Professional Documents
Culture Documents
VBNC
VBNC
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Induksi Tahap Viable
but Non-Culturable Sel Cronobacter sakazakii dengan Perlakuan Desikasi adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2016
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah berjudul “Induksi Tahap Viable but Non-
Culturable Sel Cronobacter sakazakii dengan Perlakuan Desikasi” dapat
diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada:
1. Ibu Siti Djuhariyah dan Bapak Mukofa selaku orang tua yang tak lelah untuk
mengirimkan doa, memberikan semangat, dan nasehatnya, serta Kakak
Yayang Kurniawan untuk semangatnya.
2. Dr. Siti Nurjanah STP, M. Si dan Prof. Dr. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc
sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan masukan
dan bimbingan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan
3. Kementrian Pendidikan Perguruan Tinggi untuk dana riset yang diberikan
sehingga penelitian ini dapat terlaksana
4. Terimakasih pula kepada Rifky Eko Setiawan, Sabrina, Hayatul, Rita, Rifah
untuk selalu mendengarkan keluh kesah dan memberikan semangat kepada
penulis, serta pada Ikamabara 49 dan ITP 49 atas segala kebersamaannya.
5. Terimakasih kepada Kak Eci, Kak Maryam, Kak Ema, Kartinah, Mba Yane,
Mba Tami, Kak Alia, Mas Edi, dan Mba Ari atas kerjasama dengan penulis
selama penelitian.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 3
TINJAUAN PUSTAKA 3
Isolat Mutan Cronobacter sakazakii 3
Viable but Non-Culturable (VBNC) 4
Desikasi 5
METODOLOGI PENELITIAN 6
Tempat dan Waktu Penelitian 6
Bahan dan Alat 6
Metode Penelitian 6
Tahap Persiapan dan Konfirmasi Isolat 6
Induksi Menggunakan Desikasi 7
Tahapan Perhitungan Sel 7
Resusitasi Sel VBNC 8
HASIL DAN PEMBAHASAN 10
Konfirmasi Isolat 10
Penentuan Kondisi VBNC C. sakazakii 10
Resusitasi 15
SIMPULAN DAN SARAN 17
Simpulan 17
Saran 17
DAFTAR PUSTAKA 18
RIWAYAT HIDUP 22
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 Gelas objek yang dipetak 7
2 Diagram alir tahapan penelitian 9
3 Konfirmasi isolat C. sakazakii pGFPuv di bawah lampu UV 10
4 Hasil pengamatan koloni C. sakazakii pGFPuv di bawah lampu UV 11
5 Hasil SPC dan DMC isolat YRt2a 13
6 Hasil SPC dan DMC isolat E2 14
7 Hasil resusitasi sel VBNC C. sakazakii 17
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Adanya bakteri dalam suatu pangan dapat dijadikan indikator pada mutu dan
keamanan pangan. Salah satu bakteri yang termasuk sebagai patogen oportunistik
pada pangan yang berpengaruh pada keamanan pangan yaitu Cronobacter sakazakii
(Dewanti et al. 2010). C. sakazakii merupakan bakteri gram negatif, berbentuk
batang, bersifat motil, tidak dapat membentuk spora, dan bersifat fakultatif anaerob
(Iversen & Forsythe 2003). Bakteri ini telah diisolasi pada berbagai pangan
termasuk susu, keju, daging, sayuran, biji sorghum, padi, rempah-rempah, roti,
minuman fermentasi, tahu, dan teh asam (Friedman 2007; Shaker et al. 2007). Di
Indonesia Cronobacter spp. juga berhasil diisolasi dari makanan lokal diantaranya
tepung jagung, susu formula, makanan bayi, bubuk coklat, maizena, dan tepung
hunkue (Dewanti 2011; Gitapratiwi 2011; Estuningsih 2006; Meutia 2008).
Golongan paling beresiko untuk terinfeksi bakteri ini adalah bayi yang lahir
dengan berat badan kurang, bayi prematur, bayi yang mempunyai penurunan sistem
imun, dan bayi dari ibu yang menderita HIV (WHO 2008). Beberapa kasus yang
disebabkan oleh C. sakazakii antara lain necrotizing enterocolitis (NEC),
meningitis, dan bacterimia pada bayi melalui konsumsi susu formula (Iversen dan
Forsythe 2003). Bakteri ini merupakan salah satu anggota dari Enterobactericeae
yang paling tahan terhadap panas. Penelitian-penelitian terakhir menunjukkan
ketahanannya terhadap proses pengeringan pada berbagai produk (Sulistiyanti
2013; Musa 2015). Selain itu bakteri ini juga dapat bertahan terhadap stres osmotik,
bahkan dapat meningkatkan fase lag pada penurunan aw (Dancer et al. 2009).
