BAB2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Defenisi NAPZA
NAPZA adalah singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat adiktif
lainnya, Kata Narkotika atau Narkotics berasal dari kata Narcois yang berarti narkose
yaitu zat atau obat yang menidurkan. Berdasarkan Undang-Undang No.22 Tahun
1997 Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman
baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan,
karena zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan saraf pusat.”
Sesuai Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, yang
dimaksud dengan psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah atau sintetis bukan
narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf
pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku."
Zat adiktif adalah zat yang penggunaannya berulang kali dapat menimbulkan
adiksi (addiction) yaitu ketagihan sampai pada dependensi (dependency) yaitu
ketergantungan, misalnya kafein dan juga termasuk tembakau (rokok).’
2.2, Penyalahgunaan Zat
Penyalahgunaan zat adalah pemakaian zat atau obat diluar indikasi medik,
tanpa petunjuk atau resep dokter, digunakan untuk pemakaian sendiri secara teratur
atau berkala, sekurang-kurangnya selama satu bulan dan dapat menciptakan keadaaan
yang tak terkuasai oleh individu. Pemakaian bersifat patologik dan dapatmenimbulkan gangguan konsentrasi (hendaya) dalam fungsinya di rumah, di sekolah
atau kampus, di tempat kerja dan di lingkungan sosial, yang dapat membahayakan
dirinya sendiri ataupun masyarakat.
Kaplan dan Sadock (1982) menyatakan bahwa penyalahgunaan zat terjadi
pada mereka yang mengalami gangguan psikologik atau kejiwaan yaitu berupa
ketegangan, kecemasan, depresi, perasaan ketidakwajaran, dan hal-al lain yang
tidak menyenangkan.*
2.3. Ketergantungan zat
Menurut WHO (World Health Organization), defenisi ketergantungan zat
adalah suatu keadaan baik mental maupun fisik, yang diakibatkan oleh adanya
interaksi antara organisme hidup dan zat. Kondisi ini memiliki tanda-tanda tingkah
Jaku dan menimbulkan reaksi tertentu seperti dorongan untuk mempergunakan obat
secara periodik atau kontinue agar dapat dialami efek psikis (mental).”"”
Sedangkan menurut Hawari, ketergantungan zat adalah suatu kondisi yang
terjadi akibat pemakaian zat yang disertai dengan adanya toleransi zat.‘ Toleransi zat
adalah suatu fenomena berkurangnya respon tubuh terhadap dosis yang sama dari
suatu zat. Jadi untuk mendapatkan efek yang sama maka dosis harus ditingkatkan dari
dosis semula. Setiap kali penggunaan zat cenderung dengan dosis yang lebih besar
lagi schingga dapat menimbulkan keracunan. Hal ini tentu dapat merusak tubuh
bahkan mengancam kelangsungan hidup.’2.4. Jenis Ketergantungan Zat
2.4.1. Ketergantungan fisik
Ketergantungan fisik adalah suatu keadaan yang ditandai dengan gangguan
fisik yang terjadi akibat dihentikannya pemakaian zat. Keadaan ini timbul sebagai
akibat penyesuaian diri terhadap adanya zat dalam tubuh, dalam jangka waktu yang
cukup lama, Gangguan fisik ini disebut keadaan lepas dari suatu zat yang memiliki
sifat spesifik untuk masing-masing jenis zatnya. Ketergantungan fisik ini dapat
diikuti dengan ketergantungan mental.”"°
Masalah yang timbul akibat ketergantungan fisik adalah kerusakan fisik
karena dengan memakai zat, nafsu makan seorang pemakai akan berkurang ataupun
