Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 9

ASPEK KESEHATAN GIGI DARI BUDAYA MENYIRIH MASYARAKAT NUSA

TENGGARA TIMUR (NTT)


Gracety Shabrina
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran
gracetyshabrina@gmail.com

Abstract
Indonesia is rich in culture and upholds its local wisdom. Betel leaf chewing is one of Indonesian culture
that is still maintained as an appreciation for a society’s traditional value. East Nusa Tenggara (NTT) is
one of the provinces in Indonesia in which communities are still widely praticing this habit. Many studies
have been done to prove the effect of betel leaf to dental health. The aim of this paper is to collect a
number of literatures and summarize the various aspects of the activity NTT. Materials and Methods:
Sirih, Nginang and NTT were the keywords used in the Portal Garuda journal database
(www.portalgaruda.org) resulting in 5 journals that was used in this paper. Results: It was found that the
habit of betel leaf The appearance of oral lesion in people with betel leaf chewing habit (2 journal),
decrease of pH level and increased caries index (1 journal), decrease in tongue sensitivity to taste (1
journal), and bad periodontal status (1 Journal). Because the betel leaf combination has the same
ingredients with the one used by NTT people, the side effects of betel leaf chewing might as well be found
on NTT people dental status. It can be concluded from the study that dental health education is very
important for the people of NTT in relation to their habit of betel leaf chewing and dental hygiene in
general.
Keywords: betel leaf chewing, NTT, dental health in Indonesia, local wisdom for dental health

Abstrak
Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya serta menjunjung tinggi kearifan lokalnya.
Menyirih merupakan salah satu budaya Indonesia yang masih dijaga sebagai penghormatan
masyarakat terhadap nilai-nilai adat secara turun-temurun. Banyak kajian dan penelitian yang
telah dilakukan untuk membuktikan keefektifan daun sirih terhadap kesehatan gigi. Nusa
Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang masyarakatnya masih
menyirih. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menghimpun sejumlah pustaka dan
menyimpulkan berbagai aspek mengenai aktivitas menyirih dan hubungannya dengan kesehatan
gigi, terutama terhadap masyarakat NTT. Bahan dan Metode: kunci Sirih, Nginang dan NTT
pada pusat data jurnal Portal Garuda (www.portalgaruda.org) yang menghasilkan 5 jurnal yang
digunakan dalam makalah ini. Hasil; ditemukan kebiasaan menyirih berdampak pada munculnya
lesi oral pada orang dengan kebiasaan menyirih (2 jurnal), kadar pH dan volume saliva terhadap
indeks karies (1 jurnal), sensitivitas lidah terhadap rasa manis dan pahit yang menurun (1 jurnal),
status periodontal yang buruk (1 jurnal). Simpulan penelitian ini adalah pentingnya edukasi bagi
masyarakat NTT yang berkaitan dengan kebiasaannya menyirih serta kesehatan gigi secara
umum.
Kata kunci: menyirih, NTT, Kesehatan gigi di Indonesia, Kearifan lokal untuk kesehatan gigi

PENDAHULUAN

Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual, maupun sosial yang

memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. berdasarkan UU

Kesehatan No.36 tahun 2009. Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian fundamental dari

kesehatan secara umum serta berpengaruh terhadap kesejahteraan (WHO, 2003). Gigi dan rongga

mulut yang sehat menjadi hal yang sangat penting dan hanya dapat dicapai apabila rongga mulut

senantiasa bersih (Bangash et al., 2012). Banyak cara yang dilakukan manusia untuk

membersihkan gigi dan rongga mulut salah satunya menyirih.

Menyirih adalah istilah yang dipakai untuk menyebut kebiasaan mengunyah paduan daun

sirih, pinang dan kapur yang diperkirakan sudah ada sejak kurang lebih 2000 tahun silam.

Tradisi ini berasal dari kebudayaan India yang menyebar ke masyarakat di Asia Tenggara (Dawn,

1995). Kebudayaan menyirih merupakan kebudayaan turun- temurun yang telah ada di Indonesia

sejak abad ke-6. Banyak dilakukan masyarakat di daerah Kalimantan, Papua, Jawa, Nusa

Tenggara Timur, Sumatera dan daerah lainnya. Budaya ini memiliki manfaat untuk diantara

mempererat hubungan dan pergaulan antara masyarakat, budaya menyirih juga sering digunakan

dalam upacara upacara keagamaan maupun upacara pernikahan (Susiarti, 2005).


Selain itu, menyirih dipercaya dapat menjadikan gigi lebih kuat dan mencegah terjadinya

karies gigi. Hal ini disebabkan karena adanya efek dari kandungan daun sirih (Piper betle Linn)

yang dipercaya berfungsi sebagai zat antiseptik untuk menekan pertumbuhan dari Streptococcus

mutans sebagai bakteri yang diduga menjadi penyebab utama karies gigi (Astuti, dkk., 2007).

