LP Sectio Caesarea

You might also like

Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 26

LAPORAN PENDAHULUAN

SECTIO CAESAREA
DEPARTEMEN PEDIATRIK

Disusun untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Profesi Ners Departemen


Maternitas Di Ruang Edelweys RST Tk. II dr. Soepraoen Malang

Oleh :
TRI RAHAYU ZULFIKRIYAH

NIM. 160070301111032

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2017
LAPORAN PENDAHULUAN

SECTIO CAESAEA

A. Pengertian

Sectio Caesarea merupakan suatu tindakan pembedahan untuk


melahirkan janin/ bayi dengan berat di atas 500 g melalui sayatan pada
dinding perut dan dinding uterus atau vagina yang masih utuh/intact atau
suatu histerotomi untuk melahirkan janin dari dalam rahim (Mochtar, 2002;
Saifuddin, 2002). Ada tujuh lapisan yang diiris pisau bedah, yaitu lapisan kulit,
lapisan lemak, sarung otot, otot perut, lapisan dalam perut, lapisan luar rahim,
dan rahim (Mochtar, 2002). Kelahiran Sectio Caesarea dulu disebut sebagai
Bedah-C (Pillitteri, 2002).
Istilah caesarea berasal dari kata latin “caedo”, yang berarti
“memotong”. Baik direncanakan (dijadwalkan) atau tidak (darurat), kehilangan
pengalaman melahirkan anak secara tradisional (pervaginam) dapat
memberikan efek negatif pada konsep diri wanita. Kelahiran caesarean ialah
kelahiran janin melalui insisi transabdomen pada uterus (Bobak, 2005).

B. Indikasi

Indikasi dilakukannya sectio caesarea dibagi dalam 2 bagian, yaitu


indikasi pada ibu dan janin/ bayi. Indikasi pada ibu yaitu disproporsi kepala
panggul/CPD/FPD, disfungsi uterus, distosia jaringan lunak/serviks, plasenta
previa, partus lama, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini, pre eklamsi
dan eklamsi. Indikasi pada janin yaitu janin besar (BJ > 4000 g), gawat janin
presentasi bokong dan letak lintang (Mochtar, 2002; Saifuddin, 2002).
Indikasi lain prosedur tersebut mencakup infeksi virus herpes, prolaps
tali pusat (Prolapsed umbilical cord), riwayat sesar sebelumnya, komplikasi
medis seperti hipertensi akibat kehamilan (pregnancy-induced hypertention),
solusio plasenta, malpresentasi misalnya presentasi bahu dan anomali janin
misalnya hidrosefalus (Bobak, 2005).
Tahun 2002 7,3 persen dari seluruh persalinan sesar di Inggris dilakukan
atas permintaan ibu tanpa adanya indikasi medis. Alasan dibalik permintaan
tersebut bermacam-macam dan sering dipengaruhi oleh sosial, budaya,
emosional dan faktor ekonomi (Thompson, 2010). Salah satu alasannya yaitu
adanya persepsi ibu yang mengatakan kalau pilihan ini merupakan pilihan
yang lebih aman, padahal ada beberapa penelitian yang menunjukan bahwa
operasi sesar yang dilakukan tanpa indikasi medis memiliki risiko fisik dan
emosional yang lebih besar daripada persalinan secara per vaginam (Baxter
et al, 2010). Risiko morbiditas ibu setelah persalinan sesar yang
direncanakan, lebih tinggi daripada rencana persalinan per vaginam. Risiko ini
harus menjadi pertimbangan bagi ibu yang akan melakukan persalinan secara
sesar (Baxter et al, 2010).

C. Kontraindikasi

Kontraindikasi sectio caesaria sebagai berikut: janin sudah mati dalam


kandungan (IUFD), klien dengan syok dan anemia berat yang belum diatasi,
jika janin didalam kandungan ibu terbukti cacat seperti unencephal, kasus
yang sudah terjadi infeksi pada kehamilan (Nadesul, 2009).

D. Klasifikasi

Menurut Bobak (2005) berdasarkan waktunya, kelahiran sesar ada


yang terencana atau terjadwal dan ada juga yang tidak terencana atau
darurat.
1. Kelahiran sesar terjadwal/terencana
Wanita yang mengalami kelahiran sesar terjadwal atau terencana
dilakukan jika persalinanan normal dikontraindikasikan misalnya karena
plasenta previa, tetapi persalinan harus tetap dilakukan, persalinan tidak
dapat diinduksi (misalnya, keadaan hipertensi yang menyebabkan
lingkungan intrauterus memburuk sehingga mengancam janin), atau bila
ada suata keputusan yang dibuat antara petugas kesehatan dan wanita
(misalnya kelahiran sesar berulang). Para wanita ini biasanya memiliki
waktu untuk persiapan psikologis.
2. Kelahiran sesar darurat
Wanita yang mengalami kelahiran sesar darurat atau tidak terencana
sering menimbulkan pengalaman yang traumatik. Wanita tersebut biasanya
menghadapi pembedahan dengan letih dan tidak bersemangat bila
ternyata persalinan tidak berhasil. Dia cemas terhadap kondisi diri dan
bayinya. Seluruh prosedur preoperasi harus dilakukan dengan cepat dan
kompeten. Waktu untuk menjelaskan prosedur dan operasi harus singkat.
Wanita ini memerlukan lebih banyak perawatan pendukung.
Bobak (2005) juga membagi kelahiran sesar berdasarkan tipenya
menjadi 2 macam, yaitu sebagai berikut:
1. Kelahiran sesar klasik
Kelahiran sesar klasik kini jarang dilakukan, tetapi dapat dilakukan
bila diperlukan persalinan yang cepat dan pada beberapa kasus presentasi
bahu serta plasenta previa. Insisi vertikal dilakukan ke dalam bagian tubuh
atas uterus. Insiden kehilangan darah, infeksi dan rupture uterus lebih
tinggi pada kehamilan selanjutnya daripada persalinan dengan prosedur
sesar segmen bawah. Kelahiran per vaginam setelah sesar klasik
dikontraindikasikan.
2. Kelahiran sesar segmen bawah
Kelahiran sesar segmen bawah dapat dilakukan melalui insisi vertikal
(Sellheim) atau insisi transversal (Kerr). Insisi transversal lebih popular
karena lebih mudah dilakukan, kehilangan darah relatif lebih sedikit, infeksi
paska operasi lebih kecil, dan kemungkinan ruptur pada kehamilan
selanjutnya lebih kecil.

