Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 38

INDUKSI TAHAP VIABLE BUT NON-CULTURABLE

SEL Cronobacter sakazakii DENGAN PERLAKUAN DESIKASI

RATNA NURMALITA SARI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Induksi Tahap Viable
but Non-Culturable Sel Cronobacter sakazakii dengan Perlakuan Desikasi adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2016

Ratna Nurmalita Sari


NIM F24120020
ABSTRAK
RATNA NURMALITA SARI. Induksi Tahap Viable but Non-Culturable Sel
Cronobacter sakazakii dengan Perlakuan Desikasi. Dibimbing oleh SITI
NURJANAH dan RATIH DEWANTI-HARIYADI.

Cronobacter sakazakii adalah bakteri patogen oportunistik asal pangan yang


telah diisolasi dari berbagai macam bahan pangan. Bakteri ini dilaporkan memiliki
kemampuan mampu bertahan pada kondisi kering. Kondisi kering dapat menyebabkan
stres lingkungan dilaporkan dapat menginduksi bakteri memasuki tahap viable but non-
culturable (VBNC), yaitu kondisi bakteri kehilangan kemampuan untuk tumbuh pada
media agar namun masih memiliki aktivitas metabolik. Penelitian ini bertujuan melihat
pengaruh desikasi terhadap kondisi VBNC patogen C. sakazakii. Penelitian terdiri dari
3 tahap yaitu induksi sel menggunakan desikasi, enumerasi, dan resusitasi. Mutan C.
sakazakii green fluorescence protein (pGFPuv) yang memiliki pola pertumbuhan
serupa dengan galur liarnya digunakan dalam penelitian ini. Desikasi disimulasi dengan
menempatkan bakteri dalam inkubator bersuhu 30, 35, dan 400C selama 2 jam dan
disimpan pada suhu 210C selama 72 jam. Jumlah bakteri yang masih bertahan pada
tryptone soy agar (TSA) dan sel hidup dihitung menggunakan mikroskop fluoresens.
Paparan pada suhu 400C selama 2 jam menyebabkan C. sakazakii memasuki tahap
VBNC, pada pengeringan suhu 30 dan 350C sel memasuki tahap VBNC setelah
disimpan 48 dan 24 jam. Resusitasi sel VBNC pada TSA+ natrium piruvat 0,1%
menyebabkan sel VBNC menjadi kembali dapat dapat dikulturkan kembali.

Kata kunci: Cronobacter sakazakii, pGFPuv, VBNC, desikasi, resusitasi


ABSTRACT

RATNA NURMALITA SARI. Dessication Induces Viable but Non-Culturable


Cells of Cronobacter sakazakii. Supervised by SITI NURJANAH and RATIH
DEWANTI-HARIYADI.

Cronobacter sakazakii is an opportunistic foodborne pathogen that has


been isolated from food, especially dried products. The bacterium was reported to
survive in dry conditions, which could induce bacteria to enter viable but non-
culturable (VBNC) state. VBNC cells were cells which lose the ability to grow on
routine media but metabolically active. This study aimed to observe desiccation
effect to VBNC state of C. sakazakii. The research was carried out in 3 stages: cells
induction by desiccation, cell enumeration, and resuscitation. Green fluorescence
protein (pGFPuv) mutants of C. sakazakii having similar growth pattern growth
with their wild-type were used in this research. Desiccation was simulated by
placing bacteria in incubator at 30, 35, and 400C for 2 hours and stored at 210C
for 72 hours. Surviving C. sakazakii pGFPuv were enumerated on tryptone soy agar
(TSA) and the viable cells enumerated using fluorescence microscopy. Exposure to
400C for 2 hours caused C. sakazakii to enter VBNC state. C. sakazakii placed at
30 and 350C entered VBNC state after storage at 210C for 48 hours and 24 hours,
respectively. Resuscitation of the VBNC cells on TSA + 0.1% sodium pyruvate was
able to revert the VBNC cells to become culturable.

Keywords: Cronobacter sakazakii, pGFPuv, VBNC, desiccation, resuscitation


INDUKSI TAHAP VIABLE BUT NON-CULTURABLE
SEL Cronobacter sakazakii DENGAN PERLAKUAN DESIKASI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah berjudul “Induksi Tahap Viable but Non-
Culturable Sel Cronobacter sakazakii dengan Perlakuan Desikasi” dapat
diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada:
1. Ibu Siti Djuhariyah dan Bapak Mukofa selaku orang tua yang tak lelah untuk
mengirimkan doa, memberikan semangat, dan nasehatnya, serta Kakak
Yayang Kurniawan untuk semangatnya.
2. Dr. Siti Nurjanah STP, M. Si dan Prof. Dr. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc
sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan masukan
dan bimbingan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan
3. Kementrian Pendidikan Perguruan Tinggi untuk dana riset yang diberikan
sehingga penelitian ini dapat terlaksana
4. Terimakasih pula kepada Rifky Eko Setiawan, Sabrina, Hayatul, Rita, Rifah
untuk selalu mendengarkan keluh kesah dan memberikan semangat kepada
penulis, serta pada Ikamabara 49 dan ITP 49 atas segala kebersamaannya.
5. Terimakasih kepada Kak Eci, Kak Maryam, Kak Ema, Kartinah, Mba Yane,
Mba Tami, Kak Alia, Mas Edi, dan Mba Ari atas kerjasama dengan penulis
selama penelitian.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2016

Ratna Nurmalita Sari


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 3
TINJAUAN PUSTAKA 3
Isolat Mutan Cronobacter sakazakii 3
Viable but Non-Culturable (VBNC) 4
Desikasi 5
METODOLOGI PENELITIAN 6
Tempat dan Waktu Penelitian 6
Bahan dan Alat 6
Metode Penelitian 6
Tahap Persiapan dan Konfirmasi Isolat 6
Induksi Menggunakan Desikasi 7
Tahapan Perhitungan Sel 7
Resusitasi Sel VBNC 8
HASIL DAN PEMBAHASAN 10
Konfirmasi Isolat 10
Penentuan Kondisi VBNC C. sakazakii 10
Resusitasi 15
SIMPULAN DAN SARAN 17
Simpulan 17
Saran 17
DAFTAR PUSTAKA 18
RIWAYAT HIDUP 22
DAFTAR TABEL

1 Koleksi isolat Cronobacter sakazakii SEAFAST Center IPB asal pangan


Indonesia 3
2 Tahapan induksi menggunakan desikasi 7
3 Hasil pemupukan pada media TSA dan TSAA 9

