Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 26

i

PEMAHAMAN DAN PENGGUNAAN PEMALI OLEH MASYARAKAT


TORAJA DALAM KAITANNYA DENGAN PERILAKU KESEHATAN

Sartika Pongsilurang
Aloysius L. S. Soesilo
Chr. Hari Soetjiningsih
Fakultas Psikologi – Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Abstract

Taboo is an anthropological term used to set apart an object or person or the


prohibition of some acts on the ground that it would be a violation of a culture’s
system of thought or belief. Torajans, one among many of the ethnic
communities in Indonesia, take taboo seriously in daily communal lives.
Ancestors and local beliefs, known as aluk todolo are two important things that
cannot be separated from the origins of taboo in Toraja. Based on these, the
purpose of this research is to describe what and how taboo is understood and
applied in the Torajan society nowadays as it is related to health behavior. This
qualitative study involved five participants: a tribal community leader and four
Torajans who still upheld and honored the taboo. The findings showed that all
of the participants believed that the origins of some particular diseases were
had their origins in taboo violations. They also believed that the ill-health
consequences of the violation could not be cured with medical treatment but
through the confession of the violation and repentance of the wrong-doing to
their community leader or shaman and to ancestors. For these healing
purposes, a set of rituals was conducted. The conclusion of this research was
that honoring and obeying taboo was a way of preventing the occurrence of
some diseases. It is deemed important for the participants to continue these
traditional practices. They also urged the Torajan community at large to honor
taboos as a way of preventing diseases and of promoting health behaviors.
Taboos for participants were often used in the context of health and funeral
customs.
Key word: taboo, health behavior, aluk todolo, Toraja
1

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara berkembang yang terdiri dari berbagai suku,


agama dan ras. Kemajemukan inilah yang melatarbelakangi perkembangan
budaya yang berefek pada pola tingkah laku dalam suatu kelompok
masyarakat. Ada banyak hal menyangkut budaya yang sangat memengaruhi
tingkah laku masyarakat, salah satunya adalah praktek penggunaan pemali
dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan bermasyarakat, pemali
bukanlah hal yang asing di telinga masyarakat. Hal ini dibuktikan oleh hasil
penelitian yang dilakukan oleh Imelda (2010) terhadap 83 orang dengan
sampel acak melalui kusioner yang diisi secara online melalui website
Polldaddy. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semua responden pernah
mendengar tentang pemali. Kebanyakan dari mereka sering atau pernah
mendengar pemali dari orang tua yaitu 58 responden (41%), dari nenek atau
kakek 39 responden (28%), dan dari teman 33 responden (23%), dan lainnya
11 responden (8%). Responden yang menyatakan pemali berhubungan dengan
agama adalah 12 responden (15% ), responden yang menyatakan pemali tidak
berhubungan dengan agama adalah 68 responden (83%), dan responden yang
tidak menjawab adalah 2 responden (2%).

Di Indonesia, budaya untuk menjaga dan melestarikan pemali masih terasa


sangat kental, khususnya untuk beberapa lapisan masyarakat atau suku
tertentu. Salah satu contoh nyata daerah dan masyarakat yang mayoritas
penduduknya masih meyakini dan melestarikan pemali adalah masyarakat
Toraja. Praktek penggunaan dan pengaruh pemali cukup kental terasa pada
masyarakat di Kabupaten Toraja Utara Provinsi Sulawesi Selatan. Keyakinan
masyarakat Toraja terhadap pemali diwujudkan dalam perilaku taat dan tidak
melanggar pemali yang diyakini dapat menghindarkan mereka dari konsekuensi
berupa penyakit, gagal panen, maupun kejadian-kejadian buruk lainnya.
Pandangan masyarakat mengenai pemali ialah sebuah ajaran yang diturunkan
atau diwariskan oleh leluhur, berisikan aturan-aturan etis dan ritus serta simbol-
simbol menghubungkan manusia secara khas dengan tatanan faktual, baik
dengan yang ilahi, maupun dengan sesama manusia dan alam.
2

Kepercayaan inilah yang membentuk pandangan hidup masyarakat Toraja dan


menjadi budaya yang melekat dengan begitu kuatnya.

Meskipun banyak dari masyarakat Toraja yang mengatakan bahwa pemali


tidak berlaku lagi seperti zaman dulu, karena sekarang orang telah memiliki
kepercayaan kepada Tuhan atau beragama, namun hingga kini tanpa mereka
sadari mereka tetap melakukannya. Salah satu bukti nyata penerapan pemali
dalam kehidupan sehari-hari ditunjukkan oleh partisipan, yaitu dengan tidak
melakukan perbuatan ataupun mengkonsumsi beberapa jenis makanan yang
dianggap pantang. Tindakan tersebut didasari sebuah keyakinan yang menjadi
acuan mereka sampai saat ini, bahwa ketaatan terhadap pemali khususnya jika
mereka tidak mengkonsumsi beberapa jenis daging yang dianggap pemali jika
dicampur secara bersamaan, dapat menghindarkan mereka dari jenis penyakit
tertentu dan kemalangan lainnya. Pola hidup tersebut terus berlangsung
sampai saat ini, dan menjadi proses yang berkesinambungan dari generasi ke
generasi karena partisipan mewariskannya kepada anak dan cucu mereka.
3

Kajian Teoritik

Berikut akan dipaparkan teori-teori yang menjadi acuan dalam penelitian ini,
meliputi teori tentang pemali, perilaku kesehatan, regulasi diri, aluk todolo serta
penjelasan tentang suku Toraja.

Pemali

Pemali sering disebut dengan istilah taboo, berasal dari kata Polinesia.
Farberow (dalam Evans, Averi, & Pederson, 1999) mengatakan bahwa dalam
kata taboo terkandung makna yakni diperbolehkan dan dilarang, yang harus
dan tidak boleh dilakukan, dimana pengembangannya dilakukan oleh
masyarakat untuk para anggotanya dengan tujuan untuk melindungi diri dan
sebagai motivasi untuk meningkatkan tradisi, sehingga dalam pemali
terkandung konsep menjaga. Pemali mempunyai dua makna yang berlawanan
arah, pada satu sisi ia berarti kudus dan suci, tetapi di sisi lain berarti aneh,
berbahaya, terlarang, dan kotor.
Menurut Freud (2002) yang sedang kita hadapi adalah suatu bangsa primitif
yang menerapkan seperangkat batasan atas diri mereka sendiri, ini dan itu
dilarang tanpa alasan yang jelas. Mereka (bangsa primitif) juga tidak pernah
mempertanyakan hal ini, sebab kepatuhan mereka pada batasan-batasan ini
adalah sesuatu hal yang wajar bagi mereka dan meyakini bahwa suatu
pelanggaran secara otomatis akan mendapatkan hukuman yang lebih berat.
Sedangkan menurut Kamal (2009) pemali adalah larangan sosial yang kuat,
yang berkaitan dengan setiap area kegiatan manusia atau kebiasaan sosial
yang dinyatakan sebagai suci dan terlarang. Orang Mesir kuno percaya bahwa
pemali ditanamkan oleh dewa khususnya pada benda, tindakan, bangunan, dan
bahkan individu. Mereka meyakini bahwa hanya pencipta yaitu dewa sendiri
atau raja yang dapat mengubah pemali, sehingga bagi masyarakat Mesir kuno
pemali merupakan gabungan dari agama, ritual larangan, dan penghindaran
yang memengaruhi semua aspek kehidupan mereka.
4

