Professional Documents
Culture Documents
M01664
M01664
Sartika Pongsilurang
Aloysius L. S. Soesilo
Chr. Hari Soetjiningsih
Fakultas Psikologi – Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
Abstract
Pendahuluan
Kajian Teoritik
Berikut akan dipaparkan teori-teori yang menjadi acuan dalam penelitian ini,
meliputi teori tentang pemali, perilaku kesehatan, regulasi diri, aluk todolo serta
penjelasan tentang suku Toraja.
Pemali
Pemali sering disebut dengan istilah taboo, berasal dari kata Polinesia.
Farberow (dalam Evans, Averi, & Pederson, 1999) mengatakan bahwa dalam
kata taboo terkandung makna yakni diperbolehkan dan dilarang, yang harus
dan tidak boleh dilakukan, dimana pengembangannya dilakukan oleh
masyarakat untuk para anggotanya dengan tujuan untuk melindungi diri dan
sebagai motivasi untuk meningkatkan tradisi, sehingga dalam pemali
terkandung konsep menjaga. Pemali mempunyai dua makna yang berlawanan
arah, pada satu sisi ia berarti kudus dan suci, tetapi di sisi lain berarti aneh,
berbahaya, terlarang, dan kotor.
Menurut Freud (2002) yang sedang kita hadapi adalah suatu bangsa primitif
yang menerapkan seperangkat batasan atas diri mereka sendiri, ini dan itu
dilarang tanpa alasan yang jelas. Mereka (bangsa primitif) juga tidak pernah
mempertanyakan hal ini, sebab kepatuhan mereka pada batasan-batasan ini
adalah sesuatu hal yang wajar bagi mereka dan meyakini bahwa suatu
pelanggaran secara otomatis akan mendapatkan hukuman yang lebih berat.
Sedangkan menurut Kamal (2009) pemali adalah larangan sosial yang kuat,
yang berkaitan dengan setiap area kegiatan manusia atau kebiasaan sosial
yang dinyatakan sebagai suci dan terlarang. Orang Mesir kuno percaya bahwa
pemali ditanamkan oleh dewa khususnya pada benda, tindakan, bangunan, dan
bahkan individu. Mereka meyakini bahwa hanya pencipta yaitu dewa sendiri
atau raja yang dapat mengubah pemali, sehingga bagi masyarakat Mesir kuno
pemali merupakan gabungan dari agama, ritual larangan, dan penghindaran
yang memengaruhi semua aspek kehidupan mereka.
4
Menurut Freud (2002) objek-objek dari pemali terdiri dari tiga bagian, yang
pertama yaitu pemali langsung yang dimaksudkan untuk melindungi orang
penting meliputi kepala suku, pendeta, dan barang-barang dari mara bahaya,
menjaga kaum yang lemah yaitu perempuan dan anak-anak dari mana
(pengaruh magis) yang kuat, melindungi diri dari bahaya yang muncul akibat
memakan makanan tertentu, mengamankan manusia dari murka atau kuasa
dewa-dewa dan roh–roh, mengamankan bayi yang belum lahir dan anak kecil
yang memiliki hubungan emosi yang khusus dengan orang tuanya dari akibat
tindakan-tindakan tertentu, dan yang lebih penting pengaruh-pengaruh
makanan. Objek yang kedua, yaitu pemali yang diberlakukan untuk melindungi
kekayaan, alat–alat, dll, milik seseorang dari curian.
5
Objek yang ketiga, pemali yang umum diberlakukan di suatu wilayah yang
luas, sama dengan larangan gerejawi dan bisa berlaku lama. Menurut Freud
(2002) terdapat beberapa cakupan dari pemali, yaitu sifat suci (atau kotor) dari
orang atau benda, jenis larangan yang diakibatkan oleh sifat tersebut, dan
kesucian (atau kekotoran) yang diakibatkan oleh pelanggaran terhadap
larangan tersebut.
Perilaku Kesehatan
Menurut Aguirre (dalam Foster & Anderson, 1986) pada umumnya tindakan
preventif merupakan tingkahlaku individu yang secara logis mengikuti konsep
tentang penyebab penyakit, sambil menjelaskan mengapa orang jatuh sakit,
sekaligus mengajarkan tentang apa yang harus dilakukan untuk menghindari
penyakit tersebut. Jika masyarakat percaya bahwa penyakit terjadi karena
dikirim oleh dewa-dewa atau leluhur yang marah untuk menghukum suatu
dosa, prosedur yang nyata untuk mencegahnya adalah pengakuan dosa,
observasi yang cermat tehadap pantangan-pantangan sosial dan pelaksanaan
yang seksama atas ritus-ritus serta upacara-upacara yang ditujukan terhadap
dewa-dewa dan para leluhur.