DAFTAR GAMBAR
1 Gelas objek yang dipetak 7
2 Diagram alir tahapan penelitian 9
3 Konfirmasi isolat C. sakazakii pGFPuv di bawah lampu UV 10
4 Hasil pengamatan koloni C. sakazakii pGFPuv di bawah lampu UV 11
5 Hasil SPC dan DMC isolat YRt2a 13
6 Hasil SPC dan DMC isolat E2 14
7 Hasil resusitasi sel VBNC C. sakazakii 17
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Adanya bakteri dalam suatu pangan dapat dijadikan indikator pada mutu dan
keamanan pangan. Salah satu bakteri yang termasuk sebagai patogen oportunistik
pada pangan yang berpengaruh pada keamanan pangan yaitu Cronobacter sakazakii
(Dewanti et al. 2010). C. sakazakii merupakan bakteri gram negatif, berbentuk
batang, bersifat motil, tidak dapat membentuk spora, dan bersifat fakultatif anaerob
(Iversen & Forsythe 2003). Bakteri ini telah diisolasi pada berbagai pangan
termasuk susu, keju, daging, sayuran, biji sorghum, padi, rempah-rempah, roti,
minuman fermentasi, tahu, dan teh asam (Friedman 2007; Shaker et al. 2007). Di
Indonesia Cronobacter spp. juga berhasil diisolasi dari makanan lokal diantaranya
tepung jagung, susu formula, makanan bayi, bubuk coklat, maizena, dan tepung
hunkue (Dewanti 2011; Gitapratiwi 2011; Estuningsih 2006; Meutia 2008).
Golongan paling beresiko untuk terinfeksi bakteri ini adalah bayi yang lahir
dengan berat badan kurang, bayi prematur, bayi yang mempunyai penurunan sistem
imun, dan bayi dari ibu yang menderita HIV (WHO 2008). Beberapa kasus yang
disebabkan oleh C. sakazakii antara lain necrotizing enterocolitis (NEC),
meningitis, dan bacterimia pada bayi melalui konsumsi susu formula (Iversen dan
Forsythe 2003). Bakteri ini merupakan salah satu anggota dari Enterobactericeae
yang paling tahan terhadap panas. Penelitian-penelitian terakhir menunjukkan
ketahanannya terhadap proses pengeringan pada berbagai produk (Sulistiyanti
2013; Musa 2015). Selain itu bakteri ini juga dapat bertahan terhadap stres osmotik,
bahkan dapat meningkatkan fase lag pada penurunan aw (Dancer et al. 2009).
Berdasarkan karakteristik tersebut C. sakazakii dikhawatirkan keberadaannya
terlebih pada pangan yang dikeringkan. Menurut Breeuwer et al. (2003) C.
sakazakii toleran terhadap stres akibat desikasi dan panas. Kondisi stres lingkungan
dapat menginduksi bakteri masuk kedalam tahap viable but non-culturable
(VBNC). VBNC merupakan tahap hilangnya kemampuan untuk dikulturkan pada
media agar yang biasa digunakan untuk mendeteksi secara konvensional namun
masih tetap melakukan aktivitas metabolitnya (Li et al. 2014). Beberapa penelitian
menunjukkan keadaan VBNC pada bakteri seperti Eschericia coli pada air sungai
(Liu et al. 2008) dan Listeria monocytogenes karena beberapa kondisi stres
(Besnard et al. 2002). Kondisi tidak menguntungkan tersebut dapat diinduksi
dengan memberikan stres pada bakteri. Salah satu stres yang dapat diberikan adalah
stres kekeringan. Beberapa spesies dari genus Enterobacter telah ditemukan dapat
memasuki tahap VBNC diantaranya Enterobacter aerogenes karena kondisi
kekurangan nutrisi, Enterobacter cloacae disebabkan karena suhu rendah,
sebaliknya Enterobacter agglomerans karena suhu tinggi (Byrd et al. 1991; Oliver
2010). Namun, untuk kondisi VBNC C. sakazakii belum dilaporkan lebih lanjut
meskipun sudah terdapat laporan kemungkinan memasuki tahap ini.
Kondisi VBNC ini dapat memberikan keuntungan bagi bakteri tersebut,
namun merugikan bagi manusia. Kerugian yang mungkin terjadi adalah tidak
dideteksinya bakteri pada media normal sehingga saat melalui tahap quality control
produk dapat lolos namun pada saat stres dihilangkan bakteri dapat kembali ke
tahap normal (Du et al. 2007), selain peralatan industri yang kontak dengan produk
2

juga dapat memberikan kontaminasi pada produk akhir. Oleh karena itu penting
untuk mengetahui kondisi-kondisi yang memungkinkan induksi sel masuk pada
tahap VBNC terutama untuk bakteri patogen. Beberapa metode dapat digunakan
untuk kuantifikasi sel VBNC melalui pendeteksian respon aktivitas metabolik,
integritas sel, dan secara molekuler (Keer & Birch 2003). Berdasarkan
permasalahan tersebut penelitian ini akan mempelajari induksi sel VBNC C.
sakazakii menggunakan desikasi. Dalam mempermudah metode pengamatan maka
digunakan isolat mutan green fluorescence protein C. sakazakii yang memiliki
karakter resisten terhadap media ampisilin, dapat berpendar dibawah lampu UV,
dan dapat diamati langsung di bawah mikroskop fluoresens (Nurjanah 2014).
Adanya penggunaan isolat mutan akan mempermudah pendeteksian sel VBNC
dengan metode direct microscopic count (DMC).
Beberapa bakteri yang memasuki tahap VBNC dapat bersifat reversible.
Bakteri yang memasuki tahap VBNC tersebut dapat memiliki kemampuan untuk
dapat dikulturkan kembali saat stres dihilangkan. Transisi sel VBNC dari tahap
VBNC ke tahap dapat dikulturkan disebut dengan resusitasi (Pinto et al. 2011).
Beberapa teori mengungkapkan bahwa VBNC merupakan strategi sel untuk
menghadapi kondisi yang tidak sesuai. Namun beberapa teori mengungkapkan
bahwa VBNC adalah tahapan sebelum sel mengalami kematian dan teori lain juga
mengungkapkan bahwa sel VBNC tidak dapat diresusitasi (Barcina dan Arana
2009). Beberapa bakteri yang mengalami VBNC dapat diresusitasi dengan berbagai
macam metode salah satunya adalah pemberian komponen spesifik dan media yang
kaya nutrisi. Oleh karena itu penelitian ini akan mempelajari kondisi yang mampu
menginduksi sel C. sakazakii ke dalam tahap VBNC terkait dengan resistensinya
terhadap desikasi serta kemampuannya beresusitasi.

Perumusan Masalah

Tahapan quality control pada industri pangan umumnya menggunakan media


konvensional, yaitu media agar dalam mendeteksi produknya. Produk yang
terkontaminasi dapat disebabkan karena proses ataupun karena peralatan industri.
Adanya fase VBNC dapat menyebabkan produk lolos uji karena tidak terdeteksinya
C. sakazakii pada tahap quality control dan memungkinkan untuk tumbuh kembali
jika menemukan kondisi yang sesuai dengan pertumbuhan. Sel yang memasuki
tahap VBNC memiliki karakteristik yang beragam diantaranya kemampuan untuk
kembali ke tahap normal saat kondisi stres dihilangkan atau adanya senyawa lain
yang dapat membantu sel dalam recovery. Oleh karena itu perlu dipelajari kondisi-
kondisi yang mampu menginduksi C. sakazakii masuk pada tahap VBNC serta
kemampuannya untuk kembali ke tahap normal misalnya dengan adanya
antioksidan atau protein dalam bahan pangan.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :


1. Mengetahui suhu dan waktu tahap desikasi yang dapat menginduksi C.
sakazakii ke tahap VBNC
2. Pengaruh adanya natrium piruvat untuk resusitasi sel VBNC C. sakazakii
3

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kondisi yang dapat


membentuk sel VBNC C. sakazakii menggunakan desikasi selain itu akan diperoleh
data kuantitatif perbedaan jumlah sel selama penyimpanan diamati menggunakan
mikroskop dan koloni yang tumbuh pada media konvensional, serta kemampuan
untuk kembali ke tahap dapat dikulturkan kembali. Industri pangan juga diharapkan
dapat lebih mewaspadai hal tersebut sehingga dapat memilih metode analisis
alternatif yang dapat mendeteksi sel C. sakazakii pada berbagai fase.

TINJAUAN PUSTAKA

Isolat Mutan Cronobacter sakazakii

C. sakazakii telah di isolasi pada berbagai pangan di Indonesia. Beberapa


isolat tersebut diantaranya terdapat pada Tabel 1.
Tabel 1 Koleksi isolat C. sakazakii SEAFAST Center asal pangan Indonesia

Kode Isolat/ Gen bank Sumber isolat Referensi


Accession Number
Des c7/ JF800180 Pati jagung Hariyadi et al. 2010
Des b10/JF800181 Susu formula bubuk
YR c3a/JF800183 MP-ASI Meutia et al 2008
YR k2a/JF800187 MP-ASI
YR t2a/JF800181 Susu bubuk
YR w3/JF800185 Susu bubuk
FWH b15 Gula Hamdani 2012
FWH d2u Bubuk cabai
FWH d11 Bubuk jintan
FWh b6 Terigu
FWHd16/JX535018 Lada bubuk
FWH c3 Tapioka
FWH d1/JX535016 Bubuk cabai
E1 MP-ASI Estuningsih et al. 2006
E2 MP-ASI
E4 MP-ASI
E6 MP-ASI
E7 MP-ASI
E9 MP-ASI
E11 MP-ASI
Isolat tersebut kemudian dipelajari perilakunya. Analisis mikrobiologi
konvensional sulit membedakan bakteri target dengan mikroorganisme lainnya. Hal
ini disebabkan karena pada bahan pangan terdapat beragam jenis bakteri dan
memerlukan tahap identifikasi yang panjang untuk melihat perbedaanya. Oleh
karena itu untuk mempermudah mempelajari perilaku C. sakazakii dilakukan teknik
4

pelabelan. Teknik pelabelan menggunakan plasmid green fluorescence protein


(pGFP) menjadi salah satu alternatif penelusuran perilaku C. sakazakii tanpa
melakukan dekontaminasi atau sterilisasi untuk menekan pertumbuhan ataupun
membunuh mikroba lainnya (Nurjanah 2014). GFP merupakan protein Aequorin
yang dapat berfluoresens (Nifosi et al. 2005). Plasmid pGFPuv merupakan variasi
dari pGFP yang mempunyai intensitas fluoresens 45 kali lipat melalui DNA
shuffling (Crameri et al. 1996). Penelitian Nurjanah (2014), menyatakan bahwa
mutan terlabel mempunyai karakteristik dapat tumbuh pada media mengandung
ampisilin dan koloni spesifik berwarna hijau fluoresens di bawah sinar ultraviolet.
Mutan ini dapat digunakan untuk mempelajari perilaku C. sakazakii secara cepat,
tepat, dan tidak memerlukan konfirmasi dalam waktu lama seperti pada metode
konvensional.

