Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 10

WANITA YANG DIHALALKAN DAN YANG DIHARAMKAN (UNTUK

DINIKAHI)

Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫ت َو َبنَاتُ اْلَخِّ َو َبنَاتُ َو َخ َاَلت ُ ُكم َو َع َّمات ُ ُكم َوأَخ ََوات ُ ُكم َو َبنَات ُ ُكم أ ُ َّم َهاتُ ُكم َعلَي ُكم ُح ِّر َمت‬ ِّ ‫الَّلتِّي َوأ ُ َّم َهات ُ ُك ُم اْلُخ‬
َّ
‫ضعنَ ُكم‬ َ َ
َ ‫ضا َع ِّة ِّمنَ َوأخ ََوات ُ ُكم أر‬ َ ‫الر‬ ُ
َّ ُ‫سائِّ ُكم َوأ َّم َهات‬ َّ ‫ور ُكم فِّي‬
َ ِّ‫الَّلتِّي َو َربَا ِّئبُ ُك ُم ن‬ ِّ ‫سائِّ ُك ُم ِّمن ُح ُج‬ َ ِّ‫الَّلتِّي ن‬ َّ ‫دَخَلتُم‬
‫اْلُختَي ِّن بَينَ ت َج َمعُوا َوأن أص ََّلبِّ ُكم ِّمن الذِّينَ أبنَا ِّئ ُك ُم َو َح ََّلئِّ ُل َعلي ُكم ُجنَا َح فَ ََّل ِّب ِّه َّن دَخَلتُم ت َ ُكونُوا لم فَإِّن بِّ ِّه َّن‬
َ َ َ َّ َ َ
‫ف قَد َما إِّ ََّل‬ َ َ‫سل‬
َ ۗ ‫ّللاَ إِّ َّن‬
َّ َ‫ورا َكان‬ ً ُ‫غف‬َ ‫﴿ َر ِّحي ًما‬٢٣﴾ ُ‫صنَات‬ َ ‫اء ِّمنَ َوال ُمح‬ َ ِّ‫َاب ۖ أَي َمانُ ُكم َم َلكَت َما إِّ ََّل الن‬
ِّ ‫س‬ ِّ َّ
َ ‫ّللا ِّكت‬
ُ َٰ
‫صنِّينَ ِّبأَم َوا ِّل ُكم ت َبتَغُوا أَن ذَ ِّل ُكم َو َرا َء َما لَ ُكم َوأ ِّح َّل ۚ َعلَي ُكم‬ ِّ ‫سافِّ ِّحينَ غَي َر ُمح‬ َ ‫فَآتُوه َُّن ِّمن ُه َّن ِّب ِّه است َمت َعتُم فَ َما ۚ ُم‬
‫وره َُّن‬ ُ
َ ‫ضة أ ُج‬ ً َ ‫فَ ِّري‬

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;


saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusuimu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang ada dalam pemeliharaanmu dari
isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan isterimu itu
(dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada
masa lampau sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan
(diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang
kamu miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.
Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan
hartamu untuk dikawini, bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu
nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan
sempurna), sebagai suatu kewajiban…” [An-Nisaa’/4: 23-24]

Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahiihnya dari Ibnu ‘Abbas, “Tujuh (golongan


yang) dihalalkan untuk dinikahi karena alasan nasab, dan tujuh (golongan) karena
alasan mushaharah (semenda/ ikatan perkawinan).” Kemudian dia membaca, ‫ُح ِّر َمت‬
‫“ أ ُ َّم َهات ُ ُكم َعلَي ُكم‬Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu…”[1]