Bagi Margaret Mead (dalam Steiner, 1956) pemali dapat didefiniskan


sebagai sanksi negatif, siapa yang melakukan pelanggaran maka hasilnya akan
otomatis tanpa mediasi dengan manusia. Wardhaugh (dalam Chu, 2009)
mengatakan bahwa pemali ditetapkan karena orang percaya bahwa
ketidaksesuaian akan mendatangkan konsekuensi yang berbahaya bagi
mereka, baik karena perilaku non-verbal ataupun perilaku verbal, diakibatkan
karena melanggar kode moral masyarakat berdasarkan keyakinan
supranatural. Kewenangan dibalik larangan-larangan sering dikaitkan dengan
kekuatan supranatural dan bahaya yang melekat pada perilaku itu sendiri,
sehingga melanggar pemali dapat membawa sial baik itu untuk diri sendiri
maupun bagi keluarga.

Selanjutnya akan dijabarkan mengenai klasifikasi serta objek pemali


menurut beberapa tokoh. Kamal (2009) mengklasifikasikan taboo dalam
masyarakat Mesir kuno ke dalam dua bagian yaitu pemali mengkonsumsi
makanan tertentu diantaranya babi, ikan, dan madu. Pemali terhadap tindakan
misalnya tindakan yang dapat menyebabkan pencemaran di sungai nil,
menerima suap atau sogokan, tindakan kriminal seperti pencurian dan
pembunuhan, mengkonsumsi hewan kurban, merusak kesucian tempat yang
dianggap suci.

Menurut Freud (2002) objek-objek dari pemali terdiri dari tiga bagian, yang
pertama yaitu pemali langsung yang dimaksudkan untuk melindungi orang
penting meliputi kepala suku, pendeta, dan barang-barang dari mara bahaya,
menjaga kaum yang lemah yaitu perempuan dan anak-anak dari mana
(pengaruh magis) yang kuat, melindungi diri dari bahaya yang muncul akibat
memakan makanan tertentu, mengamankan manusia dari murka atau kuasa
dewa-dewa dan roh–roh, mengamankan bayi yang belum lahir dan anak kecil
yang memiliki hubungan emosi yang khusus dengan orang tuanya dari akibat
tindakan-tindakan tertentu, dan yang lebih penting pengaruh-pengaruh
makanan. Objek yang kedua, yaitu pemali yang diberlakukan untuk melindungi
kekayaan, alat–alat, dll, milik seseorang dari curian.
5

Objek yang ketiga, pemali yang umum diberlakukan di suatu wilayah yang
luas, sama dengan larangan gerejawi dan bisa berlaku lama. Menurut Freud
(2002) terdapat beberapa cakupan dari pemali, yaitu sifat suci (atau kotor) dari
orang atau benda, jenis larangan yang diakibatkan oleh sifat tersebut, dan
kesucian (atau kekotoran) yang diakibatkan oleh pelanggaran terhadap
larangan tersebut.

Perilaku Kesehatan

Pada dasarnya setiap individu mempunyai keinginan untuk selalu berada


dalam kondisi yang sehat dan normal, sehingga jika merasa kondisi kesehatan
terancam atau terganggu diakibatkan oleh penyakit, maka mereka terdorong
untuk melakukan sebuah upaya guna untuk mengembalikan dan meningkatkan
kondisi kesehatan mereka. Pemahaman partisipan mengenai timbulnya
penyakit tertentu diakibatkan karena pelanggaran terhadap pemali.
Pemahaman serta keyakinan tersebut terbentuk berdasarkan pengalaman
pribadi, serta informasi yang mereka dapatkan dari lingkungan terdekat, dan
kemudian mendorong mereka untuk melakukan tindakan bertujuan untuk
mempertahankan kondisi kesehatan mereka terlebih untuk pencegahan. Untuk
menjelaskan lebih rinci, maka digunakan teori perilaku kesehatan dengan
model regulasi diri dari Leventhal. Prinsip utama dari model ini adalah setiap
orang akan membentuk representasi kognitif terhadap ancaman kesehatan,
yang kemudian mengarahkan mereka untuk memilih sebuah tindakan yang
dapat mengatasi ancaman tersebut.

Gochman (dalam Conner, 2002) mendefinisikan perilaku kesehatan


sebagai pola perilaku, tindakan dan kebiasaan yang berhubungan dengan
pemeliharaan kesehatan, untuk pemulihan kesehatan serta peningkatan
kesehatan. Menurut Notoatmodjo (2005) perilaku kesehatan adalah semua
aktivitas atau kegiatan seseorang, baik yang dapat diamati (observable)
maupun yang tidak dapat diamati (unobservable), yang berkaitan dengan
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan.
6

Pemeliharaan kesehatan mencakup pencegahan atau perlindungan diri dari


penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan, dan mencari
peyembuhan apabila sakit atau terkena masalah terkait dengan kesehatan.
Menurut Saunders (dalam Foster & Anderson, 1986) munculnya berbagai
masyarakat menciptakan suatu strategi adaptasi baru dalam menghadapi
penyakit, suatu strategi yang memaksa manusia untuk menaruh perhatian
utama pada pencegahan dan pengobatan penyakit. Dalam usaha untuk
menanggulangi penyakit, manusia telah mengembangkan suatu kompleks luas
dari pengetahuan, kepercayaan, teknik, peran, norma-norma, nilai-nilai,
ideologi, sikap, adat-istiadat, upacara-upacara dan lambang-lambang yang
saling berkaitan dan membentuk suatu sistem yang saling menguatkan dan
saling membantu.