Menurut sayatan pada rahim, sectio caesarea dapat dilakukan sebagai


berikut:
1. Sayatan memanjang (longitudinal).
2. Sayatan melintang (transversal).
3. Sayatan huruf T (T insicion).

E. Patofisiologi

Riwayat sectio caesarea sebelumnya, distosia persalinan dan letak janin


abnormal memungkinkan ibu hamil untuk dilakukannya persalinan sectio
caesarea. Sectio caesarea menimbulkan perlukaan dan membuka jaringan,
dari jaringan yang tersayat akan memunculkan reseptor nyeri sehingga timbul
rasa nyeri. Klien post sectio caesarea akan mengalami kelemahan fisik dan
rasa nyeri sehingga dapat menganggu mobilisasi klien dan menyebabkan
masalah defisit perawatan diri, dengan adanya sectio caesarea juga dapat
menyebabkan klien mengalami cemas karena perubahan status peran dan
kondisi kesehatannya (Mansjoer, 2002).

F. Komplikasi/ Risiko
Operasi sesar adalah operasi yang aman. Namun, seperti dengan
operasi besar lainnya, ada resiko yang terlibat (Gregory et al, 2011). Risiko
utama adalah untuk ibu. Komplikasi maternal terjadi pada 25 persen sampai
50 persen kelahiran seperti perdarahan hebat pada saat operasi dan setelah
melahirkan, infeksi pada luka atau peningkatan bekuan darah (trombosis) di
pembuluh darah kaki/tromboflebitis (Bobak, 2005; Gregory et al, 2011).
Komplikasi lain meliputi aspirasi, emboli pulmoner, infeksi saluran kemih,
cedera pada kandung kemih atau usus, dan komplikasi yang berhubungan
dengan anestesi (Bobak, 2005). Menurut Edwards and McColgan (2010),
kecemasan juga merupakan komplikasi dari pasien yang mengalami operasi
karena kecemasan dapat mempengaruhi keadaan fisiologis pasien.
Kecemasan mengakibatkan perubahan yang disebabkan oleh stimulasi
simpatik yang dapat mengakibatkan peningkatan denyut jantung dan tekanan
darah. Selain itu, kecemasan dapat menyebabkan meningkatnya rasa nyeri
dan keterlambatan penyembuhan. Para dokter kandungan dan bidan akan
memastikan bahwa tindakan yang tepat diambil untuk mengurangi risiko
komplikasi (Gregory et al, 2011).
Kelahiran sesar bukan saja berisiko pada ibu tetapi juga pada janinnya.
Risiko itu meliputi risiko janin lahir prematur jika usia gestasi tidak dikaji
dengan akurat dan risiko cedera janin dapat terjadi selama pembedahan.
Selain itu, wanita tersebut memiliko risiko finansial karena biaya kelahiran
sesar lebih tinggi daripada kelahiran normal secara per vaginam dan periode
pemulihan yang lebih lama memerlukan biaya tambahan (Bobak, 2005). Oleh
karena itu, pada tahun 1985, Organisasi Kesehatan Dunia WHO
menyarankan bahwa tingkat operasi sesar sebesar 15 persen hanya untuk
negara maju (Thompson, 2010).

G. Pemeriksaan Penunjang

1. Metode Morgan Thournau: gabungan spiral/helik CT scan panggul dan


ultrasonografi: perbandingan besar volume lingkar kepala/lingkar
bahu/lingkar perut janin
2. USG : biometri, indeks cairan amnion, letak dan derajat maturasi plasenta,
kelainan bawaan, tebal segmen bawah uterus. Bila pada pemeriksaan
transabdominal didapatkan ketebalan SBU > 3,5 mm atau pada USG
transvaginal ketebalan lapisan miometrium didaerah SBU > 2,5 mm,
memiliki kemungkinan untuk partus pervaginam dengan resiko dehisen
sekitar 1,3%.
3. Rontgen Pelvimetri : pada kecurigaan panggul sempit.
4. Selain itu Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan sebagai
berikut:
a. Hemoglobin atau hematokrit (HB/Ht) untuk mengkaji perubahan dari
kadar pra operasi dan mengevaluasi efek kehilangan darah pada
pembedahan.
b. Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi
c. Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah
d. Urinalisis / kultur urine
e. Pemeriksaan elektrolit (Moeloek, 2006).

H. Penatalaksanaan

Menurut Mochtar (2002), penatalaksanaan medis pada persalinan


Sectio Caesarea meliputi sebagai berikut:
1. Cairan IV sesuai indikasi.
2. Anestesi; regional atau general. Perjanjian dari orang terdekat untuk tujuan
sectio caesaria.
3. Tes laboratorium/diagnostik sesuai indikasi.
4. Pemberian oksitosin sesuai indikasi.
5. Tanda vital per protokol ruangan pemulihan
6. Persiapan kulit pembedahan abdomen
7. Persetujuan ditandatangani.
8. Pemasangan kateter foley.
Penatalaksanaan medis dan perawatan setelah dilakukan sectio
caesarea (Cuningham, 2005), yaitu sebagai berikut:
1. Perdarahan dari vagina harus dipantau dengan cermat.
2. Fundus uteri harus sering dipalpasi untuk memastikan bahwa uterus tetap
berkontraksi dengan kuat.
3. Analgesi meperidin 75-100 mg atau morfin 10-15 mg diberikan, pemberian
narkotik biasanya disertai anti emetik, misalnya prometazin 25 mg.
4. Periksa aliran darah uterus paling sedikit 30 ml/jam.
5. Pemberian cairan intra vaskuler, 3 liter cairan biasanya memadai untuk 24
jam pertama setelah pembedahan.
6. Ambulasi, satu hari setelah pembedahan klien dapat turun sebentar dari
tempat tidur dengan bantuan orang lain.
7. Perawatan luka, insisi diperiksa setiap hari, jahitan kulit (klip) diangkat pada
hari keempat setelah pembedahan.
8. Pemeriksaan laboratorium, hematokrit diukur pagi hari setelah
pembedahan untuk memastikan perdarahan pasca operasi atau
mengisyaratkan hipovolemia.
9. Mencegah infeksi pasca operasi, ampisilin 29 dosis tunggal, sefalosporin,
atau penisilin spektrum luas setelah janin lahir.