Al-Hafizh berkata dalam al-Fat-h: “Dalam riwayat ath-Thabrani dari jalur selain
maula Ibnu ‘Abbas, dari Ibnu ‘Abbas, disebutkan di akhir hadits tersebut, ‘…
kemudian dia membaca: ‫‘ أ ُ َّم َهات ُ ُكم َعلَي ُكم ُح ِّر َمت‬Diharamkan atas kamu (mengawini)
ibu-ibu-mu,’ hingga ayat: ُ‫ت َو َبنَاتُ اْلَخِّ َوبَنَات‬ ِّ ‫‘ اْلُخ‬Anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan.’ Kemudian mengatakan: ‘Inilah senasab.’ Kemudian membaca,
‫ضعنَ ُكم الَّتِّي َوأ ُ َّم َهاتُ ُك ُم‬
َ ‫‘ أَر‬Ibu-ibumu yang menyusuimu, saudara perempuan
sepersusuan,’ hingga ayat, ‫‘ اْلُختَي ِّن َبينَ تَج َمعُوا َوأَن‬Dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,’ dan membaca: َ‫ابَآ ُؤ ُكم َء نَ َك َح َمـا ت َن ِّك ُحـوا َوَل‬
َ‫آء ِّمن‬
ِّ ‫س‬
َ ِّ‫‘ الن‬Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh
ayahmu.’ (An-Nisaa’/4: 22), lalu mengatakan, ‘Inilah semenda.’”[2]

Al-Hafizh berkata dalam al-Fat-h: “Menyebut sepersusuan dengan semenda (shahr)


adalah boleh, demikian pula isteri orang lain. Mereka semua (haram untuk dinikahi
selamanya), kecuali menghimpun di antara dua saudara dan isteri orang lain.

Termasuk dalam kategori orang-orang yang telah disebutkan ialah mantan isteri kakek,
dan nenek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas. Demikian pula nenek dari pihak ayah,
dan cucu perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah. Demikian pula cucu
perempuan dari anak perempuan, dan anak perempuan keponakan perempuan dari
saudara perempuan dan seterusnya ke bawah. Demikian pula anak perempuan
keponakan perempuan dari saudara laki-laki, anak perempuan keponakan laki-laki
dari saudara laki-laki, saudara perempuan, dan bibi (dari pihak ayah) dan seterusnya
ke atas. Demikian pula bibi ibu, baik dari pihak bapak maupun ibunya, dan seterusnya
ke atas. Demikian pula bibi bapak (dari pihak ibu), nenek isteri dan seterusnya ke atas,
dan anak perempuan dari anak tiri perempuan dan seterusnya ke bawah. Demikian
pula anak perempuan dari anak tiri laki-laki, isteri cucu laki-laki dari anak laki-laki
dan cucu laki-laki dari anak perempuan, serta meng-himpun antara seorang
perempuan dengan bibinya, baik dari pihak ayah maupun ibu.”[3]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Adapun wanita-wanita yang


diharamkan karena nasab, maka ketetapannya bahwa semua kerabat seorang pria dari
nasab adalah haram atasnya; kecuali anak-anak perempuan pamannya, baik dari pihak
bapak maupun ibu, dan anak-anak perempuan bibinya, baik dari pihak bapak maupun
ibu. Keempat golongan inilah yang dihalalkan oleh Allah kepada Rasul-Nya dengan
firman-Nya:

‫ي أَيُّ َها يَا‬ ُّ ِّ‫الَّلتِّي أَز َوا َجكَ لَكَ أَحلَلنَا إِّنَّا النَّب‬ َّ َ‫ور ُه َّن آتَيت‬ َ ‫ّللاُ أَفَا َء ِّم َّما َي ِّمينُكَ َملَكَت َو َما أ ُ ُج‬
َّ َ‫ت َعلَيك‬ِّ ‫َع ِّمكَ َوبَنَا‬
‫ت‬
ِّ ‫ت َع َّماتِّكَ َو َبنَا‬ ِّ ‫ت خَالِّكَ َو َبنَا‬ِّ ‫َاَلتِّكَ َو َبنَا‬ َّ َ‫س َها َو َه َبت ِّإن ُمؤ ِّمنَةً َوام َرأَة ً َم َعكَ هَا َجرن‬
َ ‫الَّلتِّي خ‬ َ ‫ِّإن ِّللنَّ ِّبي ِّ ن‬
‫َف‬
َ
َ‫ي أ َراد‬ َ
ُّ ِّ‫صة يَستَن ِّك َح َها أن النَّب‬ ً َ ‫ُون ِّمن لَكَ خَا ِّل‬ ِّ ‫ال ُمؤ ِّمنِّينَ د‬