dapat sampai menjadi hilang nafsu makannya, sehingga berakibat badan menjadi
kurus dan lemah. Hal ini tentunya dapat menyebabkan gizi kurang pada diri si
pemakai. Dengan kurangnya gizi pada diri si pemakai maka daya tahan tubuhnya pun
menurun, akibatnya si pemakai mudah terserang penyakit infeksi seperti hepatitis,
bronkhitis, TBC, asthma, HIV/AIDS dan sebagainya.. *
2.4.2. Ketergantungan psikis
Ketergantungan psikis adalah suatu keadaan dimana suatu zat dapat
menimbulkan perasaan puas dan nikmat schingga mendorong seseorang untuk
memakainya lagi secara terus menerus atau secara berkala (periodik), sehingga
diperoleh kesenangan atau kepuasan terus menerus.”"”2.5. Epidemiologi
2.5.1. Distribusi dan Frekuensi Penyalahguna Zat
Pada penelitian yang dilakukan Thorne dan DeBlassie (1986) di Amerika
Serikat, penyalahgunaan zat sudah merupakan penyakit endemik, dimana proporsi
penyalahguna zat pada orang dewasa sebesar 9.09% atau kira-kira satu diantara 11
orang, sedangkan dikalangan remaja proporsi penyalahguna zat sebesar 16.7% atau
sekitar satu diantara 6 orang,
Dari hasil penelitian epidemiologi yang dilakukan oleh The National Institute
of Mental Health (NIMH) di Amerika Serikat pada tahun 1980-1982, diperoleh data
bahwa penyalahguna zat terbanyak pada golongan usia 18-24 tahun, menyusul
kemudian golongan usia 24-44 tahun dan perbandingan antara laki-laki dan
perempuan adalah 3:2
Menurut penelitian Internasional Multisenter oleh WHO, pada tahun 1977 di
enam kota yaitu Bangkok, Islamabad, Jakarta, Mexico, Penang, dan Rangoon
menyimpulkan bahwa sekitar 93%-99% pasien penyalahgunaan zat adalah laki-laki,
Di Mexico, proporsi penyalahguna zat sebesar 29% berada pada usia 10-14 tahun. Di
Islamabad sebagian besar berusia diatas 30 tahun dan 10% darinya berusia di atas 60
tahun, tinggal dipedesaan dan sudah bekerja. Sedangkan di Bangkok, Jakarta dan
Mexico rata-rata tidak bekerja.
Menurut penelitian WHO di Malaysia (1983) tercatat 14.624 kasus baru
penyalahgunaan zat, dimana 32% tergolong usia 20-24 tahun, 31.8% tergolong usia
25-29 tahun dan 9.2% dibawah 19 tahun. Proporsi penyalahguna yang memakai
heroin sebesar 77.4%, ganja 12.8%, opium 7.2% dan morfin 6,4%. Persentaseterbanyak adalah laki-laki yakni 98.5%, dimana 85.6% sudah bekerja, 13.5%
menganggur dan 0.9% masih bersekolah,
Pada penelitian yang dilakukan oleh WHO (1983) di Filipina, diperoleh kasus
penyalahguna zat sebanyak 1876 kasus, terbanyak pada kelompok umur 15-19 tahun
alu menyusul kelompok unur 20-24 tahun. Perbandingan penderita lakitaki dengan
perempuan adalah 16:1
Pada penelitian yang juga dilakukan oleh WHO (1983) di Singapura,
diperoleh kasus penyalahguna zat yang dirawat di pusat terapi dan rehabilitasi
sebanyak 2687 dan di rumah tahanan sebanyak 2313 kasus. Proporsi penyalahguna
zat yang berada dibawah usia 20 tahun sebesar 87.3%. Di Thailand (1982) telah
tercatat sebanyak 31.482 kasus baru penyalahguna zat.'?
Sedangkan menurut Lembaga Ketergantungan Obat di Jakarta selama lima
tahun beroperasi (3 Juli 1972 - 8 Juni 1977) menemukan proporsi penyalahguna zat
pada kelompok usia 16-23 tahun sebesar 91.5 %."*
Di Rumah Sakit Jiwa Pusat Banda Aceh, pada tanggal 1 Januari 2001 - 30 Juni
2001 diperoleh 88 kasus penyalahguna zat dengan 32 pasien rawat inap dan 56 pasien
rawat jalan. Dari 88 penderita hanya satu orang saja perempuan dan semua
penyalahguna zat kebanyakan memakai ganja.’
