Professional Documents
Culture Documents
Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa Kyai Jimat' Gaya Pakualaman Dengan Ilustrasi Wayang Dalam Manuskrip Skriptorium Pakualaman
Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa Kyai Jimat' Gaya Pakualaman Dengan Ilustrasi Wayang Dalam Manuskrip Skriptorium Pakualaman
Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa Kyai Jimat' Gaya Pakualaman Dengan Ilustrasi Wayang Dalam Manuskrip Skriptorium Pakualaman
ABSTRACT
This study discusses about historical aspects and inter relation between Pakualaman
‘s wayang purwa and a number of illustrations in the manuscripts. Pakualaman’s
wayang purwa is called Kyai Jimat, which changed and developed along the turn of
Pakualaman leadership until the era of seventh leadership. A number of Pakualaman’s
wayang purwa more influenced by a wayang illustrations on the manuscripts, such
as at the Serat Baratayuda, Serat Rama, Serat Lokapala, Sestradisuhul, Pawukon,
Sestra Ageng Adidarma, etc. The spesific was discovered through the form of design
of motif, colouring, and ornaments. According to iconographic aspects was discovered
through tatahan (carving), sunggingan (colouring), and symbolic. The creation of wayang
purwa ‘Kyai Jimat’ s Pakualaman not merely for the performance purposes. Most of the
characters that are made, is closely related to its narrative in literature text “scriptorium”
from Paku Alam I until Paku Alam VII. There are various assumption emerge that wayang
kulit made within Pakualaman style is not complete. Because its characters that is
created in Pakualaman, is only emphasize in pedagogy aspect that relates to highly
respectfully sestradi doctrin. Intertextuality aspect is important in order to reveal each
of its character existance; which will be further understood through the shape and style,
symbol that is found within the wayangs puppet.
Keywords: ‘Kyai Jimat’, Pakualaman wayang purwas style, manuscripts, inter relation,
iconography, intertextuality.
ABSTRAK
Tulisan ini membahas tentang sejarah dan inter relasi antara Wayang Purwa
Pakualaman dan sejumlah ilustrasi di dalam manuskrip. Wayang purwa Pakualaman
dikenal dengan Kyai Jimat, yang berubah dan berkembang sepanjang kepemimpinan
Pakualaman hingga era kepemimpinan ketujuh. Sejumlah Wayang Purwa Pakualaman
lebih banyak dipengaruhi oleh ilustrasi wayang pada manuskrip tersebut, seperti
di Serat Baratayuda, Serat Rama, Serat Lokapala, Sestradisuhul, Pawukon, Sestra
Ageng Adidarma, dan sebagainya. Spesifikasi tersebut ditemukan melalui bentuk
desain motif, pewarnaan, dan ornamen. Menurut aspek ikonografi, hal tersebut
ditemukan melalui tatahan (ukiran), sunggingan (mewarnai), dan simbolis. Dalam
penggunaannya, penciptaan Wayang Purwa ‘Kyai Jimat’s Pakualaman tidak hanya
untuk tujuan pertunjukan. Sebagian besar karakter yang dibuat, terkait erat dengan
1
Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30
narasinya dalam teks sastra “scriptorium” dari Paku Alam I sampai Paku Alam VII.
Atas dasar tersebut, ada anggapan bahwa wayang Kulit yang dibuat dengan gaya
Pakualaman tidaklah lengkap. Pasalnya, karakter yang dibuat di Pakualaman hanya
menekankan pada aspek pedagogi yang berhubungan dengan doktrin Sestradi. Oleh
karena itu, aspek intertekstualitas penting untuk saling mengungkap keberadaan
karakternya; yang selanjutnya akan dipahami melalui bentuk dan gaya, simbol yang
ditemukan di wayang wayang.
Kata kunci: Ikonografi, Inter relasi, Intertekstualitas, ‘Kyai Jimat’, Manuskrip, Wayang
purwa gaya Pakualaman.
