Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 22

BAB I

Pendahuluan

Pada studi pada pasien rawat jalan psikiatri ditemukan bahwa 9,1% dari 658
pasien rawat jalan memiliki gangguan medis umum yang mencetus gejala-gejala
psikiatrik mereka. Orang yang bekerja dengan keadaan sosiekonomi yang lemah
menunjukan bahwa 20% dari 100 pasien memiliki penyakit medis yang menjadi
penyebab khusus yang mengawali gejala-gejala psikiatri dengan 30% diantaranya
ditemukan gangguan neurologis.1

Klasifikasi gangguan mental berisi gangguan mental spesifik yang dikelompokan


kedalam berbagai kelas yang berdasarkan pada beberapa karakteristik fenomena.
Tujuan utama dari klasifikasi adalah memperbaiki terapi dan pencegahan.Idealnya,
klasifikasi dari gangguan-gangguan tersebut didasarkan pada pengetahuan
mengenai etiologi atau patofisiologi sebab hal ini memungkinkan perningkatan
terapi dan tindakan preventif.

Beberapa tujuan klasifikasi psikiatri diantaranya; memungkinkan pengguna untuk


berkomunikasi dengan orang lain mengenai gangguan psikiatrik; mengontrol
gangguan mental dasar yang mencegah terjadinya gangguan-gangguan ini atau
memodifikasi sumbernya dengan terapi; serta menyiapkan pemahaman atau
pengertian mengenai penyebab dari gangguan mental dan proses yang mendasari
perkembangan dan menetapkan penyakit.2

Klasifikasi psikiatri berupa klasifikasi awal berdasarkan cluster, klasifikasi yang


dbentuk oleh WHO, dan klasifikasi menurut American Psychiatry Association
(APA) yakni Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. Edisi
pertama dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders yang
merupakan kriteria diagnostik resmi yang pertama. 16 tahun kemudian tepatnya
ditahun 1968 edisi kedua dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (DSM-II) dipublikasikan. Selama 40 tahun setelah edisi ini
dipublikasikan, kriteria diaignostik yang dimiliki American Psychiatric.2
Dalam DSM edisi ke IV dimasukkan suatu metode diagnosis multi aksial. Sistem
multiaksial ini bertujuan untuk menilai pasien dalam beberapa variabel dan
memiliki 5 aksis. Aksis III menuliskan tiap gangguan fisik atau kondisi medis
umum yang ditemukan disamping gangguan mental. Kondisi fisik mungkin
merupakan penyebab (kausatif), atau akibat dari gangguan mental, atau gangguan
2
medis yang tidak berhubungan. Klasifikasi multiaksial dari gangguan mental
karena kondisi medis umum, untuk gangguan mentalnya dimasukkan dalam aksis
I, dan gangguan fisiknya dimasukkan dalam aksis III.3
BAB II

Pembahasan

Jenis klasifikasi gangguan psikiatrik


Dalam pembahasan mengenai nosologi pada edisi pertama The Comprehensive
Textbook of Psychiatry (CTP), yang dipublikasikan di tahun 1967, Henry Brill
mendiskusikan tujuan dan dasar dari klasifikasi, ulasan kritis mengenai klasifikasi
gangguan mental serta mengidentifikasi masalah dengan mengaplikasikan kriteria
diagnosis dalam praktik klinis.2

Edisi pertama dari The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
yang merupakan kriteria diagnostik resmi yang pertama. 16 tahun kemudian
tepatnya ditahun 1968 edisi kedua dari Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders (DSM-II) dipublikasikan. Selama 40 tahun setelah edisi ini
dipublikasikan, kriteria diaignostik yang dimiliki American Psychiatric.2

Tujuan klasifikasi
Klasifikasi gangguan mental berisi gangguan mental spesifik yang dikelompokan
kedalam berbagai kelas yang berdasarkan pada beberapa karakteristik fenomena
yang tersebar luas. Tujuan utama dari klasifikasi adalah memperbaiki terapi dan
pencegahan.Idealnya, klasifikasi dari gangguan-gangguan tersebut didasarkan
pada pengetahuan mengenai etiologi atau patofisiologi sebab hal ini
memungkinkan perningkatan terapi dan tindakan preventif. Tujuan dari klasifikasi
gangguan-gangguan mental meliputi komunikasi, kontrol dan pemahaman.2

Komunikasi
Klasifikasi memungkinkan pengguna untuk berkomunikasi dengan orang lain
mengenai gangguan psikiatrik.Klasifikasi ini menggunakan kategori-kategori
yang dijadikan standar yang merupakan kesimpulan dari informasi besar yang
telah disepakati. Ketika seorang individu diindikasikan memiliki suatu gangguan
khusus, ini memberikan informasi mengenai cluster dari berbagai gejala klinis
yang dialami oleh individu tersebut tanpa mengumpulkan semua gejala klinis
spesifik yang ada yang merujuk pada gangguan tersebut. Untuk menghasilkan
komunikasi yang efektif harus terdapat persetujuan yang kuat diantara para
pengguna klasifikasi ini.2

Kontrol
Kontrol gangguan mental dasarnya merujuk pada mencegah terjadinya gangguan-
gangguan ini atau memodifikasi sumbernya dengan terapi. Kontrol juga merujuk
pada pengetahuan mengenai kondisi sumber gangguan, begitupula sama
pentingnya kontrol dengan manajemen klinis.2