Lembaga Swadaya Masyarakat Solidaritas Moral Anti Narkoba (2000), di
Bandung menemukan sekitar 74.64% dari pemakai ganja, shabu-shabu, heroin dan
ecstasy berjenis kelamin laki-laki, dan proporsi penyalahguna terbanyak dengan usia
antara 15-17 tahun yaitu sebesar 52.75 %; kemudian diikuti kelompok usia 17-19
tahun sebesar 45.1 % dan diatas 19 tahun sebesar 2.15 %.'!2.5.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi (Determinan)
A. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi yaitu faktor yang membuat seseorang cenderung
menyalahgunakan zat. Yang termasuk dalam faktor predisposisi adalah gangguan
kejiwaan yaitu gangguan kepribadian (anti sosial), kecemasan dan depresi.
Seseorang yang mengalami gangguan kepribadian ditandai dengan perasaan
tidak puas dengan dampak perilakunya terhadap orang lain. Selain daripada itu, yang
bersangkutan tidak mampu untuk berfungsi secara wajar dan efektif di rumah, di
sekolah atau di tempat kerja dan dalam pergaulan sosialnya,
Untuk mengatasi ketidakmampuan berfungsi secara wajar dan untuk
menghilangkan kecemasan dan atau depresinya itu, maka orang cenderung
menyalahgunakan zat. Upaya ini dimaksudkan untuk mencoba mengobati dirinya
sendiri (self medication) atau sebagai reaksi pelarian (escape reaction).
Penelitian yang dilakukan oleh Hawari (1990) menyebutkan bahwa seseorang
dengan gangguan kepribadian (antisosial) mempunyai resiko relatif estimasi 19,9 kali
untuk terlibat penyalahgunaan zat. Seseorang dengan gangguan kejiwaan kecemasan
mempunyai resiko relatif estimasi 13,8 kali untuk terlibat penyalahgunaan zat.
Seseorang dengan gangguan kejiwaan depresi mempunyai resiko relatif estimasi 18,8
kali untuk terlibat penyalahgunaan zat.
B. Faktor Kontribusi
Faktor kontribusi adalah faktor yang berperan serta terhadap penyalahgunaan
zat. Yang termasuk faktor kontribusi adalah kondisi keluarga yang terdiri dari tiga12
komponen yaitu keutuhan keluarga, misainya salah seorang dari orang tua meninggal,
kedua orang tua bercerai/berpisah; kesibukan orang tua, misalnya kedua orang tua
terlalu sibuk dengan pekerjaan/aktivitas lain, schingga waktu untuk anak berkurang;
dan hubungan interpersonal antar keluarga, misalnya hubungan antara anak dengan
kedua orang tuanya, anak dengan sesama saudaranya, dan hubungan antara ayah dan
ibu yang ditandai dengan sering cekcok, bertengkar dsb sehingga suasana rumah
menjadi tegang dan kurang kehangatan.
Penelitian yang dilakukan oleh Hawari (1990) menyatakan bahwa seseorang
yang berada dalam lingkungan keluarga yang tidak baik sebagaimana diuraikan di
atas mempunyai resiko relatif estimasi 7,9 kali untuk terlibat penyalahgunaan zat.
C. Faktor Pencetus
Faktor pencetus adalah faktor yang mendorong terjadinya penyalahgunaan
‘NAPZA. Yang termasuk dalam faktor pencetus adalah pengaruh teman kelompok dan
tersedianya atau mudahnya zat diperoleh
2.6, Jenis-jenis Narkotika
Narkotika sangat diperlukan dalam bidang pengobatan, karena narkotika
merupakan obat yang paling mujarab yang dikenal sebagai penawar rasa sakit yang
amat sangat dan dapat digunakan sebagai pencegah batuk maupun sebagai obat untuk
melawan diare, namun dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat
merugikan bila dipergunakan tanpa pembatasan dan pengawasan yang seksama. 'Narkotika dibagi atas tiga jenis yaitu:”"°
2.6.1. Opioida
Opioida atau opiat berasal dari kata opium. Opioida adalah segolongan zat,
baik yang alamiah, semi sintetik, maupun sintetik yang khasiatnya sebagai analgetik.
Opioida memiliki sifat menghilangkan rasa nyeri, khasiat hipnotik
(menidurkan) dan cuforik (menimbulkan rasa gembira). Pemakaian opioida yang
berulang akan menimbulkan toleransi (kekebalan tubuh terhadap zat) dan
ketergantungan. Toleransi berkembang terhadap sifat menekan pernafasan, bersifat
menghilangkan rasa nyeri, emetik (menyebabkan muntah). '*
Opioida terbagi dalam tiga golongan, yaitu:'>*"!