Viable but Non-Culturable (VBNC)

Telah banyak spesies yang ditemukan berada pada tahap VBNC setelah
diperkenalkan pada tahun 1982. Sel VBNC dicirikan dengan hilangnya kemampuan
untuk dikulturkan pada media agar yang biasa digunakan untuk mendeteksi secara
konvensional (Li et al. 2014). Sel VBNC memiliki kesamaan dan beberapa
perbedaan dengan sel hidup pada umumnya. Perbedaannya meliputi morfologi sel,
komposisi dinding sel metabolisme, ekspresi gen, resistensi fisik dan kimia,
kemampuan pelekatan, dan kemampuan virulensi. Perubahan morfologi sel
umumnya ditemukan pada sel VBNC meskipun perubahan yang sama juga terdapat
dalam sel non-VBNC yang hidup di dalam kondisi stres, sehingga perubahan
morfologi saja tidak dapat digunakan sebagai parameter untuk menggolongkan sel
masuk ke dalam tahap VBNC atau tidak (Pinto et al. 2013). Sel VBNC juga
menunjukkan perbedaan pada dinding sel dan komposisi membran, meliputi
protein, asam lemak, dan peptidoglikan. Sel VBNC memiliki laju metabolik yang
rendah (Shleeva et al. 2004) dan perbedaan profil ekspresi gen dibandingkan
dengan sel yang dapat dikulturkan pada fase eksponensial. Pada umumnya sel
VBNC memiliki resistensi yang tinggi terhadap perlakuan fisik dan kimia yang
disebabkan oleh reduksi laju metabolik dan lebih kuatnya dinding sel karena
meningkatnya ikatan silang peptidoglikan (Signoretto et al. 2000).
Beberapa spesies bakeri memasuki tahap VBNC pada saat terpapar kondisi
stres seperti kurang nutrisi dan suhu rendah (Du et al. 2007). VBNC merupakan
suatu strategi adaptif bakteri untuk waktu survival yang panjang dalam menghadapi
kondisi lingkungan yang tidak sesuai (Ducret et al. 2014). Hal tersebut sesuai
dengan hipotesis yang menyatakan sel VBNC lebih resisten terhadap stres
eksogenus. Sebagai contoh sel VBNC V. parahaemolyticus yang lebih tahan asam
sehingga dapat bertahan pada kondisi lingkungan yang memiliki pH rendah (Wong
dan Wang 2004). Kondisi yang lebih resisten tersebut menguntungkan bakteri,
namun memiiki kerugian bagi manusia, terutama pada golongan bakteri patogen.
Jika terdapat sel VBNC total bakteri viable dalam sampel tidak akan terdetesi dalam
metode CFU karena tidak adanya sel yang terdeteksi. Dalam suatu industri pangan
adanya sel VBNC akan menyebabkan masalah dalam quality control yang akan
menjadi bahaya bagi konsumen. Resiko tersebut disebabkan oleh kemampuan sel
VBNC dalam resusitasi kembali menjadi sel yang dapat dikulturkan saat stres
5

dihilangkan. Sel VBNC avirulen akan kembali bervirulensi setelah resusitasi


menjadi sel yang dapat dikulturkan pada kondisi yang sesuai (Du et al. 2007).
Sel yang memasuki kondisi VBNC merupakan respon antara kondisi kimia
dan fisik lingkungan yang tidak menguntungkan (Oliver 2010), meliputi
kekurangan nutrisi , suhu ekstrim (Besnard et al. 2002), inkubasi diluar pH dan
salinitas yang sesuai (Cunningham et al. 2009), kenaikan atau penurunan
konsentrasi osmotik, fluktuasi konsentrasi oksigen (Kana 2008), paparan logam
berat, paparan pengawet pangan, dan paparan cahaya putih serta radiasi UV.
Kondisi lain yang mungkin menyebabkan sel memasuki tahap VBNC adalah
perlakuan pasteurisasi susu dan klorinasi air limbah (Oliver 2005)
Beberapa spesies patogen terbukti memasuki tahap VBNC. Beberapa genus
Enterobacter seperti Enterobacter aerogenes, Enterobacter agglomerans, dan
Enterobacter cloacae memiliki faktor induksi ke tahap VBNC yang berbeda.
Enterobacter aerogenes masuk ke dalam tahap VBNC diinduksi dengan kondisi
kekurangan nutrisi (Byrd et al. 1991). Enterobacter agglomerans diinduksi dengan
adanya temperatur tinggi (Reissbrodt et al. 2002). Sementara Enterobacter cloacae
dapat diinduksi dengan kondisi kekurangan dan suhu yang rendah (Oliver 2010).
Selain Enterobacter, bakteri lain juga ditemukan dapat memasuki fase VBNC
seperti Vibrio spp. yang memasuki kondisi VBNC sebagai respon kondisi stres
suhu, salinitas, dan nutrisi selama inkubasi di dalam air laut suhu 40C selama 60
hari. Selain kondisi stres tersebut terdapat stres kekeringan yang dapat menginduksi
Shinorizobium meliloti masuk ke dalam tahap VBNC (Vriezen et al. 2012). V.
cholerae dan Aeromonas spp ditemukan menempel pada plankton pada tahap
VBNC dalam air bersih di India (Shukla et al. 1995). VBNC V. cholerae O1 juga
ditemukan di laut Argentina yang bergabung dengan fito dan zooplankton
(Binzstein et al. 2004).

Desikasi

Desikasi merupakan proses yang menyebabkan hilangnya air dari


permukaan atau bagian dalam medium organisme (Horneck 2014). Proses ini
merupakan stres yang parah sebagai akibat dari kekurangan air. Kehilangan
molekul air dapat memberikan stres secara struktur, fisiologis, dan biokimia yang
mengharuskan bakteri untuk berdaptasi atau mati (Billi et al. 2000; Potts 1994).
Pada sel yang terdesikasi, residu air tidak mencukupi untuk memperbaiki lapisan
air di sekitar makromolekul, sehingga reaksi metabolik enzim katalase tidak dapat
dilakukan. Membran lipid mungkin berubah dari planar bilayer menjadi cylindrical
bilayer. Kekurangan air ekstrim oleh perlakuan desikasi pada bakteri tidak dapat
dibuat dengan penambahan garam pada media pertumbuhan, adanya konsentrasi
ion yang tinggi berakibat toksik pada sel. Beberapa metode dalam memberikan stres
desikasi yang dapat diterapkan pada bakteri diantaranya sel dapat dipaparkan
dengan berbagai matrik terkontrol untuk mengurangi kadar air seperti
menggunakan larutan yang memberikan potensial air. Metode lainnya adalah
dengan imobilisasi sel menggunakan komponen inert seperti kertas saring atau
nilon, dan metode lainnya adalah dengan desikasi di bawah paparan udara atau
menggunakan desikan kimia seperti gel silika atau menggunakan fosfor
pentaoksida (Potts 1994). Dalam konteks biologi organisme memiliki strategi
dalam menghadapi stres desikasi, salah satunya adalah dengan desiccation
6

tolerance. Desiccation tolerance adalah kemampuan sel hidup untuk bertahan pada
proses desikasi. Beberapa bakteri dilaporkan memiliki kemampuan tersebut. Salah
satu bakteri yang dapat bertahan dalam lingkungan kering dengan adanya proses
desikasi adalah C. sakazakii. C. sakazakii memiliki toleransi tinggi terhadap proses
desikasi, sehingga memberikan keuntungan kompetitif untuk C. sakazakii pada
lingkungan kering seperti industri susu bubuk (Breeuwer et al. 2003).

