Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 35

MATERI

PPG DALAM JABATAN/MODUL 3


MUTU
DAN
KEAMANAN PANGAN














DI SUSUN OLEH


ANDI SUKAINAH
DYAHWATIH
AMIRUDDIN
EKA PUTRI
KEGIATAN BELAJAR 1.
PENGENDALIAN MUTU DAN PENERAPAN HACCP

A. Capaian Pembelajaran :
1. Memahami konsep pengawasan dan pengendalian mutu
2. Mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi mutu
3. Menjelaskan teknik pengendalian mutu
4. guru mampu menjelaskan HCCAP
5. Guru mampu menjelaskan CCP

B. Sub Capaian :
1. Memahami konsep pengawasan dan pengendalian mutu
2. Mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi mutu
3. Menjelaskan teknik pengendalian mutu
4. Guru memahami konsep, manfaat, dan tujuan HACCP secara lengkap
5. CCP dan Pengendaliannya

C. Pokok-pokok materi :
1. Mutu
2. Faktor yang Mempengaruhi Mutu
3. Penurunan Mutu Bahan Pangan
4. Mencegah Penurunan Mutu
5. Pengendalian Produk yang Tidak Sesuai

A. PENGENDALIAN MUTU
1. Mutu
Mutu adalah gabungan dari sejumlah atribut yang dimiliki oleh bahan atau
produk pangan yang dapat dinilai secara organoleptik. Atribut tersebut meliputi
parameter kenampakan, warna, tekstur, rasa dan bau (Kramer dan Twigg, 1983).
Menurut Hubeis (1994), mutu dianggap sebagai derajat penerimaan
konsumen terhadap produk yang dikonsumsi berulang (seragam atau konsisten
dalam standar dan spesifikasi), terutama sifat organoleptiknya. Mutu juga dapat
dianggap sebagai kepuasan (akan kebutuhan dan harga) yang didapatkan
konsumen dari integritas produk yang dihasilkan produsen.
Berdasarkan ISO/DIS 8402-1992, mutu didefinsilkan sebagai karakteristik
menyeluruh dari suatu wujud apakah itu produk, kegiatan, proses, organisasi atau
manusia, yang menunjukkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan yang
telah ditentukan (Fardiaz, 1997).
Kramer dan Twigg (1983) telah mengklasifikasikan karakteristik mutu bahan
pangan menjadi dua kelompok, yaitu:
a. Karakteristik fisik atau karakteristik tampak, meliputi penampilan yaitu warna,
ukuran, bentuk dan cacat fisik; kinestika yaitu tekstur, kekentalan dan
konsistensi, flavor yaitu sensasi dari kombinasi bau dan cicip
b. Karakteristik tersembunyi, yaitu nilai gizi dan keamanan mikrobiologis.
Mutu adalah kumpulan parameter dan atribut yang mengindikasikan atau
menunjukkan sifat-sifat yang harus dimiliki suatu bahan atau produk pangan. Mutu
pangan adalah nilai yang ditentukana atas dasar kriteria keamanan pangan,
kandungan gizi, dan standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan, dan
minuman.
Pengendalian mutu merupakan suatu upaya yang dilaksanakan secara
berkesinambungan, sistematis, dan objektif dalam memantau dan menilai barang,
jasa, maupun pelayanan yang dihasilkan perusahaan atau institusi dibandingkan
dengan standar yang ditetapkan serta menyelesaikan masalah yang ditemukan
dengan tujuan untuk memperbaiki mutu.
Tujuan pengendalian mutu meliputi dua tahap, yaitu tujuan antara dan tujuan
akhir. Tujuan antara pengendalian mutu adalah agar dapat diketahui mutu barang,
jasa, maupun pelayanan yang dihasilkan. Tujuan akhirnya yaitu untuk dapat
meningkatkan mutu barang, jasa, maupun pelayanan yang dihasilkan. Pengendalian
mutu penting dilakukan untuk meningkatkan indeks kepuasan mutu (quality
satisfaction index), produktivitas dan efisiensi, laba/keuntungan, pangsa pasar, moral
dan semangat karyawan, serta kepuasan pelanggan.

2. Faktor yang Mempengaruhi Mutu


Mutu dari bahan pangan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor
yang berasal dari bahan pangan maupun faktor yang berasal dari lingkungannya.
a. Spesies

Gambar 1, Kentang dan Daging


(Sumber : http://www.whecx.com/2017 dan http://www.poultryshop.id/2016)

Spesies tanaman, ternak atau ikan mempengaruhi kesukaan konsumen


terhadap bahan pangan yang berasal dari bahan hasil petanian tersebut. Spesies
yang satu dapat diterima atau banyak diminta oleh konsumen dibandingkan spesies
yang lain. Demikian pula harga spesies yang satu dapat lebih mahal bila
dibandingkan spesies lainnya. Penerimaan konsumen terhadap bahan pangan
dipengaruhi oleh kecocokan kenampakan, rasa, adanya tulang halus atau duri, tabu
menurut agama, atau kebiasaan sosial.
b. Ukuran

Gambar 2. Apel Ukuran Besar dan Kecil


(Sumber:https://www.huffingtonpost.com/colm-mulcahy/apples-compar.html)

Ukuran bahan pangan dapat mempengaruhi mutu. Bahan pangan yang


memiliki ukuran besar dianggap lebih bermutu dibandingkan dengan bahan pangan
berukuran lebih kecil. Biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli bahan pangan
berukuran besar lebih banyak dibandingkan biaya yang dikeluarkan untuk membeli
bahan pangan sejenis namun memiliki ukuran relatif lebih kecil. Bahan pangan
berukuran besar dianggap dapat memberikan cita rasa lebih baik, bagian yang dapat
dimakan (edible part) lebih banyak, dan biaya penanganan per unit berat lebih
murah.
Ternyata tidak semua yang berukuran besar dianggap lebih bermutu. Ikan
berukuran kecil lebih disukai sebagai bahan baku pembuatan baby fish karena dapat
dimakan semua, termasuk tulangnya. Contoh lain, untuk membuat sayuran cap cay
lebih disukai jagung muda (baby corn) karena lebih manis dan mudah dikunyah.

c. Jarak ke konsumen

Gambar 3. Distribusi Pangan dengan Kapal


(Sumber : https://research.rabobank.com/far/en/sectors/supply-
chains/anewlogictologistics.html)

Beberapa jenis bahan pangan yang mudah mengalami proses penurunan


mutu, jarak antara tempat produksi bahan pakan ke tempat dimana konsumen
berada akan berpengaruh terhadap mutu. Indonesia yang memiliki suhu dan
kelembaban lingkungan relatif tinggi, sehingga jarak ke konsumen berpengaruh
nyata terhadap penurunan mutu bahan pangan.
d. Pakan