‘Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah
kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa
yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan
(demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak
perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara
laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut
hijrah bersamamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi
kalau Nabi mau mengawininya sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua
orang mukmin…’” [Al-Ahzaab/33: 50]

Jadi, Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalalkan bagi Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa


sallam, dari wanita-wanita itu, empat golongan; dan Allah tidak menjadikan hal itu
sebagai kekhususan bagi beliau sehingga tidak berlaku untuk kaum mukminin lainnya.
Kecuali wanita yang menghibahkan dirinya (menawarkan diri untuk dinikahkan),
maka Dia menjadikan hal ini sebagai kekhususannya. Beliau boleh menikahi wanita
yang menghibahkan dirinya tanpa mahar, dan ini tidak berlaku untuk selain beliau;
berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.”[4]

Kemudian, Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Adapun yang berkaitan dengan


wanita yang diharamkan karena semenda, maka semua wanita semenda halal baginya
kecuali empat golongan. Dan ini bertolak belakang dengan sanak famili, di mana
keseluruhannya haram untuk dinikahi kecuali empat golongan.

Kaum kerabat kedua pasangan suami-isteri semuanya halal, kecuali empat golongan,
yaitu mantan isteri ayah, mantan isteri anak laki-laki, ibu isteri (mertua), dan
anak-anak isteri. Diharamkan atas kedua pasangan suami-isteri (untuk memihak)
orang tua dan anak-anak masing-masing.

Diharamkan atas laki-laki menikahi ibu isterinya; termasuk nenek isteri dari pihak ibu
dan ayah serta seterusnya ke atas. Ia juga diharamkan menikahi anak perempuan
isterinya, yaitu anak tiri dan cucu perempuan dari anak perempuan isterinya serta
seterusnya ke bawah. Juga anak perempuan dari anak tiri perempuan pun adalah
haram.

Ia diharamkan menikah dengan isteri ayahnya dan seterusnya ke atas, dan isteri anak
laki-lakinya serta seterusnya ke bawah.

Keempat golongan itulah yang diharamkan dalam Kitabullah karena semenda.


Keempat golongan itu diharamkan dengan akad; kecuali anak tiri, maka ia tidak
diharamkan hingga (kecuali) sang pria telah mencampuri ibunya.

Adapun anak-anak perempuan dari kedua wanita berikut ini dan (anak-anak
perempuan dari) ibunya, maka tidak diharamkan. Ia boleh menikahi anak perempuan
isteri ayahnya [*] dan (anak perempuan dari isteri) anak laki-lakinya [**] berdasarkan
kesepakatan ulama; sebab dia bukan isteri. Berbeda halnya dengan anak perempuan
tiri, karena anak dari anak tiri adalah cucu tiri. Begitu juga anak perempuan ibu isteri
(ibu mertua) tidak diharamkan, [***] karena dia bukan ibu yang sesungguhnya.
Karena itu kalangan fuqaha mengatakan: ‘Anak-anak perempuan dari wanita-wanita
yang diharamkan adalah diharamkan -kecuali anak-anak perempuan bibi dari pihak
bapak dan dari pihak ibu- begitu juga ibu isteri, dan mantan isteri ayah dan anak juga
diharamkan.’ Dia menggolongkan anak perempuan dari anak tiri perempuan sebagai
wanita yang diharamkan; namun tidak memberlakukan hal tersebut pada anak-anak
ketiga wanita di atas. Inilah yang tidak saya ketahui ada perselisihan di dalamnya.”[5]

Al-Bukhari meriwayatkan bahwa ‘Abdullah bin Ja’far meng-himpun antara puteri


‘Ali dan isteri ‘Ali.

Ibnu Sirin berpendapat tidak mengapa. Sedangkan al-Hasan semula memakruhkannya,


kemudian berpendapat tidak mengapa.[6]

Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas, bahwa ia mengatakan: “ ُ‫صنَات‬


َ ‫آء ِّمنَ َوال ُمح‬ ِّ ‫س‬
َ ِّ‫الن‬
َّ
(An-Nisaa’/4: 24), para wanita yang bersuami lagi merdeka adalah haram, ‫َملَكَت َمـا إَِّل‬
‫‘ أَي َمانُ ُكم‬Kecuali budak-budak yang kamu miliki,’ (An-Nisaa’/4: 24). Ia berpendapat,
tidak mengapa seseorang mengambil hamba sahaya wanitanya dari hamba sahaya
laki-lakinya.”