Menurut Carver, Scheier, Vohs dan Baumeister (dalam Wit & Ridder,
2006) istilah regulasi diri sering digunakan untuk mengacu pada upaya manusia
mengubah pikiran, perasaan, keinginan, dan tindakan dalam mencapai tujuan
mereka. Leventhal (dalam Ogden, 2007) menjabarkan model regulasi diri ke
dalam tiga tahap yaitu interpretasi, koping, dan penilaian. Tahap pertama yaitu
interpretasi, individu menginterpretasikan gejala suatu penyakit yang timbul
melalui dua jalur, yaitu persepsi gejala (symptom perception) dan pesan sosial
(social messages). Persepsi gejala (symptom perception) dimana individu
memahami dan menilai sebuah gejala berdasarkan pengalaman mereka, selain
itu informasi tentang sebuah penyakit diperoleh oleh individu dari lingkungan
sosial (keluarga, teman, tetangga, media). Persepsi terhadap gejala penyakit
memengaruhi bagaimana seorang individu menafsirkan sebuah penyakit.
Persepsi dipengaruhi oleh mood dan kognisi. Interpretasi individu terhadap
gejala penyakit atau masalah membentuk sebuah representasi terhadap
ancaman bagi kesehatan meliputi, identitas mencakup pemberian label pada
penyakit, penyebab dari penyakit, konsekuensi atau akibat yang ditumbulkan,
rentang waktu, dan pengobatan, selain hal tersebut, interpretasi individu
terhadap sebuah penyakit memunculkan atau menimbulkan respon emosional
terhadap ancaman kesehatan berupa rasa takut, cemas, dan depresi.
Koping terdiri dari dua kategori besar yaitu, pendekatan koping (mis. pergi ke
dokter, beristirahat, berbicara dengan kerabat terkait dengan emosi atau
perasaan), penghindaran koping (mis. Penolakan atau menyangkal, harapan
kosong). Saat menghadapi penyakit, seseorang akan mengembangkan strategi
koping untuk kembali pada keadaan yang sehat dan normal.
Taylor dan rekannya (dalam Ogden, 2007) menguraikan tiga proses yang
dilakukan seseorang untuk menyesuaikan diri dalam kondisi yang mengancam
atau berbahaya (termasuk penyakit) meliputi mencari arti atau makna, mencari
keahlian, dan proses peningkatan atau perbaikan diri–saya lebih baik dari
banyak orang. Ketiga proses tersebut adalah inti untuk mengembangkan dan
mempertahankan khayalan, bahwa khayalan merupakan proses adaptasi
kognitif. Pada tahap yang terakhir orang akan mengevaluasi strategi koping
yang mereka gunakan apakah efektif atau sebaliknya. Jika dinilai efektif, maka
strategi tersebut tetap digunakan dan diteruskan, begitupun dengan
sebaliknya jika strategi tersebut dinilai tidak efektif maka orang akan termotivasi
untuk mencari alternatif lainnya.
9
Gambaran ancaman
kesehatan
• Identitas
• Penyebab
• Konsekuensi
• Rentang waktu
•Pengobatan
Respon emosional
terhadap ancaman
kesehatan
• Takut
• Kecemasan
• Depresi
Suku Toraja
Sebelum berganti nama, Toraja dikenal dengan tondok lepongan bulan
matarik allo. Pada umumnya suku Toraja menetap di pegunungan bagian utara
Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 650.000 jiwa,
dengan 450.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja.
Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut
Islam dan kepercayaan yang dikenal dengan aluk to dolo. Kata Toraja berasal
dari bahasa Bugis, to riaja yang berarti orang yang berdiam di negeri atas.
Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909.
Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan
ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang
penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama
beberapa hari. Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom.
Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada
awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama
Kristen. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi
budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi
masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor
pariwisata yang terus meningkat. Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara
jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-
20.
Kata Toraja pertama kali digunakan oleh penduduk dataran rendah untuk
memanggil penduduk dataran tinggi. Pada awalnya suku Toraja lebih banyak
memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar seperti suku Bugis, suku
Makassar, dan suku Mandar yang menghuni sebagian besar dataran rendah di
Sulawesi daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris
Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di
wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya
pariwisata di Tana Toraja.
11
Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama, yaitu suku
Bugis (kaum mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar
(pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku Toraja
yang merupakan petani di dataran tinggi (Wikipedia, 2012).
Aluk Todolo
Di kala masyarakat Toraja belum mengenal agama samawi, mereka
mempercayai suatu keyakinan yang dikenal dengan aluk todolo. Aluk todolo
sering pula disebut dengan nama alukta, singkatan dari aluk todolo. Aluk dalam
bahasa Toraja artinya sama dengan agama, todolo dalam bahasa Toraja
artinya sama dengan nenek semula. Menurut kepercayaan aluk todolo, Tuhan
yang tinggi ialah Puang Matua, pencipta manusia pertama dan segala isinya.
