuri, berbohong, atau minum dan mengemudi. Mereka
tampak berfikir bahwa apa yang benar adalah apapun yang terbaik bagi individu tersebut,
bahwa setiap orang harus menentukan bagi dirinya sendiri perbedaan antara benar dan salah.
Hal ini adalah jenis pemikiran yang telah menyebabkanskandal-skandal dalam pemerintah dan
bisnis akhir-akhir ini.
Hal yang sehat ketika mendiskusikan isu moral dan etis untuk ingat bahwa perilaku etis dimulai
dengan diri kita. Kita dapat mengharapkan masyarakat untuk menjadi lebih bermoral dan etis
kecuali kita sendiri sebagai individu berkomitmen untuk menjadi lebih bermoral dan etis.
Tujuan dari mengambi keputusan etis yang dilihat adalah memperlihatkan kepada kita
pentingnya selalu ingat etika setiap kali membuat keputusan bisnis. Pilihannya tidaklah selalu
mudah. Kadang-kadang, pemecahan yang wajar dari sudut pandang etis mempunyai
kekurangan dari sudut pandangan pribadi atau professional.
Upaya perwujudan dan peningkatan etika perusahaan
Pelatihan etika
Advokasi etika
Kode etika
Keterlibatan public dalam etika perusahaan.
C. Kelangsungan Hidup
Ketika menyadari bahwa dampak negatif kegiatan bisnis bagi kelangsungan hidup umat
manusia, maka usaha-usaha untuk mempertemukan pandangan etika danpan dangan bisnis
dari waktu-kewaktu selalu dikampanyekan agar didapat suatu model yang paling ideal, yaitu
etika bisnis merupakan etika terapan yang dapat dipakai sebagai pedoman mengenai apa yang
dianggap baik dan benar bagi pelaku bisnis.
Bagaimana perilaku etis dapat berperan dalam menciptakan keberlangsungan usaha? Sebagian
besar perusahaan berusaha menciptakan adanya repetitive purchase (pembelian berulang)
yang dilakukan konsumen. Hal ini hanya dapat terjadi jika konsumen merasakan kepuasan
dalam mengkonsumsi produk tersebut. Perilaku tidak etis yang dilakukan oleh perusahaan
dapat mencederai kepuasaan ini.
Dalam kaitannya dengan dalam relasi bisnis, setiap perusahaan ingin bekerja sama dengan
perusahaan yang dapat dipercaya. Kepercayaan ini ada di dalam reputasi perusahaan yang
tidak diciptakan dalam sekejap. Perilaku etis merupakan salah satu komponen utama dalam
membangun reputasi perusahaan
Di dalam tingkat kompetisi yang sangat tinggi, perusahaan yang dapat bertahan adalah
perusahaan yang inovatif, proaktif, dan berani dalam mengambil risiko. Hal ini hanya dapat
terjadi jika perusahaan itu memiliki budaya kerja yang suportif. Salah satu syaratnya adalah
adanya etika perusahaan.
“Etika merupakan bagian dari filsafat. Sebagai ilmu, etika mencari keterangan (benar) yang
sedalam-dalamnya. Sebagai tugas tertentu bagi etika, ia mencari ukuran baik-buruk bagi
tingkah laku manusia . . .memang apa yang tertemukan oleh etika mungkin menjadi pedoman
seseorang, tetapi tujuan etika bukanlah untuk memberi pedoman, melainkan untuk tahu.”(Prof.
Ir. Poedjawiyatna, Etika, Filsafat Tingkah Laku)
“Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral melainkan merupakan filsafat atau
pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan padangan-pandangan moral (Franz
Magnis Suseno)
“Etika adalah sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang
menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi
maupun sebagai kelompok.” (A. Sonny Keraf)
“Etika adalah ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang
dapat dipahami oleh pikiran manusia. Etika disebut pula akhlak dan disebut pula moral.”