Al-Hafizh berkata dalam al-Fat-h: “Kebanyakan yang dimaksud dengan muhshanaat


ialah para wanita yang bersuami, yakni bahwa mereka adalah haram, dan yang
dimaksud dengan pengecualian dalam firman-Nya, َّ‫‘ أَي َمانُ ُكم َملَكَت َما ِّإَل‬Kecuali
budak-budak yang kamu miliki,’ ialah para tawanan wanita; jika mereka bersuami,
maka mereka halal bagi siapa yang menawannya.”[7]

Diharamkannya Anak Tiri Perempuan Dan Menghimpun Dua Wanita Bersaudara.

َّ ‫ور ُكم فِّي‬


‫الَّلتِّي َو َربَائِّبُ ُك ُم‬ ِّ ‫سائِّ ُك ُم ِّمن ُح ُج‬ َّ ‫ِّب ِّه َّن دَخَلتُم تَ ُكونُوا لَم فَإِّن ِّب ِّه َّن دَخَلتُم‬
َ ِّ‫الَّلتِّي ن‬

“… Dan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum ber-campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan)…” [An-Nisaa’/4: 23]

Menurut Ibnu ‘Abbas Radhyallahu anhu, (yang dimaksud dengan) dukhul


(mencampuri), masis dan lamas (menyentuh) ialah jima’ (bersetubuh). [8]

Al-Bukhari meriwayatkan dari Zainab, dari Ummu Habibah Radhiyallahu anhuma, ia


mengatakan: “Aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau menginginkan puteri
Abu Sufyan?’ (Dalam sebuah riwayat: ‘Nikahilah saudara perempuanku, puteri Abu
Sufyan’). Beliau menjawab: ‘Aku akan berbuat apa?’ Aku mengatakan: ‘Engkau
menikahinya.’ Beliau bertanya: ‘Apakah engkau suka?’ Aku menjawab: ‘Aku tidak
cemburu kepadamu, dan wanita yang paling aku sukai menyertaiku bersamamu ialah
saudara perempuanku.’ Beliau bersabda: ‘Ia tidak halal untukku.’ Aku mengatakan:
‘Aku mendapat kabar bahwa engkau tengah meminang.’ Beliau bertanya: ‘Puteri
Ummu Salamah maksudnya?’ Aku menjawab: ‘Ya.’ Beliau mengatakan: ‘Seandainya
dia bukan anak tiriku, dia tetap tidak halal untukku; aku dan ayahnya sama-sama
disusui oleh Tsuwaibah. Oleh karena itu, jangan menawarkan puteri-puteri kalian dan
saudara-saudara perempuan kalian kepadaku.'”[9]

Menurut al-Hafizh rahimahullah, yang dimaksud dengan rabibah adalah anak


perempuan isteri (anak tiri). Kemudian dia mengatakan: ‘Abdurrazzaq, Ibnul Mundzir
dan selainnya mengatakan dari jalur Ibrahim bin ‘Ubaid dari Malik bin Aus. Ia
mengatakan: “Aku mempunyai isteri yang sudah melahirkan anak untukku. Ketika dia
mati, aku melihat di pangkuannya. Lalu ketika aku bertemu ‘Ali bin Abi Thalib, dia
bertanya: ‘Apa yang menimpamu?’ Aku pun menceritakan kepadanya. Dia bertanya:
‘Apakah dia mempunyai anak wanita (yakni dari pria selain kamu)?’ Aku menjawab:
‘Ya.’ Dia bertanya: ‘Apakah ia dalam pengasuhanmu?’ Aku menjawab: ‘Tidak, ia di
Tha-if.’ Dia mengatakan: ‘Nikahilah!’ Aku bertanya: ‘Lalu bagaimana dengan
firman-Nya, ‫‘ َو َربَـائِّبُ ُكم‬Dan anak-anak perempuan isterimu?’ Dia menjawab: ‘Ia tidak
dalam pengasuhanmu.’” Atsar ini shahih dari ‘Ali Radhyallahu anhu.[10]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Pengharaman menghimpun
dua wanita bersaudara berdasarkan nash (teks) al-Qur-an; dan tidak boleh pula
(menggabungkan) antara wanita dengan bibinya dari pihak ayah dan antara wanita
dengan bibinya dari pihak ibu. Tidak boleh wanita yang lebih tua dinikahi setelah
saudara wanitanya yang lebih muda (dinikahi), atau sebaliknya. Karena telah
termaktub dalam hadits shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘aliahi wa sallam. melarang
hal itu. Diriwayatkan bahwa beliau bersabda:

