Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa Kyai Jimat' Gaya Pakualaman Dengan Ilustrasi Wayang Dalam Manuskrip Skriptorium Pakualaman

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 30

Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa

VOLUME 03, No. 01, November 2016: 1-30

INTER RELASI GATRA WAYANG KULIT PURWA ‘KYAI JIMAT’ GAYA


PAKUALAMAN DENGAN ILUSTRASI WAYANG DALAM MANUSKRIP
SKRIPTORIUM PAKUALAMAN

Bima Slamet Raharja


Prodi Sastra Jawa, Departemen Bahasa dan Sastra
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada
bima.raharja@ugm.ac.id

ABSTRACT
This study discusses about historical aspects and inter relation between Pakualaman
‘s wayang purwa and a number of illustrations in the manuscripts. Pakualaman’s
wayang purwa is called Kyai Jimat, which changed and developed along the turn of
Pakualaman leadership until the era of seventh leadership. A number of Pakualaman’s
wayang purwa more influenced by a wayang illustrations on the manuscripts, such
as at the Serat Baratayuda, Serat Rama, Serat Lokapala, Sestradisuhul, Pawukon,
Sestra Ageng Adidarma, etc. The spesific was discovered through the form of design
of motif, colouring, and ornaments. According to iconographic aspects was discovered
through tatahan (carving), sunggingan (colouring), and symbolic. The creation of wayang
purwa ‘Kyai Jimat’ s Pakualaman not merely for the performance purposes. Most of the
characters that are made, is closely related to its narrative in literature text “scriptorium”
from Paku Alam I until Paku Alam VII. There are various assumption emerge that wayang
kulit made within Pakualaman style is not complete. Because its characters that is
created in Pakualaman, is only emphasize in pedagogy aspect that relates to highly
respectfully sestradi doctrin. Intertextuality aspect is important in order to reveal each
of its character existance; which will be further understood through the shape and style,
symbol that is found within the wayangs puppet.

Keywords: ‘Kyai Jimat’, Pakualaman wayang purwas style, manuscripts, inter relation,
iconography, intertextuality.

ABSTRAK
Tulisan ini membahas tentang sejarah dan inter relasi antara Wayang Purwa
Pakualaman dan sejumlah ilustrasi di dalam manuskrip. Wayang purwa Pakualaman
dikenal dengan Kyai Jimat, yang berubah dan berkembang sepanjang kepemimpinan
Pakualaman hingga era kepemimpinan ketujuh. Sejumlah Wayang Purwa Pakualaman
lebih banyak dipengaruhi oleh ilustrasi wayang pada manuskrip tersebut, seperti
di Serat Baratayuda, Serat Rama, Serat Lokapala, Sestradisuhul, Pawukon, Sestra
Ageng Adidarma, dan sebagainya. Spesifikasi tersebut ditemukan melalui bentuk
desain motif, pewarnaan, dan ornamen. Menurut aspek ikonografi, hal tersebut
ditemukan melalui tatahan (ukiran), sunggingan (mewarnai), dan simbolis. Dalam
penggunaannya, penciptaan Wayang Purwa ‘Kyai Jimat’s Pakualaman tidak hanya
untuk tujuan pertunjukan. Sebagian besar karakter yang dibuat, terkait erat dengan

1
Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30

narasinya dalam teks sastra “scriptorium” dari Paku Alam I sampai Paku Alam VII.
Atas dasar tersebut, ada anggapan bahwa wayang Kulit yang dibuat dengan gaya
Pakualaman tidaklah lengkap. Pasalnya, karakter yang dibuat di Pakualaman hanya
menekankan pada aspek pedagogi yang berhubungan dengan doktrin Sestradi. Oleh
karena itu, aspek intertekstualitas penting untuk saling mengungkap keberadaan
karakternya; yang selanjutnya akan dipahami melalui bentuk dan gaya, simbol yang
ditemukan di wayang wayang.

Kata kunci: Ikonografi, Inter relasi, Intertekstualitas, ‘Kyai Jimat’, Manuskrip, Wayang
purwa gaya Pakualaman.

PENGANTAR atas kedua bidang tersebut belum


Bentuk wayang kulit purwa gagrag dapat secara simultan dan menyeluruh.
(gaya) Pakualaman cenderung bertumpu Hal ini disebabkan oleh situasi politik
pada bentuk wayang kulit purwa gaya dalam keadaan genting, sehingga Paku
Mataraman, khususnya sub gaya Alam I kurang mempunyai waktu untuk
Yogyakarta. Dalam kehidupan budaya, mengembangkan kegiatan kesenian dan
termasuk seni di dalamnya; baik secara kesusastraan di lingkungan Kadipaten
materi maupun nonmateri, tidak lepas Pakualaman (Poerwokoesoemo, 1985:
dari peran penguasa pada zamannya. 162). Namun demikian, Paku Alam I
Tokoh penguasa ditempatkan sebagai tetap merupakan perintis awal bagi
pencipta atau penggubah suatu bentuk kegiatan kesenian dan kesusastraan di
budaya serta menjadi legitimasi dan Kadipaten Pakualaman.
penghormatan atas artefak tertentu Meskipun bukti artefak wayang
bagi masyarakatnya (Haryono, 2009:6). belum ditemukan di Kadipaten
Penguasa Kadipaten Pakualaman, yaitu Pakualaman, namun ‘patron’ atau ‘pola’
Paku Alam disebut sebagai pencipta dasar pembentukan artefak itu sendiri
produk budaya wayang. Bentuk sudah diciptakan pada masa Paku Alam
artefak wayang kulit purwa gagrag I. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui
Pakualaman mulai ditemukan sejak masa berbagai iluminasi yang ditemukan
pemerintahan Paku Alam II (1829-1858). dalam manuskrip kesusastraan, yaitu
Rintisan terhadap artefak wayang kulit teks Serat Baratayuda babon yang
purwa dimulai sejak masa Paku Alam II, digubah pada tanggal 20 Rabiulakhir
termasuk juga beberapa produk kesenian 1741 TJ atau 12 April 1814 Masehi. Masa
yang secara bersama-sama berkembang penggubahan naskah ini tidak lama
di tengah geliat perkembangan setelah berdirinya Kadipaten Pakualaman
kegiatan kesusastraan di lingkungan dan digolongkan sebagai manuskrip awal
Paku Alaman. Perhatian di bidang yang berada di kraton tersebut (bdk.
kebudayaan, terutama kesenian dan Saktimulya, 2005:137 & 308; Saktimulya,
kesusastraan pun sudah dimulai sejak 2012:113-114). Ilustrasi wayang yang
masa pemerintahan Paku Alam I (1812- digambarkan masih sangat sederhana,
1829). Meskipun demikian, perhatian namun pola-polanya dapat digunakan

2
Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa

sebagai ‘patron dasar’ menuju bentuk dengan mengambil patron-patron yang


yang nyata dan sempurna. Kesenian baik, seperti halnya tarian dan gending
wayang di lingkungan Pakualaman mulai karawitan (Poerwokoesoemo, 1985:303-
tumbuh dan berkembang beriringan 305). Melalui keterangan tersebut,
dengan kehadiran karya sastra yang tidak menutup kemungkinan bahwa
memuat naratif ceritanya. kesenian wayang pun mengalami hal
Perangkat koleksi wayang kulit yang yang sama dengan menggabungkan
berada di Kadipaten Pakualaman dikenal unsur-unsur lintas gaya, sehingga
dengan nama ‘Kyai Jimat’. Nama ‘Kyai terjadi suatu hibriditas. Diterapkan
Jimat’ ini digunakan untuk menyebut pada wayang misalnya, pola sunggingan
seluruh koleksi wayang kulit purwa yang (pewarnaan) dan penambahan proporsi
tersimpan dalam satu kotak. Perangkat bentuk wayang mengadopsi kedua gaya
wayang ini merupakan ciptaan Kanjeng besar, yaitu Yogyakarta dan Surakarta
Gusti Paku Alam, mulai dari Paku Alam sehingga terkesan di’satupadu’kan
II hingga Paku Alam VII. Hampir tiap dalam satu gatra baru. Pada masa
wujud wayang gagrag Pakualaman Paku Alam II hingga Paku Alam VI
seiring perjalanan waktu penciptaannya beberapa bentuk wayang masih menurut
menunjukkan suatu perkembangan yang pada sub gaya Yogyakarta ‘tua’ dengan
menuju pada kesempurnaan bentuk. proses perkembangan yang menuju pada
Bentuk wayang Pakualaman mempunyai kesempurnaan bentuk khas Pakualaman,
karakteristik yang berbeda dengan gaya maka pada era Paku Alam VII terdapat
wayang dari wilayah lain. Meskipun satu terobosan untuk ber’eksperimen’
dikenal mempunyai kekhususan memadukan semua bentuk pada dua
karakter, wayang gagrag Pakualaman gaya mayor tersebut.
mengacu pada bentuk dasar wayang gaya Perubahan dan penyempurnaan
Mataraman dengan sub gaya Yogyakarta. bukanlah sesuatu yang berlebihan
Sebagian besar anggapan menyatakan dalam ranah seni, karena kebudayaan
bahwa kesenian wayang yang terdapat merupakan proses pelajaran yang terus-
di Kadipaten Pakualaman cenderung menerus dengan dua faktor penting yang
mengacu pada gagrag Surakarta. saling berkaitan, yaitu kreativitas dan
Asumsi tersebut memang tidak inventitas (lih. Peursen, 1976: 11 dan
sepenuhnya keliru, karena pada era Murgiyanto, 2004:51). Pada era Paku Alam
pemerintahan Paku Alam VII (1906-1937) V ditemukan ragam kreativitas pujangga
kesenian Pakualaman tidak sekedar dalam mengilustrasikan bentuk wayang
satu kesenian yang konservatif saja, sehingga muncul karakteristik gatra
namun berusaha untuk menambah wayang era tersebut bagi lingkungan
dan mengembangkannya dengan adopsi Pakualaman. “Rekaman-rekaman” visual
berbagai macam model kesenian. dalam iluminasi dan ilustrasi pada
Kedua gaya, antara Yogyakarta dan beberapa naskah kategori sastra wayang
Surakarta dicampur menjadi satu di lingkungan Kadipaten Pakualaman

3
Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30

saling berkait dengan gatra wujud intertekstual dengan bantuan teks-teks


artefak wayang yang diciptakan dalam lain jelas diperlukan untuk mengungkap
setiap era pemerintahan Paku Alam, naratif tokoh wayang. Pembacaan secara
sehingga menciptakan hubungan yang intertekstualitas, tidak sekedar melihat
pantas untuk dikaji lebih dalam melalui sebuah bentuk gatra kemudian dilihat
penelitian ini. Tidak berlebihan kiranya teks penyerta yang sesuai dengan bentuk
meminjam pernyataan Sedyawati (2008 visual tersebut. Akan tetapi sebuah teks
II: 312) bahwa dalam satu ‘rekaman’ didampingi pula dengan teks lain.
visual, baik melalui gambar, relief, Dalam hal ini, peneliti terlebih
maupun foto didapatkan ungkapan dahulu memfokuskan pada objek, yaitu
budaya pada suatu wilayah. gatra bentuk wayang kulit purwa gagrag
Dalam menganalisis permasalahan, Pakualaman, khususnya perangkat
pendekatan multidisiplin digunakan Kyai Jimat. Identifikasi bentuk dasar
dalam kajian ini. Analisis bentuk beberapa tokoh yang dapat memberikan
wayang lebih sesuai jika digunakan dukungan terhadap analisis dilakukan
pendekatan ikonografi wayang. Secara dengan memetakan aspek karakteristik
ikonografis, satu ciri wayang tidak dapat berdasarkan unsur kesenirupaannya
diinterpretasikan secara terpisah (Holt, untuk memperoleh ciri-ciri yang akurat.
2000:194-195). Diungkapkan lebih Selanjutnya pemahaman ikonografi
terperinci bahwa setiap ciri dan karakter melalui aspek wanda wayang juga
menandai secara lahiriah peranan diperlukan untuk merunut asal-usul,
fungsional, status hierarkis, watak, tipologi, watak, karakter dari tokoh
suasana hati, dan lain sebagainya. Semua berdasarkan sumber-sumber yang
unsur tersebut dihubungkan dengan mendukung. Melalui pembacaan
keistimewaan-keistimewaan penting secara ikonografis dengan disertai
lainnya. Karakterisasi dalam wayang intertekstualitas secara simultan dalam
berkembang sedemikian rumit dan beberapa naratif teks, diharapkan
kompleks karena perkembangan wayang menemukan analisis yang utuh terhadap
sendiri yang cukup pelik (Soedarsono, inter-relasi antara gatra visual wayang
1997:289). Pada dasarnya menurut dan iluminasi teks.
Panofsky keikonografian termasuk
identifikasi makna secara simbolik dan PEMBAHASAN
naratif terhadap citra atau objek yang Perkembangan Wayang Kulit Purwa
dihadirkan, di mana pengakuan makna Gagrag Pakualaman di Masa Awal
diperlukan bagi pengembangan keilmuan Penciptaannya
dan keadaan masyarakat menurut Keberadaan wayang kulit
sejarahnya (Harris, 2006:148-149). Oleh purwa gagrag Pakualaman tumbuh
karenanya, unsur simbolik dan naratif dan berkembang sejalan dengan
ini perlu diidentifikasi, maka pendekatan perkembangan kesenian dan
lain pun diperlukan. Pendekatan kesusastraan yang dirintis pada masa