Menurut Aguirre (dalam Foster & Anderson, 1986) pada umumnya tindakan
preventif merupakan tingkahlaku individu yang secara logis mengikuti konsep
tentang penyebab penyakit, sambil menjelaskan mengapa orang jatuh sakit,
sekaligus mengajarkan tentang apa yang harus dilakukan untuk menghindari
penyakit tersebut. Jika masyarakat percaya bahwa penyakit terjadi karena
dikirim oleh dewa-dewa atau leluhur yang marah untuk menghukum suatu
dosa, prosedur yang nyata untuk mencegahnya adalah pengakuan dosa,
observasi yang cermat tehadap pantangan-pantangan sosial dan pelaksanaan
yang seksama atas ritus-ritus serta upacara-upacara yang ditujukan terhadap
dewa-dewa dan para leluhur.

Menurut Leventhal (dalam Ogden, 2007) terdapat beberapa faktor–faktor


yang dapat memprediksikan perilaku sehat meliputi :

- Faktor sosial, meliputi norma-norma sosial. Norma sosial bersifat mengikat,


setiap norma yang terdapat dalam suatu masyarakat merupakan nilai-nilai
sosial, yang harus ditaati dan dipatuhi oleh masyarakat setempat.
- Faktor genetik.
- Faktor emosional, meliputi rasa takut, cemas, dan depresi. Faktor
emosional akan mengalami perubahan jika merasa dirinya dalam bahaya,
sehingga munimbulkan emosi-emosi negatif.
7

- Persepsi terhadap gejala, meliputi pandangan setiap individu terhadap


gejala-gejala suatu penyakit, banyak hal yang berperan dalam membentuk
persepsi individu salah satunya yaitu kognisi.
- Keyakinan atau kepercayaan, keyakinan setiap individu terhadap suatu
penyakit dapat memberi sumbangsih terhadap perkembangan penyakit
serta perilaku mereka.

Model Regulasi Diri

Menurut Carver, Scheier, Vohs dan Baumeister (dalam Wit & Ridder,
2006) istilah regulasi diri sering digunakan untuk mengacu pada upaya manusia
mengubah pikiran, perasaan, keinginan, dan tindakan dalam mencapai tujuan
mereka. Leventhal (dalam Ogden, 2007) menjabarkan model regulasi diri ke
dalam tiga tahap yaitu interpretasi, koping, dan penilaian. Tahap pertama yaitu
interpretasi, individu menginterpretasikan gejala suatu penyakit yang timbul
melalui dua jalur, yaitu persepsi gejala (symptom perception) dan pesan sosial
(social messages). Persepsi gejala (symptom perception) dimana individu
memahami dan menilai sebuah gejala berdasarkan pengalaman mereka, selain
itu informasi tentang sebuah penyakit diperoleh oleh individu dari lingkungan
sosial (keluarga, teman, tetangga, media). Persepsi terhadap gejala penyakit
memengaruhi bagaimana seorang individu menafsirkan sebuah penyakit.
Persepsi dipengaruhi oleh mood dan kognisi. Interpretasi individu terhadap
gejala penyakit atau masalah membentuk sebuah representasi terhadap
ancaman bagi kesehatan meliputi, identitas mencakup pemberian label pada
penyakit, penyebab dari penyakit, konsekuensi atau akibat yang ditumbulkan,
rentang waktu, dan pengobatan, selain hal tersebut, interpretasi individu
terhadap sebuah penyakit memunculkan atau menimbulkan respon emosional
terhadap ancaman kesehatan berupa rasa takut, cemas, dan depresi.

Sekali individu menerima informasi tentang kemungkinan dari suatu


penyakit melalui jalur yang telah disebutkan pada paragraf di atas, menurut
teori pemecahan masalah (problem solving) maka orang tersebut akan
termotivasi untuk kembali pada keadaan normal. Pada tahap selanjutnya
individu mulai mempertimbangkan dan mengembangkan strategi koping.
8

Koping terdiri dari dua kategori besar yaitu, pendekatan koping (mis. pergi ke
dokter, beristirahat, berbicara dengan kerabat terkait dengan emosi atau
perasaan), penghindaran koping (mis. Penolakan atau menyangkal, harapan
kosong). Saat menghadapi penyakit, seseorang akan mengembangkan strategi
koping untuk kembali pada keadaan yang sehat dan normal.

Taylor dan rekannya (dalam Ogden, 2007) menguraikan tiga proses yang
dilakukan seseorang untuk menyesuaikan diri dalam kondisi yang mengancam
atau berbahaya (termasuk penyakit) meliputi mencari arti atau makna, mencari
keahlian, dan proses peningkatan atau perbaikan diri–saya lebih baik dari
banyak orang. Ketiga proses tersebut adalah inti untuk mengembangkan dan
mempertahankan khayalan, bahwa khayalan merupakan proses adaptasi
kognitif. Pada tahap yang terakhir orang akan mengevaluasi strategi koping
yang mereka gunakan apakah efektif atau sebaliknya. Jika dinilai efektif, maka
strategi tersebut tetap digunakan dan diteruskan, begitupun dengan
sebaliknya jika strategi tersebut dinilai tidak efektif maka orang akan termotivasi
untuk mencari alternatif lainnya.
9

Gambaran ancaman
kesehatan
• Identitas
• Penyebab
• Konsekuensi
• Rentang waktu
•Pengobatan

Tahap 1: Interpretasi Tahap 3:


Tahap 2: Koping
• Persepsi gejala • Pendekatan
Penilaian
• Pesan sosial •Strategi
koping
→Penyimpangan •Penghindaran
koping yang
dari norma efektif?
koping

Respon emosional
terhadap ancaman
kesehatan
• Takut
• Kecemasan
• Depresi

Bagan 1. Model regulasi diri dari Leventhal (dalam Ogden, 2007)


10

Suku Toraja
Sebelum berganti nama, Toraja dikenal dengan tondok lepongan bulan
matarik allo. Pada umumnya suku Toraja menetap di pegunungan bagian utara
Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 650.000 jiwa,
dengan 450.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja.
Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut
Islam dan kepercayaan yang dikenal dengan aluk to dolo. Kata Toraja berasal
dari bahasa Bugis, to riaja yang berarti orang yang berdiam di negeri atas.
Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909.
Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan
ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang
penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama
beberapa hari. Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom.
Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada
awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama
Kristen. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi
budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi
masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor
pariwisata yang terus meningkat. Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara
jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-
20.
Kata Toraja pertama kali digunakan oleh penduduk dataran rendah untuk
memanggil penduduk dataran tinggi. Pada awalnya suku Toraja lebih banyak
memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar seperti suku Bugis, suku
Makassar, dan suku Mandar yang menghuni sebagian besar dataran rendah di
Sulawesi daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris
Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di
wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya
pariwisata di Tana Toraja.
11

Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama, yaitu suku
Bugis (kaum mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar
(pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku Toraja
yang merupakan petani di dataran tinggi (Wikipedia, 2012).