A. Opi
Alamiah
(i). Opium/ Candu
Opium yaitu hasil olahan getah dari buah tanaman Papaver somniferum.
Pertama sekali digunakan untuk menghilangkan rasa sakit diare, namun sekarang
opium ini dapat dipergunakan secara luas yaitu untuk membuat perasaan senang,
mengobati pusing dan menghilangkan rasa cemas.'”"*
(ii), Morfin
Pemakaian morfin yang teratur akan cepat menimbulkan toleransi dan
ketergantungan. Opium mentah mengandung 4-21% morfin. Morfin bekerja pada
reseptor opiat yang sebagian besar terdapat di susunan saraf pusat dan perut.Morfin menekan pusat pernafasan yang terletak pada batang otak sehingga
menyebabkan pernafasan terhambat. Sifat menghambat pernafasan inilah yang
menyebabkan kematian pada kasus kelebihan dosis morfin. Sifat morfin lainnya ialah
dapat menyebabkan kekejangan pada daerah perut, muka memerah dan timbulnya
rasa gatal pada bagian hidung dan sembelit.'*'?
Pemakai morfin akan merasakan seluruh badannya hangat, anggota badan
terasa berat, merasa gembira luar biasa (euforia), rasa batinnya yang tertekan
(depresi) hilang, merasa santai, mengantuk. Sebelum tertidur biasanya daya
Konsentrasi pikirannya terganggu sehingga ia sukar berpikir dan apatis.'*
(iii). Kodein
Kodein merupakan alkaloida alamiah yang terdapat dalam opioida mentah
sebanyak 0.7 %-2.5 %. Kodein juga opioida alamiah yang paling banyak digunakan
dalam pengobatan. Kodein mempunyai efek analgetik lemah, sekitar 1/12 kekuatan
analgetik morfin. Karenanya kodein tidak dipakai untuk menghilangkan rasa nyeri,
tetapi merupakan antitusif (anti batuk) yang kuat.'°
B. Opi
Semi Sintetik
Opioida semi sintetik adalah opioida yang diperoleh dari opioida alamiah
dengan sedikit perubahan kimiawi, misalnya heroin.
Heroin adalah hasil proses kimia dari morfin dan merupakan opioida semi
sintetik yang paling banyak disalahgunakan. Heroin berupa serbuk putih dan rasanya
pahit, Potensi heroin lebih kuat dari morfin, ini disebabkan heroin bisa menembus
blood-brain-barrier lebih baik.”Heroin dikenal dengan nama putaw, hero, mack, scag, H.junk, gear atau
horse. Heroin dapat dihisap, disedot, atau disuntikkan, tetapi jarang sekali ditelan
karena cara itu tidak cukup efektif. Efek psikologisnya meliputi perasaan bebas dari
sakit, perasaan tegang dengan diiringi perasaan senang dan pusing.
Kalau pemakaian heroin dihentikan, akan tampak gejala-gejala berupa bola
mata mengecil, hidung dan mata berair, bersin-bersin, menguap, berkeringat, mual-
mual, muntah, diare, rasa sakit pada otot, tulang dan persendian.'*
C. Opioida Sintetik
Opioida sintetik adalah opioida yang diperoleh berdasarkan_perubahan
kimiawi, misalnya meperidin. Meperidin ialah narkotika sintetik yang mempunyai
efek analgetik kira-kira 1/9 kekuatan analgetik morfin. Pada dosis tinggi dapat
menimbulkan kejang. Meperidin tersedia dalam bentuk tablet oral atau suntikan.
