Professional Documents
Culture Documents
Bab I
Bab I
PENDAHULUAN
Hati merupakan salah satu organ yang sangat berperan penting dalam
mengatur metabolisme tubuh, yaitu pada proses anabolisme atau sintesis bahan-
bahan yang penting seperti sintesis protein, pembentukan glukosa serta proses
katabolisme yaitu dengan melakukan detoksifikasi bahan-bahan seperti amonia,
berbagai jenis hormon, obat-obatan dan sebagainya. Selain itu hati juga berperan
sebagai penyimpanan bahan-bahan seperti glikogen dan vitamin serta memelihara
keseimbangan aliran darah splanknikus.
1
Prevalensi sirosis hati akibat steatohepatitis alkoholik dilaporkan 0,3% juga. Di
Indonesia data prevalensi sirosis hati belum ada, hanya laporan – laporan dari
beberapa pusat pendidikan saja. Di RS Dr. Sardjito Yogyakarta jumlah pasien
sirosis hati berkitar 4,1% dari pasien yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam
dalam kurun waktu 1 tahun (2004). Di Medan dalam kurun waktu 4 tahun
dijumpai pasien sirosis hati sebanyak 819 (4%) pasien dari seluruh pasien di
Bagian Penyakit Dalam.
2
Pada dasarnya, ensefalopati hepatikum merupakan keadaan yang bersifat
reversibel. Umumnya, terjadinya ensefalopati hepatikum disebabkan oleh faktor-
faktor lain yang memperburuk dan mempercepat perjalanan dari penyakit hati
kronis maupun akut. Eliminasi dari faktor tersebut dapat menyebabkan resolusi
pada 85% penderitanya.1 Selain itu, deteksi dan terapi dini sangat penting dalam
memperbaiki kualitas hidup dan menurunkan angka kematian dari penderita
ensefalopati hepatikum.
3
BAB II
SIROSIS HEPATIS
A. DEFINISI
Sirosis merupakan konsekuensi dari penyakit hati kronis yang ditandai dengan
penggantian jaringan hati oleh fibrosis, jaringan parut dan nodul regeneratif
(benjolan yang terjadi sebagai hasil dari sebuah proses regenerasi jaringan yang
rusak) akibat nekrosis hepatoseluler, yang mengakibatkan penurunan hingga
hilangnya fungsi hati.
B. EPIDEMIOLOGI
Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga
pada pasien yang berusia 45-46 tahun ( setelah penyakit kardiovaskular dan
kanker ). Diseluruh dunia, sirosis menempati urutan ketujuh penyebab kematian.
Sekitar 25.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini.
C. KLASIFIKASI
4
1. Mikronodular. Ditandai dengan terbentuknya septa tebal teratur, di dalam
septa parenkim hati mengandung nodul halus dan kecil merata di seluruh
lobus. Pada sirosis mikronodular, besar nodulnya tidak melebihi 3 mm.
Tipe ini biasanya disebabkan alkohol atau penyakit saluran empedu.
5
Sering disebut dengan sirosis hati laten atau dini. Pada stadium
kompensata ini belum terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium
ini ditemukan pada saat pemeriksaan skrining.
2. Sirosis hati dekompensata
Dikenal dengan sirosis hati aktif, dan stadium ini biasanya gejala-gejala
sudah jelas, misalnya acites, edema dan ikterus.
D. ETIOLOGI
1. Alcoholic liver disease
Sirosis alkoholik terjadi pada sekitar 10-20% peminum alkohol berat.
Alkohol tampaknya melukai hati dengan menghalangi metabolisme
normal protein, lemak,dan karbohidrat.
2. Hepatitis C kronis
Infeksi virus hepatitis C menyebabkan peradangan dan kerusakan hati
yang selama beberapa dekade dapat mengakibatkan sirosis. Dapat
didiagnosis dengan tes serologi yang mendeteksi antibodi hepatitis C
atau RNA virus.
3. Hepatitis B kronis
Virus hepatitis B menyebabkan peradangan dan kerusakan hati yang
selama beberapa dekade dapat mengakibatkan sirosis. Hepatitis D
tergantung pada kehadiran hepatitis B, tetapi mempercepat sirosis
melalui koinfeksi. Hepatitis B kronis dapat didiagnosis dengan deteksi
HBsAg> 6 bulan setelah infeksi awal. HBeAg dan HBV DNA
bermanfaat untuk menilai apakah pasien perlu terapi antiviral.
