Professional Documents
Culture Documents
Bank Syariah LKBB
Bank Syariah LKBB
A. Latar Belakang
Dinamika kesadaran umat Islam untuk mengamalkan ajaran dan menerapkan sistem Islam
secara menyeluruh (kaffah) tampaknya sudah mulai menunjukkan adanya peningkatan,
khususnya dalam bidang ekonomi. Ekonomi dan keuangan Islam sudah mulai
memperlihatkan sosoknya sebagai suatu alternatif baru yang diambil dari ajaran Islam.
Pada dasawarsa 1970 dan 1980-an di Timur Tengah serta negara-negara muslim lainnya telah
dimulai kajian-kajian ilmiah tentang ekonomi dan keuangan Islam yang berbuah
terbentuknya sebuah lembaga keuangan Islam internasional yakni Islamic Development Bank
(IDB) – sejenis bank pembangunan seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia - pada
tahun 1975 yang berkedudukan di Jeddah, yang kemudian diikuti oleh pendirian bank-bank
Islam lainnya di Timur Tengah.
Di Indonesia sendiri, Bank syariah yang pertama baru didirikan sekitar tahun 1991 dan baru
beroperasi pada pertengahan tahun 1992 yang tidak lepas dari dukungan rezim yang berkuasa
saat itu.
Dengan melihat perkembangan bank syariah di atas, agaknya keinginan umat untuk
menjalankan kehidupan bisnis dan transaksinya dalam skala yang lebih luas yang sesuai
dengan prinsip-prinsip ajaran Islam agaknya sudah memiliki sarana yang tepat. Namun,
diakui atau pun tidak, pengetahuan umat tentang bank syariah masih terbatas dan tidak
merata. Masih banyak yang tidak mengenal apa itu bank syariah atau bahkan masih adanya
anggapan yang keliru bahwa bank syariah adalah bank konvensional yang berbaju syariah.
Oleh karena itu, makalah ini mencoba memberikan sedikit gambaran yang mudah-mudahan
dapat memberi pemahaman yang baik tentang bank syariah serta menepis anggapan yang
keliru tersebut.
B. Rumusan Masalah
Makalah ini dijabarkan dari rumusan masalah sebagai berikut:
a) Apakah yang dimaksud dengan perbankan syariah ?
b) Bagaimana ciri ciri perbankan syariah?
c) Bagaimana asas, tujuan dan fungsi perbankan syariah?
d) Bagaimana visi misi, kendala, dan strategi pengembangan bank syariah?
e) Bagaimana regulasi bank syariah?
f) Apakah produk produk bank syariah?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yakni:
a) Untuk memahami apa yang dimaksud dengan perbankan syariah
b) Untuk mengetahui bagaimana ciri ciri perbankan syariah?
c) Untuk mengetahui bagaimana asas, tujuan dan fungsi perbankan syariah?
d) Untuk mengetahui visi misi, kendala, dan strategi pengembangan bank syariah?
e) Untuk mengetahui regulasi bank syariah?
f) Untuk mengetahui produk produk bank syariah?
A. Pengertian Bank Syariah
Bank Syari’ah terdiri dari dua kata, yaitu Bank dan Syari’ah. Oleh karena itu, sebelum
penulis menjelaskan apa yang dimaksud dengan Bank Syari’ah, penulis terlebih dahulu akan
menjelaskan apa yang dimaksud dengan Bank dan apa yang dimaksud dengan syari’ah.
Secara etimologis, istilah Bank berasal dari kata Italia “Banco” yang artinya “Bangku”.
Bangku ini digunakan pegawai Bank utuk meayani aktivitas operasionalnya kepada para
penabung. Secara terminologis, Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepda masyarakat dalam bentuk
kredit atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.