(Drs.Sudarsono)
Tolok ukur dalam etika bisnis adalah standar moral. Seorang pengusaha yang beretika selalu
mempertimbangkan standar moral dalam mengambil keputusan
Perusahaan yang dapat bertahan dan dapt memperkecil resiko gulung tikar itu adalah
perusahaan yang selalu memiliki etika dalam berbisnis. Entah itu dengan relasi bisnis antar
perusahaan, dengan investor maupun dengan sesama orang yang ada di dalam perusahaan itu
senadiri. Contohnya saja seperti atasan dengan bawahan tentunya guna mendapatkan hasil
kerjasama yang baik, antara atasan dan bawahan harus mengerti etika dalam berbisnis juga
etika pribadi antara keduanya.
Tidak ada perbedaan yang tegas antara etika bisnis dengan etika pribadi. Kita dapat
merumuskan etika bisnis berdasarkan moralitas dan nilai-nilai yang kita yakini sebagai
kebenaran.
Perusahaan yang baik adalah perusahaan yang selalu terbuka akan semua yang ada di dalam
nya kepada konsumennya. Bukan jamannya lagi bagi perusahaan untuk mengelabuhi pihak lain
dan menyembunyikan cacat produk. Jaman sekarang adalah era kejujuran. Perusahaan harus
jujur mengakui keterbatasan yang dimiliki oleh produknya.
Perusahaan yang baik adalah perusahaan yang beretika dibangun di atas realitas sekarang, visi
atas masa depan dan perannya di dalam lingkungan. Etika bisnis tidak hidup di dalam ruang
hampa. Semakin jelas rencana sebuah perusahaan tentang pertumbuhan, stabilitas,
keuntungan dan pelayanan, maka semakin kuat komitmen perusahaan tersebut terhadap
praktik bisnis.
Perusahaan yang beretika harus merumuskan standar nilai secara tertulis. Rumusan ini bersifat
spesifik, tetapi berlaku secara umum. Etika menyangkut norma, nilai dan harapan yang ideal.
Meski begitu, perumusannya harus jelas dan dapat dilaksanakan dalam pekerjaan sehari-hari.
Kesimpulannya perusahaan dapat melangsungkan hidupnya dalam arti dapat terus eksistensi
diterima oleh masyarakat ataupun konsumennya jika perusahaan tersebut mengerti,
memahami , mempelajari dan menerapkan etika dalam berbisnisnya. Etika bisnis dapat menjadi
salah satu tolak ukur seorang pengusaha atau suatu perusahaan dalam pengambilan
keputusan.
D. Corporate Citizenship
Definisi Global Corporate Citizenship
Pada era globalisasi, perusahaan dituntut untuk dapat menjalankan fungsi community
development. Salah satu implementasi tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social
Responsibility/CSR) adalah melalui corporate citizenship. Schwab (2008) mengatakan bahwa
Corporate Citizenship merupakan suatu cara pandang perusahaan dalam bersikap dan
berperilaku ketika berhadapan dengan pihak lain, misalnya pelanggan, pemasok, masyarakat,
pemerintah dan pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya. Tujuan Global Corporate
Citizenship (GCC) adalah sebagai salah satu cara untuk memperbaiki reputasi perusahaan,
meningkatkan keunggulan kompetitif serta membantu memperbaiki kualitas hidup manusia
(Schwab, 2008). GCC mengacu pada peran perusahaan dalam menangani isu- isu yang memiliki
dampak dramatis terhadap masa depan dunia, seperti perubahan iklim, kekurangan air,
pendidikan, teknologi informasi dan kemiskinan.( Schwab, 2008)
World Economic Forum juga menyatakan bahwa :
Global Corporate Citizenship is fundamentally in the enlightened self-interest of global
corporations since their growth, prosperity and sustainability is dependent on the state of the
global political, economic, environmental and social landscape. The license to operate in a
global market and to make profits entails a responsibility of being engaged in society (Corporate
Global Citizenship in action)[1]
Carroll (1991) menjelaskan bahwa pada dasarnya corporate citizenship merupakan pelaksanaan
CSR yang disesuaikan dengan konteks hak dan kewajiban tempat perusahaan beroperasi, di
mana dasar dari pelaksanaan corporate citizenship tetaplah merupakan bagian dari CSR yang
dijalankan secara bersamaan dengan kepatuhan perusahaan terhadap peraturan perundang-
undangan tempat perusahaan beroperasi dengan menjalankan legal responsibilities; serta
kegiatan-kegiatan perusahaan dijalankan secara etis yaitu dengan memenuhi kewajiban ethical
responsibilities. Marsden and Andrioff (1998) mendefinisikan sebagai berikut:
“Good corporate citizenship can be defined as understanding and managing a company`s wider
influences on society for the benefit of the company and society as a whole.”
