Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 15

SISTEM ISPO UNTUK MENJAWAB TANTANGAN

DALAM PEMBANGUNAN KELAPA SAWIT INDONESIA


YANG BERKELANJUTAN*
Ermanto Fahamsyah*) dan Eusebius Pantja Pramudya**)
* Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember dan Sekretaris Jenderal
)

Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB)


ermanto_fahamsyah@yahoo.co.id.
**)
Yayasan Inspirasi Indonesia, Institut Riset Sosial dan Ekonomi, & Public Administration and Policy Group,
Wageningen University and Research
ppramudya@gmail.com

ABSTRACT
The implementation of ISPO certification system which has been running since 2011 in addition to having
experienced various achievements and developments also encountered various obstacles, problems, challenges
and demands. The formulation of the problems analyzed and answered in this study are: what aspects should be
formulated in order to strengthen ISPO system? To analyze and answer the problem formulation is used framework
thinking about legal system theory or Legal System Theory developed by Lawrence M. Friedman. The research
method used in this study is more focused on normative legal research. Based on the analysis, it can be concluded
that the aspects that must be formulated in order to strengthen ISPO system include: First, related to the aspect of
law substance, ISPO system arrangement must be increased from the level of Minister of Agriculture Regulation
to the level of Presidential Regulation. Through this Presidential Regulation is expected to become a stronger
legal umbrella in the implementation of ISPO system. Second, in relation to aspects of its legal apparatus, the
institutional mechanisms of ISPO certification shall be enhanced and strengthened. Third, from the legal culture
aspect, there must be a common understanding about the definition and concept of sustainability in the management
and development of oil palm Indonesia.
Keywords: ISPO, Development, Palm Oil, Sustainable, Indonesia

ABSTRAK
Penyelenggaraan sistem sertifikasi ISPO yang berjalan sejak 2011, di samping telah mengalami berbagai
pencapaian dan perkembangan, menemui berbagai hambatan, masalah, tantangan, dan tuntutan. Penelitian ini
bertujuan untuk melihat aspek-aspek apa saja yang harus dirumuskan dalam rangka penguatan sistem ISPO? Untuk
menganalisis dan menjawab rumusan masalah tersebut, digunakan kerangka berpikir tentang teori sistem hukum
atau legal system theory yang dikembangkan oleh Lawrence M. Friedman. Metode penelitian yang digunakan
dalam kajian ini lebih dititikberatkan pada penelitian hukum normatif. Berdasarkan pada analisis yang dilakukan,
dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek yang harus dirumuskan dalam rangka penguatan sistem ISPO meliputi:
pertama, terkait dengan aspek substansi hukum, pengaturan sistem ISPO harus ditingkatkan dari tingkat peraturan
menteri pertanian menjadi tingkat peraturan presiden. Peraturan presiden ini diharapkan dapat menjadi payung
hukum yang lebih kuat dalam penyelenggaraan sistem ISPO. Kedua, terkait dengan aspek aparatur hukumnya,
mekanisme kelembagaan penyelenggaraan sertifikasi ISPO harus disempurnakan dan dikuatkan. Ketiga, dari aspek
budaya hukum, harus ada persamaan pemahaman mengenai definisi dan konsep sustainability dalam pengelolaan
dan pengembangan kelapa sawit Indonesia.
Kata kunci: ISPO, Pembangunan, Kelapa Sawit, Berkelanjutan, Indonesia

PENDAHULUAN daya alam—termasuk perkebunan kelapa sawit,


“Pembangunan berkelanjutan” akhir-akhir ini baik di tingkat nasional, regional, maupun inter­
menjadi isu penting/strategis dan menjadi t­ untutan nasional (Hidayat & Samekto, 2007). Dalam
dalam berbagai bidang pembangunan, terutama konteks Indonesia, pembangunan perkebunan
dalam pembangunan yang terkait d­ engan sumber ke­lapa sawit yang berkelanjutan, di samping
*Artikel ini telah dipresentasikan dalam Academic Forum on Sustainability I, yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Sumber
Daya Regional (P2SDR) LIPI, Yayasan Inspirasi Indonesia (YII), dan Centre for Inclusive and Sustainable Development
(CISDEV) Universitas Prasetiya Mulya, di Jakarta 31 Januari 2017.

65 
meru­pakan tuntutan pasar, sejatinya telah menjadi tata kelola perizinan, pengawasan, inkonsistensi
amanat Konstitusi Negara Republik Indonesia, kebijakan, minimnya transparansi, dan lemahnya
yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik penegakan hukum yang terus terjadi. Keempat,
Indonesia Tahun 1945—selanjutnya disebut UUD legalitas dan pembiayaan sistem sertifikasi ISPO.
1945—dan dijabarkan lebih lanjut dalam berba­ Penyelenggaraan sistem sertifikasi ISPO selama
gai peraturan perundang-undangan. Pemerintah ini dinilai kurang berjalan maksimal karena
Indonesia telah menetapkan dan memberlakukan beberapa faktor, antara lain mengenai pemenu-
standar pembangunan perkebunan kelapa sawit han aspek legalitas dan masalah pembiayaan.
Indonesia berkelanjutan sejak 2011 melalui Kelima, keberterimaan sistem sertifikasi ISPO di
sistem sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan pasar global (Policy Brief Rancangan Peraturan
Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ Presiden tentang Penguatan ISPO, 25 Oktober
ISPO)—selanjutnya disebut sistem sertifikasi 2016, 2–3). Untuk menjawab beberapa hambatan,
ISPO. masalah, tantangan, dan tuntutan krusial dalam
Penyelenggaraan sistem sertifikasi ISPO kaitan dengan sistem sertifikasi ISPO di atas,
yang berjalan sejak 2011, di samping telah meng­ akhir-akhir ini muncul adanya proses penguatan
alami berbagai pencapaian dan perkembangan, sistem ISPO. Berdasarkan pada uraian latar be-
menemui berbagai hambatan, masalah, tantangan, lakang di atas, rumusan masalah yang dianalisis
dan tuntutan. Merujuk pada hasil kajian dan refe­ dan dijawab adalah: aspek-aspek apa saja yang
rensi dari berbagai pihak, meskipun Indonesia harus dirumuskan dalam rangka penguatan sistem
telah memberlakukan sistem sertifikasi ISPO, ISPO?
kelapa sawit Indonesia tidak serta-merta terlepas
dari adanya tuntutan sustainable palm oil, baik PENGUATAN SISTEM ISPO
yang datang dari pembeli, konsumen, maupun Dalam perkembangannya, terutama sejak pelun-
industri produk berbahan baku minyak sawit. curan ISPO dan terbitnya berbagai peraturan
Adapun yang paling keras bersuara adalah lem- terkait dengan keberlanjutan pembangunan perke-
baga swadaya masyarakat (LSM), baik di tingkat bunan serta diundangkannya Undang-Undang
nasional, regional, maupun internasional. Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang
Hambatan, masalah, tantangan, dan t­ untutan harus diadopsi oleh persyaratan ISPO, permintaan
krusial terkait dengan sistem ­sertifikasi ISPO pasar terhadap minyak yang bersertifikat ISPO
antara lain, pertama, terkait dengan ­pemahaman yang mulai bermunculan mengharuskan perlu-
nya merevisi persyaratan ISPO. Penyempurnaan
dan kebijakan tentang definisi dan konsep dasar
ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri
sustainability (keberlanjutan) di ­Indonesia. Per­­
Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2011
soalan sangat mendasar yang ­ belum pernah
tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit
dibahas secara tuntas dalam konteks I­ndo­nesia­
Berkelanjutan Indonesia (Indonesian ­Sustainable
adalah pemahaman bersama tentang ­defi­nisi dan
Palm Oil/ISPO), bertujuan memberikan petunjuk
konsep dasar sustainability dalam ­pengelolaan yang lebih jelas bagi pelaku usaha perkebunan
dan pengembangan kelapa sawit. Kedua, dan para auditor. Akhirnya, pada 2015, telah
meka­
­
n isme kelembagaan penyelenggaraan terbit Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/Per-
serti­fikasi ISPO. Persoalan mendasar dalam me- mentan/OT.140/3/2015 tentang Sistem Sertifikasi
kanisme kelembagaan ISPO terletak pada me- Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Perkebun­
kanisme penyelenggaraan proses sertifikasi ISPO an Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indo-
yang dinilai sebagian pihak tidak i­ndependen, nesian Sustainable Palm Oil/ISPO)—selanjutnya
transparan, akuntabel, dan kredibel. Ketiga, disebut ISPO—adalah sistem usaha di bidang
substansi prinsip, kriteria, dan indikator dari perkebunan kelapa sawit yang layak ekonomi,
sistem sertifikasi ISPO. ISPO diklaim sebagian layak sosial, dan ramah lingkungan didasarkan
pihak lebih mencerminkan kepentingan nasional. pada peraturan perundangan yang berlaku di
Prinsip, kriteria, dan indikator yang dibuat belum Indonesia (Peraturan Menteri Pertanian Nomor
mampu menjawab permasalahan dan kelemahan 11/Permentan/OT.140/3/2015).