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Februari sampai Agustus 2016 di


Laboratorium Mikrobiologi SEAFAST Center IPB, Laboratorium Persiapan
Departemen ITP IPB, Laboratorium Mikrobiologi Departemen ITP, dan
Laboratorium Mutu dan Keamanan Pangan SEAFAST Center IPB.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi isolat mutan C. sakazakii
YRt2a (JF800181), isolat mutan C. sakazakii E2 (Nurjananh 2014), buffer peptone
water (BPW,OXOID), brain heart infusion (BHI,Difco) broth, tryptone soy agar
(TSA,OXOID), CaCl2, alginat, Na-heksametafosfat, larutan ampisilin, natrium
piruvat (SIGMA), akuades dan minyak imersi.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi inkubator suhu 300C,
350C, dan 400C cawan petri steril, tabung reaksi steril, rak tabung reaksi, alat swab,
mikro pipet dan tip, gelas piala, tabung erlenmeyer, 0.22 µm pore size membrane
filter, kertas saring, epiflouresence microscope (Olympus CH3O) , lampu UV, gelas
preparat, dan cover slip 18 mm.

Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri atas 3 tahapan yaitu: tahap induksi VBNC, tahapan
perhitungan sel, dan tahap resusitasi. Masing-masing tahapan dilakukan dua kali
ulangan duplo (Gambar 2).

Tahap Persiapan dan Konfirmasi Isolat

Tahapan konfirmasi isolat mengacu pada metode Nurjanah (2014). Tahapan


konfirmasi isolat dilakukan dengan memindahkan isolat mutan YRt2a dan E2 ke
dalam medium BHI + ampisilin 100 µg/ml, kemudian diinkubasi 24 jam pada suhu
370C. Suspensi kemudian digores ke dalam medium TSA yang telah ditambahkan
ampisilin 100 µg/ml atau (TSAA) kemudian diinkubasi 370C 24 jam. Koloni
diamati di bawah lampu UV dengan hasil positif berwarna hijau berpendar.
7

Induksi Menggunakan Desikasi

Sebelum dipaparkan pada kondisi desikasi, isolat ditumbuhkan dalam BHI


broth kemudian selama 16 jam pada 370C sehingga mencapai fase akhir
eksponensial dengan konsentrasi 108 – 109 CFU/ml (Nurjanah 2014). Kultur
kemudian diencerkan 100 kali menggunakan BPW dan sebanyak 30 µl dari
suspensi diletakkan ke gelas preparat dalam cawan petri steril yang telah dipetak
dalam ukuran 1 cm2. Perlakuan induksi dapat dilihat pada Tabel 2. Cawan petri
dimasukkan dalam inkubator sesuai dengan suhu perlakuan. Setelah pemanasan 2

Gambar 1 Gelas objek yang telah dipetak


jam cawan kembali ditutup, kemudian disimpan pada suhu 210C (Shaker et al.
2008).

Tahapan Perhitungan Sel

Tahapan perhitungan dibagi menjadi dua bagian yaitu pengamatan di bawah


mikroskop fluoresens dengan metode direct microscopic count (DMC) dan
penghitungan koloni yang di cawankan pada media TSA dengan metode standard
plate count (SPC). Metode DMC dilakukan dengan mengamati secara langsung
gelas objek yang telah diinkubasi di bawah mikroskop fluoresens. Sel berpendar
dihitung sebanyak 10 bidang pandang kemudian jumlah organisme per ml dihitung
dengan rumus sebagai berikut (Yousef dan Carlstrom 2003):
sel 100
Jumlah = x rata-rata jumlah bakteri perbidang pandang
ml πr 2
Setelah gelas preparat diamati di bawah mikroskop kemudian diambil dengan
metode swab menggunakan kapas steril yang telah dicelupkan dalam alginat dan
CaCl2.
Kemudian hasil swab dimasukkan ke dalam campuran larutan BPW 9 ml dan 1 ml
Na-heksametafosfat. Suspensi tersebut dianggap sebagai pengenceran ke-0. Tahap
perhitungan sel dilakukan dengan mengambil 1 ml suspensi sampel yang ada pada
BPW dan dicawankan dengan metode sebar ke media TSA dan TSAA kemudian
diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C. Sel viable dapat dihitung dibawah lampu
UV menggunakan standard plate count (BAM 2001). Rumus yang digunakan
adalah sebagai berikut:
jumlah koloni pada cawan
N=
(1 x n1)+(0,1 x n2)+(0,01x n3)xd
Keterangan:
N = total bakteri (CFU/ml)
8

n1 = jumlah koloni pada cawan pengenceran pertama


n2 = jumlah koloni pada cawan pengenceran kedua
n3 = jumlah koloni pada cawan pengenceran ketiga
d = pengeceran pertama yang dihitung

Resusitasi Sel VBNC

Tahapan terakhir setelah induksi VBNC berhasil adalah resusitasi. Resusitasi


yang dilakukan mengacu pada resusitasi padat Mizunoe et al. (2000) yang
dimodifikasi. Natrium piruvat (Sigma, USA) ditambahkan sebanyak 0,1% pada
media TSA kemudian di-autoklaf. Media kemudian dituangkan ke dalam cawan
steril. Isolat yang telah diberi perlakuan dan menghasilkan positif VBNC tanpa
pengenceran dicawankan menggunakan TSA+ Na-piruvat (TSAP) dan TSAA + Na
piruvat (TSAAP) dengan metode sebar, diinkubasi 370C selama 24 jam. Perlakuan
resusitasi dilakukan dengan perlakuan kontrol menggunakan TSA dan TSAA.

Tabel 2 Perlakuan desikasi untuk menginduksi menginduksi kondisi desikasi

Perlakuan
Isolat Pengeringan Penyimpanan
mutan Referensi isolat dan
Suhu RH Waktu Suhu RH Waktu paparan
(0C) (%) (jam) (0C) (%) (jam)
30 51
24 Nurjanah et al. 2013,
35 50
2 21 58 48 Shaker et al. 2008,
40 37 72 Nabulsi 2009
YRt2a 50 18
30 51
24 Nurjanah et al. 2013,
35 50
2 21 58 48 Shaker et al. 2008,
40 37 72 Nabulsi 2009
E2 50 18
9

Isolat mutan C. sakazakii YRt2a dan


E2

Ditumbuhkan pada BHI + 100 µg/ml


ampisilin
Inkubasi 370C 24 jam
Digoreskan pada media TSAA

Inkubasi 370C 24 jam

Koloni positif

Konfirmasi dan
Persiapan Isolat
Diencerkan 100 kali dengan BPW

Ditempatkan pada gelas preparat petak

Diinduksi sesuai dengan perlakuan

Disimpan sesuai perlakuan Tahap I

Diamati menggunakan mikroskop fluoresens

Dicawankan pada TSA


Inkubasi 370C 24 jam
Diamatai di bawah lampu UV

Dilakukan perhitungan Tahap II

Perlakuan VBNC

Tahap III
Resusitasi

Gambar 2 Diagram alir tahapan penelitian


10

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konfirmasi Isolat

Konfirmasi isolat dilakukan untuk memastikan bahwa koloni yang diambil


adalah koloni mutan dari C. sakazakii. Mutan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah mutan C. sakazakii yang telah disisipi GFPuv sehingga memiliki
karakteristik koloni dapat berpendar di bawah lampu UV dan sel dapat diamati
secara langsung di bawah mikroskop fluoresens. Isolat yang digunakan adalah C.
sakazakii mutan YRt2a (Nurjanah et al. 2012) yang diisolasi dari susu formula
(Meutia et al. 2008). Isolat kedua yang digunakan adalah C. sakazakii mutan E2
(Silitonga 2016) yang diisolasi dari MP-ASI (Estuningsih et al. 2006). Isolat YRt2a
merupakan isolat dengan aktivitas sitotoksik redah, sedangkan isolat E2 memiliki
aktivitas sitotoksik tinggi (Nurjanah 2014).
Koloni yang telah dikonfirmasi dapat diamati dengan menggunakan lampu
UV dengan panjang gelombang 366 nm setelah dilakukan inkubasi pada suhu 370C
selama 24 jam setelah dilakukan penggoresan (Gambar 2). Isolat mutan E2 dan
YRt2a bersifat stabil. Ekspresi pGFPuv dikatakan stabil jika semua koloni isolat
menghasilkan fluoresen atau pendaran hijau (Silitonga 2016).
Koloni yang telah dikonfirmasi tersebut selanjutnya dipersiapkan dalam
media BHI mengandung ampisilin 100 µg/ml dan diinkubasi selama 16 jam pada
suhu 370C. Hasil dari persiapan tersebut kemudian dipupuk kedalam media TSA
mengandung ampisilin kemudian diinkubasi 24 jam pada suhu 370C untuk
mengetahui densitas bakteri. Isolat E2 memiliki densitas 108CFU/ml sedangkan
isolat YRt2a memiliki densitas109CFU/ml. Jumlah tersebut sesuai dengan
Nurjanah (2014), yang menyatakan bahwa kepadatan sel setelah inkubasi 16 jam
sebesar 108-109 CFU/ml.

