Tugas Menulis Cerpen "Duniaku Yang Abu-Abu": Nama: Fitri Andriana Kelas: XI-Mia 3 No. Absen: 19

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 6

Tugas Menulis Cerpen

“Duniaku yang Abu-Abu”

Nama : Fitri Andriana

Kelas : XI-Mia 3

No. absen : 19

SMA NEGERI 21 SURABAYA

TAHUN AJARAN 2015-2016


Duniaku yang Abu-Abu

Sekolah, tempat kita sebagai pelajar untuk belajar. Di sekolah banyak hal
menyenangkan sekaligus hal yang tidak mengenakan. Bullying, tawuran antar sesama pelajar
sudah menjadi hal yang wajar. Anak famous, anak cupu juga sudah menjadi pelengkap di
sekolah. Namun apalah diriku yang hanya mengganggap itu semua hanya sebagi bumbu-
bumbu kehidupan belaka. Perkenalan namaku Dimas. Pemuda yang saat ini masih duduk di
bangku SMA. Bangku yang sangat keras, sampai aku sudah malas untuk mendudukinya. Hal
yang menarik di bangku ini, kamu akan menemukan mana sahabat yang benar-benar selalu
ada dan mana sahabat yang ada saat hanya membutuhkanmu saja. Di kehidupanku yang abu-
abu, aku menemukan sahabat yang membuat kehidupanku lebih bewarna. Seketika duniaku
yang abu-abu berubah menjadi dunia yang lebih bewarna. Dunia yang menjadi lebih indah.
Di cerita kali ini aku akan menceritakan awal mula duniaku yang abu-abu menjadi dunia
yang lebih bewarna.

==0==

Tahun ajaran baru di sekolah yang baru, yang disebut masa SMA. Masa paling indah
kata orang. Bagiku sama saja, sama-sama membosankan. Awal ajaran baru dimulai dengan
tradisi yang disebut MOS atau Masa Orientasi Siswa. Ajang dimana kakak kelas bersikap
seenaknya dengan adik kelas. Aku berfikir MOS bertujuan untuk apa? Kalau pada akhirnya
kakak kelas hanya bertindak seenaknya. Menyuruh membawa barang aneh-aneh, berdandan
layaknya orang gila, disuruh ini, disuruh itu, kalau tidak melakukan dengan benar pasti kena
omel kakak kelas tersayang. Menurutku fungsi dari MOS adalah membantu siswa baru
berorientasi dengan keadaan sekolah, keadaan guru, lingkungan sekitar dan hanya itu saja.
Tidak perlu adanya adegan kakak kelas menindas adik kelas. Ah itu cuman opiniku saja.
MOS harus dilaksanakan sesuai dengan perintah kakak kelas. Aku bertemu dengannya
pertama kali di kelas pada waktu MOS, dia satu kelas denganku. Lebih parahnya lagi dia
sebangku denganku. Hal itu terjadi karena dia telat dan bangku yang kosong hanya tinggal di
sebelahku. Dia mencoba berbicara denganku, mengajakku berkenalan. Aku hanya berkata
seperlunya. Berkata banyak bagiku hanya membuang-bunag tenaga. Dia bertanya banyak
sekali dan aku hanya menjawab singkat dengan nada malas. Panggil saja dia Daniel. Orang
yang kepribadiannya terbalik dengan kepribadianku. Aku yang pendiam dan dia yang banyak
bicara. Banyak yang berbeda dari kami. Aku malas mengaggapinya, karena dengan berbicara
dengannya tenagaku menjadi berkurang.

“Hai. Namaku Daniel, namamu siapa?” Daniel memulai pembicaraan.

Aku tersentak kaget, baru kali ini ada yang menegur sapa “Oh, hmn aku Dimas.”

“Hai Dimas, kamu agak pendiam ya? Kamu asal mana? Kamu anak tunggal? Rumahmu
dimana? Kapan-kapan aku mampir ya?.” Daniel sontak menjejaliku pertanyaan yang bertubi-
tubi.

Aku hanya menjawab satu persatu dengan singkat dan dia malah bercerita ke topik yang lain.

“Eh Dimas, kamu ngerasa gak kalau kakak kelas itu kerjaanya marah-marah. Kita enggak
bawa barang yang disuruh sudah disembur setengah mau mati.” Daniel mengganti topik baru.

“Hmn. Biarlah aku enggak peduli, terserah mereka mau melakukan apa.” Jawabku dengan
datar.