66 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


ISPO merupakan acuan penerapan konsep 155 pekebun kelapa sawit, sementara ada 462
kelapa sawit berkelanjutan yang dikembangkan buyer dan 633 consumer goods manufacturer
berdasarkan pada hukum dan peraturan yang (RSPO, 2016b).
ada di Indonesia. Dengan adanya ISPO, konsep Sebagai suatu standar keberlanjutan, ISPO
kelapa sawit berkelanjutan akan menjadi bagian memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri.
integral dari agenda pembangunan secara nasio­ Menu­rut Wijaya dan Glasbergen (2016), kalau
nal (Kospa, 2016). dibandingkan RSPO, ISPO meruapkan sistem
Kemunculan ISPO sering dianggap sebagai yang lebih kuat karena berlandaskan pada le-
tandingan dari inisiatif peningkatan k­ eberlanjutan galitas. Aspek legalitas ini dalam RSPO hanya
dari sektor kelapa sawit yang digagas oleh Round- merupakan salah satu dari delapan prinsip yang
table on Sustainable Palm Oil (RSPO), ter­utama dijadikan acuan, yaitu pada prinsip kedua tentang
sebagai upaya negara menegakkan kedau­latan “Compliance with Applicable Laws And Regula-
menghadapi tekanan dari inisiatif pening­­katan tions” (RSPO, 2013). Lebih lanjut, Wijaya dan
governansi lingkungan di tingkat global (­ Sahide, Glasbergen (2016) berpendapat, sebagai sistem
Burns, Wibowo, Nurrochmat & Giessen, 2015). yang berasaskan kesukarelaan (voluntary),
Kalangan LSM kadang m ­ emersepsikan kemun­ RSPO tidak mempunyai landasan apa pun untuk
culan ISPO sebagai reaksi dari pemerintah Indo- penegakan bagi pelanggaran legalitas. Hal ini
nesia untuk melawan kampanye negatif ter­ha­dap berbeda dengan ISPO, yang mempunyai kekuatan
perkebunan kelapa sawit (Wijaya & Glasbergen, hukum yang mengikat dan pelanggaran hukum
2016). Sebelumnya, pemerintah Indonesia akan berhadapan dengan otoritas di Indonesia,
sebenarnya telah berusaha aktif dalam diskusi- walaupun dengan pengecualian untuk para pe­
diskusi di RSPO, terutama untuk mengem­bangkan tani swadaya yang baru memulai kebun mereka.
interpretasi nasional t­ erhadap standar RSPO serta Pelanggaran hukum dapat berdampak pada pem-
sertifikasi bagi petani. Namun, keterlibatan dalam batalan izin kebun.
RSPO ini dipandang tidak cukup untuk mereda-
kan kampanye negatif yang intensif. Terhadap Selanjutnya, Wijaya dan Glasbergen (2016)
pandangan ini, harus diakui pula bahwa dalam menyoroti bahwa RSPO dan ISPO sama-sama
RSPO memang ada aspek yang mempersulit menggunakan pendekatan sertifikasi yang dilaku­
po­sisi Indonesia, yang muncul dari ketimpangan kan pihak ketiga. Namun, untuk ISPO, prosedur
dalam struktur organisasi dan peng­ambilan kepu- sertifikasi pihak ketiganya lebih rumit, dengan
tusannya (Schouten & ­Glasbergen, 2012). Dalam verifikasi tahap pertama dilakukan auditor
pembahasan-pembahasan di RSPO, prosesnya ­independen, tetapi pada tahap berikutnya Komisi
sendiri dapat dikatakan tidak sepenuhnya inklusif ISPO melakukan penilaian sebelum dapat menye­
dengan keterlibatan aktor lokal seperti para pro- tujui sertifikat diterbitkan lembaga sertifikasi
dusen (terutama petani) yang tidak sepenuhnya independen tersebut.
terwakili (Marin-Burgos, Clancy, & Lovett, Wijaya dan Glasbergen (2016) juga menyo­
2015). Komposisi dari struktur executive board roti tentang perbandingan aspek lingkungan dan
dari RSPO terdiri atas pekebun kelapa sawit (4 sosial dari RSPO dan ISPO, yang sekilas terlihat
kursi yang mewakili Indonesia, Malaysia, “rest of tidak ada perbedaan mencolok. Namun, secara
the world”, dan petani), peng­olah minyak sawit mendetail, ada perbedaan mendasar dari aspek-
(2 kursi), perusahaan penghasil consumer goods aspek yang dibahas, misalnya mengenai konsep
(2 kursi), retailers (2 kursi), bank dan investor high conservation values (HCV), yang mencakup
(2 kursi), LSM lingkungan (2 kursi), serta LSM kumpulan dari nilai-nilai biologis, ekologis, so-
bidang sosial (2 kursi) (RSPO, 2016a). Dari kom­ sial, dan budaya yang dianggap punya peranan
posisi ini, terlihat bahwa perwakilan dari produsen penting, baik pada tingkat nasional, regional,
hanya satu dari berbagai aktor dalam tata kelola. maupun global. Sementara itu, untuk ISPO, me-
Sementara sebagai skema private governance, mang disebutkan mengenai HCV, tetapi tidak ada
negara tidak terlibat langsung. Seca­ra jumlah pun, tuntunan atau informasi lebih terperinci mengenai
dari total 1.373 anggota per Juni 2016, hanya ada hal tersebut sehingga menimbulkan ruang untuk

Ermanto Fahamsyah dan ... | Sistem ISPO untuk Menjawab Tantangan ... | 67
interpretasi yang berbeda. Hal lain yang cukup dalam suatu sistem. Substansi juga mengandung
berbeda adalah RSPO mencakup free and prior pengertian produk atau keputusan dari pembuat
informed consent dalam prinsip dan kriterianya peraturan perundang-undangan. Budaya hukum
sehubungan dengan kepedulian terhadap komu- mengandung pengertian sikap perilaku masyara-
nitas dan akuisisi lahan. Dalam standar ISPO, kat terhadap hukum dan sistem hukum. Hal ini
aspek-aspek ini dianggap normatif, sedangkan mencakup bagaimana kepercayaan, nilai, ide,
informasi yang lebih detail juga terbatas. dan pengharapan mereka terhadap hukum. Ide
Merupakan tantangan untuk memperkuat pemikiran inilah yang membuat hukum dapat
sistem ISPO berdasarkan pada kesadaran terha- berjalan sebagaimana semestinya (Friedman,
dap kelebihan dan kekurangan ini. Apalagi, kalau 1984, 5–6).
dipandang dari tujuannya, bahwa ISPO—seperti Melalui analisis dengan teori sistem hukum
halnya RSPO—bertujuan meningkatkan keber- tersebut, diharapkan dapat dirumuskan suatu
lanjutan dari produksi kelapa sawit (Gillespie & konsep penguatan sistem ISPO sebagai instru-
Harjanthi, 2012). Sebagai standar sertifikasi yang men yang dapat menjawab segala hambatan,
berbasis pada legalitas, penguatan ISPO dilak- masalah, tantangan, dan tuntutan krusial terkait
sanakan berdasarkan pada kerangka berpikir ilmu dengan penyelenggaraan sustainable palm oil
hukum seperti dijelaskan pada bagian berikut. di Indonesia. Penguatan sistem ISPO dimulai
pada aspek substansi hukumnya, selanjutnya
KERANGKA TEORETIS dari aspek aparatur hukumnya, yaitu pelaksana/
kelembagaannya, serta terakhir aspek budaya hu-
Pembangunan perkebunan kelapa sawit berke­ kum yang menyangkut persepsi para pemangku
lanjutan atau sustainable palm oil merupakan kepentingan terhadap sistem ISPO itu sendiri.
kewajiban yang diterapkan pemerintah Indonesia
dalam upaya memelihara lingkungan, meningkat-
kan kegiatan ekonomi dan sosial, serta menegak- METODE PENELITIAN
kan peraturan perundangan Indonesia di bidang Metode penelitian yang digunakan dalam kajian
perkelapasawitan. Penerapan kewajiban kebun ini lebih dititikberatkan pada penelitian hukum
sawit yang berkelanjutan ini dilakukan sejak normatif (Sidharta, 2000, 218; Soekanto, 2006,
peluncuran Perkebunan Kelapa Sawit Berkelan- 51; Soekanto & Mahmudji, 2001, 13–14). Pene-
jutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm litian norma hukum ialah penelitian hukum yang
Oil/ISPO) di Medan pada Maret 2011. mengacu pada peraturan perundang-undangan,
Untuk menganalisis dan menjawab rumusan keputusan pengadilan, dan norma yang berlaku
masalah di atas, digunakan kerangka berpikir di masyarakat (Filstead, 1978, 38). Dengan
tentang teori sistem hukum atau legal system demikian, objek yang dianalisis dalam peneli-
theory yang dikembangkan oleh Lawrence M. tian ini adalah norma hukum berupa peraturan
Friedman (2001, 6–8). Dia menyatakan, suatu perundang-undangan yang berkaitan langsung
sistem hukum atau legal system terdiri atas tiga dengan pembangunan kelapa sawit Indonesia
unsur, yaitu unsur struktur hukum, substansi hu- yang berkelanjutan.
kum, dan budaya hukum. Struktur mengandung Data yang digali dan ditelaah dalam pene-
pengertian kerangka yang memberikan perlin­ litian ini terdiri atas data sekunder (Marzuki,
dungan menyeluruh bagi suatu sistem hukum. 2005, 164–166). Data sekunder terdiri atas bahan
Struktur ini terdiri atas elemen-elemen jumlah hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
dan besar badan peradilan, bagaimana peraturan hukum tersier (Soekanto & Mahmudji, 2001,
perundang-undangannya, serta prosedur apa 13–14). Bahan hukum primer dalam penelitian
yang harus dilaksanakan para penegak hukum. ini adalah peraturan perundang-undangan yang
Struktur bersifat sebagai pembatas gerakan. mengatur dan/atau terkait dengan pembangunan
Substansi dari suatu sistem hukum mengandung kelapa sawit Indonesia yang berkelanjutan.
pengertian peraturan yang sesungguhnya, norma, Ada­pun bahan hukum sekunder yang ­digunakan
dan tatanan pergaulan masyarakat yang berlaku adalah bahan yang memberikan penjelasan