4
Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa

pemerintahan Paku Alam I (1812-1829). tampak dari wanda Reca ini kurang lebih
Sepanjang penelitian yang dilakukan, mempunyai ciri bermuka menunduk,
dugaan sementara salah satu artefak mengenakan mahkota topong besar,
wayang yang dibuat pada masa Paku tangan bersedekap, berbadan kecil,
Alam I adalah wayang Bathara Guru. mengenakan busana seperti sarung pada
Menurut keterangan yang diberikan arca Siwa, dan terkadang di antara kedua
KRMT Mangunkusuma atau yang kaki terdapat mangkara (bdk. Sutrisno,
dikenal akrab dengan nama RM Tamdaru 1964: 16-17 dan Sutarno,dkk, 1979: 43).
Tjakrawerdaja, salah seorang cucu Dimungkinkan penamaan wanda Wali
Paku Alam VII ini menunjukkan tokoh untuk wayang yasan Paku Alam I ini
Bathara Guru dalam bentuk wayang didasarkan pada pemaknaan lain yang
sederhana dengan ciri pada plemahan dihubungkan juga dengan penggunaan
(bagian penghubung kaki pada wayang) simbol ‘warangka’ keris pada bagian
dibuat dengan pola warangka sebuah plemahan (kaki pada wayang). Istilah
keris. Hal ini dimaksudkan bahwa warangka selain bagian dari keris,
wayang Bathara Guru dibuat sebagai dapat dimaknai sebagai ‘pamomong’,
yasan (buatan) pertama Paku Alam ‘pelayan’ dengan imbuhan awalan di-
I untuk mengawali perkembangan dan akhiran –i sehingga menjadi kata
budaya baru di Kadipaten Pakualaman. diwrangkani yang dalam terjemahan
Menurut keterangan Tamdaru, wayang bahasa Indonesia menjadi ‘diemong’,
Bathara Guru gagrag Pakualaman ‘dilayani’ (lih. Poerwadarminta, 1939: 669).
mempunyai wanda Wali i. Wanda dapat Apabila dikaitkan dengan nama wanda
diterjemahkan tidak hanya melingkupi Wali, setidaknya merepresentasikan
penggambaran karakter atau suasana kepemimpinan Paku Alam I sebagai
batin tokoh wayang saja, namun dapat ‘pamomong nagari’, yaitu Kadipaten
memberikan peranan fungsional satu Pakualaman. Selain itu, dalam kaitan
tokoh (bdk. Soedarsono, 1997:289). dengan perwalian ini pula bahwa Paku
Penyebutan Bathara Guru dengan Alam I pernah mengemban tugas sebagai
wanda Wali dalam keterangan wanda ‘wali’ bagi G.R.M. Jarot pada tahun
wayang yang sejenis; yang selama ini 1814-1820 yang ketika itu bertahta
ditemukan, tampaknya hanya dipunyai sebagai Sultan Hamengku Buwana IV
oleh Kadipaten Pakualaman saja. (Albiladiyah, 1985: 44). Oleh karenanya,
Beberapa wanda wayang Bathara Guru penggunaan wanda wali ini sangat logis
yang biasa dikenal, misalnya untuk apabila ditilik dari aspek historisnya.
wanda wayang kulit gaya Yogyakarta Hingga kini, selain Bathara Guru,
adalah wanda Reca dan wanda Jimatii. tampaknya wujud wayang kulit purwa
Namun demikian, Bathara Guru wanda pada masa Paku Alam I belum ditemukan
Wali ini mempunyai kesamaan wujud lagi artefak lainnya di dalam lingkungan
dengan wujud Bathara Guru yang Kadipaten Pakualaman. Sekalipun
berwanda Reca. Karakteristik yang sebagai peletak dasar kebudayaan

5
Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30

di Kadipaten Pakualaman, Paku visual dan ideoplastik wayang tertuang


Alam I banyak berkonsentrasi untuk dalam manuskrip kesusastraan pada
pembentukan struktur pemerintahan masa tersebut. Serat Baratayudababon
pada kadipaten baru. Hal ini disebabkan merupakan salah satu manuskrip yang
pula karena situasi politik yang sedang menjadi gerbang utama menguak pola
dalam keadaan genting, sehingga Paku awal wayang kulit purwa dengan ‘gaya’
Alam I kurang mempunyai waktu untuk Pakualaman. Naskah ini selain memuat
mengembangkan kegiatan kesenian dan teks naratif ringkas kisah para Pandawa
kesusastraan di lingkungan Kadipaten ketika muda hingga naratif perang
Pakualaman (Poerwokoesoemo, 1985: Baratayuda, juga diberi iluminasi berupa
162). Namun demikian, sekali lagi bahwa wedana renggan (gambar ornamental
Paku Alam I merupakan perintis awal dalam bingkai) serta ilustrasi wayang
bagi kegiatan kesenian dan kesusastraan yang cukup beragam (bdk.Saktimulya,
di Kadipaten Pakualaman. Dengan 2005:137 & 308; Saktimulya, 2012:113-
kata lain, Paku Alam I sebagai pendiri 114).
Kadipaten Pakualaman juga merupakan Gambaran ilustrasi tokoh utama
peletak dasar tradisi kesenian dan yang biasa dikenal dalam kisah naratif
kesusastraan (Poerwokoesoemo, 1985: Mahabarata yaitu para tokoh Pandawa
163). Sekalipun wujud fisik wayang dan Kurawa memberikan persepsi lain
kulit purwa dimungkinkan baru satu untuk wujud gatra wayang kulit purwa
yang terwujud, namun jejak wujud yang dikenal dan dilihat selama ini.

Gb.1. Ilustrasi wayang dalam manuskrip Serat


Baratayuda babon (0001/PP/73) koleksi Kadipaten
Pakualaman yang digubah pada masa pemerintahan Paku
Alam I. Gambar di atas menceritakan perundingan antara
Kresna sebagai duta para Pandawa dengan pihak Kurawa
di Ngastina (Foto: R Bima Slamet Raharja, 2016).

6
Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa

Secara lebih lanjut, manuskrip Serat kurang sekitar 40 naskah kesusastraan


Baratayuda ‘babon’ ini merupakan salah yang diproduksi pada masa Paku Alam
satu naskah hasil kesusastraan yang lahir II (Saktimulya, 2011:4). Bahkan, Paku
pada era Paku Alam I, karena teks digubah Alam II menjadi penghubung dalam
dua tahun setelah berdirinya Kadipaten penataan kegiatan kesusastraan dan
Pakualaman, yaitu tahun 1814. Inilah kesenian Kraton Ngayogyakarta yang
yang menjadi dasar pijakan hadirnya dirintis kembali oleh Hamengku Buwana
bentuk wayang di Kadipaten Pakualaman. V.
Dalam manuskrip ditunjukkan munculnya Kesenian kraton yang nyaris
langgam atau gaya yang khas pada pola terputus pasca Geger Spehi dan meredup
wayang di Kadipaten Pakualaman, yaitu selama era peperangan Diponegoro itu
penggunaan atribut ‘keris’ pada masing- mulai digalakkan kembali. Paku Alam
masing tokoh yang digambarkan. II dapat dikatakan menjadi pendukung
Apabila dirunut lebih dalam lagi, Hamengku Buwana V dalam usaha
diduga keberadaan wayang di Kadipaten mengembalikan tradisi kesusastraan
Pakualaman banyak diawali dengan dan kesenian di Kraton Yogyakarta.
munculnya gambar ilustrasi sebagai Oleh karena, kegiatan kesenian dan
iluminasi dalam teks-teks manuskrip kesusastraan berkembang baik di masa
dengan naratif wayang. Penggunaan Paku Alam II, maka atas kemurahannya
atribut keris pada ilustrasi setiap tokoh pula memberikan kebebasan Hamengku
wayang yang diceritakan dalam narasi Buwana V untuk mengirimkan keluarga
kesusastraan menjadi satu ciri atau dan abdi dalem secara teratur ke Paku
penanda khusus bagi wujud boneka Alaman untuk mempelajari ‘ Sekar
wayang di era sesudahnya, yaitu pada Ageng’ di bidang kesusastraan dan
masa Paku Alam II bertahta (1830-1858). kesenian (Poerwokoesoemo, 1985:207;
Tidak hanya sekedar melanjutkan tradisi Albiladiyah, 1985:46). Melalui catatan ini,
Paku Alam I di bidang kesusastraan saja, kegiatan kesenian yang dikembangkan di
namun Paku Alam II menambahkannya Kadipaten Pakualaman adalah musik
di bidang kesenian. Bertahtanya Paku dan drama. Mengacu istilah drama,
Alam II memasuki jaman baru pasca- wayang menjadi salah satu bagian di
perang dan berakhirnya ketegangan dalamnya. Hal ini yang memberi titik
politik di masa sebelumnya. pijakan dikembangkannya pola wayang
Dengan demikian, Paku Alam II yang dengan gubahan baru yang hadir di masa
tidak hanya sekedar mempunyai bakat Paku Alam II.
dan kecakapan di bidang kesusastraan Wayang-wayang gubahan masa
yang tinggi, namun mempunyai talenta Paku Alam II berkiblat pada bentuk
dan kreativitas kesenian yang unggul. pola dasar wayang gaya Mataraman,
Kesenian dan kesusastraan berkembang khususnya yang berkembang di wilayah
amat pesat di masa pemerintahannya yang Kraton Yogyakarta dan Kedu. Terlebih,
kurang lebih selama 30 tahun itu. Tidak bentuk-bentuk wayang tersebut dibuat