4. Non-Alcoholic Steatohepatitis (NASH)
Pada NASH, terjadi penumpukan lemak dan akhirnya menjadi
penyebab jaringan parut di hati. Hepatitis jenis ini dihubungkan
dengan diabetes, kekurangan gizi protein, obesitas, penyakit arteri
koroner, dan pengobatan dengan obat kortikosteroid. Penyakit ini
mirip dengan penyakit hati alkoholik tetapi pasien tidak memiliki
riwayat alkohol. Biopsi diperlukan untuk diagnosis.
6
5. Sirosis bilier primer
Mungkin tanpa gejala atau hanya mengeluh kelelahan, pruritus, dan
nonikterik hiperpigmentasi dengan hepatomegali. Umumya disertai
elevasi alkali fosfatase serta peningkatan kolesterol dan bilirubin. Hal
ini lebih umum pada perempuan.
6. Kolangitis sklerosis primer
PSC adalah gangguan kolestasis progresif dengan gejala pruritus,
steatorrhea, kekurangan vitamin larut lemak, dan penyakit tulang
metabolik.
7. Autoimmune hepatitis
Penyakit ini disebabkan oleh gangguan imunologis pada hati yang
menyebabkan inflamasi dan akhirnya jaringan parut dan sirosis.
Temuan yang umum didapatkan yaitu peningkatan globulin dalam
serum, terutama globulin gamma.
8. Penyakit Keturunan dan metabolik
9. Infeksi parasit yang berat seperti skistosomiasis
E. PATOGENESIS
Sirosis sering didahului oleh hepatitis dan fatty liver (steatosis), sesuai dengan
etiologinya. Jika etiologinya ditangani pada tahap ini, perubahan tersebut masih
sepenuhnya reversibel.
Ciri patologis dari sirosis adalah pengembangan jaringan parut yang
menggantikan parenkim normal, memblokir aliran darah portal melalui organ dan
mengganggu fungsi normal. Penelitian terbaru menunjukkan peran penting sel
stellata, tipe sel yang biasanya menyimpan vitamin A, dalam pengembangan
sirosis . Kerusakan pada parenkim hati menyebabkan aktivasi sel stellata, yang
menjadi kontraktil (myofibroblast) dan menghalangi aliran darah dalam sirkulasi.
Sel ini mengeluarkan TGF-β1, yang mengarah pada respon fibrosis dan proliferasi
jaringan ikat. Selain itu, juga mengganggu keseimbangan antara matriks
metalloproteinase dan inhibitor alami (TIMP 1 dan 2) , menyebabkan kerusakan
matriks.
7
Pita jaringan ikat (septa) memisahkan nodul-nodul hepatosit, yang pada
akhirnya menggantikan arsitektur seluruh hati yang berujung pada penurunan
aliran darah di seluruh hati. Limpa menjadi terbendung, mengarah ke
hypersplenism dan peningkatan sekuesterasi platelet. Hipertensi portal
bertanggung jawab atas sebagian besar komplikasi parah sirosis.
F. MANIFESTASI KLINIS
Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada
waktu pasien melakukan pemeriksaan rutin atau karena kelainan penyakit lain.
Gejala awal sirosis (konpensata) meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera
makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada
laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, serta
menurunnya dorongan seksualitas.
Manifestasi klinis dari sirosis hati yang lanjut terjadi akibat dua tipe gangguan
fisiologis, yaitu kegagalan parenkim hati dan hipertensi portal. Kegagalan
parenkim hati memperlihatkan gejala klinis berupa :
1. Ikterus
2. Asites
3. Edema perifer
4. Kecenderungan perdarahan
5. Eritema palmaris
6. Spider nevi
7. Fetor hepatikum
8. Ensefalopati hepatik
Sedangkan gambaran klinis yang berkakitan dengan hipertensi portal
antara lain :
1. Varises oesophagus dan lambung
2. Splenomegali
3. Perubahan sum-sum tulang
4. Caput medusa
5. Asites
8
6. Collateral veinhemorrhoid
7. Kelainan sel darah tepi (anemia, leukopeni dan trombositopeni)
G. DIAGNOSIS
Pada saat ini, penegakan diagnosis sirosis hati terdiri atas pemeriksaan
fisis, laboratorium, dan USG. Pada kasus tertentu diperlukan pemeriksaan biopsi
hati atau peritoneoskopi karena sulit membedakan hepatitis kronik aktif yang
berat dengan sirosis hati dini.