68 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


me­ngenai bahan hukum primer, seperti naskah de­ngan menjaga keseimbangan kemajuan dan
akademik rancangan undang-undang, hasil-hasil kesatuan ekonomi nasional.” Dalam perubahan
penelitian, dan hasil karya dari ahli hukum yang kedua UUD 1945, pada Pasal 28H ayat (1),
berkaitan dengan pembangunan kelapa sawit dinyatakan bahwa, “Setiap orang berhak hidup
Indonesia yang berkelanjutan. Penelitian ini juga sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
menggunakan bahan hukum tersier, yaitu bahan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat
yang memberikan petunjuk ataupun penjelasan serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”
terhadap bahan hukum primer dan sekunder, (Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 ayat (4)
contohnya kamus, ensiklopedi, indeks kumulatif, & Pasal 28H ayat (1)).
dan sebagainya (Soekanto, 2006, 52). Kedua, Undang-Undang Nomor 25 Tahun
Di samping sumber-sumber penelitian yang 2007 tentang Penanaman Modal, pada bagian
berupa bahan-bahan hukum, penulis mengguna­ Menimbang huruf a, menyebutkan, “untuk me­wu­
kan bahan-bahan nonhukum yang mempunyai judkan masyarakat adil dan makmur berdasar­kan
relevansi dengan topik penelitian, misalnya pada Pancasila dan UUD 1945, perlu dilaksana­
buku, hasil penelitian, dan jurnal-jurnal m
­ engenai kan pembangunan ekonomi ­ nasional yang
pembangunan kelapa sawit Indonesia yang ber­ke­­lan­jutan dengan b­ erlandaskan demokrasi
berkelanjutan. Penggunaan bahan-bahan non- ekonomi untuk mencapai tujuan bernegara”
hukum ini dimaksudkan untuk memperkaya (Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, LN
dan memperluas wawasan penulis tentang pola No. 67 Tahun 2007, TLN No. 4724, bagian
perusahaan inti rakyat perkebunan (Marzuki, ­Menimbang huruf a) Pasal 3 ayat (1) ­menentukan
2005, 143, 163–164). Pengumpulan data dalam bahwa pena­naman modal ­diselenggarakan ber-
penelitian ini menggunakan teknik penelitian dasarkan pada beberapa asas, antara lain asas
kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan
dengan menelusuri beberapa literatur, baik (Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, Pasal
yang ada dalam buku, artikel, jurnal, maupun 3 ayat (1)). Selanjutnya, Pasal 3 ayat (2) memuat
peraturan perundang-undangan. Penelusuran salah satu tujuan penyelenggaraan penanaman
tersebut dilakukan untuk menemukan data yang modal adalah meningkatkan pemba­ngunan
dapat digunakan untuk menganalisis dan men- ekonomi berkelanjutan (Undang-Undang No. 25
jawab rumusan masalah (Policy Brief Rancangan Tahun 2007, Pasal 3 ayat (2)).
Peraturan Presiden tentang Penguatan ISPO, 25 Ketiga, Undang-Undang Nomor 32 Tahun
Oktober 2016, 2–3). 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Ling­kungan Hidup, pada bagian Menimbang
HASIL DAN PEMBAHASAN huruf b, menentukan bahwa pembangunan
eko­nomi nasional, sebagaimana diamanatkan
Pertama, terkait dengan pemahaman dan kebi-
oleh UUD 1945, diselenggarakan berdasarkan
jakan tentang konsep pembangunan berkelanjutan
pada prinsip pembangunan berkelanjutan dan
(sustainable development) di Indonesia.
berwawasan lingkungan (Undang-Undang No.
Pembangunan perkebunan kelapa sawit yang 32 Tahun 2009, LN. No. 140 Tahun 2009, TLN
berkelanjutan di Indonesia, di samping telah No. 5059, bagian menimbang huruf b). Pasal
diamanatkan oleh Konstitusi Negara Republik 1 angka 3 menentukan bahwa, “Pembangunan
Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana
Republik Indonesia Tahun 1945, dijabarkan le­bih yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial,
lanjut dalam berbagai peraturan perundang- dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan
undangan. Pertama, UUD 1945, pada perubahan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup
keempat, khususnya Pasal 33 ayat (4), menyatakan serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan,
bahwa, “Perekonomian nasional diselenggarakan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi
berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip masa depan” (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, No. 32 Tahun 2009). Pasal 3 huruf i menyatakan
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan

Ermanto Fahamsyah dan ... | Sistem ISPO untuk Menjawab Tantangan ... | 69
hidup bertujuan mewujudkan pembangunan untuk mempercepat pembangunan industri.
berkelanjutan (Pasal 3 huruf i Undang-Undang Antara lain, perusahaan industri kecil dan in-
No. 32 Tahun 2009). Pasal 15 ayat (1) me- dustri menengah yang memanfaatkan sumber
nyebutkan, pemerintah dan pemerintah daerah daya alam secara efisien, ramah lingkungan, dan
wajib membuat kajian lingkungan hidup strategis berkelanjutan, serta yang melaksanakan upaya
(KLHS) untuk memastikan prinsip ­pembangunan untuk mewujudkan industri hijau (Pasal 110 ayat
berkelanjutan telah menjadi dasar dan ­terintegrasi (1) juncto Pasal 110 ayat (2) huruf h dan huruf i
dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau Undang-Undang No. 3 Tahun 2014).
kebijakan, rencana, dan/atau program (Pasal 15 Kelima, Pasal 62 Undang-Undang Nomor
ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009). 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan menyatakan
Penjelasan Umum angka 1 mengatur bahwa UUD bahwa pengembangan perkebunan diselenggara-
1945 menyatakan lingkungan hidup yang baik dan kan secara berkelanjutan dengan memperhatikan
sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional aspek ekonomi, sosial-budaya, dan ekologi.
bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena Pengembangan perkebunan berkelanjutan seba­
itu, negara, pemerintah, dan semua pemangku gaimana dimaksud harus memenuhi prinsip dan
kepentingan berkewajiban melindungi dan kriteria pembangunan perkebunan berkelanjutan.
mengelola lingkungan hidup dalam pelaksanaan Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan
pembangunan berkelanjutan agar lingkungan perkebunan berkelanjutan diatur dalam peraturan
hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber pemerintah (Undang-Undang No. 39 Tahun 2014,
dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta LN No. 308 Tahun 2014, TLN No. 5613, Pasal
makhluk hidup lain (Penjelasan Umum angka 1 62). Khusus pada perkebunan kelapa sawit, telah
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009). ­Berikutnya, diterbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor
Penjelasan Umum angka 3 menyebutkan peng- 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman
gunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indo-
dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. nesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO),
Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan/ kemudian diganti dengan Peraturan Menteri
atau program ­pembangunan harus dijiwai oleh Pertanian Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015
kewajiban melakukan pelestari­an lingkungan tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelan-
hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan jutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm
berkelanjutan (Penjelasan Umum angka 3 Oil Certification System) (Peraturan Menteri
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009). Pertanian Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015;
Keempat, Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Berita Negara No. 432 Tahun 2015).
Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian Meskipun konsep pembangunan keberlanjut­
menentukan bahwa industri hijau adalah industri an, khususnya dalam pembangunan kelapa sawit
yang dalam proses produksinya mengutamakan berkelanjutan Indonesia, sudah diatur dalam
upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sum- be­
berapa peraturan perundang-undangan di
ber daya secara berkelanjutan sehingga mampu Indonesia, dari tingkat undang-undang dasar
menyelaraskan pembangunan Industri dengan sampai peraturan menteri, baik secara tersurat
kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat maupun tersirat, masih terdapat persoalan sangat
memberikan manfaat bagi masyarakat (Undang- mendasar yang belum pernah dibahas secara
Undang No. 3 Tahun 2014, LN. No. 4 Tahun tun­tas dalam konteks Indonesia. Salah satunya
2014, TLN No. 5492, Pasal 1 angka 3). Pasal 30 pemahaman bersama tentang definisi dan ­konsep
ayat (1) memuat ketentuan bahwa sumber daya dasar sustainability dalam pengelolaan dan
alam diolah serta dimanfaatkan secara efisien, pengem­bangan kelapa sawit di Indonesia.
ramah lingkungan, dan berkelanjutan (Pasal 30 Sebagian pihak, antara lain dari unsur
ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 2014). pemerintah dan pelaku usaha, memahami serta
Pasal 110 ayat (1) juncto Pasal 110 ayat (2) huruf memaknai bahwa definisi dan konsep dasar sus-
h dan huruf i menentukan bahwa pemerintah dan tainability dalam pengelolaan dan pengembangan
pemerintah daerah dapat memberikan fasilitas kelapa sawit di Indonesia diukur pada tingkat