7
Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30

tidak berbeda jauh seperti yang tertuang Penciptaan wayang di masa


dalam gambar grafis yang dipakai sebagai pemerintahan Paku Alam yang bertahta
penghias teks-teks kesusastraan. Pola- pada setiap era mempunyai ciri khas
pola grafis wayang dalam ilustrasi Serat masing-masing, yang dapat dipahami
Baratayuda gubahan Paku Alam I yang melalui ciri bentuk wujud fisik wayang,
kemudian diselesaikan pada masa Paku tatahan (ukiran), dan sunggingan
Alam II banyak memberikan dominasi (pewarnaan). Mengenai wujud fisik
bentuk awal hadirnya boneka wayang wayang dapat dirunut melalui kaitannya
di Kadipaten Pakualaman. Di samping dengan sumber tekstual melalui ilustrasi
itu, salah satu manuskrip yang senafas dan iluminasi. Pengertian iluminasi
dengan pola grafis dalam Serat Baratayuda adalah hiasan pada naskah yang
adalah naskah Serat Lokapala. Naskah bertujuan memperindah naskah tersebut.
Serat Lokapala yang memuat gambar Tujuan iluminasi dapat berhubungan
grafis wayang dengan pola yang sangat dengan naskah tersebut atau sebaliknya
mirip dengan bentuk-bentuk wayang (Triandari, 2010:1). Tujuan estetiknya
Ramayana koleksi Pakualaman ini adalah menghadirkan unsur seni rupa
berada di luar tembok istana dan telah di dalamnya baik berkaitan dengan
menjadi koleksi pribadi. isi naratif teks tersebut atau sebagai
Seperangkat wayang Ramayana ‘pemanis’ dan penghias sebuah teks.
gagrag Pakualaman dengan wujud Iluminasi dalam naskah Jawa mempunyai
artefak yang khas dan berbeda dengan lima tahapan yaitu berkait tanda baca,
perangkat wayang Ramayana dari koleksi hiasan ukiran atau wedana, rubrikasi,
lain ini mengambil pola-pola bentuk kaligrafi kursif, dan kaligrafi gambar (lih.
yang terdapat dalam ilustrasi Serat Kumar, et al., 1996:188).
Lokapala. Rata-rata perangkat wayang Tentunya beberapa tahapan di atas
Rama ini dibuat pada masa Paku Alam melibatkan kolaborasi pewarnaan yang
II dan dilengkapi pada masa Paku Alam khas dan mempunyai ciri tertentu. Dengan
VI (Albiladiyah, 1985: 51). Keterangan begitu pada setiap masa pemerintahan di
Albiladiyah yang menyebutkan Paku Kadipaten Pakualaman mempunyai ciri
Alam VI melengkapi wayang Ramayana ini khusus dalam hal penciptaan boneka
perlu dikaji kembali. Pada kenyataannya wayang. Penciptaan sebuah karya seni
amat sangat jarang, bahkan hampir tidak dipastikan mempunyai dua sisi, yaitu
ditemukan keterangan tersebut pada pencipta yang membidani lahirnya
artefak wayangnya. Justru, ada beberapa sebuah seni dan masyarakat umum,
bentuk wayang yang diduga digubah kepada siapa seni tersebut ditujukan serta
pada masa pemerintahan Paku Alam V diciptakan (Soedarso Sp, 1998:47). Para
yang ditandai dengan ciri sunggingan pencipta atau lebih tepat disebut sebagai
(pewarnaan) yang umum digunakan pada pemrakarsa adalah Paku Alam yang
masa tersebut, yaitu dominasi warna bertahta pada setiap era pemerintahannya,
biru nila yang cukup kentara. sedangkan diciptakannya suatu bentuk

8
Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa

seni ditujukan untuk para putra serta atribut wayang (lih. Sagio dan Samsugi,
sentana dalem di Kadipaten Pakualaman. 1991: 98). Tampaknya sunggingan
Dalam hal ini termasuk kawula Dalem semacam ini juga dekat dengan ilustrasi
atau masyarakat di sekitar Kadipaten pada teks manuskripnya, sehingga antara
Pakualaman. wujud boneka wayang yang diciptakan
pada era pemerintahan Paku Alam II
Pola Wayang Gagrag Pakualaman dengan ilustrasi wayang dalam naskah
Sepanjang Era Pemerintahan Paku sejamannya dikatakan sebanding.
Alam pada Setiap Generasinya Bagian yang penting pula dalam
Pada era pemerintahan Paku Alam kajian ini adalah sosok seniman atau
II, wayang diciptakan dengan pola acuan pujangga yang melahirkan karya baik
wayang gaya Mataraman dengan bentuk dalam ilustrasi maupun gatra wayang.
dasar (dalam istilah pedhalangan disebut Peran para pujangga, baik seorang juru
‘kapangan’) dari Kraton Yogyakarta dan pangosekan atau ‘ilustrator’ menurut
pola wayang Kedu. Bentuknya sederhana istilah dalam manuskrip-manuskrip
dari sisi tatahan maupun sunggingan. skriptorium Pakualaman maupun
Hampir semua pola wayang diyakini pujangga pencipta bentuk wayang
mengacu pada bentuk seperti yang atau dengan istilah lain penatah dan
diilustrasikan dalam teks kesusastraan, penyungging sangat menentukan suatu
seperti Serat Baratayuda, Sestradisuhul, karakter yang dihasilkan. Apabila dalam
Sestra Ageng Adidarma, Pawukon, dan manuskrip, ilustrasi berfungsi untuk
Serat Lokapala. Bentuk wajah atau muka memberi hiasan serta memperjelas
wayang Pakualaman mengacu pola dasar situasi naratif tertentu yang diceritakan,
wayang gaya Yogyakarta era lama dengan maka artefak wujud wayang menegaskan
bedhahan lebar terutama pada bagian karakter personal setiap tokoh yang
mata dan mulut. Proporsi tubuh sedang mengisi dan menggerakkan cerita. Peran
dan dapat digolongkan cenderung lebih ilustrasi disamakan dengan istilah
ramping seperti halnya wayang kulit seni lukis dalam sebuah media teks
purwa gaya Surakarta. untuk memperjelas bagian tertentu
Pola bentuk tatahan dominan yang ingin ditonjolkan. Keindahan yang
dengan motif kawatan (seperti kawat ditunjukkan berupa perpaduan garis
bergelombang), terutama pada bagian dan warna serta gesture yang seakan-
sumping (hiasan seperti daun yang akan menggambarkan suasana tertentu.
diselipkan atau disematkan pada telinga). Adapun dalam wujud wayangnya,
Teknik pewarnaan atau sunggingan keindahan disajikan dalam penggarapan
cenderung memakai motif sawutan iii, seni pahat/ukir (tatahan) yang rumit
terutama dipakai pada bagian sembuliyan. dengan seni pewarnaan ( sunggingan)
Istilah Sembuliyan menggambarkan yang serasi (Haryanto, 1991:18). Dalam
ujung kain yang menjuntai, baik kain kaitannya dengan sunggingan inilah,
pada kampuh dan hiasan lainnya pada inter relasi antara sumber rujukan dalam

9
Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30

manuskrip serta wujud wayangnya dapat ngrawit, dan keserasian lubang antarmotif
diungkapkan sehingga memberikan pahatan sangat diperhatikan serta
kesan lain yang menghadirkan ‘gagrag’, mempunyai batasan yang jelas (Samsugi,
‘gaya’, atau ‘corak’ khusus yang dimiliki 1991:159). Untuk pewarnaan atau
oleh Kadipaten Pakualaman. Bentuk- sunggingan mengalami penyempurnaan
bentuk ornamen, motif, dan corak serta mengarah pada kerumitan penataan
tatahan serta sunggingan mempunyai warna yang cukup signifikan.
kemiripan sesuai dengan ilustrasi dalam Karakteristik tatahan dan sunggingan
manuskrip wayang. yang dikembangkan pada masa Paku
Pada masa pemerintahan Paku Alam III dan diteruskan di era Paku
Alam III (1858-1864) hingga Paku Alam Alam IV banyak didominasi dengan pola
IV (1864-1878), pola wayang Pakualaman tatahan kawatan yang wijang sekaligus
menunjukkan perkembangan yang ngrawit tetapi mempunyai ketegasan
memperhatikan lebih tegas dalam hal pada batas-batas atributnya. Sedangkan
karakter, wanda (ekspresi), kapangan untuk pola sunggingan didominasi
(wujud secara keseluruhan), dan oleh pilihan warna-warna yang lembut,
keindahan ragam pola tatahan (pahatan) bergradasi jelas, dengan penerapan
yang terkesan alus, wijang, serta luwes. motif baru yang tidak ditemukan pada
Pola tatahan wijang diartikan sebagai pola-pola sunggingan gaya Mataraman,
tatahan yang serba luwes dan lengkap khususnya Yogyakarta. Pola sunggingan
dalam hal isian busana (Samsugi, gaya Yogyakarta dipakai sebagai
1991:159) Wijang bukan sesuatu yang acuan garis besar, karena beberapa
harus ngremit atau rumit. Wijang secara motif sunggingan corak Mataraman
harfiah berarti ‘katon pilah-pilah’ “tampak Yogyakarta masih digunakan sebagai
terpisah-pisah”; ‘sarwa turut’ “segalanya dasar pewarnaan untuk wayang kulit
sesuai dengan jalur” (Poerwadarminta, purwa gagrag Pakualaman. Sebagai
1939:662). Tatahan wijang dikatakan contoh penerapan sunggingan cindhe
sebagai tatahan yang jelas, serasi, tidak atau motif kotak berwarna emas dan
banyak mengubah bentuk busana, dan hitam yang disusun serta diletakkan
menarik dipandang. Jenis tatahan wijang berselang-seling dengan warna dasar
ini yang umum digemari masyarakat merah, terutama sebagai ciri khas
pedhalangan dalam membuat boneka motif pada celana untuk kelompok
wayang. Dengan kata lain, model wayang jangkahan. Penggunaan motif
tatahan ini adalah tatahan yang disukai cindhe ini menjadi salah satu motif
para dalang. iv Wayang-wayang yang penanda khas untuk wayang kulit purwa
diciptakan pada dua era Paku Alam gaya Mataraman corak Yogyakarta dan
ini juga memunculkan banyak karya beberapa wilayah yang bernaung pada
spektakuler yang mengedepankan pola gaya mayornya tersebut. Pemakaian
tatahan alus. Tatahan alus merupakan motif cindhe memengaruhi sunggingan
pola pahatan yang sangat ngremit, pada beberapa gaya wayang yang

10
Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa

berinduk pada gaya Yogyakarta, seperti dan bertujuan sebagai pembentukan


wayang kulit purwa gagrag Mataraman karakter serta media introspeksi bagi
Kaligesingan, Pacoran, Kuthaarjan, kerabat dan keluarga dinasti baru
Purworejan, Kebumenan, Magelang, dan Pakualaman. Sebagaimana suatu
Wanasaba.v karya seni yang dianggap hadir dalam
Kemajuan di bidang kesenian dan lingkungan ‘budaya agung’ atau ‘tradisi
kesusastraan dipandang sangat simultan besar’ yang mengharuskan adanya sifat
sampai dengan masa pemerintahan Paku ‘ngrawit’ dan halus sehingga perfeksi
Alam III. Hal ini seolah menjadi tradisi yang teknis penggarapan dapat menuju
baik dan menjadi satu karakter tertentu kesempurnaan ujud yang berujung
bagi darah Pakualaman hingga masa Paku pada kesan indah serta ngrawit atau
Alam III tentang minatnya pada aspirasi rumit (Soedarso, 2006:171). Demikian
serta apresiasi atas kesusastraan dan pula dengan kehalusan penggarapan
kesenian (Poerwokoesoemo, 1985:218). tatahan yang ngrawit untuk karya-karya
Pada satu sisi, kesusastraan terutama wayang kulit purwa gagrag Pakualaman
yang berkaitan dengan teks-teks karya pada era pemerintahan Paku Alam II
sastra Jawa yang berupa babad, piwulang, hingga Paku Alam IV yang menampilkan
sastra wayang berkembang dengan luar kesan ‘mewah’, agung, indah, dan
biasa produktivitasnya sejak masa Paku mencengangkan apabila dipahami
Alam I hingga Paku Alam III. Pada sisi kedalamannya melalui pengalaman
lain yang juga erat kaitannya dengan estetik ‘rasa’.
bidang kesusastraan, yaitu kesenian, Pada gambar 2 ditunjukkan pola
terutama wayang kulit purwa mengalami tatahan yang disempurnakan pada
keberlanjutan yang mengarah pada
pembentukan ciri karakter khusus bagi
Pakualaman.
Proses transformasi dari ilustrasi-
ilustrasi yang menghias sebagian naskah
ber-genre wayang menuju bentuk
konkret wayang purwa dilakukan
secara suistinable dan bertahap ke arah
penyempurnaan bentuk-bentuk yang
memperhatikan kaidah penciptaannya.
Tradisi penciptaan wayang di Kadipaten
Pakualaman lebih mengutamakan Gambar.2. Pola tatahan dengan
kedalaman isi dibandingkan dengan penggarapan yang ngrawit, halus, luwes,
dan ‘mewah’ yang diterapkan pada tokoh
kebaruan yang ekstrem pada masa Baladewa ‘Kyai Geger’ wayang kulit purwa
perkembangannya. Kedalaman isi yang gagrag Pakualaman.Pola tatahan semacam
dimaksudkan adalah penciptaan wayang ini mulai dikembangkan pada masa
pemerintahan Paku Alam III.
berdasar atas naratif yang bersifat (Foto: R Bima Slamet Raharja, 2016)