Jadi, corporate citizenship yang baik dapat dirumuskan sebagai suatu pemahaman dan
pengelolaan atas pengaruh perusahaan secara luas terhadap masyarakat untuk kebaikan
perusahaan dan masyarakat secara keseluruhan.
Peneliti misalnya, Logsdon dan Wood (2005) mengajukan konsep global business citizenship
dan membedakannya dari konsep corporate citizenship yang lebih didominasi oleh kegiatan
filantropi dan program pengembangan komunitas (community development). Logsdon dan
Wood (2005) mendefinisikan global business citizenship, sebagai berikut:
“A global business citizen is a multinational enterprise tahat responsibly implements its duties to
individuals and to societies within and across national and cultural broders.”
Wood et al. (2002) memberi gambaran lebih luas yang dapat meletakkan warga negara sebagai
individu mapun perusahaan sebagai representasi kelompok individu yang mengejar
representasi kepentingan kolektif.
Perbedaan orientasi nilai antara self interest (yang dikejar oleh individu dan perusahaan)
dengan collective interest (yang dikejar oleh pemerintah), melahirkan pula spectrum nilai yang
lebih signifikan yakni antara orientasi kepada kebebasan (liberty) di satu sisi dan orientasi
kepada (liberty) di satu sisi dan orientasi kepada keadilan (justice) di sisi yang lain (Reilly dan
Kyj, 1994). Ketegangan antara dua orientasi nilai tersebut telah melahirkan kebutuhan akan
adanya lembaga sosial yang dapat berperan sebagai mediator yang menyeimbangkan kedua
ujung spektrum kepentingan yang berbeda.
Dengan mengikuti paparan tersebut di atas, Wood et al, (2002) mengantarkan kita untuk
melihat bahwa pada dasarnya konsep corporate citizenship merupakan mekanisme untuk
menyeimbangkan orientasi nilai perusahaan dari orientasi nilai yang lebih bersifat self
interest menjadi orientasi nilai yang memerhatikan pula kepentingan publik (yang sebelumnya
menjadi domain bagi kegiatan pemerintah semat- mata).
Combiphar melalui salah satu pilar program CSR-nya yaitu Combi Hope Women’s Empowerment, secara
konsisten memberikan pembekalan ilmu bisnis dan kesehatan kepada komunitas pengrajin perempuan Circa
HandMade yang berasal dari Cihanjuang, Bandung, sepanjang tahun 2015 lalu. Komitmen yang dijalankan
sejak tahun 2014 dengan fondasi Volunteerism tersebut juga ikut melibatkan sejumlah karyawan Combiphar
sebagai volunteer fasilitator ahli di bidangnya masing-masing. Kurang lebih lima pembekalan telah diberikan,
antara lain Disain Produk, Strategi Pemasaran, Pengelolaan Keuangan Keluarga, Consumer Insight, dan
Pengelolaan Kesehatan Keluarga. "Combi Hope Women’s Empowerment dirancang sebagai program
tanggung jawab sosial perusahaan yang dilakukan secara berkelanjutan. Program ini bertujuan untuk
memberikan dampak perubahan bagi komunitas, khususnya perempuan sebagai target influencer sekaligus
penyebar gaya hidup sehat bagi keluarga yang menjadi concern kami. Kami juga melibatkan karyawan
Combiphar serta para profesional dalam bidangnya melalui program pemberdayaan komunitas pengrajin yang
inspiratif,”