‫طعتُم ذَلِّكَ فَعَلتُم إِّذَا أَنَّ ُكم‬ ِّ ‫أَر َح‬.


َ َ‫ام ُكم بَينَ ق‬

‘Jika kalian melakukan hal itu, maka kalian telah memutuskan ikatan kekerabatan di
antara kalian.’

Walaupun salah satu dari keduanya merelakan yang lainnya untuk dinikahi, tetap
tidak boleh. Sebab, tabi’at itu berubah-ubah. Karena itu, ketika Ummu Habibah
menawarkan kepada Nabi Shallallahu ‘aliahi wa sallam agar menikahi saudara
perempuannya, beliau bertanya kepadanya: ‘Apakah kamu suka?’ Ia menjawab: ‘Aku
tidak lagi sendirian, dan wanita yang paling berhak menyertaiku dalam kebajikan
adalah saudara perempuanku.’ Tapi beliau mengatakan: ‘Ia tidak halal bagiku.’
Dikatakan kepada beliau: ‘Kami berbincang-bincang bahwa engkau akan menikahi
gadis puteri Abu Salamah.’ Beliau menjawab:

‫ ِّلي َح َّلت لَ َما ِّحج ِّـري فِّي َر ِّبي َبتِّي ت َ ُكن لَولَم‬، ‫ضاعِّ ِّمنَ أ َ ِّخي ِّبنتُ فَإِّنَّ َها‬
َ ‫الر‬،
َّ َ ‫سلَ َمةَ أ َ َبا َوأ َ َباهَا أَر‬
‫ض َعتنِّي‬ َ
ُ‫لَ َهب أَبِّي أ ُ ُّم ث ُ َويبَة‬، َ‫ي ت َع ُرضنَ فََّل‬
َّ َ ‫ل‬ ‫ع‬
َ َّ
‫ن‬ ُ
‫ك‬ ‫ت‬
ِّ ‫َا‬ ‫ن‬‫ب‬
َ َ ‫َل‬‫و‬َ َّ
‫ن‬ ُ
‫ك‬ ‫ت‬
ِّ ‫ا‬ ‫َو‬
َ ‫خ‬َ ‫أ‬ .

‘Seandainya dia bukan anak tiriku yang berada dalam pengasuhanku, dia tetap tidak
halal bagiku; sebab dia adalah anak saudaraku sepersusuan. Aku dan ayahnya disusui
oleh Tsu-waibah, ibunda Abu Lahab. Oleh karena itu, janganlah menawarkan
anak-anak perempuan kalian atau saudara-saudara perempuan kalian kepadaku.’[11]
Dan hal ini disepakati oleh kalangan ulama.”[12]
Al-Bukhari meriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Rasulullah
Shallallahu ‘aliahi wa sallam melarang wanita dinikahi bersama bibinya, baik bibi
dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.”[13]

Diharamkan Dari Sepersusuan Sebagaimana Yang Diharamkan Dari Nasab:[14]