Aluk Todolo
Di kala masyarakat Toraja belum mengenal agama samawi, mereka
mempercayai suatu keyakinan yang dikenal dengan aluk todolo. Aluk todolo
sering pula disebut dengan nama alukta, singkatan dari aluk todolo. Aluk dalam
bahasa Toraja artinya sama dengan agama, todolo dalam bahasa Toraja
artinya sama dengan nenek semula. Menurut kepercayaan aluk todolo, Tuhan
yang tinggi ialah Puang Matua, pencipta manusia pertama dan segala isinya.
Totu Mampata artinya yang menciptakan manusia dan yang dimaksudkan ialah
Puang Matua. Dalam bahasa sehari-hari seringkali orang berkata dalam
merencanakan sesuatu: “kenaeloranni Totu Mampata” artinya jika dikehendaki
pencipta kita, ialah Tuhan Allah.
Manusia diciptakan oleh Totu Mampata atau Puang Matua untuk hidup
bersama. Agar kehidupan manusia teratur, Puang Matua menurunkan aluk
todolo dengan segala persyaratan hukumnya. Pengawasan dan
pertanggungjawab atas tertibnya kehidupan masyarakat, Puang Matua
memberi kuasa Puang Titanan Tallu (Tri Maha Tunggal) yang terdiri dari puang
banggai rante ialah dewata yang menguasai bumi dan isinya, tuang tulak
padang ialah dewata yang menguasai isi bumi dan air, gaung tikembong
dewata yang menguasai angkasa angin dan halilintar. Dewata adalah makhluk
halus yang diberi kuasa besar oleh Puang Matua untuk mengawasi manusia
dalam hidupnya di dunia ini dan menghukum siapa saja yang melanggar
perintah Puang Matua. Manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan dijaga oleh
roh halus sehingga jika dirusak maka dewata akan memberi hukuman
malapetaka di dunia (Labuhari, 1997).
12

Setelah masuknya agama Kristen di Tana Toraja, situasi berangsur-angsur


mulai berubah terutama sikap dan tata cara hidup yang bermasyarakat,
meskipun belum seluruhnya meninggalkan tata cara hidup yang bersifat
tradisional. Kehadiran agama dalam kehidupan masyarakat masih tetap
berdampingan dengan kebiasaan-kebiasaan yang diturunkan oleh leluhur,
seperti kepercayaan tentang hari-hari baik dan hari buruk, kepercayaan
terhadap penyebab malapetaka misalnya melakukan perjalanan, menanam
padi, dan melakukan perjalanan.
Menurut Tangdilintin (dalam Duli dan Hasanuddin, 2003) aluk todolo adalah
salah satu kepercayaan atau keyakinan yang diturunkan oleh Puang Matua
(sang pencipta). Adapun aturan agama dalam aluk todolo bahwa manusia dan
segala isi bumi harus menyembah. Penyembahan ditunjukkan pada Puang
Matua sebagai pencipta yang diwujudkan dalam bentuk sajian. Puang Matua
sebagai sang pencipta memberi kekuasaan kepada deata-deata (sang
pemelihara). Manusia diwajibkan mempergunakan segala yang ada dalam
dunia dan sekaligus menyembah Puang Matua dan deata-deata.
Dalam ajaran aluk to dolo dikenal tiga golongan deata yaitu deata tangga
langi’ sang pemelihara di langit, deata kapadanganna sang pemelihara di bumi,
deata tangana padang pemelihara menguasai segala isi tanah. Selain ketiga
golongan deata dalam ajaran aluk to dolo sesuai ketentuan sukaran aluk, maka
manusia harus menyembah kepada tiga aturan yaitu Puang Matua, deata–
deata, tomembali puang. Ajaran aluk to dolo mengonsepsikan adanya struktur
dewa-dewa yang tersusun secara vertikal. Puang Matua dipandang sebagai
dewa tertinggi yang berperan sebagai pencipta seluruh alam, sedangkan di
pihak lain deata-deata berkedudukan sebagai pemelihara, penguasa, pengatur
kehidupan ciptaan Puang Matua, dan tomembali Puang berkedudukan sebagai
pengawas (Duli dan Hasanuddin, 2003).
Apabila salah seorang anggota keluarga dalam rumah selalu sakit, atau
hidup seseorang selalu sial maka dipanggillah pemimpin agama tominaa untuk
massuru-suru. Orang yang sakit atau orang tuanya yang merendahkan diri dan
merenungkan kiranya keluarga atau anggota yang bersangkutan pernah
melanggar aturan agama atau pernah berkhianat kepada orang tua,
13

menyiksa binatang dan merusak tanaman. Kemudian yang bersangkutan


“mengaku komba” menyesali perbuatan-perbuatan dan pemimpin agama
tominaa mentarapkan yang dilakukan. Tentu banyak perbuatan-perbuatan yang
dianggap menyalahi norma agama tetapi tominaa mencari yang paling
menyalahi tujuan hidup sesuai aluk todolo. Dalam hal ini diadakan terkaan
memakai biang, semacam rumput gajah dibelah di tengah malam diantara
keluarga dengan doa: lamangaku komba’ ki’ langan Puang Totu Mampata. Ladi
parokko mi tebiang, lama’ kada tongan diongbaliaran ampa’ rantean tujo.
Mantannako rara’ talingannako bulan, tang dipenduanni tangdipetallunni”,
artinya kiranya kita mengaku dengan tulus ikhlas dihadap Allah. Biang ini akan
berbicara benar dihamparan tikar di tengah kita. Demi saksi kebenaran yang
murni, tepat dan jitu, tidak diulang. Ajaran seperti ini sedikit demi sedikit mulai
ditinggalkan oleh masyarakat Toraja, walaupun orang-orang tua masih tetap
bertahan dan semakin bermunculan orang yang berpendidikan ingin
mempertahankan agama dan adat orang Toraja dengan adanya pengakuan
juridis yang mengakui kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa.
Dalam aluk todolo terdapat beberapa hukum yang harus dipatuhi oleh
penganutnya yang disebut dengan pemali, meliputi :
- Pemali urrusak pote dibolong, artinya tidak boleh mengganggu upacara
penguburan orang mati.
- Pemali ma’ pangan buni, tidak boleh berzinah.
- Pemali unromok tatanan pasak, tidak boleh mengacau dipasar
- Pemali unteka’ palanduan, golongan budak dilarang kawin dengan
golongan tomakaka dan tokapua (bangsawan).
- Pemali massape-ao’, tidak boleh berangkat meninggalkan rumah pada
hari yang sama dengan arah yang berbeda.
- Pemali boko, tidak boleh mencuri.
- Pemali umboko sunga’ na pedanta tolino, jangan membunuh sesama
manusia.
- Pemali ma’ kada penduan, tidak boleh berdusta.
- Pemali unkasirisan deata misanta, jangan mengkhianati orang tua.
- Pemali ungkattai bubun, jangan berak di sumur.
14

- Pemali umbala’ bala’ tomanglaa, jangan menyiksa anak gembala.