70 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


kepatuhan atau penerapan semua peraturan surat pendaftaran usaha perkebunan (SPUP),
perundang-undangan yang berlaku oleh para izin tetap usaha budi daya perkebunan
pelaku usaha perkebunan kelapa sawit. Sementara (ITUBP), dan izin usaha tetap usaha industri
itu, pihak lain, di antaranya akademisi dan/atau perkebunan (ITUIP) dinilai oleh pemerintah
peneliti, berpendapat apabila hanya diukur dari provinsi/kabupaten/kota atau pusat ber-
tingkat kepatuhan atau penerapan terhadap semua dasarkan pada Peraturan Menteri Pertanian
peraturan perundang-undangan yang berlaku, menge­nai Pedoman Penilaian Usaha Perke-
hal tersebut baru terbatas pada kepatuhan atau bunan. Hasil penilaian dikelompokkan men-
penerapan terhadap aspek legalitas, belum sampai jadi 2 (dua), yaitu a) Kelas A (baik sekali),
pada tahap kepatuhan atau penerapan terhadap Kelas B (baik), Kelas C (sedang), Kelas D
aspek-aspek yang terkandung dalam sustainabil- (kurang), dan Kelas E (kurang sekali) untuk
ity, yaitu ekonomi, sosial-budaya, dan ekologi. kebun dalam tahap pembangunan; serta b)
Pemahaman dan kebijakan mengenai definisi Kelas I (baik sekali), Kelas II (baik), Kelas
dan konsep dasar sustainability (keberlanjutan) III (sedang), Kelas IV (kurang), dan Kelas
dalam pengelolaan dan pengembangan perke- V (kurang sekali) untuk kebun dalam tahap
bunan kelapa sawit di Indonesia seharusnya operasional. Perusahaan yang mendapat
dimaknai secara utuh sebagai sistem pengelolaan penilaian kebun Kelas I, Kelas II, dan Kelas
dan pengembangan perkebunan kelapa sawit III berhak mengajukan permohonan untuk
yang mematuhi dan menerapkan semua aspek memperoleh penilaian audit sertifikasi ISPO.
ekonomi, sosial-budaya, dan ekologi, serta semua 2) Penilaian oleh lembaga sertifikasi. Penilaian
peraturan perundang-undangan yang berlaku. sertifikasi dilakukan terhadap pemenuhan
Dengan demikian, kepatuhan dan penerapan prinsip dan kriteria ISPO kelapa sawit
semua aspek ekonomi, sosial-budaya, dan berkelanjutan oleh pihak ketiga yang tidak
ekologi, serta legalitas akan menjadi ukuran berpihak, yaitu lembaga sertifikasi yang telah
dalam penyelenggaraan sistem sertifikasi ISPO. mendapat pengakuan dari Komisi ISPO.
Pemahaman dan kebijakan yang demikian tentu Objek penilaian sertifikasi dilakukan terha­
lebih sesuai dengan amanat UUD 1945 dan per- dap: a) unit perusahaan perkebunan yang
aturan perundang-undangan lain. melakukan usaha budi daya perkebunan
Kedua, terkait dengan mekanisme kelem- yang terintegrasi dengan usaha pengolahan
bagaan penyelenggaraan sertifikasi ISPO. dalam 1 (satu) unit usaha (profit entity);
Berdasarkan pada Peraturan Menteri Per- b) unit perusahaan perkebunan yang melaku­
tanian Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015, kan usaha budi daya perkebunan yang ter­
sertifikasi ISPO dilakukan terhadap perusahaan integrasi dengan usaha pengolahan dalam
perkebunan kelapa sawit, usaha kebun plasma, satu unit usaha (profit entity) dapat juga
usaha kebun swadaya, dan minyak kelapa sawit disertifikasi untuk energi terbarukan apabila
untuk energi terbarukan (Peraturan Menteri dibutuhkan, c) unit perusahaan perkebunan
Pertanian Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015 yang hanya melakukan usaha budi daya
lampiran I, 13). perkebunan agar tandan buah segar (TBS)
Tata cara sertifikasi ISPO untuk perusahaan yang dihasilkan sesuai dengan prinsip dan
perkebunan dapat diuraikan sebagai berikut (Per- kriteria ISPO, perusahaan wajib memasok
aturan Menteri Pertanian Nomor 11/Permentan/ TBS-nya kepada usaha pengolahan yang
OT.140/3/2015 lampiran I, pp. 14–21). telah bersertifikat ISPO; d) unit perusahaan
perkebunan yang hanya melakukan usaha
1) Penilaian oleh pemerintah. Setiap perusa- pengolahan yang pasokan bahan bakunya
haan perkebunan yang memiliki izin usaha dari kebun masyarakat atau kebun mitra lain-
perkebunan (izin usaha perkebunan (IUP), nya untuk menjamin pemenuhan kapasitas
izin usaha perkebunan budi daya (IUP-B); dari usaha pengolahan berdasarkan pada
izin usaha perkebunan pengolahan (IUP-P), perjanjian sesuai dengan peraturan di bidang