2.6.2 Ganja
Ganja berasal dari tanaman Cannabis sativa atau Canabis Indica, sering juga
disebut hashish, marihuana, grass, gele atau cimeng. Ganja yang dikonsumsi bisa
berbentuk minyak (canabis) atau hasil pengeringan (marihuana), sedangkan hashish
merupakan getah tanaman ganja yang dikeringkan dan dipadatkan menjadi
lempengan seperti kue atau bola. ">
Di Indonesia tanaman ganja dapat tumbuh dengan subur terutama didaerah
Aceh dan Sumatera Utara.” Di Aceh telah sejak lama secara tradisional daun ganja
digunakan sebagai penyedap makanan atau sebagai bahan bumbu masakan dan dapat
dimakan begitu saja, atau dicampur bersama tembakau sebagai rokok.”"*Gejala pemakaian ganja berupa timbulnya perasaan gembira, peningkatan rasa
percaya diri, perasaan santai dan merasa sejahtera.
Efek psikologis pemakaian ganja yang kronis dan dalam jumlah banyak akan
menimbulkan sindrom amotivasional (kehilangan motivasi untuk melakukan
sesuatu). Penyalahguna jadi tidak memikirkan lagi masa depan dan kehilangan
semangat. Kemampuan membaca, menghitung dan berbicaranya berkurang.
Perkembangan kemampuan dan keterampilan sosialnya terhambat sehingga ia akan
terdorong untuk selalu menghindar dari kesulitan’?
Efek pada fisik berupa mabuk, mulut kering, mata merah dan membesarnya
bola mata, perilaku maladaptif artinya yang bersangkutan tidak lagi mampu
menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan keadaan secara wajar, dan nafsu makan
bertambah karena ganja dapat merangsang pusat nafsu makan di otak.'°
Organ-organ tubuh juga akan terpengaruh pada pemakaian ganja yang kronis.
Pemakaian ganja dalam waktu lama akan mengganggu fungsi paru-paru karena
menimbulkan peradangan dan dapat menimbulkan kematian sel-sel otak.."”
2.6.3. Kokain
Kokain adalah alkaloid dari daun tumbuhan Erythroxylon coca. Dalam bentuk
garam HCl, kokain berupa krital atau serbuk putih yang larut dalam air. Efek kokain
adalah perangsangan susunan saraf pusat. Kokain dapat meningkatkan_perasaan
senang, menghilangkan rasa lapar dan rasa lelah.
Cara penggunaan kokain sering dengan dihirup karena penyerapan melalui
mukosa hidung cukup baik, tetapi pemakaian yang lama akan berakibat hilangnya
indra penciuman sampai timbul luka yang dalam.Gejala pemakaian kokain meliputi: agitasi psikomotor (pemakai menunjukkan
kegelisahan, tidak tenang dan tidak dapat diam); euforia; rasa harga diri meningkat
(over confidence), banyak bicara; kewaspadaan meningkat; jantung berdebar-debar
(palpitasi); pupil mata melebar; tekanan darah naik; berkeringat berlebihan dan
kedinginan; mual dan muntah; perilaku maladaptif.’
Penyalahgunaan zat jenis kokain ini, bila pemakaiannya dihentikan akan
timbul sindrom putus kokain, yaitu gejala ketagihan dan ketergantungan sebagai
berikut: depresi; rasa Telah, lesu, tidak berdaya dan kehilangan semangat; gangguan
tidur; gangguan mimpi bertambah.*
2.1, Jenis-jenis Psikotropika
2.7.1. Stimulant
‘Stimulant yaitu zat atau obat yang bekerja mengaktifkan kerja susunan saraf pusat
dan fungsi tubuh schingga mengurangi rasa kantuk, lapar serta menimbulkan rasa
gembira dan semangat yang berlebihan, contohnya: amphetamine dan ecstacy.
A. Amphetamine
Amphetamine merupakan obat perangsang sintetis, yang digunakan sebagai
‘penahan rasa lapar. Nama lain amphetamine adalah shabu-shabu, speed, whizz dan
sulph. Amphetamine dapat digunakan dengan cara ditelan (biasanya dicampur dengan
minuman mineral), membakarmya diatas aluminium foil lalu dihirup dengan sebuah
bong (sejenis pipa yang didalamnya berisi air) atau disuntikkan.Biasanya amphetamine disalahgunakan untuk —menimbulkan rasa
kegembiraan, tenaga bertambah, perasaan sehat, berkuasa, percaya diri, kemampuan
untuk berkonsentrasi meningkat, dapat menahan lapar dan tidak mudah mengantuk
Pengguna amphetamine biasanya mengalami perubahan suasana hati
(kegilaan/tertekan), terlalu banyak bicara, kegembiraan, emosi labil, mudah marah,
mudah tersinggung, dapat juga merasa senang yang berlebihan, berat badan menurun,
dan sulit tidur. Penggunaan yang lama dapat membuat otak rusak, berakibat paranoid
sampai dengan menjadi gila dan akhirnya mati,
B. Ecstasy
Di Indonesia, ecstasy dikenal dengan nama inex, enak, dollar, hammer, flash.