I. Tahapan dan Teknik Sectio Caesarea


a. Insisi Abdomen
1. Insisi vertikal, insisi vertikal garis tengah intra umbilikus, insisi ini harus
cukup panjang agar janin dapat lahir tanpa kesulitan. Oleh karena itu,
panjang insisi harus sesuai dengan taksiran berat janin.
2. Insisi transversal atau lintang, kulit dan jaringan subkutan disayat
dengan menggunakan insisi transversal rendah sedikit melengkung.
Insisi dibuat setinggi garis rambut pubis dan diperluas sedikit melebihi
batas lateral otot rektus.

b. Insisi Uterus
1. Insisi caesarea klasik
a) Insisi caesarea klasik adalah suatu insisi vertikal ke dalam korpus
uterus diatas segmen bawa uterus dan mencapai fundus uterus.
Sebagian besar insisi dibuat di segmen bawah uterus secara
melintang. Insisi melintang disegman bawah memiliki keunggulan
yaitu hanya memerlukan sedikit pemisahan kandung kemih dari
miometrium dibawahnya. Indikasi dilakukan insisi klasik untuk
melahirkan janin, yaitu :
1) Apabila segman bawah uterus tidak bisa dipajankan atau dimasuki
dengan aman karena kandung kemih melekat dengan erat akibat
pembedahan sebelumnya, atau apabila teardapat karsinoma
invasif diserviks.
2) Janin berukuran besar, terletak melintang, selaput ketuban sudah
pecah dan bahu terjepit jalan lahir.
3) Plasenta previa dengan implantasi anterior.
4) Janin kecil, presentasi bokong, sementara segmen bawah uterus
tidak menipis.
5) Obesitas berat
2. Insisi caesarea transversal, insisi tranversal melalui segman bawah
uterus merupakan tindakan untuk presentasi kepala, dengan proses
kelahiran janin :
a. Pada presentasi kepala, satu tangan diselipkan kedalam rongga
uterus diantara simpisis dan kepala janin. Kepala diangkat secara
hati-hati dengan jari dan telapak tangan, melalui lubang insisi dibantu
oleh penekanan sedang transabdomen pada fundus.
b. Hidung dan mulut diaspirasi dengan bola penghisap (bulb syringe)
untuk mencegah teraspirasinya cairan amnion dan isinya oleh janin,
dan dilakukan sebelum thorak bayi dilahirkan.
c. Bahu dilahirkan dengan tanpa ringan disertai penekanan pada
fundus.
d. Bagian tubuh lainnya segera menyusul, setelah bahu dilahirkan, ibu
atau pasien diberi oksitosin 20 unit/liter dengan kecepatan 10
ml/menit sampai uterus berkontraksi dengan baik.
e. Tali pusat diklem, bayi dipegang setinggi dinding abdomen.
f. Plasenta dikelurkan dari uterus.
g. Penjahitan uterus dan dinding abdomen dilakukan.

J. Pathway

TERLAMPIR

K. Perawatan Post Partum

1. Post Partum atau Puerpurium


a. Pengertian Post Partum
Beberapa pengertian tentang post partum atau puerperium diantaranya
sebagai berikut:
1) Menurut Mochtar (2001), masa post partum atau puerperium adalah
masa pulihnya kembali, mulai dari persalinan selesai sampai alat-alat
kandungan kembali seperti pra-hamil. Lama masa post partum yaitu 6-8
minggu.
2) Menurut Prawirohardjo (2009), masa post partum dimlai setelah
plasenta lahir dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti
keadaan sebelum hamil, berlangsung selama kira-kira 6 minggu.
3) Menurut Farrer (2001), masa post partum atau nifas atau puerperium
adalah periode waktu atau masa dimana organ-organ reproduksi
kembali kepada keadaan tidak hamil. Masa ini membutuhkan waktu
sekitar 6 minggu.
4) Menurut Bobak, Lowdermilk, & Jensen (2005), periode pasca partum
adalah masa enam minggu sejak bayi lahir sampai organ-organ
reproduksi kembali ke keadaan normal sebelum hamil. Periode ini
kadang-kadang disebut puerperium atau trimester ke empat kehamilan.

b. Pembagian dan Periode Masa Post Partum


Menurut Prawirohardjo (2009), pembagain masa post partum dibagi
menjadi 3 bagian yaitu sebagai berikut:
1) Puerpurium Dini
Masa ini merupakan kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri
dan berjalan-jalan. Dalam agama islam, dianggap telah bersih dan
boleh bekerja setelah 40 hari.
2) Puerpurium Intermedial
Masa ini merupakan kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia yang
lamanya 6-8 minggu.
3) Remote Puerpurium
Masa ini merupakan waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat
sempurna terutama bila selama hamil atau waktu persalinan
mempunyai komplikasi. Waktu untuk sehat sempurna bisa berminggu-
minggu, berbulan-bulan atau tahunan.

Sedangkan periode post partum menurut Pelayanan Kesehatan Maternal


dan Neonatal (2002), meliputi sebagai berikut:
1) Early post partum
Periode ini terjadi dalam 24 jam pertama.
2) Immediate post partum
Periode ini terjadi dalam minggu pertama.
3) Late post partum
Periode ini terjadi dalam minggu kedua sampai dengan minggu ke
enam.

