Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 10

1.

Pengertian Warisan
Warisan berasal dari bahasa Arab Al-miirats, Maknanya menurut bahasa ialah ‘berpindahnya
sesuatu dari seseorang kepada orang lain’. Atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Warisan dapat berupa harta peninggalan, pusaka, surat-surat wasiat.
Dikalangan faradhiyun dikenal juga istilah tirkah untuk warisan. Pengertian menurut istilah
dikalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan bahwa tirkah adalah sekalian yang
ditinggalkan mayit baik berbentuk harta maupun hak-hak yang lain selain harta.
Selanjutnya dari uraian-uraian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa harta warisan
adalah harta yang telah ditinggalkan oleh si mayit yang akan dibagikan kepada semua ahli waris yang
berhak menerimanya setelah kematiannya, dengan syarat setelah dikeluarkan biaya keperluan si
mayit dengan segala yang ada hubungan dengan harta tersebut dengan orang lain, seperti wasiat
ataupun hutang-piutang.

2.Rukun warisan
Rukun waris itu ada tiga macam, yaitu :

a. Waris (ahli waris)

Waris adalah orang yang akan mewarisi harta peninggalan lantaran mempunyai hubungan
sebab-sebab untuk mempusakai seperti adanya ikatan perkawinan, hubungan darah
(keturunan) yang berhubungan hak perwalian dengan si muwaris.

b. Muwaris (yang mewariskan)

Muwaris adalah orang yang meninggal dunia, baik mati hakiki maupun mati hukmi. Mati
hukmi ialah suatu kematian yang dinyatakan oleh keputusan hakim atas dasar beberapa
sebab, walaupun ia sesungguhnya belum mati sejati.

c. Maurusun atau tirkah (harta peninggalan)

Maurus adalah harta benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang akan
diwarisi kepada ahli waris setelah diambil biaya-biaya perawatan, melunasi hutang-hutang
dan melaksanakan wasiat. Harta peninggalan ini oleh para faradhiyun disebut juga dengan
tirkah atau turats.

3. Syarat-syarat Mendapat Warisan


Syarat mendapat warisan ada tiga macam, yaitu:

1. Matinya muwaris, baik mati secara hakiki atau secara hukmi, maka ia dihukumkan mati
secara hakiki.
2. Hidupnya waris setelah matinya muwaris, walaupun hidupnya secara hukum, seperti anak
dalam kandungan, maka secara hukum ia dikatakan hidup.
3. Tidak adanya penghalang untuk memperoleh warisan.
4. Penghalang Kewarisan
Halangan untuk medapatkan kewarisan disebut juga dengan mawani’al-Irs yaitu hal-hal yang
menyebabkan gugurnya hak waris untuk menerima warisan dari harta peninggalan muwaris.

Imam Syafi’i menyebutkan dalam kitabnya al-Umm yang menjadi penghalang ahli waris untuk
mewarisi adalah dengan sebab perbudakan, pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja ataupun
tidak, dan berlainan agama.

5. Ahli waris
Waris adalah orang yang akan mewarisi harta peninggalan lantaran mempunyai hubungan
sebab-sebab untuk mempusakai seperti adanya ikatan perkawinan, hubungan darah
(keturunan) yang berhubungan hak perwalian dengan si muwaris.
Ahli Waris adalah orang-orang yang karena sebab (keturunan, perkawinan/perbudakan) berhak
mendapatkan bagian dari harta pusaka orang yang meninggal dunia.

Macam macam ahli waris


1 . Ahli Waris Dari Golongan Laki-Laki:
1 Anak Laki-laki
2. Cucu Laki-laki (anak laki-laki dari anak laki-laki) dan seterusnya, buyut laki-laki.......
3. Bapak / ayah
4. Kakek (bapaknya bapak) dan seterusnya ke atas
5. Saudara laki-laki sekandung.
6. Saudara laki-laki sebapak.
7. Saudara laki-laki se-ibu.
8. Keponakan laki-laki sekandung (anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung).
9. Keponakan laki-laki sebapak (anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak).
10. Paman sekandung (saudara sekandung bapak).
11. Paman sebapak (saudar sebapak-nya bapak).
12. Sepupu laki-laki sekandung (anak laki-laki paman sekandung).
13. Sepupu laki-laki sebapak ( anak laki-laki paman yang sebapak).
14. Suami.
15. Laki-laki yang memerdekakan budak (al-mu'tiq).