Berdasarkan karakteristik tersebut C. sakazakii dikhawatirkan keberadaannya
terlebih pada pangan yang dikeringkan. Menurut Breeuwer et al. (2003) C.
sakazakii toleran terhadap stres akibat desikasi dan panas. Kondisi stres lingkungan
dapat menginduksi bakteri masuk kedalam tahap viable but non-culturable
(VBNC). VBNC merupakan tahap hilangnya kemampuan untuk dikulturkan pada
media agar yang biasa digunakan untuk mendeteksi secara konvensional namun
masih tetap melakukan aktivitas metabolitnya (Li et al. 2014). Beberapa penelitian
menunjukkan keadaan VBNC pada bakteri seperti Eschericia coli pada air sungai
(Liu et al. 2008) dan Listeria monocytogenes karena beberapa kondisi stres
(Besnard et al. 2002). Kondisi tidak menguntungkan tersebut dapat diinduksi
dengan memberikan stres pada bakteri. Salah satu stres yang dapat diberikan adalah
stres kekeringan. Beberapa spesies dari genus Enterobacter telah ditemukan dapat
memasuki tahap VBNC diantaranya Enterobacter aerogenes karena kondisi
kekurangan nutrisi, Enterobacter cloacae disebabkan karena suhu rendah,
sebaliknya Enterobacter agglomerans karena suhu tinggi (Byrd et al. 1991; Oliver
2010). Namun, untuk kondisi VBNC C. sakazakii belum dilaporkan lebih lanjut
meskipun sudah terdapat laporan kemungkinan memasuki tahap ini.
Kondisi VBNC ini dapat memberikan keuntungan bagi bakteri tersebut,
namun merugikan bagi manusia. Kerugian yang mungkin terjadi adalah tidak
dideteksinya bakteri pada media normal sehingga saat melalui tahap quality control
produk dapat lolos namun pada saat stres dihilangkan bakteri dapat kembali ke
tahap normal (Du et al. 2007), selain peralatan industri yang kontak dengan produk
2
juga dapat memberikan kontaminasi pada produk akhir. Oleh karena itu penting
untuk mengetahui kondisi-kondisi yang memungkinkan induksi sel masuk pada
tahap VBNC terutama untuk bakteri patogen. Beberapa metode dapat digunakan
untuk kuantifikasi sel VBNC melalui pendeteksian respon aktivitas metabolik,
integritas sel, dan secara molekuler (Keer & Birch 2003). Berdasarkan
permasalahan tersebut penelitian ini akan mempelajari induksi sel VBNC C.
sakazakii menggunakan desikasi. Dalam mempermudah metode pengamatan maka
digunakan isolat mutan green fluorescence protein C. sakazakii yang memiliki
karakter resisten terhadap media ampisilin, dapat berpendar dibawah lampu UV,
dan dapat diamati langsung di bawah mikroskop fluoresens (Nurjanah 2014).
Adanya penggunaan isolat mutan akan mempermudah pendeteksian sel VBNC
dengan metode direct microscopic count (DMC).
Beberapa bakteri yang memasuki tahap VBNC dapat bersifat reversible.
Bakteri yang memasuki tahap VBNC tersebut dapat memiliki kemampuan untuk
dapat dikulturkan kembali saat stres dihilangkan. Transisi sel VBNC dari tahap
VBNC ke tahap dapat dikulturkan disebut dengan resusitasi (Pinto et al. 2011).
Beberapa teori mengungkapkan bahwa VBNC merupakan strategi sel untuk
menghadapi kondisi yang tidak sesuai. Namun beberapa teori mengungkapkan
bahwa VBNC adalah tahapan sebelum sel mengalami kematian dan teori lain juga
mengungkapkan bahwa sel VBNC tidak dapat diresusitasi (Barcina dan Arana
2009). Beberapa bakteri yang mengalami VBNC dapat diresusitasi dengan berbagai
macam metode salah satunya adalah pemberian komponen spesifik dan media yang
kaya nutrisi. Oleh karena itu penelitian ini akan mempelajari kondisi yang mampu
menginduksi sel C. sakazakii ke dalam tahap VBNC terkait dengan resistensinya
terhadap desikasi serta kemampuannya beresusitasi.