- Pemali meloko, dilarang mengambil barang di kuburan.
- Pemali umbala - bala’ patuoan, jangan menyiksa binatang ternak.

Sanksi yang dikenakan pada pelanggaran pemali berbeda menurut berat


ringannya pelanggaran, seperti sanksi yang berat ialah sangsi membunuh
dimana semua keluarga dari yang menjadi korban pembunuhan bersumpah
turun temurun tidak boleh berhubungan dalam bentuk apapun dengan keluarga
pembunuh (sisallang). Seorang hamba yang kawin dengan golongan
bangsawan diusir seumur hidup dari lingkungan Toraja. Sanksinya sama
dengan orang yang mencuri benda milik orang meninggal dari kubur. Orang
berpisah dari satu rumah pada hari yang sama dengan arah yang berlawanan,
tidak ada sanksi hukumnya tetapi biasanya salah seorang anggota keluarga
mendapat celaka (Labuhari, 1997).

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian ini
melibatkan lima partisipan, yang terdiri dari dua laki-laki dan tiga perempuan.
Kelima partisipan berasal dan tinggal di kabupaten Toraja Utara, provinsi
Sulawesi Selatan. Adapun karakteristik partisipan yaitu salah satu dari
partisipan merupakan ketua adat dalam lingkungan Toraja, dikarenakan ketua
adat merupakan orang yang lebih tahu mengenai latar belakang dan seluk
beluk tentang pemali di Toraja. Partisipan merupakan masyarakat biasa yang
masih meyakini dan menerapkan pemali dalam kehidupan sehari-hari. Metode
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu wawancara dan
observasi. Dilakukan wawancara mendalam terhadap semua partisipan, selain
itu peneliti melihat dan mengamati perilaku yang nampak dari partisipan. Data
yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisa dengan menggunakan teknik
analisa data kualitatif seperti yang diungkapkan oleh Miles dan Huberman
(dalam Herdiansyah, 2010) yang terdiri dari pengumpulan data, reduksi data,
display data, kesimpulan.
15

Hasil Penelitian

Semua partisipan dalam penelitian ini adalah masyarakat keturunan asli


Toraja dari latar belakang keturunan bangsawan yang bertempat tinggal di
Kabupaten Toraja Utara. P1 merupakan ketua adat, sedangkan P2 hingga P5
merupakan masyarakat Toraja yang percaya dan taat terhadap pemali. Semua
partisipan mendapatkan ajaran tentang pemali dari orang tua sejak mereka
kecil. Mereka tumbuh dalam keluarga yang taat dan percaya terhadap pemali.
Kelima partisipan memperoleh ajaran tentang pemali dari orang tua mereka,
tergambarkan dalam situasi yang sama yaitu dalam situasi santai sehabis
makan malam saat mereka sedang duduk di ruang tamu. Ajaran serta perilaku
yang ditunjukkan lingkungan terdekat yang mencerminkan ketaatan terhadap
pemali, menjadi dasar bagi partisipan untuk mulai memahami tentang pemali
dan kemudian menggunakannya sesuai dengan konteksnya.

Seperti yang telah dijelaskan pada paragraf di atas, bahwa semua partisipan
memperoleh ajaran tentang pemali sejak mereka kecil. Semua partisipan
memahami dan menerapkan pemali sesuai dengan konteksnya, ketika mereka
mulai beranjak remaja dan dewasa. P1 percaya terhadap pemali dan
menerapkannya sejak usia 25 tahun, P2 dan P3 percaya terhadap pemali sejak
usia 18 dan 15 tahun, sedangkan P4 dan P5 percaya dan menerapkan pemali
sejak usia 13 tahun. Pada usia tersebut semua partisipan mulai memahami baik
itu tujuan maupun manfaat pemali bagi kehidupan mereka hingga saat ini. Bagi
mereka pemali mempunyai tujuan yang baik, yaitu untuk menghindarkan
mereka dari penyakit dan kejadian–kejadian buruk lainnya serta untuk
mengatur kehidupan mereka menjadi lebih baik. Berawal dari pemahaman
tersebut, partisipan kemudian menerapkan pemali dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kelima partisipan, pemali merupakan ketentuan yang berisikan


larangan–larangan pada perbuatan dan jenis makanan tertentu untuk
dilakukan. Semua partisipan meyakini bahwa pemali berasal dari nenek
moyang orang Toraja. Mereka membentuk dan menetapkan pemali sebagai
sebuah ketentuan berdasarkan keyakinan yang mereka peluk saat itu yang
dikenal dengan aluk todolo, kepercayaan yang tertuju kepada Tuhan Yang
16

Maha Esa (Puang Matua). Mereka juga percaya bahwa pada zaman nenek
moyang orang Toraja, terdapat pengantara yang menjadi penghubung manusia
dengan Tuhan yaitu deata, bagi mereka deata mempunyai kedudukan yang
sama dengan Tuhan Yesus. Pernyataan tersebut tampak berbeda dengan
pernyataan yang diungkapkan oleh P2. Menurut P2 keyakinan nenek moyang
orang Toraja pada zaman dahulu yaitu keyakinan tertuju kepada setan,
sehingga ia percaya bahwa keyakinan tersebut menjadi landasan nenek
moyang orang Toraja untuk membentuk dan menetapkan pemali.

Pemali tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat Toraja,


sehingga telah menjadi bagian dari budaya Toraja. Bagi P1 selaku ketua adat
mengungkapkan bahwa seseorang yang mempunyai anggapan bahwa pemali
tidak berlaku lagi seperti zaman dahulu karena sekarang orang telah memiliki
kepercayaan kepada Tuhan atau beragama, baginya orang tersebut tidak
memiliki budaya dalam dirinya. Bagi P1 sudah layak dan sepantasnya selaku
generasi penerus untuk menjaga dan melestarikan warisan dari leluhur yang
merupakan bagian dari budaya Toraja.