Totu Mampata artinya yang menciptakan manusia dan yang dimaksudkan ialah
Puang Matua. Dalam bahasa sehari-hari seringkali orang berkata dalam
merencanakan sesuatu: “kenaeloranni Totu Mampata” artinya jika dikehendaki
pencipta kita, ialah Tuhan Allah.
Manusia diciptakan oleh Totu Mampata atau Puang Matua untuk hidup
bersama. Agar kehidupan manusia teratur, Puang Matua menurunkan aluk
todolo dengan segala persyaratan hukumnya. Pengawasan dan
pertanggungjawab atas tertibnya kehidupan masyarakat, Puang Matua
memberi kuasa Puang Titanan Tallu (Tri Maha Tunggal) yang terdiri dari puang
banggai rante ialah dewata yang menguasai bumi dan isinya, tuang tulak
padang ialah dewata yang menguasai isi bumi dan air, gaung tikembong
dewata yang menguasai angkasa angin dan halilintar. Dewata adalah makhluk
halus yang diberi kuasa besar oleh Puang Matua untuk mengawasi manusia
dalam hidupnya di dunia ini dan menghukum siapa saja yang melanggar
perintah Puang Matua. Manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan dijaga oleh
roh halus sehingga jika dirusak maka dewata akan memberi hukuman
malapetaka di dunia (Labuhari, 1997).
12
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian ini
melibatkan lima partisipan, yang terdiri dari dua laki-laki dan tiga perempuan.
Kelima partisipan berasal dan tinggal di kabupaten Toraja Utara, provinsi
Sulawesi Selatan. Adapun karakteristik partisipan yaitu salah satu dari
partisipan merupakan ketua adat dalam lingkungan Toraja, dikarenakan ketua
adat merupakan orang yang lebih tahu mengenai latar belakang dan seluk
beluk tentang pemali di Toraja. Partisipan merupakan masyarakat biasa yang
masih meyakini dan menerapkan pemali dalam kehidupan sehari-hari. Metode
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu wawancara dan
observasi. Dilakukan wawancara mendalam terhadap semua partisipan, selain
itu peneliti melihat dan mengamati perilaku yang nampak dari partisipan. Data
yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisa dengan menggunakan teknik
analisa data kualitatif seperti yang diungkapkan oleh Miles dan Huberman
(dalam Herdiansyah, 2010) yang terdiri dari pengumpulan data, reduksi data,
display data, kesimpulan.
15
Hasil Penelitian
Seperti yang telah dijelaskan pada paragraf di atas, bahwa semua partisipan
memperoleh ajaran tentang pemali sejak mereka kecil. Semua partisipan
memahami dan menerapkan pemali sesuai dengan konteksnya, ketika mereka
mulai beranjak remaja dan dewasa. P1 percaya terhadap pemali dan
menerapkannya sejak usia 25 tahun, P2 dan P3 percaya terhadap pemali sejak
usia 18 dan 15 tahun, sedangkan P4 dan P5 percaya dan menerapkan pemali
sejak usia 13 tahun. Pada usia tersebut semua partisipan mulai memahami baik
itu tujuan maupun manfaat pemali bagi kehidupan mereka hingga saat ini. Bagi
mereka pemali mempunyai tujuan yang baik, yaitu untuk menghindarkan
mereka dari penyakit dan kejadian–kejadian buruk lainnya serta untuk
mengatur kehidupan mereka menjadi lebih baik. Berawal dari pemahaman
tersebut, partisipan kemudian menerapkan pemali dalam kehidupan sehari-hari.
Maha Esa (Puang Matua). Mereka juga percaya bahwa pada zaman nenek
moyang orang Toraja, terdapat pengantara yang menjadi penghubung manusia
dengan Tuhan yaitu deata, bagi mereka deata mempunyai kedudukan yang
sama dengan Tuhan Yesus. Pernyataan tersebut tampak berbeda dengan
pernyataan yang diungkapkan oleh P2. Menurut P2 keyakinan nenek moyang
orang Toraja pada zaman dahulu yaitu keyakinan tertuju kepada setan,
sehingga ia percaya bahwa keyakinan tersebut menjadi landasan nenek
moyang orang Toraja untuk membentuk dan menetapkan pemali.
Bagi kelima partisipan pesan dari orang tua terkait dengan pemali, menjadi
tanda atau bukti bahwa mereka yang dalam hal ini adalah orang tua para
partisipan pernah menyaksikan dampak tersebut, sehingga pemali menjadi
sebuah pesan dari orang tua kepada anak–anaknya. Keyakinan serta
pandangan tersebut semakin diperkuat oleh pengalaman partisipan yang
pernah menyaksikan dan mengalami dampak secara langsung, sehingga bagi
mereka pesan tersebut benar.
Pembahasan
Faktor kedua faktor emosional, meliputi rasa takut, cemas, dan depresi.