2
Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa
3
Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30
4
Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa
pemerintahan Paku Alam I (1812-1829). tampak dari wanda Reca ini kurang lebih
Sepanjang penelitian yang dilakukan, mempunyai ciri bermuka menunduk,
dugaan sementara salah satu artefak mengenakan mahkota topong besar,
wayang yang dibuat pada masa Paku tangan bersedekap, berbadan kecil,
Alam I adalah wayang Bathara Guru. mengenakan busana seperti sarung pada
Menurut keterangan yang diberikan arca Siwa, dan terkadang di antara kedua
KRMT Mangunkusuma atau yang kaki terdapat mangkara (bdk. Sutrisno,
dikenal akrab dengan nama RM Tamdaru 1964: 16-17 dan Sutarno,dkk, 1979: 43).
Tjakrawerdaja, salah seorang cucu Dimungkinkan penamaan wanda Wali
Paku Alam VII ini menunjukkan tokoh untuk wayang yasan Paku Alam I ini
Bathara Guru dalam bentuk wayang didasarkan pada pemaknaan lain yang
sederhana dengan ciri pada plemahan dihubungkan juga dengan penggunaan
(bagian penghubung kaki pada wayang) simbol ‘warangka’ keris pada bagian
dibuat dengan pola warangka sebuah plemahan (kaki pada wayang). Istilah
keris. Hal ini dimaksudkan bahwa warangka selain bagian dari keris,
wayang Bathara Guru dibuat sebagai dapat dimaknai sebagai ‘pamomong’,
yasan (buatan) pertama Paku Alam ‘pelayan’ dengan imbuhan awalan di-
I untuk mengawali perkembangan dan akhiran –i sehingga menjadi kata
budaya baru di Kadipaten Pakualaman. diwrangkani yang dalam terjemahan
Menurut keterangan Tamdaru, wayang bahasa Indonesia menjadi ‘diemong’,
Bathara Guru gagrag Pakualaman ‘dilayani’ (lih. Poerwadarminta, 1939: 669).
mempunyai wanda Wali i. Wanda dapat Apabila dikaitkan dengan nama wanda
diterjemahkan tidak hanya melingkupi Wali, setidaknya merepresentasikan
penggambaran karakter atau suasana kepemimpinan Paku Alam I sebagai
batin tokoh wayang saja, namun dapat ‘pamomong nagari’, yaitu Kadipaten
memberikan peranan fungsional satu Pakualaman. Selain itu, dalam kaitan
tokoh (bdk. Soedarsono, 1997:289). dengan perwalian ini pula bahwa Paku
Penyebutan Bathara Guru dengan Alam I pernah mengemban tugas sebagai
wanda Wali dalam keterangan wanda ‘wali’ bagi G.R.M. Jarot pada tahun
wayang yang sejenis; yang selama ini 1814-1820 yang ketika itu bertahta
ditemukan, tampaknya hanya dipunyai sebagai Sultan Hamengku Buwana IV
oleh Kadipaten Pakualaman saja. (Albiladiyah, 1985: 44). Oleh karenanya,
Beberapa wanda wayang Bathara Guru penggunaan wanda wali ini sangat logis
yang biasa dikenal, misalnya untuk apabila ditilik dari aspek historisnya.
wanda wayang kulit gaya Yogyakarta Hingga kini, selain Bathara Guru,
adalah wanda Reca dan wanda Jimatii. tampaknya wujud wayang kulit purwa
Namun demikian, Bathara Guru wanda pada masa Paku Alam I belum ditemukan
Wali ini mempunyai kesamaan wujud lagi artefak lainnya di dalam lingkungan
dengan wujud Bathara Guru yang Kadipaten Pakualaman. Sekalipun
berwanda Reca. Karakteristik yang sebagai peletak dasar kebudayaan
5
Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30
6
Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa
7
Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30
8
Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa
seni ditujukan untuk para putra serta atribut wayang (lih. Sagio dan Samsugi,
sentana dalem di Kadipaten Pakualaman. 1991: 98). Tampaknya sunggingan
Dalam hal ini termasuk kawula Dalem semacam ini juga dekat dengan ilustrasi
atau masyarakat di sekitar Kadipaten pada teks manuskripnya, sehingga antara
Pakualaman. wujud boneka wayang yang diciptakan
pada era pemerintahan Paku Alam II
Pola Wayang Gagrag Pakualaman dengan ilustrasi wayang dalam naskah
Sepanjang Era Pemerintahan Paku sejamannya dikatakan sebanding.