Pengertian Syari’ah secara etimologis berarti sumber air yang mengalir, kemudian kata
tersebut digunakan untuk pengertian : hukum-hukum Allah yang diturunkannya untuk ummat
manusia (hamba Allah)
Secara terminologis Syari’ah yaitu hukum atau peraturan yang diturunkan Allah melalui
Rasulnya yang mulia, untuk ummat manusia, agar mereka keluar dari kegelapan kedalam
terang dan mendapatkan petunjuk kearah yang lurus. Adapun yang dimaksud dengan prinsip
syari’ah menurut undang-undang adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
bedasarkan fatwa yang dikeluarkan dalam lembaga yang memiliki kewenangan dalam
menetapkan fatwa dalam bidang syar’ah.
Oleh karena itu, maka yang dimaksud dengan Bank Syari’ah adalah Bank yang menjalankan
kegiatan usahanya bedasarkan prinsip syari’ah.
Lembaga perbankan merupakan sebuah lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu
menerima simpanan uang,menyalurkan uang dan memberikan pelayanan penerimaan uang.
Pada dasarnya ketiga fungsi tersebut sudah dilaksanakan ketika zaman Rasullulah walaupun
belum dikelola dengan baik. Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa secara substansial fungsi
bank ketika zaman Rasulullah sudah ada.
Dalam sejarah perekonomian kaum muslimin, pembiayaan yang dilakukan dengan
akad yang sesuai dengan syari’ah telah menjadi bagian dan tradisi umat islam sejak zaman
Rasullulah SAW pelaksanaan-pelaksanaan seperti menerima penitipan harga, meminjamkan
uang untuk keperluan konsumtif dan bisnis, serta melakukan pengiriman uang, telah lazim
dilakukan sejak zaman Rasulullah.
Prinsip ekonomi islam telah di praktikkan sejak nabi muhammmad SAW, terus
merambat ke dinasti Umaiyah dan Abbasiyah. Pada masa nabi, model-model transaksi seperti
penghimpun dana ummat,pinjam meminjam uang dan barang, penyaluran dana ke
masyarakat di tanagni oleh lembaga keuangan yang di pimpin oleh zubair bin Awwam dan
lembaga keuangan lainnya yang di pimpin oleh ibnu Abbas. Pada masa Abbasiyah prinsip
perbankan tampak ke permukaan, yaitu pada masa pemerintahan al-muqtadir (908-932).
Sebagai contoh, ada bebrapa istilah perbankan yang berasal dari Islam, seperti kredit dan cek.
Term kredit (credit;Inggris atau credor;Roman) berasal dari kata qord. Kerefit artinya
peminjaman uang dengan dasar kejujuran.
Penggunaan cek juga telah dikenal secara meluas seiring dengan meningkatnya bisnis
antara Negara Syam dan Yaman, paling tidak berlangsung dua tahun sekali. Bahkan di zaman
Umar bin Khattab r.a. beliau menggunakan cek untuk melunasi gaji kepada mereka bagi yang
berhak. Dengan cek ini, mereka mengambil gandum dari Baitul Mall yang ketika itu diimfor
dari mesir. Disamping itu, pemberian modal untuk modal kerja berdasarkan kepada bagi
hasil,seperti mudharabah,musyarakah,muzaraah,musaqah,telah dikenal di kalangan kaum
Muhajirin dan Anshar.
Dengan demikian jelas,meskipun pada zaman Rasulullah SAW. Secara formal belum
ada lembaga perbankan, namum dari realitas amalan sahabat pada saat itu menggambarkan
fungsi lembaga perbankan. Bahkan akad-akad yang dilakukan para sahabat Nabi waktu itu,
seperti fungsi penitipan,memberikan pinjaman,pengiriman uang dan melakukan pembiayaan
modal kerja menjadi prinsip-prinsip utama dalam mengembangkan perbankan syari’ah.
Awal mula kegiatan Bank Syari’ah yang pertama kali dilakukan adalah di Pakistan
dan Malaysia pada sekitar tahun 1940-an. Kemudian di Mesir pada tahun 1963 berdiri
Islamic Rural Bank di Desa It Ghamr Bank. Bank ini beroperasi di pedesaan Mesir dan masih
berskala kecil.
