Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 14

BAB I

PENDAHULUAN

Hingga saat ini di indonesia masih terdapat 4 masalah gizi utama yaitu

KKP (Kurang Kalori Protein), Kurang vitamin A, Gangguan Akibat Kurang

Iodium (GAKI) dan kurang zat besi yang disebut Anemia Gizi. Sampai saat ini

salah satu masalah yang belum nampak menunjukkan titik terang keberhasilan

penanggulangannya adalah masalah kekurangan zat besi atau dikenal dengan

sebutan anemia gizi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang paling umum

dijumpai terutama di negara–negara sedang berkembang.anemia gizi pada

umumnya dijumpai pada golongan rawan gizi yaitu ibu hamil, ibu menyusui, anak

balita, anak sekolah, anak pekerja atau yang berpenghasilan rendah. Prevalensi

anemia gizi yang tinggi pada anak sekolah membawa akibat negatif yaitu

rendahnya kekebalan tubuh sehingga menyebabkan tingginya angka kesakitan.

Khusus pada anak balita, keadaan anemia gizi secara perlahan – lahan akan

menghambat pertumbuhan dan perkambangan kecerdasan, anak – anak akan lebih

mudah terserang penyakit karena penurunan daya tahan tubuh, dan hal ini tentu

akan melemahkan keadaan anak sebagai generasi penerus.1

Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat

kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi

untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin (Hb)

berkurang.1
Gambaran diagnosis etiologis dapat ditegakkan dari gejala klinis dan

pemeriksaan laboratorium, diagnosis banding. Beberapa zat gizi diperlukan dalam

pembentukan sel darah merah. Yang paling penting adalah zat besi, vitamin B12

dan asam folat, tetapi tubuh juga memerlukan sejumlah kecil vitamin C, riboflavin

dan tembaga serta keseimbangan hormon, terutama eritroprotein. Tanpa zat gizi

dan hormon tersebut, pembentukan sel darah merah akan berjalan lambat dan

tidak mencukupi, dan selnya bisa memiliki kelainan bentuk dan tidak mampu

mengangkut oksigen sebagaimana mestinya.1


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Anemia adalah suatu kondisi dimana jumlah sel darah merah

berkurang sehingga kapasitas oksigen yang ditransfer tidak memenuhi

kebutuhan fisiologis tubuh. Anemia merusak kemampuan tubuh untuk

pertukaran gas, dan mengurangi jumlah sel darah merah mengangkut O2 dan

CO2.2

Anemia terjadi karena sel darah merah yang rusak dan

penghancuran sel darah merah atau kehilangan darah. Penyebab tersering

anemia di negara berkembang khususnya dikalangan kelompok yang paling

rentan (ibu hamil dan anak-anak usia prasekolah) adalah gangguan gizi dan

infeksi.

2.2. KLASIFIKASI

Anemia dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 3

2.a. Anemia normositik normokrom

Dimana ukuran dan bentuk sel-sel darah merah normal serta

mengandung hemoglobin dalam jumlah normal.

MCV = 84-96 fL dan MCHC = 32-36%

Contoh anemia jenis ini adalah anemia pada perdarahan akut, penyakit

kronik, anemia hemolitik, anemia aplastik.


2.b. Anemia makrositik normokrom

Makrositik berarti ukuran sel-sel darah lebih besr dari normal

terapi normokrom karena konsentrasi Hb-nya normal. MCV meningkat

dan MCHC normal. Hal ini diakibatkan oleh gangguan atau hentinya

sintesa asam nukleat DNA seperti yang ditemukan pada defisiensi B12

dan atau asam folat. Contoh anemia jenis ini adalah anemia

megaloblastik akibat defisiensi vitamin B12 atau asam folat.

2.c. Anemia mikrositik hipokrom

Mikrositik berarti ukuran sel-sel darah merah lebih kecil dari

normal dan hipokrom karena Hb dalam jumlah kurang dari normal.

MCV kurang dan MCHC kurang. Contoh anemia jenis ini adalah

anemia defisiensi besi, anemia penyakit kronik, dan talasemia.