Penentuan Kondisi VBNC C. sakazakii

Langkah pertama dalam mendeteksi sel VBNC adalah menghitung sel yang
dapat dikulturkan menggunakan metode pencawanan menggunakan agar (Li et al.
2004). Kemampuan sel untuk dikulturkan dihitung menggunakan metode standard
plate count (SPC) (BAM 2001). SPC merupakan metode standar penghitungan
bakteri yang dapat dikulturkan (Talaro et al. 2002). Berbeda dengan sel normal, sel
VBNC merupakan sel hidup yang mengalami kehilangan kemampuan untuk

Gambar 3 Konfirmasi isolat C. sakazakii


pGFPuv di bawah lampu UV
11

dikulturkan pada media umum yang biasanya bakteri tersebut tumbuh (Oliver 2000).
Metode SPC dilakukan sebelum perlakuan, setelah pengeringan selama 2 jam, serta
pada pengamatan jam ke-24, 48, dan 72 pada masing-masing isolat. Isolat
perlakuan pada objek gelas di-swab menggunakan alat swab yang ujungnya berupa
kapas. Kapas tersebut telah dilapisi dengan alginat dan CaCl2. Fungsi alginat adalah
sebagai penjerap sehingga bakteri pada permukaan dapat diangkat. Senyawa CaCl2
berfungsi membentuk struktur gel pada alginat, sehingga alginat menempel pada
permukaan kapas. Isolat perlakuan yang telah di-swab secara aseptis kemudian
dicelupkan pada BPW + Na-heksametafosfat selanjutnya divorteks. Penambahan
Na-heksametafosfat berfungsi dalam melepaskan jerapan alginat, sehingga bakteri
dapat bercampur dengan BPW. Larutan tersebut dipipet sebanyak 1 ml dan disebar
pada cawan berisi TSA dan TSAA. Hasil SPC dihitung di bawah lampu UV
(Gambar 3). Penggunaan dua media dalam plating digunakan untuk mengetahui
perbedaan kemampuan untuk dikulturkan isolat dengan keberadaan ampisilin. Hasil
plating diamati secara kualitatif terdapat pada Tabel 2.
Perbedaan media yang digunakan untuk menguji kemampuan dikulturkan
menunjukan perbedaan pada Isolat A dan isolat B. Isolat A sudah tidak dapat
dikulturkan pada media TSAA dalam waktu 24 jam, namun masih dapat
dikulturkan pada media TSA. Medium TSAA juga tidak dapat mendeteksi koloni
isolat B setelah dilakukan pengeringan pada waktu pengamatan 2 jam, namun
masih terhitung dalam media TSA sebanyak 0,74 log CFU/ml. Dalam pendeteksian
kemampuan untuk dikulturkan perlu digunakan media kaya nutrisi tanpa adanya
tambahan stres karena beberapa sel mengalami luka selama desikasi sehingga
memungkinkan gagalnya pertumbuhan pada media selektif. Sel yang terluka
memiliki sensitivitas lebih tinggi untuk tumbuh pada media yang umumnya tidak
menghambat, namun sel tersebut tidak dikatakan VBNC apabila masih dapat
dikulturkan pada media non-selektif (Pinto et al. 2013).
TSAA merupakan media selektif dari isolat mutan C. sakazakii. Mutan C.
sakazakii yang digunakan merupakan bakteri yang memiliki resistensi genetik
terhadap ampisilin. Faktor yang menentukan sifat resistensi bakteri terhadap
ampisilin terdapat pada elemen yang bersifat genetik yaitu gen penyandi enzim β-
laktamase. Enzim ini mampu menghidrolisis ampisilin, sehingga adanya ampisilin
tidak mengganggu pembentukan ikatan silang pada dinding sel bakteri (Haddix et
al. 2000). Sedangkan TSA merupakan media non-selektif atau media umum,
sehingga sel yang mungkin terluka selama induksi dapat memperbaiki diri,

Gambar 4 Hasil pengamatan koloni C. sakazakii


pGFPuv di bawah lampu UV
12

sehingga setelah inkubasi sel masih memiliki kemampuan untuk dikulturkan.


Perbedaan kemampuan untuk dikulturkan juga terjadi pada sel VBNC Vibrio
vulnificus dan C. jejuni. Pada umumnya sel normal V. vulnificus tumbuh pada media
berbentuk agar heart infusion yang ditambahkan 20 µl dari 3% hidrogen peroksida

Tabel 3 Hasil pemupukan pada media TSA dan TSAA


Pengeringan Penyimpanan pada 210C
Kode 2* 24 48 72
Isolat TSA TSAA TSA TSAA TSA TSAA TSA TSAA
A + + + - - - - -
B + - - - - - - -
C - - - - - - - -
D + + + + - - - -
E + + - - - - - -
F - - - - - - - -

Keterangan:
* Waktu pengeringan
A: YRt2a dengan suhu pengeringan 300C
B: YRt2a dengan suhu pengeringan 350C
C: YRt2a dengan suhu pengeringan 400C
D: E2 dengan suhu pengeringan 300C
E: E2 dengan suhu pengeringan 350C
F: E2 dengan suhu pengeringan 400C
+: Dapat dikulturkan
-: Tidak dapat dikulturkan

(H2O2). Namun pada saat memasuki tahap VBNC, sel hanya dapat tumbuh pada
agar HI dengan 1/10 konsentrasi H2O2 atau dengan konsentrasi lebih rendah
(Bogosian et al. 2000). Hal serupa juga terjadi pada C. jejuni yang kehilangan
kemampuan untuk dikulturkan pada media agar Karmali. Media agar Karmali
merupakan media selektif yang dapat menekan pertumbuhan spesies bakteri tidak
diinginkan. Penelitian Cools et al. (2003) menunjukkan C. jejuni yang sudah tidak
dikulturkan pada media agar Karmali namun masih dapat dikulturkan pada media
non-selektif Columbia blood agar. Berdasarkan data tersebut maka dalam
pendeteksian mutan C. sakazakii digunakan media TSA sebagai indikator
kemampuannya untuk dikulturkan.
Pengamatan untuk penentuan tahapan VBNC dilakukan paralel antar tahap
penentuan kemampuan untuk dikulturkan dengan perhitungan secara kuantitatif sel
viable menggunakan metode DMC di bawah mikroskop fluoresens. Sel dinyatakan
telah memasuki tahap VBNC setelah hilangnya kemampuan untuk dikulturkan
namun masih terdapat sel viable yang diamati di bawah mikroskop fluoresens.
Keuntungan dari penggunaan mikroskop fluoresen adalah sensitif, spesifik, dan
hasilnya dapat diketahui secara cepat (Sardessai et al. 2005; Oliver 2005; Oliver
2013; McDougald et al. 1998).
13

Hasil pengamatan diplotkan dalam bentuk grafik pada masing-masing isolat. Isolat
YRt2a masing-masing perlakuan suhu terdapat pada Gambar 5a, 5b, 5c, dan 5d.
Berdasarkan data setelah isolat dimasukkan ke dalam inkubator selama 2 jam akan
mengalami penurunan baik pada SPC maupun pada DMC. Pada SPC akan terdapat
penurunan 7 – 8 log, sedangkan untuk DMC hanya terdapat penurunan sebesar 4 –
5 log. Metode DMC menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan
hasil SPC. Kurva pada suhu yang lebih tinggi menunjukkan kurva lebih curam
dibandingkan dengan kurva pada isolat YRt2a yang diletakkan pada suhu yang
lebih rendah.