Di Uni Emirat Arab, baru tahun 1975 dengan berdiri Dubai Islamic Bank. Kemudian
di Kuwait pada tahun 1977 berdiri di Kuwait Finance House yang beroperasi tanpa bunga.
Selanjutnya kembali di Mesir pada tahun 1978 berdiri Bank Syariah yang diberi nama Faisal
Islamic Bank. Langkah ini kemudian diikuti oleh Islamic International Bank for Invesment
and Development Bank.
Salah satu negara pelopor utama dalam melaksanakan sistem perbankan syari’ah
secara nasional adalah Pakistan. Pemerintah Pakistan mengkonversi seluruh sistem perbankan
di negaranya pada tahun 1985 menjadi sistem perbankan syari’ah. Sebelumnya pada tahun
1979 beberapa institusi keuangan terbesar di Pakistan telah menghapus sistem bunga dan
mulai tahun itu juga pemerintah Pakistan mensosialisasikan pinjaman tanpa bunga, teritama
kepada petani dan nelayan.
Kehadiran bank yang bedasarkan syariah di Indonesia masih relatif baru, yaitu baru
pada awal tahun 1990-an, meskipun masyarakat Indonesia merupakan masyarakat Muslim
terbesar di Dunia. Prakarsa untuk mendirikan Bank Syariah di Indonesia dilakukan oleh
Majlis Ulama Indonesia (MUI) pada 18-20 Agustus 1990. Namun, diskusi tentang Bank
Syariah sebagai basis ekonomi Islam sudah mulai dilakukan pada awal tahun 1980.
Bank Syari’ah pertama di Indonesian merupakan hasil kerja tim perbankan MUI,
yaitu dengan dibentuknya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang akte pendiriannya
ditandatangani tanggal 1 November 1991. Bank ini ternyata berkembang cukup pesat
sehingga saat ini BMI sudah memiliki puluhan cabang yang tersebar dibeberapa kota besar
seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Makasar, dan kota lainnya.
1. Beban biaya yang disepakati bersama pada waktu akad perjanjian diwujudkan
dalam bentuk jumlah nominal, yang besarnya tidak kaku dan dapat dilakukan dengan
kebebasan tawar menawar dalam batas wajar. Beban biaya tersebut hanya dikenakan sampai
batas waktu sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak.
5. Dewan Pengawas Syariah (DPS) bertugas untuk mengawasi operasional bank dari
sudut syariahnya. Selain itu, manajer dan pimpinan bank Islam harus menguasai dasar dasar
muamalah Islam.
6. Fungsi kelembagaan syariah selain menjembatani antara pihak pemilik modal dan
pihak yang membutuhkan dana, juga mempunyai fungsi khusus, yaitu fungsi amanah, artinya
kewajiban menjaga dan bertanggung jawab atas keamanan dana yang disimpan dan siap
sewaktu waktu apabila dana diambil pemiliknya.
D. Asas Tujuan Dan Fungsi Perbankan Syariah
b. Demokrasi Ekonomi
Yang dimaksud dengan demokrasi ekonomi adalah kegiatan ekonomi syari’ah
yang mengandung keadilan, kebersamaan, pemerataan dan kebermanfaatan
c. Prinsip kehati-hatian
Yang dimaksud dengan prinsip kehati hatian adalah pedoman pengelolaan
Bank yang wajib di anut guna mewujudkan perbankan yang sehat, kuat, dan
efisien sesuai dengan ketentuan perundang undangan
Selain itu, pemenuhan prinsip syari’ah, yaitu memenuhi :
1) Prinsip Keadilan (‘adl)
Yaitu menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya, dan memberikan
sesuatu hanya kepada yang berhak.