Alam pada Setiap Generasinya Bagian yang penting pula dalam
Pada era pemerintahan Paku Alam kajian ini adalah sosok seniman atau
II, wayang diciptakan dengan pola acuan pujangga yang melahirkan karya baik
wayang gaya Mataraman dengan bentuk dalam ilustrasi maupun gatra wayang.
dasar (dalam istilah pedhalangan disebut Peran para pujangga, baik seorang juru
‘kapangan’) dari Kraton Yogyakarta dan pangosekan atau ‘ilustrator’ menurut
pola wayang Kedu. Bentuknya sederhana istilah dalam manuskrip-manuskrip
dari sisi tatahan maupun sunggingan. skriptorium Pakualaman maupun
Hampir semua pola wayang diyakini pujangga pencipta bentuk wayang
mengacu pada bentuk seperti yang atau dengan istilah lain penatah dan
diilustrasikan dalam teks kesusastraan, penyungging sangat menentukan suatu
seperti Serat Baratayuda, Sestradisuhul, karakter yang dihasilkan. Apabila dalam
Sestra Ageng Adidarma, Pawukon, dan manuskrip, ilustrasi berfungsi untuk
Serat Lokapala. Bentuk wajah atau muka memberi hiasan serta memperjelas
wayang Pakualaman mengacu pola dasar situasi naratif tertentu yang diceritakan,
wayang gaya Yogyakarta era lama dengan maka artefak wujud wayang menegaskan
bedhahan lebar terutama pada bagian karakter personal setiap tokoh yang
mata dan mulut. Proporsi tubuh sedang mengisi dan menggerakkan cerita. Peran
dan dapat digolongkan cenderung lebih ilustrasi disamakan dengan istilah
ramping seperti halnya wayang kulit seni lukis dalam sebuah media teks
purwa gaya Surakarta. untuk memperjelas bagian tertentu
Pola bentuk tatahan dominan yang ingin ditonjolkan. Keindahan yang
dengan motif kawatan (seperti kawat ditunjukkan berupa perpaduan garis
bergelombang), terutama pada bagian dan warna serta gesture yang seakan-
sumping (hiasan seperti daun yang akan menggambarkan suasana tertentu.
diselipkan atau disematkan pada telinga). Adapun dalam wujud wayangnya,
Teknik pewarnaan atau sunggingan keindahan disajikan dalam penggarapan
cenderung memakai motif sawutan iii, seni pahat/ukir (tatahan) yang rumit
terutama dipakai pada bagian sembuliyan. dengan seni pewarnaan ( sunggingan)
Istilah Sembuliyan menggambarkan yang serasi (Haryanto, 1991:18). Dalam
ujung kain yang menjuntai, baik kain kaitannya dengan sunggingan inilah,
pada kampuh dan hiasan lainnya pada inter relasi antara sumber rujukan dalam
9
Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30
manuskrip serta wujud wayangnya dapat ngrawit, dan keserasian lubang antarmotif
diungkapkan sehingga memberikan pahatan sangat diperhatikan serta
kesan lain yang menghadirkan ‘gagrag’, mempunyai batasan yang jelas (Samsugi,
‘gaya’, atau ‘corak’ khusus yang dimiliki 1991:159). Untuk pewarnaan atau
oleh Kadipaten Pakualaman. Bentuk- sunggingan mengalami penyempurnaan
bentuk ornamen, motif, dan corak serta mengarah pada kerumitan penataan
tatahan serta sunggingan mempunyai warna yang cukup signifikan.
