Professional Documents
Culture Documents
Axis III
Axis III
Pendahuluan
Pada studi pada pasien rawat jalan psikiatri ditemukan bahwa 9,1% dari 658
pasien rawat jalan memiliki gangguan medis umum yang mencetus gejala-gejala
psikiatrik mereka. Orang yang bekerja dengan keadaan sosiekonomi yang lemah
menunjukan bahwa 20% dari 100 pasien memiliki penyakit medis yang menjadi
penyebab khusus yang mengawali gejala-gejala psikiatri dengan 30% diantaranya
ditemukan gangguan neurologis.1
Pembahasan
Edisi pertama dari The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
yang merupakan kriteria diagnostik resmi yang pertama. 16 tahun kemudian
tepatnya ditahun 1968 edisi kedua dari Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders (DSM-II) dipublikasikan. Selama 40 tahun setelah edisi ini
dipublikasikan, kriteria diaignostik yang dimiliki American Psychiatric.2
Tujuan klasifikasi
Klasifikasi gangguan mental berisi gangguan mental spesifik yang dikelompokan
kedalam berbagai kelas yang berdasarkan pada beberapa karakteristik fenomena
yang tersebar luas. Tujuan utama dari klasifikasi adalah memperbaiki terapi dan
pencegahan.Idealnya, klasifikasi dari gangguan-gangguan tersebut didasarkan
pada pengetahuan mengenai etiologi atau patofisiologi sebab hal ini
memungkinkan perningkatan terapi dan tindakan preventif. Tujuan dari klasifikasi
gangguan-gangguan mental meliputi komunikasi, kontrol dan pemahaman.2
Komunikasi
Klasifikasi memungkinkan pengguna untuk berkomunikasi dengan orang lain
mengenai gangguan psikiatrik.Klasifikasi ini menggunakan kategori-kategori
yang dijadikan standar yang merupakan kesimpulan dari informasi besar yang
telah disepakati. Ketika seorang individu diindikasikan memiliki suatu gangguan
khusus, ini memberikan informasi mengenai cluster dari berbagai gejala klinis
yang dialami oleh individu tersebut tanpa mengumpulkan semua gejala klinis
spesifik yang ada yang merujuk pada gangguan tersebut. Untuk menghasilkan
komunikasi yang efektif harus terdapat persetujuan yang kuat diantara para
pengguna klasifikasi ini.2
Kontrol
Kontrol gangguan mental dasarnya merujuk pada mencegah terjadinya gangguan-
gangguan ini atau memodifikasi sumbernya dengan terapi. Kontrol juga merujuk
pada pengetahuan mengenai kondisi sumber gangguan, begitupula sama
pentingnya kontrol dengan manajemen klinis.2
Pemahaman
Klasifikasi harus menyiapkan pemahaman atau pengertian mengenai penyebab
dari gangguan mental dan proses yang mendasari perkembangan dan mentapnua
penyakir. Gangguan-gangguan ini tertu datap diterapi tanpa pengetahuan
mengenai etiologi maupun patofisiologi. Pemahaman tidak berhenti pada
gangguan itu sendiri, namun dibutuhkan klasifikasi karena gangguan ini biasanya
memembutuhkan terapi dan pencegahan yang lebih efektif (misalnya kontrol yang
lebih baik)2
Pada tahun 1923, dalam rangka mengadakan sensus spesial pada pasien-pasien di
berbagai rumah sakit jiwa, sensus tersebut menggunakan suatu sistem klasifikasi
yang berkembang dalam kolaborasi dengan American Psychiatric Association
(yang kemudian menjadi American Medico-Psychological Association) dan
National Committee for Mental Health. Sistem tersebut berisi 22 gangguan yang
telah diadopsi dari American Psychiatric Associationpada tahun 1917 dan
digunakan hingga 1935, kemudian mengalami revisi untuk digabungkan kedalam
edisi pertama The American Medical Association's Standard Classified
Nomenclature of Disease. Klasifikasi di tahun 1935 tersebut telah dirancang
mendasar untuk pasien kronik yang dirawat inap, dan karena itu dibuktikan
kurang adekuat untuk digunakan untuk korban Perang Dunia ke-2, yang
membutuhkan klasifikasi untuk gangguan akut, gangguan psikosomatik, dan
gangguan kepribadian yang tidak direpresentasikan dalam klasifikasi di tahun
1953. Pada tahun 1948 World Health Organization (WHO) menganggap mereka
bertanggungjawab untuk merevisi apa yang sebelumnya disebut sebagai
International List of Causes of Death dan hal tersebut dilakukan setiap 10 atau 20
tahun sejak dicetuskan di tahun 1900. George Raines dan berdasar pada sistem
klasifikasi The Veterans Administration yang dibentuk oleh William Menninger,
pada tahun 1952 melalui American Psychiatric Association mempublikasikan
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM). DSM edisi
pertama berisi 106 diagnosis. 1
DSM-II (tahun 1968) telah dikembangakan dalam 16 tahun setelah tahun 1952
saat publikasi DSM I. Perbedaan mendasar antara DSM I dan DSM II adalah
bahwa kondisi-kondisi mental tidak lagi dideskripsikan dengan istilah reaksi,
kondisi-kondisi ini dirujuk sebagai neurosis, psikosis dan gangguan-gangguan.