11
Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30

masa pemerintahan Paku Alam III faktor yang diperhitungkan. Di samping


secara bertahap sampai pada masa itu, lingkungan yang mengutamakan
pemerintahan Paku Alam IV. Pola tatahan suatu keunggulannya tidak jarang
yang ngrawit dengan motif kawatan yang mendorong perkembangan seni ke arah
dipadukan dengan motif inten-intenan peningkatan pencapaian-pencapaian
banyak ditemukan dalam beberapa teknik berungkap seni, baik dari sisi
perangkat wayang yang diciptakan pada variasi maupun tingkat kerumitan yang
masa tersebut. Apabila pada masa Paku ada (Sedyawati, 2008: 258-259). Pendapat
Alam III yang hanya memerintah kurang yang dikemukakan Sedyawati tersebut
lebih selama enam tahun (1858-1864) sebagai landasan pemikiran bahwa
tersebut (lih. Poerwokoesoemo,1985; sebagai kerajaan baru, Pakualaman masih
Albiladiyah, 1985) kegiatan kesusastraan harus meneguhkan posisi dan eksistensi
cenderung lebih difokuskan sebagai serta kekhususan yang dimilikinya,
sarana pembelajaran moral dan watak, sehingga mendorong berbagai pemikiran
maka pengembangan seni pewayangannya dalam hal kesusastraan dan kesenian
pun lebih mengarah pada penciptaan sebagai produk yang diunggulkan.
tokoh-tokoh sebagai figur atau patron Produk-produk unggulan tersebut tentu
yang dapat digunakan sebagai teladan. saja perlu disertai peningkatan capaian
Beberapa tokoh yang digarap secara seni yang diungkapkan.
lebih detail dan menonjol adalah tokoh Sejak Paku Alam I bertakhta,
para Pandawa, terutama Puntadewa, kegiatan olah kesusastraan dan seni
Werkudara, dan Janaka. Selain itu tokoh sudah menjadi suatu tradisi yang sangat
Kresna, Baladewa, Karna, Gathutkaca, maju, apalagi di masa paku Alam II
Salya, Anoman, Abimanyu, Duryudana, yang begitu piawai dalam kedua hal
dan Dasamuka. Beberapa tokoh yang tersebut. Hal ini karena kecakapan
disebutkan di atas, sering disebutkan dan bakat besar yang diwarisi dari
sebagai figur dengan karakter-karakter ayahnya ditambah keadaan yang sangat
yang dapat dipelajari secara moral. mendukung perkembangan dua bidang
Di samping itu, pembelajaran sastra dan seni (Poerwokoesoemo, 1985:
mengenai watak-watak dewa seperti 219). Paku Alam III sebagai putra Paku
yang termuat dalam teks Asthabrata Alam II pun mewarisi bakat yang luar
sering ditemukan dan amat familiar biasa di bidang sastra yang dimunculkan
dalam skriptorium Pakualaman semasa dalam beberapa karya kesusastraan
Paku Alam I hingga III. Pada masa ini seperti Serat Darmawirayat, karya
pula beberapa figur wayang kulit purwa monumental yang memuat ajaran moral
digolongkan sebagai bagian perangkat itu (Poerwokoesoemo, 1985: 218-219).
pusaka bagi Kadipaten Pakualaman. Beberapa karya lain yang menyebutkan
Dalam kedudukan sebagai pusaka, nama Paku Alam III sebagai pemrakarsa
sudah barang tentu penggarapan dari adalah naskah Cebolek, Babad Negari
berbagai aspek, seperti tatahan menjadi Cina, Suluk Purwakanthi, Suryaraja, dan

12
Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa

Gambar.3. Bentuk wayang Kresna (sebelah kiri) dan Anoman (sebelah


kanan), wayang kulit purwa gagrag Pakualaman yang diciptakan pada masa
pemerintahan Paku Alam III dan Paku Alam IV.Sebagai salah satu pananda
adalah pola tatahan yang sangat ngrawit, halus, dan berkesan mewah.
Ditambah dengan pola sunggingan yang cenderung menciptakan identitas
baru sebagai wayang dengan produk baru, berbeda dengan induk wayang
yang bergaya Mataraman Yogyakarta. (Foto: R Bima Slamet Raharja, 2016).

Babad Betawi (bdk.Saktimulya, 2005; yang banyak mengadopsi motif-motif


2011:5). Tidak banyak yang menuliskan dalam iluminasi naskah sehingga
secara rinci tentang kegiatan olah seni menimbulkan kekhasan tersendiri, serta
dalam penciptaan wayang di masa terkesan mewah dan agung. Sekalipun
Paku Alam III, karena belum dikaji berada pada kondisi perekonomian
secara komprehensif. Salah satu bentuk secara internal untuk kesejahteraan
capaian dalam seni rupa wayang adalah keluarga yang jumlahnya semakin
pahatan yang bervariasi, rumit, ngrawit, membengkak dan tidak seimbang, tradisi
dan tingkat kesulitan yang tinggi. dan ciri kebudayaan Jawa di Kadipaten
Bentuk-bentuk wayang yang Pakualaman diusahakan tetap terpelihara
dihasilkan pada masa Paku Alam III dan (lih. Poerwokoesoemo, 1985:217 &
kemudian dilanjutkan oleh Paku Alam IV Surjomihardjo, 2008:95-96). Pada masa
setidaknya merupakan penyempurnaan inilah, Paku Alam III dan Paku Alam IV
bentuk yang diciptakan pada masa mempercayakan pembuatan wayang
Paku Alam II yang banyak mengacu kepada seorang abdi dalem bernama
pada pola ilustrasi dalam manuskrip Kyai Kertiwanda (Djajadipura, 1956:135).
kesusastraan wayang. Penyempurnaan Kertiwanda dikenal dalam lingkungan
ini meliputi gatra bentuk, tatahan ahli wayang seorang murid dari penatah
yang luar biasa ngrawit, sunggingan Kraton Yogyakarta bernama Kyai Japlana

13
Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30

Gambar.4. Tokoh Werkudara atau Bima yang diciptakan pada masa Paku
Alam II.Pada gambar sebelah kiri adalah gatra dalam bentuk wayang kulit
purwa ‘Kyai Jimat’ gagrag Pakualaman, sedangkan gambar sebelah kanan
adalah bentuk wayang menurut ilustrasi pada manuskrip Serat Baratayuda
babon dengan kode 001/PP/73 dalam skriptorium Pakualaman.
(Foto: R Bima Slamet Raharja, 2016)

atau Jayaprana, abdi dalem penatah ujung kethu. Teknik pewarnaan gradasi
pada masa Sultan Hamengku Buwana I.vi sederhana mulai dari warna muda hingga
Pola wayang yang digunakan oleh Kyai tua dan mengedepankan motif sawutan,
Kertiwanda berkiblat pada wayang gaya yaitu motif berbentuk runcing dengan
Mataraman sub gaya Yogyakarta sebagai ukuran yang lebih kecil. Sunggingan
pola dasarnya. masa Paku Alam II lebih merujuk pada
Penerapan sunggingan pada wayang pola pewarnaan yang diterapkan dalam
pun mengalami perbedaan. Pewarnaan iluminasi manuskripnya. Sebagaimana
atau sunggingan pada masa Paku dicontohkan dalam ilustrasi sebagai
Alam II terkesan bergaya ungkap lebih berikut.
sederhana dibandingkan pada masa Menurut gambar 4, apabila
Paku Alam III hingga Paku Alam IV yang pola sunggingan-nya diperhatikan,
sudah menerapkan beberapa teknik maka banyak ditemukan kemiripan
pewarnaan lukis yang rumit dan detail. atau kesebandingan antara wujud
Seniman sungging masa Paku Alam II artefak wayang dengan wujud secara
banyak memberikan warna merah yang ilustratif. Dominasi warna merah
cukup dominan pada beberapa bagian, dengan motif sawutan bergradasi pada
seperti halnya sembuliyan istilah untuk bagian sembuliyan menegaskan bahwa
menggambarkan ujung kain, baik kain sunggingan kedua bentuk wayang
kampuh, manggaran, uncal wastra, dan Werkudara pada masa pemerintahan Paku

14
Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa

Alam II cenderung disesuaikan dengan (Poerwokoesoemo, 1985: 228). Lebih


referensi yang terdapat pada naskah lanjut diterangkan bahwa hampir tidak
Serat Baratayuda babon yang digubah ditemukan hasil produktivitas karya
pada masa Paku Alam I dan diteruskan kesusastraan pada masa Paku Alam IV.
pada masa Paku Alam II. Demikian pula Perkembangan kesenian dibantu oleh
apabila diperhatikan dalam hal ulat-ulat seorang abdi dalem bernama Ngabehi
atau riasan pada wajah. Dalam teknik Kawisastra, seorang pakar dalam bidang
sunggingan wayang prosesnya disebut drama. Mengenai kesenian wayang,
ngulat-ulati, termasuk di dalamnya masih dipercayakan pada abdi dalem
adalah membuat kumis, alis, dan simbar Kyai Kertiwanda yang meneruskan karya-
atau bulu dada (Samsugi, 1991:167). karya yang dirintis pada masa Paku Alam
Soedarsono (1997:310-316) menegaskan III. Sebagaimana dijelaskan, bahwa
bahwa bagian riasan berkaitan dengan kemewahan gaya hidup di kadipaten
pembentukan karakterisasi pada masing- pada masa itu, membawa efek pada pola
masing tokoh dan bagi wayang kulit sunggingan yang memadukan beragam
secara ikonografis sangatlah kompleks. corak yang dipandang mewah dalam
Pola ulat-ulatan untuk kumis, alis, dan bagian motifnya. Perpaduan motif Cina
simbar tampak mirip dengan pola ulat- dengan pola motif bunga yang sedikit
ulatan dalam ilustrasi naskahnya. Pola bergaya realis menjadi satu gaya ungkap
alis melengkung, cenderung setengah dalam sunggingan beberapa wayang pada
lingkaran mengikuti pola bedhahan mata masa Paku Alam IV. Sebagai contoh yang
thelengan, pola kumis juga mengikuti dimunculkan sebagai kekhasan mewah
garis bibir salitan yang hampir semua dalam hal sunggingan wayang, terdapat
dikatakan simetris. Dalam pola tarian pada tokoh wayang Dasamuka dan
wayang wong dikategorikan sebagai Baladewa. Setidaknya, kedua wayang
tipe gagahan kambeng yaitu karakter yang masuk perangkat Kyai Jimat
putra yang halus dan rendah hati ini dianggap menjadi klangenan atau
yang mengarahkan pandangan secara sesuatu yang sangat disenangi. Belum
diagonal ke bawah (Soedarsono, 1997: lagi dengan ditampilkannya tangkai
331). Kesempurnaan sunggingan pada wayang atau gapit yang diukir pada
wayang mulai dipertunjukkan pada masa bagian atas picisan dan lengkeh-nya
Paku Alam III hingga Paku Alam IV. untuk beberapa koleksi wayang tertentu,
Tradisi kesusastraan dan kesenian seperti gapit pada wayang Kresna.
diceritakan sempat mengalami masa Perkembangan penciptaan wayang
stagnan pada masa pemerintahan kulit purwa di Kadipaten Pakualaman
Paku Alam IV, dikarenakan pada masa tetap berlanjut pada era pemerintahan
tersebut Paku Alam IV lebih senang Paku Alam berikutnya, yaitu Paku
memperhatikan sesuatu yang megah Alam V. Setelah mangkatnya Paku
dan mewah sehingga memengaruhi Alam IV dalam usia yang sangat muda
gaya kehidupan di keluarga kadipaten yaitu kurang lebih 36 tahun, suksesi