Salah satu tanda yang paling sering dikaitkan dengan anemia

adalah pucat. Ini umumnya diakibatkan oleh berkurangnya volume darah,

berkurangnya hemoglobin dan vasokonstriksi untuk memperbesar

pengiriman O2 ke organ-organ vital. Karena faktor-faktor seperti pigmentasi

kulit, suhu dan distribusi kapiler mempengaruhi warna kulit, maka warna

kulit bukan merupakan indeks pucat yang dapat diandalkan. Warna kuku,

telapak tangan dan membran mukosa mulut serta konjungtiva dapat

digunakan lebih baik guna menilai kepucatan. Pada umumnya anemia yang

terjadi diakibatkan defisiensi nutrisi seperti defisiensi Fe, asam folat dan

vitamin B12.
2.3. ETIOLOGI

Penyebab paling umum dari Anemia Defisiensi Besi diamati pada

anak-anak termasuk kurangnya asupan bersama dengan pertumbuhan yang

cepat, berat badan lahir rendah serta gangguan pencernaan akibat konsumsi

berlebihan susu sapi. Pada periode intrauterine, satu-satunya sumber zat besi

adalah besi yang dialirkan melalui plasenta. Pada periode akhir kehamilan,

jumlah total besi pada janin adalah 75 mg/kg. Anemia fisiologis terjadi pada

periode postnatal dan simpanan besi yang tersedia cukup untuk melakukan

eritropoiesis dalam 6 bulan pertama kehidupan jika tidak ada kehilangan

darah yang signifikan. Pada bayi berat lahir rendah dan pada bayi dengan

kehilangan darah sebelum kelahiran, cadangan besi habis lebih awal, karena

cadangan tersebut lebih kecil. Jumlah zat besi dalam ASI berada pada

tingkat tertinggi pada bulan pertama, tetapi menurun secara bertahap dalam

periode berikutnya dan berkurang hingga 0,3 mg / L kira-kira pada bulan

kelima. Namun, jumlah ini bervariasi dari individu ke individu. Telah

terbukti bahwa diet ibu tidak mempengaruhi jumlah zat besi dalam ASI.

Meskipun jumlah zat besi yang diterima dari ASI biasanya rendah,

penyerapannya cukup tinggi (50%). Hal ini diketahui bahwa makanan lain

yang diberikan selama 6 bulan pertama selain ASI mengganggu penyerapan

zat besi dalam ASI. Oleh karena itu, makanan ini harus diberikan pada

waktu makan yang terpisah. Dikayini bahwa penyerapannya tinggi, tetapi

lebih rendah dari jumlah yang diperlukan untuk pertumbuhan. Dengan

demikian, bayi menggunakan besi dari cadangan besi yang ada dalam 6
bulan pertama sampai jumlah zat besi yang diterima dari makanan

meningkat. 4

Makanan padat yang diberikan setelah bulan ke-6 harus kaya

terutama zat besi, zinc, fosfor, magnesium, kalsium dan vitamin B6.

Menurut data WHO, 98% dari kebutuhan zat besi pada bayi berusia 6-23

bulan harus dipenuhi oleh makanan padat. Makanan padat harus mencakup

produk yang kaya seperti daging, ikan, telur dan vitamin C untuk memenuhi

kebutuhan zat besi ini. Kesalahan lain yang terjadi pada bayi menyusui yaitu

memberikan susu sapi yang berlebihan pada waktu awal. Pada bayi,

kehilangan darah kronis dapat diamati dalam kaitannya dengan protein yang

sensitif terhadap pabas yang terdapat dalam susu sapi. Selain itu, penyerapan

zat besi dalam susu sapi jauh lebih rendah dibandingkan dengan ASI. Susu

sapi akan menggantikan makanan kaya besi, oleh sebab itu kalsium dan

caseinophosphopeptides dalam susu sapi dapat mengganggu penyerapan zat

besi. Jika bayi diberi makan dengan makanan dengan kandungan besi yang

rendah setelah bulan ke-6 ketika mereka menguras hampir semua cadangan

besi mereka, kekurangan zat besi berkembang dengan mudah.4

Pada pasien dan terutama pada anak-anak yang lebih tua,

kehilangan darah sebagai penyebab harus dipertimbangkan, jika asupan

yang tidak memadai dapat disingkirkan atau ada respon yang memadai

untuk pengobatan besi oral. Anemia defisiensi besi kronis yang berkembang

dengan perdarahan tersembunyi diamati dengan tingkat yang relatif rendah

pada anak-anak dan dapat terjadi sebagai akibat dari masalah pencernaan
termasuk ulkus peptikum, divertikulum Meckel, polip, hemangioma atau