Contoh–contoh pemali yang diutarakan oleh semua partisipan kecuali


partisipan keempat, yaitu pemali membawa pulang bambu ataupun kayu yang
digunakan untuk membawa peti ke makam, pemali membongkar bangunan
tempat menyimpan jenazah di lapangan upacara kematian, pemali memasak
daging yang berasal dari acara kedukaan dengan daging yang berasal dari
acara syukuran secara bersamaan dalam satu wadah, pemali memakan daging
kerbau bersama sayur paku secara bersamaan, pemali berkunjung ke makam
saat padi mulai tumbuh. Kelima partisipan meyakini bahwa pelanggaran
terhadap pemali dapat menimbulkan konsekuensi berupa dosa dan karma,
dalam bentuk penyakit, gagal panen, serta kejadian buruk lainnya.

Pengalaman pernah menyaksikan konsekuensi yang timbul akibat


pelanggaran pemali berupa gagal panen dan penyakit, pernah disaksikan oleh
P2 dan P3, sedangkan pengalaman pernah merasakan sendiri konsekuensi
yang timbul akibat pelanggaran pemali berupa penyakit yaitu pada bagian
perut, kaki, dan pundak dialami oleh P3 dan P5.
17

Beda halnya dengan P1 dan P4 yang belum pernah menyaksikan konsekuensi


yang timbul akibat pelanggaran pemali, baik itu berupa penyakit ataupun gagal
panen. Motivasi kelima partisipan untuk percaya dan taat terhadap pemali yaitu
karena takut terhadap konsekuensi yang akan timbul baik itu berupa penyakit
dan kejadian-kejadian buruk lainnya. Pesan dari orang tua menjadi sebuah
peringatan kepada kelima partisipan untuk tidak melanggar pemali.

Bagi kelima partisipan pesan dari orang tua terkait dengan pemali, menjadi
tanda atau bukti bahwa mereka yang dalam hal ini adalah orang tua para
partisipan pernah menyaksikan dampak tersebut, sehingga pemali menjadi
sebuah pesan dari orang tua kepada anak–anaknya. Keyakinan serta
pandangan tersebut semakin diperkuat oleh pengalaman partisipan yang
pernah menyaksikan dan mengalami dampak secara langsung, sehingga bagi
mereka pesan tersebut benar.

Beberapa contoh-contoh pemali yang berbeda yang diutarakan oleh kelima


partisipan. Bagi P, pemali mengambil benda–benda orang yang telah
meninggal baik itu benda yang dikenakan pada badan orang yang telah
meninggal maupun benda yang diletakkan di dalam makam, baginya benda-
benda orang yang telah meninggal tidak boleh dibawa ke dalam kehidupan
orang yang hidup, pemali selingkuh dengan saudara kandung dan selingkuh
dengan orang tua. Adapun contoh pemali lainnya yang diutarakan P2 yaitu
pemali memasak telur ataupun menggoreng telur, serta mengupas kelapa
menjelang musim panen padi. Contoh lainnya yang diutarakan oleh P3, yaitu
pemali melakukan kegiatan yang berkaitan dengan acara kedukaan dan acara
syukuran tanpa adanya peristiwa yang nyata menggambarkan kedua peristiwa
tersebut. Contoh yang berbeda diutarakan oleh P4, yaitu pemali menyapu di
dalam rumah pada malam hari, pemali bertopang dagu, pemali tidur pada jam
lima sore ke atas. Contoh lain diutarakan oleh partisipan kelima, yaitu pemali
memakan kepala babi, pemali bagi sepasang suami istri memotong ayam
bersama–sama, pemali memukul anak menggunakan tangkai pohon bambu,
dan pemali memakan daging anjing.
18

Semua partisipan meyakini bahwa pelanggaran terhadap pemali akan


menimbulkan dampak, oleh karena itu harus berujung pada sebuah pengakuan
sebagai wujud penyesalan dan pertobatan serta memohon pengampunan
kepada Tuhan. Tindakan tersebut merupakan sebuah upaya yang diyakini
partisipan dapat menyembuhkan mereka dari penyakit.

Pembahasan

Fokus penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana pemahaman dan


penggunaan pemali oleh masyarakat Toraja dalam kaitannya dengan perilaku
kesehatan. Untuk memahami proses tersebut, penting untuk mengetahui
terlebih dahulu tentang perilaku kesehatan. Menurut Leventhal (dalam Ogden,
2007) faktor–faktor yang memprediksikan perilaku sehat yaitu faktor sosial,
meliputi norma-norma sosial, meniru, penguatan, dan belajar. Norma sosial
bersifat mengikat, setiap norma yang terdapat dalam suatu masyarakat
merupakan nilai-nilai sosial yang harus ditaati dan dipatuhi oleh masyarakat
setempat. Perilaku yang ditunjukkan oleh kedua orang tua dan lingkungan
terdekat mereka yang mencerminkan ketaatan terhadap pemali, perlahan-lahan
mereka tiru dan aplikasikan dalam kehidupan sehari–hari, hingga pada akhirnya
menjadi sebuah nilai yang menjadi acuan mereka dalam berperilaku.

Faktor kedua faktor emosional, meliputi rasa takut, cemas, dan depresi.
Faktor emosional akan mengalami perubahan jika merasa dirinya dalam
bahaya, sehingga menimbulkan emosi-emosi negatif. Rasa takut dan cemas
timbul dalam diri partisipan saat membayangkan kemungkinan-kemungkinan
buruk yang akan terjadi pada diri mereka jika melanggar pemali. Emosi
tersebut timbul saat mereka berada dalam situasi berbahaya, yaitu sebuah
situasi yang dihadapkan pada partisipan jika dilakukan maka terjadi
pelanggaran pemali. “Rasa takut, kalau diperbuat itu nanti betul-betul terjadi
bagaimana mi kita nanti”. Emosi negatif berupa rasa takut dan cemas akan
hilang jika partisipan mengambil sebuah tindakan yaitu tidak melanggar pemali,
dengan sebuah keyakinan yang mereka pegang bahwa jika mereka taat dan
tidak melanggar pemali maka dampak buruk tidak akan menimpa mereka.
19

Menurut Leventhal dkk (1980) jika ketakutan memainkan peranan dalam


tindakan jangka panjang kemungkinan karena memiliki pengaruh pada ingatan.