Berbeda dengan kebiasaan menggunakan daun sirih pada masyarakat Sumatra atau Jawa,

masyarakat NTT menggunakan buah sirih yang digunakan untuk campuran menyirih. Daun sirih

dianggap menimbulkan batuk, menimbulkan rasa gatal di tenggorokan sehingga tidak digunakan.

Mereka juga tidak menambahkan gambir atau tembakau sebagai campuran. Cara menyirih yang

dilakukan adalah pertama-tama mengupas buah pinang dengan cara menggigit buah pinang

sampai terbuka kulitnya kemudian dikeluarkan daging buahnya. Daging buah pinang kemudian

dikunyah. Kemudian dilanjutkan dengan mengunyah daun sirih (Rohmansyah,2015)

Menyirih memiliki efek terhadap gigi, gingiva, dan mukosa mulut. Kepercayaan tentang

menyirih dapat menghindari penyakit mulut seperti mengobati gigi yang sakit dan nafas yang

tidak sedap kemungkinan telah mendarah daging diantara para penggunanya (Avinaninasia,

2011). Efek menyirih terhadap gigi dari segi positifnya adalah menghambat proses pembentukan

karies, sedangkan efek negatif dari menyirih terhadap gigi dan gingiva dapat menyebabkan

timbulnya stein, selain itu dapat menyebabkan penyakit periodontal dan pada mukosa mulut

dapat menyebabkan timbulnya lesi - lesi pada mukosa mulut, oral hygine yang buruk, dan dapat

menyebabkan atropi pada mukosa lidah (Dondy, 2009).

Pada survey yang dilakukan penulis pada bulan Desember 2016 di Kolbano, Nusa

Tenggara Timur, kebiasaan menyirih tidak lepas dari kepercayaan masyarakat yang mempercayai

bahwa mengunyah sirih pinang dapat memberikan kenikmatan seperti orang merokok,
disamping itu pengetahuan masyarakat NTT yang minim dan tidak diimbangi terhadap perawatan

kesehatan gigi dan mulut menjadi penyebab kerusakan pada gigi.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan studi literatur dengan metode systematic review. Peneliti

menggunakan kata kunci Sirih, Nginang dan NTT pada pusat data jurnal seperti Portal Garuda

(www.portalgaruda.org). Dari pencarian tersebut ditemukan 145 penelitian. jurnal yang

digunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian dengan metode studi klinis, laporan kasus,

dan studi literatur rentang waktu 15 tahun yang berkaitan dengan aspek kesehatan gigi dan mulut

di Nusa Tenggara Timur . Total jurnal yang digunakan berjumlah 5 jurnal.

HASIL

Setyawati dkk. (2016) melaporkan penelitian observasional dengan pendekatan cross-

sectional yang bertujuan untuk mengetahui adanya peningkatan rata-rata jumlah mikronukleus

mukosa bukal pada orang menyirih dibandingkan orang tidak menginang. Penelitian ini

dilakukan pada 15 orang pada kelompok menyirih dan 15 orang untuk kelompok tidak

menginang. Berdasarkan penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat peningkatan

rata-rata jumlah mikronukleus mukosa bukal orang menyirih dibandingkan orang tidak

menginang.

Pradanta (2016) melaporkan penelitian untuk mengetahui hubungan kadar pH dan volume

saliva terhadap indeks karies masyarakat menyirih yang terdiri dari 15 sampel wanita dengan

kebiasaan menyirih dan kontrol tidak menyirih dengan jumlah yang sama . Berdasarkan hasil

penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna pada pH masyarakat
menyirih dan tanpa menyirih dan terdapat perbedaan bermakna pada volume saliva. Kemudian

terdapat korelasi pada pH dan volume saliva terhadap indeks karies masyarakat menginang.

Tunggala (2016) 32 orang yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 16 wanita dengan

kebiasaan menyirih dan 16 wanita tanpa kebiasaan menyirih diteliti dengan tujuan untuk

mengetahui apakah sensitivitas lidah terhadap rasa manis dan pahit pada orang menyirih lebih

rendah daripada orang yang tidak menyirih di Kecamatan Lokpaikat Kabupaten Tapin.

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpukan bahwa sensitivitas lidah terhadap rasa manis

dan pahit pada orang menyirih lebih rendah daripada orang yang tidak menyirih di Kecamatan

Lokpaikat Kabupaten Tapin.