kemiripan sesuai dengan ilustrasi dalam Karakteristik tatahan dan sunggingan
manuskrip wayang. yang dikembangkan pada masa Paku
Pada masa pemerintahan Paku Alam III dan diteruskan di era Paku
Alam III (1858-1864) hingga Paku Alam Alam IV banyak didominasi dengan pola
IV (1864-1878), pola wayang Pakualaman tatahan kawatan yang wijang sekaligus
menunjukkan perkembangan yang ngrawit tetapi mempunyai ketegasan
memperhatikan lebih tegas dalam hal pada batas-batas atributnya. Sedangkan
karakter, wanda (ekspresi), kapangan untuk pola sunggingan didominasi
(wujud secara keseluruhan), dan oleh pilihan warna-warna yang lembut,
keindahan ragam pola tatahan (pahatan) bergradasi jelas, dengan penerapan
yang terkesan alus, wijang, serta luwes. motif baru yang tidak ditemukan pada
Pola tatahan wijang diartikan sebagai pola-pola sunggingan gaya Mataraman,
tatahan yang serba luwes dan lengkap khususnya Yogyakarta. Pola sunggingan
dalam hal isian busana (Samsugi, gaya Yogyakarta dipakai sebagai
1991:159) Wijang bukan sesuatu yang acuan garis besar, karena beberapa
harus ngremit atau rumit. Wijang secara motif sunggingan corak Mataraman
harfiah berarti ‘katon pilah-pilah’ “tampak Yogyakarta masih digunakan sebagai
terpisah-pisah”; ‘sarwa turut’ “segalanya dasar pewarnaan untuk wayang kulit
sesuai dengan jalur” (Poerwadarminta, purwa gagrag Pakualaman. Sebagai
1939:662). Tatahan wijang dikatakan contoh penerapan sunggingan cindhe
sebagai tatahan yang jelas, serasi, tidak atau motif kotak berwarna emas dan
banyak mengubah bentuk busana, dan hitam yang disusun serta diletakkan
menarik dipandang. Jenis tatahan wijang berselang-seling dengan warna dasar
ini yang umum digemari masyarakat merah, terutama sebagai ciri khas
pedhalangan dalam membuat boneka motif pada celana untuk kelompok
wayang. Dengan kata lain, model wayang jangkahan. Penggunaan motif
tatahan ini adalah tatahan yang disukai cindhe ini menjadi salah satu motif
para dalang. iv Wayang-wayang yang penanda khas untuk wayang kulit purwa
diciptakan pada dua era Paku Alam gaya Mataraman corak Yogyakarta dan
ini juga memunculkan banyak karya beberapa wilayah yang bernaung pada
spektakuler yang mengedepankan pola gaya mayornya tersebut. Pemakaian
tatahan alus. Tatahan alus merupakan motif cindhe memengaruhi sunggingan
pola pahatan yang sangat ngremit, pada beberapa gaya wayang yang
10
Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa
11
Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30
12
Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa
13
Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30
Gambar.4. Tokoh Werkudara atau Bima yang diciptakan pada masa Paku
Alam II.Pada gambar sebelah kiri adalah gatra dalam bentuk wayang kulit
purwa ‘Kyai Jimat’ gagrag Pakualaman, sedangkan gambar sebelah kanan
adalah bentuk wayang menurut ilustrasi pada manuskrip Serat Baratayuda
babon dengan kode 001/PP/73 dalam skriptorium Pakualaman.
(Foto: R Bima Slamet Raharja, 2016)
atau Jayaprana, abdi dalem penatah ujung kethu. Teknik pewarnaan gradasi
pada masa Sultan Hamengku Buwana I.vi sederhana mulai dari warna muda hingga
Pola wayang yang digunakan oleh Kyai tua dan mengedepankan motif sawutan,
Kertiwanda berkiblat pada wayang gaya yaitu motif berbentuk runcing dengan
Mataraman sub gaya Yogyakarta sebagai ukuran yang lebih kecil. Sunggingan
pola dasarnya. masa Paku Alam II lebih merujuk pada
Penerapan sunggingan pada wayang pola pewarnaan yang diterapkan dalam
pun mengalami perbedaan. Pewarnaan iluminasi manuskripnya. Sebagaimana
atau sunggingan pada masa Paku dicontohkan dalam ilustrasi sebagai
Alam II terkesan bergaya ungkap lebih berikut.