Ermanto Fahamsyah dan ... | Sistem ISPO untuk Menjawab Tantangan ... | 71
perizinan usaha perkebunan; e) unit sertifika- b) Perusahaan perkebunan yang melaku-
si kelompok (grup) perusahaan perkebunan, kan usaha budi daya perkebunan, yaitu:
yaitu beberapa perusahaan perkebunan yang 1) legalitas lahan perkebunan; 2) mana-
dikelola dengan menerapkan manajemen jemen perkebunan; 3) perlindungan ter-
yang sama. Tiap perusahaan perkebunan hadap pemanfaatan hutan alam primer
yang di bawah kelompok masing-masing dan lahan gambut; 4) pengelolaan dan
harus mendapatkan sertifikat ISPO terlebih pemantauan lingkungan; 5) tanggung
dahulu sebelum kelompoknya disertifikasi. jawab terhadap pekerja; 6) tanggung
Setiap perusahaan perkebunan harus mem- jawab sosial dan pemberdayaan eko-
punyai minimal dua orang auditor internal, nomi masyarakat; dan 7) peningkatan
sedangkan grup perusahaan memiliki mini- usaha secara berkelanjutan.
mal lima orang yang telah lulus pelatihan c) Perusahaan perkebunan yang melaku-
teknis auditor ISPO. kan usaha pengolahan hasil perkebunan,
3) Pengambilan contoh kebun. Perusahaan yaitu: 1) legalitas lahan perkebunan; 2)
perkebunan yang disertifikasi dinilai ber- manajemen perkebunan; 3) ­pengelolaan
dasarkan pada jumlah contoh kebun. Unit dan pemantauan lingkungan; 4) tang-
kebun dari suatu perusahaan perkebunan gung jawab terhadap pekerja; 5) tang-
yang dinilai berdasarkan pada prinsip dan gung jawab sosial dan pemberdayaan
kriteria ISPO minimum berjumlah 0,8Öy ekonomi masyarakat; dan 6) peningkat­
pembulatan ke atas; dengan y adalah jumlah an usaha secara berkelanjutan.
kebun dari perusahaan perkebunan kelapa d) Perusahaan perkebunan yang melaku-
sawit. Ukuran sampel untuk penilaian harus kan usaha produksi minyak kelapa sawit
berdasarkan pada penilaian risiko pada unit untuk energi terbarukan wajib menghi-
kebun—yang berisiko tinggi memerlukan tung emisi gas rumah kaca (GRK) yang
ukuran sampel yang lebih banyak. Ukuran pedoman perhitungannya diatur secara
sampel harus ditetapkan dengan formula terpisah.
(0,8Öy) x (z), dengan z merupakan perkalian
5) Syarat permohonan sertifikasi. Perusahaan
yang ditetapkan dengan penilaian risiko
perkebunan yang hendak mengajukan permo-
(risiko rendah = pengali 1; risiko menengah
honan sertifikasi harus melengkapi dokumen
= pengali 2; risiko tinggi = pengali 3). Usaha
sebagai berikut: (a) Izin usaha perkebunan,
pengolahan kelapa sawit secara keseluruhan
seperti izin usaha perkebunan (IUP), izin
dinilai berdasarkan pada prinsip dan kriteria
usaha perkebunan budi daya (IUP-B); izin
ISPO. usaha perkebunan pengolahan (IUP-P), surat
4) Prinsip dan kriteria ISPO untuk perusahaan pendaftaran usaha perkebunan (SPUP), izin
perkebunan, terdiri atas: tetap usaha budi daya perkebunan (ITUBP),
a) Perusahaan perkebunan yang melaku- izin usaha tetap usaha industri perkebunan
kan usaha budi daya perkebunan dan (ITUIP), izin/persetujuan prinsip menteri
terintegrasi dengan usaha pengolahan pertanian, dan izin usaha perkebunan yang
hasil perkebunan, yaitu: 1) legalitas diterbitkan oleh Kepala BKPM atas nama
usaha perkebunan; 2) manajemen perke- Menteri Pertanian. (b) Hak atas tanah sesuai
bunan; 3) perlindungan terhadap peman­ dengan peraturan di bidang pertanahan; (c)
faatan hutan alam primer dan lahan Izin lingkungan; dan (d) Penetapan usaha
gambut; 4) pengelolaan dan pemantauan perkebunan Kelas I, Kelas II, atau Kelas III
lingkungan; 5) tanggung jawab terhadap dari bupati/wali kota, gubernur atau Direk-
pekerja; 6) tanggung jawab sosial dan tur Jenderal sesuai dengan kewenangan.
pemberdayaan ekonomi masyarakat; 6) Proses pengakuan sertifikasi ISPO perusa-
dan 7) peningkatan usaha secara berke­ haan perkebunan.
lanjutan.

72 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


a) Perusahaan Perkebunan yang telah dan kebun dengan kemiringan tertentu;
memenuhi persyaratan angka 5 di atas serta pihak/pemangku kepentingan
mengajukan permohonan sertifikasi yang dipilih sebagai narasumber. Hasil
ISPO kepada salah satu lembaga sertifi- penilaian tahap I yang tidak memenuhi
kasi yang telah mendapatkan pengakuan persyaratan terkait dengan legalitas
dari Komisi ISPO. dan waktu penyelesaiannya (lebih dari
b) Lembaga sertifikasi, setelah menerima enam bulan) tidak dapat diprediksi
permohonan sertifikasi dari perusahaan harus dilaporkan kepada Komisi ISPO.
Sebelum melaksanakan audit tahap II
perkebunan, melakukan penelitian atas
(on site audit), lembaga sertifikasi wajib
kelengkapan dan kebenaran dokumen
menyampaikan pengumuman publik
(document review).
melalui Sekretariat Komisi ISPO p­ aling
c) Apabila dianggap belum lengkap, doku- kurang 30 hari sebelum pelaksanaan
men dikembalikan kepada perusahaan audit; b) tahap II meliputi penilaian ter-
perkebunan untuk dilengkapi. hadap semua dokumen yang digunakan
d) Apabila dokumen lengkap dan benar, perusahaan perkebunan; penerapan
perusahaan perkebunan membuat kon- prinsip dan kriteria di kebun dan usaha
trak kerja dengan lembaga sertifikasi pengolahan; kompetensi dari petugas
meliputi audit tahap I, audit tahap II, perusahaan perkebunan yang terlibat di
dan survailen. kebun dan usaha pengolahan; serta kon-
firmasi terhadap penerapan prinsip dan
e) Setelah perusahaan perkebunan mem-
kriteria dengan pemangku kepentingan.
buat kontrak kerja dengan l­ embaga ser­
tifikasi, lembaga sertifikasi melakukan f) Mengingat ISPO bersifat wajib (man-
hal-hal sebagai berikut: (1) verifikasi datory), temuan yang tidak memenuhi
terhadap kelengkapan dokumen. Dalam persyaratan (non-compliance/NC) tidak
waktu tujuh hari kerja, dokumen yang dapat ditoleransi sampai diperbaiki
tidak lengkap atau memenuhi syarat paling lama enam bulan sejak disepa­
akan dikembalikan untuk diperbaiki kati­nya hasil audit tahap II oleh kedua
dan dilengkapi; (2) apabila semua belah pihak.
doku­men telah lengkap dan memenuhi g) Apabila NC tidak dapat diselesaikan
persyaratan, ­ s elanjutnya dilakukan da­lam waktu enam bulan, audit lengkap
pe­nyu­sunan rencana audit serta dilaku­ wajib dilakukan lagi dan harus menggu­
kan audit tahap I dan tahap II; (3) nakan lembaga sertifikasi yang sama.
pelaksanaan audit tahap I diperlukan h) Hasil penilaian/laporan audit tahap II
paling kurang dua hari kerja dengan lembaga sertifikasi terhadap ­perusahaan
tiga orang auditor, sedangkan audit perkebunan yang telah memenuhi
tahap II dapat dilaksanakan paling persyaratan ISPO disampaikan k­ epada
kurang tiga hari kerja dengan empat Komisi ISPO melalui Sekretariat
orang auditor, tidak termasuk perjalanan Komisi ISPO paling lama dua bulan
auditor ke lokasi; (4) pelaksanaan audit se­jak penutupan audit (closing audit).
dilakukan sebagai berikut: a) tahap I (on
i) Sekretariat Komisi ISPO memverifikasi
site audit) meliputi penilaian terhadap
laporan audit yang disampaikan lembaga
ke­lengkapan dan kebenaran dokumen
sertifikasi dalam waktu dua bulan sejak
legalitas; sampel kebun dan usaha peng­
tanggal diterima surat permohonan se­
olahan yang akan dinilai pada tahap II;
suai dengan stempel pos. Apabila masih
titik kritis dari kebun dan usaha peng­
terdapat kekurangan, hasil verifikasi
olahan, seperti kebun dengan kawasan
disampaikan kepada lembaga sertifi-
lindung, tempat penyimpanan limbah
kasi untuk dilengkapi paling lama dua
bahan berbahaya dan beracun (B3),