a) Temuan Klinis pada Pemeriksaan Fisik
1. Hati : perkiraan besar hati, biasanya hati membesar pada awal sirosis,
bila hati mengecil artinya prognosis kurang baik. Pada sirosis hati,
konsistensi hati biasanya kenyal/firm, pinggir hati biasanya tumpul dan
ada nyeri tekan pada perabaan hati.
2. Limpa : pembesaran limpa/splenomegali
3. Perut & ekstra abdomen : pada perut diperhatikan vena kolateral dan
ascites
4. Manifestasi diluar perut : perhatikan adanya spider navy pada tubuh
bagian atas, bahu, leher, dada, pinggang, caput medussae, dan tubuh
bagian bawah. Perlu diperhatikan adanya eritema palmaris,
ginekomastia dan atrofi testis pada pria. Bisa juga dijumpai hemoroid.
b) Laboratorium
1. Aminotransferase –AST dan ALT meningkat cukup tinggi, dengan
AST >ALT. Namun, aminotransferase normal tidak menyingkirkan
sirosis
2. Fosfatase alkali – biasanya sedikit lebih tinggi
3. GGT – berkorelasi dengan tingkat AP. Biasanya jauh lebih tinggi pada
penyakit hati kronis karena alkohol.
4. Bilirubin – dapat meningkat sebagai tanda sirosis sedang berlangsung
5. Albumin – rendah akibat dari menurunnya fungsi sintetis oleh hati
dengan sirosis yang semakin memburuk.
9
6. Waktu prothrombin – meningkat sejak hati mensintesis faktor
pembekuan
7. Globulin – meningkat karena shtunting antigen bakteri jauh dari hati
ke jaringan limfoid
8. Serum natrium- hiponatremia karena ketidakmampuan untuk
mengeluarkan air bebas akibat dari tingginya ADH dan aldosteron.
9. Trombositopenia – karena splenomegali kongestif dan menurunnya
sintesis thrombopoetin dari hati.
10. Leukopenia dan neutropenia
11. Defek koagulasi
H. KOMPLIKASI
Morbiditas dan mortalitas sirosis sangat tinggi akibat komplikasinya.
Kualitas hidup pasien sirosis diperbaiki dengan pencegahan dan penanganan
komplikasinya.
Peritonitis bakterial spontan, yaitu infeksi cairan asites oleh suatu jenis
bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra abdominal. Biasanya
pasien ini tanpa gejala, namun dapat timbut demam dan nyeri
abdomen.
10
Sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa
oliguri, peningkatan ureum dan kreatinin tanpa adanya kelainan
organik ginjal. Kerusakan hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi
ginjal yang berakibat pada penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG)
Varises oesophagus, 20-40% pasien sirosis dengan varises esofagus
pecah yang menimbulkan perdarahan. Angka kematiannya sangat
tinggoi, sebanyak dua per tiganya akan meninggal dalam wakti 1
tahun walaupun dilakukan tindakan untuk menanggulangi varises ini
dengan beberapa cara
Ensefalopati hepatik, merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat
disfungsi hati. Mula-mula ada gangguan tidur (insomnia dan
hipersomnia), selanjutnya dapat timbul gangguan kesadaran yang
berlanjut sampai koma
Sindrom hepatopulmonal, terdapat hidrothoraks dan hipertensi
pulmonal.
11
BAB III
KOMA HEPATIKUM
A. KOMA
Koma didefinisikan sebagai keadaan tidak sadarkan diri yang penderitanya
tidak dapat dibangunkan, bahkan dengan rangsang yang sangat kuat. Gejala klinis
yang ditemukan dalam keadaan koma dapat bervariasi berdasarkan tingkat
kedalaman koma. Pada tingkat terdalam dari koma, tidak ada reaksi dalam bentuk
apapun yang dapat dibangkitkan. Hal ini terlihat dari hilangnya berbagai refleks,
seperti refleks kornea, pupil, faring, dan tendon, serta hilangnya tonus otot
anggota gerak. Pada tingkat yang lebih ringan, reflex biasanya dapat dibangkitkan
dengan berbagai tingkat, seperti refleks pupil, refleks gerakan bola mata, refleks
kornea, dan berbagai refleks batang otak. Selain itu, tonus otot biasanya
meningkat dan respirasi dapat menjadi lambat atau cepat, periodik, dan mengikuti
pola tertentu.