Ecstasy digunakan dengan cara ditelan. Perubahan psikologis yang dialami antara lain
penyalahguna berperilaku hiperaktif, euforia, banyak bicara, kewaspadaan meningkat.
‘Sedangkan efek fisik penggunaan ectasy antara lain: mulut kering, rahang kaku, detak
jantung cepat, tekanan darah dan suhu tubuh meningkat, mata berair, kelebihan
tenaga, dan kehilangan nafsu makan.
2.7.2. Hallusinogen
Hallusinogen yaitu zat atau obat yang bekerja menimbulkan halusinasi atau
daya khayal yang kuat yaitu salah persepsi tentang lingkungan dan dirinya, baik
pendengaran, penglihatan maupun perasaan. Termasuk jenis ini adalah: Lycergik
‘Acid Dietilamide (LSD). Penyalahgunaan obat ini akan menimbulkan pupil mata
mengecil, suhu badan menurun, detak jantung yang bertambah, mabuk dan mual.2.7.3. Sedatif/Mipnotika
Sedatif/hipnotika yaitu zat atau obat yang bekerja mengendorkan atau
mengurangi aktifitas susunan saraf pusat dan fungsi tubuh, contohnya: sedatin,
rohypnol, magadon, valium, madrak. Obat ini terkenal dengan sebutan sebagai obat
penenang atau obat tidur, Secara medis obat-obatan tersebut dapat berguna untuk
membantu mengurangi rasa cemas dan gelisah, meredakan ketegangan jiwa, dan
merangsang untuk segera tidur. *
2.8. Jenis-jenis Zat Adiktif
2.8.1. Inhalansia dan Solven
Inhalansia dan solven merupakan senyawa organik yang berwujud gas dan zat
pelarut yang mudah menguap, misalnya: gas korek api, penghapus cat kuku, bensin,
tip-ex. Biasanya gas atau zat pelarut yang mudah menguap itu dimasukkan ke dalam
kantong plastik, lalu dihirup untuk merasakan efeknya.
Ketergantungan psikis jelas ada seperti: timbul perasaan euphoria, kepala
terasa ringan dan rasa percaya diri yang tinggi sedangkan ketergantungan fisik
tampaknya tidak ada. Intoksikasi akut dengan zat ini bisa berakibat fatal sedangkan
pada pemakaian kronis dapat merusak berbagai organ tubuh, misalnya otak, paru-
aru, jantung dan sumsum tulang.
Kematian seketika akibat menghirup zat tersebut biasanya disebabkan oleh
gangguan pada irama jantung dan kekejangan pada saluran pernafasan. Kematian
pada penyalahgunaan inhalansia/solven dapat disebabkan kelebihan dosis schingga
terjadi hambatan pada pernafasan.20
2.8.2. Nikotin
Nikotin adalah zat yang bersifat adiktif. Bentuk nikotin yang paling umum
adalah tembakau, yang dihisap dalam bentuk rokok, cerutu dan pipa. Seseorang
merokok Karena berbagai alasan. Salah satu alasannya sebagai penghilang
Kecemasan, jadi rokok berfungsi sebagai penenang. Intoksikasi nikotin ditandai
dengan gejala seperti: mual, sakit perut, muntah, diare, nyeri kepala, keringat dingin,
tidak mampu memusatkan pikirannya, denyut nadi bertambah cepat dan lemah, 18
2.9. Terapi dan Rehabilitasi
2.9.1. Terapi (Pengobatan)
Terapi (pengobatan) penyalahgunaan zat haruslah rasional dan dapat
dipertanggungjawabkan dari segi medik, psikiatrik, sosial dan agama. Terapi yang
dimaksud tersebut diatas terdiri dari dua tahapan yaitu detoksifikasi dan pasca
detoksifikasi (pemantapan) yang mencakup komponen-komponen sebagai berikut
a. Terapi medik-psikiatrik (detoksifikasi, psikofarmaka, dan psikoterapi)
b. Terapi medik-somatik (komplikasi medik)
c. Terapi psikososial
4. Terapi psikoreligius
Keempat jenis terapi tersebut diatas merupakan pendekatan holistik didalam
dunia kedokteran dan keschatan yang artinya tidak semata-mata hanya mengobati
jasmani (fisik) si pasien penyalahguna zat tetapi juga dari segi kejiwaan, sosial dan
keimanan.a. Terapi medik psikiatrik (detoksifikasi, psikofarmaka dan psikoterapi)
Terapi (detoksifikasi) adalah bentuk terapi untuk menghilangkan racun zat
dari tubuh pasien penyalahguna zat dengan cara menghentikan total pemakaian
semua zat atau dengan penurunan dosis obat/zat.