Pemahaman
Klasifikasi harus menyiapkan pemahaman atau pengertian mengenai penyebab
dari gangguan mental dan proses yang mendasari perkembangan dan mentapnua
penyakir. Gangguan-gangguan ini tertu datap diterapi tanpa pengetahuan
mengenai etiologi maupun patofisiologi. Pemahaman tidak berhenti pada
gangguan itu sendiri, namun dibutuhkan klasifikasi karena gangguan ini biasanya
memembutuhkan terapi dan pencegahan yang lebih efektif (misalnya kontrol yang
lebih baik)2

Metode Awal Klasifikasi Psikiatrik

Terdapat peningkatan ketertarikan dalam klasifikasi pasien-pasien psikiatri.


Klinisi dan peneliti telah menemukan bahwa terdapat kemungkinan untuk
mengevaluasi metode-metode terapi, menentukan etiologi, atau menilai sumber
penyakit dari gangguan psikiatrik tanpa metode-metode yang adekuat dalam
diagnosis. Dilain pihak hal ini telah menunjukkan bahwa metode klinis
konvensional untuk membuat diagnosis psikiatrik memmiliki reliabitilas yang
rendah, kecuali untuk kategori yang sangat luas, dan hanya memiliki hubungan
yang tidak begitu valid dalam kriteria seperti etiologi tersering, respon terapi
yang sering terjadi dan prognosis yang sering terjadi kemudian.5
Metode alternatf dalam diagnostik klinis dan pengkategorian gangguan psikiatrik
telah dibuat menggunakan komputer dengan menggunakan analisis teknik
pengelompokan cluster. Analisis cluster atau “numerical taxonomy” merupakan
metode dimana variasi data yang luas dengan jumlah yang besar dari pasien-
pasien dapat dipertimbangkan secara simultan, menghasilkan pengklasifikasian
individu-individu dalam kelompok-kelompok alamiah.3 Dalam metodologi cluster,
secara umum dijadikan satu sampel dari satu kelompok objek (misalnya objek-
objek N) atau individu-individu N, yang masing-masing memiliki variabel
tertentu (misalnya variabel m). dari informasi ini saja perlu dirancang skema
klassifikasi untuk mengelompokan kelompok objek kedalam suatu kelas
(misalnya kelas r). 6

Setiap kelompok dipertimbangkan merepresentasikan divisi populasinya yang


ditempatkan bersamaan yang individu-individu tersebut memiliki suatu
karakteristik yang menonjol. Pengaplikasian metode ini dalam diagnosis psikiatrik
berdampak pada kesulitan yang dialami klinisi dalam melakukan pertimbangan
secara bersamaan pada variabel multipel dalam populasi yang besar. Namun oleh
karena penggunaan komputer, ini memungkinkan pertimbangan yang bersamaan
pada jumlah individu yang lebih besar dan data yang lebih banyak dari masing-
masing individu. Sekali suatu kelompok didefinisikan oleh pengguna teknik
cluster, ini akan memungkinkan untuk mendefinisikan karakteristik-karakteristik
dari cluster yang digunakan dan kemudian mengembangkan metode yanghandal
untuk menempatkan pasien baru kedalam cluster yang tepat.5

Jumlah kelas dan karakteristik-karakteristik dari kelas-kelas tersebut kemudian


ditentukan. Jika seluruh objek dimasukkan dalam kelas yang identik dengan yang
lainnya, masalah yang mungkin timbul menjadi sederhana. Namun situasi yang
sering terjadi adalah objek-objek dalam suatu kelas memiliki perbedaan dalam
sebagian besar bahkan seluruh nilai yang ada. Hal ini kemudian membutuhkan
analisis sistem cluster dan analisis nilai kemiripan antar satu ojek dengan objek
lainnya. Sebagian besar analisis cluster, tidak seperti sebagian besar teknik
statistik, tidak mengatasi fluktuasi sampel, kegagalan dalam pertimbangan,
misalnya kesalahan dalam penilaian standar. Hasil analisis cluster ini dapat pula
menyebabkan bias kognitif sederhana atau asumsi penilai.7

Riwayat Pembentukan Klasifikasi Psikiatri Resmi


Sistem Resmi pertama untuk tabulasi data gangguan nebtak di Amerika Serikat
diawali denngan menggunakan sensus ditahun 1840. 40 tahun kemudian pada
sensus tahun1980, penyakit mental dibagi kedalam kategori-kategori untuk
pertama kalinya (mania, melankolia, monomania, paresis, demensia, dipsomania,
dan epilepsi). Di tahun 1889 International Congress of Mental Science di Paris)
mengadopsi sebuah klasifikasi yang dibentuk oleh komisi yang diketuai oleh
Morel yang meliputi 11 kategori. 2