15
Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30

kepemimpinan berjalan sangat sulit. yang khas digunakan sebagai penanda


Sebagai kepala Kadipaten, Paku Alam beberapa karya wayang yang diciptakan
IV tidak memiliki putra laki-laki. Dalam pada zaman tersebut. Diperkuat lagi
permusyawaratan ditunjuklah putra Paku dengan bukti ilustrasi wayang dalam
Alam II, yaitu KPH Suryadilaga sebagai Serat Baratayuda yang disalin kembali
Paku Alam V. Masa kepemimpinan Paku pada masa pemerintahan Paku Alam
Alam V (1878-1900) tergolong sangat V. Iluminasi dan ilustrasi wayang
terbuka terhadap segala perubahan di dalamnya digambar secara ‘lebih’
yang terjadi. Paku Alam V bercita-cita proporsional dan mapan dibandingkan
memajukan Kadipaten Pakualaman dan dengan ilustrasi dalam Serat Baratayuda
mensejahterakan masyarakatnya. Beliau babon yang diproduksi pada masa Paku
digambarkan merupakan tokoh yang Alam I dan Paku Alam II. Sekalipun
simpatik, mudah bergaul, sopan santun beberapa ilustrasi menceritakan naratif
dalam sikap, bersemangat, bijaksana, yang sama, namun gaya pelukisan dibuat
berwibawa, tidak kolot dan berpikiran secara lebih halus. Stilisasi wayang
maju serta modern. Sebagai putra Paku mendekati pada bentuk gatra wayang
Alam II, kiranya pengetahuan tentang kulit purwa yang sesungguhnya.
kesusastraan dan kesenian pun tidak Penerapan warna biru menjadi satu
diragukan lagi (Poerwokoesoemo, 1985: titik yang memberikan kesan bahwa
226-237). sunggingan wayang produksi Paku
Pada masa Paku Alam V kehidupan Alam V adalah sebagai ciri khusus yang
kesenian terutama dramatari wayang menjadi gaya ungkap untuk menandai
cukup mendapat perhatian. Khususnya sebuah karya. Pada beberapa seniman,
tari wayang wanita yang diperankan suatu penanda diberikan terhadap
anak perempuan kecil-kecil yang objek yang diciptakannya sebagai ciri
biasa dikenal dengan Langen Kusuma khusus yang dapat menunjuk serta
Banjaransari yang berpijak pada siklus membedakannya dengan karya masa
wayang Gedhog. Selain itu, Paku Alam sebelum atau sesudahnya. Penanda
V merupakan pengembang gending dalam hal penciptaan figur wayang dapat
dan sekar ageng, pencipta Beksan ditunjukkan melalui ciri tatahan, misal
Bandabaya, Lawung, dan Jebeng. Dalam membubuhkan titik atau pahatan tertentu
masanya, beberapa wayang kulit purwa di suatu tempat atau bidang karyanya.
dilengkapi dengan mengambil pola Selain itu, dapat juga ditunjukkan
wayang sebelumnya dengan kekhasan dengan pemanfaatan media warna atau
pada bagian sunggingan. Mengenai pola percampurannya yang digoreskan pada
tatahan, agaknya masih meneruskan bagian atribut-atribut tertentu dalam
pola tatahan Kyai Kertiwanda. Dominasi objek gambarnya. Seniman penyungging
warna biru nila sebagai salah satu ciri berupaya meneguhkan ciri khusus
khas warna sunggingan pada masa berupa warna biru nila sebagai ungkapan
Paku Alam V. Pemakaian warna biru tua karya cipta masa Paku Alam V.

16
Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa

Gb.5. Teknik tata ungkap warna sunggingan biru nila pada bahian-bagian
kelat bahu, gelang, sumpingan, dan celana pada wayang yang memberikan
tanda sebagai ciri khusus sunggingan wayang pada masa Paku Alam V. Pada
gambar sebelah kiri merupakan tokoh Gathutkaca yang terdapat dalam
ilustrasi Serat Baratayuda (0110/PP/73) dan gambar sebelah kanan adalah
wujud wayang Bratasena gagrag Pakualaman. Ilustrasi wayang pada naskah
menunjukkan penyempurnaan wujud yang digambar semirip mungkin
bentuk wayang secara artefaknya. (Foto: R Bima Slamet Raharja, 2016).

Seiring perjalanan dan serta motif sunggingan. Era Paku Alam V


perkembangannya, wayang kulit purwa dapat dikatakan sebagai puncak langkah
Kadipaten Pakualaman mulai mengalami penciptaan wayang kulit purwa.
geliat yang dinamis. Penyempurnaan Namun demikian, dalam catatan
bentuk dengan mengacu pada pola dasar sejarah menyatakan bahwa di masa
wayang kulit purwa gagrag Mataraman pemerintahan Paku Alam VI yang cukup
dengan sub gaya Yogyakarta dan singkat, yaitu satu tahun sebelum
wilayah Kedu telah menunjukkan suatu wafatnya, dilengkapilah seperangkat
karakter yang berbeda. Salah satunya wayang dengan latar epos Ramayana.
adalah konsistensi atribut keris menjadi Pelengkapan wayang ini merujuk pada
penanda yang paling spesifik untuk wayang-wayang kera (Albiladiyah,
menunjuk eksistensi wayang Pakulaman 1985:51). Namun demikian, hipotesa
dalam ranah budaya pewayangan. Dasar ini kiranya masih perlu dikaji kembali.
penciptaan melalui referensi sumber Hal ini dibuktikan dalam penelusuran
kesusastraan berupa naskah pewayangan dan observasi bahwa sebagian besar
tidak hanya terpaku pada naratif dengan wayang Ramayana justru sudah digubah
pengembangan imajinasi pujangga dan dilengkapi pada era Paku Alam II
wayang, tetapi mengadopsi ilustrasi dan Paku Alam III. Sebagai bukti adalah
wayang di dalamnya. Transformasi di ditemukannya keterangan-keterangan
dalamnya melahirkan ide-ide, gagasan, nama dan tarikh penciptaan wayang
dan wawasan tentang kekayaan bentuk sekaligus yasan dari era Paku Alam

17
Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30

yang ke berapa; yang tertera pada bagian wayangnya yang sedikit mempunyai
plemahan atau sitenan pada setiap kesan ‘nyurakarta’ tetapi tetap berdasar
wayangnya. Di samping itu, bentuk pada ‘ Mataraman ngYojan’. Sebagai
wayang yang lebih arkaik dibandingkan salah satu contoh adalah ditemukannya
era Paku Alam II hingga Paku Alam V wayang tokoh Werkudara dengan postur
yang sudah lebih baik penggarapannya. yang jangkung seperti halnya tokoh
Dalam penelusuran, belum ditemukan Werkudara gaya Surakarta, namun
beberapa wayang yang diciptakan pada berpegang pada pedoman bedhahan gaya
masa Paku Alam VI. Selama Paku Alam Mataraman Yogyakarta.
VI bertahta, proses penciptaan wayang Gambar 6 menunjukkan
untuk melengkapi perangkat Kyai Jimat percampuran gaya yang diciptakan
tetap berjalan, hanya belum muncul pada masa pemerintahan Paku Alam VII
sebagai produk artefak wayang yang antara Mataraman Yogyakarta dengan
baru. Baru pada masa pemerintahan Surakarta untuk tokoh Werkudara.
Paku Alam VII beberapa karya wayang Secara garis besar proporsi tubuh mirip
dijumpai dengan ciri-ciri tertentu pula. dengan Werkudara gaya Surakarta,
Masa pemerintahan Paku Alam namun secara atributif dan bedhahan
VII (1906-1937) berupaya melengkapi (tatahan pada muka) tetap berpedoman
penciptaan wayang kulit purwa yang pada pola wayang gaya Mataraman
berada pada perangkat Kyai Jimat. sub gagrag Yogyakarta. Kemungkinan
Lebih lanjut, pada masa Paku Alam VII besar, Paku Alam VII ingin meminimalis
pertunjukan wayang, tari, dan gamelan batas-batas budaya antara Yogyakarta
sering dipergelarkan di istana yang dan Surakarta. Dalam keterangan lain
bisa dilihat oleh siapa pun.Hal tersebut pun disebutkan bahwa untuk kasus
membuktikan perhatian yang sangat seni tari terkadang beberapa gerakan
berarti bagi kehidupan kesenian di antara tarian Yogyakarta dan Surakarta
Kadipaten Pakualaman. Kehidupan seni diadaptasi dan dipadukan dengan baik.
sangat terbuka pada masanya. Sekalipun Bahkan terhadap gending-gending juga
demikian, usaha untuk melengkapi demikian halnya. Sekalipun sering
perangkat Kyai Jimat juga terus dilakukan mendapatkan kritik, namun Paku Alam
sebagai usaha menjaga dan melestarikan VII bertujuan untuk mengembangkan
warisan kakek moyangnya. Tampaknya, dan mensinergikan suatu pemikiran
pengaruh komposisi atau percampuran serta hasil kesenian, tidak dengan
gaya penciptaan wayang juga dilakukan maksud merusak dan mencela setiap
Paku Alam VII. Dalam hal sunggingan gaya kesenian (Poerwokoesoemo, 1985:
wayang, seniman sungging pada masa 304-305). Pada dasarnya, penciptaan
Paku Alam VII mengombinasikan wayang kulit purwa masa Paku Alam
pewarnaan antara gaya Surakarta dengan VII bertujuan melengkapi perangkat
Yogyakarta sehingga menghadirkan hasil wayang kulit gagrag Pakualaman sebagai
yang indah. Demikian pula pada bentuk bagian kreativitas produk budaya di

18
Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa

Gb.6. Gambar sebelah kiri menunjukkan tokoh Werkudara ‘Kyai


Jimat’ gagrag Pakualaman, sedangkan gambar sebelah kanan
adalah juga tokoh Werkudara gagrag Surakarta perangkat kotak
Pakubuwanan yang terdapat di Kadipaten Pakualaman
(Foto: R Bima Slamet Raharja, 2016).

lingkungan Pakualaman yang bertujuan mahkota KGPH Suryadilaga (sekarang


sebagai sarana pengetahuan dan edukasi bertahta sebagai Paku Alam X) agar
kerabat besar Pakualaman sendiri melakukan duplikasi serta melengkapi
melalui keanekaragaman bentuk dan lagi koleksi wayang kulit purwa Kyai
narasi yang diungkapkan. Jimat dalam gatra yang baru.
Kegiatan penciptaan wayang gagrag
Pakualaman kiranya tidak menjadi Inter relasi Antara Ilustrasi Wayang
fokus perhatian bagi Paku Alam VIII dalam Naskah dengan Wujud Wayang
(1937-1998), namun hanya bersifat Kulit Purwa Kyai Jimat : Kajian
pelestarian dan perawatan terhadap Intertekstual dan Ikonografi
warisan budaya yang dianggap sebagai Keberadaan wayang kulit purwa
pusaka. Sekalipun disebutkan bahwa ‘Kyai Jimat’ gagrag Pakualaman tidak
pada masa Paku Alam VIII hadir seorang dapat dilepaskan dari referensi atas
seniman penyungging bernama Lurah ilustrasi dan naratif dalam naskah
Jayengutara, namun tidak ditemukan kesusastraan di skriptorium Pakualaman.
data-data hasil sunggingannya dalam Keduanya saling berkaitan. Ilustrasi
penciptaan wayang kult purwa. naskah yang merupakan bagian produk
Demikian pula pada masa Paku Alam kesusastraan berfungsi iluminatif, yaitu
IX (1999-2015), kegiatan yang berjalan sebagai penghias. Meminjam pernyataan
berupa konservasi dan pemeliharaan Sedyawati (2008 II: 312) bahwa dalam
terhadap aset wayang kulit purwa Kyai mengkaji naskah kuna beriluminasi,
Jimat. Menjelang wafat, Paku Alam IX terdapat dua macam kebermaknaan,
memberikan perintah kepada putra yaitu aksara sebagai sistem tanda