a b

Gambar 5 Hasil SPC dan DMC isolat YRt2a (a) Suhu 300C (b) Suhu 350C (c)
Suhu 400C
14

Isolat yang diberi perlakuan suhu 400C mengalami penurunan hingga


dibawah 1 log pada penyimpanan jam ke-72. Berdasarkan penelitian Shaker et al.
(2008), menyebutkan bahwa stres desikasi yang dilakukan pada suhu 400C akan
menurunkan jumlah C. sakazakii hingga ≤ 1 log pada waktu desikasi 50 menit. Stres
desikasi menyebabkan adanya kegagalan C. sakazakii dalam membentuk ikatan
silang untuk melindungi terhadap perlakuan panas. Hal tersebut dapat disebabkan
karena adanya paparan stress secara simultan. Beales (2004) menyebutkan bahwa
paparan stres desikasi yang dikombinasikan dengan stres kekurangan nutrisi
mengonsumsi energi dari protein yang melindungi shock stress, kondisi tersebut
menyebabkan mikroorganisme mengalami metabolic exhausted. Sementara pada
suhu yang lebih rendah yaitu 30 dan 350C isolat perlakuan YRt2a lebih stabil
ditunjukkan dengan kurva yang landai.
Isolat C. sakazakii YRt2a dinyatakan memasuki tahap VBNC saat tidak ada
koloni pada TSA namun terdapat sel terhitung pada DMC. Isolat YRt2a yang
dipaparkan pada suhu 300C memasuki tahap VBNC pada jam ke-48, sedangkan
isolat yang dipaparkan suhu 350C memasuki tahap VBNC lebih cepat yaitu pada
jam ke-24. Pada suhu 400C dengan pengeringan 2 jam sel sudah memasuki tahap
VBNC. Hasil untuk isolat E2 diplotkan dalam bentuk grafik pada Gambar 6a, 6b,
6c, dan 6d.

a b

c
Gambar 6 Hasil SPC dan DMC isolat E2 (a) Suhu 300C (b) Suhu 350C (c) Suhu 400C
15

Berdasarkan grafik tersebut isolat E2 relatif konstan dengan bentuk kurva


yang lebih landai pada DMC. Pada masing-masing suhu paparan terdapat
penurunan jumlah isolat untuk DMC 2 – 3 log untuk DMC dan 6 – 7 log untuk SPC.
Isolat E2 lebih stabil dibandingkan dengan YRt2a. Penurunan pada isolat YRt2a
lebih besar dikarenakan isolat YRt2a merupakan isolat yang diisolasi dari susu
formula. Susu formula merupakan produk yang dikeringkan menggunakan
pengeringan semprot pada suhu yang tinggi (160-1700C) tetapi dengan waktu yang
singkat yaitu sekitar 1-2 detik sehingga paparan panas yang diterima YRt2a lebih
singkat (Nurjanah 2013). Isolat YRt2a diisolasi dari makanan pendamping ASI
(MP-ASI). Pengeringan MP-ASI menggunakan pengering kabinet suhu 50-550C
selama 2 jam (Listyoningrum dan Harijono 2015), sehingga paparan panas yang
diterima E2 lebih panjang dibandingkan dengan YRt2a. Hal tersebut yang
menyebabkan isolat YRt2a memiliki kurva yang lebih curam dan E2 lebih landai.
Penentuan waktu isolat E2 memasuki tahap VBNC yaitu pada suhu 300C
memasuki tahap VBNC pada jam ke-48, sedangkan pada suhu 350C memasuki
tahap VBNC pada jam ke-24. Sama halnya dengan isolat YRt2a, isolat E2 pada
suhu 400C juga memasuki tahap VBNC langsung setelah dilakukan paparan 2 jam.
Tidak ada perbedaan waktu induksi sel menjadi VBNC pada kedua isolat, keduanya
masuk pada jam yang sama pada masing-masing suhu. Desikasi mampu mengubah
C. sakazakii normal atau dapat dikulturkan menjadi sel VBNC. Beberapa
mikroorganisme lain seperti Sinorhizobium meliloti (Vriezen et al 2012) dan
Enterobacter cloacae (Pederson dan Jacobsen 1993) juga dapat diinduksi menjadi
VBNC menggunakan desikasi. Waktu yang dibutuhkan untuk menginduksi C.
sakazakii menjadi VBNC relatif cepat dibandingkan dengan bakteri lain. Bakteri
seperti Arcobacter butzleri, Campylobacter jejunii, Citrobacter freundii,
Enterobacter cloacae, Enterococus hirae, Micrococus luteus, Mycobacterium
tuberculosis, dan Vibrio cholerae masing-masing memiliki waktu induksi VBNC
secara berturut-turut 270 hari, 15 hari, 11 tahun, 60 hari, 60 hari, 6 bulan, 3.5 bulan,
dan 110 hari (Li et al. 2014). Waktu yang singkat sesuai dengan Shaker et al. (2008)
induksi stres menggunakan desikasi yang diberikan pada C. sakazakii dalam
rehydrated infant milk formula menurunkan C. sakazakii dengan waktu paling
singkat dibandingkan dengan stres kekurangan nutrisi (starvation), stres panas, dan
stres dingin.

Resusitasi

Resusitasi merupakan tahap transisi dari tahap VBNC kembali ke tahap yang
dapat dikulturkan. Masing-masing bakteri memiliki stimulus resusitasi yang
berbeda seperti peningkatan suhu, peningkatan nutrisi, dan keberadaan
resuscitation promoting factor. Salah satu senyawa yang memicu terjadinya
resusitasi adalah natrium piruvat. Natrium piruvat merupakan senyawa yang dapat
mendegradasi H2O2 dan secara efisien meresusitasi Vibrio parahaemolyticus pada
media yang disuplementasi (Mizunoe et al. 2000). Sementara Beuchat et al. (2009)
telah membandingkan media agar untuk meresusitasi C. sakazakii yang telah
terpapar stres panas, beku, basa, dan desikasi. Penelitian tersebut menggunakan
TSA yang disuplementasi dengan piruvat 0,1% (TSAP). Media TSAP
menunjukkan adanya jumlah koloni terbanyak pada resusitasi sel yang terpapar
stres.
16

Waktu resusitasi pada sel VBNC bervariasi. Masing-masing bakteri dengan


induksi yang berbeda memiliki waktu spesifik dalam beresusitasi. Waktu resusitasi
ini disebut sebagai resuscitation window yang spesifik bagi masing-masing bakteri.
Belum ada penelitan yang dapat membedakan sel yang benar-benar diresusitasi atau
sel merupakan sel normal. Sehingga waktu yang tepat untuk melakukan resusitasi
adalah pada saat tidak ada koloni yang tumbuh pada media (Downing et al. 2005).
Tahapan akhir penelitian ini adalah menguji kemampuan resusitasi dari sel VBNC
C. sakazakii yang telah diinduksi dengan desikasi. Isolat C. sakazakii yang telah
diberikan perlakuan suhu 400C dicawankan pada media TSAP dan sebagai
pembanding dilakukan pula pencawanan pada media TSAAP. Sebagai kontrol
dilakukan plating pada media TSA ataupun TSAA. Kontrol digunakan untuk
mengetahui bahwa isolat yang dilakukan resusitasi benar-benar telah memasuki
tahap VBNC. Hasil resusitasi terdapat pada Gambar 7.
50
45
40
Jumlah sel (CFU/ml)

35
30
25
20
15
10
5
0
TSA TSAA TSA+ Na piruvat TSAA + Na piruvat
Media resusitasi