Pada tahun 1923, dalam rangka mengadakan sensus spesial pada pasien-pasien di
berbagai rumah sakit jiwa, sensus tersebut menggunakan suatu sistem klasifikasi
yang berkembang dalam kolaborasi dengan American Psychiatric Association
(yang kemudian menjadi American Medico-Psychological Association) dan
National Committee for Mental Health. Sistem tersebut berisi 22 gangguan yang
telah diadopsi dari American Psychiatric Associationpada tahun 1917 dan
digunakan hingga 1935, kemudian mengalami revisi untuk digabungkan kedalam
edisi pertama The American Medical Association's Standard Classified
Nomenclature of Disease. Klasifikasi di tahun 1935 tersebut telah dirancang
mendasar untuk pasien kronik yang dirawat inap, dan karena itu dibuktikan
kurang adekuat untuk digunakan untuk korban Perang Dunia ke-2, yang
membutuhkan klasifikasi untuk gangguan akut, gangguan psikosomatik, dan
gangguan kepribadian yang tidak direpresentasikan dalam klasifikasi di tahun
1953. Pada tahun 1948 World Health Organization (WHO) menganggap mereka
bertanggungjawab untuk merevisi apa yang sebelumnya disebut sebagai
International List of Causes of Death dan hal tersebut dilakukan setiap 10 atau 20
tahun sejak dicetuskan di tahun 1900. George Raines dan berdasar pada sistem
klasifikasi The Veterans Administration yang dibentuk oleh William Menninger,
pada tahun 1952 melalui American Psychiatric Association mempublikasikan
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM). DSM edisi
pertama berisi 106 diagnosis. 1

Perkembangan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM).

DSM-I: Epidemiologi and Dorongan Sosial, Prekursor, dan Pembentukan

Abad ke 19 hingga tahun 1952

Meskipun Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) edisi


pertama belum dipublikasikan hingga tahun 1952, terdapat kesepakatan besar
mengenai riwayat dan dorongan yang bertanggung jawab terhadap publikasi ini.
Pada abad ke-19, perilaku umum dalam psikiatri menyatakan bahwa gangguan
mental terjadi pada individu; banyak yang percaya bahwa generalisasi dan
nosologi tidak cukup membantu. Faktanya hanya sedikit hubungan antara keadaan
patologis fisik dan gangguan mental perlu pemahaman yang baik, beberapa
psikiater ragu dengan definisi gejala-gejala internal dari perilaku. Akhirnya
akurasi demografik dalam pengaplikasian sensus menjadi fakttor yang
membutuhkan diagnosis kategoris dari gangguan mental, dan hal ini memotivasi
perkembangan klasifikasi selanjutnya yang merefleksikan pendekatan
psikososial.8

DSM-II: Perkembangan Antipsikiatri, Kontroversi, Skeptikisme: 1965–1980

DSM-II (tahun 1968) telah dikembangakan dalam 16 tahun setelah tahun 1952
saat publikasi DSM I. Perbedaan mendasar antara DSM I dan DSM II adalah
bahwa kondisi-kondisi mental tidak lagi dideskripsikan dengan istilah reaksi,
kondisi-kondisi ini dirujuk sebagai neurosis, psikosis dan gangguan-gangguan.
Dalam DSM II, penyakit-penyakit mental dirujuk sebagai reaksi psikosomatik,
dan gangguan yang lain diruuk sebagai gangguan psikofisiologis. Hal ini mulai
bergeser menjadikan diagnosis DSM menjadi lebih berdasa neurobiologis. Pada
saat yang sama, psikoanalisis menjadi terganti dengan ilmu mengenai perilaku
dan kognitif, begitupula dengan pendekatan sosial.8
Brill, ketua American Psychiatric Association's Committee on Nomenclature and
Statistics dari tahun 1960 hingga tahun 1965 digambarkan 6 keuntungan dari
nomenklatur yang dikeluarkan: 1. Penggunaan yang luas, dengan demikian
memfasilitasikomunikasi antar profesional; 2. memperjelas definisi dan
penggambaran dari gangguan-gangguan tersebut; 3. Dibandingkan dengan sistem
diagnostik International Classification of Diseases (ICD); 4. Memperjelas
pedoman dalam kompilasi dan pelaporan data diagnostik pasien; 5. Pemahaman
kumpulan istilah diagnostik dalam satu sumber dan; 6. mudah dalam
penggunaannya.2,8

DSM-III: Penelitian Berbasis Contoh Medis dan Diagnosis Sistem Axial.

1980–1994

DSM-III telah dipublikasikan di tahun 1980 dan telah disusun untuk


mengembalikan gambaran diagnosis dan contoh medis. Pada DSM-III, terdapat
upaya besar untuk menentang kontroversi dan skeptisme yang ditemui di DSM II
(dan profesi psikiater secara umum), dan terdapat pergeseran menjadi kriteria
diagnostik yang lebih spesifik dan berdasar biologis. Mereka juga menambahkan
pendekatan multiaksial untuk evaluasi dalam DSM-III. Pendekatan multiaksial
inidiperkenalkan pada era 1970an dan digabungkan kedalam struktur DSM dalam
DSM-III. Pergeseran evaluasi pasien didasarkan pada multipel aksis klinis yang
relevan yang menambah sebuah dimensi baru dalam sistem DSM. Aksis I menilai
temuan klinis yang terkait dengan gangguan-gangguan seperti kecemasan atau
depresi, aksis II menilai gangguan kepribadian, Aksis III menilai kondisi medis
umum, aksis IV menilai isu psikososial dan lingkungan yang terjadi, dan aksis V
merujuk pada penilaian fungsi secara umum (global assessment of functioning).8