Fatlolona (2016) melaporkan penelitian mengenai status kesehatan periodontal

mahasiswa etnis Papua di Manado yang memilki kebiasaan menyirih termasuk buruk sebanyak

32 orang (76,2%) dan sangat buruk sebanyak 10 orang (23,8%). Terdapat hubungan antara

frekueni menyirih dalam sehari dengan status kesehatan periodontal. Penelitian ini menunjukkan

masih perlunya ditingkatkan promosi kesehatan akan dampak negatif dari kebiasaan menyirih

secara terus menerus untuk merubah perilaku masyarakat etnis Papua yang masih

mempertahankan kebiasaan menyirih.

Wowor (2003) melaporkan penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional study

pada 30 sampel yang diperiksa menunjukan faktor pendorong utama menyirih yakni karena

keinginan sendiri, dimana tujuan menyirih terbanyak yakni agar gigi menjadi kuat dan sehat. Dari

30 subjek ada 29 orang (96,66%) memiliki lesi dalam rongga mulutnya. Lesi yang diduga sebagai

Oral Submucous Fibrosis yakni sebanyak 90% dan lesi yang diduga sebagai Betel Chewers

Mucosa sebanyak 6,66%.


PEMBAHASAN

Terdapat 5 jurnal yang melaporkan mengenai dampak dari menyirih, yaitu munculnya lesi

oral pada orang dengan kebiasaan menyirih (2 jurnal), penurunan nilai pH dan peningkatan

volume saliva terhadap indeks karies (1 jurnal), sensitivitas lidah yang rendah terhadap rasa

manis dan pahit (1 jurnal), dan status periodontal yang buruk (1 Jurnal).

Pada tahun 2016 dilakukan survey terhadap masyarakat NTT di SD Sanam, Usapinonot,

Kec. Insana Barat, Kab. Timor Tengah Utara Prov. Nusa Tenggara Timur. Peneliti menemukan

fakta bahwa masyarakat masih melakukan praktik menyirih. Praktik ini tidak terbatas usia,

karena ditemukan anak usia 7 tahun hingga orang dewasa usia 49 tahun yang mempraktikannya.

Peneliti melakukan pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut serta memberikan kuisioner mengenai

tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan mengenai perawatan gigi dan mulut. Hasilnya

menunjukkan rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai dampak dari menyirih.

Kerusakan sel pada mukosa bukal yang ditemukan pada orang yang menyirih diduga

karena efek dari tembakau dan biji pinang yang bersifat karsiogenik TSNAs. Hal ini selaras

dengan penelitian yang dilakukan oleh Penelitian yang dilakukan The International Agency for

Research on Cancer (IARC) 2004, menyatakan terdapat bukti yang cukup bahwa campuran sirih

dengan tembakau bersifat karsinogenik yang dapat menyebabkan kanker mulut dan kanker faring

Karies juga menjadi salah satu dampak yang muncul karena kebiasaan menyirih. Nilai pH

dan volume saliva berkorelasi pada terjadinya karies pada masyarakat menyirih. Menurut Shetty

et al. (2013), pH saliva merupakan bagian yang penting dalam meningkatkan integritas gigi

karena dapat meningkatkan terjadinya remineralisasi. Remineralisasi dipengaruhi oleh tingginya

konsentrasi kalsium dan fosfat yang terdapat pada saliva. Tingginya tingkat kalsium dan fosfat

mengakibatkan terjadinya endapan kalsium-fosfat yang tinggi pada permukaan enamel gigi yang
akan menutup mikropori yang diakibatkan oleh proses demineralisasi, sehingga akan terjadi

proses remineralisasi yang akan menurunkan kemungkinan terjadinya karies.

Penelitian oleh Tunggala menemukan bahwa ada penurunan sensitivitas lidah pada

masyarakat yang menyirih terhadap rasa manis dan pahit yang dipengaruhi oleh kandungan biji

sirih dan tembakau. Hal ini disepakati oleh Fandra tahun 2014 yang menemukan Merokok yang

juga didalamnya mengandung tembakau dapat menyebabkan terjadinya perubahan rasa ataupun

hilangnya rasa pada lidah. Iritan, toksin atau bahan kimia seperti nikotin akan menyebabkan

perubahan pada taste buds atau saraf penciuman.

Buruknya status periodontal pada orang yang menyirih juga ditemukan oleh penelitian

Wowor (2003) . Hal ini didukung oleh pernyataan Putri tahun 2010 bahwa kebiasann mengunyah

sirih mempunyai beberapa efek buruh yang sangat merugikan oleh karena kapur di dalam ramuan

sirih yang menyebabkan suasana basa di dalam mulut, sehingga dapat terjadinya penumpukan

kalkulus. Silikat yang terdapat di dalam daun tembakai dan pengunyahan dalam waktu lama

berangsur-angsur akan mengikis elemen gigi sampai gingiva.