sederhana dibandingkan pada masa Menurut gambar 4, apabila
Paku Alam III hingga Paku Alam IV yang pola sunggingan-nya diperhatikan,
sudah menerapkan beberapa teknik maka banyak ditemukan kemiripan
pewarnaan lukis yang rumit dan detail. atau kesebandingan antara wujud
Seniman sungging masa Paku Alam II artefak wayang dengan wujud secara
banyak memberikan warna merah yang ilustratif. Dominasi warna merah
cukup dominan pada beberapa bagian, dengan motif sawutan bergradasi pada
seperti halnya sembuliyan istilah untuk bagian sembuliyan menegaskan bahwa
menggambarkan ujung kain, baik kain sunggingan kedua bentuk wayang
kampuh, manggaran, uncal wastra, dan Werkudara pada masa pemerintahan Paku
14
Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa
15
Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30
16
Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa
Gb.5. Teknik tata ungkap warna sunggingan biru nila pada bahian-bagian
kelat bahu, gelang, sumpingan, dan celana pada wayang yang memberikan
tanda sebagai ciri khusus sunggingan wayang pada masa Paku Alam V. Pada
gambar sebelah kiri merupakan tokoh Gathutkaca yang terdapat dalam
ilustrasi Serat Baratayuda (0110/PP/73) dan gambar sebelah kanan adalah
wujud wayang Bratasena gagrag Pakualaman. Ilustrasi wayang pada naskah
menunjukkan penyempurnaan wujud yang digambar semirip mungkin
bentuk wayang secara artefaknya. (Foto: R Bima Slamet Raharja, 2016).
17
Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30
yang ke berapa; yang tertera pada bagian wayangnya yang sedikit mempunyai
plemahan atau sitenan pada setiap kesan ‘nyurakarta’ tetapi tetap berdasar
wayangnya. Di samping itu, bentuk pada ‘ Mataraman ngYojan’. Sebagai
wayang yang lebih arkaik dibandingkan salah satu contoh adalah ditemukannya
era Paku Alam II hingga Paku Alam V wayang tokoh Werkudara dengan postur
yang sudah lebih baik penggarapannya. yang jangkung seperti halnya tokoh
Dalam penelusuran, belum ditemukan Werkudara gaya Surakarta, namun
beberapa wayang yang diciptakan pada berpegang pada pedoman bedhahan gaya
masa Paku Alam VI. Selama Paku Alam Mataraman Yogyakarta.
VI bertahta, proses penciptaan wayang Gambar 6 menunjukkan
untuk melengkapi perangkat Kyai Jimat percampuran gaya yang diciptakan
tetap berjalan, hanya belum muncul pada masa pemerintahan Paku Alam VII
sebagai produk artefak wayang yang antara Mataraman Yogyakarta dengan
baru. Baru pada masa pemerintahan Surakarta untuk tokoh Werkudara.
Paku Alam VII beberapa karya wayang Secara garis besar proporsi tubuh mirip
dijumpai dengan ciri-ciri tertentu pula. dengan Werkudara gaya Surakarta,
Masa pemerintahan Paku Alam namun secara atributif dan bedhahan
VII (1906-1937) berupaya melengkapi (tatahan pada muka) tetap berpedoman
penciptaan wayang kulit purwa yang pada pola wayang gaya Mataraman
berada pada perangkat Kyai Jimat. sub gagrag Yogyakarta. Kemungkinan
Lebih lanjut, pada masa Paku Alam VII besar, Paku Alam VII ingin meminimalis
pertunjukan wayang, tari, dan gamelan batas-batas budaya antara Yogyakarta
sering dipergelarkan di istana yang dan Surakarta. Dalam keterangan lain
bisa dilihat oleh siapa pun.Hal tersebut pun disebutkan bahwa untuk kasus
membuktikan perhatian yang sangat seni tari terkadang beberapa gerakan
berarti bagi kehidupan kesenian di antara tarian Yogyakarta dan Surakarta
Kadipaten Pakualaman. Kehidupan seni diadaptasi dan dipadukan dengan baik.