penyakit inflamasi usus. Kehilangan darah yang tidak disadari mungkin

jarang berhubungan dengan penyakit celiac, diare kronis atau hemosiderosis

paru; diagnosis banding dapat dibuat dengan melihat riwayat penyakit. Perlu

diingat bahwa parasitosis juga dapat berkontribusi untuk kekurangan zat besi

terutama di negara-negara berkembang. Anemia defisiensi besi diamati pada

2% dari remaja perempuan dan sebagian besar terkait dengan percepatan

pertumbuhan dan kehilangan darah akibat menstruasi. Riwayat menstruasi

yang rinci harus diperoleh pada remaja perempuan dan mendasari gangguan

perdarahan termasuk penyakit Von-Willebrand harus diingat pada anak

perempuan yang telah perdarahan lebih dari yang diharapkan.9

Penyebab anemia defisiensi besi berdasarkan umur, yaitu : 9

1. Bayi dibawah umur 1 tahun.

Persediaan besi yang kurang karena berat badan lahir rendah dan bayi

kembar.

2. Anak umur 1-2 tahun.

Masukan (intake) besi yang kurang karena tidak mendapat makanan

tambahan (hanya minum susu), kebutuhan meningkat karena infeksi

berulang, malabsorpsi, kehilangan berlebihan karena pedarahan antara

lain karena infeksi parasite dan diverticulum Meckeli.

3. Anak umur 2-5 tahun.

Masukan besi berkurang karena jenis makanan kurang mengandung Fe-

heme, kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/menahun,


kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi

parasit dan divertikulum meckeli.

4. Anak umur 5 tahun – masa remaja

Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi

parasit dan polyposis.

5. Usia remaja – dewasa

Pada wanita antara lain karena menstruasi berlebihan.

2.4. PATOFISIOLOGI

 Metabolisme Besi

Metabolisme besi terutama ditujukan untuk pembentukan

hemoglobin. Sumber utama untuk reutilisasi terutama bersumber dari

hemoglobin eritrosit tua yang dihancurkan oleh makrofag sistem

retikuloendotelial. Pada kondisi seimbang terdapat 25 ml eritrosit atau setara

dengan 25 mg besi yang difagositosis oleh makrofag setiap hari, tetapi

sebanyak itu pula eritrosit yang akan dibentuk dalam sumsum tulang atau

besi yang dilepaskan oleh makrofag ke dalam sirkulasi darah setiap hari.

Besi dari sumber makanan yang diserap duodenum berkisar 1–2 mg,

sebanyak itu pula yang dapat hilang karena deskuamasi kulit, keringat, urin

dan tinja. Besi plasma atau besi yang beredar dalam sirkulasi darah terutama

terikat oleh transferin sebagai protein pengangkut besi. Kadar normal

transferin plasma ialah 250 mg/dl, secara laboratorik sering diukur sebagai

protein yang menunjukkan kapasitas maksimal mengikat besi. Secara


normal 25–45% transferin terikat dengan besi yang diukur sebagai indeks

saturasi transferin. Total besi yang terikat transferin ialah 4 mg atau hanya

0,1% dari total besi tubuh.6

Sebanyak 65% besi diangkut transferin ke prekursor eritrosit di

sumsum tulang yang memiliki banyak reseptor untuk transferin. Sebanyak

4% digunakan untuk sintesis mioglobin di otot, 1% untuk sintesis enzim

pernafasan seperti sitokrom C dan katalase. Sisanya sebanyak 30% disimpan

dalam bentuk feritin dan hemosiderin. Kompleks besi transferin dan reseptor

transferin masuk ke dalam sitoplasma prekursor eritrosit melalui endositosis.