Gambar 4. Pakan Ikan


(Sumber: http://urbanina.com/perikanan/cara-efektif-memberi-pakan-ikan-
lele/)
Pakan yang diberikan kepada ikan atau ternak akan berpengaruh terhadap
citarasa ikan dan hewan ternak. Ikan yang diberi pelet akan menghasilkan daging
dengan cita rasa seperti pelet, demikian pula bandeng yang memakan ganggang
tertentu akan memiliki rasa seperti lumpur. Tomat yang diberi pupuk dengan
komposisi tertentu dapat dikendalikan citarasanya, apakah mau manis, terasa asam,
atau tawar.
e. Lokasi
Lokasi budidaya atau penangkapan ikan maupun ternak akan berpengaruh
terhadap mutu ikan atau ternak. Kondisi lingkungan seperti angin, gelombang,
kondisi air, dan pola migrasi akan mempengaruhi jenis dan kelimpahan makanan
ikan sehingga berpengaruh terhadap citarasa ikan.
f. Jenis kelamin dan masa perkawinan
Ikan dan ternak memiliki jenis kelamin dan masa perkawinan. Jenis kelamin
akan berpengaruh terhadap cita rasa dagingnya. Kepiting biru di Amerika yang
berjenis kelamin jantan lebih disukai karena rasa dagingnya lebih enak. Kepiting
Bakau lebih disukai yang berjenis kelamin betina, terutama yang masih memiliki
telur. Masa perkawinan juga berpengaruh terhadap mutu daging ikan atau ternak.
Hasil ikan yang diperoleh di daerah dimana sedang musim perkawinan, memiliki
mutu lebih rendah dibandingkan ikan yang sama tetapi ditangkap di daerah lain.
g. Organisme parasit
Organisme parasit yang menyerang akan berpengaruh nyata terhadap mutu
bahan pangan. Parasit dapat berupa bakteri, jamur, protozoa, serangga atau cacing.
Bakteri dan jamur banyak menimbulkan kerugian karena kemampuannya merusak
bahan pangan. Selain penampakan bahan pangan menjadi tidak menarik, serangan
bakteri dan jamur sering disertai dengan timbulnya bau busuk.
h. Kandungan senyawa racun
Kasus keracunan makanan sudah sering terjadi. Keracunan dapat
disebabkan oleh tiga cara, yaitu kimiawi, biologis, dan mikrobiologis. Berdasarkan
penyebabnya, ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan timbulnya keracunan
makanan, yaitu racun yang berasal dari bahan pangan itu sendiri, cara pengolahan
atau penyimpanan yang salah, dan pengaruh dari luar. Menurut Supardi dan
Sukamto (1999), penyakit yang timbul karena mengkonsumsi makanan dapat
dibedakan menjadi dua kelompok yaitu infeksi makanan dan intoksikasi (keracunan
makanan).
Infeksi adalah peristiwa dimana seseorang mengkonsumsi bahan pangan
atau minuman yang mengandung bakteri patogen yang tumbuh dalam saluran usus
dan menimbulkan penyakit. Contoh dari bakteri patogen tersebut adalah Clostridium
perfringens, Vibrio dan parahaemolyticus, Salmonella. Keracunan lainnya dapat
terjadi apabila mengkonsumsi makanan sayuran, daging atau ikan yang dikalengkan.
Proses pengalengan atau cara penyimpanan yang kurang baik dapat memicu
tumbuhnya Clostridium botulinum yang dapat menghasilkan racun perusak sistim
saraf.
Intoksikasi dapat terjadi karena mengkonsumsi bahan pangan mengandung
senyawa beracun yang diproduksi oleh bakteri atau jamur. Peristiwa keracunan
terjadi karena menelan bahan pangan yang mengandung racun. Beberapa jenis
racun tidak dapat dirusak oleh proses pemasakan, sehingga orang yang
mengkonsumsi bahan pangan tersebut akan tetap mengalami keracunan.
Beberapa jenis bahan pangan yang berasal dari hewan maupun tumbuhan
sudah mengandung zat beracun secara alami. Ada beberapa jenis ikan yang secara
alami mengandung racun, baik karena keseluruhan badannya memang mengandung
racun maupun bagian tertentu saja. Racun yang dikandung ikan tersebut dapat
menyebabkan keracunan atau mengakibatkan kematian bagi yang
mengkonsumsinya. Ikan yang secara alami beracun lebih dikenal dengan sebutan
biotoksin, berbeda dengan ikan yang menjadi beracun karena terkontaminasi bahan
kimia atau polutan. Ada tiga jenis biotoksin, yaitu ciguatera, puffer fish poissoning,
dan paralytic shellfish poissoning.
Salah satu tumbuhan yang sering menyebabkan keracunan adalah jamur.
Jamur Amanita muscaria mengandung racun muscarine yang akan menimbulkan
gejala keracunan dua jam setelah termakan. Ciri keracunannya adalah keluar air
mata dan air ludah secara berlebihan, berkeringat, pupil mata menjadi menyempit,
muntah, kejang di bagian perut, diare, rasa bingung, dan kejang-kejang yang bisa
menyebabkan kematian.

Gambar 5. Kentang yang Mengandung Solanin


(Sumber: https://news.trubus.id dan https://www.elitereaders.com/green-potatoes-
poisonous/)
Kentang hijau yang mengandung solanin dapat menyebabkan timbulnya
kematian apabila kentang hijau tersebut dikonsumsi dalam jumlah besar.
Mengkonsumsi sayur bayam yang sudah disimpan semalam juga tidak disarankan,
sebab sudah mengandung racun kalium oksalat dalam jumlah tinggi. Tanaman
lamtoro juga mengandung racun mimosin. Racun ini dapat menyebabkan pusing bila
mengkonsumsi dalam jumlah banyak.
i. Kandungan polutan
Sumber polutan dapat berasal dari lingkungan yang mencemari, penggunaan
bahan-bahan kimia non pangan, dan penggunaan bahan-bahan yang memiliki efek
samping mencemari. Sayuran dan buah-buahan cenderung tercemar bahan kimia,
baik sebagai pengawet maupun racun pembasmi hama. Zat kimia ini bisa berupa
arsen, timah hitam, atau zat-zat yang bisa menyebabkan keracunan. Penggunaan
pestisida sebagai bahan pembasmi hama, menyebabkan sebagian masyarakat lebih
menyukai sayuran yang terserang ulat. Menurut mereka, sayuran demikian tidak
menggunakan pestisida secara berlebihan sehingga lebih aman untuk dikonsumsi.

Gambar 6. Formalin
(Sumber: https://www.grainger.com/product/RPI-10-Pct-Neutral-Buffered-Formalin-
31FY40)
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah melarang penggunaan
senyawa formalin sebagai pengawet bahan pangan. Senyawa formalin memiliki
gugus CH2OH yang mudah mengikat air dan gugus aldehid yang mudah mengikat
protein. Kerugian yang dialami apabila mengkonsumsi formalin antara lain
menimbulkan kerusakan di lambung, bersifat karsinogenik atau dapat menyebabkan
kanker.
j. Cacat

Gambar 7. Tomat Yang Mengalami Cacat


(Sumber: Http://Www.Wbfarmstore.Net/Are-Your-Tomatoes-Cracking/)
Beberapa bahan pangan memiliki penampilan cacat sehingga terlihat kurang
menarik. Penampilan cacat ini dapat disebabkan oleh sifat genetis, faktor
lingkungan,dan serangan organisme lain.

3. Penurunan Mutu Bahan Pangan


Setelah dipanen atau ditangkap, bahan pangan akan mengalami serangkaian
proses perombakan yang mengarah ke penurunan mutu. Proses perombakan yang
terjadi pada ikan dan ternak dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap pre rigor,
rigor dan post rigor mortis. Pre rigor adalah tahap dimana mutu dan kesegaran
bahan pangan sama seperti ketika masih hidup. Rigor mortis adalah tahap dimana
bahan pangan memiliki kesegaran dan mutu seperti ketika masih hidup, namun
kondisi tubuhnya secara bertahap menjadi kaku. Hingga tahap rigor mortis, ikan dan
ternak dapat dikatakan masih segar. Namun memasuki tahap post rigor mortis,
proses pembusukan daging ikan telah dimulai. Ada tiga faktor yang mempengaruhi
penurunan mutu bahan pangan, yaitu kerusakan fisik, kimia, dan biologis.
a. Kerusakan Fisik
Kerusakan fisik yang dialami bahan pangan dapat disebabkan oleh perlakuan
fisik, seperti terbanting, tergencet, atau terluka. Perlakuan tersebut dapat
menyebabkan terjadinya memar, luka, dan adanya benda asing
1) Memar

Gambar 8. Memar pada Pir dan Ikan


(Sumber: Https://www.Storyblocks.Com/Stock-Image/Rotten dan
https://ferboes.com/2014/07/10)

Memar dialami oleh bahan pangan yang disebabkan karena dipukul


terbanting atau tergencet. Buah-buahan yang bergesekan selama pengangkutan
atau terjatuh selama pemindahan juga dapat menjadi penyebab terjadinya memar.
Bahan pangan yang memar akan mudah mengalami proses pembusukan. Pada
buah-buahan dan sayuran, bagian yang memar akan menjadi lunak dan berair.
Pada ikan, bagian yang memar cenderung menjadi lunak dan kemerahan.
Pada bagian daging ikan yang mengalami memar aktivitas enzim proteolitik
meningkat sehingga akan mempercepat proses pembusukan. Enzim akan
merombak karbohidrat, protein dan lemak menjadi alkohol, amonia, dan keton.
2) Luka

Gambar 9. Ikan yang Mengalami Luka


(Sumber: Https://Hobisampinganku.Blogspot.Co.Id/2015/07/Jenis-Penyakit-Pada-
Ikan-Koi.Html)

Bahan pangan dapat mengalami luka yang diakibatkan tusukan atau sayatan
oleh benda tajam. Penggunaan pengait pada saat akan mengangkat ikan hasil
tangkapan dapat menyebabkan luka pada ikan. Apabila tidak segera ditangani
dengan benar, luka tersebut dapat menjadi jalan bagi mikroba pembusuk untuk
memasuki bagian tubuh ikan dan merombak komponen di dalamnya.
3) Pemberian Perlakuan
Perlakuan yang diberikan, baik selama penanganan dan pengolahan dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan fisik bahan pangan. Perlakuan pemanasan yang
diberikan dapat menyebabkan terjadinya dehidrasi, yaitu menguapnya cairan dari
bahan pangan. Pemanasan juga dapat menyebabkan komponen protein mengalami
denaturasi yaitu berubahnya struktur fisik dan struktur dimensi dari protein. Suhu
pemanasan yang dapat menyebabkan denaturasi protein adalah lebih besar dari 700
C.
4) Adanya Benda Asing
Pasir, isi hekter, rambut, kuku, patahan kaki serangga, ulat atau pecahan
gelas adalah beberapa contoh benda-benda asing yang sering dijumpai saat akan
menyantap makanan diwarung makan bahkan restauran.
Tabel 1. Material, Bahaya yang Ditimbulkan dan Sumber Bahaya Fisik
Material Bahaya yang Ditimbulkan Sumber
Kaca Menyebabkan luka, pendarahan, Botol, lampu,
mungkin membutuhkan pembedahan termometer
untuk mengeluarkannya.
Kayu Menyebabkan infeksi, mungkin Pallet, box,
membutuhkan pembedahan untuk bangunan
mengeluarkannya.
Batu Mematahkan gigi Bangunan termasuk
keramik
Besi/Logam Menyebabkan infeksi dan mungkin Mesin, kawat,
memerlukan pembedahan untuk karyawan
mengeluarkannya
Tulang Menyangkut di kerongkongan dan Proses pengolahan
menyebabkan trauma yang tidak benar
serta unit
pengolahan yang
tidak baik
Plastik Menyebabkan infeksi Pallet, bahan
pengepak dan
Pekerja
Personil Menyebabkan gigi patah,tertusuk dan Anting-anting,
mungkin dibutuhkan pembedahan kalung, giwang,
untuk mengeluarkannya. cincin