19
Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30

pengganti bunyi dan hiasan sebagai halaman naskah melalui teknik penulisan,
semata-mata penikmat pandangan. pola pewarnaan dengan hiasan dekoratif,
Namun, tidak dapat dipungkiri pula atau kelengkapan lainnya. Termasuk
bahwa terkadang hiasan atau iluminasi dalam hal ini adalah hiasan pungtuasi,
dalam naskah memuat simbol yang pembingkai teks (wedana renggan),
bermakna. Pernyataan ini merupakan dua rubrikasi, dan gambar kaligrafi (Behrend,
sisi yang layak dikaji, yaitu keberadaan 1996: 188). Ilustrasi bertema wayang kulit
aksara yang merangkai dalam kalimat purwa termasuk dalam bagian iluminasi.
sebagai bagian yang membantu untuk Apabila dari penjelasan Sedyawati dan
memahami apa yang diilustrasikan Behrend bahwa iluminasi sekedar pemanis
melalui naratifnya. Adapun iluminasi pun dan penikmat pandangan, tidak demikian
dapat bermakna di mata pembaca sebagai halnya yang diungkapkan dalam salah
penikmat yang mampu menceritakan satu naskah skriptorium Pakualaman
melalui kedalaman estetiknya. Tentu dalam Serat Baratayuda babon, yaitu
saja bagian terakhir ini mesti dipahami sebagai berikut.
melalui makna di balik hiasan atau
ilustrasi yang digambarkan. [...] supados remena kang mirsa
mirengake [...]
Secara visual, ilustrasi dapat
[...] pra putra kang timur-timur
menjelaskan berbagai tata ruang, suasana, sami, mung remen ningali gambar
posisi duduk atas dan bawah, jenis ornamen warnenipun, dene ingkang wus
tertentu, dan lain sebagainya. Iluminasi diwasa sami, sestradi kinaot, kathah
mawon kalepehane, kautaman [...]
pada naskah yang berupa gambaran
dekoratif, ornamental, ilustrasi, dan
Terjemahan:
garis-garis tertentu yang bermakna, pada
[...] agar menjadi senanglah yang
dasarnya merupakan bagian ‘sastra visual’; melihat serta mendengarnya [...]
yang berarti cerita atau tulisan dalam [...] para putra yang masih anak-
citraan visual (Sedyawati, 2008 II: 313). anak hanya senang melihat gambar
yang berwarna, sedangkan bagi
Kesusastraan skriptorium Pakualaman,
mereka yang dewasa, sestradi yang
terutama yang bergenre sastra wayang, diunggulkan mempunyai banyak
acapkali disertai dengan citraan visual keutamaan [...]
dalam ilustrasi dan iluminasi. Ilustrasi
berupa gambaran karakter-karakter tokoh Keterangan di atas memberikan
wayang dalam suasana tertentu, atau ketegasan fungsi gambar selain sebagai
dapat juga berupa gambar ornamental penghibur untuk para putra yang
berupa wedana renggan atau wedana masih kecil, juga sebagai pemantik
gapura renggan yang sarat dengan makna atau rangsangan agar tertarik untuk
simbolik tertentu dan menceritakan kisah- mempelajari lebih lanjut. Sedangkan,
kisah tertentu. Istilah iluminasi sendiri ketika dewasa terdapat pelajaran
dalam kaitannya dengan naskah adalah yang dapat diambil dalam naratifnya.
penjelasan atau pemertinggi kesan atas Istilah sestradi yang berarti suatu

20
Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa

ajaran berolah rasa melalui sarana kebudayaan di Pakualaman yang


nyata untuk berkontemplasi sehingga mempelopori terciptanya figur wayang.
pemahaman terhadap makna hidup Paku Alam II meneguhkan bentuk dasar
dapat dicapai (Saktimulya, 2011: 11). wayang kulit purwa ciptaannya dengan
Sarana nyata dalam hal ini adalah salah satu ciri khusus yang kelak dipakai
apa yang dibaca dilihat, direnungkan, sebagai identitas bagi lahirnya gaya
diselami, dan dipahami serta kemudian wayang Pakualaman, yaitu pemakaian
diimplementasikan dalam kehidupan keris. Dalam pengkajian secara detail,
yang sesungguhnya. Beberapa karya setiap tokoh wayang gagrag Pakualaman
kesusastraan seperti halnya Serat hampir semuanya mengenakan atribut
Baratayuda, Sestra Ageng Adidarma, keris dengan corak sunggingan yang
Sestradisuhul, Asthabrata, dan masih hampir dibedakan satu sama lain. Hal
banyak lagi karya lainnya memuat ini memberikan dugaan bahwa setiap
tentang ‘sestradi’ tersebut. Demikian tokoh menggambarkan satu karakter
pula nilai-nilai moral yang didapat dari manusia. Menurut keterangan yang
cerita para tokoh pewayangan, seperti diberikan KRMT Mangunkusuma, tujuan
para Pandawa, Kresna, para dewa yang Paku Alam II memberikan identitas
termuat dalam Asthabrata dinarasikan keris untuk setiap tokoh wayang adalah
dengan begitu gamblang sebagai sebuah berupaya ‘nguwongke’ ‘memanusiakan’
keteladanan bagi pembacanya. Lombard si tokoh sebagai aktor penggerak dan
pun menegaskan bahwa seni pewayangan, pengisi kehidupan.vii Dalam kaitannya
termasuk tokoh-tokoh yang diceritakan dengan keris, tidak lepas dari budaya
di dalamnya tidak terbatas pada sisi-sisi pengagungan yang muncul dari
ritual belaka melainkan alat pedagogis lingkungan kraton yang menunjuk
yang sangat efektif (2005: 130-135). pada simbol status dalam tata busana
Tidak hanya tentang para tokoh-tokoh sekaligus fungsinya sebagai senjata
yang baik, bahkan Duryudana sebagai (Dharsono, 2004: 4). Apabila ditinjau dari
sulung dari Kurawa yang seringkali corak sunggingan, dijumpai motif yang
dikategorikan sebagai tokoh antagonis berbeda untuk setiap corak warangka
pun dapat digunakan sebagai contoh dan deder-nya, meskipun hampir semua
moral seharusnya dihindari. berjenis branggah atau ladrangan.
Penciptaan artefak wayang Selain sebagai penanda status,
perangkat Kyai Jimat pada awalnya sebenarnya dalam wujud wayang kulit
dikhususkan pada mewujudkan beberapa sendiri keris berfungsi sebagai benda
tokoh sebagai contoh atas karakter dan hias yang memberikan kesan estetik
moral seseorang, baik itu yang bersifat serta penanda bahwa karakteristik
baik maupun yang tidak baik. Kiranya wayang kulit purwa gagrag Pakualaman
nama Paku Alam II sebagai seorang adalah wayang berkeris.
ahli yang cakap di bidang kesusastraan Inter relasi antara ilustrasi wayang
dan kesenian sekaligus pengembang yang termuat dalam sumber tekstual

21
Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30

kesusastraan menjadi referensi dalam


penciptaan wujud wayang secara
artefaknya. Bentuk-bentuk ilustrasi
wayang yang digambar dalam manuskrip
pada masa Paku Alam II masih dalam
bentuk-bentuk arkais yang masih Gambar.7. Pola sunggingankeris yang
perlu disempurnakan kembali. Namun berbeda bagi tiap tokoh wayang dalam
wayang kulit purwa Kyai Jimat gagrag
demikian, komponen pewarnaan menjadi Pakualaman. Perbedaan ini terdapat pada
salah satu kiblat sunggingan wayangnya, motif sunggingan pada bagian warangka
citraan visual atau gaya ungkap dalam serta deder (ukiran pegangan) meskipun
sama-sama keris berjenis ladrangan atau
ilustrasi memberikan inspirasi bagi karya branggah. Bercak atau guratan pada
wayangnya. Untuk lebih mengetahui bagian warangka menunjukkan ‘pelet’ atau
motif yang terdapat pada kayu. Begitu pula
inter relasi antara bentuk gatra wayang
bagian deder keris yang berlainan coraknya
dan ilustrasi wayang dalam manuskrip (Foto: R Bima Slamet Raharja, 2016)
akan diberikan kajian satu tokoh, yaitu
figur Bathara Bayu yang mempunyai Werkudara, penghalau segala sifat jahat,
kekhususan gatra dalam wayang kulit serta dalam skriptorium Pakualaman
purwa gagrag Pakualaman. digolongkan sebagai bagian dari delapan
Penciptaan suatu bentuk seni watak dewa yang dikenal dengan
yang berangkat dari seni tradisi pada Asthabrata.
umumnya selalu taat pada aturan-aturan Secara umum menurut gaya
tertentu, stereotip, memegang teguh pada Mataraman baik Ngayogyakarta
ketentuan yang ada (Soedarso, 2006: maupun Surakarta, Bathara Bayu selalu
70). Keberadaan penciptaan seni tradisi digambarkan dalam sosok tinggi besar,
kiranya hampir tidak membutuhkan mirip dengan Werkudara. Seperti halnya
suatu kreativitas yang kemudian seolah- dewa-dewa yang lain juga mempunyai
olah hanya mengikuti apa yang sudah atribut kedewaan yang spesifik seperti
ada sebelumnya. Cukup berbeda dalam menggunakan penutup kepala baik
hal penciptaan wayang kulit purwa di mahkota ataupun kethu oncit (penutup
lingkungan Kadipaten Pakualaman. kepala khas untuk tokoh wayang
Sebagai pengembang kebudayaan baru golongan dewa), kadang berjubah atau
pada pertengahan abad ke-19, Paku Alam tidak, mengenakan sampir sebagai ciri
II berusaha menerobos batasan tradisi kedewaannya, ada yang mengenakan
tersebut. Hal ini dibuktikan dengan sepatu atau hanya lugas tanpa alas
menciptakan figur-figur yang diceritakan kaki. Ciri yang sangat jelas, mempunyai
dalam naratif pewayangan ke dalam kuku pancanaka, ber-pupuk pada bagian
bentuk baru yang anti mainstrem. Pada dahi, dan berkain poleng untuk kampuh
tokoh Bathara Bayu, sosok yang sering yang dikenakan. Akan tetapi, dalam
diungkapkan dalam cerita pewayangan lingkungan Kadipaten Pakualaman
sebagai dewa angin, ayah ilahiah dari diungkapkan dengan pola yang cukup

22
Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa

Atribut yang lain ia mengenakan


sumping kudhup turi dan berjamang
sada saeler atau berturida. Rambut
bergelung supit urang dengan kancing
gelung berwujud merak. Lengannya
lugas tanpa gelang, hanya pada bagian
tangan mengenakan gelang binggel
candrakiranabalibar manggis seperti
gelang pada tokoh wayang Werkudara.
Berkain penutup poleng hitam putih dan
pada paha terdapat hiasan berupa porong
nagaraja. Sunggingan muka berwarna
hitam serupa dengan sunggingan wajah
Werkudara. Seperti halnya ciri wayang
Gambar.8. Bathara Bayu wayang kulit kulit gagrag Pakualaman, Bathara Bayu
purwa Kyai Jimat gagrag Pakualaman. juga menyelipkan keris di belakang
Wayang ini diciptakan pada masa
pemerintahan Paku Alam II dan diberi punggung. Figur wayang kulit purwa
nama khusus ‘Kyai Bayubajra Sudibya Bathara Bayu ciptaan Paku Alam II
Asmaralaga’ (Foto: R Bima Slamet Raharja,
semacam ini ditemukan pula dalam
2016)
referensi ilustrasi naskah, yaitu seperti
berbeda dibandingkan setidaknya gagrag yang terdapat dalam naskah Pawukon
Yogyakarta atau Surakarta. Menurut dan Sestra Ageng Adidarma. Kedua
ilustrasi naskah yang diciptakan pada naskah tersebut merupakan produk dari
masa Paku Alam II memberikan gambaran era Paku Alam II selama bertahta.
yang unik, di mana Bathara Bayu secara Pada prinsipnya, secara ikonografis,
umum dilukiskan tidak jauh berbeda wanda Bathara Bayu dalam tradisi wayang
dengan bentuk tokoh Werkudara, baik kulit purwa gaya Mataraman Yogyakarta
secara atribut maupun bentuk luarnya. mengacu pada ekspresi wanda wayang
Kekhasan ini hampir tidak diketahui Werkudara. Ketiga macam wanda yang
oleh banyak pihak, terutama masyarakat umum ditemukan adalah wanda Bugis
pedalangan sendiri. yang ditunjukkan dengan roman wajah
Figur wayang Bathara Bayu koleksi yang tampan dan pandai berbicara.
Pakualaman cukup spesifik dan berbeda Wanda Ketug atau Lintang dengan roman
dibandingkan dengan banyak figur wajah yang tidak begitu ramah, ketus
Bathara Bayu yang muncul pada setiap dalam perkataan. Sedangkan ketiga
gaya. Tokoh Bathara Bayu diungkapkan adalah wanda Lindhu atau Hindhu yang
secara lugas seperti halnya figur tokoh digambarkan pada roman wajah yang
wayang Werkudara. Ia berhidung tenang sedikit angkuh serta tidak ragu-
dhempok, bermata thelengan, bermulut ragu dalam bertindak. Dalam naratifnya,
salitan, berjenggot dan berjanggut. Bathara Bayu digambarkan sebagai