Sebanyak 80–90% molekul besi yang masuk ke dalam prekursor eritrosit

akan dibebaskan dari endosom dan reseptor transferin akan dipakai lagi,

sedangkan transferin akan kembali ke dalam sirkulasi. Besi yang telah

dibebaskan dari endosome akan masuk ke dalam mitokondria untuk diproses

menjadi hem setelah bergabung dengan protoporfirin, sisanya tersimpan

dalam bentuk feritin. Dalam keadaan normal 30–50% prekursor eritrosit

mengandung granula besi dan disebut sideroblast. Sejalan dengan maturasi

eritrosit, baik reseptor transferin maupun feritin akan dilepas ke dalam

peredaran darah. Feritin segera difagositosis makrofag di sumsum tulang dan

setelah proses hemoglobinisasi selesai eritrosit akan memasuki sirkulasi

darah. Ketika eritrosit berumur 120 hari akan difagositosis makrofag sistem

retikuloendotelial terutama yang berada di limpa. Sistem tersebut berfungsi

terutama melepas besi ke dalam sirkulasi untuk reutilisasi. Terdapat jenis

makrofag lain seperti makrofag alveolar paru atau makrofag jaringan lain
yang lebih bersifat menahan besi daripada melepaskannya. Proses

penghancuran eritrosit di limpa, hemoglobin dipecah menjadi heme dan

globin.6

Dalam keadaan normal molekul besi yang dibebaskan dari hem

akan diproses secara cepat di dalam kumpulan labil (labile pool) melalui

laluan cepat pelepasan besi (the rapid pathway of iron release) di dalam

makrofag pada fase dini. Molekul besi ini dilepaskan ke dalam sirkulasi,

yang selanjutnya berikatan dengan transferin bila tidak segera dilepas. Maka

molekul besi akan masuk jalur fase lanjut yang akan diproses untuk

disimpan oleh apoferitin sebagai cadangan besi tubuh. Kemudian dilepas ke

dalam sirkulasi setelah beberapa hari melalui laluan lambat (the slower

pathway). Penglepasan besi dari makrofag tidak berjalan secara langsung,

tetapi melalui proses oksidasi di permukaan sel agar terjadi perubahan

bentuk ferro menjadi ferri, sehingga dapat diangkut oleh transferrin plasma.

Reaksi oksidasi tersebut dikatalisasi oleh seruloplasmin. Kecepatan

pelepasan besi ke dalam sirkulasi oleh makrofag lebih cepat terjadi pada

pagi hari, sehingga kadar besi plasma menunjukkan variasi diurnal.6

 Anemia Defisiensi Besi

Keadaan anemia defisiensi besi ditandai dengan saturasi transferin

menurun, dan kadar feritin atau hemosiderin sumsum tulang berkurang.

Secara berurutan perubahan laboratoris pada defisiensi besi sebagai berikut:

(1) penurunan simpanan besi, (2) penurunan feritin serum, (3) penurunan

besi serum disertai meningkatnya transferin serum, (4) peningkatan Red cell
Distribution Width (RDW), (5) penurunan Mean Corpuscular Volume