b. Kerusakan Kimiawi
Penurunan kandungan senyawa kimia pada bahan pangan dapat terjadi
selama proses pencucian dan pemanasan. Selama berlangsung proses pencucian
bahan pangan, banyak komponen senyawa kimia yang akan larut, seperti beberapa
protein, vitamin B dan C, dan mineral.
1) Autolisis
Autolisis adalah proses perombakan jaringan oleh enzim yang berasal dari
bahan pangan itu tersebut. Proses autolisis terjadi pada saat bahan pangan
memasuki fase post rigor mortis. Ikan yang mengalami autolisis memiliki tekstur
tubuh yang tidak elastis, sehingga apabila daging tubuhnya ditekan dengan jari akan
membutuhkan waktu relatif lama untuk kembali ke keadaan semula. Bila proses
autolisis sudah berlangsung lebih lanjut, maka daging yang ditekan tidak pernah
kembali ke posisi semula. Proses autolisis dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
di sekelilingnya. Suhu yang tinggi akan mempercepat proses autolisis ikan yang
tidak diberi es.

2) Oksidasi
Ikan termasuk salah satu bahan pangan yang banyak mengandung lemak,
terutama lemak tidak jenuh. Lemak tidak jenuh adalah lemak yang mengandung
ikatan rangkap pada rantai utamanya. Lemak demikian bersifat tidak stabil dan
cenderung mudah bereaksi. Lemak pada ikan didominasi oleh lemak tidak jenuh
berantai panjang (Polyunsaturated fatty acid/ PUFA).

Gambar 10. Minyak Goreng Teroksidasi


(Sumber:Http://Www.Putraindonesiamalang.Or.Id/Serba-Serbi-Minyak-
Jelantah.Html)

Produk tanaman yang diketahui mengandung lemak tinggi cukup banyak,


seperti kelapa, kelapa sawit, bunga matahari, wijen, jagung. Pada ternak, kandungan
lemak dapat diketahui dari banyaknya gajih pada daging. Selama penyimpanan,
lemak tidak jenuh akan mengalami proses oksidasi sehingga terbentuk senyawa
peroksida. Peristiwa yang sama dapat terjadi pada bahan pangan yang mengandung
susu atau santan.
3) Browning
Bahan pangan yang banyak mengandung karbohidrat adalah produk nabati.
Kandungan karbohidrat pada produk perikanan sekitar 1 persen, kecuali pada jenis
kerang-kerangan yang dapat mencapai 10%. Selama proses pengolahan,
karbohidrat akan mengalami proses perubahan warna. Karbohidrat yang semula
berwarna keputihan cenderung berubah menjadi kecoklatan. Proses perubahan ini
lebih dikenal sebagai reaksi browning. Reaksi browning terdiri dari empat tipe, yaitu
reaksi Maillard, karamelisasi, oksidasi vitamin C (asam askorbat), dan pencoklatan
fenolase.
Reaksi Maillard adalah reaksi pencoklatan non enzimatik. Rekasi ini terjadi
karena kondensasi gugus amino dan senyawa reduksi menghasilkan perubahan
kompleks. Reaksi Maillard terjadi bila bahan pangan mengalami pemanasan atau
penyimpanan. Kebanyakan efek dari reaksi Maillard memang diharapkan, seperti
aroma karamel, warna coklat keemasan pada roti. Namun beberapa reaksi Maillard
yang menyebabkan warna kehitaman atau bau tidak sedap pada makanan memang
tidak diharapkan. Perubahan warna pada bakso ikan yang memiliki warna spesifik
putih bersih dan bakso udang yang berwarna merah muda memang tidak
diharapkan. Efek browning yang terjadi pada daging berwarna merah relatif tidak
terlihat.

Gambar 11. Browning Pada Alpukat


(Sumber: Http://Www.Abc.Net.Au/News/Avocado-Technology-Brown-
Avocado/7680924)

Reaksi enzimatis umumnya terjadi pada permukaan buah dan sayuran yang
mengalami penyayatan. Pada permukaan sayatan, terjadi perubahan warna menjadi
kecoklatan karena berlangsung oksidasi fenol menjadi ortokuin yang selanjutnya
secara cepat akan mengalami polimerisasi membentuk pigmen coklat atau melanin.
4) Senyawa Kimia Pencemar
Pengertian senyawa kimia pencemar adalah senyawa kimia yang terkandung
dalam bahan pangan, baik secara alami maupun pangan sengaja ditambahkan.
Keberadaan senyawa kimia pencarem dalam bahan dapat mempengaruhi rasa dan
kenampakan. Rasa dari bahan pangan yang tercemar senyawa kimia pencemar
terasa agak menyimpang, tergantung dari senyawa kimia yang mencemarinya.
Kenampakan beberapa bahan pangan yang tercemar senyawa kimia dapat dilihat
dengan mudah.
Tanaman kangkung yang mampu menyerap logam berat dan senyawa
pencemar lainnya memiliki kenampakan hijau kehitaman, sedangkan jenis
kerangkerangan yang memiliki kemampuan sebagai filter biologis terhadap logam
berat, daging-nya cenderung memiliki kenampakan merah kehitaman dan memiliki
tubuh relatif lebih besar.
Tabel 2. Senyawa Kimia yang Terkandung dalam Bahan Pangan dan Ambang
Batasnya Senyawa Kimia
Pencemar Tipe Produk Ambang Batas
Mercury Semua jenis ikan kecuali tuna 0.5 ppm
beku dan segar, hiu, dan ikan
pedang
Arsenik Konsentrat protein ikan 3.5 ppm
Lead Konsentrat protein ikan 0.5 ppm
Flouride Konsentrat protein ikan 150 ppm
2,3,7,8 TCDD Semua produk ikan 20 ppt
(dioxin)
DDT dan Semua produk ikan 5.0 ppm
metabolisme
PCB Semua produk ikan 2.0 ppm
Piperonyl butoksida Ikan kering 1.0 ppm
Bahan kimia Semua produk ikan 0.1 ppm
pertanian lainnya
dan turunannya
c. Kerusakan Biologis
Kerusakan biologis pada bahan pangan dapat disebabkan oleh aktivitas
mikroba patogen dan pembusuk, baik berupa bakteri, virus, jamur, kamir ataupun
protozoa. Kerusakan secara biologis terjadi secara alamiah yang biasa disebut
pembusukan.
1) Burst belly

Gambar 12. Burst Belly Pada Ikan


(Sumber: Http://Catfishfarmingng.Blogspot.Co.Id//How-To-Spot-And-Treat-Diseases-
And.Html)
Tubuh ikan mengandung banyak mikroba, terutama di bagian permukaan
kulit, insang, dan saluran pencernaan. Ikan yang tertangkap dalam keadaan
perutnya kenyang, maka disaluran pencernaan banyak mengandung enzim
pencernaan. Enzim tersebut merupakan gabungan dari enzim yang berasal dari
bahan pangan atau mikroba yang hidup disekelilingnya. Apabila tidak segera
disiangi, enzim ini akan mencerna dan merusak jaringan daging yang ada
disekitarnya, terutama di bagian dinding perut. Peristiwa pecahnya dinding perut ikan
yang disebabkan aktivitas enzim dikenal dengan sebutan burstbelly.
2) Aktivitas mikroba merugikan
Kerusakan biologis yang dialami bahan pangan dapat disebabkan oleh
adanya mikroba merugikan, bahan pangan sudah beracun, atau bahan pangan yang
menjadi beracun. Mikroba pembusuk merupakan mikroba yang dapat menimbulkan
kerusakan pada bahan pangan. Kerusakan biologis yang ditimbulkan oleh aktivitas
mikroba merugikan adalah meningkatnya kandungan senyawa racun atau penyakit
yang disebabkan oleh aktivitas mikroba patogen.
Tabel 3. Jenis Bakteri Pembusuk dan Bakteri Patogen
No Bakteri Pembusuk Bakteri Patogen
1. Shewanella putrifaciens Bacillus cereus
2. Photobacterium phosphoreum Escherichia coli
3. Pseudomonas spp. Shigella sp.
4. Vibrionacaea Streptococcus pyogenes
5. Aerobacter Vibrio cholerae
6. Lactobacillus V. parahaemolyticus
7. Moraxella Salmonella spp.
8. Acinetobacter Clostridium botulinum
9. Alcaligenes C. perfringensabelnya mana
10. Micrococcus Staphylococcus aureus
11. Bacillus Listeria monocytogenes
12. Staphylococcus
13. Flavobacterium
Mikroba patogen merupakan kelompok mikroba yang dapat menyebabkan
penyakit. Bahan pangan yang mengandung mikroba patogen cenderung menjadi
berbahaya bagi manusia yang mengkonsumsinya.
Mikroba pembusuk akan menyebabkan bahan pangan menjadi busuk
sehingga tidak dapat atau tidak layak dikonsumsi. Mikroba pembusuk akan
merombak bahan pangan menjadi komponen yang tidak diinginkan, seperti protein
yang diubah menjadi amonia dan hidrogen sulfida, karbohidrat menjadi alkohol, dan
lemak menjadi keton dan asam butirat. Ciri khas dari peningkatan aktivitas mikroba
pembusuk antara lain tercium bau busuk, bahan menjadi lunak berair dan masih
banyak lainnya.
d. Senyawa Racun
1) Bahan pangan sudah beracun
Beberapa bahan pangan diketahui sudah mengandung racun secara alami,
sehingga bila dikonsumsi dapat menyebakan keracunan.