23
Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30

Gambar.9. ilustrasi tokoh Bathara Bayu dalam naskah skriptorium


Pakualaman. Gambar sebelah kiri merupakan figur Bathara Bayu
menurut ilustrasi naskah Sestra Ageng Adidarma, sedangkan
gambar sebelah kanan merupakan figur Bathara Bayu menurut
naskah Pawukon. Kedua naskah berasal dari skriptorium Paku Alam
II. (Foto: R Bima Slamet Raharja, 2016)

sosok yang tidak ragu-ragu dalam Perwatakan tokoh Bathara Bayu


bertindak, kukuh teguh pendiriannya, secara naratif sebanding dengan
bertanggungjawab dalam tugas yang gatra wujud wayang kulit purwa yang
diembannya, sedikit kaku sikap dan gagah, tinggi besar. Dalam gatra wujud
karakternya serta dalam berbicara tidak wayangnya diungkapkan mirip dengan
pandai berbasa-basi. tokoh Werkudara. Sebagaimana telah
Menurut teks Sestra Ageng Adidarma, diketahui bahwa dunia wayang kulit
bagian dari pupuh XIV Dhandhanggula mengenal tipologi, yaitu hubungan antara
bait ke 4e disebutkan perwatakan Bathara bentuk-bentuk atau ciri tertentu dengan
Bayu sebagai berikut. perwatakan tokoh yang digambarkan
(Soedarso, 1987:13). Keterkaitan bentuk
[...]/ kaku kukuh sang Bayu iki/
dengan perwatakan dalam wayang kulit
lir gunung wesi pama/ sapa kelar
ngusung/ gedhe dhuwur wrat tidaklah mutlak, sebagaimana manusia
sinangga/... pun demikian. Akan tetapi berpedoman
pada kaidah wanda menjadi lebih
Terjemahan: spesifik lagi.
Sang Bayu ini berwatak kaku Bathara Bayu, dalam wayang
dan kokoh bagaikan gunung besi
kulit purwa gaya Mataraman sub gaya
ibaratnya. Siapa mampu untuk
mengangkatnya, (sungguh) besar Yogyakarta seringkali diwujudkan
dan tinggi sehingga berat untuk dalam wanda Lintang. Beberapa
disangga... anggapan bahwa wanda Lintang
mewakili karakter tampan, cemerlang,

24
Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa

dan berpembawaan tenang viii namun, Dengan begitu, kesimpulan yang


menurut keterangan wanda versi dapat ditarik dalam pengkajian wayang
Prawiradipura justru sebaliknya. Hal kulit purwa gagrag Pakualaman adalah
ini mungkin disebabkan sebagian wayang yang diciptakan bukan semata-
anggapan seniman pedhalangan yang mata untuk kepentingan pertunjukan.
merujuk dan terfokus kata ‘Bayukusuma’ Akan tetapi memuat referensi baik secara
sebagai padanan wanda Lintang untuk naratif, maupun diungkapkan secara
tokoh Werkudara, padahal keduanya ilustratif yang berkaitan dengan naratif
berlainan. Dalam koleksi Kraton kesusastraan dalam skriptorium Paku
Yogyakarta, amat jelas pada bagian Alam II hingga Paku Alam VII. Berbagai
keterangan tokoh wayang Werkudara anggapan muncul, bahwa wayang yang
dengan wanda Lintang bernama Kyai diciptakan dengan gagrag Pakualaman
Bayukusuma. Jadi, nama Bayukusuma tidak lengkap. Anggapan ini tidak
bukanlah nama wanda yang kemudian sepenuhnya salah, karena penciptaan
diinterpretasi sebagai perwakilan wayang di lingkungan Pakualaman lebih
suatu karakter, melainkan nama yang menekankan aspek pedagogis yang terkait
diberikan si pemilik wayang, dalam dengan ajaran sestradi sebagaimana
hal ini Sultan Hamengku Buwana I. diungkapkan sebelumnya. Oleh karena
Pada sebagian figur wayang Werkudara itu, pada setiap era penciptaan wayang
di era sesudahnya pun mengalami terdapat dinamika dalam hal indah
kesalahpahaman dalam penyebutan dan ngrawitnya penggarapan atau
dan penciptaan Werkudara wanda sebaliknya, substansi secara naratif dan
Lintang atau Ketug ini. Hal ini sama moralitas lebih diutamakan dibandingkan
ketika memperhatikan keterangan pada kuantitas yang banyak namun kurang
bagian plemahan (bagian kaki wayang) mempunyai efektivitas.
tokoh wayang Bathara Bayu gagrag Berdasarkan atas dua gatra
Pakualaman yang diberi nama “Kyai wayang gagrag Pakualaman, yaitu tokoh
Bayubajra Sudibya Asmaralaga”. Tanpa Duryudana dan Bathara Bayu memberikan
bekal pengetahuan teks dan ilustrasi keterangan bahwa penciptaan wayang
arkais sebagai referensi hadirnya kulit purwa Kyai Jimat di lingkungan
wayang corak Pakualaman pada masa Kadipaten Pakualaman tampaknya
Paku Alam II, tentu akan timbul sebagian besar mengacu pada referensi
perkiraan apabila tokoh wayang tersebut kesusastraan terutama pada bagian
adalah wujud wayang Werkudara naratif dan tentunya ilustrasi wayangnya.
dalam varian khusus. Selama periode Produk-produk kesusastraan wayang
perkembangan penciptaan wayang kulit pada masa Paku Alam II menjadi salah
purwa Kyai Jimat, tidak diungkapkan satu sumber penciptaan gatra rupa
lagi bentuk lain wayang Bathara Bayu wayang kulit purwa yang disempurnakan
sehingga dianggap Pakualaman tidak sesuai dengan kaidah pembuatan wayang
menciptakan figur wayang tersebut. sesuai pola dasarnya, yaitu mengacu pada

25
Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30

bentuk wayang gagrag Mataraman bersub memuat inter relasi antara wayang kulit
gaya Yogyakarta. Cukup banyak figur purwa dalam bentuk artefaknya dengan
wayang yang diciptakan mengadopsi dari ilustrasi yang berdasar atas naratif teks
bentuk yang termuat dalam ilustrasinya, kesusastraan ber-genre sastra wayang.
seperti para Pandawa (Puntadewa, Nama Kyai Jimat yang disematkan
Werkudara, Arjuna, Nakula, dan kepada seluruh figur perangkat wayang
Sadewa), Kresna, Baladewa, Abimanyu, koleksi Pakualaman ini setidaknya
Gathutkaca, Seta, Dursasana, Salya, mempunyai latar historis yang perlu juga
Karna, Dasamuka, Sugriwa, Subali, diketahui.
Duryudana, Mangsahpati, Setyaki, Wayang kulit purwa perangkat ‘Kyai
Brahala Triwikrama, dan masih banyak Jimat’ disimpan dalam satu peti kayu
lagi. Sejumlah nama tokoh tersebut bermotif dengan tutup yang di atasnya
sebagian besar merupakan reinterpretasi terdapat ukiran sebuah keterangan
dari bagian iluminasi yang berupa dalam aksara Jawa dengan corak huruf
ilustrasi wayang. berskriptorium Paku Alam II berbunyi
Penciptaan wayang kulit purwa “Kala Kawangun Taun Alip 1771” yang
Kyai Jimat dengan gagrag Pakualaman secara harfiah berarti sebuah peringatan
dalam perjalanannya tidak diciptakan ‘Saat dibangun atau dibuat pada tahun
pada satu era pemerintahan Paku Alam 1771” Tahun tersebut merupakan
yang bertahta, namun diciptakan secara tahun Jawa yang bila dikonversikan ke
bertahap mulai dari Paku Alam II dan dalam tahun Masehi sekitar tahun 1842
terakhir berusaha dilengkapi pada era masehi tepat ketika era pemerintahan
Paku Alam VII. Terdapat satu tokoh yang Paku Alam II. Dalam penelusuran,
diduga diciptakan pada masa Paku Alam pemberian nama satu perangkat wayang
I yaitu wayang kulit Bathara Guru yang yang tesimpan dalam satu peti/kotak
dikenal dengan wanda wali. Namun dapat biasanya didasarkan pada 1)Momentum
pula, wayang tersebut baru diciptakan atau kejadian tertentu sehingga lahir
pada masa Paku Alam II sebagai sebuah dan diciptakan satu tokoh wayang
peringatan secara sakral dan simbolis tertentu; 2) Nama si pencipta atau dalam
untuk mengingat perjuangan sang ayah istilah Jawa terkenal dengan istilah
sebagai wali pertama sebuah kadipaten ‘Yasan”, 3) Kesukaan dan kecintaan
yang baru. Hampir sebagian besar si pemilik terhadap salah satu tokoh
koleksi wayang kulit purwa dibuat wayang tertentu yang juga tersimpan
berdasarkan naratif Ramayana dan dalam satu peti dan biasanya wayang
Mahabarata yang sejumlah besar tokoh tersebut sebagai ‘tindhih’ atau pelopor
mengacu pada bentuk gatra wayang yang dijadikan pusaka atau klangenan
dalam ilustrasi naskah skriptorium ‘kesenangan’, dan 4)keinginan pemilik
Paku Alam II, seperti Serat Baratayuda, atau pencipta terhadap suatu nama
Serat Lokapala dan Arjunawijaya, Serat tertentu yang menurutnya indah dan
Rama, serta Serat Pawukon. Hal ini yang bermakna. Pemberian nama ‘Kyai Jimat’

26
Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa

dimaksudkan sebagai sesuatu yang harus P o l a tatahan d a n sunggingan


dijaga karena dianggap mempunyai daya berbeda-beda tergantung setiap era
berlebih. Daya kelebihan ini terutama penciptaan wayang. Tatahan ngrawit,
tentang keestetikaan wayang, nilai wijang dengan ciri pada bagian sumping
moral yang harus dijaga dan diteladani dengan pola tatahan kawatan yang
dari beberapa figur-figur yang pantas berpadu dengan motif mas-masan
sebagai suri teladan, dan keindahan yang menjadi ciri yang dapat dikenali lebih
berbeda dalam pengungkapannya. jauh. Hampir sebagian besar wayang
diciptakan berdasarkan pada sumber
KESIMPULAN referensi dari ilustrasi kesusastraan ber-
Gatra rupa wayang kulit purwa genre sastra wayang dan piwulang dalam
gagrag Pakualaman yang diberi nama skriptorium Paku Alam II. Penciptaan
perangkat Kyai Jimat ini diciptakan wayang kulit purwa perangkat Kyai
tidak semata-mata untuk kepentingan Jimat memunculkan aspek historis
seni pertunjukan yang biasa dikenal dalam perkembangannya di setiap masa
sebagai pentas pakeliran. Akan pemerintahan Paku Alam yang bertahta.
tetapi mengandung muatan yang Dalam penelusuran, tidak ditemukan
lebih kompleks serta komprehensif wayang yang diciptakan pada masa Paku
menyangkut aspek seni rupa, sastra, Alam VI, Paku Alam VIII, dan Paku Alam
pedagogis, dan kefilsafatannya. Dalam IX. Wayang perangkat Kyai Jimat paling
kajian penelitian ini dititikberatkan banyak diciptakan pada masa Paku Alam
pada aspek perkembangan historis II, Paku Alam III, Paku Alam IV, Paku
yang berkaitan dengan aspek seni rupa Alam V, dan Paku Alam VII. Inter relasi
bagaimana wujud wayang diciptakan gatra rupa wayang dengan ilustrasi dalam
dalam kaitannya dengan sumber yang manuskrip kesusastraan mempunyai
mendasari lahirnya gaya Pakualaman keterkaitan saling mendukung dan
di kemudian hari. Melalui penelitian ini menyempurnakan dalam sisi penciptaan
ditemukan banyak hal yang berkaitan bentuknya. Stilisasi tetap diperhatikan
dengan ciri khusus wayang kulit purwa sesuai dengan kaidah penciptaan wayang
yang disebut Kyai Jimat, yaitu hampir kulit gagrag Mataraman. Wayang kulit
semua tokoh mengenakan keris kecuali purwa gagrag Pakualaman menghadirkan
tokoh putren dan panakawan. Ciri ini wanda tertentu yang dalam kajian
yang memberikan kesan serta konvensi selanjutnya perlu lebih digali lebih dalam
sebagai ciri khusus yang dipunyai wayang lagi.
kulit purwa gagrag Pakualaman. Pola
dasar bentuk wayang mengacu bentuk DAFTAR PUSTAKA
wayang kulit purwa gagrag Mataraman Albiladiyah, S Ilmi.Pura Pakualaman
dengan sub gaya Yogyakarta sebagai Selayang Pandang. Yogyakarta: Balai
mayornya dengan pengembangan dan Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional,
perubahan yang spesifik. 1984/1985.