Koma terjadi akibat adanya gangguan pada sistem reticular activating
system (RAS) yang mengatur kesadaran manusia. Menurut penyebabnnya koma
dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu koma yang disebabkan karena adanya
lesi pada RAS (koma struktural) dan koma yang disebabkan oleh gangguan
metabolik sehingga menekan aktivitas neuron (koma metabolik). Lesi yang
menyebabkan gangguan kesadaran dapat disebabkan karena tiga jenis lesi. Jenis
lesi yang pertama adalah lesi dengan masa yang cukup bermakna. Lesi ini
biasanya hanya mengenai sebagian dari korteks dan substansia alba sedangkan
bagian cerebrum lainnya berada dalam keadaan intak. Akan tetapi, lesi ini dapat
mengganggu fungsi otak bagian lainnya melalui pergeseran struktur yang lebih
dalam ke arah lateral. Kadang-kadang, lesi dapat disertai oleh herniasi dari lobus
temporal melalui celah di tentorium sehingga menekan otak tengah dan RAS pada
regio subtalamik.
Jenis lesi yang kedua adalah lesi yang secara anatomi berada pada RAS,
yaitu talamus dan otak tengah. Lesi ini mengganggu fungsi neuron pada RAS
12
secara langsung. Lesi yang ketiga merupakan lesi yang bersifat difus dan luas
pada kedua bagian korteks dan substansia alba. Koma terjadi karena adanya
interupsi dari impuls talamokortikal atau dikarenakan adanya destruksi luas pada
akson korteks.
Berdasarkan studi epidemiologi, pasien yang datang dalam keadaan koma
metabolik ditemukan lebih sering dibandingkan dengan koma struktural. Sekitar
dua dari tiga kasus kejadian koma merupakan jenis koma metabolik. Karakteristik
penderita koma metabolik berbeda dibandingkan dengan penderita koma
struktural. Manifestasi klinis, usia, tekanan darah, dan temuan pada pemeriksaan
neurologi merupakan salah satu faktor penentu yang kuat dalam menentukan jenis
koma yang dialami pasien.
13
terganggu pada keadaan ensefalopati hepatikum. Menurut Kamus Kedokteran,
ensefalopati hepatikum atau ensefalopati portal-sistemik merupakan suatu
keadaan yang biasanya terjadi akibat penyakit hati lanjut, tetapi juga ditemukan
dalam perjalanan setiap penyakit berat atau pada pasien dengan pirau portokava.
Keadaan ini ditandai dengan gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma
dalam (koma hepatik), berbagai taraf perubahan psikiatrik, flapping tremmor, dan
fetor hepatikus.
Ensefalopati hepatikum memiliki gambaran gejala neuropsikiatrik yang
luas. Untuk itu, dikembangkan suatu konsensus untuk mengklasifikasikan
ensefalopati hepatikum oleh World Congress of Gastroenterology. Berdasarkan
konsensus ini, ensefalopati hepatikum dibagi menjadi tiga tipe, yaitu tipe A, tipe
B, dan tipe C. Tipe A merupakan ensefalopati hepatikum yang berhubungan
dengan gagal hati akut. Ensefalopati hepatikum menentukan prognosis dari gagal
hati akut. Kurang lebih 30 persen dari pasien dengan ensefalopati hepatikum tipe
A meninggal karena herniasi serebri yang disebabkan karena adanya edema
serebri dan peningkatan tekanan intrakranial. Tipe B merupakan tipe yang
disebabkan karena adanya portosystemic shunt tanpa disertai adanya kelainan
intrinsik pada hati. Sedangkan tipe C merupakan tipe yang dihubungkan dengan
adanya sirosis dan peningkatan tekanan vena porta atau adanya portosystemic
shunt. Pada ensefalopati hepatikum akibat gangguan hati kronis, pasien biasanya
megalami berbagai gangguan neuropsikiatri, termasuk gangguan psikomotorik,
gangguan memori, abnormalitas pada sensorik, dan gangguan konsentrasi. Pada
gangguan yang lebih berat, pasien dapat berada dalam keadaan konfusi, stupor,
koma, bahkan kematian.