sangat terbuka pada masanya. Sekalipun Bahkan terhadap gending-gending juga
demikian, usaha untuk melengkapi demikian halnya. Sekalipun sering
perangkat Kyai Jimat juga terus dilakukan mendapatkan kritik, namun Paku Alam
sebagai usaha menjaga dan melestarikan VII bertujuan untuk mengembangkan
warisan kakek moyangnya. Tampaknya, dan mensinergikan suatu pemikiran
pengaruh komposisi atau percampuran serta hasil kesenian, tidak dengan
gaya penciptaan wayang juga dilakukan maksud merusak dan mencela setiap
Paku Alam VII. Dalam hal sunggingan gaya kesenian (Poerwokoesoemo, 1985:
wayang, seniman sungging pada masa 304-305). Pada dasarnya, penciptaan
Paku Alam VII mengombinasikan wayang kulit purwa masa Paku Alam
pewarnaan antara gaya Surakarta dengan VII bertujuan melengkapi perangkat
Yogyakarta sehingga menghadirkan hasil wayang kulit gagrag Pakualaman sebagai
yang indah. Demikian pula pada bentuk bagian kreativitas produk budaya di
18
Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa
19
Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30
pengganti bunyi dan hiasan sebagai halaman naskah melalui teknik penulisan,
semata-mata penikmat pandangan. pola pewarnaan dengan hiasan dekoratif,
Namun, tidak dapat dipungkiri pula atau kelengkapan lainnya. Termasuk
bahwa terkadang hiasan atau iluminasi dalam hal ini adalah hiasan pungtuasi,
dalam naskah memuat simbol yang pembingkai teks (wedana renggan),
bermakna. Pernyataan ini merupakan dua rubrikasi, dan gambar kaligrafi (Behrend,
sisi yang layak dikaji, yaitu keberadaan 1996: 188). Ilustrasi bertema wayang kulit
aksara yang merangkai dalam kalimat purwa termasuk dalam bagian iluminasi.
sebagai bagian yang membantu untuk Apabila dari penjelasan Sedyawati dan
memahami apa yang diilustrasikan Behrend bahwa iluminasi sekedar pemanis
melalui naratifnya. Adapun iluminasi pun dan penikmat pandangan, tidak demikian
dapat bermakna di mata pembaca sebagai halnya yang diungkapkan dalam salah
penikmat yang mampu menceritakan satu naskah skriptorium Pakualaman
melalui kedalaman estetiknya. Tentu dalam Serat Baratayuda babon, yaitu
saja bagian terakhir ini mesti dipahami sebagai berikut.
melalui makna di balik hiasan atau
ilustrasi yang digambarkan. [...] supados remena kang mirsa
mirengake [...]
Secara visual, ilustrasi dapat
[...] pra putra kang timur-timur
menjelaskan berbagai tata ruang, suasana, sami, mung remen ningali gambar
posisi duduk atas dan bawah, jenis ornamen warnenipun, dene ingkang wus
tertentu, dan lain sebagainya. Iluminasi diwasa sami, sestradi kinaot, kathah
mawon kalepehane, kautaman [...]
pada naskah yang berupa gambaran
dekoratif, ornamental, ilustrasi, dan
Terjemahan:
garis-garis tertentu yang bermakna, pada
[...] agar menjadi senanglah yang
dasarnya merupakan bagian ‘sastra visual’; melihat serta mendengarnya [...]
yang berarti cerita atau tulisan dalam [...] para putra yang masih anak-
citraan visual (Sedyawati, 2008 II: 313). anak hanya senang melihat gambar
yang berwarna, sedangkan bagi
Kesusastraan skriptorium Pakualaman,
mereka yang dewasa, sestradi yang
terutama yang bergenre sastra wayang, diunggulkan mempunyai banyak
acapkali disertai dengan citraan visual keutamaan [...]