Ermanto Fahamsyah dan ... | Sistem ISPO untuk Menjawab Tantangan ... | 73
minggu sejak tanggal penerimaan oleh usaha pengolahan, perlu dilakukan audit
lembaga sertifikasi. Jika terjadi keter- terhadap penambahan dimaksud untuk
lambatan dalam penyampaian laporan memperoleh perluasan sertifikat.
audit, lembaga sertifikasi harus dapat 7) Surveillance. Untuk memastikan perusahaan
menyampaikan alasannya secara tertulis. perkebunan menerapkan prinsip dan kriteria
j) Selanjutnya, laporan audit diteruskan ISPO secara konsisten, dilakukan surveil-
ke Tim Penilai ISPO untuk mendapat lance setiap tahun oleh lembaga sertifikasi
penilaian. penerbit sertifikat ISPO. Surveillance pertama
k) Tim Penilai ISPO melakukan penilaian dilakukan paling kurang 12 bulan terhitung
paling lama dua bulan sejak diterimanya pengakuan sertifikat oleh Komisi ISPO.
laporan audit dari Sekretariat Komisi 8) Kewajiban penerima sertifikat ISPO. Setelah
ISPO. Dalam melakukan penilaian mendapatkan pengakuan dari Komisi ISPO,
laporan audit, Tim Penilai ISPO dapat perusahaan perkebunan wajib:
mengumpulkan informasi dari berbagai a) Memelihara dan mempertahankan
sumber, antara lain beberapa pemangku penerapan prinsip dan kriteria ISPO
kepentingan yang terkait, seperti ma- secara konsisten dan konsekuen.
syarakat adat, asosiasi, pejabat pemerin­
b) Melakukan audit internal minimal satu
tah setempat, LSM setempat, dan
kali dalam setahun oleh auditor internal
karyawan perusahaan yang diaudit.
yang telah lulus pelatihan auditor ISPO.
l) Tim Penilai memberikan rekomen-
c) Bersedia dilakukan surveillance setiap
dasi terhadap perusahaan perkebunan tahun.
kepada Komisi ISPO untuk diberikan
pengakuan (approval). Perusahaan d) Melaporkan apabila ada perubahan yang
Perkebunan yang tidak memenuhi mendasar berkaitan dengan persyaratan
persyaratan ISPO ditolak dan diminta ISPO.
melakukan tindakan perbaikan serta e) Tidak melakukan kegiatan peremajaan di
mengajukan permohonan kembali. lahan sempadan sungai dan sekitar mata
air serta melakukan penanaman pohon
m) Komisi ISPO memberikan pengakuan
sesuai dengan peraturan perundang-
kepada perusahaan perkebunan yang
undangan di bidang Kehutanan.
memenuhi persyaratan ISPO dan diu-
mumkan kepada publik. 9) Masa berlaku sertifikat ISPO. Sertifikat
ISPO berlaku selama lima tahun. Perusahaan
n) Lembaga sertifikasi menerbitkan
perkebunan pemegang sertifikat ISPO harus
sertifikat ISPO atas nama perusahaan
mengajukan permohonan perpanjangan serti-
perkebunan bersangkutan paling lama
fikat kepada Komisi ISPO satu tahun sebe-
10 hari kerja sejak mendapatkan pe­
lum masa berlaku sertifikat ISPO berakhir.
ngakuan Komisi ISPO.
Sementara itu, tata cara sertifikasi ISPO
o) Sertifikat ISPO ditandatangani pimpinan
untuk usaha kebun plasma dan usaha kebun
lembaga sertifikasi yang bersangkutan swadaya secara umum hampir sama dengan yang
dan diakui (approved) oleh Direktur berlaku untuk perusahaan perkebunan. Perbedaan
Jenderal selaku Ketua Komisi ISPO. mendasar terletak pada Prinsip dan Kriteria ISPO
Apabila terdapat penambahan luas yang diberlakukan. Untuk usaha kebun plasma
area tanaman menghasilkan (perluasan terdiri atas (a) Legalitas Usaha Kebun Plasma; (b)
kebun milik sendiri), penambahan Manajemen Usaha Kebun Plasma; (c) Pengelo-
pasokan bahan baku dari kebun lain laan dan Pemantauan Lingkungan; (d) Tanggung
(usaha kebun swadaya dan usaha kebun Jawab terhadap Kesehatan dan Keselamatan
plasma yang telah memiliki sertifikat Kerja (K3) Petani; (e) Tanggung Jawab Sosial dan
ISPO), dan/atau peningkatan kapasitas Pemberdayaan Masyarakat; serta (f) Peningkatan

74 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


Usaha Secara Berkelanjutan. Sementara Prinsip Terakhir, lembaga sertifikasi menerbitkan serti-
dan Kriteria ISPO yang diberlakukan untuk usaha fikat ISPO.
kebun swadaya lebih sedikit apabila dibanding Sebagaimana dikemukakan pada para-
dengan perusahaan perkebunan dan usaha kebun graf sebelumnya, persoalan mendasar dalam
plasma, yaitu (a) Legalitas Usaha Kebun Swa- mekanisme kelembagaan ISPO terletak pada
daya; (b) Organisasi pekebun dan pengelolaan
mekanisme penyelenggaraan proses sertifikasi
usaha kebun swadaya; (c) Pengelolaan dan
ISPO yang dinilai sebagian pihak tidak indepen-
Pemantauan Lingkungan; serta (d) Peningkatan
den, transparan, akuntabel, dan kredibel. Selain
Usaha Secara Berkelanjutan (Peraturan Menteri
itu, tidak ada tanggung-gugat dari pelaksana
Pertanian Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015
audit dan penilaian akhir serta waktu yang lama
lampiran I. Hlm. 21–28).
dalam penentuan keputusan pemberian sertifikasi
Penyelenggaraan sertifikasi ISPO di Indo- ISPO. Adanya peran besar yang diberikan kepada
nesia selama ini dilakukan melalui Komisi ISPO Komisi ISPO dalam proses sertifikasi ISPO,
yang berkedudukan di bawah menteri pertanian yakni melalui sekretariat ISPO yang berada
dan bertanggung jawab kepadanya. Komisi ISPO dalam naungan Kementerian Pertanian, juga
dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal Perkebu- dinilai sebagian pihak menjadi hambatan praktis
nan Kementerian Pertanian. Untuk menjalankan bagi pelaku dan lembaga sertifikasi ISPO yang
tugasnya, Komisi ISPO dibantu Tim Penilai seharusnya bersifat independen (Policy Brief
dan Sekretariat. Keanggotaan Komisi ISPO Rancangan Peraturan Presiden tentang Penguatan
terdiri atas pejabat setingkat eselon I dari Instansi
ISPO, 25 Oktober 2016, 2).
teknis dan pemangku kepentingan lainnya yang
terkait dengan pembangunan perkebunan kelapa Oleh karena itu, harus ada penyempurnaan
sawit di Indonesia. Tugas dan susunan keang- pada mekanisme kelembagaan dalam penyeleng-
gotaan Komisi ISPO ditetapkan dalam Keputusan garaan sertifikasi ISPO. Berdasarkan pada hasil
Menteri Pertanian. Sementara itu, Tim Penilai kajian yang dilakukan Kementerian Koordina-
dipimpin seorang pejabat setingkat eselon II di tor Perekonomian, terdapat usul penguatan
bidang perkebunan selaku ketua tim penilai dan skema kelembagaan ISPO. Perubahan mendasar
berkedudukan di bawah Ketua Komisi ISPO serta dalam usul skema tersebut adalah pelaksanaan
bertanggung jawab kepadanya. Keanggotaan Tim sertifikasi ISPO akan dilakukan sepenuhnya dan
Penilai terdiri atas pejabat setingkat eselon II dari secara independen oleh lembaga sertifikasi ISPO
instansi pemerintah dan pemangku kepentingan sesuai dengan skema yang telah diatur dan/atau
lainnya yang terkait dengan perkebunan kelapa ditetapkan Komite Akreditasi Nasional. Selain
sawit berkelanjutan. Tugas dan susunan keang- itu, terdapat pemantau independen yang bertugas
gotaan Tim Penilai ditetapkan dalam Keputusan memantau pelaksanaan sertifikasi ISPO.
Direktur Jenderal Perkebunan sebagai Ketua Ketiga, substansi prinsip, kriteria, dan indi-
Komisi ISPO (Peraturan Menteri Pertanian No- kator dari sistem sertifikasi ISPO.
mor 11/Permentan/OT.140/3/2015 lampiran I,
Hlm. 29). Menurut Peraturan Menteri Pertanian No-
mor 11/Permentan/OT.140/3/2015, Prinsip dan
Apabila memperhatikan mekanisme Kriteria ISPO untuk perusahaan perkebunan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri terdiri atas:
Pertanian Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015,
tahapan proses sertifikasi ISPO dimulai dengan a) Perusahaan Perkebunan yang melaku-
audit yang dilakukan lembaga sertifikasi. Hasil kan usaha budi daya perkebunan dan
audit dari lembaga sertifikasi diverifikasi kem- terintegrasi dengan usaha pengolahan
bali oleh Sekretariat Komisi ISPO. Setelah itu, hasil Perkebunan, yaitu (1) legalitas
dilakukan penilaian di tingkat Tim Penilai ISPO. usaha perkebunan; (2) manajemen
Setelah Tim Penilai memberikan rekomendasi, perkebunan; (3) perlindungan terhadap
selanjutnya dilakukan pembahasan di tingkat pemanfaatan hutan alam primer dan
Komisi ISPO untuk mendapatkan pengakuan. lahan gambut; (4) pengelolaan dan