Terdapat perbedaan neuropatologi pada ensefalopati hepatikum yang
disebabkan karena adanya gagal hati akut dan ensefalopati hepatikum yang
disebabkan karena gangguan hati kronis. Pada gagal hati akut, terjadi
pembengkakan astrosit dan pasien mengalami edema serebri sitotoksik. Onset dari
pembengkakan astrosit tersebut terjadi secara akut progresif. Hal ini menyebabkan
adanya peningkatan tekanan intrakranial yang terjadi secara tiba-tiba sehingga
14
dapat menyebabkan kematian akibat herniasi serebri. Kadar amonia otak
meningkat dan dapat mencapai kadar 4 mM.
Berbeda dengan perubahan yang terjadi pada gagal hati akut, astrosit pada
gangguan hati kronis menunjukkan gambaran morfologi yang khas, yaitu
astrositosis Alzheimer tipe II. Astrosit menunjukkan adanya perbesaran dan
pembengkakan pada nukleus, penonjolan pada nukleolus, penepian dari pola
kromatin, dan pembesaran dari sitoplasma yang disebabkan karena adanya
proliferasi dari organel dalam sitoplasma akibat pemaparan amonia secara kronis.
15
dianggap turut memegang peranan dalam menyebabkan gangguan
neurotransmitter tersebut.
1. Amonia
Amonia memegang peranan penting dalam menentukan tingkat
keparahan dari ensefalopati hepatik. Hal ini terbukti dari beberapa
penelitian yang menunjukkan tingginya tingkat amonia dalam darah
pada pasien dengan ensefalopati hepatik. Selain itu, level amonia yang
tertinggi ditemukan pada pasien yang berada dalam keadaan koma.
Tabel 3.1 Rasio Konsentrasi Amonia Otak-Darah : Efek dari Gagal Hati.
16
Bagian dari otak yang memegang peranan terpenting dalam proses
detoksifikasi amonia adalah astrosit. Astrosit merupakan sel paling
banyak ditemukan pada korteks serebri dan berfungsi dalam regulasi
ion dalam otak, regulasi neurotransmiter, pengaturan sawar darah
otak, dan penyediaan nutrisi bagi neuron. Amonia dieliminasi melalui
proses amidasi glutamat menjadi glutamin. Penumpukan glutamin di
astrosit menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan osmosis
sehingga terjadi pembengkakan dari astrosit. Dampak dari
hiperammonemia juga dipengaruhi oleh kemampuan astrosit dalam
mempertahankan keseimbangan osmotik dengan pengeluraran
osmolit, seperti myo-inositol sebagai respon dari penumpukan
glutamin. Oleh karena itu, pasien dengan hiponatremia maupun
hiperammonemia kronis lebih sensitif terhadap peningkatan kadar
amonia secara mendadak.
17
mempengaruhi pengaturan neurotransmitter, baik inhibitor maupun
eksitator. Dalam keadaan gagal hati akut, terjadi alkalinisasi dari
sitosil yang menyebabkan pelepasan glutamat pada sinaps. Glutamat
merupakan suatu neurotransmiter utama yang bersifat eksitator pada
otak. Pelepasan glutamat menyebabkan overaktivasi dari reseptor
glutamat ionotropik, reseptor N-methyl-D-aspartat. Hal ini
dihubungkan dengan kejang yang terjadi pada ensefalopati hepatikum
pada gagal hati akut.
18
Darah yang mengandung agen infeksius dibawa melalui parenkim hati
sehingga memungkinkan untuk sel-sel imun menangkap sebagian
besar mikroba di sistem vena portal. Sirosis dan portosystemic shunt
menyebabkan adanya perubahan dari sistem hemodinamik tersebut.
Hal ini menyebabkan banyaknya mikroba yang dapat memasuki
sirkulasi darah sistemik sehingga menyebabkan adanya
endotoksinemia dan inflamasi yang kronis. Selain itu, pembengkakan
dari astrosit yang terjadi akibat adanya hiperammonemia juga
menyebabkan adanya gangguan dari aliran darah ke otak. Astrosit
merupakan sel yang berperan penting dalam pembentukan sawar darah
otak dan pengaturan sistem serebrovaskular.