2) Prinsip Keseimbangan (tawazun)
Yaitu meliputi keseimbangan aspek material dan spiritual, aspek private
dan publik, sektor keuangan dan riil, bisnis dan sosial, dan keseimbangan
aspek pemanfataan dan kelestarian
3) Prinsip Kemaslahatan ( maslahah)
Yaitu segala bentuk kebaikan yang berdimensi duniawi dan ukhrawi,
material dan spiritual, individual dan kolektif, serta harus memenuhi 3
unsur, yakni kepatuhan (halal), bermanfaat dan membawa kebaikan
(thoyib), dan semua aspek secara keseluruhan yang tidak menimbulkan
kemudharatan
4) Prinsip Universalisme (alamiyah)
Yaitu dapat dilakukan oleh, dengan, dan untuk semua pihak yang
berkepentingan (stackholder) tanpa membedakan suku, agama, ras, dan
golongan sesuai dengan semangat kerahmatan semesta (rahmatan lil
‘alamin)
a. Tabungan yang tidak dibenarkan secara syari’ah yaitu Tabungan o yang berdasarkan
perhitungan bunga.
b. Tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip mudharabah dan
wadi’ah.
Kedua : ketentuan tabungan berdasarkan mudharabah:
a. Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana,dan
abnk bertindak sebagai mudarib atau pengelola dana.
b. Dalam kapasitasnya sebagai mudarib, bank dapat melakukan berbagai jenis usaha
yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah dan mengembangkannya, termasuk
didalamnya mudharabah dengan pihak lain.
c. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
d. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam
akad pembukaan rekening.
e. Bank sebagai mudarib menutup biaya operasional deposito dengan menggunakan
nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
f. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan
yang bersangkutan.
Ketiga : ketentuan tabungan berdasarkan wadi’ah :
a. Bersifat simpanan
b. Simpanan dapat diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan.
c. Tidak ada imbalan yang di syaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang
bersifat sukarela dari pihak lain.
Penyaluran dana kepada masyarakat oleh bank syariah berdasarkan prinsip-prinsip sebagai
berikut
a. Prinsip Jual Beli
1. Murabahah
Pembiayaan murabahah, yaitu pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah
untuk membeli suatu barang dengan kewajiban mengembalikan talangan dana tersebut
seluruhnya ditambah dengan margin keuntungan bank pada waktu jatuh tempo. Bank
memperoleh margin keuntungan berupa selisih harga beli dari pemasok dengan harga jual
bank kepada nsabah.
Sebagai dasar hukum pelaksanaan murabahah dalam sumber utama hukum islam adalah
sebagai berikut:
a. Qs. Al-baqarah(2):275: “ dan allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
yang riba.”
b. HR. Al. Baihaqi dan Ibnu Majah dari Abu sa’id al- khudri bahwa Rasulullah SAW.
Bersabda: “sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka.”
Pembiayaan murabahah telah diatur dalam fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000. Dalam
fatwa tersebut disebutkan ketentuan umum mengenai murabahah, yaitu sebagai berikut1[10]:
a. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
b. Barang yang dipejualbelikan tidak diharamkan oleh syariah islam.
c. Bank yang membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah
disepakati kualifikasinya.
d. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian
ini harus sah dan bebas riba.
e. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika
pembelian dilakukan secara utang.
f. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah( pemesan) dengan harga jual
senilai harga barang plus keuntungannya. Dalam kaitan ini bank harus member tahu secara
jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
g. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu
tertentu yang telah disepakati.
h. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan tau kerusakan akad tersebut, pihak bank
dapat mengadakan penjanjian khusus dengan nasabah.
i. Jika bank hendak mewakili kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga,
akad jual beli murabahab yang harus dilakukan setelah barang, secara prinsip menjadi milik
bank.