DSM-IV: Tambahan barudan New Additions and Future Directions

1994–2013

DSM-IV,dikeluarkan pada tahun 1994, melanjutkan pendekatan multiaksial,


pengalaman berbasis tradisi pada DSM-III.. Salah satu perubahan besar pada
DSM-IV adalah penambahan kriteria baru menjadi setengah dari gangguan yang
ada. Kriteria baru ini menyatakan bahwa gejala-gejala menyebabkan temuan
klinis yang signifikan pada tingkat distres atau gangguan dalam fungsi yang
diderita. Gangguan ini dapat berupa sosial, okupasional, atau yang lainnya.
Penambahan kriteria ini kedalam DSM IV menandakan pentingnya perubahan
bahwa beberapa gejala dapat bukan merupakan patologis jika gejala tersebut
tidak terbentuk oleh distres yang signifikan, gangguan atau kesulitan dalam
hidup.8

Hal penting lainnya yang ditambahkan dalam DSM IV adalah kumpulan Culture
Bound Syndrome. Kategori Culture Bound Syndrome merujuk pada gangguan
terkait kebudayaan lokal yang terjadi hanya dalam kebudayaan tertentu dan aturan
sosial tertentu yang kemudian diketahui dunia. Gangguan ini tidak muncul
meliputi seluruh gejala-gejala fisiologis, seperti perkembangan jaringan abnormal
atau perubahan anatomi, dan ditemukan sedikit kejadian ini terjadi diluar
kebudayaan spesifiknya, shingga dipertimbangkan sebagai Culture Bound
Syndrome.8

Yang termasuk dalam gangguan kebudayaan spesifik ini memberikan suatu


penambahan yang menarik dari DSM IV, seperti banyaknya sindorm-sindrom ini
yang tidak berhubungan secara langsung dengan diagnosis tertentu didalam DSM,
dan kemudian menhubungkan kembali dengan prepektif psikososial sebelumnya
dan perspektif lingkungan.8

DSM-5: Perluasan Definisi Gangguan Mental dan (Sebagian) Kematian Sistem


Aksial.

2013–Hingga Kini

Semua yang mengevaluasi dan melakukan terapi kesehatan mental pasien harus
memahami edisi terakhir dari standar yang digunakan diseluruh dunia untuk
evaluasi dan diagnosis. Namun memahami nilai dari DSM-5 membutuhkan
konsentrasi. Stadar tersebut dituliskan oleh komite psikiatrik dengan tujuan untuk
menyiapkan standar dalam penelitian sebagaimana digunakan dalam praktik klinis
diberbagai disiplin ilmu, dan standar tersebut meliputi setiap subjek yang
dikatikan dengan kesehatan mental.9

DSM-5 dipublikasikan di tahun 2013, dan sebuah kesepakatan besar mengenai


kontroversi dan diskusi telah dilakukan berkaitan dengan kategori-kategori
diagnostik baru dan kriteria baru.Salah satu contoh perubahan dalam DSM-IV
menjadi DSM-V adalah bahwa Disabilitas Intelektual (Gangguan Perkembangan
Intelektual) adalah suatu istilah untuk retardasi mental. Tingkat fungsi adaptasi
yang dimiliki individu melebihi skor IQ, sekarang bernilai sebagai tingkat
keparahan gangguan. Alasannya adalah bahwa gangguan perkembangan
intelektual menurut namanya gangguan ini diklasifikasikan sebagai penyakit
didalam ICD-10. Klasifikasi disabilitas berbeda skalanya dibanding dalam DSM
yang merupakan klasifikasi internasional dari fungsi, disabilitas dan kesehatan.
Nama ini merupakan suatu kompromi untuk mencapai pembentukan jembatan
antara dua sistem klasifikasi diagnostik.8,10

Perubahan lainnya dalam DSM-V adalah dalam gangguan komunikasi. Gagagp


kini meruuk pada gangguan kelancaran berbahasa pada anak-anak. Terdapat
kontroversi setelah dibentuknya pemisahan 4 kondisi yang kini dipertimbangkan
sebagai gangguan spektrum autisme (autism spectrum disorder). Kondisi-kondisi
yang murni gangguan autistik, gangguan Asperger, Gangguan Disintegratif pada
anak, dan gangguan perkembangan pervasif. Bagian pertama meliputi defisit
dalam komunikasi sosial dan interaksi sosial. Bagian kedua dalam kriteria
diagnostik untuk gangguan ini meliputi prevalensi keterbatasan perilaku repetitif,
dalam ketertarikan dan keterbatasan aktivitas.8,11

Ditengah-tengah perubahan dalam kriteria diagnostik untuk DSM-V, sebuah


temuan mengejutkan bahwa sekitar 46,6% populasi masuk ke dalam klasifikasi
gangguan mental. Jumlah yang menakjubkan bahwa orang-orang Amerika
dimasukkan kedalam kriteria gangguan mental akibat faktor-faktor yang
bervariasi yang berkembang dalam satu dekade setelah DSM-IV dipublikasikan.8
Satu faktor mayor yang berkontribusi adalah bahwa institusi medis dan psikiatri
yang kita miliki telah menempatkan ruang yang lebih besar dalam pendeteksian
gangguan mental, implementasi peningkatan kesadaran, deteksi dan terapi
terhadap gangguan di beberapa dekade terakhir. Kemungkinan lain yang menjadi
alasan terjadinya peningkatantemuan kriteria diagnosis pada individu-individu
adalah bahwa populasi kesehatan mental populasi sebenarnya telah berkurang
pada 40-60 tahun terakhir.12