Faktor ketiga yaitu persepsi simtom–simtom, meliputi pandangan setiap


individu terhadap gejala-gejala suatu penyakit, banyak hal yang berperan dalam
membentuk persepsi individu salah satunya yaitu kognisi. Pengalaman di masa
lalu serta pesan dari orang tua mengenai pemali menjadi hal yang penting,
karena pengalaman serta pesan yang mereka dapatkan dari orang tua menjadi
pertimbangan bagi mereka untuk mempersepsikan gejala suatu penyakit.
Faktor keempat yaitu keyakinan atau kepercayaan, keyakinan setiap individu
terhadap suatu penyakit dapat berdampak terhadap perkembangan penyakit
serta perilaku mereka. Hal tersebut tercermin pada partisipan yang memiliki
pengalaman pernah merasakan sakit pada bagian kaki, perut, dan bahu,
dengan meyakini bahwa penyakit tersebut timbul akibat melanggar pemali,
sehingga bagi mereka penyakit yang timbul akibat pelanggaran pemali tidak
dapat disembuhkan dengan bantuan medis berupa obat-obatan melainkan
dengan pengakuan. Pengalaman tersebut menjadi sebuah bukti pembenaran
terhadap pesan yang diajarkan oleh orang tua mereka “ Karena saya sudah
coba to, na benar-benar mau ada akibatnya ’’.

Menurut Carver, Scheier, Vohs dan Baumeister (dalam Wit & Ridder, 2006)
istilah regulasi diri sering digunakan untuk mengacu pada upaya manusia untuk
mengubah pikiran, perasaan, keinginan, dan tindakan, dalam mencapai tujuan
mereka. Menurut Hagger dan Orbell (wearden & Peters, 2008) model regulasi
diri memberikan kerangka untuk membantu memahami peran faktor kognitif
dan persepsi dalam menanggapi dan mengelola berbagai penyakit kronis dan
ancaman lain terhadap kesehatan.

Keterkaitan antara pemali dengan perilaku kesehatan dapat dijelaskan


dengan model regulasi diri dari Leventhal, terdiri dari tiga tahap yaitu
interpretasi, koping, dan penilaian. Tahap yang pertama yaitu tahap dimana
individu menginterpretasikan gejala suatu penyakit. Semua partisipan meyakini
bahwa penyebab timbulnya penyakit tertentu diakibatkan pelanggaran terhadap
pemali. Salah satu contoh jenis penyakit yang diyakini oleh partisipan dapat
20

timbul jika mencampur daging yang berasal dari acara kedukaan yaitu daging
babi dan kerbau dengan daging yang berasal dari acara syukuran yaitu daging
ayam dan daging babi, jika daging tersebut dicampur maka akan menyebabkan
timbulnya penyakit ayan. Informasi tersebut mereka dapatkan melalui pesan
yang disampaikan oleh orang tua partisipan. Persepsi terhadap sebuah gejala
penyakit memengaruhi bagaimana seorang individu menafsirkan sebuah
penyakit. Konsekuensi berupa penyakit tidak hanya berlaku pada pemali
tersebut, namun bagi partisipan hampir semua pelanggaran pada contoh
pemali lainnya dapat menimbulkan penyakit. “Sebab kita tidak lihat itu kita
kenna’ apakah mata kita buta, apakah kita pincang, apakah perut kita bengkak,
banyak macam”.

Hasil dari pengolahan informasi menurut model regulasi diri (Benyamini,


Gozlan, & Kokia, 2004) adalah representasi kognitif terhadap ancaman
kesehatan (identitas, penyebab, konsekuensi, rentang waktu, dan pengobatan)
serta respons emosional berupa takut dan cemas. Rasa takut yang timbul
pada diri partisipan, berlandaskan pada sebuah keyakinan yang mereka
pegang bahwa jika melanggar pemali, maka dampak yang akan timbul
menimpa mereka yaitu berupa penyakit. Selain itu, rasa takut terhadap penyakit
yang akan timbul yang dapat berujung pada kematian, menjadi landasan
timbulnya munculnya emosi-emosi negatif. “ Ada rasa takut, takut nanti kita
sakit atau kita mati”. Untuk mengatasi ancaman terhadap kesehatan serta untuk
menurunkan respons emosi, maka partisipan terdorong untuk melakukan
sebuah upaya guna mencegah dari penyakit serta meningkatkan kesehatan
mereka yaitu dengan taat terhadap pemali.

Bagi partisipan penyakit yang timbul akibat pelanggaran pemali, tidak


dapat disembuhkan dengan bantuan medis, sehingga upaya yang dilakukan
ialah mengadakan sebuah pengakuan sebagai bentuk penyesalan dan
pertobatan serta memohon ampun kepada Tuhan. “ Iya kalau itu terjadi kita itu
mulai koreksi diri, mungkin ada pelanggaran pemali yang saya perbuat ini. Kita
pergi sama orang yang dituakan itu di dalam masyarakat, tanya-tanya saya
pernah melanggar pemali apa yang harus saya perbuat.
21

Di situ kita dikasih tahu, pergi di tongkonan mengaku di tongkonan bahwa ini
tidak saya sengaja, tapi ini kelalaian saya, saya perbuat saya mengaku mohon
Tuhan dengarkan doa saya”.

Semua partisipan meyakini bahwa upaya yang mereka lakukan untuk


menghindarkan diri atau pencegahan dari konsekuensi berupa penyakit yaitu
dengan percaya dan taat terhadap pemali. Bagi mereka taat terhadap pemali
merupakan sebuah tindakan yang efektif yang dapat mencegah timbulnya
penyakit yang akan menimpa diri mereka, yang kemudian mereka terapkan
dalam kehidupan sehari-hari “ Memang itu sudah pengalaman, orang yang taat
kepada pemali-pemali itu banyak manfaatnya, tapi orang yang sudah tidak
menghiraukan pemali lagi, itu nampak juga dalam hidupnya itu, pasti ada
hukum karmanya itu”. Bagi partisipan tindakan tersebut efektif untuk mencegah
penyakit, sehingga mereka menerapkannya guna menjaga kondisi mereka
untuk tetap sehat dan mencegah timbulnya penyakit. Keyakinan dan tindakan
tersebut kemudian mereka teruskan dan ajarkan kepada anggota keluarga.