Contoh: Tuan Ahmad sebagai pengusaha kayu, mengajukan permohonan pembiayaan
murabahah guna pembelian kayu seharga Rp. 200.000.000,-. Setelah dievaluasi oleh bank
syariah, usahanya layak dan permohonannya disetujui, maka mengangkat Tuan Ahmad
sebagai wakil bank syariah untuk membeli kayu dengan dana dan atas namanya kemudian
menjual kayu tersebut kembali kepada Tuan Ahmad ( sebagai pengusaha) sejumlah Rp.
240.000.000,- dengan jangka waktu 3 bulan dan dibayar lunas pada saat jatuh tempo. Asumsi
penetapan harga jual Rp. 240.000.000,- telah dilakukan dengan cara:
a. Tawar menawar harga jual antara Tuan Ahmad dengan bank.
b. Harga jual yang disetujui tidak akan berubah selama jangka waktu 3 bulan walaupun
dalam masa tersebut terjadi perubahan harga atau perubahan tingkat bunga dibank
konvensional.
2. Baiu Bithaman Ajil
Pembiayaan baiu bitaman ajil, yaitu pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan
nasabah untuk membeli suatu barang / jasa dengan kewajiban mengembalikan talangan dana
tersebut ditmbah margin keuntungan bank secara mencicil sampai lunas dalam jangka waktu
tertentu sesuai dengan kesepakatan. Bank memperoleh keuntungan berupa selisih harga beli
dari pemasok dengan harga jual bank kepada nasabah.
Kalau diperhatikan produk bank konvensional, maka baiu bithaman ajil dapat disamakan
dengan kredit investasi, sehingga pembiayaan dengan prinsip baiu bithaman ajil ini bersifat
jangka panjang. 2[11]
Dasar hukum pelaksanaan prinsip baiu bithaman ajil mengacu pada al-quran surat an-nisa
ayat 29 yang artinya “ hai orang-orang yang beriman janganlah kamu makan harta
sesamamu dengan jalan bathil, kecuali dengn jalan berniaga yang berlaku dengan suka
dianta kamu”. Sedangkan pada hadist yng diriwayatkan, dari suhaib ra. Bahwa Rasulullah
bersabda, “ tiga perkara didalamnya terdapat keberkatan(1) menjual dengan pembayaran
secara kredit. (2) muqaradhah (nama lain dari mudharabah).(3)mencampur gandum dengan
tepung untuk keperluan rumah dan bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majar, Sublu Assalam
4/147). Bentuk kegiatan pembiayaan ini dapat diterapkan dalam proses pengadaan barang
bagi nasabah dan pembiayaan impor dari luar negeri.
3. Istishna
Pembiayaan istisna adalah pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk
membeli suatu barang atau jasa dengan pembayaran dimuka, dicicil atau tangguh bayar.
Nasabah wajib mengembalikan talangan dana tersebut ditambah margin keuntungan bank
secara mencicil sampai lunas dalam jangka waktu tertentu atau tunai sesuai dengan
kesepakatan. Bank memperoleh margin keuntungan berupa selisih harga beli dari pemasok
dengan harga jual bank kepada nasabah.
Pada kegiatan usaha jual beli dengan istishna ini juga dapat dilakukan dengan istishna
parallel yang dilakukan oleh bank kepada pihak lain. Hal ini diatur dalam fatwa DSN No.
22/DSN-MUI/III/2002 mengenai jual beli istishna parallel dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Jika LKS( Lembaga Keuangan Syariah, bank) melakukan transaksi istishna, untuk
memenuhi kewajibannya kepada nasabah, ia dapat melalukan istishna lagi dengan pihak lain
pada objek yang sama, dengan syarat istishna pertama tidak bergantung(mu’allaq) pada
istishna kedua.
b. LKS ( Lembaga Keuangan Syariah, bank) selaku mustashni’ tidak diperkenakan untuk
memugut MDC( margin during construction) dari nasabah ( shani’), karena hal ini tidak
sesuai dengan prinsip syariah.
c. Ketentuan yang berlaku pada fatwa DSN No. 06/ DSN-MUI/IV/2000 juga berlaku
istishna parallel.