a) Keracunan Ciguatera
Keracunan ciguatera banyak dialami bila mengkonsumsi ikan karang. Ikan ini
beracun apabila mengkonsumsi makanan beracun dan menjadi tidak beracun
setelah beberapa saat tidak mengkonsumsi makanan tersebut. Jenis racun yang
dikandung oleh ikan karang tersebut antara lain brevetoksin, dinofisis toksin, asam
domoik, asam okadaik, pektonotoksin, aksitoksin, dan yessotoksin.
b) Tetrodotoxin
Tetrodotoksin adalah racun yang dikandung oleh ikan dari keluarga
Tetraodontidae. Ikan ini diketahui mengandung racun di bagian gonad, hati, usus,
dankulitnya. Sedangkan bagian dagingnya tidak mengandung racun. Jenis ikan yang
dikenal mengandung tetrodotoksin ini adalah ikan buntal. Tetradotoxin juga dapat
diisolasi dari spesies lain seperti ikan parrot, kodok dari genus Atelpus, oktopus, dan
kepiting xanthid.
c) Keracunan Kerang
Keracunan kerang akan terjadi apabila mengkonsumsi kerang yang
mengandung senyawa racun. Kerang bersifat biofilter, sehingga kerang yang hidup
di perairan tercemar racun atau logam berat akan berpotensi sebagai penyebab
keracunan.
2) Bahan pangan menjadi beracun
Bahan pangan yang semula tidak beracun dan aman dikonsumsi dapat
berubah menjadi beracun karena alasan tertentu. Keracunan ikan tongkol yang
sering terjadi banyak disebabkan karena ikan tongkol yang semula segar berubah
menjadi beracun karena cara penanganan yang kurang baik. Daging berwarna
merah pada ikan tongkol segar mengandung banyak asam amino histidin.
Proses penurunan mutu yang dalami ikan tongkol akan merombak histidin
menjadi histamin. Senyawa histamin inilah yang dapat menyebabkan timbulnya rasa
gatal, keracunan, dan bahkan mengakibatkan kematian. Masakan bersantan yang
disajikan dalam keadaan panas cukup aman dikonsumsi. Namun bila masakan
tersebut yang sudah dipanaskan dibiarkan dalam keadaan tertutup, maka santan
akan segera berubah menjadi senyawa beracun yang mematikan.

Berubahnya bahan pangan yang semula aman dikonsumsi menjadi


berbahaya bila dikonsumsi dapat dipengaruhi oleh:
a) Pemanasan yang kurang sempurna sehingga memungkinkan mikroba
merugikan tumbuh dan melaksanakan aktivitasnya
b) Proses pendinginan yang kurang sempurna juga dapat memicu aktivitas
mikroba merugikan. Proses pendinginan bahan pangan yang sudah dimasak
tidak boleh lebih dari 4 jam. Hindari pula mempertahankan bahan pangan pada
suhu dangerzone
c) Infeksi pekerja jugadapat memicu perkembang-anmikroba merugikan
d) kontaminasi silang yang terjadi antara bahan pangan dengan bahan mentah
yang merupakan sumber mikroba.