Sebagaimana diketahui bahwa penyalahgunaan zat adalah termasuk bidang
psikiatri (kedokteran jiwa) karena zat ini menimbulkan gangguan mental dan
perilaku. Penyalahguna mengalami gangguan mental dan perilaku karena zat yang
dipakainya mengganggu sistem neuro-transmitter dalam susunan saraf pusat (otak),
Gangguan mental dan perilaku ini masih dapat berlanjut meskipun zat sudah
hilang dari tubuh setelah menjalani terapi detoksifikasi. Pada penyalahguna proses
mental adiktif’ masih berjalan, artinya rasa ingin (craving) masih belum hilang
sehingga kekambuhan dapat terulang kembali. Untuk mengatasi kekambuhan tersebut
digunakan obat-obatan yang berkhasiat memperbaiki gangguan dan memulihkan
fungsi neuro-transmitter pada susunan saraf pusat, yaitu yang dinamakan
psikofarmaka.
Pada pasien penyalahguna zat selain terapi dengan obat (psikofarmaka) juga
diberikan terapi kejiwaan (psikologik) yang dinamakan psikoterapi.
Tujuan dari psikoterapi diatas adalah untuk memperkuat struktur kepribadian
mantan penyalahguna zat, misalnya meningkatkan citra diri (self esteem),
mematangkan kepribadian (maturing personality), memperkuat “ego” (ego strength),
mencapai kehidupan yang berarti dan bermanfaat (meaningfulness of life),
memulihkan kepercayaan diri (self confidence), mengembangkan mekanisme
pertahanan diri (defense mechanism) dsb.22
Keberhasilan psikoterapi dapat dilihat apabila mantan penyalahguna zat tadi
mampu mengatasi problem kehidupan tanpa harus “melarikan diri” ke zat. Selama
proses psikoterapi berlangsung, terapi psikofarmaka dan terapi psikoreligius dapat
diintegrasikan secara bersamaan
b. Terapi medik somatik
Yang dimaksud dengan terapi medik somatik adalah penggunaan obat-obatan
yang berkhasiat terhadap kelainan-kelainan fisik baik sebagai akibat dilepaskannya
zat dari tubuh (detoksifikasi) yaitu gejala putus zat (withdrawal symptoms) maupun
komplikasi medik berupa kelainan organ tubuh akibat penyalahgunaan zat. Misalnya
gejala putus narkotika jenis opiat yang terjadi adalah rasa sakit yang luar biasa, oleh
karenanya perlu diberikan analgetika yaitu obat anti nyeri yang potensi dan
efektifitasnya setara dengan opiat dan turunannya.
. Terapi psikosial
Yang dimaksud dengan terapi psikososial adalah upaya untuk memulihkan
Kembali kemampuan adaptasi penyalahguna zat ke dalam kehidupan schari-hari.
‘Akibat penyalahgunaan zat adalah gangguan mental dan perilaku yang bercorak
antisosial
d. Terapi psikoreligius
Terapi keagamaan (psikoreligius) terhadap pasien penyalahguna atau
ketergantungan zat ternyata memegang peranan penting, baik dari segi pencegahan
(prevensi), terapi, maupun rehabilitasi.*