“Dimas, kalau dilihat-lihat duniamu biasanya saja, dunia abu-abu, tanpa warna,
membosankan.” Kata Daniel dengan jujur.

“Terserah katamu Niel, apa maksudmu duniaku abu-abu.” Tanyaku bingung.

“Duniamu itu membosankan, seperti manusia yang hanya menjalani rutinitasnya saja. Tidak
ada hal yang baru, aku janji kalau kita sekelas aku akan memperlihatkan duniaku yang lebih
bewarna.” Terang Daniel secara singkat.

“Oh gitu yaudah terserah apa katamu.” Jawabku malas.

==0==

Orang yang pertama kali menyebut duniaku membosankan itu manusia yang
menyebalkan. Dengan percaya diri dia berkata duniaku tanpa warna. Aku jadi penasaran
dengan dunianya. Apa yang salah dengan duniaku, aku menikmatinya, apakah aku aneh
hanya peduli dengan kehidupanku sendiri, apakah aku seperti seseorang yang kesepian?
Tidak, aku tidak merasakan seperti itu, aku bahagia dengan kehidupanku saat ini. Tiga hari
masa orientasi siswa, akhirnya selesai. Ada pengunguman untuk menentukan aku masuk
kelas yang mana. Ternyata aku satu kelas lagi dengan manusia itu, manusia yang
menyebalkan, manusia yang seenaknya berkomentar tentang kehidupan orang lain. Sekelas
dengannya aku tak tahu apa yang akan terjadi nantinya, akankah kehidupanku berubah aku
tak tahu. Daniel mungkin sudah menduga kalau kali ini kita satu kelas. Daniel sudah
mendapatkan banyak kenalan baru di sekolah. Itu yang aku perhatikan akhir-akhir ini.
Memang aku pendiam, tapi aku bukanlah tipe orang yang cuek. Aku memperhatikan
sekelilingku, memperhatikan manusia itu sangat menyenangkan. Itu yang membuat
kehidupanku tidak membosankan. Memperhatikan manusia mungkin bisa disebut sebagai
hobiku. Bagiku manusia itu sangat lucu misal Si A berbicara panjang lebar dengan Si B,
namun Si A yang hanya bercerita dan sesekali Si B menutup mulutnya, Si B juga sesekali
memegang hidungnya sendiri. Hal itu menunjukkan kalau apa yang diungkapkan Si A itu
tidak benar, buktinya mengapa di sela-sela pembicaraan Si B menutup mulutnya? Itu artinya
secara bawah sadar ketika ada seseorang hendak melakukan sebuah kebohongan dia akan
berusaha menutupinya. Lawan bicaranya yang lebih tahu. Si B mungkin tidak percaya apa
yang diungkapkan Si A. Menyenangkan bukan bisa melihat antar sesama manusia tidak
percaya satu sama lain. Aku hanya bisa memperhatikan manusia saja namun tidak bisa
berinteraksi dengannya. Berinteraksi hanya membuang-buang waktu dan membuang-buang
tenaga. Bukannnya aku pemalas, tapi hal ini yang aku lakukan untuk menghemat tenaga.
Motto yang aku pegang selama ini “Jika tidak ingin melakukannya ya tidak usah dilakukan,
Namun jika ingin melakukannya maka lakukan dengan cepat.”. Motto yang sesuai dengan
manusia sepertiku, manusia yang selalu menghemat tenaga.

Daniel memintaku untuk duduk sebangku denganya lagi. Dia masih ingat dengan
janjinya untuk menunjukkan dunia yang lebih bewarna itu seperti apa.

Daniel menyapaku “Hey Dimas, duduk denganku ya.”

“Yasudah deh terserah” Jawabku singkat.

Daniel menunjukkan bangku yang ia pilih “Dimas duduk disini aja.”

“Hmm terserah kamu.” Jawabku malas.

Bel berbunyi menandakan awal pelajaran dimulai. Daniel sering bertingkah aneh, sering
meniru perilaku guru ketika menerangkan. Hal ini sesekali membuatku tersenyum melihat
tingkahnya. Ketika aku tersenyum, dia selalu bertanya “Bagaimana duniamu sudah tidak abu-
abu?”. Aku hanya menjawab “Belum masih sama saja.”. Dasar anak ini terlalu ikut campur
dengan duniaku, dunia yang sudah sangat nyaman bagiku. Waktu istirahat aku habiskan
seperti rutinitas biasanya, makan sendirian. Kali ini berbeda aku makan bersama Daniel,
manusia yang perlahan memperlihatkanku kehidupan yang bewarna.