Ermanto Fahamsyah dan ... | Sistem ISPO untuk Menjawab Tantangan ... | 75
pemantauan lingkungan; (5) tanggung pengelolaan dan pemantauan lingkungan; serta
jawab terhadap pekerja; (6) tanggung (d) peningkatan usaha secara berkelanjutan (Per-
jawab sosial dan pemberdayaan eko- aturan Menteri Pertanian Nomor 11/­Permentan/
nomi masyarakat; serta (7) peningkatan OT.140/3/2015, lampiran I, , hlm. 25).
usaha secara berkelanjutan. ISPO dinilai sebagian pihak lebih mencer-
b) Perusahaan perkebunan yang ­melakukan minkan kepentingan nasional dan terlihat sangat
usaha budi daya perkebunan, yaitu (1) normatif sehingga rentan disalahgunakan. Di
legalitas lahan perkebunan; (2) manaje- lain pihak, ISPO tidak memiliki kekuatan untuk
men perkebunan; (3) perlindungan ter- memengaruhi pasar dan konsumennya karena
hadap pemanfaatan hutan alam primer dianggap sebagai kebijakan lokal dan memiliki
dan lahan gambut; (4) pengelolaan dan kelemahan dalam prinsip dan kriterianya. Prinsip
pemantauan lingkungan; (5) tanggung dan kriteria yang dibuat dinilai belum mampu
jawab terhadap pekerja; (6) tanggung menjawab secara tuntas berbagai isu dan persoal­
jawab sosial dan pemberdayaan ­ekonomi an ekonomi, sosial-budaya, serta legalitas dalam
masyarakat; serta (7) peningkatan usaha pengelolaan dan pengembangan perkebunan ke-
secara berkelanjutan. lapa sawit di Indonesia (Policy Brief Rancangan
Peraturan Presiden tentang Penguatan ISPO, 25
c) Perusahaan perkebunan yang ­melakukan
Oktober 2016, , hlm. 2).
usaha pengolahan hasil perkebunan,
yaitu (1) legalitas lahan perkebunan; (2) Sebagai solusi untuk menjawab ­permasalahan
manajemen perkebunan; (3) pengelo­ tersebut, perlu dilakukan penyempurnaan terha­
laan dan pemantauan lingkungan; (4) dap substansi prinsip, kriteria, dan indikator serti-
tanggung jawab terhadap pekerja; (5) fikasi ISPO. Melalui penyempurnaan tersebut,
tanggung jawab sosial dan pemberda­ diharapkan prinsip, kriteria, dan i­ndikator tidak
yaan ekonomi masyarakat; serta (6) hanya memenuhi standar nasional ­Indonesia,
peningkatan usaha secara berkelanjutan. tetapi juga standar yang berlaku secara internasi-
onal. Dengan demikian, kepatuhan dan penerapan
d) Perusahaan perkebunan yang melaku- berbagai aspek ekonomi, sosial-budaya, dan
kan usaha produksi minyak kelapa ekologi, serta kepatuhan terhadap peraturan
sawit untuk energi terbarukan wajib perundang-undangan dapat terpenuhi. Misalnya,
menghitung emisi GRK yang pedoman penerapan konsep nilai konservasi tinggi (NKT)
perhitungannya diatur secara terpisah dan penerapan ketentuan free prior inform
(Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/ concern (FPIC). Prinsip dan Kriteria ISPO se-
Permentan/OT.140/3/2015, lampiran I, layaknya sudah mengadopsi konsep FPIC untuk
hlm.16–18). memungkinkan penyelesaian terhadap konflik di
Sementara itu, Prinsip dan Kriteria ISPO masyarakat/lapangan. Dalam menerapkan konsep
yang berlaku untuk usaha kebun plasma terdiri FPIC, perlu dipastikan adanya ­penyusunan prose-
atas (a) legalitas usaha kebun plasma; (b) manaje- dur komunikasi dan konsultasi dengan para pihak
men usaha kebun plasma; (c) pengelolaan dan beserta penunjukan petugas yang bertanggung
pemantauan lingkungan; (d) tanggung jawab ter- jawab untuk melakukan konsultasi dan komuni-
hadap kesehatan dan keselamatan kerja (k3) pe­ kasi dengan para pihak. Termasuk penggunaan
tani; (e) tanggung jawab sosial dan ­pemberdayaan bentuk dan bahasa yang tepat ­untuk informasi
masyarakat; serta (f) peningkatan usaha secara yang relevan, termasuk analisis dam­pak, pemba-
berkelanjutan (peraturan menteri pertanian nomor gian keuntungan yang diajukan, dan pengaturan
11/permentan/ot.140/3/2015, lampiran i, 21–22). secara hukum. Selanjutnya, kebi­jakan tentang
adapun prinsip dan kriteria ispo yang diberlaku- peng­gunaan api, yang masih diper­ bolehkan
kan untuk usaha kebun swadaya terdiri atas (a) sepan­jang dinilai sebagai cara yang efektif dengan
legalitas usaha kebun swadaya; (b) organisasi pe- tingkat kerusakan lingkungan yang paling sedikit
kebun dan pengelolaan usaha kebun swadaya; (c) untuk meminimalkan risiko serangan hama dan

76 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


penyebaran penyakit. Hal ini harus mempertim- pendirian koperasi atau kelompok usaha kebun
bangkan Peraturan P­ emerintah Nomor 4 Tahun swadaya; daftar anggota kelompok/koperasi;
2001, Peraturan Menteri ­Pertanian Nomor 98 serta surat kepemilikan tanah, yang antara lain
Tahun 2013, dan Peraturan Menteri Lingkungan berupa SHM, girik/letter C, akta jual-beli, dan
Hidup Nomor 10 Tahun 2010. Terakhir, kebijakan surat kepemilikan tanah yang sah lainnya untuk
untuk menghormati hak asasi manusia yang setiap anggota sesuai dengan peraturan di bidang
diko­munikasikan ke semua tingkatan pekerja pertanahan (Peraturan Menteri Pertanian Nomor
dan tingkatan operasi (Policy Brief Rancangan 11/Permentan/OT.140/3/2015, lampiran I, hlm.
Peraturan Presiden tentang Penguatan ISPO, 25 26).
Oktober 2016, hlm. 5). Namun, kenyataan di lapangan menunjuk-
Keempat, legalitas dan pembiayaan sertifikasi kan bahwa pelaku usaha terkadang tidak dapat
ISPO. Penyelenggaraan sistem sertifikasi ISPO se- memenuhi dokumen-dokumen legalitas yang
lama ini dinilai kurang berjalan maksimal karena dipersyaratkan. Misalnya, sebagian pelaku usaha
beberapa faktor, antara lain mengenai pemenuhan tidak mempunyai izin usaha dan/atau sertifikat
aspek legalitas dan masalah pembiayaan (Policy hak atas tanah atau izin usaha dan/atau sertifikat
Brief Rancangan Peraturan Presiden tentang hak atas tanah yang dimiliki tidak sesuai antara
Penguatan ISPO, 25 Oktober 2016, hlm. 3). yang tertuang dalam dokumen legalitas dan objek
yang ada.
Pelaku usaha perkebunan kelapa sawit
yang akan mengajukan permohonan sertifikasi Pelaku usaha perkebunan yang akan
ISPO harus melengkapi beberapa dokumen guna mengajukan sertifikasi ISPO, di samping harus
memenuhi aspek legalitas. Dokumen yang harus menyiapkan beberapa dokumen legalitas, mesti
di­leng­kapi perusahaan perkebunan adalah: (a) izin menyiapkan sejumlah biaya sertifikasi. Biaya
usaha perkebunan, seperti izin usaha perkebunan tersebut selama ini ditanggung sendiri oleh
(IUP), izin usaha perkebunan budi daya (IUP-B), pelaku usaha. Bahkan, sebagian pelaku usaha
izin usaha perkebunan pengolahan (IUP-P), surat mengeluhkan tingginya biaya sertifikasi ISPO.
pendaftaran usaha perkebunan (SPUP), izin tetap Pada akhirnya, aspek legalitas dan pem-
usaha budi daya perkebunan (ITUBP), izin usaha biayaan tersebut juga menjadi faktor yang
tetap usaha industri perkebunan (ITUIP), izin/per- menghambat dan/atau memperlambat berjalannya
setujuan prinsip menteri pertanian, serta izin usaha sertifikasi ISPO di Indonesia. Oleh karena itu,
perkebunan yang diterbitkan oleh Kepala BKPM harus segera dicarikan jalan keluarnya. Untuk
atas nama Menteri Pertanian; (b) hak atas tanah masalah aspek legalitas, pemerintah Indonesia
sesuai dengan peraturan di bidang ­pertanahan; dan para pemangku kepentingan lainnya harus
(c) izin lingkungan; serta (d) penetapan usaha lebih bekerja keras mencari pokok permasalahan
perkebunan Kelas I, Kelas II, atau Kelas III dari dan solusi terkait dengan lambatnya atau tidak
bupati/wali kota, gubernur, atau Direktur Jenderal dipenuhinya persyaratan dokumen legalitas oleh
sesuai dengan kewenangan (Peraturan Menteri pelaku usaha perkebunan. Untuk masalah pem-
Pertanian Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015, biayaan, pemerintah harus dapat merumuskan
lampiran I, hlm. 17). Untuk usaha kebun plasma, standar harga dan mencari alternatif pembiayaan
dokumen yang harus dilengkapi adalah dokumen untuk sertifikasi ISPO, terutama bagi pekebun
pembentukan atau pendirian usaha kebun plasma; plasma dan/atau pekebun swadaya.
salinan sertifikat ISPO kebun inti; daftar anggota Kelima, keberterimaan sertifikasi ISPO di
kelompok atau koperasi usaha kebun plasma; pasar global.
serta hak atas tanah berupa sertifikat hak milik
(SHM) untuk setiap anggota sesuai peraturan di Sertifikasi ISPO yang dilaksanakan sejak
bidang pertanahan (Peraturan Menteri Pertanian 2011 masih kurang diterima di pasar global. Hal
Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015, lampiran ini terjadi karena sertifikasi ISPO dinilai belum
I, hlm. 22). Selanjutnya, usaha kebun swa- menerapkan prinsip tata kelola yang baik, yang
daya harus melengkapi dokumen pembentukan/ meliputi transparansi, akuntabilitas, dan inde-
pendensi. Transparansi dan akuntabilitas yang