27
Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30

Behrend, T.E. “Textual Gateway: The Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang
Javanese Manuscript Tradition” dalam Budaya. Warisan Kerajaan-Kerajaan
Illuminations: The Writing Traditions of Konsentris.Buku 3.Jakarta: Gramedia
Indonesia. Jakarta, New York, and Pustaka Utama, 2005.
Tokyo: The Lontar Founddation and Murgiyanto, Sal. Tradisi dan Inovasi.
Weatherhill Inc., 1996 (161 – 200). Beberapa Masalah Tari di Indonesia.
Dharsono, “Keris Nusantara Revitalisasi Jakarta: Wedatama Widya Sastra,
Melalui Upaya Konservasi” dalam 2004.
Makalah Tentang Keris, tidak Peursen, C.A. van.Strategi Kebudayaan.
diterbitkan, 2004. Yogyakarta: Kanisius, 1976.
Djajadipura, K.R.T. “Perkembangan Poerwadarminta, W.J.S. Baoesastra
Pedalangan di Jogjakarta Selama Djawa. Groeningen: J.B. Wolters’
200 Tahun” dalam Kota Jogjakarta Uitgevers-Maatschappij N.V., 1939.
200 Tahun. Jogjakarta: Sub Panitya Poerwokoesoemo, Soedarisman. Kadipaten
Penerbitan , 1956. Pakualaman. Yogyakarta: Gadjah Mada
Harris, Jonathan. Art History The Key University Press, 1985.
Concepts. New York and London: Saktimulya, Sri Ratna (Penyunting).
Routledge Taylor and Francis Group, Katalog Naskah-Naskah Perpustakaan
2006. Pura Pakualaman. Jakarta: Yayasan
Haryanto, S. Seni Kriya Wayang Kulit: Obor Indonesia-The Toyota
Seni Rupa, Tatahan, dan Sunggingan. Foundation, 2005.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, ---------------, “Kesusasteraan di Kadipaten
1991. Pakualaman” dalam Makalah yang
Haryono, Timbul. “Sekilas Tentang disampaikan pada Acara Sasrasehan
‘Koalisi’ Antara Kebudayaan Islam Sabtu Pahingan, di Parangkarsa,
dan Kebudayaan Tradisional di Jawa: Pakualaman 13 Mei 2011 (Makalah
Studi Kasus Seni Pertunjukan Wayang tidak diterbitkan).
Kulit di Jawa” dalam Seni Dalam --------------, dkk.Warnasari Sistem Budaya
Dimensi Bentuk, Ruang, dan Waktu. Kadipaten Pakualaman Yogyakarta.
Jakarta: Wedatama Widya Sastra, Jakarta: Trah Pakualaman Hudyana
2009. dan Eka Cipta Foundation, 2012.
Holt, Claire. Melacak Jejak Perkembangan Samsugi, Ir. dan Sagio. Wayang Kulit
Seni di Indonesia. Pengantar dan alih Gagrag Yogyakarta. Morfologi,
bahasa R.M. Soedarsono. Bandung: Tatahan, Sunggingan, dan Teknik
Masyarakat Seni Pertunjukan Pembuatannya. Jakarta: CV Haji
Indonesia, 2000. Masagung, 1991.
Kumar, Ann, et al. Illuminations, The Sedyawati, Edi. “Budaya Rupa dan Sastra
Writing Traditions of Indonesia. Visual” dalam Keindonesiaan dalam
Jakarta: The Lontar Foundation, Budaya buku II. Jakarta: Wedatama
1996. Widya Sastra, 2008.

28
Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa

-----------------. “Istana Raja dan Kesenian” Sutrisno, R. Pitakonan lan Wangsulan


dalam Keindonesiaan dalam Budaya Bab Wanda Wajang Purwa. Surakarta:
buku II. Jakarta: Wedatama Widya C.V. Mahabarata, 1964.
Sastra, 2008. Triandari, Rindu Restu. “Analisis Ilustrasi
Soedarso Sp, “Benturan Nilai-Nilai Serat Murtasiyah” dalam Skripsi
Tradisional dan Modern Dalam Sarjana Sastra Untuk Sastra Jawa.
kesenian, Khususnya Seni Rupa Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan
yang Ada di Jawa” dalam Soedarsono, Budaya, 2010.
et al (ed.) Pengaruh India, Islam, dan
Barat Dalam Proses Pembentukan MANUSKRIP
Kebudayaan Jawa, Jakarta: Katrangan Namaning Tatahan Ringgit
Proyek Penelitian dan Pengkajian Watjoetjal sarta Soengginganipoen
Kebudayaan Nusantara, Dirjen ingkang beda ing Nagari Soerakarta
Kebudayaan, Departemen Pendidikan Akalijan Nagari Ngajoegjakarta.
dan Kebudayaan, 1985. H. 87-100. Naskah koleksi Perpustakaan FIB
-------------------,“Morfologi Wayang Kulit. Universitas Indonesia.
Wayang Kulit dipandang dari Jurusan Kawroeh Padhalangan (Pethikan Saking
Bentuk” dalam Pidato Ilmiah Dies Serat Sasadara). Naskah koleksi
Natalis Ketiga Institut Seni Indonesia Perpustakaan FIB Universitas
Yogyakarta 25 Juli 1987. Yogyakarta: Indonesia
Institut Seni Indonesia, 1987. Pratelan Wandanipoen Ringgit Watjoetjal
--------------, “Kritik Pedalangan Sebuah Kawroeh Padhalangan.Naskah
Usaha Untuk Menunjang Perkembangan koleksi Perpustakaan Museum Negeri
Seni Pedalangan di Indonesia” dalam Sonobudoyo.
Majalah Pepadi: Cempala Jagad Serat Baratayuda babon.Naskah Koleksi
Pedalangan dan Pewayangan. Edisi: Perpustakaan Pura Pakualaman
Arjunasasrabahu. Jakarta: Redaksi nomor kode 0001/PP/73.St.11.
Cempala, 1998. H.47-51. Serat Baratayuda. Naskah koleksi
----------------, Trilogi Seni Penciptaan, Perpustakaan Pura Pakualaman
Eksistensi, dan Kegunaan Seni. nomor kode 0110/PP/73.St.14.
Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Serat Rama. Naskah Koleksi Perpustakaan
Yogyakarta, 2006. Pura Pakualaman nomor kode 0157/
Soedarsono, R.M. Wayang Wong. PP/73. St. 78
Dramatari Ritual Kenegaraan di Kraton Sestra Ageng Adidarma. Naskah Koleksi
Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada Perpustakaan Pura Pakualaman
University Press, 1997. nomor kode 0012/PP/73.Pi.35.
Surjomihardjo, Abdurrachman. Kota Sestradisuhul.Naskah Koleksi
Yogyakarta Tempo Doeloe Sejarah Perpustakaan Pura Pakualaman
Sosial 1880-1930. Jakarta: Komunitas nomor kode 0008/PP/73.Pi.36.
Bambu, 2008.

29
Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30

Cathetan Kagungan Dalem Ringgit Sepuh ke samping.Biasanya ditemukan pada bagian


busana uncal wastra.Ukuran dan banyaknya
lan Pusaka Kraton Ngayogyakarta jajaran sawutan atau tlacapan ini disesuaikan
Hadiningrat koleksi Perpustakaan luas bidang yang ada pada wayang (lih. Sagio
dan Samsugi, 1991:36).
Kridhamardawa Kraton Ngayogyakarta iv
Wawancara dengan Ki Simun Cermajaya (76
Hadiningrat (tanpa nomor kode tahun) seorang dalang Kraton Ngayogyakarta
sekaligus pembuat wayang pada 5 Agustus 2016.
koleksi). Pendapat yang sama sama juga diungkapkan Ki
Cathetan Kagungan Dalem Ringgit Margiyono, seorang dalang sekaligus pembuat
wayang. (wawancara 27 September 2016).
Wacucal Suwargen koleksi Pola tatahan wijang ini juga berkaitan dengan
Perpustakaan Kridhamardawa Kraton minimnya alat tatah yang dimiliki sebagian besar
dalang, sehingga dalam membuat wayang lebih
Ngayogyakarta Hadiningrat (tanpa diutamakan penguatan wanda dan bedhahan
nomor kode koleksi). yang sebisa mungkin dapat memunculkan
karakter yang kuat pada tokoh wayang.
Cathetan Sudjarah Penatah. Koleksi v
Wawancara dengan Ki Sutarko Hadiwacono
(72 tahun), dalang, tinggal di Katerban Pacor,
Perpustakaan KITLV, Leiden,
Kutoarjo Purworejo pada tanggal 12 April
Belanda. 2016.Hal tentang pemakaian motif cindhe
juga dikemukakan oleh Ki Partono (72 tahun),
seniman wayang yang tinggal di Desa Dewi,
Endnote: Bayan, Purworejo.Sunggingan motif cindheuntuk
atribut celana wayang kelompok jangkahangaya
i
Wawancara dengan KRMT Mangunkusuma (RM
Kaligesingan dan Purworejan tetap berlatar
Tamdaru Tjakrawerdaja) (76 tahun) pada Minggu
belakang warna merah dengan motif kotak-kotak
Legi 10 Juli 2016 di Kadipaten Pakualaman
berwarna kuning cerah yang diselang-seling
Yogyakarta.
dengan warna hitam atau hijau bergradasi.
ii
Periksa Cathetan Kagungan Dalem Ringgit Sepuh
(Wawancara tanggal 12 April 2016).
lan Pusaka Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat vi
Periksa Naskah Tatahan Ringgit Wacucal
dan Cathetan Kagungan Dalem Ringgit
Yogyakarta koleksi Perpustakaan FIB Universitas
Wacucal Suwargen arsip koleksi Perpustakaan
Indonesia
Kridhamardawa Kraton Ngayogyakarta vii
Wawancara dengan KRMT Mangunkusuma(76
Hadiningrat.
tahun) pada Minggu Legi 10 Juli 2016 di
iii
Sawutan merupakan salah satu motif dengan
Kadipaten Pakualaman Yogyakarta.
bentuk segitiga lancip atau cenderung seperti viii
Wawancara dengan Yulius Iswanto (44 tahun),
jarum berukuran kecil.Motif ini kadang dikenal
seorang seniman tatah sungging wayang kulit
bersamaan dengan motif tlacapan, yaitu
purwa tinggal di Karangwatu, Muntilan, Jawa
motif sunggingan pada bagian jamang atau
tengah.
sembuliyan yang berbentuk lancip, berjajar

30

You might also like