Contoh-contoh pemali yang disebutkan oleh partisipan, kebanyakan


mengacu kepada mayat. Hal tersebut diduga karena di dalam adat Toraja
sendiri menganggap bahwa mereka yang telah meninggal masih hidup dan
dihormati. Pernyataan dari salah satu partisipan yang mengatakan bahwa
barang orang yang telah meninggal tidak boleh di bawah ke dalam dunia orang
yang masih hidup, menandakan bahwa segala sesuatu yang menyangkut
mayat khususnya benda-benda milik orang yang telah meninggal, pantang jika
disentuh karena dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya. Penghormatan
kepada hal-hal yang berbahaya merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh
partisipan agar tidak terkontaminasi dengan penyakit yang dapat mengancam
kesehatan mereka.
22

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan, maka diperoleh


kesimpulan mengenai pemahaman dan penggunaan pemali oleh masyarakat
Toraja dalan kepentingannya dengan perilaku kesehatan sebagai berikut.
Pemali merupakan sebuah ajaran yang diturunkan oleh nenek moyang orang
Toraja, berisikan larangan-larangan pada perbuatan dan objek tertentu, jika
dilanggar dapat menimbulkan dampak berupa penyakit, gagal panen, serta
kejadian-kejadian buruk lainnya. Bagi kelima partisipan, pemali mempunyai
tujuan dan manfaat yang baik yaitu untuk menghindarkan mereka dari
kemalangan-kemalangan khususnya penyakit, serta untuk mengatur kehidupan
mereka untuk menjadi lebih baik. Kelima partisipan memiliki pemahaman
bahwa ketidaktaatan terhadap pemali dapat menimbulkan dampak berupa
penyakit, sehingga upaya yang mereka lakukan untuk mencegah timbulnya
dampak tersebut yaitu dengan percaya dan taat terhadap pemali. Rasa takut
dan cemas terhadap penyakit yang akan timbul kerap kali mewarnai kehidupan
partisipan. Hal tersebut kemudian menjadi motivasi partisipan untuk taat dan
patuh terhadap pemali.

Pemahaman partisipan mengenai penyakit yang timbul akibat


pelanggaran pemali, didasari dengan sebuah pandangan pribadi mereka yang
tergambarkan lewat pengalaman serta informasi yang mereka dapatkan dari
orang-orang terdekat. Berawal dari pemahaman tersebut kemudian mendorong
mereka untuk menerapkannya. Tindakan tersebut merupakan sebuah upaya
yang membuat mereka keluar dari kondisi takut dan cemas. Pandangan
partisipan terhadap sebuah penyakit khususnya menjadi penyebab timbulnya
penyakit, menjadi dasar perkembangan penyakit itu sendiri serta menjadi acuan
bagi individu untuk memilih sebuah langkah yang dapat mengobati terlebih
untuk mencegah timbulnya penyakit.
23

Dari hasil penelitian yang diperoleh, saran yang dapat diberikan peneliti dari
penelitian ini yaitu :

1. Bagi peneliti selanjutnya yaitu untuk melakukan penelitian dengan


memfokuskan pada alasan logis atau ilmiah terkait dengan hal-hal yang
dijadikan sebagai objek pemali, selain hal tersebut peneliti selanjutnya
dapat mengkaji lebih dalam terkait dengan pemali menjelang pernikahan,
dan pemali khusus untuk upacara kedukaan.
2. Bagi pembaca secara umum hasil penelitian ini dapat memberikan
gambaran mengenai pemahaman dan penggunaan pemali oleh
masyarakat Toraja dalam kaitannya dengan perilaku kesehatan.
24

Daftar Pustaka

Benyamini, Y., Gozlan, M., & Kokia, E. (2004). On the Self-Regulation of a


Health Threat:Cognitions, Coping, and Emotions Among Women
Undergoing Treatment for Infertility. Cognitive Therapy and Research, 28,
5. Diakses Agustus, 06, 2014 dari :
http://link.springer.com/article/10.1023/B%3ACOTR.0000045566.97966.22

Chu, M. P. (2009). Chinese cultural taboos that affect their language and
behavior choices. Asian culture and history, 1, 2. Diakses Agustus 16,
2013, dari www.ccsenet.org/journal.html.
Conner, M. (2002). Health behaviors. University of Leeds UK.

Duli, A., & Hasanuddin. ( 2003). Toraja Dulu dan Kini. Makassar : Pustaka
Refleksi.
Evans, W. R., Averi, G. P., & Pederson, V. P. (1999). Taboo topics: Cultural
restraint on teaching social issue. The social Studies, 90, 5. Diakses
Agustus 07, 2014 dari
http://web.b.ebscohost.com/ehost/detail/detail?sid=9e3b00b0-1140-4925-
86f80e9d2d8e80d0%40sessionmgr111&vid=0&hid=112&bdata=JnNpdGU9
ZWhvc3QtbGl2ZQ%3d%3d#db=pbh&AN=2215244
Foster. G. M., & Anderson, B. A. (1986). Antropologi Kesehatan. Jakarta :
Universitas Indonesia.
Freud, S.(2002). Totem and Tabu. Yogyakarta : Jendela.
Herdiansyah, H. (2010). Metodologi penelitian kualitatif. Jakarta: Salemba
Humanika
Imelda, D. (2010). Pemali dan Logikanya. Diakses Agustus 19, 2013 dari:
http://www.google.com/#hl=en&q=pamali+dan+logikanya+daisy+imelda&s
ell=1&s
Kalua, A, R. (2010). Toraja Tallu Lembangna. Jakarta : Keluarga Besar Tallu
Lembangna.

Kamal, S. M. (2009). Taboos in Ancient Egypt. 3rd IRT International scientific


conference integrated relational tourism–territories and development in the
mediterranean area. Diakses Januari 23, 2014 dari :
http://www.arces.it/public/Pubblicazioni_Ricerche/Turismo_Relazionale/Irt_c
onference/Paper%20Book/Vol%201/Paper%20Book_Vol1_12.pdf

Labuhari, T. M. U. (1997). Budaya Toraja. Jakarta : Yayasan Maraya.


25

Leventhal, H., Meyer, D., & Nerenz, D. (1980). The common sense .
representation of illnes danger. Medical Psychology, 11. Diakses Mei 27,
2014 dari :http://www.academia.edu/259452/The_Common_Sense_Repres
entation_of_Illness_Danger

Notoatmodjo, S. (2005). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasinya. Jakarta :


PT Rineka Cipta.

Ogden, J. ( 2007). Health Psychology (Fourth edition). New York : Two Penn
Plaza.

Steiner, F. (1956). Taboo. Australia : Penguin Books.


Wearden, A., & Peters, S. (2008). Therapeutic techniques for interventions
based on Leventhal’s common sense model. Health Psychology, 13, 189-
193. Diakses Agustus 06, 2014 dari : www.bpsjournals.co.uk
Wikipedia.(2013). Suku Toraja. Diakses Agustus 16, 2013, dari:
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja

You might also like