c. Perubahan Fisiologis pada Masa Post Partum


1) Perubahan Fisik
Menurut Bobak (2005), Prawirohardjo (2009), dan Saifuddin (2006),
perubahan-perubahan fisik atau adaptasi fisik secara fisiologis pada ibu
post partum meliputi sebagai berikut:
a) Sistem Reproduksi
(1) Uterus
Uterus mengalami perubahan paling besar yaitu secara
berangsur-angsur menjadi kecil (involusi) sehingga akhirnya
kembali seperti sebelum hamil. Proses ini dimulai segera setelah
plasenta keluar akibat kontraksi otot-otot polos uterus. Pada saat
bayi lahir, atau akhir persalinan kala III, ukuran uterus kira-kira
sebesar uterus pada kehamilan 16 minggu dengan tinggi 2 jari
dibawah pusat dan beratnya 1000 gram. Ukuran ini dapat
semakin mengecil pada akhir minggu pertama post partum
dimana tingginya mencapai pertengahan pusat simpisis dan
beratnya kira- kira 500 gram. Dua minggu post partum, tinggi
fundus uterus tidak teraba diatas simpisis pubis dengan berat
350 gram. Involusi ini diperlihatkan oleh fakta bahwa pada
pemeriksaan abdomen berat uterus berkurang satu lembar jari
tangan setiap hari hingga pada hari ke 12 uterus tidak teraba lagi
pada pemeriksaan abdomen. Setelah itu involusi berlangsung
lebih lambat, tetapi pada akhir minggu ke 6 post partum
ukurannya lebih besar daripada sebelum hamil dengan berat
uterus mencapai 50 gram.
Intensitas kontraksi uterus meingkat secara bermakna segera
setelah bayi lahir, diduga terjadi sebagai respon terhadap
penurunan volume intra uterin yang sangat besar. Pada
primipara tonus otot meningkat sehingga fundus pada umumnya
tetap kencang. Relaksasi dan kontraksi yang periodik sering
dialami multipara dan bisa menimbulkan nyeri yang bertahan
sepanjang masa awal puerperium. Rasa nyeri setelah
melahirkan ini lebih nyata setelah ibu melahirkan, ditempat
uterus teregang (misalnya pada bayi besar atau bayi kembar).
Menyusui dan oksitosin tambahan biasanya meningkatkan nyeri
ini karena keduanya merangsang kontraksi uterus. Nyeri ini
disebut sebagai afterpain.
(2) Serviks
Serviks mengalami involusi bersamaan dengan uterus dan
serviks menjadi lunak setelah ibu melahirkan. Setelah persalinan,
ostium eksterna dapat dimasuki oleh 2 hingga 3 jari tangan, dan
delapan belas jam post partum, serviks memendek serta
konsistensinya menjadi lebih padat dan kembali ke bentuk
semula dimana serviks setinggi dengan segmen bawah uterus
dan mengalami edematosa, tipis, serta rapuh selama beberapa
hari setelah ibu melahirkan. Ektoserviks (bagian serviks yang
menonjol ke vagina) terlihat memar dan sedikit mengalami
laserasi kecil. Muara serviks eksterna tidak akan berbentuk
lingkaran seperti sebelum melahirkan, tetapi terlihat memanjang
seperti suhu celah. Bahkan, setelah 6 minggu persalinan serviks
akan menutup.
(3) Lochea
Istilah lochea digunakan untuk discharge yang keluar dari traktus
genetalis yang berasal dari cavum uteri dan vagina selama masa
post partum. Lochea terdiri dari darah dan sisa-sisa jaringan
trofoblas, terutama dari tempat plasenta. Sifat lochea berubah
ketika trombosis pembuluh darah. Warnanya menjadi cokelat
kemerahan dari hari ke 3 sampai hari ke 12 tetapi setelah itu,
ketika kebanyakan rongga endometrium telah tertutup oleh
epithelium, lochea menjadi berwarna kuning. Kadang-kadang
terdapat trombosit pada ujung pembuluh darah yang dapat
mengeluarkan darah sehingga lochea menjadi berwarna merah
selama beberapa hari lagi. Macam-macam lochea diantaranya
yaitu sebagai berikut:
(a) Lochea Rubra
Cairan yang keluar pada hari pertama sampai hari ke 3 post
partum, berwarna merah dan kadang hitam karena
mengandung sisa darah, desidua, verniks kaseosa, rambut,
dan sisa mekonium..
(b) Lochea sanguinolenta
Cairan yang keluar berwarna merah kecokelatan dan
berlendir serta berlangsung dari hari ke 4 sampai hari ke 7.
(c) Lochea Serosa
Cairan yang keluar pada hari ke 7 sampai hari ke 14 post
partum, berawarna merah muda, kekuningan dan
mengandung cairan serosa, jaringan desidua, leukosit, dan
eritrosit.
(d) Lochea alba
Cairan yang keluar pada minggu ke 2 sampai minggu ke 6
dan berwarna putih cream dan terutama mengandung
leukosit serta desidua.