4. Mencegah Penurunan Mutu


Beberapa upaya dapat dilakukan untuk menghambat penurunan mutu.
Upaya tersebut dapat dilakukan sejak bahan pangan dipanen atau ditangkap,
maupun selama pengolahan.
a. Selama Penanganan
Upaya kegiatan untuk menghambat penurunan mutu bahan pangan selama
penanganan antara lain :
1) Precooling, yaitu proses penurunan temperatur bahan pangan dengan tujuan
untuk memperkecil perbedaan antara temperatur bahan pangan dan ruang
penyimpanan. Makin kecil perbedaan temperatur tersebut, akan mengurangi
beban panas yang akan diterima oleh ruang penyimpanan dingin.
2) Penanganan steril, yaitu penanganan yang ditujukan untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya kontaminasi silang atau kontaminasi ulang
(recontamination). Penanganan steril dicirikan dengan penggunaan peralatan,
lingkungan, dan karyawan yang steril.
3) Pencucian bahan pangan, ditujukan untuk mengurangi populasi mikroba alami
(flora alami) yang terdapat dalam bahan pangan, sehingga populasinya tidak
berpengaruh pada proses selanjutnya.
4) Penyiangan, yaitu proses membersihkan. Pada produk perikanan penyiangan
berarti pembersihan sisik, pembuangan kepala (headless), pembuangan isi
perut (gutting), atau pembuangan kulit (skinning atau skinless). Pada produk
buah-buah, penyiangan dilakukan dengan pengupasan (peeled).
5) Blansing, yaitu penggunaan suhu tinggi dalam waktu singkat untuk tujuan
tertentu. Pada produk hewani, blansing dilakukan pada bagian yang dipotong
untuk menghambat aktivitas mikroba dan enzim proteolitik. Pada produk buah-
buahan, blansing dilakukan untuk menghilangkan lapisan seperti lendir
penyebab bau busuk, mempertahankan warna alami, mengkerutkan atau
melunakan tekstur sehingga mudah dikemas, atau mengeluarkan udara yang
terperangkap dalam jaringan.
6) Fillet (Filleting) yaitu pemotongan daging sedemikian rupa sehingga tidak
menyertakan bagian yang keras, seperti duri, tulang, atau kulit. Fillet banyak
dilakukan pada produk perikanan dan unggas.
7) Pemisahan daging dari tulang atau kulit (meat bone separation) banyak
dilakukan untuk mempermudah proses penanganan atau pengolahan lebih
lanjut. Pemisahan ini dapat dilakukan dengan menggunakan tangan (manual)
atau menggunakan mesin pemisah tulang (meat bone eparator). Produk yang
dihasilkan adalah berupa daging cincang atau surimi. Surimi adalah ikan
cincang yang telah ditambah zat anti denaturasi untuk mempertahankan
kekenyalannya.
8) Sortasi, yaitu Pemisahan komoditi selama dalam aliran komoditas, misalnya
sortasi di lokasi pemanenan yang didasarkan pada jenis, ukuran yang diminta
pasar.
9) Grading, yaitu proses pemisahan bahan pangan berdasarkan mutu, misalnya
ukuran, bobot, kualitas.
b. Selama Pengawetan
Upaya yang dapat dilakukan untuk menghambat penurunan mutu selama
penanganan bahan pangan adalah :
1) Penggunaan suhu rendah, dalam bentuk pendinginan dan pembekuan.
Pendinginan adalah penggunaan temperatur di bawah temperatur kamar tapi
belum mencapai temperatur beku, biasanya berkisar pada 00-150C. Pembekuan
adalah penggunaan temperatur di bawah temperatur beku, biasanya berkisar
pada 00C hingga -600C.
2) Iradiasi, misalnya sinar gamma,untuk menghambat atau membunuh mikroba
sehingga dapat memperpanjang masa simpan produk pangan.
3) Penggunaan bakteri antagonis yang ditujukan untuk menghambat atau
membunuh bakteri pembusuk, sehingga masa simpan bahan pangan dapat
diperpanjang. Penggunaan Lactobacillus plantarum dan bakteri lainnya sebagai
bakteri antagonis telah terbukti dapat menghambat pertumbuhan bakteri
pembusuk sehingga dapat memperpanjang masa simpan bahan pangan.
c. Selama Pengolahan
Upaya yang dapat dilakukan untuk menghambat proses penurunan mutu
selama pengolahan antara lain :
1) Suhu tinggi, yaitu penggunaan suhu tinggi untuk menghambat mikroba
pembusuk atau mendenaturasi enzim. Penggunaan suhu tinggi dalam
pengolahan bahan pangan antara lain:
a) HighTemperature Short Time (HTST) telah digunakan untuk proses sterilisasi
pada produk yang tidak tahan panas (susu misalnya) untuk membunuh mikroba
pembusuk sehingga dapat memperpanjang masa simpan
b) Perebusan adalah proses pemanasan hingga suhu ± 1000C pada tekanan 1
tmosfir. Tujuan utama perebusan adalah untuk menurunkan populasi mikroba,
mendenaturasi protein, dan menurunkan kadar air bahan pangan
c) Penguapan adalah penurunan kadar air dalam bahan pangan dengan tujuan
untuk mengurangi ketersediaan air didalam bahan pangan sehingga tidak dapat
dimanfaatkan oleh mikroba pembusuk untuk tumbuh dan beraktivitas. Prinsip
dasar dari penguapan adalah penurunan kelembaban udara lingkungan
sedemikian rupa sehingga akan menyebabkan cairan di dalam bahan pangan
akan keluar dalam bentuk uap air. Selain dengan peningkatan suhu lingkungan,
proses penguapan juga dapat dilakukan dengan menggerakan udara (angin)
atau mengalirkan udara panas kepermukaan bahan pangan
d) Penggorengan adalah bentuk lain dari penggunaan suhu tinggi untuk mengolah
bahan pangan. Tujuan penggorengan tergantung dari bahan pangan, misalnya
untuk kemekaran (kerupuk), mengurangi kadar air (bawang).
2) Penurunan kadar air sehingga mikroba pembusuk akan mengalami kesulitan
untuk tumbuh dan berkembang. Penurunan kadar air dilakukan dengan cara :
a) Pengeringan: pengeringan adalah proses menurunkan kadar air dalam bahan
pangan berdasarkan perbedaan kelembaban, sehingga air yang tersedia tidak
dapat dimanfaatkan oleh mikroba merugikan untuk tumbuh dan berkembang.
Proses pengeringan dapat dilakukan dengan cara penguapan, pemanasan,
penganginan, dan pengeringan beku.
b) Tekanan: pengaturan tekanan dapat menurunkan kandungan air dalam bahan
pangan. Bila tekanan lingkungan diturunkan (hipobarik), maka cairan yang ada
di dalam bahan panganakan tertarik ke lingkungan. Bila tekanan lingkungan
ditingkatkan hingga 2 atmosfir atau lebih (hiperbarik) maka bahan pangan akan
tertekan sehingga cairannya akan keluar.
3) Penambahan senyawa kimia, ditujukan untuk menghambat aktivitas mikroba
pembusuk atau mendenaturasi enzim. Penambahan senyawa kimia dapat
dilakukan dengan cara penambahan:
a) Asam: Penambahan asam dimaksudkan untuk menurunkan pH sehingga
aktivitas mikroba pembusuk menurun. Asam yang digunakan dapat berupa
asam benzoat, sorbat, propionat, sulfite, asetat, laktat, nitrat, dan asam citrat
b) Garam: Penambahan garam dimaksudkan untuk menciptakan perbedaan
tekanan osmosis antara di dalam bahan pangan dengan lingkungannya.
Peningkatan tekanan osmosis di luar bahan pangan akan menyebabkan
keluarnya cairan dari bahan pangan sehingga cairan di dalam bahan pangan
yang dapat dimanfaatkan oleh mikroba pembusuk menurun. Selain itu, terjadi
proses masuknya komponen garam ke dalam bahan pangan. Ion Na+dan Cl-
yang bersifat racun akan membunuh mikroba pembusuk dan menyebabkan
proses denaturasi protein, termasuk enzim.
c) Gula: Penambahan gula dimaksudkan untuk menciptakan perbedaan tekanan
osmotis antara bahan pangan dan lingkungannya. Perbedaan tekanan
osmotisakan menyebabkan pergerakan cairan di dalam bahan pangan. Bila
tekanan osmotis di luar lebih tinggi (hipertonis) maka cairan dari dalam bahan
pangan akan keluar (plasmolisis), bila lebih rendah cairan akan masuk kedalam
sel mikroba sehingga selakan pecah (plas-moptisis)
d) Antibakteri: Senyawa anti bakteri dapat menghambat atau membunuh bakteri.
Proses pengasapan akan meningkatkan senyawa fenol yang bersifat anti
bakteri. Selain meningkatkan senyawa anti bakteri, proses pengasapan juga
akan menurunkan kandungan air bahan pangan, sehingga bakteri pembusuk
terhambat pertumbuhannya; dan Gas: Penggunaan gas-gas tertentu telah
dilakukan untuk meningkatkan penanganan dan pengolahan bahan pangan.
Fumigasi merupakan penggunaan gas untuk membunuh mikroba merugikan
yang mungkin ada di dalam bahan pangan. Penggunaan gas etilen telah lama
dipraktekan untuk mempercepat munculnya warna kuning pada buah pisang.
4) Fermentasi adalah proses perombakan senyawa kompleks menjadi senyawa
lebih sederhana yang dilakukan oleh enzim dalam lingkungan terkendali. Enzim
yang berperan dalam proses fermentasi dapat berasal dari bahan pangan itu
sendiri, mikroba fermentasi, bahan nabati, dan enzim murni. Penggunaan enzim
murni untuk proses fermentasi jarang dilakukan mengingat harganya yang
mahal. Penggunaan mikroba fermentasi sebagai penghasil enzim membutuhkan
pengendalian kondisi lingkungan sehingga hanya mikroba fermentasi yang
tumbuh, sedangkan mikroba laiinya terhambat atau mati. Pengendalian kondisi
lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa asam,
meningkatkan konsentrasi garam, atau meningkatkan populasi bakteri
fermentasi. Pemilihan cara pengendalian lingkungan disesuaikan dengan bahan
pangan yang akan difermentasi. Beberapa bahan nabati telah digunakan dalam
proses fermentasi produk hewani. Bahan nabati tersebut diketahui mengandung
enzim proteolitik. Bahan nabati tersebut misalnya papaya yang mengandung
enzim papain, dan nenas yang mengandung enzim bromelain.
5. Pengendalian Produk yang Tidak Sesuai
Dalam sistem produksi harus dapat disingkirkan produk-produk yang tidak
sesuai. Sistem standar jaminan mutu mempersyaratkan perusahaan mempunyai
prosedur tertulis untuk mencegah terkirimnya produk-produk yang tidak sesuai
kepada konsumen. Jika produk yang tidak sesuai terdeteksi pada tahap produksi,
prosedur yang ada harus tidak membiarkan produk tersebut diproses lebih lanjut.
Setiap kegiatan atau sistem operasi dapat saja menyimpang dari kondisi operasi
standar (prosedur) karena berbagai alasan sehingga menghasilkan produk yang
tidak sesuai. Sistem standar jaminan mutu mempersyaratkan perusahaan
mempunyai sistem institusional untuk memonitor kegiatan produksi atau proses. Jika
ketidak sesuaian diketahui, tindakan koreksi harus dilakukan segera agar sistem
operasi kembali kepada standar.
a. Produk Cacat
Menurut Hansen & Mowen (2005), “Produk cacat adalah produk yang tidak
sesuai dengan spesifikasinya. Menurut Bastian dan Nurlela (2010) yang menyatakan
bahwa,“produk cacat adalah produk yang dihasilkan dalam proses produksi, dimana
produk yang dihasilkan tersebut tidak sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan,
tetapi secara ekonomis produk tersebut dapat diperbaiki dengan mengeluarkan
biaya tertentu, dalam hal ini perlu diperhatikan biaya yang dikeluarkan lebih untuk
memperbaiki rendah dari nilai jual setelah produk tersebut diperbaiki”.
Menurut Hansen/Mowen (2005), “Biaya mutu adalah biaya–biaya yang timbul
karena mungkin telah terdapat produk yang buruk kualitasnya”. Menurut Firdaus
Ahmad Dunia & Wasilah (2009), “Biaya mutu adalah biaya yang berkaitan dengan
penciptaan, pengidentifikasian, perbaikan, dan pencegahan produk cacat”. Dengan
demikian adanya produk cacat maka perusahaan perlu mengeluarkan biaya
pengawasan mutu produk, sehingga dapat menghasilkan produk yang baik tanpa
cacat.
b. Nol cacat (Zero defects)
Sebuah filosofi kualitas didasarkan pada gagasan bahwa tingkat kualitas
yang sempurna, sebagai tanpa cacat, dapat dicapai dan harus menjadi tujuan
perusahaan. Ini menekankan pemeriksaan dari semua faktor yang menyebabkan
masalah kualitas versus sistem yang dibangun dalam tingkat kualitas rata-rata atau
diterima. Cacat nol (zero defect) berarti semua produk yang diproduksi sesuai
dengan spesifikasinya”.
Gerakan “zero defects” memiliki asumsi bahwa pandangan tentang cacat
tidak semua orang sama. Oleh sebab itu cacat harus didefinisikan, diurutkan
(diklasifikasikan) dari yang ringan sampai yang berat. Selanjutnya harus ditentukan
strategi pengawasan untuk menghindarkan terjadinya cacat dan ditentukan langkah-
langkah untuk perbaikan terhadap cacat ringan. Intinya merupakan gerakan menuju
kesempurnaan.
Untuk menentukan keputusan cacat yang boleh dimaklumi dilakukan
perhitungan statistik dengan selang (0-1000) atau permil (%0), tidak lagi
menggunakan selang (0 -100) atau persen (%).