Dalam DSM II, penyakit-penyakit mental dirujuk sebagai reaksi psikosomatik,
dan gangguan yang lain diruuk sebagai gangguan psikofisiologis. Hal ini mulai
bergeser menjadikan diagnosis DSM menjadi lebih berdasa neurobiologis. Pada
saat yang sama, psikoanalisis menjadi terganti dengan ilmu mengenai perilaku
dan kognitif, begitupula dengan pendekatan sosial.8
Brill, ketua American Psychiatric Association's Committee on Nomenclature and
Statistics dari tahun 1960 hingga tahun 1965 digambarkan 6 keuntungan dari
nomenklatur yang dikeluarkan: 1. Penggunaan yang luas, dengan demikian
memfasilitasikomunikasi antar profesional; 2. memperjelas definisi dan
penggambaran dari gangguan-gangguan tersebut; 3. Dibandingkan dengan sistem
diagnostik International Classification of Diseases (ICD); 4. Memperjelas
pedoman dalam kompilasi dan pelaporan data diagnostik pasien; 5. Pemahaman
kumpulan istilah diagnostik dalam satu sumber dan; 6. mudah dalam
penggunaannya.2,8
1980–1994
1994–2013
Hal penting lainnya yang ditambahkan dalam DSM IV adalah kumpulan Culture
Bound Syndrome. Kategori Culture Bound Syndrome merujuk pada gangguan
terkait kebudayaan lokal yang terjadi hanya dalam kebudayaan tertentu dan aturan
sosial tertentu yang kemudian diketahui dunia. Gangguan ini tidak muncul
meliputi seluruh gejala-gejala fisiologis, seperti perkembangan jaringan abnormal
atau perubahan anatomi, dan ditemukan sedikit kejadian ini terjadi diluar
kebudayaan spesifiknya, shingga dipertimbangkan sebagai Culture Bound
Syndrome.8
2013–Hingga Kini
Semua yang mengevaluasi dan melakukan terapi kesehatan mental pasien harus
memahami edisi terakhir dari standar yang digunakan diseluruh dunia untuk
evaluasi dan diagnosis. Namun memahami nilai dari DSM-5 membutuhkan
konsentrasi. Stadar tersebut dituliskan oleh komite psikiatrik dengan tujuan untuk
menyiapkan standar dalam penelitian sebagaimana digunakan dalam praktik klinis
diberbagai disiplin ilmu, dan standar tersebut meliputi setiap subjek yang
dikatikan dengan kesehatan mental.9
Penilaian Multiaksial
Sistem multiaksial adalah untuk menilai pasien dalam beberapa variabel dan
memiliki 5 aksis:
Aksis I mengandung gangguan klinis dan kondisi lain yang mungkin merupakan
pusat perhatian klinis. aksis I diatur selain untuk perekaman genotip yang dimiliki
pasien, mengidentifikasikan gejala atau penyakit terkait gen, dan genetika terkait
respon terapeutik dan efek samping terhadap obat-obatan psikotropik spesifik.3,13
Aksis III menuliskan tiap gangguan fisik atau kondisi medis umum yang
ditemukan disamping gangguan mental. Kondisi fisik mungkin merupakan
penyebab (kausatif), atau akibat dari gangguan mental, atau gangguan medis yang
tidak berhubungan.2 Aksis III akan menjadi fenotip perilaku yang dapat
menjelaskan keparahan dan frekuensi dari gangguan kognitif spesifik, emosional
dan perilaku. Fenotip perilaku berkaitan dengan genotip (aksis I), fenotip
neurobiologis (Aksis II), dan modifikasi lingkungan atau presipitan (Aksis IV).