(4) Vulva, Vagina, dan Perineum


Vulva, vagina, dan perineum mengalami penekanan serta
peregangan yang sangat besar selama proses melahirkan bayi
dan beberapa hari pertama sesudah proses tersebut, ketiga
organ ini tetap berada dalam keadaan melebar, mengalami
edema dan memar serta timbulnya celah pada introitus. Setelah
satu atau dua hari pertama pasca partum tonus otot vagina
kembali, celah vagina tidak lebar dan vagina tidak lagi edema.
Vagina menjadi berdinding lunak, lebih besar dari biasanya dan
umumnya longgar. Ukurannya menurun dengan kembalinya
rugae vagina sekitar minggu ketiga post partum. Ruang vagina
sedikit lebih besar dari pada sebelum kelahiran pertama. Akan
tetapi, latihan pengencangan otot perineum akan
mengembalikan tonusnya dan memungkinkan wanita secara
perlahan mengencangkan vaginanya. Pengencangan ini
sempurna pada akhir peurperium dengan latihan setiap hari
(5) Payudara
Beberapa perubahan pada payudara meliputi penurunan kadar
progesteron secara cepat dengan peningkatan hormon prolaktin
setelah persalinan. Kolostrum sudah ada pada saat persalinan
dan produksi ASI terjadi pada hari ke-2 atau hari ke-3 setelah
persalinan. Perubahan fisik yang terjadi pada payudara yaitu
payudara menjadi besar dan keras sebagai tanda mulainya
proses laktasi.
b) Sistem Kardiovaskular
Pada 24 jam pertama terjadi “hypervolemic” akibat adanya
pergeseran cairan ekstravaskuler ke dalam ruangan intravaskuler.
Setelah terjadi diuresis yang mencolok akibat penurunan kadar
estrogen, volume darah kembali kepada keadaan tidak hamil dimana
jumlah sel darah merah dan hemoblobin kembali normal pada hari
ke-5. Meskipun kadar estrogen mengalami penurunan yang sangat
besar selama masa nifas, namun kadarnya masih tetap lebih tinggi
daripada normal. Plasma darah tidak begitu mengandung cairan dan
dengan demikian daya koagulasi meningkat. Pembekuan darah
harus dicegah dengan penanganan yang cermat dan penekanan
pada ambulasi dini. Selain itu, tekanan darah, suhu, dan denyut nadi
biasanya stabil (normal) kecuali bila ada keluhan persalinan yang
lama dan sulit atau kehilangan banyak darah. Sistem kardiovaskkular
akan kembali pada keadaan normal dalam waktu 2 minggu pasca
persalinan.
c) Komponen Darah
a) Hematokrit dan Hemoglobin
Selama 72 jam pertama setelah bayi lahir, volume plasma yang
hilang lebih besar daripada sel darah yang hilang. Penurunan
volume plasma dan peningkatan sel darah merah dikaitkan
dengan peningkatan hemtokrit pada hari ketiga sampai hari ke
tujuh post partum. Tidak ada SDM yang rusak selama masa post
partum, tetapi semua kelebihan SDM akan menurun secara
bertahap sesuai denga usia SDM tersebut. Waktu yang pasti
kapan volume SDM kembali ke nilai sebelum hamil tidak
diketahui, tetapi volume ini berada dalam batas normal saat dikaji
8 minggu setelah melahirkan.
b) Hitung Sel Darah Putih
Leukositosis normal pada kehamilan rata-rata sekitar 12.000
/mm3. Selama 10 sampai 12 hari pertama setelah bayi lahir, nilai
leukosit antara 20.000 dan 25.000 / mm3 merupakan hal yang
umum. Neutrofil merupakan sel darah putih yang paling banyak.
Keberadaan leukositosis disertai peningkatan normal laju endap
darah merah dapat membingungkan dalam menegakkan
diagnosis infeksi akut selama waktu ini.
c) Faktor Koagulasi
Faktor-faktor pembekuan dan fibrinogen biasanya meingkat
selama awal masa kehamilan dan tetap meningkat pada awal
puerperium. Keadaan hiperkoagulasi, yang bisa diiringi kerusakan
pembuluh darah dan imobilitas, mengakibatkan peningkatan
risiko tromboembolisme. Aktiviats fibrinolitik juga meningkat
selama beberapa hari pertama setelah bayi lahir.
d) Sistem Endokrin
Selama periode post partum terjadi perubahan hormon yang besar.
Pengeluaran plasenta menyebabkan penurunan signifikan hormon-
hormon yang diproduksi oleh organ tersebut. Penurunan hormon
Human Placcental Lactogen (HPL), estrogen, dan kortisol, serta
placental enzyme insulinase membalik efek diabetogenik kehamilan,
sehingga kadar gula darah menurun secara yang bermakna pada
masa puerpurium. Kadar estrogen menurun 10% dalam waktu sekitar
3 jam post partum. Sedangkan progesteron turun pada hari ketiga
post partum. Selain itu, wkatu dimulainya ovariuim dan menstruasi
pada wanita menyusui berbeda. Kadar prolaktin serum yang tinggi
pada wanita menyusui tampaknya berperan dalam menekan ovulasi.
Karena kadar Follicle-Stimulating Hormone (FSH) terbukti sama pada
wanita menyusui dan tidak menyusui, sehingga dapat disimpulkan
ovarium tidak berespons terhadap stimulasi FSH kadar prolaktin
meningkat.
e) Sistem Urinaria
Buang air kecil sulit selama 24 jam pertama, kemungkinan terdapat
spasme sfingter dan edema leher buli-buli sesudah bagian ini
mengalami kompresi antara kepala janin dan tulang pubis selama
persalinan. Urin dalam jumlah yang besar akan dihasilkan dalam
waktu 12 sampai 36 jam sesudah melahirkan. Setelah plasenta
dilahirkan, kadar hormon estrogen yang bersifat menahan air akan
mengalami penurunan yang mencolok dimana keadaan ini
menyebabkan diuresis. Ureter yang berdilatasi akan kembali normal
dalam waktu 6 minggu.
f) Sistem Gastrointestinal
(1) Nafsu makan
Ibu post partum biasanya setelah melahirkan diperbolehkan untuk
mengkonsumsi makanan ringan dan setelah benar-benar pulih
dari efek analgesik, anastesi, dan keletihan, kebanyak ibu merasa
lapar. Permintaan untuk memperolah makanan dua kali dari
jumlah yang biasa dikonsumsi disertai konsumsi makanan ringan
yang sering ditemukan dan sering terjadi.
(2) Motilitas
Secara khas, penurunan tonus dan motilitas otot traktus
gastrointestinal menetap selama waktu yang singkat setelah bayi
lahir. Kelebihan analgesik dan anastesi bisa memperlambat
pengembalian tomus dan motilitas ke keadaan normal.
(3) Defekasi
Buang air besar secara spontan bisa ditunda selama dua sampai
tiga hari setelah ibu melahirkan. Keadaan ini bisa disebabkan
karena tonus otot usus menurun selama proses persalinan dan
pada awal masa post partum, ibu biasanya merasakan nyeri
diperineum akibat episiotomi, laserasi, atau hemoroid. Kebiasaan
buang air besar yang teratur perlu dicapai kembali setelah tonus
otot usus kembali normal.
g) Sistem Muskuloskeletal
Ambulasi pada umumnya dimulai 4 sampai 8 jam post partum.
Ambulasi dini sangat membantu untuk mencegah komplikasi dan
mempercepat proses involusi. Stabilisasi sendi lengkap pada minggu
ke enam sampai minggu ke delapan setelah ibu melahirkan.
h) Sistem Integumen
Penurunan melanin yang umumnya terjadi setelah persalinan
menyebabkan berkurangnya hyperpigmentasi kulit. Perubahan
pembuluh darah yang tampak pada kulit karena kehamilan akan
menghilang pada saat estrogen menurun. Selain itu kloasma yang
muncul pada masa kehamilan biasanya menghilang saat kehamilan
berakhir. Hiperpigmentasi diareola dan linea nigra tidak menghilang
seluruhnya. Kulit yang meregang pada payudara, abdomen, paha
dan panggul mungkin memudar tapi tidak hilang seluruhnya.