Penilaian Multiaksial

Sistem multiaksial adalah untuk menilai pasien dalam beberapa variabel dan
memiliki 5 aksis:

Aksis I mengandung gangguan klinis dan kondisi lain yang mungkin merupakan
pusat perhatian klinis. aksis I diatur selain untuk perekaman genotip yang dimiliki
pasien, mengidentifikasikan gejala atau penyakit terkait gen, dan genetika terkait
respon terapeutik dan efek samping terhadap obat-obatan psikotropik spesifik.3,13

Aksis II mengandung gangguan kepribadian dan retardasi mental. Penggunaan


mekanisme pertahanan yang menjadi kebiasaan dapat dituliskan dalam aksis II
Aksis II dapat digunakan untuk merekam fenotip neurobiologis yang dimiliki
pasien, untuk mengidentifikasi segera fenotip terkait genootip yang dimiliki
pasien dan fenotip perilaku. Fenotip neurobiologis dapat dilihat dari neuroimaging,
evaluasi kognitif, dan pemeriksaan neurofisiologis. Fenotip neurobiologis dapat
membantu dalam penyeleksian target farmakoterapi dan psikoterapi serta
monitoring respon neurobiologis terhadap terapi. 3,13

Aksis III menuliskan tiap gangguan fisik atau kondisi medis umum yang
ditemukan disamping gangguan mental. Kondisi fisik mungkin merupakan
penyebab (kausatif), atau akibat dari gangguan mental, atau gangguan medis yang
tidak berhubungan.2 Aksis III akan menjadi fenotip perilaku yang dapat
menjelaskan keparahan dan frekuensi dari gangguan kognitif spesifik, emosional
dan perilaku. Fenotip perilaku berkaitan dengan genotip (aksis I), fenotip
neurobiologis (Aksis II), dan modifikasi lingkungan atau presipitan (Aksis IV).
Selanjutnya , fenotip perilaku juga terkait dengan pendekatan medikasi spesifik
dan psikoterapi (Aksis V).13

Aksis IV digunakan untuk memberi kode pada masalah psikologis dan lingkungan
yang secara bermakna berperan pada perkembangan atau eksaserbasi gangguan
sekarang. Penilaian stresor didasarkan pada penilaian dokter terhadap stres yang
akan dialami oleh orang rata-rata dengan nilai sosiokultural dan situasi yang mirip
saat mengalami stresor psikososial.2 Aksis IV menjadi modifikasi lingkungan atau
presipitan dan digunakan untuk mendata faktor-faktor lingkungan yang dapat
menganggu fenotip neurobiologis dan perilaku. Efek-efek ini akan dievaluasi
dalam konteks genotip pasien. 13

Aksis V adalah skala penilaian global terhadap fungsi (GAF:Global assessment


of functioning) dimana dokter mempertimbangkan keseluruhan tingkat fungsional
pasien selama periode waktu tertentu.2 Aksis ini untuk memeriksakan rentang opsi
terapeutik, baik farmakologik maupun psikoterapeutik, ini berdasarkan data pada
aksis I hingga aksis IV. 13
Gangguan spesifik dalam aksis III

DSM-IV-TR mendefinisikan gangguan mental yang disebabkan oleh kondisi


medis umum dengan kondisi medis umum yang merupakan suatu sindrom
(kumpulan gejala) yang dikarakterisasi oleh adanya gejala-gejala mental yang
mengikuti gangguan medis umum. Pada DSM IV merujuk pada kondisi medis
spesifik atau penyebab terkait substansi yang menyebabkan gangguan mental
yang sering disamakan (misalnya gangguan kecemasan karena hipertiroidisme
dengan gangguan cemas menyeluruh, dan gangguan psikotik yang diinduksi
kokain dengan waham).Dalam DSM IV klasifikasi multiaksial dari gangguan
mental karena kondisi medis umum, untuk gangguan mentalnya dimasukkan
dalam aksis I, dan gangguan fisiknya dimasukkan dalam aksis III.3

Riwayat medis umum penting dalam wawancara psikiatri, yakni untuk: 1)


Gangguan medis dapat menyebabkan gejala-gejala panik, kecemasan, depresi, dan
waham yang didiagnosis sebagai “gangguan psikiatri terkait kondisi medis”; 2)
efek-efek samping dari pengobatan penyakit medis umum dapat menunjukan efek
serupa gejala dan gangguan psikiatri; 3) semua gangguan medis dan terapinya
dapat mempersulit terapi psikiatri dan sebaliknya. Dalam biopsikososial,
gangguan medis kronik dapat menjadi predisposisi pada gangguan psikiatri.14