E2 YRt2a

Gambar 7 Hasil resusitasi menggunakan Na-piruvat


Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa kontrol sudah menunjukkan tidak
ada koloni yang terbentuk baik pada media TSA maupun pada media TSAA, artinya
seluruh sel telah mengalami kehilangan kemampuan dikulturkan dan masuk pada
tahap VBNC. Sel yang telah diberi perlakuan tersebut kemudian dicawankan pada
media yang disuplementasi piruvat. Hasil pada media TSAP yaitu media tanpa
penambahan ampisilin menunjukkan kemampuan untuk dikulturkan kembali baik
pada isolat E2 maupun YRt2a. Isolat E2 mampu kembali ke tahap dikulturkan
sebanyak 4,6 x101 CFU/ml sedangkan isolat YRt2a memiliki jumlah yang lebih
rendah yaitu 4,0 x 100 CFU/ml. Natrium piruvat mampu mengembalikan C.
sakazakii dari tahap VBNC ke tahap dapat dikulturkan, senyawa ini merupakan
antioksidan yang dapat menetralisir atau mencegah pembentukan ROS seperti H2O2
dalam media. Selain itu Na-piruvat ditambahkan ke dalam media berfungsi sebagai
sumber karbohidrat dimana sel dapat dengan mudah mendapatkan energi. Pada L.
monocytogenes piruvat 0,1% dapat mengembalikan sel ke tahap dapat dikulturkan
setelah mendapatkan stres desikasi (Sally dan Dickson 2004).
Penggunaan antibiotik yaitu ampisilin pada resusitasi menyebabkan tingkat
resusitasi yang lebih rendah pada isolat E2 dan tidak berhasil meresusitasi YRt2a.
17

Isolat E2 yang mampu diresusitasi sejumlah 3,4 x 100 CFU/ml. Isolat YRt2a yang
hanya mampu diresusitasi dalam jumlah yang rendah oleh TSAP menjadi tidak
dapat diresusitasi pada TSAAP. Adanya ampisilin diduga memiliki efek
menghambat dalam resusitasi. Studi Lleo et al. (1998) menggunakan konsentrasi
antibiotik rendah untuk membunuh sel yang mampu dikulturkan. Penggunaan
antibiotik tidak direkomendasikan seperti pada E. faecalis adanya antibiotik
menghambat terjadinya resusitasi dengan mempengaruhi biosintesis dinding sel
(Lleo et al. 2007). Penelitian Sally dan Dickson (2004) juga menunjukkan media
non-selektif menunjukkan adanya hasil reusitasi yang lebih baik dibandingkan
dengan media selektif pada L. monocytogenes.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Desikasi dapat menginduksi C. sakazakii memasuki tahap VBNC pada


paparan suhu 400C selama 2 jam. Penyimpanan hingga jam ke-24 dan 48 dapat
menginduksi C. sakazakii yang didesikasi pada suhu 30 dan 350C. Penambahan
natrium piruvat pada media TSA mampu meresusitasi sel VBNC C. sakazakii
kembali ke tahap dapat dikulturkan. Adanya penambahan ampisilin menghambat
terjadinya resusitasi.

Saran

Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggunakan metode analisis sel


viable menggunakan kit misalnya Baclight Live Dead untuk galur liar. Selain itu
penelitian selanjutnya dapat menerapkan metode penelitian ini pada bahan pangan
kering. Saran pada industri pangan agar lebih memperhatikan kemungkinan
terjadinya VBNC pada produk akhirnya dan peralatan industrinya serta menerapkan
quality control yang dapat mendeteksi C. sakazakii pada berbagai tahap.
18

DAFTAR PUSTAKA

[BAM]. 2001. Chapter 3: Aerobic plate count. [Internet]. Di akses 2015 Desember
5.Website:
http://www.fda.gov/Food/FoodScienceResearch/LaboratoryMethods/uc
m063346.htm
[WHO]. 2008. Enterobacter sakazakii and other microorganism in powdered infant
formula. Microbiol Risk Asses. WHO, Geneva, Switzerland.
Beales N. 2004. Adaptation of microorganism to cold temperatures, weak acid
preservatives, low pH, and osmotic stress: a review. Comp Rev Food Sci
Food Safety 3: 1 – 20.
Besnard V, Frederigh M, Declerq E, Jugiau F, Ceppelier J. 2002. Environmenta and
physico-chemical factors induce VBNC state Listeria monocytogenes. J
Vet Res. 33: 395 – 370.
Binzstein N et al. 2004. Viable but non-culturable Vibrio cholera O1 in aquatic
environment of Argentina. Applied Environmental Microbiology. 70: 7481
– 7486.
Beuchat L, Kim H, Gutler J, Lin L, Ryu J, Glenner, Richards. 2009. Cronobacter
sakazakii in foods and factors affecting its survival, growth, and
inactivation. J Food Microbiol 136: 204 – 213.
Billi D, Potts M. 2000. Life without water: responses of prokaryotes to desiccation.
Environmental stressors and gene responses. Amsterdam: Elsevier.
Bogosian G, Aardema N, Bourneuf E, Morris P, Oneil J. 2000. Recovery of
hydrogen peroxide sensitive culturable Vibrio vulnificus gives the
appearance of resuscitation from viable but nonculturable state. J
Bacteriology 182 (18): 5070 – 5075.
Breeuwer P. Lardeau A, Joosten H. 2003. Dessication and heat tolerance of
Enterobacter sakazakii. J. Appl Microbiol. 95: 967 – 973.
Byrd J, Xu H, Colwel R. 1991. Viable but nonculturable bacteria in drinking water.
J Appl Environ Microbiol. 57: 875 – 878.
Cools I, Uyttendaele M, Caro C, Haese D, Debevere J. 2003. Survival of
Campylobacter jejuni strains of different origin in drinking water. J Appl.
Microbiol 94: 886 – 892.
Crameri A, Whitehorn EA, Tate E, Willem PC, Stemmer WPC. 1996. Improved
green fluorescence protein by molecular evolution using DNA Shuffling.
J. Nat. Biotechnol 14: 315 – 319.
Cunningham E, O’Byrene, Oliver J. 2009. Effect of weak acids on Listeria
monocytogenes survival: evidence for a viable but nonculturable state in
response to low pH. Food Control. 20: 1141 – 1144.
Dancer G, Mah J, Rhee S, Hwang I, Kang D. 2009. Resistence of Enterobacter
sakazakii to environmental stresses. J Appl Microbiol. 107: 1606 – 1614.
Dewanti-Hariyadi R, Gitapratiwi D, Meutia Y, Hidayat S, Nurjanah S. 2010.
Isolation of Cronobacter sakazakii from powdered infant formula and
other dried food obtained from Bogor in: International Seminar on
Current Issues Challenges in Food Safety: science-based approach for
food safety management. October 3 – 4, IPB International Confrence
19

Center, Bogor, Indonesia. South Asian Food and Agricultural Science


and Technology (SEAFAST) Center, Bogor, Indonesia.
Dewanti-Hariyadi R, Larasati F, Nuraida L. 2012. Survival of Cronobacter
sakazakii in skim milk during spray drying storage and resuscitation.
JTIP. 13 186-192.
Downing K, Mischenko V, Shleeva, Young D, Young M, Kaprelyants A. 2005.
Mutants of Mycobacterium tuberculosis lacking three of the five rpf-like
gens are defective for growth in vivo and resuscitation in vitro. J Infect
Immun. 73: 3038 – 3043.
Du M, Chen J, Zhang X, Li A, Wang Y. 2007. Retention of virulence in a viable
but nonculturable Edwardsiella tarda isolate. Appl Environ Microbiol.
73: 1349 – 1354.
Ducret A, Chablier M, Dukan S. 2014. Characterization and resuscitation of non
culturable clls of Legionela pneumophilla. BMC Microbol. 14: 3.