Al-Bukhari meriwayatkan bahwa ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, isteri Nabi
Shallallahu ‘aliahi wa sallam, mengabarkan kepada ‘Umrah binti ‘Abdurrahman
bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘aliahi wa sallam berada di sisinya dan dia
mendengar suara seorang pria yang meminta izin di rumah Hafshah. Ia mengatakan:
“Aku mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, ada orang yang meminta izin di rumahmu.’
Beliau mengatakan: ‘Aku melihatnya si fulan.’ Ternyata paman Hafshah dari
sepersusuan.” ‘Aisyah bertanya: “Seandainya si fulan masih hidup -paman ‘Aisyah
dari sepersusuan- apakah dia boleh menjengukku?” Beliau menjawab: “Ya,
sepersusuan diharamkan sebagaimana seperanakan.”[15]
Al-Bukhari juga meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia mengatakan: “Ditanyakan kepada
Nabi Shallallahu ‘aliahi wa sallam: ‘Mengapa engkau tidak menikahi puteri
Hamzah?’ Beliau menjawab: ‘Ia adalah puteri saudaraku sepersusuan.'”[16]

Masa Penyusuan.
Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu
‘aliahi wa sallam menemuinya, sedang di sisinya ada seorang pria, maka sepertinya
wajah beliau berubah (seperti) tidak menyukai hal itu. ‘Aisyah berkata, “Ia
saudaraku.” Beliau bersabda:

ُ ‫إِّخ َوانُ ُك َّن َما اُن‬، ‫ضا َعةُ فَإِّنَّ َما‬


َ‫ظرن‬ َ ‫الر‬
َّ َ‫ال َم َجا َع ِّة ِّمن‬.

“Perhatikanlah saudara-saudara kalian. Sebab penyusuan itu hanyalah (yang diberikan


sebagai penyelamatan dari) kelaparan.”[17]

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, Al-Muhlib berkata: “Diharamkannya sepersusuan


hanyalah (yang terjadi) di masa kecil hingga penyusuan itu mengatasi kelaparan.”
Abu ‘Ubaid berkata: “Arti “perhatikan apa yang ada pada saudara-saudara kalian…
dan seterusnya,” adalah bayi yang lapar, dan makanan yang mengenyangkannya
adalah susu dari penyusuan.” Sabda beliau: “Sesungguhnya penyusuan itu hanyalah
(yang diberikan sebagai) penyelamatan dari kelaparan”, maksudnya penyusuan yang
menetapkan keharaman, dan dihalalkan ‘Aisyah berdua dengannya adalah apabila
yang disusui itu masih bayi, di mana susu itu mengatasi kelaparannya. Di antara
hadits-hadits pendukungnya ialah hadits Ibnu Mas’ud: “Tidak ada penyusuan kecuali
apa yang dapat menguatkan tulang dan me-numbuhkan daging.”[18] Dan hadits
Ummu Salamah: “Tidak diharamkan dari sepersusuan kecuali yang mengenyangkan
usus-usus.”[19]

Kemudian, al-Hafizh v berkata: “Ini dapat dijadikan sebagai dalil bahwa sekali susuan
tidaklah menjadi haram, karena tidak menghilangkan rasa lapar.” Al-Hafizh
mengatakan tentang masa penyusuan. Dikatakan, tidak lebih dari usia dua tahun. Ini
adalah riwayat Wahb dari Malik, dan demikianlah pendapat jumhur (mayoritas
ulama). Argumen mereka adalah hadits Ibnu ‘Abbas: “Tidak ada penyusuan kecuali
dalam (usia) dua tahun.”[20]

Jumlah Susuan.
Para ulama berselisih tentang jumlah penyusuan yang menyebabkan haramnya
(pernikahan). Ada sejumlah hadits yang berbeda-beda dari Ummul Mukminin ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma, ada yang menyebutkan sepuluh kali, tujuh kali, dan lima kali
susuan; dan yang paling shahih adalah riwayat Muslim yang menyebutkan lima kali
susuan.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam riwayat Muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu
anhuma: “Di antara ayat al-Qur-an yang diturunkan ialah tentang sepuluh susuan yang
telah dikenal. Kemudian dihapuskan dengan lima susuan yang telah dikenal. Lalu
Rasulullah Shallallahu ‘aliahi wa sallam wafat, dan itulah yang dibaca.”[21]
Sedangkan dalam riwayat ‘Abdurrazzaq dengan sanad yang shahih dari ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan: “Tidak menyebabkan haram kurang dari lima
susuan yang dikenal.”[22] Imam Asy-Syafi’i berpendapat demikian. Ini pun termasuk
riwayat Ahmad dan pen-dapat Ibnu Hazm. Al-Baihaqi meriwayatkan dari Zaid bin
Tsabit dengan sanad yang shahih bahwa dia mengatakan: “Tidak menyebabkan haram
sekali susuan dan tiga kali susuan.” Hadits yang terkuat di antara hadits-hadits tentang
masalah ini ialah hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tentang lima kali susuan.
Adapun (maksud) hadits: “Tidak menyebabkan haram sekali susuan dan dua kali
susuan,” maka mungkin sekedar misal dari penyusuan yang kurang dari lima kali. Jika
tidak demikian, maka pengharaman dengan tiga kali susuan dan seterusnya hanyalah
diambil dari mafhum (konteks) hadits. Tetapi ini ditentang oleh mafhum hadits lain
yang diriwayatkan oleh Muslim, yaitu lima kali susuan.[23]