Gambar 3.3 Diagram Mengenai Hubungan Inflamasi dan Aliran Darah ke Otak
Terhadap Manifestasi Klinik Ensefalopati Hepatikum.
19
myoinositol otak, dan peningkatan kandungan cairan dalam otak.
Selain itu, TNF-α memiliki efek terhadap permeabilitas sel endotelial
yang berpotensi menyebabkan gangguan dari fungsi sawar darah otak.
3. Mangan
Mangan merupakan salah satu neurotoksin yang kuat pada manusia
dan primata. Zat ini ditemukan di otak pada ensefalopati menggunakan
MRI dan memiliki korelasi terhadap keadaan psikometrik dan fatique.
Peningkatan serum mangan pada penderita gagal hati disebabkan
karena adanya penurunan dari ekskresi bilier. Hal ini menyebabkan
penumpukan mangan pada daerah-daerah yang memiliki aliran darah
yang tinggi, seperti basal ganglia. Menurut beberapa postulat
dinyatakan bahwa mangan memiliki efek neurotoksin yang sinergis
dengan amonia dan menyebabkan tingginya radikal bebas serta
gangguan pada integritas selular astrosit.
C. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran Ensefalopati hepatikum dapat ditemukan dengan berbagai
manifestasi klinis berdasarkan tingkat keparahannya. Pada dasarnya, gambaran
klinis dari ensefalopati hepatikum dapat dilihat dari perubahan stastus mental,
perubahan neuromuskular, dan perubahan tingkah laku serta mood. Pada pasien
dengan ensefalopati hepatik yang minimal, gejala klinis biasanya hanya dapat
ditemukan melalui penilaian neuropsikiatri dan psikomotor. Sedangkan pasien
dengan ensefalopati hepatikum yang berat dapat ditemukan dalam keadaan koma.
Untuk mempermudah klasifikasinya, ensefalopati hepatikum dibagi menjadi
empat tingkat berdasarkan status mentalnya menggunakan klasifikasi West
Haven. Klasifikasi ini sangat penting pada kasus ensefalopati hepatikum yang
bersifat akut, namun kurang efektif jika dipakai dalam perjalanan penyakit yang
kronis. Hal ini disebabkan karena adanya gangguan neurologis, seperti gejala
ekstrapiramidal dan demensia, yang biasanya muncul pada ensefalopati
hepatikum kronis.
20
Ensefalopati hepatikum yang bersifat akut dapat ditemukan pada pasien
dengan hepatitis virus, hepatitis toksik obat (halotan, asetaminofen), perlemakan
hati akut pada kehamilan, dan kerusakan parenkim hati yang fulminan tanpa
adanya faktor pencetus. Pada perjalanan penyakit biasanya ditemukan gejala yang
eksplosif dan ditandai dengan delirium, kejang, disertai dengan edema otak.
Sedangkan pada ensefalopati hepatikum yang kronis biasanya perjalanan penyakit
tidak bersifat progresif sehingga gejala neuropsikiatri terjadi secara perlahan dan
dicetuskan oleh beberapa faktor presipitasi, seperti azotemia, perdarahan
gastrointestinal, infeksi, alkalosis metabolik, gangguan keseimbangan cairan, dan
pemakaian diuretik.
Awalnya, gambaran ensefalopati hepatikum biasanya ditandai dengan
gambaran gangguan mental, seperti gangguan dalam pengambilan keputusan dan
gangguan konsentrasi. Keadaan ini dapat dinilai dengan uji psikomotor atau pada
pasien dengan intelektual cukup dapat dites dengan membuat gambar-gambar atau
dengan uji hubung angka (UHA). Selain itu, manifestasi klinis yang dapat
ditemukan sebagai gejala awal pada ensefalopati hepatikum adalah perubahan
pola tidur diurnal. Perubahan ini disebabkan karena adanya perubahan pada
sekresi melatonin pada ensefalopati hepatik.
Pada perjalanan penyakit yang lebih jauh dapat ditemukan gejala
neurologis berupa bradikinesia, asterixis, hiperefleksia, dan postur deserebrasi
yang samar. Asterixis merupakan gejala yang sering ditemukan pada ensefalopati
hepatik, namun bukan merupakan gejala yang spesifik. Asterixis dapat ditemukan
pada ensefalopati metabolik lainnya, seperti uremia, gagal napas dan keracunan
barbiturat.