2. Ahli Waris Dari Golongan Perempuan:


1. Anak perempuan.
2. Cucu perempuan (anak perempuan dari anak laki-laki).
3. Ibu / bunda / mama / mami / emak /biyung dan sejenisnya.
4. Nenek dari ibu (ibunya ibu), dan seterusnya ke atas.
5. Nenenk dari bapak (ibunya bapak), dan seterusnya ke atas.
6. Saudara perempuan sekandung.
7. Saudara perempuan sebapak.
8. Saudara perempuan se-ibu.
9. Isteri.
10. Perempuan yang memerdekakan (al-Mu'tiqah).

3. Ulul/Dzawil Arham
Adalah Keluarga Yang Tidak Mendapat Bagian warisan (fard atau 'ashabah) Jika Masih Ada Ahli
Waris Diatas, Mereka terdiri dari:
1. Kakek dari garis ibu (bapaknya ibu).
2. Neneknya ibu (ibu punya bapak punya ibu).
3. Cucu dari anak perempuan; baik jenisnya cucu laki-laki ataupun perempuan.
4. Keponakan perempuan (anak saudara laki-laki sekandung, sebapak ataupun se-ibu).
5. Keponakan perempuan (anak saudara perempuan sekandung atau se-ibu).
6. Paman se-ibu (saudaranya bapak satu ibu lain bapak).
7. Saudaranya kakek se-ibu.
8. Sepupu perempuan (anak dari paman: sekandung, sebapak/se-ibu).
9. Bibi / tante (saudara perempuannya bapak, bibinya bapak, bibinya kakek, seterusnya ke atas.)
10.Mamak dan mami (saudara laki-laki dan perempuan dari ibu; baik sekandung, sebapak, atau se-
ibu).
11. Mamak dan mami-nya bapak, mamak dan mami-nya kakek.
12. Anaknya paman se-ibu, sampai ke bawah.
13. Anaknya bibi walaupun jauh.
14. Anaknya mamak dan mami walaupun jauh.

6. Pembagiannya warisan
Pembagian harta waris dalam islam telah begitu jelas diatur dalam al qur an, yaitu pada surat An
Nisa. Allah dengan segala rahmat-Nya, telah memberikan pedoman dalam mengarahkan manusia
dalam hal pembagian harta warisan. Pembagian harta ini pun bertujuan agar di antara manusia yang
ditinggalkan tidak terjadi perselisihan dalam membagikan harta waris.

Harta waris dibagikan jika memang orang yang meninggal meninggalkan harta yang berguna bagi
orang lain. Namun, sebelum harta waris itu diberikan kepada ahli waris, ada tiga hal yang terlebih
dahulu mesti dikeluarkan, yaitu peninggalan dari mayit:

1. Segala biaya yang berkaitan dengan proses pemakaman jenasa;


2. Wasiat dari orang yang meninggal; dan
3. Hutang piutang sang mayit.

Ketika tiga hal di atas telah terpenuhi barulah pembagian harta waris diberikan kepada keluarga dan
juga para kerabat yang berhak.

Pembagian Harta Waris dalam Islam

Adapun besar kecilnya bagian yang diterima bagi masing-masing ahli waris dapat dijabarkan sebagai
berikut:
Pembagian harta waris dalam islam telah ditetukan dalam al qur an surat an nisa secara gamblang
dan dapat kita simpulkan bahwa ada 6 tipe persentase pembagian harta waris, ada pihak yang
mendapatkan setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga
(1/3), dan seperenam (1/6), mari kita bahas satu per satu

-Pembagian harta waris bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris separoh (1/2):

1. Seorang suami yang ditinggalkan oleh istri dengan syarat ia tidak memiliki keturunan anak laki-laki
maupun perempuan, walaupun keturunan tersebut tidak berasal dari suaminya kini
(anak tiri).

2. Seorang anak kandung perempuan dengan 2 syarat: pewaris tidak memiliki anak laki-laki, dan
anak tersebut merupakan anak tunggal.
3. Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dengan 3 syarat: apabila cucu tersebut tidak
memiliki anak laki-laki, dia merupakan cucu tunggal, dan Apabila pewaris tidak lagi mempunyai anak
perempuan ataupun anak laki-laki.