(MCV), dan terakhir (6) penurunan hemoglobin. Didasari keadaan cadangan

besi, akan timbul defisiensi besi yang terdiri atas tiga tahap, dimulai dari

tahap yang paling ringan yaitu tahap pralaten (iron depletion), kemudian

tahap laten (iron deficient erythropoesis) dan tahap anemia defisiensi besi

(iron deficiency anemia).8

Pada tahap pertama terjadi penurunan feritin serum kurang dari

12μg/L dan besi disumsum tulang kosong atau positif satu, sedangkan

komponen yang lain seperti kapasitas ikat besi total/total iron binding

capacity (TIBC), besi serum/serum iron (SI), saturasi transferin, RDW,

MCV, hemoglobin dan morfologi sel darah masih dalam batas normal, dan

disebut tahap deplesi besi. 8

Pada tahap kedua terjadi penurunan ferritin serum, besi serum,

saturasi transferin dan besi di sumsum tulang yang kosong, tetapi TIBC

meningkat >390 μg/dl. Komponen lainnya masih normal, dan disebut

eritropoesis defisiensi besi.8

Tahap ketiga disebut anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi

ialah tahap defisiensi besi yang berat dari dan ditandai selain kadar feritin

serum serta hemoglobin yang turun. Semua komponen lain juga akan

mengalami perubahan seperti gambaran morfologi sel darah mikrositik

hipokromik, sedangkan RDW dan TIBC meningkat >410 μg/dl.8


Tabel 1. Urutan Tahapan Defisiensi Besi

2.5. MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis dari anemia defisiensi besi tidak spesifik. Diagnosis

biasanya ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium yaitu

penurunan kadar feritin/saturasi transferin serum dan kadar besi serum. Pada

ADB gejala klinis terjadi secara bertahap. Kekurangan zat besi di dalam otot

jantung menyebabkan terjadinya gangguan kontraktilitas otot organ tersebut.

Pasien ADB akan menunjukkan peninggian ekskresi norepinefrin; biasanya

disertai dengan gangguan konversi tiroksin menjadi triodotiroksin.

Penemuan ini dapat menerangkan terjadinya iritabilitas, daya persepsi dan

perhatian yang berkurang, sehingga menurunkan prestasi belajar kasus

ADB. Anak yang menderita ADB lebih mudah terserang infeksi karena

defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan fungsi neutrofil dan

berkurangnya sel limfosit T yang penting untuk pertahanan tubuh terhadap

infeksi. Perilaku yang aneh berupa pika, yaitu gemar makan atau mengunyah
benda tertentu antara lain kertas, kotoran, alat tulis, pasta gigi, es dan lain

lain, timbul sebagai akibat adanya rasa kurang nyaman di mulut. Rasa urang

nyaman ini disebabkan karena enzim sitokrom oksidase yang terdapat pada

mukosa mulut yang mengandung besi berkurang. Dampak kekurangan besi

tampak pula pada kuku berupa permukaan yang kasar, mudah terkelupas dan

mudah patah. Bentuk kuku seperti sendok (spoon shaped nails) yang juga

disebut sebagai kolonikia terdapat pada 5,5% kasus ADB. Pada saluran

pencernaan, kekurangan zat besi dapat menyebabkan gangguan dalam

proses epitialisasi. Papil lidah mengalami atropi. Pada keadaan ADB berat,

lidah akan memperlihatkan permukaan yang rata karena hilangnya papil

lidah. Mulut memperlihatkan stomatitis angularis dan ditemui gastritis pada

75% kasus ADB.2

2.6. DIAGNOSIS

Dalam pengobatan, anamnesa riwayat terperinci dan pemeriksaan

fisik sangat penting dalam mendiagnosis semua penyakit secara umum.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa anemia dapat didiagnosis dengan

riwayat terperinci dengan sensitivitas 71% dan spesifisitas 79%. Terutama

mengenai periode prenatal, gizi, waktu memulai ASI dan makanan padat dan

riwayat pendarahan harus ditanyakan secara rinci. Tanda-tanda anemia dan

penyakit sistemik lainnya yang dapat menyertai harus dicari.

Tindakan primer yaitu dengan melakukan pemeriksaan

hitung darah lengkap dan apusan darah tepi. Ketika hitung darah
lengkap dinilai baik, akan dapat memberikan banyak petunjuk dalam

mendiagnosis berbagai penyakit pada anak-anak. Dalam hitung darah

lengkap, harus diperiksa apakah kadar hemoglobin dan hematokrit

normal untuk usia dan jenis kelamin pasien (jika anemia ada). Batas

bawah normal dengan usia dan jenis kelamin yang ditentukan oleh

WHO dapat digunakan, karena praktis dan nilai lebih rendah dari

batas-batas ini dapat dianggap anemia (Tabel 3). Pada bayi yang lebih

muda dari 6 bulan, nilai-nilai yang lebih rendah diamati karena anemia

fisiologis, namun hemoglobin diperkirakan tidak lebih rendah dari 9 g

/ dL pada anemia fisiologis pada bayi jika tidak ada

faktor lain yang menyertainya.

2.7. FADF

2.8. FADSF

2.9. DF

ADSF

You might also like