Estuningsih S, Kress C Hassan A, Akinden O, Schineider E, Usleber E. 2006


Cronobactericeae in dehydrated powdered infant formula manufactured
in Indonesia and Malaysia. J Food Prot. 69(12): 3013 – 3017.
Friedmann M. 2007. Enterobacter sakazakii in food and beverages (other than
infant formula and milk powder). Int J Food Microbiol. 116: 1 – 10.
Gitapratiwai D, Dewanti-Hariyadi R, Hidayat SH. 2012. Genetic relatedness of
Cronobacter spp isolated from dried food product in Indonesia. J Int
Food Res. 17(4): 1745-1749.
Haddix P, Paulsen E, Werner T. 2000. Measurment of mutation to antibiotic
resistance: ampicilin resistance in Serratia marcescens: J Bioscene 26
(1): 17 – 21.
Hamdani FW. 2012. Evaluation of genetic diversity of local isolates Cronobacter
spp. From dried foods [Thesis] Bogor, Sekolah Pascasarjana, IPB
Horneck G. 2014. Dessication: Encyclopedia of Astrobiology. Berlin: Springer
Verlag.
Iversen C, Forsythe S. 2004. Isolation Enterobacter sakazakii and other
Enteroobacteriaceae from powdered infant milk and related products. J
Food Microbiol. 21: 771 – 777.
Keer J, Birch L. 2003. Molecular methods for assessment of bacterial viability. J
Microbiol Meth. 53: 175 – 183.
Li L, Mendis N, Trigui H, Oliver J, Faucher S. 2014. The importance of the viable
but non-culturable state in human bacterial pathogens. Frontiers
Microbiol. 5 (258): 1 – 20.
Listyoningrum H, Harijono. 2015. Optimasi susu bubuk dalam makanan
pendamping ASI. J Pang Agr 3 (4): 1302 – 1312.
Liu Y, Gilchrist A, Zhang J, Li F. 2008. Detection of viable but non-culturable
Eschericia coli O157;H7 bacteria in drinking water and river water. Appl
Environ Microbiol. 74(5): 1502 – 1507.
Lleo M, Tafi M, Canepari P. 1998. Nonculturable Enterococus faecalis cells are
metabolically active and capable of resuming active growts. J Syst Appl
Microbiol 21: 333 – 339.
20

Lleo M, Benedetti, Tafi D, Signoretto C, Canepari P. 2007. Inhibition of


resuscitation from the viable but non-culturable state in Enterococcus
faecalis. J Environ Microbiol 9: 2313 – 2320.
McDaugald D, Rice S, Weichart D. 1998. Nonclturability: adaptation or debilitation.
FEM Microbiol Ecol. 25 (1): 1 – 9.
Meutia YR, Dewanti R, Estuningsih S. 2008. Enterobacter sakazakii isolate asal
susu formula dan makanan bayi: karakterisasi gen 16s rRNA dan perilaku
bakteri pasca rekonstitusi. [Desertasi]. Bogor, IPB.
Mizunoe Y, Wai A, Takade A, Yoshida S. 2000. Resuscitation of viable but
nonculturable cells of Vibrio parahaemolyticus induced at low
temperature under starvation. FEM Microbiology Letters 186 (2000):
115 – 120.
Musa AMA. 2015. Using pGFP mutants to study the influence of drying on the
survival of Cronobacter sakazakii in maize. [Thesis]. Sekolah
Pascasarjana, IPB, Bogor.
Nabulsi A, Osaili T, Al-Holy M, Shaker R, Ayyash M, Olaimat A, Holley R. 2009.
Influence of dessication on the sensivity of Cronobacter spp. to
lactoferrin ornisin in broth and powdered infant formula. Intl J Food
Microbiol. 136: 221 – 226.
Nifosi R, Tozzini V, Beltram F. 2005. Fluorescent proteins pp. 235 – 244 In:
Encyclopedia of Condensed Matter Physics. Elsevier.
Nurjanah S. 2014. Sitotoksisitas dan pelabelan Cronobacter sakazakii dengan green
fluorescent protein untuk mempelajari perilakunya selama pengeringan
jagung. [Desertasi]. Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor.
Oliver J. 2000. The Public Health Significance of Viable but Nonculturable
Bacteria. Washington DC: ASM Press.
Oliver J. 2005. The viable but nonculurable state in bacteria. J. Microbiol 43 (1):
93 – 100.
Oliver J. 2010. Recent findings on the viable but non-culturable state in pathogenic
bacteria. FEMS Microbiol. Rev. 34: 415 – 425.
Pederson J, Jacobsen C. 1993. Fate of Enterobacter cloacae JP210 and AEO106
(pRo101) in soil during waterstress: Effect on culturability and viability.
J Appl Environ Microbiol 59(5): 1560 – 1564.
Pinto D, Santos M, Chambel. 2013. Thirty years of viable but nonculturable state
research: Unsolved molecular mechanism. Critical review in
microbiology.
Potts M. 1994. Desiccation tolerance of prokaryotes. J. Microbial Rev. 58: 755 –
805.
Sally C, Dickson J. 2004. Survival and recovery of viable but non-culturable
Listeria monocytogenes cells in a nutritionally depletion. J Food Prot. 67
(8): 1641 – 1645.
Sardessai Y. 2005. The viable but nonculturable bacteria: their impact on public
health. J. Curr Sci. 89 (10): 1650.
Shaker et al. 2007. Inactivation Enterobacter sakazakii in infant formula by gamma
irradiation: determination of D10-value. J Food Sci. 72(3): M85- M88.
Shaker R, Osaili T, Al-Omary W, Jaradat Z, Al-Zuby M. 2007. Isolation of
Enterobacter sakazakii and other Enterobacter sp. from food and food
production environments. J Food Con. 18: 121 – 1245.
21

Shaker R, Osaili A, Hasan A, Ayyash M, Forsythe S. 2008. Effect of desiccation,


starvation, heat, and cold stresses on the thermal resistance of
Enterobacter sakazakii in rehydrated infant milk formula. J Food Sci
73(7): 354 – 359.
Shleeva M, Mukamolova G, Young M, Williams H, Kaprelyants A. 2004.
Formation of non-culturable cells of Mycobacterium smegmatis in
stationary phase in response to growth under suboptimal condition and
their Rpf-mediated rescucitation. Microbiology. 150: 1687 – 1697.
Signoretto C, Lleo M, Tafi M, Canepari P. 2000. Cell wall chemical composition
of Enterococcus faecalis in the viable but nonculturable state. Appl.
Environ. Microbiol. 66: 1953 – 1959
Silitonga YW. 2016. Resistensi Cronobacter sakazakii terhadap ampisilin dan
hubungannya dengan stabilitas ekspresi GFPuv. [Thesis]. Sekolah
Pascasarjana, IPB, Bogor.
Sulistiyanti ST. Kajian pembuatan maizena dari jagung kuning dan sintas mutan
Cronobacter spp. selama pembuatan maizena. [Skripsi]. Fakultas
Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Theresia R. 2015. Ketahanan mutan Cronobacter sakazakii dan mikroorganisme
lain terhadap ampisilin untuk pengembangan media spesifik. [Skripsi].
Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Thomas C, Mabey M. 2001. Culturability, injury and morphological dynamics the
thermophilic Campylobacter spp. within a laboratory-based aquatic
model system. J Appl Microbiol 9: 433 – 442.
Vriezen J, Bruijn F, Nusslein K. 2012. Dessication induces viable but non-
culturable cells in Sinorhizobium meliloti 1021. AMB Express 2 (6): 1 –
9.
Besnard V, Frederigh M, Declerq E, Jugiau F, Ceppelier J. 2002. Environmentak
and physico-chemical factors induce VBNC state Listeria monocytogenes.
Vet Res. 33: 395 – 370.
Cunningham E, O’Byrene, Oliver J. 2009. Effect of weak acids on Listeria
monocytogenes survival: evidence for a viable but nonculturable state in
response to low pH. Food Control. 20: 1141 – 1144.
Wong H, Wang P. 2004. Induction of viable but nonculturable state in Vibrio
parahaemolyticus and its suspeceptibility to environmental stresses. J. Appl.
Microbiol. 96: 395 – 366.
Yousef AE, Carlstrom C. 2003. Food Microbiology A Laboratory Manual. New
Jersey: John Wiley & Sons.
22

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banjarnegara, 5 Januari 1994. Penulis menempuh


pendidikan di SD N 1 Karangkobar, SMPN 1 Karangkobar, dan SMA N 1
Banjarnegara menyelesaikan pada tahun 2012 dan pada tahun yang sama diterima
di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN Undangan.
Selama perkuliahan penulis aktif dalam organisasi diantaranya sebagai
Sekretaris Bina Desa BEM KM IPB 2014, Sekretaris Kementrian Sosial
Masyarakat BEM KM IPB 2015, Reporter Majalah Peduli Pangan Emulsi Gen 7,
dan sebagai Pimpinan Redaksi Emulsi Gen 8. Penulis merupakan beswan Karya
Salemba Empat tahun 2016. Penulis juga mengikuti kepanitiaan diantaranya
MPKMB 50, Rapat Kerja Nasional Sosmas, Foodival, Techno F, dan BAUR
ACCESS. Penulis juga terdaftar sebagai Asisten Praktikum Mikrobiologi Pangan.
Selain itu penulis juga merupakan Finalis Program Inkubasi Puspiptek Kemenristek
2015, serta PKM Kewirausahaan didanai DIKTI 2014.

You might also like