2) Perubahan Psikologis
Menurut Ambarwati dan Wulandari (2009: 88-89), adaptasi
psikologis dapat diklasifikasikan menjadi 3 antara lain :
a) Fase Taking In
Fase ini merupakan periode ketergantungan yang berlangsung dari
pertama sampai hari kedua setelah melahirkan. Pada saat itu, fokus
perhatian ibu terutama pada dirinya sendiri. Ibu masih pasif dan
tergantung. Pengalaman selama proses persalinan sering berulang
diceritakan, kelelahan membuat ibu cukup istirahat untuk mencegah
gejala kurang tidur, seperti mudah tersinggung serta nafsu makannya
meningkat. Hal ini membuat ibu cenderung menjadi positif terhadap
lingkungan. Oleh karena itu, kondisi ibu perlu dipahami dengan
menjaga komunikasi yang baik.

b) Fase Taking Hold


Fase ini berlangsung selama 3 - 10 hari setelah melahirkan. Pada
masa taking hold ibu merasa khawatir akan ketidakmampuan dan
rasa tanggung jawab dalam merawat bayi. Selain itu perasaannya
sangat sensitif sehingga mudah tersinggung jika komunikasi kurang
hati-hati.
c) Fase Taking Go
Fase ini merupakan fase menerima tanggung jawab akan peran
barunya yang berlangsung 10 hari setelah melahirkan. Ibu sudah
mulai menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya. Keinginan
untuk merawat diri dan bayinya meningkat pada fase ini.
Perawatan wanita setelah melahirkan secara sectio caesarea
merupakan kombinasi antara asuhan keperawatan bedah dan maternitas.
Setelah pembedahan selesai, ibu akan dipindahkan ke area pemulihan.
Pengkajian keperawatan segera setelah melahirkan meliputi pemulihan dari
efek anastesi, status pasca operasi dan pasca melahirkan, dan derajat nyeri.
Kepatenan jalan nafas dipertahankan dan posisi wanita tersebut diatur untuk
mencegah kemungkinan aspirasi. Tanda-tanda vital diukur setiap 15 menit
selama satu sampai dua jam atau sampai ibu stabil. Kondisi balutan insisi,
tinggi fundud uterus, dan jumlah lochea dikaji, demikian pula intake dan
output. Perawat membantu wanita tersebut untuk mengubah posisi dan
melakukan nafas dalam serta melatih gerakan kaki. Obat-obatan untuk
mengatasi nyeri dapat diberikan (Bobak, 2005).
Ketika bersama bayi, ibu dan ayah diberi wakttu tersendiri untuk
memfasilitasi bonding dan attachment dengan bayi. Menyusui dapat segera
dimulai, jika ibu ingin mencobanya. Ibu biasanya dipindahkan ke unit
pascapartum setelah satu sampai dua jam atau bila kondisinya sudah stabil
(Bobak, 2005).
Sikap perawat dan anggota tim kesehatan lain dapat mempengaruhi
persepsi ibu tersebut terhadap dirinya setelah melahirkan secara sesar. Para
petugas kesehatan harus menekankan bahwa pertama, ibu tersebut adalah
seorang ibu baru dan kedua, ibu tersebuut adalah pasien bedah. Sikap ini
akan membantu wanita menerima dirinya bahwa dia memiliki masalah dan
kebutuhan yang sama dengan ibu baru yang lain (Bobak, 2005).
Masalah fisiologis selama beberapa hari pertama dapat didominasi oleh
nyeri akibat insisi dan nyeri dari gas diusus halus serta kebutuhan untuk
menghilangkan nyeri. Obat nyeri biasanya diresepkan setiap 3 sampai 4 jam,
tetapi analgesik pengontrol nyeri (pain controlled analgesia/PCA) atau narkotik
epidural bisa diresepkan sebagai pengganti. Tindakan lain untuk
mengupayakan kenyamanan, seperti mengubah posisi, mengganjal insisi
dengan bantal, memberi kompres panas pada abdomen, dan teknik relaksasi,
bisa juga digunakan. Ambulasi dan upaya menghindari makanan yang
menghasilkan gas dan minuman berkarbonat bisa mengurango nyeri yang
disebabkan gas (Bobak, 2005).
Perawatan sehari-hari meliputi perawatan perineum, perawatan
payudara, dan perawatan higienis rutin, termasuk mandi siram (shower)
setelah balutan luka diangkat (jika mandi siram masih dalam persepsi budaya
wanita tersebut). Setiap kali berdinas, perawat mengkaji tanda-tanda vital,
insisi, tinggi fundus uterus, dan lochea. Bunyi nafas, bising usus, tanda
homans, dan eliminasi urine serta defekasi juga dikaji (Bobak, 2005).
Selama periode pascapartum perawat dapat memberi perawatan untuk
memenuhi kebutuhan psikologis dan kebutuhan pengajaran ibu yang
melahirkan melalui operasi sesar. Perawat dapat menjelaskan prosedur
pascapartum untuk membantu wanita tersebut bekerja sama dalam
pemulihannya dar pembedahan. Perawat juga dapat membantu wanita
tersebut merencanakan perawatannya dan menerima kunjungan keluarga
serta teman-temannya sehingga dia dapat mengatur waktu istirahat yang
adekuat. Informasi dan bantuan dalam melakukan perawatan bayi dapat
memfasilitasi penyesuaian peran ibu. Pasangan atau suami dapat juga
dilibatkan dalam sesi pengajaran dan penjelasan tentang pemulihan
pasangannya. Pasangan tersebut harus didorong untuk mengungkapkan
perasaan mereka tentang pengalaman melahirkan. Beberapa orang tua akan
marah, frustasi, atau kecewa karena wanita tidak dapat melahirkan per
vaginam. Beberapa wanita mengungkapkan perasaan, seperti harga diri
rendah atau citra diri yang negatif. Akan sangat berguna bila ada perawat
yang hadir selama wanita melahrkan mengunjungi dan membantu mengisi
“kesenjangan” tentang pengalaman tersebut (Bobak, 2005).
Rencana pulang terdiri dari informasi tentang diet, latihan fisik,
pembatasan aktivitas, perawatan payudara, aktivitas seksual, kontrasepsi,
medikasi, dan tanda-tanda komplikasi, serta perawatan bayi. Perawat
mengkaji kebutuhan akan dukungan atau konseling yang berkelanjutan untuk
memudahkan pemulihan emosi ibu setelah melahirkan. Rujukan ke kelompok
pendukung atau lembaga masyarakat dapat diindikasikan (Bobak, 2005).
Mengatasi nyeri pascapartum setelah melahirkan secara sesar dapat
dilakukan dengan cara:
1. Jika nyeri akibat insisi
a. Belat insisi dengan bantal saat bergerak atau batuk.
b. Gunakan teknik relaksasi, seperti terapi musik, pernafasan (nafas
dalam), dan lamu yang remang-remang.
c. Berikan kompres panas pada abdomen.
2. Jika nyeri akibat gas dalam abdomen
a. Jalan sesering mungkin.
b. Jangan menngkonsumsi makanan yang merangsang pembentukan
gas, minuman berkarbonat atau susu utuh (whole milk).
c. Jangan gunakan sedotan untuk minum.
d. Berbaring dengan posisi miring kiri untuk mengeluarkan gas.
e. Gunakan kursi goyang pada saat duduk (Bobak, 2005).