Gangguan endokrin adalah kondisi yang sering terjadi menyertaigangguan


psikiatri. Beberapa diantaranya menimpa orang usia muda (misalnya pada
keadaan polycystic ovary syndrome [PCOS]) sedangkan gangguan medis lain
lebih khusus terjadi pada populasi lanjut usia (hipotiroidisme). Pemahaman
tentang gangguan endokrin adalah hal yang penting tidak hanya karena memiliki
cakupan yang luas, namun juga karena mereka dapa memproduksi gejala-gejala
yang tidak dapat dibedakan dari gangguan psikiatrik. Manifestasi fisik dari dari
penyakit endokrin memberikan petunjuk untuk diagnosis namun tidak selalu ada.
Efek-efek dari endokrinopati pada gejala-gejala psikiatri telah dipelajari,
khususnya bagi gangguan-gangguan tiroid dan kelenjar adrenal. Pengetahuan
mengenai gejala sisa psikiatrik dari gangguan endokrin lain seperti gangguan
reproduktif, akromegali, tumor penyekresi prolaktin, dan hiperparatiroidisme.
Studi mengenai hubungan antara gangguan psikiatri dan gangguan endokrin
terutama penting karena kemungkinan biological yang mungkin sering terjadi.
Namun, terdapat beberapa penelitian mengenai efek-efek psikiatri atau faktor
psikologis pada penyakit endokrin. Peristiwa dalam kehidupan yang
menyebabkan stres telah memainkan peran dalam onset terjadinya gangguan
psikiatri (misalnya depresi) dan gangguan endokrin (misalnya penyakit Graves
dan sindom Cushing), namun studi-studi yang dilakukan memiliki keterbatasan
dari defisien dalam metodologi, meliputi desain retrospektif dan ketiadaan grup
kontrol. Kondisi-kondisi endokrin dapat diperbaiki dengan terapi psikiatri;
contohnya, resistensi insulin telah dilaporkan mengalami penurunan setelah
keberhasilan terapi dengan antidepresan. Serupa, gejala-gejala depresi telah
menunjukan perbaikan dengan penggunaan antiglukoagulan dan pengganti tiroid.
Perkembangan penyakit iatrogenik dari gangguan endokrin terhadap terapi
psikiatri menjadi meningkat, terutama dengan berkembangnya penggunaan obat-
obatan dari berbagai golongan psikotropik. Ketika gangguan psikiatri muncul
sebagai hasil dari suatu gangguan endokrin, gangguan ini dikategorikan dalam
DSM sebagai gangguan mental karena kondisi medis umum, dengan dengan
kondisi medis dalam aksis III.15

Gangguan tiroid primer baik hipertiroid maupun hipotiroid berhubungan dengan


berbagai manifestasi neuropsikiatri mulai dari depresi ringan, kecemasan, hingga
depresi berat. Disforia, ansietas, iritabel, emosi yang labil dan gangguan
konsentrasi merupakan gejala-gejala neuropsikiatri yang terjadi pada hipertiroid
maupun tirotoksikosis. Pada geriatri dapat muncul gejala serupa depresi yakni
apatis, letargi, dan pseudodemensia. Gangguan cemas ditemukan pada sekitar
60% kasus hipertiroid, sedangkan gangguan depresi pada 31-69% pasien
hipertiroid

Gangguan pada fungsi tiroid dapat berdampak signifikan terhadap status mental
diantaranya pada emosi dan fungsi kognitif. Baik peningkatan dan
ketidakcukupan hormon tiroid dapat menyebabkan terjadinya abnormalitas mood
seperti depresi yang secara umum bersifat reversibel dengan terapi tiroid yang
adekuat. Dilain pihak depresi dapat disertai dengan disfungsi tiroid, meskipun
penyakit tiroid jarang terdapat pada depresi.16

Aksis hipothalamus-hipofisis-tiroid merupakan suatu mekanisme kompleks yang


saling mempengaruhi antara beberapa faktor: hormon-hormon tiroid, enzim
deiodinase, protein transporter, dan reseptor. Pemahaman mengenai interaksi
antar faktor-faktor ini dapat memberikan kontribusi terhadap pemahaman
mengenai patofisiologi gangguan psikiatri yang lebih baik begitupula dengan
respon terhadap terapi psikiatri.16

Hipertiroidisme atau tiroktosikosis dihasilkan dari over produksi dari hormon


tiroid oleh kelenjar tiroid. Penyebab yang paling sering adalah penyakit Graves.
Goiter nodular toksik menyebabkan hipertiroidisme pada 10% penderita.
Penyebab lain adalah adenoma tiroid yang menyebabkan hiperfungsi tiroid,
tiroidiitis, penggunaan hormon tiroid eksogen, adenoma hipofisis yang
memproduksi TSH, karsinoma tiroid, korikarsinoma, mola hidatidosa, dan struma
ovarium. Keadaan tirotoksikosis adalah sindrom yang mengancam jiwa yang
biasanya dipicu oleh penyakit atau kerusakan tertentu yang memberikan gejala
psikiatri berupa gangguan status mental15

Meskipun komponen psikologis dari PTSD telah ditegakkan, namun dasar


neurobiologis dari kondisi ini telah jelas. Pada penelitian ditemukan bahwa respon
terhadap stressor traumatik juga memiliki dasar fisiologis yang didapatkan pada
orang dengan penyakit tertentu. Kesehatan masyarakat vietnam setelah
peperangan yang mengalami PTSD memiliki banyak penyakit kronik mayor
seperti gangguan sistem sirkulasi, sistem neurologi, digestif, muskuloskeletal dan
penyakit respiratorik. Pada penelitian tersebut ditemukan 25% penderita PTSD
dilaporkan dengan diagnosis penyakit sirkulasi dan 19% didiagnosis dengan
gangguan sistem neurologis.17
Terdapat bukti yang mengindikasikan adanya hubungan perkembangan PTSD
dengan gangguan terkait neuroendokrin dan sistem imun serta penyakit spesifik
terkait imunoendokrin. Penurunan kadar kortisol sering ditemukan pada penderita
PTSD, hal ini mengesankan bahwa penurunan regulasi sistem glukokortikoid
yang juga menurunkan aktivitas imunitas inflamasi dapat mencetuskan PTSD.17