21
Tabel 3.2 Klasifikasi West-Haven.
D. DIAGNOSIS
Pada dasarnya, tidak ada pemeriksaan yang dapat dijadikan gold standard
dalam mendiagnosis ensefalopati hepatikum. Pada ensefalopati hepatikum
diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap dan detail. Hal ini
disebabkan karena banyaknya penyakit yang bisa menjadi diagnosis banding dari
ensefalopati hepatikum, baik gangguan vaskular, gangguan metabolik, gangguan
intrakranial, maupun gangguan neuropsikiatrik. Selain itu, gejala klinis yang
ditemukan pada ensefalopati hepatikum tidak ada yang bersifat spesifik untuk
penyakit ini. Dalam anamnesis, perlu diketahui ada tidaknya riwayat maupun
22
gejala klinis dari gangguan hati. Selain itu, perlu diketahui juga faktor-faktor lain
menjadi pencetus pada ensefalopati hepatikum.
Dalam pendekatan diagnosis ensefalopati hepatikum, perlu dilakukan
eksklusi penyebab lain dari ensefalopati, mengidetifikasikan faktor-faktor
pencetus yang dapat menyebabkan ensefalopati hepatikum, dan memulai terapi
empirik untuk ensefalopati hepatikum. Respon yang baik terhadap terapi empirik
dapat menegakkan diagnosis ensefalopati hepatikum, akan tetapi jika tidak ada
respon dalam 72 jam mengindikasikan perlunya terapi lebih jauh.
23
Selain menyingkirkan penyakit lain yang dapat menyerupai, identifikasi
dari penyebab-penyebab yang memicu terjadinya ensefalopati hepatikum juga
perlu dilakukan dalam mendiagnosis ensefalopati hepatikum. Pada penyakit hati
kronis, biasanya terdapat minimal satu faktor pemicu yang dapat menginduksi
episode dari ensefalopati hepatikum.
24
Pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi penyakit hati yang mendasari
juga perlu dilakukan. Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan fungsi hati
secara lengkap. Pada ensefalopati hepatikum biasanya didapat hasil yang
abnormal pada pemeriksaan fungsi hati, seperti peningkatan kadar bilirubin,
alanine aminotransferese (ALT), aspartate aminotransferese (AST), dan alkaline
phosphatase, serta penurunan kadar albumin serum. Pemeriksaan kadar amonia
dalam darah pada ensefalopati hepatikum biasanya meningkat pada pasien dengan
pasien dengan ensefalopati hepatikum. Akan tetapi, pemeriksaan ini masih
kontroversial karena pengambilan sampel amonia masih dianggap belum akurat
dan sangat dipengaruhi oleh teknik pengambilan. Selain itu, peningkatan kadar
amonia dalam darah juga dianggap kurang menunjukkan tingkat keparahan dari
ensefalopati hepatikum.
25
Computed Tomography scanning (CT scan) dapat menunjukkan adanya edema
serebri, namun hal tersebut tidak signifikan dalam penegakkan diagnosis
ensefalopati hepatikum. Pemeriksaan CT scan perlu dilakukan untuk
mengeksklusikan kemungkinan lain yang dapat menyebabkan gangguan
neurologis, seperti perdarahan subdural atau epidural. Pemeriksaan MRI
menunjukkan gambaran abnormal pada pasien dengan sirosis hepatikum. Hasil
MRI T1-weighted menunjukkan adanya hiperintensitas yang simetris pada
pallidum, substansia nigra, dan nukleus dentata. Namun, hasil pemeriksaan
dengan MRI tidak menunjukkan tingkat keparahan dari ensefalopati hepatikum,
melainkan lebih menunjukkan keparahan dari portosystemic shunts.
E. TATALAKSANA
Patofisiologi dari ensefalopati hepatikum merupakan peristiwa yang
kompleks dan multifaktorial. Tatalaksana dari ensefalopati mencangkup beberapa
hal, yaitu mengobati penyakit dasar hati, mengidentifikasikan dan menghilangkan
faktor-faktor pencetrus, mengurangi pembentukan influks toksin nitrogen ke
jaringan otak, serta mengatasi komplikasi yang mungkin ditemui.