Salah satu discharge planning yang dilakukan terhadap pasien yaitu


pemberian informasi tentang tanda-tanda komplikasi pasca operatif sehingga
pasien bisa mengetahui apabila timbul tanda-tanda komplikasi setelah pasien
pulang. Beberapa tanda komplikasi pasca operatif yaitu sebagai berikut:
1. Demam lebih dari 380C.
2. Nyeri saat buang air kecil.
3. Lochea lebih banyak daripada periode menstruasi normal.
4. Adanya luka terbuka.
5. Kemerahan dan berdarah atau sampai keluar pus/nanah pada tempat
insisi.
6. Nyeri abdomen yang parah (Bobak, 2005).

L. Asuhan Keperawatan

3. Pengkajian
Pengkajian fokus yang dapat dilakukan pada klien dengan
postpartum persalinan sesar yaitu sebagai berikut:
a. Keluhan utama klien saat ini
b. Riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas sebelumnya bagi klien
multipara
c. Riwayat penyakit keluarga
d. Keadaan klien meliputi :
1) Sirkulasi, hipertensi dan pendarahan vagina yang mungkin terjadi.
Kemungkinan kehilangan darah selama prosedur pembedahan kira-
kira 600-800 mL
2) Integritas ego, dapat menunjukkan prosedur yang diantisipasi
sebagai tanda kegagalan dan atau refleksi negatif pada kemampuan
sebagai wanita. Menunjukkan labilitas emosional dari kegembiraan,
ketakutan, menarik diri, atau kecemasan.
3) Makanan dan cairan, abdomen lunak dengan tidak ada distensi (diet
ditentukan).
4) Neurosensori, kerusakan gerakan dan sensasi di bawah tingkat
anestesi spinal epidural.
5) Nyeri / ketidaknyamanan, mungkin mengeluh nyeri dari berbagai
sumber karena trauma bedah, distensi kandung kemih , efek - efek
anesthesia, nyeri tekan uterus mungkin ada.
6) Keamanan, balutan abdomen dapat tampak sedikit noda / kering dan
utuh.
7) Seksualitas, fundus kontraksi kuat dan terletak di umbilikus. Aliran
lokhea sedang.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik (adanya luka post
SC) dan agen injuri biologis (involusi uterus, dan terjadinya
pembengkakan payudara).
b. Risiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer yang
tidak adekuat (adanya luka post SC).
c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyaman periode
post partum, proses persalinan, dan perawatan bayi serta rutinitas di
rumah sakit.
d. Defisit perawatan diri berhubungan dengan nyeri dan kelemahan.
a. Intervensi Keperawatan
DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan NIC: Pain Management
berhubungan 1x24 jam diharapkan pasien dapat 1. Melakukan pengkajian secara komprehensif 1. Mengetahui kualitas nyeri
dengan agen mengontrol nyerinya, nyeri berkurang mengenai lokasi, karakteristik, lamanya, pasien
injuri fisik dengan kriteria hasil: frekuensi, kualitas nyeri dan faktor presipitasi
(adanya luka Indikator Awal Target 2. Mengobservasi penyebab ketidaknyamanan 2. Dapat mengurangi rasa
post SC) dan klien secara verbal dan nonverbal cemas dan takut sehingga
agen injuri 1. Pasien mampu mampu mengurangi rasa
biologis mengenali faktor sakit
(involusi penyebab nyeri 3. Menyakinkan klien akan pemberian analgesik 3. Menurunkan nyeri
uterus, dan 2. Mengenali onset 4. Menggunakan komunikasi teraupetik untuk 4. Komunikasi terapeutik
terjadinya nyeri mengetahui pengalaman nyeri pasien mampu menurunkan
pembengkakan 3. Memberikan kecemasan
payudara). analgesik 5. Mengkaji dampak dari pengalaman nyeri (ggg 5. Mengetahui kondisi
(kolaborasi dengan tidur, ggg hubungan) ketidaknyamanan klien
tim kesehatan lain) yang kemungkinan
4. Melaporkan kontrol mampu mengagnggu
nyeri kualitas hidupnya
5. Pasien mampu 6. Meminimalkan nyeri
6. Mengontrol faktor lingkungan yang
melaporkan menyebabkan klien merasa tidak nyaman dengan menciptakan
nyerinya (ruangan, temperatur, cahaya) lingkungan nyaman
6. Klien mengetahui 7. Instruksikan pasien untuk melakukan teknik 7. Meningkatkan relaksasi
frekuensi nyeri relaksasi seperti bimbingan imajinasi, nafas
dalam