Meskipun sejumlah studi menunjukan peningkatan laporan gejala-gejala fisik


pada pasien dengan PTSD namun alasan untuk hubungan ini belum begitu jelas.
Terdapat beberapa kemungkinan meningkatnya gejala fisik pada penderita PTSD.
Pada beberapa kelompok PTSD secara statistik dilaporkan adanya jumlah yang
signifikan dari gejala-gejala kardiovaskuler, neuroloogis, gastrointestinal,
audiologi, dan nyerii pada PTSD.18

Telah dilaporkan adanya depresi setelah kerusakan otak (biasanya disebabkan


oleh penyakit serebrovaskuler). Ditemukan bahwa gangguan berbahasam delirium,
demensia, dan afasia berkaian dengan penyakit serebrovaskuler. Gangguan emosi
juga telah dihubungkan dengan kerusakan pada otak seperti infark serebral dan
gangguan ini merupakan diagnosis banding dari gangguan depresi. Gangguan
emosi ini dipercaya berkaian dengan kerusakan otak yang lebih spesifik yakni lesi
di hemisfer kanan.19

Ditemukan beberapa gangguan fisik lain terkait gangguan psikiatri. Terdapat bukti
dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang menunjukan gangguan
memori sebagai konsekuensi langsung dari gangguan medis umum (trauma fisik).
Temuan fisik juga dapat menyertai pasien dengan diagnosis delirium. Hepatik
ensefalopati dapat dihubungkan dengan asterixis. Ensefalopati wernicke terkait
defisiensi thiamin dihubungkan dengan gaze paralisis 3

Gangguan medis umum sering muncul dengan gejala-gejala psikiatri. Hal ini
mengakibatkan sulitnya membedakan gangguan fisik dengan gangguan fungsi
psikiatri hanya berdasarkan gejala psikiatri saja. Pemeriksaan fisik yang detai
serta pemeriksaan laboratorium diindikasikan sebagai prosedur yang rutin dalam
evaluasi awal pasien-pasienpsikiatri. Mengulas kembali fungsi sistemik secara
umum diperlukan pada pasien-pasien dengan risiko tinggi gangguan fisik 20

Gangguan kardiovaskuler, endokrin, infeksi, dan gangguan pulmonal adalah


penyebab-penyebab medis yang sering muncul dengan gejala psikiatri.20
Gangguan psikiatri juga sering berkembang dari penyakit medis umum yang
berlangsung kronik, hal ini diperkirakan karena penderita penyakit kronik
mengalami penurunan fungsi sosial dan kemudian menyebabkan berkembangnya
gangguan kejiwaan.21
BAB III
Kesimpulan

Aksis III menuliskan tiap gangguan fisik atau kondisi medis umum yang
ditemukan disamping gangguan mental. Kondisi fisik mungkin merupakan
penyebab (kausatif), atau akibat dari gangguan mental, atau gangguan medis yang
tidak berhubungan. Klasifikasi multiaksial dari gangguan mental karena kondisi
medis umum, untuk gangguan mentalnya dimasukkan dalam aksis I, dan
gangguan fisiknya dimasukkan dalam aksis III.

DSM-IV-TR mendefinisikan gangguan mental yang disebabkan oleh kondisi


medis umum dengan kondisi medis umum yang merupakan suatu sindrom
(kumpulan gejala) yang dikarakterisasi oleh adanya gejala-gejala mental yang
mengikuti gangguan medis umum. Diagnosis “gangguan psikiatri terkait kondisi
medis” adalah gangguan medis dapat menyebabkan gejala-gejala panik,
kecemasan, depresi, dan waham.

Gangguan endokrin adalah kondisi yang sering terjadi menyertaigangguan


psikiatri. Beberapa diantaranya menimpa orang usia muda (misalnya pada
keadaan polycystic ovary syndrome [PCOS]) sedangkan gangguan medis lain
lebih khusus terjadi pada populasi lanjut usia (hipotiroidisme). Beberapa
gangguan endokrin lain seperti gangguan reproduktif, akromegali, tumor
penyekresi prolaktin, dan hiperparatiroidisme menimbulkan gejala sisa psikiatri.

Gangguan pada fungsi tiroid dapat berdampak signifikan terhadap status mental
diantaranya pada emosi dan fungsi kognitif. Baik peningkatan dan
ketidakcukupan hormon tiroid dapat menyebabkan terjadinya abnormalitas mood
seperti depresi yang secara umum bersifat reversibel dengan terapi tiroid yang
adekuat.