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Telah banyak spesies yang ditemukan berada pada tahap VBNC setelah
diperkenalkan pada tahun 1982. Sel VBNC dicirikan dengan hilangnya kemampuan
untuk dikulturkan pada media agar yang biasa digunakan untuk mendeteksi secara
konvensional (Li et al. 2014). Sel VBNC memiliki kesamaan dan beberapa
perbedaan dengan sel hidup pada umumnya. Perbedaannya meliputi morfologi sel,
komposisi dinding sel metabolisme, ekspresi gen, resistensi fisik dan kimia,
kemampuan pelekatan, dan kemampuan virulensi. Perubahan morfologi sel
umumnya ditemukan pada sel VBNC meskipun perubahan yang sama juga terdapat
dalam sel non-VBNC yang hidup di dalam kondisi stres, sehingga perubahan
morfologi saja tidak dapat digunakan sebagai parameter untuk menggolongkan sel
masuk ke dalam tahap VBNC atau tidak (Pinto et al. 2013). Sel VBNC juga
menunjukkan perbedaan pada dinding sel dan komposisi membran, meliputi
protein, asam lemak, dan peptidoglikan. Sel VBNC memiliki laju metabolik yang
rendah (Shleeva et al. 2004) dan perbedaan profil ekspresi gen dibandingkan
dengan sel yang dapat dikulturkan pada fase eksponensial. Pada umumnya sel
VBNC memiliki resistensi yang tinggi terhadap perlakuan fisik dan kimia yang
disebabkan oleh reduksi laju metabolik dan lebih kuatnya dinding sel karena
meningkatnya ikatan silang peptidoglikan (Signoretto et al. 2000).
Beberapa spesies bakeri memasuki tahap VBNC pada saat terpapar kondisi
stres seperti kurang nutrisi dan suhu rendah (Du et al. 2007). VBNC merupakan
suatu strategi adaptif bakteri untuk waktu survival yang panjang dalam menghadapi
kondisi lingkungan yang tidak sesuai (Ducret et al. 2014). Hal tersebut sesuai
dengan hipotesis yang menyatakan sel VBNC lebih resisten terhadap stres
eksogenus. Sebagai contoh sel VBNC V. parahaemolyticus yang lebih tahan asam
sehingga dapat bertahan pada kondisi lingkungan yang memiliki pH rendah (Wong
dan Wang 2004). Kondisi yang lebih resisten tersebut menguntungkan bakteri,
namun memiiki kerugian bagi manusia, terutama pada golongan bakteri patogen.
Jika terdapat sel VBNC total bakteri viable dalam sampel tidak akan terdetesi dalam
metode CFU karena tidak adanya sel yang terdeteksi. Dalam suatu industri pangan
adanya sel VBNC akan menyebabkan masalah dalam quality control yang akan
menjadi bahaya bagi konsumen. Resiko tersebut disebabkan oleh kemampuan sel
VBNC dalam resusitasi kembali menjadi sel yang dapat dikulturkan saat stres
5
Desikasi
tolerance. Desiccation tolerance adalah kemampuan sel hidup untuk bertahan pada
proses desikasi. Beberapa bakteri dilaporkan memiliki kemampuan tersebut. Salah
satu bakteri yang dapat bertahan dalam lingkungan kering dengan adanya proses
desikasi adalah C. sakazakii. C. sakazakii memiliki toleransi tinggi terhadap proses
desikasi, sehingga memberikan keuntungan kompetitif untuk C. sakazakii pada
lingkungan kering seperti industri susu bubuk (Breeuwer et al. 2003).
METODOLOGI PENELITIAN
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi isolat mutan C. sakazakii
YRt2a (JF800181), isolat mutan C. sakazakii E2 (Nurjananh 2014), buffer peptone
water (BPW,OXOID), brain heart infusion (BHI,Difco) broth, tryptone soy agar
(TSA,OXOID), CaCl2, alginat, Na-heksametafosfat, larutan ampisilin, natrium
piruvat (SIGMA), akuades dan minyak imersi.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi inkubator suhu 300C,
350C, dan 400C cawan petri steril, tabung reaksi steril, rak tabung reaksi, alat swab,
mikro pipet dan tip, gelas piala, tabung erlenmeyer, 0.22 µm pore size membrane
filter, kertas saring, epiflouresence microscope (Olympus CH3O) , lampu UV, gelas
preparat, dan cover slip 18 mm.
Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri atas 3 tahapan yaitu: tahap induksi VBNC, tahapan
perhitungan sel, dan tahap resusitasi. Masing-masing tahapan dilakukan dua kali
ulangan duplo (Gambar 2).
Perlakuan
Isolat Pengeringan Penyimpanan
mutan Referensi isolat dan
Suhu RH Waktu Suhu RH Waktu paparan
(0C) (%) (jam) (0C) (%) (jam)
30 51
24 Nurjanah et al. 2013,
35 50
2 21 58 48 Shaker et al. 2008,
40 37 72 Nabulsi 2009
YRt2a 50 18
30 51
24 Nurjanah et al. 2013,
35 50
2 21 58 48 Shaker et al. 2008,
40 37 72 Nabulsi 2009
E2 50 18
9
Koloni positif
Konfirmasi dan
Persiapan Isolat
Diencerkan 100 kali dengan BPW
Perlakuan VBNC
Tahap III
Resusitasi
Konfirmasi Isolat
Langkah pertama dalam mendeteksi sel VBNC adalah menghitung sel yang
dapat dikulturkan menggunakan metode pencawanan menggunakan agar (Li et al.
2004). Kemampuan sel untuk dikulturkan dihitung menggunakan metode standard
plate count (SPC) (BAM 2001). SPC merupakan metode standar penghitungan
bakteri yang dapat dikulturkan (Talaro et al. 2002). Berbeda dengan sel normal, sel
VBNC merupakan sel hidup yang mengalami kehilangan kemampuan untuk
dikulturkan pada media umum yang biasanya bakteri tersebut tumbuh (Oliver 2000).
Metode SPC dilakukan sebelum perlakuan, setelah pengeringan selama 2 jam, serta
pada pengamatan jam ke-24, 48, dan 72 pada masing-masing isolat. Isolat
perlakuan pada objek gelas di-swab menggunakan alat swab yang ujungnya berupa
kapas. Kapas tersebut telah dilapisi dengan alginat dan CaCl2. Fungsi alginat adalah
sebagai penjerap sehingga bakteri pada permukaan dapat diangkat. Senyawa CaCl2
berfungsi membentuk struktur gel pada alginat, sehingga alginat menempel pada
permukaan kapas. Isolat perlakuan yang telah di-swab secara aseptis kemudian
dicelupkan pada BPW + Na-heksametafosfat selanjutnya divorteks. Penambahan
Na-heksametafosfat berfungsi dalam melepaskan jerapan alginat, sehingga bakteri
dapat bercampur dengan BPW. Larutan tersebut dipipet sebanyak 1 ml dan disebar
pada cawan berisi TSA dan TSAA. Hasil SPC dihitung di bawah lampu UV
(Gambar 3). Penggunaan dua media dalam plating digunakan untuk mengetahui
perbedaan kemampuan untuk dikulturkan isolat dengan keberadaan ampisilin. Hasil
plating diamati secara kualitatif terdapat pada Tabel 2.
Perbedaan media yang digunakan untuk menguji kemampuan dikulturkan
menunjukan perbedaan pada Isolat A dan isolat B. Isolat A sudah tidak dapat
dikulturkan pada media TSAA dalam waktu 24 jam, namun masih dapat
dikulturkan pada media TSA. Medium TSAA juga tidak dapat mendeteksi koloni
isolat B setelah dilakukan pengeringan pada waktu pengamatan 2 jam, namun
masih terhitung dalam media TSA sebanyak 0,74 log CFU/ml. Dalam pendeteksian
kemampuan untuk dikulturkan perlu digunakan media kaya nutrisi tanpa adanya
tambahan stres karena beberapa sel mengalami luka selama desikasi sehingga
memungkinkan gagalnya pertumbuhan pada media selektif. Sel yang terluka
memiliki sensitivitas lebih tinggi untuk tumbuh pada media yang umumnya tidak
menghambat, namun sel tersebut tidak dikatakan VBNC apabila masih dapat
dikulturkan pada media non-selektif (Pinto et al. 2013).