4. Salam
Pembiayaan salam, yaitu pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk
membeli suatu barang atau jasa dengan pembayaran dimuka sebelum barang atau jasa
diantarkan atau dibentuk. Nasabah berkewajiban mengembalikan talangan dana tersebut
ditambah margin keuntungan bank secara dicicil sampai lunas dalam jangka waktu tertentu
atau tunai sesuai dengan kesepakatan.
Pelaksanaan salam, selain antara nasabah dan bank, dapat juga dilakukan antara bank dengan
penjaul. Salam yang kedua ini disebut dengan salam parallel dengan syarat-syarat, bahwa:1.
Akad kedua( salam parallel) terpisah dari akad pertama(salam pertama); dan 2. Akad kedua
dilakukan setelah akad pertama sah.
b. Pembiayaan Bagi Hasil
Perbankan dengan sistem bagi hasil dirancang untuk terbinanya kebersamaan dalam
menanggung risiko usaha dan berbagi hasil usaha antara: pemilik dana (shohibul maal) yang
menyimpan uangya dibank, bank selaku pengelola dana (mudahrib), dan masyarakat yang
membutuhkan dana yang bisa berstatus peminjam dana atau pengelola usaha.
Pada penyaluran dana kepada masyarakat, sebagian besar pembiayaan bank disalurkan dalam
bentuk barang atau jasa yang dibelikan bank untuk nasabahnya. Dengan demikian,
pembiayaan hanya diberikan apabila barang atau jasanya telah ada terlebih dahulu. Dengan
metode ada barang dulu baru ada uang, maka masyarakat dipacu untuk memproduksi barang
atau jasa atau mengadakan barang atau jasa. Selanjutnya barang yang dibeli atau diadakan
menjadi jaminan utang.3[12]
a. Mudharabah
Pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan seluruh kebutuhan modal pada suatu usaha
untuk jangka waktu terbatas sesuai dengan kesepakatan. Hasil usaha bersih dibagi antara
bank sebagai penyandang dana(shohibul maal) dengan pengelola usaha( mudharib) sesuai
dengan kesepakatan. Umumnya porsi bagi hasil ditetpkn bagi mudharib lebih besar dari pada
shohibul maal. Pada akhir jangka waktu pembiayaan, dana pembiayaan dikembalikan kepada
bank.
b. Musyarakah
Pembiayaan musyarakah, yaitu pembiayaan sebagian kebutuhan modal pada suatu usaha
jangka waktu terbatas sesuai kesepakatan.hasil usaha bersih dibagi antara bank sebagai
penyandang dana ( shohibul maal) dengan pengelola usaha (mudharib) sesuai dengan
kesepakatan. Umumya, porsi bagi hasil ditetapkan sesuai dengan persentase kontribusi
masing-masing. Pada akhir jangka waktu pembiayaan dikembalikan kepada bank.Fatwa DSN
No. 08/DSN-MUI/IV/2000 mengatur mengenai pembiayaan musyarakah dengan ketentuan-
ketentuan sebagai berikut:
a. Ijab Kabul
b. Subjek hukum
c. objek akad
1. modal
2. kerja
3. keuntungan
4. kerugian
d. Biaya operasional
Daftar Pustaka
http://jurnalapapun.blogspot.com/2015/02/penyaluran-dana-landing-pada-bank.html
Kasmir. 2014. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
Irham Fahmi. 2015. Manajemen perbankan Konvensional dan Syariah, Jakarta: Mitra
Wacana Media
Mardani. 2015. Aspek Hukum Lembaga Syariah di Indonesia, Jakarta: Kencana
Huda Nurul dan Heykal Mohammad. 2010. Lembaga Keuangan Islam, Jakarta: PT
Fajar Interpertama
Sholahuddin Muhammad. 2014. Lembaga Keuangan dan Ekonomi Islam,
Yogyakarta: Penerbit Ombak