Meskipun komponen psikologis dari PTSD telah ditegakkan, namun dasar


neurobiologis dari kondisi ini telah jelas. Pada penelitian ditemukan bahwa
penderita PTSD memiliki banyak penyakit kronik mayor seperti gangguan sistem
sirkulasi, sistem neurologi, digestif, muskuloskeletal dan penyakit respiratorik.
Dilaporkan adanya depresi setelah kerusakan otak (biasanya disebabkan oleh
penyakit serebrovaskuler). Ditemukan pula gangguan berbahasam delirium,
demensia, dan afasia berkaian dengan penyakit serebrovaskuler. Hepatik
ensefalopati dan ensefalopati wernicke dikaitkan dengan terjadinya delirium.

Gangguan kardiovaskuler, endokrin, infeksi, dan gangguan pulmonal adalah


penyebab-penyebab medis yang sering muncul dengan gejala psikiatri.20 Dalam
biopsikososial, gangguan medis kronik dapat menjadi predisposisi pada gangguan
psikiatri. Hal ini diperkirakan karena penderita penyakit kronik mengalami
penurunan fungsi sosial dan kemudian menyebabkan berkembangnya gangguan
kejiwaan.
Daftar Pustaka

1. Hall RCW, Gardner ER, Popkin MK, Lecann AF, Stickney


SK.Unrecognized Physical Illness Prompting Psychiatric Admission: A
Prospective Study. Am J Psychiatry.1981;138:629-35

2. Zimmerman M, Spitzer RL. Psychiatric Classification dalam Kaplan &


Sadock's Comprehensive Textbook of Psychiatry, edisi ke-9. Lippincott
Williams & Wilkins.2009.h.1109-39.
3. Kaplan dan Sadock. Klasifikasi dalam Psikiatrik dan Skala Penilaian
Psikiatrik. Dalam Sinopsis Psikiatri jilid satu Ed ke-7. Jakarta. Hal.481-97.
4. Drooker MA. Other Cognitive Disorders and Mental Disorders Due to a
General Medical Condition. dalam Kaplan & Sadock's Comprehensive
Textbook of Psychiatry Edisi ke-8 Sadock BJ, Sadock VA
penyunting.2005.h.1106-136
5. Strauss JS, Bartko JJ,. Carpenter WT. The Use of Clustering Techniques
for The Classification of Psychiatric Patients. Bsit.J. Psychiat.
1973:122;531-40
6. Wolfe JH. Pattern clustering by Multivariate mixture analysis.
Multivariate Behavioral Research. 1970;6:329-50
7. Widiger TA, Samuel DB. Diagnostic Categories or Dimensions? A
Question for the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders—
Fifth Edition.Journal of Abnormal Psychology.2005;114:494–504
8. Brown C, DePetro E, Whitaker H. The Diagnostic and Statistical Manual:
Historical Observations. Psicologia em Pesquisa .2014;8:85-96.
9. Morrison J. DSM-5 Made Easy The Clinician’s Guide to Diagnosis:
Diagnosis Made Easier:Principles and Techniques for Mental Health
Clinicians Edisi kedua. THE GUILFORD PRESS New York London.2014
10. Jeste DV, Lieberman JA, Fassler TD, Peele SR. Diagnostic And Statistical
Manual Of Mental Disorders Fifth Edition. American Psychiatric
Publishing United States of America. 2013
11. Surís A, Holliday R, North CS. The Evolution of the Classification of
Psychiatric Disorders. Behav. Sci.2016;6:1-10.
12. Widiger TA, Crego C. Process and Content of DSM-5. Psychopathology
Review.2015;2:162-176
13. Charney DS, Barlow DH, Botteron K, Cohen JD, Goldman D, Gur RE,
dkk.Neuroscience Research Agenda to Guide Development of a
Pathophysiologically Based Classification System dalam Research Agenda
for DSM-V Kupfer DJ, First MB, Regier DA penyunting. American
Psychiatric Association Washington. 2002.h.31-84
14. Othmer E, Othmer SC, Othmer JP. Psychiatric Interview, History, and
Mental Status Examination dalam Kaplan & Sadock's Comprehensive
Textbook of Psychiatry Edisi ke-8 Sadock BJ, Sadock VA
penyunting.2005.h.794-826
15. Rasgon NL, Hendrick VC, Garrick TR. Endocrine and Metabolic
Disorders dalam Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of
Psychiatry Edisi ke-8 Sadock BJ, Sadock VA penyunting.2005.h.2153- 64
16. Hage MP,Azar ST. The Link between Thyroid Function and
Depression.Hindawi Publishing Corporation Journal of Thyroid
Research.2012;1:1-8

17. Boscarino JA. Posttraumatic Stress Disorder and Physical Illness Results
from Clinical and Epidemiologic Studies.Ann. N.Y. Acad. Sci.
2004;1032:141–53
18. Mcfarlane AC, Atchison M, Rafaloeicz E, Papay P. Physical Symptoms in
Post Traumatic Stress Disorder.Journal of Psychosomatic
Research.1994;38:715-26.
19. Robinson RG, Jorge RE. Neuropsychiatric Aspects of Cerebrovascular
Disorders dalam Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of
Psychiatry Edisi ke-8 Sadock BJ, Sadock VA penyunting.2005.h.349-61
20. Hall RCW, Popkin MK, Devaul RA, Fallace LA, Stickney SK. Physical
Illness Presenting as Psychiatric Disease. Arch Gen
Psychiatry.1978;35:1315-20
21. Dewa CS, Lin E.Chronic physical illness, psychiatric disorder and
disability in the workplace. Social Science & Medicine.2000;51:41-50

You might also like