TSAA merupakan media selektif dari isolat mutan C. sakazakii. Mutan C.
sakazakii yang digunakan merupakan bakteri yang memiliki resistensi genetik
terhadap ampisilin. Faktor yang menentukan sifat resistensi bakteri terhadap
ampisilin terdapat pada elemen yang bersifat genetik yaitu gen penyandi enzim β-
laktamase. Enzim ini mampu menghidrolisis ampisilin, sehingga adanya ampisilin
tidak mengganggu pembentukan ikatan silang pada dinding sel bakteri (Haddix et
al. 2000). Sedangkan TSA merupakan media non-selektif atau media umum,
sehingga sel yang mungkin terluka selama induksi dapat memperbaiki diri,
Keterangan:
* Waktu pengeringan
A: YRt2a dengan suhu pengeringan 300C
B: YRt2a dengan suhu pengeringan 350C
C: YRt2a dengan suhu pengeringan 400C
D: E2 dengan suhu pengeringan 300C
E: E2 dengan suhu pengeringan 350C
F: E2 dengan suhu pengeringan 400C
+: Dapat dikulturkan
-: Tidak dapat dikulturkan
(H2O2). Namun pada saat memasuki tahap VBNC, sel hanya dapat tumbuh pada
agar HI dengan 1/10 konsentrasi H2O2 atau dengan konsentrasi lebih rendah
(Bogosian et al. 2000). Hal serupa juga terjadi pada C. jejuni yang kehilangan
kemampuan untuk dikulturkan pada media agar Karmali. Media agar Karmali
merupakan media selektif yang dapat menekan pertumbuhan spesies bakteri tidak
diinginkan. Penelitian Cools et al. (2003) menunjukkan C. jejuni yang sudah tidak
dikulturkan pada media agar Karmali namun masih dapat dikulturkan pada media
non-selektif Columbia blood agar. Berdasarkan data tersebut maka dalam
pendeteksian mutan C. sakazakii digunakan media TSA sebagai indikator
kemampuannya untuk dikulturkan.
Pengamatan untuk penentuan tahapan VBNC dilakukan paralel antar tahap
penentuan kemampuan untuk dikulturkan dengan perhitungan secara kuantitatif sel
viable menggunakan metode DMC di bawah mikroskop fluoresens. Sel dinyatakan
telah memasuki tahap VBNC setelah hilangnya kemampuan untuk dikulturkan
namun masih terdapat sel viable yang diamati di bawah mikroskop fluoresens.
Keuntungan dari penggunaan mikroskop fluoresen adalah sensitif, spesifik, dan
hasilnya dapat diketahui secara cepat (Sardessai et al. 2005; Oliver 2005; Oliver
2013; McDougald et al. 1998).
13
Hasil pengamatan diplotkan dalam bentuk grafik pada masing-masing isolat. Isolat
YRt2a masing-masing perlakuan suhu terdapat pada Gambar 5a, 5b, 5c, dan 5d.
Berdasarkan data setelah isolat dimasukkan ke dalam inkubator selama 2 jam akan
mengalami penurunan baik pada SPC maupun pada DMC. Pada SPC akan terdapat
penurunan 7 – 8 log, sedangkan untuk DMC hanya terdapat penurunan sebesar 4 –
5 log. Metode DMC menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan
hasil SPC. Kurva pada suhu yang lebih tinggi menunjukkan kurva lebih curam
dibandingkan dengan kurva pada isolat YRt2a yang diletakkan pada suhu yang
lebih rendah.
a b
Gambar 5 Hasil SPC dan DMC isolat YRt2a (a) Suhu 300C (b) Suhu 350C (c)
Suhu 400C
14
a b
c
Gambar 6 Hasil SPC dan DMC isolat E2 (a) Suhu 300C (b) Suhu 350C (c) Suhu 400C
15
Resusitasi
Resusitasi merupakan tahap transisi dari tahap VBNC kembali ke tahap yang
dapat dikulturkan. Masing-masing bakteri memiliki stimulus resusitasi yang
berbeda seperti peningkatan suhu, peningkatan nutrisi, dan keberadaan
resuscitation promoting factor. Salah satu senyawa yang memicu terjadinya
resusitasi adalah natrium piruvat. Natrium piruvat merupakan senyawa yang dapat
mendegradasi H2O2 dan secara efisien meresusitasi Vibrio parahaemolyticus pada
media yang disuplementasi (Mizunoe et al. 2000). Sementara Beuchat et al. (2009)
telah membandingkan media agar untuk meresusitasi C. sakazakii yang telah
terpapar stres panas, beku, basa, dan desikasi. Penelitian tersebut menggunakan
TSA yang disuplementasi dengan piruvat 0,1% (TSAP). Media TSAP
menunjukkan adanya jumlah koloni terbanyak pada resusitasi sel yang terpapar
stres.