B. PENERAPAN HACCP (Hazard Analysis & Critical Control Points)

HACCP (Hazard Analysis & Critical Control Point) adalah sebuah metode
operasi terstruktur yang dikenal secara internasional yang bisa membantu organisasi
dalam industri makanan dan minuman untuk mengidentifikasi risiko keamanan
pangan, mencegah bahaya dalam keamanan pangan, dan menyampaikan
kesesuaian hukum. HACCP adalah keharusan di beberapa negara, termasuk
Amerika Setikat dan Uni Eropa. Prinsip-prinsip dan petunjuk HACCP untuk
penerapannya sudah diadopsi oleh Komisi Codex Alimentarius. Sistem HACCP
berbasis pada pengetahuan dan mengidentifikasi bahaya spesifik dan
pengendaliannya khusus untuk menjamin keamanan pangan.

HACCP digunakan di seluruh tahapan proses produksi dan persiapan


makanan. Seluruh organisasi yang berperan penting dalam rantai pasokan makanan
bisa menerapkan prinsip-prinsip HACCP tanpa melihat ukuran dan lokasi geografis.
HACCP sebagai alat manajemen yang membantu perusahaan dan organisasi
menunjukan komitmen keamanan pangan kepada seluruh pemangku kepentingan
dan menunjukkan bahwa segala persyaratan telah dipenuhi. HACCP dirancang
untuk menyampaikan:
• Komitmen; mengambil pendekatan resmi untuk memastikan keamanan
pangan membantu Anda menunjukkan komitmen kepada para pemangku
kepentingan melalui pemenuhan persyaratan legislasi (hukum)
• Kepercayaan; pelanggan dan pemangku kepentingan akan melihat bahwa
Anda melakukan pendekatan yang serius dan diatur dengan baik terkait
keamanan pangan.
• Manfaat kompetitif; HACCP adalah sebuah pembedautama dan bisa
membantu Anda menjadi salah satu pemasok pilihan.
• Meningkatkan efisiensi; jasa layanan sistem HACCP disediakan untuk
melengkapi persetujuan ISO 9000, yang menghemat waktu dan biaya.

Poin-poin HACCP satu persatu :


• Pembelian dan penerimaan bahan.
Bahan makanan yang diperlukan harus di beli dari toko atau suplier yang memang
sudah terbukti menjamin kebersihan dan kualitas makanan. Proses pengiriman yang
tepat, sebagai contoh bahan segar harus dikirim dan dijaga suhunya minimal 5'C dan
bahan makanan beku minimal -18'C. Sebelum diterima cek setiap barang apakah
memang kualitasnya baik? Apakah belum expired/kadaluwarsa? Bahan kalengan
sebaiknya tidak diterima bila kalengnya sudah pecok-pecok. Begitu juga yang
botolan, pastikan botolnya masih mulus dan tidak menggelembung.

• Penyimpanan bahan.
Cara menyimpan bahan-bahan makanan harus dilakukan dengan tepat sesuai
prosedurnya. Tujuannya untuk menjaga kualitas bahan-bahan makanan agar tidak
rusak sebelum diolah, dan mencegah terjadinya pencemaran terhadap makanan
(food poisoning), sehingga nantinya dapat menghasilkan makanan yang sehat bagi
customers. Baca selengkapnya mengenai hal-hal yang harus diperhatikan mengenai
penyimpanan makanan di Storage of Food.

• Pengolahan makanan.
Mengkonsumsi makanan yang sehat jauh lebih penting dari mengkonsumsi
makanan yang enak. Untuk itu kita harus tahu cara mengolah makanan yang tepat.
Selengkapnya bisa dilihat disini.
• Penyajian makanan.
Makanan dingin harus disajikan dalam keadaan dingin yaitu maksimal 5'C. Dan
makanan panas harus disajikan minimal pada suhu 60'C. Disamping itu Personal
Hygiene dari food handler harus dilaksanakan dengan tepat.

• Sanitasi area kerja.


Three Bucket System merupakan cara yang paling efektif dalam menjaga kesehatan
lingkungan kerja/ area kitchen atau dapur. Meliputi:
1. Wash, yaitu mencuci dengan sabun yang dicampur dengan air panas.
2. Rinse, yaitu membilas dengan air panas.
3. Sanitize, mematikan kuman-kuman dengan disinfectan atau larutan
khlorin.

• Pest Kontrol.
Merupakan cara untuk mengendalikan penyakit agar tidak mengkontaminasi bahan
makanan yang dapat disebarkan oleh binatang seperti kecoa, semut, lalat,ulat dan
sebagainya. Biasanya menggunakan ahli pest kontrol untuk melakukan hal ini.

Ada tiga pendekatan penting dalam pengawasan mutu pangan:

1. Food Safety/Keamanan Pangan


Aspek-aspek dalam proses produksi yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit
atau bahkan kematian. Masalah ini umumnya dihubungkan dengan masalah
biologi, kimia dan fisika
2. Wholesomeness/Kebersihan
Merupakan karakteristik-karakteristik produk atau proses dalam kaitannya dengan
kontaminasi produk atau fasilitas sanitasi dan hygiene.
3. Economic Fraud /Pemalsuan
Adalah tindakan-tindakan yang illegal atau penyelewengan yang dapat merugikan
pembeli. Tindakan ini mencakup diantaranya pemalsuan species (bahan baku),
penggunaan bahan tambahan yang berlebihan, berat tidak sesuai dengan label,
overglazing dan jumlah komponen yang kurang seperti yang tertera dalam kemasan.

MANFAAT HACCP

1. Menjamin keamanan pangan


- Memproduksi produk pangan yang aman setiap saat;
- Memberikan bukti sistem produksi dan penganganan aproduk yang aman;
- Memberikan rasa percaya diri pada produsen akan jaminan keamanannya;
- Memberikan kepuasan pada pelanggan akan konformitasnya terhadap
standar nasional maupun internasional.
2. Mencegah kasus keracunan pangan, sebab dalam penerapan sistem HACCP
bahaya-bahaya dapat diidentifikasi secara dini, termasuk bagaimana tindakan
pencegahan dan tindakan penanggulangannya.
3. Mencegah/mengurangi terjadinya kerusakkan produksi atau ketidakamanan
pangan, yang tidak mudah bila hanya dilakukan pada sistem pengujian akhir
produk saja.
4. Dengan berkembangnya HACCP menjadi standar internasional dan
persyaratan wajib pemerintah, memberikan produk memiliki nilai kompetitif di
pasar global.
5. Memberikan efisiensi manajemen keamanan pangan, karena sistemnya
sistematik dan mudah dipelajari, sehingga dapat diterapkan pada semua
tingkat bisnis pangan.

Tujuh Prinsip HACCP

HACCP merupakan suatu sistem yang dilakukan untuk mengidentifikasi bahaya


tertentu dan tindakan pencegahan yang perlu dilakukan untuk pengendaliannya.
Sistem ini terdiri dari tujuh prinsip sebagai berikut:

PRINSIP 1
:Mengidentifikasi potensi bahaya yang berhubungan dengan produksi pangan pada
semua tahapan, mulai dari usaha tani, penanganan, pengolahan di pabrik dan
distribusi, sampai kepada titik produk pangan dikonsumsi. Peningkatan
kemungkinan terjadinya bahaya dan menentukan tindakan pencegahan, untuk
pengendaliannya.

PRINSIP 2
Menentukan titik atau tahap prosedur operasional yang dapat dikendalikan untuk
menghilangkan bahaya atau mengurangi kemungkinan terjadi bahaya tersebut. CCP
(Critical Control Point) berarti setiap tahapan di dalan produksi pangan dan /atau
pabrik yang meliputi sejak bahan baku yang diterima, dan/atau diproduksi, panen,
diangkut, formulasi, diolah, disimpan dan lain sebagainya.
PRINSIP 3
Menetapkan batas kritis yang harus dicapai untuk menjamin bahwa CCP berada
dalam kendali.

PRINSIP 4
Menetapkan sistem pemantauan pengendalian (monitoring) dari CCP dengan cara
pengujian atau pengamatan.

PRINSIP 5
Menetapkan tindakan perbaikan yang dilaksanakan jika hasil pemantauan
menunjukkan bahwa CCP tertentu tidak terkendali.

PRINSIP 6
Menetapkan prosedur verifikasi yang mencakup dari pengujian tambahan dan
prosedur penyesuaian yang menyatakan bahwa sistem HACCP berjalan efektif.

PRINSIP 7
Mengembangkan dokumentasi mengenai senua prosedur dan pencatatan yang tepat
untuk prinsip-prinsip ini dan penerapannya.

Konsep HACCP
Menurut Codex Alimentarius Commision (CAC) Konsep HACCP menurut
CAC terdiri dari 12 langkah, dimana 7 prinsip HACCP tercakup pula di
dalamnya. Langkah-langkah penyusunan dan penerapan sistem HACCP menurut
CAC adalah sebagi berikut :

Langkah 1, Pembentukan Tim HACCP


Langkah awal yang harus dilakukan dalam penyusunan rencana HACCP adalah
membentuk Tim HACCP yang melibatkan semua komponen dalam industri yang
terlibat dalam menghasilkan produk pangan yang aman. Tim HACCP sebaiknya
terdiri dari individu-individu dengan latar belakang pendidikan atau disiplin ilmu yang
beragam, dan memiliki keahlian spesifik dari bidang ilmu yang bersangkutan,
misalnya ahli mikrobiologi, ahli mesin/ engineer , ahli kimia, dan lain sebagainya
sehingga dapat melakukan brainstorming dalam mengambil keputusan. Jika keahlian
tersebut tidak dapat diperoleh dari dalam perusahaan, saran-saran dari para ahli
dapat diperoleh dari luar.
Langkah 2, Deskripsi produk
Tim HACCP yang telah dibentuk kemudian menyusun deskripsi atau uraian dari
produk pangan yang akan disusun rencana HACCPnya. Deskripsi produk yang
dilakukan berupa keterangan lengkap mengenai produk, termasuk jenis produk,
komposisi, formulasi, proses pengolahan, daya simpan, cara distribusi, serta
keterangan lain yang berkaitan dengan produk. Semua informasi tersebut diperlukan
Tim HACCP untuk melakukan evaluasi secara luas dan komprehensif.