Masih banyak masyarakat NTT yang menyirih diduga akibat tingkat pengetahuan yang

rendah terhadap cara menjaga kesehatan gigi dan mulut. Hal ini dibuktikan dari hasil kuesioner

yang telah diberikan. Ketika diberikan pertanyaan penyebab gigi berlubang jawaban tertinggi

yaitu makanan yang panas. begitu juga mengenai teknik cara dan waktu menyikat gigi yang

diketahui oleh masyarakat NTT yang menunjukan rendahnya tingkat pengetahuan mengenai

kesehatan gigi dan mulut maupun dampak menyirih.

SIMPULAN
Penelitian mengenai aspek kesehatan gigi dari budaya menyirih masyarakat nusa tenggara

timur (NTT) banyak menyoroti dampak yang terjadi dari aktivitas tersebut. munculnya lesi pada

mukosa oral, kadar pH dan volume saliva yang berkorelasi terhadap indeks karies orang

menyirih, sensitivitas lidah terhadap rasa manis dan pahit , dan status periodontal yang buruk.

sehingga edukasi bagi masyarakat NTT yang berkaitan dengan kebiasaannya menyirih serta

kesehatan gigi secara umum sangat penting untuk diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

UU Kesehatan No.36 tahun 2009.


Bangash RY, Khan A, Tariq KM, Rasheed D. Evaluation of Toothbrushing Technique and Oral
Hygiene Knowledge. Pakistan Oral & Dental Journal. 2012;32(1):124-127

Rooney F. Betel Chewing in South-East Asia.In: centre National de la Recherche Scientifique


(CNRS) 2005; 50: 70-71

Susiarti S. Jenis-jenis pengganti pinang dan gambir dalam aya menginang masyarakat di
kawasan taman nasional Wasur, Merauke, Papua. Biodiversitas 2005;6(3):217-219

Hardiani DA, Fransiskus WP, Irma YA, Budi OR dan Loes S. Efek aplikasi topikal
laktoferin dan piper betle linn pada mukosa mulut terhadap perkembangan karies. Majalah Ilmiah
Kedokteran gigi. Universitas Triskti 2007; 22: 1-4

Rohmansyah W.N. Tradisi Menyirih Pada Masyarakat Sumba Barat. Inside: 2015; 14-18
Aviananinasia,2011. Sirih pinang budaya yang mengancam kesehatan, (online),
available:http://avianinasia.wordpress.com
Hilda Ayu Setyawati, Nurdiana Dewi, Ika Kustiyah Oktaviyanti. Analisis Sitogenik
Mikronukleus Mukosa Bukal Pada Orang Menginang dan Tidak Menginang. Dentino.2016

Yazid Eriansyah Pradanta, Rosihan Adhani, Ika Husnul Khatimah. Hubungan Kadar Ph Dan
Volume Saliva Terhadap Indeks Karies Masyarakat Menginang Kecamatan Lokpaikat Kabupaten
Tapin (Studi Observasional Dengan Pengumpulan Saliva Metode Spitting). Dentino.2016
Sunjaya Tunggala, Nurdiana Dewi, Asnawati. Perbandingan Sensitivitas Lidah Terhadap Rasa
Manis Dan Pahit Pada Orang Menginang Dan Tidak Menginang Di Kecamatan Lokpaikat
Kabupaten Tapin. Dentino. 2016

Fatlolona WO, Pandelaki K, Mintjelungan CN. Hubungan status kesehatan periodontal dengan
kebiasaan menyirih pada mahasiswa etnis Papua di Manado. e-GiGi. 2013;1(2):1-4.

Vonny N.S. Wowor, Aurelia Supit, Dame R. Marbun. Gambaran Kebiasaan Manyirih dan Lesi
Mukosa Mulut pada Mahasiswa Papua di Menado.
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi 2003
International Agency for Research on Cancer. Betel-Quid and areca-nut chewing and some
areca-nut-derived nitrosamines. IARC Monographs on The Evaluation of Carcinogenic Risks to
Human 2004;85: 45- 46,50,70,78

Shetty, Hegde, Devadiga D. Correlation Between Dental Caries with Salivary Flow, pH, and
Buffering Capacity in Adult South Indian Population: An In-Vivo Study. Int. J. Res. Ayurveda
Pharm. 2013. 4(2)
.
Putri MH, Herijulianti E, Nurjannah N. Ilmu pencegahan penyakit jaringan keras dan jaringan
pendukung gigi. Jakarta:EGC.2010.

Fandra D. Perbedaan sensitivitas lidah terhadap rasa manis dan pahit pada perokok dan non
perokok. Bandung. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Maranatha; 2014. p. 27

You might also like