dalam ilustrasi dan iluminasi. Ilustrasi
berupa gambaran karakter-karakter tokoh Keterangan di atas memberikan
wayang dalam suasana tertentu, atau ketegasan fungsi gambar selain sebagai
dapat juga berupa gambar ornamental penghibur untuk para putra yang
berupa wedana renggan atau wedana masih kecil, juga sebagai pemantik
gapura renggan yang sarat dengan makna atau rangsangan agar tertarik untuk
simbolik tertentu dan menceritakan kisah- mempelajari lebih lanjut. Sedangkan,
kisah tertentu. Istilah iluminasi sendiri ketika dewasa terdapat pelajaran
dalam kaitannya dengan naskah adalah yang dapat diambil dalam naratifnya.
penjelasan atau pemertinggi kesan atas Istilah sestradi yang berarti suatu
20
Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa
21
Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30
22
Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa
23
Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30
24
Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa
25
Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30
bentuk wayang gagrag Mataraman bersub memuat inter relasi antara wayang kulit
gaya Yogyakarta. Cukup banyak figur purwa dalam bentuk artefaknya dengan
wayang yang diciptakan mengadopsi dari ilustrasi yang berdasar atas naratif teks
bentuk yang termuat dalam ilustrasinya, kesusastraan ber-genre sastra wayang.
seperti para Pandawa (Puntadewa, Nama Kyai Jimat yang disematkan
Werkudara, Arjuna, Nakula, dan kepada seluruh figur perangkat wayang
Sadewa), Kresna, Baladewa, Abimanyu, koleksi Pakualaman ini setidaknya
Gathutkaca, Seta, Dursasana, Salya, mempunyai latar historis yang perlu juga
Karna, Dasamuka, Sugriwa, Subali, diketahui.
Duryudana, Mangsahpati, Setyaki, Wayang kulit purwa perangkat ‘Kyai
Brahala Triwikrama, dan masih banyak Jimat’ disimpan dalam satu peti kayu
lagi. Sejumlah nama tokoh tersebut bermotif dengan tutup yang di atasnya
sebagian besar merupakan reinterpretasi terdapat ukiran sebuah keterangan
dari bagian iluminasi yang berupa dalam aksara Jawa dengan corak huruf
ilustrasi wayang. berskriptorium Paku Alam II berbunyi
Penciptaan wayang kulit purwa “Kala Kawangun Taun Alip 1771” yang
Kyai Jimat dengan gagrag Pakualaman secara harfiah berarti sebuah peringatan
dalam perjalanannya tidak diciptakan ‘Saat dibangun atau dibuat pada tahun
pada satu era pemerintahan Paku Alam 1771” Tahun tersebut merupakan
yang bertahta, namun diciptakan secara tahun Jawa yang bila dikonversikan ke
bertahap mulai dari Paku Alam II dan dalam tahun Masehi sekitar tahun 1842
terakhir berusaha dilengkapi pada era masehi tepat ketika era pemerintahan
Paku Alam VII. Terdapat satu tokoh yang Paku Alam II. Dalam penelusuran,
diduga diciptakan pada masa Paku Alam pemberian nama satu perangkat wayang
I yaitu wayang kulit Bathara Guru yang yang tesimpan dalam satu peti/kotak
dikenal dengan wanda wali. Namun dapat biasanya didasarkan pada 1)Momentum
pula, wayang tersebut baru diciptakan atau kejadian tertentu sehingga lahir
pada masa Paku Alam II sebagai sebuah dan diciptakan satu tokoh wayang
peringatan secara sakral dan simbolis tertentu; 2) Nama si pencipta atau dalam
untuk mengingat perjuangan sang ayah istilah Jawa terkenal dengan istilah
sebagai wali pertama sebuah kadipaten ‘Yasan”, 3) Kesukaan dan kecintaan
yang baru. Hampir sebagian besar si pemilik terhadap salah satu tokoh
koleksi wayang kulit purwa dibuat wayang tertentu yang juga tersimpan
berdasarkan naratif Ramayana dan dalam satu peti dan biasanya wayang
Mahabarata yang sejumlah besar tokoh tersebut sebagai ‘tindhih’ atau pelopor
mengacu pada bentuk gatra wayang yang dijadikan pusaka atau klangenan
dalam ilustrasi naskah skriptorium ‘kesenangan’, dan 4)keinginan pemilik
Paku Alam II, seperti Serat Baratayuda, atau pencipta terhadap suatu nama
Serat Lokapala dan Arjunawijaya, Serat tertentu yang menurutnya indah dan
Rama, serta Serat Pawukon. Hal ini yang bermakna. Pemberian nama ‘Kyai Jimat’
26
Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa
27
Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30
Behrend, T.E. “Textual Gateway: The Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang
Javanese Manuscript Tradition” dalam Budaya. Warisan Kerajaan-Kerajaan
Illuminations: The Writing Traditions of Konsentris.Buku 3.Jakarta: Gramedia
Indonesia. Jakarta, New York, and Pustaka Utama, 2005.