Selanjutnya , fenotip perilaku juga terkait dengan pendekatan medikasi spesifik
dan psikoterapi (Aksis V).13
Aksis IV digunakan untuk memberi kode pada masalah psikologis dan lingkungan
yang secara bermakna berperan pada perkembangan atau eksaserbasi gangguan
sekarang. Penilaian stresor didasarkan pada penilaian dokter terhadap stres yang
akan dialami oleh orang rata-rata dengan nilai sosiokultural dan situasi yang mirip
saat mengalami stresor psikososial.2 Aksis IV menjadi modifikasi lingkungan atau
presipitan dan digunakan untuk mendata faktor-faktor lingkungan yang dapat
menganggu fenotip neurobiologis dan perilaku. Efek-efek ini akan dievaluasi
dalam konteks genotip pasien. 13
Gangguan pada fungsi tiroid dapat berdampak signifikan terhadap status mental
diantaranya pada emosi dan fungsi kognitif. Baik peningkatan dan
ketidakcukupan hormon tiroid dapat menyebabkan terjadinya abnormalitas mood
seperti depresi yang secara umum bersifat reversibel dengan terapi tiroid yang
adekuat. Dilain pihak depresi dapat disertai dengan disfungsi tiroid, meskipun
penyakit tiroid jarang terdapat pada depresi.16
Ditemukan beberapa gangguan fisik lain terkait gangguan psikiatri. Terdapat bukti
dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang menunjukan gangguan
memori sebagai konsekuensi langsung dari gangguan medis umum (trauma fisik).
Temuan fisik juga dapat menyertai pasien dengan diagnosis delirium. Hepatik
ensefalopati dapat dihubungkan dengan asterixis. Ensefalopati wernicke terkait
defisiensi thiamin dihubungkan dengan gaze paralisis 3
Gangguan medis umum sering muncul dengan gejala-gejala psikiatri. Hal ini
mengakibatkan sulitnya membedakan gangguan fisik dengan gangguan fungsi
psikiatri hanya berdasarkan gejala psikiatri saja. Pemeriksaan fisik yang detai
serta pemeriksaan laboratorium diindikasikan sebagai prosedur yang rutin dalam
evaluasi awal pasien-pasienpsikiatri. Mengulas kembali fungsi sistemik secara
umum diperlukan pada pasien-pasien dengan risiko tinggi gangguan fisik 20
Aksis III menuliskan tiap gangguan fisik atau kondisi medis umum yang
ditemukan disamping gangguan mental. Kondisi fisik mungkin merupakan
penyebab (kausatif), atau akibat dari gangguan mental, atau gangguan medis yang
tidak berhubungan. Klasifikasi multiaksial dari gangguan mental karena kondisi
medis umum, untuk gangguan mentalnya dimasukkan dalam aksis I, dan
gangguan fisiknya dimasukkan dalam aksis III.
Gangguan pada fungsi tiroid dapat berdampak signifikan terhadap status mental
diantaranya pada emosi dan fungsi kognitif. Baik peningkatan dan
ketidakcukupan hormon tiroid dapat menyebabkan terjadinya abnormalitas mood
seperti depresi yang secara umum bersifat reversibel dengan terapi tiroid yang
adekuat.
17. Boscarino JA. Posttraumatic Stress Disorder and Physical Illness Results
from Clinical and Epidemiologic Studies.Ann. N.Y. Acad. Sci.
2004;1032:141–53
18. Mcfarlane AC, Atchison M, Rafaloeicz E, Papay P. Physical Symptoms in
Post Traumatic Stress Disorder.Journal of Psychosomatic
Research.1994;38:715-26.
19. Robinson RG, Jorge RE. Neuropsychiatric Aspects of Cerebrovascular
Disorders dalam Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of
Psychiatry Edisi ke-8 Sadock BJ, Sadock VA penyunting.2005.h.349-61
20. Hall RCW, Popkin MK, Devaul RA, Fallace LA, Stickney SK. Physical
Illness Presenting as Psychiatric Disease. Arch Gen
Psychiatry.1978;35:1315-20
21. Dewa CS, Lin E.Chronic physical illness, psychiatric disorder and
disability in the workplace. Social Science & Medicine.2000;51:41-50