Langkah 3, Identifikasi Pengguna yang Dituju


Dalam kegiatan ini, tim HACCP menuliskan kelompok konsumen yang mungkin
berpengaruh pada keamanan produk. Tujuan penggunaan produk harus didasarkan
pada pengguna akhir produk tersebut. Konsumen ini dapat berasal dari orang umum
atau kelompok masyarakat khusus, misalnya kelompok balita atau bayi, kelompok
remaja, atau kelompok orang tua. Pada kasus khusus harus dipertimbangkan
kelompok populasi pada masyarakat beresiko tinggi.

Langkah 4 Penyusunan Diagram Alir Proses


Penyusunan diagram alir proses pembuatan produk dilakukan dengan mencatat
seluruh proses sejak diterimanya bahan baku sampai dengan dihasilkannya produk
jadi untuk disimpan. Pada beberapa jenis produk, terkadang disusun diagram alir
proses sampai dengan cara pendistribusian produk tersebut.

Langkah 5, Verifikasi Diagram Alir Proses


Agar diagram alir proses yang dibuat lebih lengkap dan sesuai dengan pelaksanaan
di lapangan, maka tim HACCP harus meninjau operasinya untuk menguji dan
membuktikan ketepatan serta kesempurnaan diagram alir proses tersebut. Bila
ternyata diagram alir proses tersebut tidak tepat atau kurang sempurna, maka harus
dilakukan modifikasi. Diagram alir proses yang telah dibuat dan diverifikasi harus
didokumentasikan.

Langkah 6, Analisa Bahaya (Prinsip 1)


Setelah lima tahap pendahuluan terpenuhi, tim HACCP melakukan analisa bahaya
dan mengindentifikasi bahaya beserta cara-cara pencegahan untuk
mengendalikannya. Analisa bahaya amat penting untuk dilakukan terhadap bahan
baku, komposisi, setiap tahapan proses produksi, penyimpanan produk, dan
distribusi, hingga tahap penggunaan oleh konsumen. Tujuan analisis bahaya adalah
untuk mengenali bahaya-bahaya apa saja yang mungkin terjadi dalam suatu proses
pengolahan sejak awal hingga ke tangan konsumen.
Analisis bahaya terdiri dari tiga tahap yaitu, identifikasi bahaya, penetapan tindakan
pencegahan (preventive measure), dan penentuan kategori resiko atau signifikansi
suatu bahaya. Dengan demikian, perlu dipersiapkan daftar bahan mentah
dan ingredient yang digunakan dalam proses, diagram alir proses yang telah
diverifikasi, serta deskripsi dan penggunaan produk yang mencakup kelompok
konsumen beserta cara konsumsinya, cara penyimpanan, dan lain sebagainya.

Langkah 7, Penetapan Critical Control Point (Prinsip 2)


CCP atau Titik Kendali Kritis didefinisikan sebagai suatu titik, langkah atau prosedur
dimana pengendalian dapat diterapkan dan bahaya keamanan pangan dapat
dicegah, dihilangkan atau diturunkan sampai ke batas yang dapat diterima. Pada
setiap bahaya yang telah diidentifikasi dalam proses sebelumnya, maka dapat
ditentukan satu atau beberapa CCP dimana suatu bahaya dapat dikendalikan.
Masing-masing titik penerapan tindakan pencegahan yang telah ditetapkan diuji
dengan menggunakan CCP decision tree untuk menentukan CCP.

Langkah 8, Penetapan Critical Limit (Prinsip 3)


Critical limit (CL) atau batas kritis adalah suatu kriteria yang harus dipenuhi untuk
setiap tindakan pencegahan yang ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi
bahaya sampai batas aman. Batas ini akan memisahkan antara "yang diterima" dan
"yang ditolak", berupa kisaran toleransi pada setiap CCP. Batas kritis ditetapkan
untuk menjamin bahwa CCP dapat dikendalikan dengan baik. Penetapan batas kritis
haruslah dapat dijustifikasi, artinya memiliki alasan kuat mengapa batas tersebut
digunakan dan harus dapat divalidasi artinya sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan serta dapat diukur. Penentuan batas kritis ini biasanya dilakukan
berdasarkan studi literatur, regulasi pemerintah, para ahli di bidang mikrobiologi
maupun kimia, CODEX dan lain sebagainya. Untuk menetapkan CL maka
pertanyaan yang harus dijawab adalah : apakah komponen kritis yang berhubungan
dengan CCP? Suatu CCP mungkin memiliki berbagai komponen yang harus
dikendalikan untuk menjamin keamanan produk. Secara umum batas kritis dapat
digolongkan ke dalam batas fisik (suhu, waktu), batas kimia (pH, kadar garam).
Penggunaan batas mikrobiologi (jumlah mikroba dan sebagainya) sebaiknya
dihindari karena memerlukan waktu untuk mengukurnya, kecuali jika terdapat uji
cepat untuk pengukuran tersebut.
Langkah 9, Prosedur Pemantauan CCP (Prinsip 4)
Kegiatan pemantauan (monitoring) adalah pengujian dan pengamatan terencana
dan terjadwal terhadap efektifitas proses mengendalikan CCP dan CL untuk
menjamin bahwa CL tersebut menjamin keamanan produk. CCP dan CL dipantau
oleh personel yang terampil serta dengan frekuensi yang ditentukan berdasarkan
berbagai pertimbangan, misalnya kepraktisan. Pemantauan dapat berupa
pengamatan (observasi) yang direkam dalam suatu checklist atau pun merupakan
suatu pengukuran yang direkam ke dalam suatu datasheet. Pada tahap ini, tim
HACCP perlu memperhatikan mengenai cara pemantauan, waktu dan frekuensi,
serta hal apa saja yang perlu dipantau dan orang yang melakukan pemantauan.

Langkah 10, Penetapan Tindakan Koreksi (Prinsip 5)


Tindakan koreksi dilakukan apabila terjadi penyimpangan terhadap batas kritis suatu
CCP. Tindakan koreksi yang dilakukan jika terjadi penyimpangan, sangat tergantung
pada tingkat risiko produk pangan. Pada produk pangan berisiko tinggi misalnya,
tindakan koreksi dapat berupa penghentian proses produksi sebelum semua
penyimpangan dikoreksi/diperbaiki, atau produk ditahan/tidak dipasarkan dan diuji
keamanannya. Tindakan koreksi yang dapat dilakukan selain menghentikan proses
produksi antara lain mengeliminasi produk dan kerja ulang produk, serta tindakan
pencegahan seperti memverifikasi setiap

Langkah 11, Verifikasi Program HACCP (Prinsip 6)


Verifikasi adalah metode, prosedur dan uji yang digunakan untuk menentukan
bahwa sistem HACCP telah sesuai dengan rencana HACCP yang
ditetapkan. Dengan verifikasi maka diharapkan bahwa kesesuaian program HACCP
dapat diperiksa dan efektifitas pelaksanaan HACCP dapat dijamin. Beberapa
kegiatan verifikasi misalnya: penetapan jadwal inspeksi verifikasi yang
tepat ,pemeriksaan kembali rencana HACCP ,Pemeriksaan catatan CCP ,
Pemeriksaan catatan penyimpangan dan disposisi inspeksi visual terhadap kegiatan
untuk mengamati jika CCP tidak terkendalikan. Pengambilan contoh secara acak
Catatan tertulis mengenai inspeksi verifikasi yang menentukan kesesuaian dengan
rencana HACCP, atau penyimpangan dari rencana dan tindakan koreksi yang
dilakukan. Verifikasi harus dilakukan secara rutin dan tidak terduga untuk menjamin
bahwa CCP yang ditetapkan masih dapat dikendalikan. Verifikasi juga dilakukan jika
ada informasi baru mengenai keamanan pangan atau jika terjadi keracunan
makanan oleh produk tersebut.
Langkah 12, Perekaman Data/Dokumentasi (Prinsip 7)
Dokumentasi program HACCP meliputi pendataan tertulis seluruh program HACCP
sehingga program tersebut dapat diperiksa ulang dan dipertahankan selama periode
waktu tertentu. Dokumentasi mencakup semua catatan mengenai CCP, CL,
rekaman pemantauan CL, tindakan koreksi yang dilakukan terhadap penyimpangan,
catatan tentang verifikasi dan sebagainya. Oleh karena itu dokumen ini dapat
ditunjukkan kepada inspektur pengawas makanan jika dilakukan audit eksternal dan
dapat juga digunakan oleh operator