“Dimas minggu ini kosong?” tanya Daniel berhenti makan.

“Kosong, malas ah pergi keluar.” Jawabku tanpa dosa.

“Ayolah sekali-kali, aku mau ngajak kamu nonton, aku bayarin deh. Minggu sore ya aku
jemput.” Paksa Daniel.

“Iya deh aku mau, tapi sebentar saja, jangan lama-lama” Pintaku.

“Iya-iya Tuan Abu-abu.” Ledek Daniel

==0==

Minggu ini minggu yang berbeda, biasanya hari minggu hanya aku habiskan untuk
membaca buku di rumah, menonoton televisi, berkutik dengan tugas sekolah, bercengkrama
dengan komputer. Namun kali ini ada yang menganggu hari Mingguku yang ceria menjadi
Minggu yang bewarna, mungkin. Hari ini aku ada janji dengan Daniel dia mengajakku
nonton di bioskop. Setelah sekian lama aku jarang pergi dengan teman, baru kali ini aku mau
pergi dengannya. Karena penasaran dan juga karena ini gratis, aku akan melakukannya
dengan cepat. Akhirnya yang ditunggu datang juga. Kami menonton film horor. Film yang
semula menegangkan menjadi film komedi. Apa salah yang denganku aku ikut tertawa lepas
ketika Daniel membuat alur cerita sendiri, aku juga sempat melihat wajahnya yang kaget.
Lucu dia kan cowok entah kenapa dia terlihat seperti gadis yang sedang ketakutan. Baru kali
ini aku menonoton film, tidak konsen tapi seru. Ini mungkin keseruan yang aku dapat jika
dapat berinteraksi dengan seorang yang aku anggap teman. Setelah itu Daniel meminta untuk
mampir ke rumahku. Katanya sambil mau menyalin tugas. Wajar saja kita sama-sama pelajar
yang setiap hari berurusan dengan tugas yang menumpuk. Ketika aku bersama Daniel, ada
yang mulai berubah denganku. Sedikit demi sedikit aku mulai berbicara banyak dengannya.
Aku selalu menanggapi perkataannya walau hanya sedikit kata yang aku lontarkan. Manusia
ini sungguh aneh. Baru kali ini aku merasakan ada yang sesuatu hal yang akan berubah
nantinya. Aku tak tahu itu, yang penting sekarang aku merasa nyaman dengan apa yang ada
sekarang ini.

==0==
Akhir-akhir ini Daniel sering mengajakku keluar dari zona nyaman. Dia seolah-olah
menyeretku keluar dari dunia yang abu-abu. Dia sering mengajakku pergi bersama, pergi ke
toko buku, pergi ke warnet walau hanya main game sebentar, ke tempat yang belum pernah
aku kunjungi, dia juga sudah memperkenalkanku dengan manusia yang lain, dan dia juga
mengajari tips-tips cara berinteraksi dengan manusia yang baik dan benar. Pertemanan kami
lama-kelamaan menjadi semakin dekat. Kami menikmati masa muda dengan lebih bewarna.
Itu yang aku rasakan sekarang. Setiap hari pasti ada hal baru yang aku dapatkan ketika aku
bersama Daniel.

“Dimas, gimana akhir-akhir ini aku liat duniamu jadi lebih bewarna? walau masih sedikit.”
Daniel memulai pembicaraan.

“Aku juga sudah mulai merasa seperti itu.” Jawabku

“Nah apa aku bilang, aku pasti menepati janji berterima kasihlah kepadaku.”

“Iya-iya terima kasih.”

“Kamu orangnya asik juga, kamu mau enggak jadi sahabatku?” tanya Daniel tiba-tiba.

“Sudah enggak zaman minta seseorang buat jadi sahabatmu.” Terangku singkat.

“Udah jawab aja mau enggak. Lagipula banyak keuntungan yang kamu dapatkan jika mau
bersahabat denganku.” Pinta Daniel

“Iya iya aku mau jadi sahabatmu.”

Percakapan yang aneh, tetapi manusia itu telah memperlihatkanku dunia yang lebih bewarna.
Aku menyadari dunia yang bewarna lebih indah daripada dunia yang abu-abu. Apalagi kalau
menikmati dunia dengan seorang sahabat. Memilih sahabat itu menurutku tidak perlu banyak-
banyak, cukup satu orang yang bisa diajak melihat dunia yang bewarna bersama-sama.

==TAMAT==

You might also like