4. Saudara kandung perempuan dengan syarat: ia hanya seorang diri (tidak memiliki saudara lain)
baik perempuan maupun laki-laki, dan pewaris tidak memiliki ayah atau kakek ataupun keturunan
baik laki-laki maupun perempuan.

5. Saudara perempuan se-ayah dengan syarat: Apabila ia tidak mempunyai saudara (hanya seorang
diri), pewaris tidak memiliki saudara kandung baik perempuan maupun laki-laki dan pewaris tidak
memiliki ayah atau kakek dan katurunan.

-Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris
seperempat (1/4):
yaitu seorang suami yang ditinggal oleh istrinya dan begitu pula sebaliknya

1. Seorang suami yang ditinggalkan dengan syarat, istri memilki anak atau cucu dari keturunan laki-
lakinya, tidak peduli apakah cucu tersebut dari darah dagingnya atau bukan.

2. Seorang istri yang ditinggalkan dengan syarat, suami tidak memiliki anak atau cucu, tidak peduli
apakah anak tersebut merupakan anak kandung dari istri tersebut atau bukan.

-Pembagian harta waris bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris seperdelapan (1/8):
yaitu istri yang ditinggalkan oleh suaminya yang memiliki anak atau cucu, baik anak tersebut berasal
dari rahimnya atau bukan.
-Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris duapertiga
(2/3):
1. Dua orang anak kandung perempuan atau lebih, dimana dia tidak memiliki saudara laki-laki (anak
laki-laki dari pewaris).

2. Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dengan syarat pewaris tidak memiliki
anak kandung, dan dua cucu tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki

3. Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) dengan syarat pewaris tidak memiliki anak, baik
laki-laki maupun perempuan, pewaris juga tidak memiliki ayah atau kakek, dan dua saudara
perempuan tersebut tidak memiliki saudara laki-laki.

4. Dua saudara perempuan seayah (atau lebih) dengan syarat pewaris tidak mempunyai anak, ayah,
atau kakek. ahli waris yang dimaksud tidak memiliki saudara laki-laki se-ayah. Dan pewaris tidak
memiliki saudara kandung.

-Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris sepertiga
(1/3):

1. Seorang ibu dengan syarat, Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak
laki-laki. Pewaris tidak memiliki dua atau lebih saudara (kandung atau bukan)

2. Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih dengan syarat pewaris tidak
memiliki anak, ayah atau kakek dan jumlah saudara seibu tersebut dua orang atau lebih.
KATA PENGANTAR
Dengan segala kerendahan dan ke ikhlasan hati, kami memanjatkan puji syukur atas
kehadirat Allah SWT. Karena dengan rahmat dan hidayah-nya dan atas segala kemudahan yg telah di
berikan sehingga penyusunan makalah ini dapat terselesaikan.
Shalawat beriringan salam kami hadiah hadiah kan kepada baginda Rasulullah: Muhammad
SAW., keluarga dan sahabat sahabat-nya. Semoga dengan bersalawat kepada-nya kita akan
mendapatkan syafaat di hari kiamat kelak. Amiin.
Dalam kesempatan ini kami juga berterimakasih pada;
- Bapak Dr.Ir.Tgk.Anwar ST.MT.M,Ag selaku dosen Pendidikan Agama Islam yang telah
membimbing kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
- Media massa, dan media lain yang kami gunakan sebagai acuan pembuatan makalah ini.
- Semua pihak yang memberi dukungan dan pemberi bantuan yang tidak dapat kami
sebutkan sau persatu.
Setitik harapan kami, semoga makalh ini dapat bermanfaat serta bisa menjadi wacana yang
berguna.kami menyadari keterbatasan yang kami miliki. Untuk itu kami mengharapkan dan
menerima segal kritik dan saran yang membangun perbaikan makalah ini.
Daftar isi
Kata pengantar......................................................................................i
Daftar isi...............................................................................................ii
Pendahuluan
1.1 Latarbelakang....................................................................iii
Isi
2.1 Pengartian warisan...............................................................
2.2 Rukun warisan......................................................................
2.3 Syarat mendapatkan warisan...............................................
2.4 Penghalang kewarisan.........................................................
2.5 Ahli waris..............................................................................
2.6 Pembagian warisan..............................................................
Penutup
Kesimpulan....................................................................................
Daftar pustaka...............................................................................
PENDAHULUAN
A . LATAR BELAKANG MASALAH
Pengertian pewarisan menurut hukum perdata adalah perpindahan hak dan kewajiban
dari seorang yang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang merupakan ahli
warisnya. Berdasarkan pengertian diatas jelas bahwa pihak – pihak yang berhak menerima
warisan atau yang disebut dengan ahli waris adalah pihak keluarga dari pihak yang
meninggal dunia yaitu pewaris.
Masalah warisan seringkali menimbulkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Masalah ini sering kali muncul karena adanya salah satu ahli waris yang merasa tidak puas
dengan pembagian warisan yang diterimanya. Hal ini timbul dari sifat serakah manusia yang
berkeinginan untuk selalu mendapatkan yang lebih dari apa yang telah diperolehnya.
Untuk mendapatkan harta warisan sesuai dengan jumlah yang diinginkannya, para
ahli waris menempuh segala cara yang dapat dilakukan guna mencapai tujuannya, baik
melalui jalan hukum maupun dengan jalan melawan hukum. Jika perolehan harta warisan
dilakukan dengan jalan melawan hukum, sudah tentu ada sanksi hukum yang menanti para
pihak yang melakukan perbuatan itu. Akan tetapi jika perolehan harta warisan dilakukan
dengan jalan sesuai dengan hukum, maka tidak akan ada sanksi hukum yang diberikan.
Masalah yang timbul adalah apakah jalan hukum yang ditempuh tersebut memenuhi prinsip
keadilan bagi semua pihak yang berperkara. Terutama di dalam masalah warisan, sering kali
putusan yang adil bagi salah satu pihak belum tentu dianggap adil oleh pihak yang lain.
Hak opsi diperbolehkan dalam masalah pembagian warisan, sebab ada dua sistem
hukum yang dapat dipilih oleh para pihak dalam menentukan pembagian warisan, yaitu
hukum Islam dan hukum adat. Dua sistem hukum itu mempunyai perbedaan yang prinsip,
oleh karena itu ada dua lembaga yang berwenang untuk memutus apabila terjadi sengketa
waris. Untuk hukum Islam yang berwenang adalah Pengadilan Agama, sedang untuk hukum
adat yang berwenang adalah Pengadilan Negeri.
Ketentuan pembagian warisan dari dua sistem hukum tersebut seringkali mempunyai
perbedaan, maka terjadi pilihan hukum yang bisa digunakan sebagai dasar penyelesaian
masalah pembagian warisan. Masalah hak opsi ini bisa menjadi masalah baru dalam
pembagian harta warisan, sebab para pihak cenderung memilih hukum sesuai dengan
kepentingannya sendiri, yaitu hukum yang bisa memberikan peluang untuk mendapatkan
pembagian warisan yang lebih menguntungkan dirinya. Jika para pihak berpendapat dengan
sadar, nilai-nilai hukum Eropa lebih adil, itulah yang akan diterapkan dalam menyelesaikan
pembagian warisan. Jika hukum waris Islam yang dipandang lebih adil, undang-undang tidak
melarang. Sepenuhnya terserah kepada mereka untuk menentukan pilihan. Hakim tidak
berwenang untuk memaksakan pilihan hukum tertentu. Pemaksaan dari pihak hakim adalah
tindakan yang melampui batas kewenangan dan dianggap bertentangan dengan “ketertiban
umum” dan undang-undang. Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan keberatan serta
meminta agar pembagian dinyatakan batal dan tidak mengikat.
Persoalan pilihan hukum (hak opsi) itu timbul dalam kaitan dengan adanya peluang
bagi masyarakat pencari keadilan yang ingin menyelesaikan perkara warisan. Peluang ini
sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum dan Pasal 49 UU No. 7 Th. 1989, bisa
menimbulkan dua akibat, yaitu berupa pada waktu yang sama para pihak dapat mengajukan
gugatan atau bisa juga para pihak sepakat untuk memilih satu sistem hukum untuk
menyelesaikan masalah warisannya.
Dalam pilihan hukum ini, tidak akan menjadi masalah jika semua pihak sepakat untuk
memilih salah satu hukum yang akan dijadikan dasar dalam memecahkan masalah kewarisan,
dan mereka juga mau menerima dengan sadar konsekuensi yang timbul dari pilihan hukum
yang mereka lakukan. Akan tetapi akan menjadi masalah, bila masing-masing pihak memilih
hukum yang berbeda-beda.
Berkaitan dengan masalah hak opsi di dalam pembagian warisan, di Pengadilan
Agama Sleman ada sebuah kasus yang menarik tentang hak opsi, yaitu ada dua pihak yang
bersengketa. Pihak yang pertama beragama Islam, sedangkan pihak yang kedua beragama
Khatolik. Kedua orang ini adalah saudara kandung, pihak yang beragama Islam berjenis
kelamin laki-laki, sedangkan pihak yang beragama Khatolik berjenis kelamin wanita.
Menurut agama yang dianut oleh masing-masing pihak, maka Pengadilan yang
berwenang untuk menyelesaikan masalah warisan ada dua, yaitu bagi pihak yang beragama
Islam adalah Pengadilan Agama, sedangkan bagi pihak yang beragama Khatolik adalah
Pengadilan Negeri. Pihak yang beragama Islam ingin masalah warisannya diselesaikan oleh
Pengadilan Agama, yang berarti menggunakan dasar Hukum Islam, sedangkan pihak yang
beragama Khatolik ingin masalah warisannya diselesaikan oleh Pengadilan Negeri, yang
berarti menggunakan dasar Hukum Perdata.
KESIMPULAN