Pada pasien dengan gagal hati akut, ensefalopati hepatikum terjadi secara
cepat dan progresif, serta biasanya disertai komplikasi berupa edema serebri.
Pasien dengan gagal hati akut dan ensefalopati hepatikum tingkat 3 dan 4
sebaiknya dimonitor tekanan intrakranialnya. Pemberian manitol dengan dosis 0,5
gram per kilogram berat badan secara bolus berulang masih merupakan terapi
farmakologi utama dalam menangani edema serebri pada kasus ini.
Terapi yang berbeda diberikan pada penderita ensefalopti hepatikum pada
gangguan hati kronis. Menurunkan absorpsi amonia dan neurotoxin lainnya di
intestinal merupakan tatalaksana pada kasus ini. Hal ini dicapai dengan
menurunkan jumlah konsumsi nitrogen dari makan, konsumsi disakarida yang
tidak dapat diserap dan dengan konsumsi antibiotik yang tidak dapat/sedikit
diserap. Antibiotik yang biasa digunakan adalah neomisin, paromomisin, dan
rifaximin. Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik lebih efektif
dibandingkan dengan penggunaan disakarida. Selain menggunakan disakarida dan
26
antibiotik yang sukar diserap, pemberian bakteri urease-negative dalam jumlah
besar dapat diberikan untuk memanipulasi produksi amonia di usus. Bakteri yang
biasanya diberikan adalah Lactobacillus acidophilus dan Enterococcus faecium.
Akan tetapi, terapi berikut masih membutuhkan investigasi lebih lanjut.
Pemberian obat-obatan yang bekerja pada siklus urea juga dapat diberikan
pada penderita ensefalopati hepatikum. Hal ini termasuk dengan pemberian
ornithine-aspartate yang menyediakan substrat untuk pembentukan urea dan
glutamin. Pemberian zinc juga dapat meningkatkan pembentukan urea karena zinc
merupakan kofaktor dari berbagai enzim yang digunakan dalam siklus urea.
Obat lain yang dapat diberikan pada penderita ensefalopati hepatikum
adalah antagonis dari benzodiazepine. Pemberian antagonis benzodiazepine,
seperti flumazenil, dapat memberikan sedikit perbaikan. Namun, sesungguhnya
efektifitas dari obat-obatan antagonis benzodiazepine terbukti rendah dalam
mengatasi ensefalopati hepatikum. Penggunaan obat ini dapat dipakai sebagai cara
untuk mengeksklusikan penggunaan benzodiazepine sebagai penyebab dari
ganggaun neurologik pada pasien tersebut. Agonis dopaminergik, seperti
bromocriptine dan L-dopa, dapat digunakan untuk mengatasi gejala
ekstrapiramidal dari ensefalopati hepatikum yang kronis.
Restriksi protein sebaiknya tidak dilakukan karena dapat memperburuk
status gizi dari pasien dan dapat mengurangi pembuangan amonia melalui otot.
Untuk itu, pada pasien dengan ensefalopati hepatik dapat diberikan diet
normoprotein. Pada pasien ensefalopati hepatikum, diet yang diberikan dapat
diperkaya dengan asam amino rantai ganda. Penggunaan suplemen asam amino
rantai ganda dapat diberikan sebagai terapi ensefalopati hepatikum akut maupun
pada ensfalopati hepatikum kronik dimana pasien memikiki intoleransi terhadap
protein.
Tindakan operatif dapat dilakukan untuk mengurangi portosystemic
shunts. Tindakan ini memiliki resiko perdarahan akibat peningkatan tekanan
portal setelah tindakan operatif ini dilakukan. Tindakan invasif lain yang bisa
dilakukan adalah embolisasi terhadap arteri splenikus dan kolektomi total.
Tindakan tersebut hanya dilakukan pada ensefalopati hepatikum kronik yang
27
resistant dengan tindakan lain. Tindakan invasif yang paling radikal adalah
transplantasi hati. Pada tindakan ini, evaluasi terhadap periode dan jenis
ensefalopati perlu dilakukan secara kritis. Transplantasi hati pada pasien dengan
perjalanan penyakit yang kronis dapat hanya memberikan sedikit perbaikan dan
bahkan tidak memberikan perbaikan sama sekali.
28
BAB IV
KESIMPULAN
29
DAFTAR PUSTAKA
30