Ermanto Fahamsyah dan ... | Sistem ISPO untuk Menjawab Tantangan ... | 77
dimaksudkan adalah pelaksanaan sertifikasi ISPO dengan penyelenggaraan sustainable palm oil
seharusnya melibatkan masyarakat dan/atau tim di Indonesia. Konsep tersebut juga diharapkan
pemantau independen yang bertugas turut serta dapat menjadi instrumen untuk meningkatkan
memantau dan/atau mengawasi proses sertifikasi transparansi, akuntabilitas, responsibilitas,
ISPO. Sementara independen yang dimaksudkan independensi, kredibilitas, dan akseptabilitas
adalah proses sertifikasi seharusnya dilakukan dari sistem ISPO sebagai standar kelapa sawit
se­cara penuh oleh lembaga sertifikasi dengan nasional, baik di tingkat nasional, regional,
mengikuti skema yang telah ditetapkan dan/atau maupun ­internasional, yang dicerminkan dengan
diatur Komite Akreditasi Nasional. peningkatan keberterima­an produk sistem ISPO,
Untuk meningkatkan keberterimaan sertifi­ khususnya di pasar internasional. Yang tidak
kasi ISPO di pasar global, perlu dilakukan kalah penting, instrumen untuk memperbaiki
penyem­ purnaan, antara lain pengaturannya, tata kelola (good governance) dalam pengelo-
me­k anis­m e kelembagaan penyelenggaraan laan dan pengembangan kelapa sawit Indonesia
serti­­fikasi ISPO, serta substansi prinsip, kriteria, yang ditandai dengan peningkatan kepatuhan
dan indikator, seperti tertulis dalam Policy Brief dan penerapan terhadap semua aspek ekonomi,
Rancangan Peraturan Presiden tentang Penguatan sosial-budaya, dan ekologi, serta legalitas.
ISPO yang disusun oleh Kementerian K ­ oordinator
Perekono­mian (Policy Brief Rancangan Peraturan PUSTAKA ACUAN
Presiden tentang Penguatan ISPO, 25 Oktober Filstead, W. J. (1978). Qualitative method: A needed
2016, 3). Yang tidak kalah penting, pemerintah perspective in evaluation research. Dalam
Indonesia bersama-sama pemangku kepentingan Thomas D. Cook & Charles S. Reichard
lainnya harus melakukan promosi dan upaya (ed.), Qualitative and Quantitative Research
in Evaluation Research, 38. London: Sage
untuk me­ning­katkan keberterimaan sertifikasi
Publications.
ISPO di pasar global.
Friedman, L. M. (1984). American law. United States
of America: W.W. Norton & Company.
SIMPULAN Friedman, L. M. (2001). Hukum Amerika: Sebuah
Berdasarkan pada pembahasan di atas, dapat pengantar (American Law: An Introduction, 2nd
Edition). Diterjemahkan oleh Wishnu Basuki.
disimpulkan bahwa ada tiga aspek yang harus di- Jakarta: Tatanusa.
rumuskan dalam rangka penguatan sistem ISPO.
Gillespie, P. & Harjanthi, R. S. (2 November 2012).
Pertama, aspek substansi hukum. Pengaturan ISPO, RSPO: Two sides of the same coin? The
sistem ISPO harus ditingkatkan dari peraturan Jakarta Post.
menteri pertanian menjadi peraturan presiden. Hidayat & Samekto. (2007). Kajian Kritis Penegakan
Peraturan presiden ini diharapkan dapat menjadi Hukum Lingkungan di Era Otonomi Daerah.
payung hukum yang lebih kuat dalam penyeleng- Cet. I. Semarang: Badan Penerbitan Universitas
garaan sistem ISPO. Kedua, aspek aparatur Diponegoro.
hukum. Mekanisme kelembagaan penyelengga- Kospa, H. S. D. (Desember 2016). Konsep Perkebunan
raan sertifikasi ISPO harus disempurnakan dan Kelapa Sawit Berkelanjutan. Jurnal Tekno
Global, 5(1), 1–10.
dikuatkan. Ketiga, aspek budaya hukum. Harus
Kementerian Pertanian Republik Indonesia. (2015).
ada persamaan pemahaman terkait dengan definisi
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/Per-
dan konsep sustainability dalam pengelolaan dan mentan/OT.140/3/2015 tentang Sistem Serti-
pengembangan kelapa sawit Indonesia. fikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia
Penguatan sistem ISPO melalui perumusan (Indonesian Sustainable Palm Oil Certification
konsep yang berangkat dari ketiga aspek ­tersebut System/ISPO). Berita Negara No. 432 Tahun
2015. Jakarta: Kementerian Pertanian.
diharapkan dapat melahirkan suatu konsep
Kementerian Koordinator Perekonomian Republik
yang nantinya dapat dijadikan instrumen yang
Indonesia. (2016, 25 Oktober). Policy brief ran-
dapat menjawab segala hambatan, masalah, cangan peraturan presiden tentang­penguat­an
tan­tangan, dan tuntutan krusial dalam kaitan ISPO. Jakarta: Kementerian K ­ oordinator
Perekonomian.

78 | Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.1, Juni 2017 


Marin-Burgos, V., Clancy, J. S., & Lovett, J. C. (2015). Sahide, M. A. K., Burns, S., Wibowo, A., Nurroch-
Contesting legitimacy of voluntary sustainabil- mat, D. R., & Giessen, L. (December 2015).
ity certification schemes: Valuation languages Towards state hegemony over agricultural cer-
and power asymmetries in the Roundtable on tification: From voluntary private to mandatory
Sustainable Palm Oil in Colombia. Ecological state regimes on palm oil in Indonesia. Jurnal
Economics. 117, 303–313. Manajemen Hutan Tropis, 21(3), 162–171.
Marzuki, P. M. (2005). Penelitian hukum. Jakarta: Schouten, G. & Glasbergen, P. (2012). Private multi-
Kencana. stakeholder governance in the agricultural
Republik Indonesia. (1945). Undang-Undang Dasar market place: An analysis of legitimization
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. processes of the roundtables on sustainable
palm oil and responsible soy. International
_____. (2007). Undang-Undang No. 25 Tahun 2007
Food and Agribusiness Management Review,
tentang Penanaman Modal, LN No. 67 Tahun
15, Special Issue B.
2007, TLN No. 4724.
Sidharta, B. A. (2000). Refleksi tentang struktur ilmu
_____. (2014). Undang-Undang No. 3 Tahun 2014
hukum. Cet. II. Bandung: Mandar Maju.
tentang Perindustrian, LN. No. 4 Tahun 2014,
TLN No. 5492. Soekanto, S. & Mahmudji, S. (2001). Penelitian
hukum normatif suatu tinjauan singkat. Jakarta:
_____. (2014) Undang-Undang No. 39 Tahun 2014
PT Raja Grafindo Persada.
tentang Perkebunan, LN No. 308 Tahun 2014,
TLN No. 5613. Soekanto, S. (2006). Pengantar penelitian hukum.
Jakarta: UI-Press.
RSPO. (2013). Principles and criteria for the produc-
tion of sustainable palm oil. Wijaya, A. & Glasbergen, P. (2016). Toward a new
scenario in agricultural sustainability certifica-
_____. (2016a). RSPO Factsheet.
tion? The response of the Indonesian national
_____. (2016b) RSPO Impact Report 2016. government to private certification. Journal of
Environment & Development, 25(2), 219–246.

Ermanto Fahamsyah dan ... | Sistem ISPO untuk Menjawab Tantangan ... | 79

You might also like