2.3. Penentuan CCP


Penetapan Critical Control Point (Prinsip 2) merupakan salah satu prinsip dari
HACCP. CCP atau Titik Kendali Kritis didefinisikan sebagai suatu titik, langkah atau
prosedur dimana pengendalian dapat diterapkan dan bahaya keamanan pangan
dapat dicegah, dihilangkan atau diturunkan sampai ke batas yang dapat diterima.
Pada setiap bahaya yang telah diidentifikasi dalam proses sebelumnya, maka dapat
ditentukan satu atau beberapa CCP dimana suatu bahaya dapat dikendalikan.
Masing-masing titik penerapan tindakan pencegahan yang telah ditetapkan diuji
dengan menggunakan CCP decision tree untuk menentukan CCP.
Suatu CCP mungkin memiliki berbagai komponen yang harus dikendalikan untuk
menjamin keamanan produk. Secara umum batas kritis dapat digolongkan ke dalam
batas fisik (suhu, waktu), batas kimia (pH, kadar garam). Penggunaan batas
mikrobiologi (jumlah mikroba dan sebagainya) sebaiknya dihindari karena
memerlukan waktu untuk mengukurnya, kecuali jika terdapat uji cepat untuk
pengukuran tersebut. CCP atau Titik Pengendalian Kritis Adalah titik-titik di mana
bahaya dapat tetap terkontrol. Kontrol ini dapat berarti bahwa suatu bahaya
dihilangkan; misalnya dengan pasteurisasi atau merebus sebuah produk yang
mungkin mengandung Salmonella, atau pengepakan yang suci hama untuk
mencegah kontaminasi ulang pada makanan yang telah mengalami proses
pemanasan. Ini disebut TPK1. TPK2 adalah titik dimana sebuah bahaya dapat
diminimalkan atau dikurangi tanpa jaminan pemusnahan bahaya. Disini masih
terdapat sedikit bahaya terhadap kontaminasi ulang, tetapi dengan resiko yang
masih dapat ditolerir, atau dimana pencemar jumlahnya sangat rendah.Setiap titik
pengendalian membantu meyakinkan keamanan pangan, tetapi hanya titik-titik
dimana pengendalian penuh dapat diterapkan dan kritis bagi keamanan produk.
Beberapa titik-titik lain merupakan bagian dari GMP (Good Manufacturing
Practices/Cara Produksi Makanan yang Baik). Identifikasi CCP dapat dilakukan
dengan menggunakan pengetahuan tentang:
– proses produksi
– potensi bahaya
– signifikansi bahaya
Untuk membantu menemukan dimana seharusnya CCP yang benar, Codex
Alimentarius Commission GL/32 1998, telah memberikan pedoman → Diagram
Pohon Keputusan CCP (CCP Decision Tree)
Diagram pohon keputusan adalah seri pertanyaan logis yang menanyakan setiap
bahaya dan jawaban dari setiap pertanyaan tersebut akan memfasilitasi Tim
HACCP secara logis menetapkan CCP. Untuk membantu menemukan dimana
seharusnya CCP yang benar, Codex Alimentarius Commission GL/32 1998, telah
memberikan pedoman → Diagram Pohon Keputusan CCP (CCP Decision Tree).
Diagram pohon keputusan adalah seri pertanyaan logis yang menanyakan setiap
bahaya dan jawaban dari setiap pertanyaan tersebut akan memfasilitasi Tim
HACCP secara logis menetapkan CCP.

Bagaimana Menentukan Bahaya dan Critical Control Point (CCP)

Kita telah mendefinisikan istilah-istilah yang didiskusikan dalam HACCP dan kini kita
akan menerapkannya pada contoh yang sederhana. Mengidentifikasi bahaya dan
titik-titik kendali kritis (critical control point) adalah akar dari HACCP. Hal ini dapat
dilakukan dengan memanfaatkan metoda bagan keputusan. Pada bagian ini, kita
harus membahas tentang bagan keputusan dan menjabarkan keterangan yang
dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan dan mengambil sikap terhadap macam
keputusan-keputusan tersebut.
sumber: http://slideplayer.info/slide/2749046/

CCP dan Pengendaliannya

Definisi: tahap di dalam proses yang apabila tidak terawasi dengan baik,
memungkinkan timbulnya ketidakamanan pangan, kerusakan, dan resiko kerugian
ekonomi

Tahap kunci dalam pengendalian bahaya

1. Identifikasi CCP dapat dilakukan dengan menggunakan pengetahuan


tentang:

- proses produksi
- potensi bahaya
- signifikansi bahaya

Untuk membantu menemukan dimana seharusnya CCP yang benar, Codex


Alimentarius Commission GL/, telah memberikan pedoman → Diagram Pohon
Keputusan CCP (CCP Decision Tree)Diagram pohon keputusan adalah seri
pertanyaan logis yang menanyakan setiap bahaya dan jawaban dari setiap
pertanyaan tersebut akan memfasilitasi Tim HACCP secara logis menetapkan CCP
2. Decision tree (Codex Alimentarius Commission GL/32 1998)

3.Jenis pohon keputusan yang lainnya

Di samping menurut codex juga ada jenis pohon keputusan lainnya.Pada


jenis ini pohon keputusan digolongkan menjadi 3Pohon keputusan bahan
bakuPohon keputusan formulasiPohon keputusan tahapan proses
4. Tahap 8. Penetapan batas kritis
Merupakan batas-batas kritis pada CCP yang ditetapkan berdasarkan:
- referensi
- standar teknis
- obesrvasi
Batas kritis harus ditentukan untuk setiap CCP
Kriteria yang sering dipergunakan
-Suhu
-Waktu
-Kelembaban
-pH
- Aw
-Kadar chlorine
- Parameter yang berhubungan dengan panca indra seperti kenampakan dan
tekstur.
Batas kritis menunjukkan perbedaan antara kondisi yang aman dan tidak
aman sehingga proses produksi dapat dikelola dalam tingkat yang aman
5. Beberapa contoh batas kritis fisik
Batas kritis harus mudah diidentifikasi dan dijaga oleh operator proses
produksi
Batas kritis diusahakan dalam bentuk:
- batas kritis fisik, dan jika tidak memungkinkan baru mengarah pada
kimia atau mikrobiologi.
Beberapa contoh batas kritis fisik:
- tidak adanya logam
- ukuran mesh ayakan
- Suhu
- waktu,
- unsur-unsur uji organoleptic
Contoh batas kritis kimia
- pH Aw
- kadar klorinAlergendan lain-lain

Penetapan batas kritis dapat dilakukan berdasarkan beberapa sumber:


Data yang sudah dipublikasi (Codex, ICMSF, FDA, DepKes, Deperindag, dll.)
Advis pakar : konsultan, asosiasi penelitian, perusahaan peralatan, pemasok bahan
kimia pembersih, ahli mikrobiologi, toksikologis, dll.
Data eksperimental (eksperimen pabrik, pemeriksaan mikrobiologis spesifik
dari produk dan ingridien)Modelling matematik : simulasi komputer terhadap
karakteristik ketahanan hidup dan pertumbuhan dari bahaya mikrobiologis dalam
sistem pangan
Contoh Critical Limit Pada CCP
- Komponen Kritis
- Proses Sterilisasi Makanan Kaleng
- Suhu awal
- Berat kaleng setelah diisi
- Isi kaleng.
- Pemanasan hamburger
- Tebal hamburger
- Suhu pemanasan
- Waktu pemanasan
- Penambahan asam ke minuman asam
- PH produk akhir
- Deteksi logam pada pengolahan biji-bijian
- Kalibrasi detektorSensitivitas detektor

D. DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E. 2008. Pengawasan Mutu Bahan/Produk Pangan. Direktorat Pembinaan
Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Dasar Pengendalian Mutu Hasil Pertanian dan Perikanan, Direktorat Pembinaan
Sekolah Menengah Kejuruan, Kementerian Pendidikan dan Budaya, 2014.

http://www.id.lrqa.com/standards-and-schemes/haccp/
http://gedekaz.blogspot.co.id/2012/01/haccp-hazard-analysis-critical-control.html
http://www.bbpp-lembang.info/index.php/arsip/artikel/artikel-pertanian/558-jaminan-
keamanan-pangan-dengan-sistem-haccp-hazard-analysis-critical-control-point
http://adelaidearsenal.blogspot.co.id/2012/12/ccp.html
Winarno, F.G. dan Surono, 2002. HACCP dan Penerapannya Dalam Industri
Pangan. M-BRIO PRESS, Bogor.
Pedoman pembinaan dan pengawasan mutu hasil pertanian terpadu komoditi
pangan, Badan Agribisnis Departemen Pertanian, 1995.
Quality Assurance Training in The Indonesian Horticultural Industry, Patric Ulloa
2004.
Mengenal HACCP dan aplikasinya dalam menjamin mutu dan keamanan pangan,
Surono 1995.
SNI 01-4852-1998, Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (HACCP)
serta Pedoman dan penerapannya, Badan Standarisasi Nasional, 1986.
Hermawan Thaheer, 2005: Sistem Manajemen HACCP (Hazard Analysis Critical
Control Points), Penerbit Bumi Aksara, Jakarta

You might also like