Menyusu Dari Air Susu.


Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahiihnya dari ‘Urwah bin az-Zubair, dari
‘Aisyah, dia bercerita kepadanya bahwasanya Aflah, saudara Abul Qu’ais, datang
untuk meminta izin kepadanya -ia adalah pamannya sepersusuan- setelah turun ayat
tentang hijab. ‘Aisyah berkata: “Tapi aku menolak memberi izin kepadanya. Ketika
Rasulullah Shallallahu ‘aliahi wa sallam datang, aku memberitahukan kepada beliau
tentang apa yang aku lakukan, maka beliau menyuruhku agar mengizinkannya
menemuiku.”

Dalam satu riwayat: “Sebab, dia adalah pamanmu. Semoga engkau diberkahi.”

Abul Qu’ais adalah suami wanita yang menyusui ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.[24]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin
Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z,
Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 5105), kitab an-Nikaah.
[2]. Fat-hul Baari (IX/154).
[3]. Fat-hul Baari (IX/155).
[4]. Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/62).
[*]. Yang dimaksud dengan isteri ayahnya di sini adalah yang selain ibu kandung-nya,
sedang anak perempuannya bukan yang terlahir dari pernikahan dengan ayahnya,
tetapi dengan laki-laki lain.-ed.
[**]. Yaitu yang terlahir dari pernikahan dengan laki-laki lain bukan dari pernikahan
dengan anak laki-lakinya, sebab anak perempuan dari anak laki-laki (cucu) haram
untuk dinikahi.-ed.
[***]. Maksudnya, tidak diharamkan selama-lamanya. Adapun selama dia masih
terikat pernikahan dengan isterinya, maka haram baginya untuk menikahinya, karena
adanya larangan menghimpun dua wanita yang bersaudara.-ed.
[5]. Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/62).
[6]. HR. Al-Bukhari (no. 5105) kitab an-Nikaah.
[7]. Fat-hul Baari (IX/154).
[8]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 25), dan lihat Fat-hul Baari (IX/157).
[9]. HR. Al-Bukhari (no. 5106) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1449) kitab ar-Radhaa’,
an-Nasa-i (no. 3284) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2056) kitab an-Nikaah, Ibnu
Majah (no. 1939) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 25954).
[10]. Fat-hul Baari (IX/158).
[11]. HR. Al-Bukhari (no. 5101) kitab an-Nikaah.
[12]. Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/62).
[13]. HR. Al-Bukhari (no. 5108) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1408) kitab an-Nikaah,
at-Tirmidzi (no. 1126) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3288) kitab an-Nikaah, Ibnu
Majah (no. 1929) kitab an-Nikaah, dan Ahmad (no. 7413).
[14]. HR. Al-Bukhari (no. 2645) kitab asy-Syahaadah, Muslim (no. 1444) kitab
ar-Radhaa’ah, an-Nasa-i (no. 3302) kitab an-Nikaah.
[15]. HR. Al-Bukhari (no. 5099) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1444) kitab
ar-Radhaa’.
[16]. HR. Al-Bukhari (no. 5099) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1446) kitab
ar-Radhaa’.
[17]. HR. Al-Bukhari (no. 5099) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1455) kitab
ar-Radhaa’.
[18]. Disebutkan al-Hafizh dalam al-Fat-h (IX/148).
[19]. HR. Ibnu Majah (no. 1946) kitab an-Nikaah, dari ‘Abdullah bin az-Zubair z, dan
dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih Ibni Majah (no. 1582) dan lihat
al-Irwaa’ (no. 2150).
[20]. HR. At-Tirmidzi (no. 1166) kitab ar-Radhaa’, Ibnu Majah (no. 1942) kitab
an-Nikaah, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih at-Tirmidzi (no. 919)
dan lihat al-Irwaa’ (no. 2047), serta Fat-hul Baari (IX/146).
[21]. HR. Muslim (no. 1452) kitab ar-Radhaa’.
[22]. Disebutkan oleh al-Hafizh dalam al-Fat-h (IX/147).
[23]. Fat-hul Baari (IX/147).
[24]. HR. Al-Bukhari (no. 2644) kitab asy-Syahaadah, Muslim (no. 1445) kitab
ar-Radhaa’ah, at-Tirmidzi (no. 1148) kitab ar-Radhaa’ah, an-Nasa-i (no. 3301) kitab
an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1948) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 23534).