Keterangan:
1: tidak pernah menunjukan
2: jarang menunjukan
3: kadang-kadang menunjukan
4: sering menunjukan
5: konsisten menunjukan
Risiko infeksi Setelah dilakukan tindakan keperawatan a. Mencuci tangan sebelum dan sesudah a. Mencegah terjadinya
berhubungan selama 1x24 jam risiko infeksi dapat teratasi melakukan tindakan infeksi melalui tangan
dengan dengan kriteria hasil : b. Menyediakan lingkungan yang bersih dan b. Mencegah infeksi
pertahanan Batasan karakteristik Awal Target kenyamanan tempat tidur
tubuh primer Tidak terdapat c. Batasi pengunjung c. Mencegah kontak klien
yang tidak demam, kemerahan, dengan dunia luar
adekuat cairan purulen, d. Petugas kesehatan memakai sarung tangan d. Mencegah infeksi demi
(adanya luka bengkak disekitar luka sebagai bentuk universal precaution kesehatan klien dan
Mengetahui tanda dan
post SC). petugas kesehatan
gejala infeksi
Asupan nutrisi e. Memberikan antibiotik e. Membunuh bakteri
Robeknya kulit f. Menggunakan peralatan steril dalam melakukan f. Peralatan steril dapat
Luasnya tepi luka
Keterangan: tindakan yang membutuhkan peralatan steril mencegah kondisi infeksi
1= tidak ada pengetahuan g. Bersihkan dan sterilkan alat yang telah dipakai g. Mensterilkan alat untuk
2= pengetahuan sedikit dipaai ulang sebagai
3= pengetahuan sedang bentuk pencegahan
4=pengetahuan baik infeksi antar klien
5= pengetahuan sangat baik h. Observasi luka klien h. Mengetahui luka sebelum
dilakukan tindakan dan
sesudah
i. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam memberikan i. Meningkatkan stamina
diet klien
j. Membantu dan mengajari kliren dalam j. Klien dapat melakukan
melakukan perawatan perineum perawatan perinium di
rumah

Gangguan pola Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1. Atur waktu khusus untuk rutinitas perawatan 1. Memperbaiki pola tidur
tidur 1x24 jam, diharapkan kemampuan tidur pasien sehingga sesuai dengan jadwal pasien dan tidak individu dengan tidak
berhubungan meningkat dengan kriteria hasil: mengganggu jadwal istirahat pasien. mengganggu waktu
dengan Batasan karakteristik Awal Target perawatan dan waktu
ketidaknyaman Mengungkapkan istirahat pasien.
periode post kemampuannya untuk 2. Minimalkan tingkat kebisingan diluar dan 2. Mengurangi rangsangan
partum, proses tidur. didalam ruang perawatan. Tutup pintu pada saat dari luar yang dapat
persalinan Mengungkapkan pasien istirahat atau tidur. mengganggu waktu
yang lama, dan jarang terjaga istirahat pasien.
perawatan bayi dimalam hari. 3. Atur tidur siang pasien tanpa mengganggu 3. Mengatur jadwal tidur
Mengungkapkan
serta rutinitas waktu tidur bayi. pasien dan bayinya.
kepuasannya akan
di rumah sakit. 4. Batasi pengunjung pada siang dan malam hari. 4. Mengurangi kebisingan
tidur.
Tidak menunjukan dan meningkatkan waktu
keletihan pada saat istirahat pasien.
bangun tidur 5. Diskusikan teknik yang pernah dipakai pasien 5. Meningkatkan kontrol dan
Keterangan: untuk meningkatkan waktu istirahat, misalnya meningkatkan relaksasi
1= tidak ada pengetahuan minum minuman hangat, membaca, menonton pasien.
2= pengetahuan sedikit TV sebelum tidur, dan melakukan masase
3= pengetahuan sedang diarea punggung.
4=pengetahuan baik 6. Lakukan upaya untuk menciptakan rasa nyaman 6. Mengurangi nyeri dan
5= pengetahuan sangat baik saat pasien merasa nyeri dengan cara ketegangan,
menggosok punggung, memberikan analgesik, meningkatkan relaksasi
dan melakukan teknik relaksasi. dan istirahat serta
meningkatkan waktu tidur
pasien.
Defisit Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1. Monitor kemampuan pasien dalam 1. Mengetahui ADL pasien.
perawatan diri 1x24 jam, diharapkan pasien mampu melakukan melakukan ADL secara mandiri.
berhubungan perawatan diri secara menyeluruh dengan 2. Monitor kebutuhan pasien akan alat bantu 2. Mempermudah pasien
dengan nyeri kriteria hasil: dalam melakukan ADL. melakukan ADL.
dan kelemahan Batasan karakteristik Awal Target 3. Sediakan peralatan-peralatan pribadi yang 3. Mempersiapkan sarana
Mampu mandi sendiri dibutuhkan pasien (seperti deodoran, pasta gigi, prasarana pasien untuk
Mampu berpakaian
dan sabun mandi, diapers). ADL,
sendiri
4. Bantu pasien dalam melakukan ADL sampai Memberikan perawatan
Mampu merapikan
pasien atau keluarga mampu melakukannya pada pasien.
rambut sendiri
Mampu toileting dengan mandiri.
sendiri
Mampu makan dan
minum sendiri
Keterangan:
1= tidak ada pengetahuan
2= pengetahuan sedikit
3= pengetahuan sedang
4=pengetahuan baik
5= pengetahuan sangat baik
DAFTAR PUSTAKA

Arjatmo T.(2001). Keadaan Gawat Yang Mengancam Jiwa. Jakarta : gaya baru

Betz Cecily L, Sowden Linda A. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatri.


Jakarta : EGC.

Bobak, I. M., Deitra L. L., & Margaret D. J. (2005). Buku ajar keperawatan
maternitas (Maternity Nursing) Edisi 4. Jakarta: EGC.

Farrer. (2001). Keperawatan maternitas. Jakarta: EGC.

Heardman, T. H. (2012). Diagnosis keperawatan; definisi dan klasifikasi 2012-


2014. Jakarta: EGC.

Johnson, Meridian Maas, & Sue Moorhead. (2000). Nursing Outcame


Clasification. Mosby. Philadelphia.

Manuaba, I.B. (2001). Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi


dan KB. Jakarta : EGC

McCloskey & Gloria M Bulechek. (1996). Nursing intervention clasification.


Mosby. USA

Ngastiyah.( 1997 ). Perawatan Anak Sakit Jakarta : EGC

Sacharin Rosa M. (1996). Prinsip Keperawatan Pediatrik. Alih bahasa : Maulanny


R.F. Jakarta : EGC.

You might also like