Faktor emosional akan mengalami perubahan jika merasa dirinya dalam
bahaya, sehingga menimbulkan emosi-emosi negatif. Rasa takut dan cemas
timbul dalam diri partisipan saat membayangkan kemungkinan-kemungkinan
buruk yang akan terjadi pada diri mereka jika melanggar pemali. Emosi
tersebut timbul saat mereka berada dalam situasi berbahaya, yaitu sebuah
situasi yang dihadapkan pada partisipan jika dilakukan maka terjadi
pelanggaran pemali. “Rasa takut, kalau diperbuat itu nanti betul-betul terjadi
bagaimana mi kita nanti”. Emosi negatif berupa rasa takut dan cemas akan
hilang jika partisipan mengambil sebuah tindakan yaitu tidak melanggar pemali,
dengan sebuah keyakinan yang mereka pegang bahwa jika mereka taat dan
tidak melanggar pemali maka dampak buruk tidak akan menimpa mereka.
19
Menurut Carver, Scheier, Vohs dan Baumeister (dalam Wit & Ridder, 2006)
istilah regulasi diri sering digunakan untuk mengacu pada upaya manusia untuk
mengubah pikiran, perasaan, keinginan, dan tindakan, dalam mencapai tujuan
mereka. Menurut Hagger dan Orbell (wearden & Peters, 2008) model regulasi
diri memberikan kerangka untuk membantu memahami peran faktor kognitif
dan persepsi dalam menanggapi dan mengelola berbagai penyakit kronis dan
ancaman lain terhadap kesehatan.
timbul jika mencampur daging yang berasal dari acara kedukaan yaitu daging
babi dan kerbau dengan daging yang berasal dari acara syukuran yaitu daging
ayam dan daging babi, jika daging tersebut dicampur maka akan menyebabkan
timbulnya penyakit ayan. Informasi tersebut mereka dapatkan melalui pesan
yang disampaikan oleh orang tua partisipan. Persepsi terhadap sebuah gejala
penyakit memengaruhi bagaimana seorang individu menafsirkan sebuah
penyakit. Konsekuensi berupa penyakit tidak hanya berlaku pada pemali
tersebut, namun bagi partisipan hampir semua pelanggaran pada contoh
pemali lainnya dapat menimbulkan penyakit. “Sebab kita tidak lihat itu kita
kenna’ apakah mata kita buta, apakah kita pincang, apakah perut kita bengkak,
banyak macam”.
Di situ kita dikasih tahu, pergi di tongkonan mengaku di tongkonan bahwa ini
tidak saya sengaja, tapi ini kelalaian saya, saya perbuat saya mengaku mohon
Tuhan dengarkan doa saya”.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang diperoleh, saran yang dapat diberikan peneliti dari
penelitian ini yaitu :
Daftar Pustaka
Chu, M. P. (2009). Chinese cultural taboos that affect their language and
behavior choices. Asian culture and history, 1, 2. Diakses Agustus 16,
2013, dari www.ccsenet.org/journal.html.
Conner, M. (2002). Health behaviors. University of Leeds UK.
Duli, A., & Hasanuddin. ( 2003). Toraja Dulu dan Kini. Makassar : Pustaka
Refleksi.
Evans, W. R., Averi, G. P., & Pederson, V. P. (1999). Taboo topics: Cultural
restraint on teaching social issue. The social Studies, 90, 5. Diakses
Agustus 07, 2014 dari
http://web.b.ebscohost.com/ehost/detail/detail?sid=9e3b00b0-1140-4925-
86f80e9d2d8e80d0%40sessionmgr111&vid=0&hid=112&bdata=JnNpdGU9
ZWhvc3QtbGl2ZQ%3d%3d#db=pbh&AN=2215244
Foster. G. M., & Anderson, B. A. (1986). Antropologi Kesehatan. Jakarta :
Universitas Indonesia.
Freud, S.(2002). Totem and Tabu. Yogyakarta : Jendela.
Herdiansyah, H. (2010). Metodologi penelitian kualitatif. Jakarta: Salemba
Humanika
Imelda, D. (2010). Pemali dan Logikanya. Diakses Agustus 19, 2013 dari:
http://www.google.com/#hl=en&q=pamali+dan+logikanya+daisy+imelda&s
ell=1&s
Kalua, A, R. (2010). Toraja Tallu Lembangna. Jakarta : Keluarga Besar Tallu
Lembangna.
Leventhal, H., Meyer, D., & Nerenz, D. (1980). The common sense .
representation of illnes danger. Medical Psychology, 11. Diakses Mei 27,
2014 dari :http://www.academia.edu/259452/The_Common_Sense_Repres
entation_of_Illness_Danger
Ogden, J. ( 2007). Health Psychology (Fourth edition). New York : Two Penn
Plaza.