Read more
https://almanhaj.or.id/3561-wanita-yang-dihalalkan-dan-yang-diharamkan-untuk-dini
kahi.html

Al-Qur’an tidak menentukan secara rinci tentang siapa yang dikawini, tetapi hal
tersebut diserahkan kepada selera masing-masing:

“Maka kawinilah siapa yang kamu senangi dari wanita-wanita.” (QS An-Nisa [4]: 3)
Meskipun demikian, Nabi Muhammad SAW menyatakan, biasanya wanita dinikahi
karena hartanya, atau keturunannya, atau kecantikannya, atau karena agamanya.
Jatuhkan pilihanmu atas yang beragama, (karena kalau tidak) engkau akan sengsara
(Diriwayatkan melalui Abu Hurairah).

Di tempat lain, Al-Qur’an memberikan petunjuk, bahwa Laki-laki yang berzina tidak
(pantas) mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang
musyrik; dan perempuan yang berzina tidak pantas dikawini melainkan oleh laki-laki
yang berzina atau laki-laki musyrik (QS Al-Nur [24): 3).

“Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau
dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali
pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan
bagi orang-orang mukmin.” (QS An-Nur: 3)

Walhasil, seperti pesan surat Al-Nur (24): 26, wanita-wanita yang keji adalah untuk
laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji. Dan
Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik
adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).

“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji
untuk perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan yang baik untuk laki-laki
yang baik pula, dan laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik (pula). Mereka
itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki
yang mulia (surga).” (QS An-Nur: 26)

Al-Qur’an merinci siapa saja yang tidak boleh dikawini seorang laki-laki.

“Diharamkan kepada kamu mengawini ibu-ibu kamu, anak-anakmu yang perempuan,


saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan,
saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusukan kamu, saudara perempuan sepesusuan,
ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri
yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan
sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan
juga bagi kamu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa
lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan
diharamkan juga mengawini wanita-wanita yang bersuami.” (QS Al-Nisa' [4]: 23-24)
Kalaulah larangan mengawini istri orang lain merupakan sesuatu yang dapat
dimengerti, maka mengapa selain itu --yang disebut di atas-- juga diharamkan? Di sini
berbagai jawaban dapat dikemukakan.

Ada yang menegaskan bahwa perkawinan antara keluarga dekat, dapat melahirkan
anak cucu yang lemah jasmani dan rohani, ada juga yang meninjau dari segi
keharusan menjaga hubungan kekerabatan agar tidak menimbulkan perselisihan atau
perceraian sebagaimana yang dapat terjadi antar suami istri.

Ada lagi yang memandang bahwa sebagian yang disebut di atas, berkedudukan
semacam anak, saudara, dan ibu kandung, yang kesemuanya harus dilindungi dari
rasa birahi. Ada lagi yang memahami larangan perkawinan antara kerabat sebagai
upaya Al-Qur'an memperluas hubungan antarkeluarga lain dalam rangka
mengukuhkan satu masyarakat. (Fathoni)

You might also like