16
35
30
25
20
15
10
5
0
TSA TSAA TSA+ Na piruvat TSAA + Na piruvat
Media resusitasi
E2 YRt2a
Isolat E2 yang mampu diresusitasi sejumlah 3,4 x 100 CFU/ml. Isolat YRt2a yang
hanya mampu diresusitasi dalam jumlah yang rendah oleh TSAP menjadi tidak
dapat diresusitasi pada TSAAP. Adanya ampisilin diduga memiliki efek
menghambat dalam resusitasi. Studi Lleo et al. (1998) menggunakan konsentrasi
antibiotik rendah untuk membunuh sel yang mampu dikulturkan. Penggunaan
antibiotik tidak direkomendasikan seperti pada E. faecalis adanya antibiotik
menghambat terjadinya resusitasi dengan mempengaruhi biosintesis dinding sel
(Lleo et al. 2007). Penelitian Sally dan Dickson (2004) juga menunjukkan media
non-selektif menunjukkan adanya hasil reusitasi yang lebih baik dibandingkan
dengan media selektif pada L. monocytogenes.
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
[BAM]. 2001. Chapter 3: Aerobic plate count. [Internet]. Di akses 2015 Desember
5.Website:
http://www.fda.gov/Food/FoodScienceResearch/LaboratoryMethods/uc
m063346.htm
[WHO]. 2008. Enterobacter sakazakii and other microorganism in powdered infant
formula. Microbiol Risk Asses. WHO, Geneva, Switzerland.
Beales N. 2004. Adaptation of microorganism to cold temperatures, weak acid
preservatives, low pH, and osmotic stress: a review. Comp Rev Food Sci
Food Safety 3: 1 – 20.
Besnard V, Frederigh M, Declerq E, Jugiau F, Ceppelier J. 2002. Environmenta and
physico-chemical factors induce VBNC state Listeria monocytogenes. J
Vet Res. 33: 395 – 370.
Binzstein N et al. 2004. Viable but non-culturable Vibrio cholera O1 in aquatic
environment of Argentina. Applied Environmental Microbiology. 70: 7481
– 7486.
Beuchat L, Kim H, Gutler J, Lin L, Ryu J, Glenner, Richards. 2009. Cronobacter
sakazakii in foods and factors affecting its survival, growth, and
inactivation. J Food Microbiol 136: 204 – 213.
Billi D, Potts M. 2000. Life without water: responses of prokaryotes to desiccation.
Environmental stressors and gene responses. Amsterdam: Elsevier.
Bogosian G, Aardema N, Bourneuf E, Morris P, Oneil J. 2000. Recovery of
hydrogen peroxide sensitive culturable Vibrio vulnificus gives the
appearance of resuscitation from viable but nonculturable state. J
Bacteriology 182 (18): 5070 – 5075.
Breeuwer P. Lardeau A, Joosten H. 2003. Dessication and heat tolerance of
Enterobacter sakazakii. J. Appl Microbiol. 95: 967 – 973.
Byrd J, Xu H, Colwel R. 1991. Viable but nonculturable bacteria in drinking water.
J Appl Environ Microbiol. 57: 875 – 878.
Cools I, Uyttendaele M, Caro C, Haese D, Debevere J. 2003. Survival of
Campylobacter jejuni strains of different origin in drinking water. J Appl.
Microbiol 94: 886 – 892.
Crameri A, Whitehorn EA, Tate E, Willem PC, Stemmer WPC. 1996. Improved
green fluorescence protein by molecular evolution using DNA Shuffling.
J. Nat. Biotechnol 14: 315 – 319.
Cunningham E, O’Byrene, Oliver J. 2009. Effect of weak acids on Listeria
monocytogenes survival: evidence for a viable but nonculturable state in
response to low pH. Food Control. 20: 1141 – 1144.
Dancer G, Mah J, Rhee S, Hwang I, Kang D. 2009. Resistence of Enterobacter
sakazakii to environmental stresses. J Appl Microbiol. 107: 1606 – 1614.
Dewanti-Hariyadi R, Gitapratiwi D, Meutia Y, Hidayat S, Nurjanah S. 2010.
Isolation of Cronobacter sakazakii from powdered infant formula and
other dried food obtained from Bogor in: International Seminar on
Current Issues Challenges in Food Safety: science-based approach for
food safety management. October 3 – 4, IPB International Confrence
19
RIWAYAT HIDUP