Tokyo: The Lontar Founddation and Murgiyanto, Sal. Tradisi dan Inovasi.
Weatherhill Inc., 1996 (161 – 200). Beberapa Masalah Tari di Indonesia.
Dharsono, “Keris Nusantara Revitalisasi Jakarta: Wedatama Widya Sastra,
Melalui Upaya Konservasi” dalam 2004.
Makalah Tentang Keris, tidak Peursen, C.A. van.Strategi Kebudayaan.
diterbitkan, 2004. Yogyakarta: Kanisius, 1976.
Djajadipura, K.R.T. “Perkembangan Poerwadarminta, W.J.S. Baoesastra
Pedalangan di Jogjakarta Selama Djawa. Groeningen: J.B. Wolters’
200 Tahun” dalam Kota Jogjakarta Uitgevers-Maatschappij N.V., 1939.
200 Tahun. Jogjakarta: Sub Panitya Poerwokoesoemo, Soedarisman. Kadipaten
Penerbitan , 1956. Pakualaman. Yogyakarta: Gadjah Mada
Harris, Jonathan. Art History The Key University Press, 1985.
Concepts. New York and London: Saktimulya, Sri Ratna (Penyunting).
Routledge Taylor and Francis Group, Katalog Naskah-Naskah Perpustakaan
2006. Pura Pakualaman. Jakarta: Yayasan
Haryanto, S. Seni Kriya Wayang Kulit: Obor Indonesia-The Toyota
Seni Rupa, Tatahan, dan Sunggingan. Foundation, 2005.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, ---------------, “Kesusasteraan di Kadipaten
1991. Pakualaman” dalam Makalah yang
Haryono, Timbul. “Sekilas Tentang disampaikan pada Acara Sasrasehan
‘Koalisi’ Antara Kebudayaan Islam Sabtu Pahingan, di Parangkarsa,
dan Kebudayaan Tradisional di Jawa: Pakualaman 13 Mei 2011 (Makalah
Studi Kasus Seni Pertunjukan Wayang tidak diterbitkan).
Kulit di Jawa” dalam Seni Dalam --------------, dkk.Warnasari Sistem Budaya
Dimensi Bentuk, Ruang, dan Waktu. Kadipaten Pakualaman Yogyakarta.
Jakarta: Wedatama Widya Sastra, Jakarta: Trah Pakualaman Hudyana
2009. dan Eka Cipta Foundation, 2012.
Holt, Claire. Melacak Jejak Perkembangan Samsugi, Ir. dan Sagio. Wayang Kulit
Seni di Indonesia. Pengantar dan alih Gagrag Yogyakarta. Morfologi,
bahasa R.M. Soedarsono. Bandung: Tatahan, Sunggingan, dan Teknik
Masyarakat Seni Pertunjukan Pembuatannya. Jakarta: CV Haji
Indonesia, 2000. Masagung, 1991.
Kumar, Ann, et al. Illuminations, The Sedyawati, Edi. “Budaya Rupa dan Sastra
Writing Traditions of Indonesia. Visual” dalam Keindonesiaan dalam
Jakarta: The Lontar Foundation, Budaya buku II. Jakarta: Wedatama
1996. Widya Sastra, 2008.
28
Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa
29
Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30
30