Perencanaan keungan keluarga merupakan langkah bijak dan tepat bagi pasangan dan
keturunan dari hasil pernikahan . Dengan perencanaan ini memberikan peluang yang lebih
besar kepada keluarga untuk dapat mencapai tujuan keuangan, yaitu kebebasan dari kesulitan
keuangan. Perencanaan selama kita hdup selalu menjadi prioritas utama seperti menyiapkan
dana pendidikan anak, menyiapkan dan untuk masa pension nanti dan masih banyak lagi
perencanaan jangka panjang lainya.
Perencanaan ini diperuntukan selama menjalani kehidupan berkeluarga. Perencanaan
proteksi menjadi penting karena resilo tidak tercapainya perencanaan tujuan keuangan jangka
panjang sangat mungkin terjadi. Tapi ada satu perencanaan yang sering kali atau belum dirasa
perlu oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, perencanaan itu adalha perencanaan warisan.
Mereka tidak membuat surat wasiat walau yang paling sederhana sekalipun. Yang telah
memilikinya pun tidak pernah memperbaharuinya.
Masyarakat masih merasa tabu untuk membicarakan surat wasiat, karena
keterlibatanya dengan kematian. Tapi, bila membuat perencanaan warisan dengan baik,
kelak akan mempermudah keluarga yang ditinggalkan dalam memnhatur atau mengelola
asset yang ditinggalkan.
Surat wasiat ini bertujuan untuk mengatur semua kepentingan setelah meninggalkan
keluarga yang dicintai. Selain dari itu, perencanaan warisan memiliki beberapa tujuan yaitu :

 Kita sebagai keluarga dapat mengontrol seluruh asset yang dimiliki.


 Bila pewaris memiliki usah patungan dengan mitra kerja, maka
pewaris dapat melimpahkan usaha tersebut kepada siapa saja yang
ditunjuk.
 Memberikan kejelasan seputar pengelolaan dan perawatan asset yang
dimiliki bila pewaris tidak lagi mapu untuk mengelolanya.
 Melindungi asset yang pewaris miliki dari orang – orang yang tidak
berhak atasnya. Sehingga pasangan dan anak – anak yang ditinggalkan
mendapat apa yang menjadi bagianya.
 Memberikan kejelasan kepada keluarga bahwa asset yang dimiliki
akan diberikan oleh orang yang ditunjuk serta kapan aset tersebut di
berikan serta dengan cara yang pewaris inginkan.
 Satu tujuan akhir yag telah disebutkan sebelumnya adalah
penghematan aspek pajak yang berkaitan dengan warisan.

DAFTAR PUSTAKA

 Sukanto soerjono. Hukum Adat Indonesia. Jakarta.CV.Rajawali.1981


 Sudiyanro iman. Hukum Adat. Jakarta. CV.rajawali.1981
MAKALAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

WARISAN

Dosen Pembimbing :
Dr.Ir.Tgk. Anwar Ali ST.MT.M,Ag.,IPU

DISUSUN OLEH
MUHAMMAD AL FADRI :170130152
REZA FAHLEVI :

You might also like