Professional Documents
Culture Documents
Love in Blue City PDF
Love in Blue City PDF
Love in Blue City PDF
IKLAN-IKLAN itu, foto-foto itu, seluruh tulisan yang dibacanya itu tidak
bohong.
Biru yang begitu biru, juga baby blue dalam lanskap berbukit yang menawan.
Berada di tempat ini, bahkan seorang jelmaan Smurf seperti Nada pun tidak
tampak cukup biru.
Seolah seluruh color palette di kota ini hanya mengenal satu warna. Biru yang
indah.
Nada berdiri tegak, dan memutar pandangan. "Haykal?" bisiknya nyaris tak
terdengar.
Haykal membalas dengan tarikan bibir yang Nada hafal luar kepala. Sekejap
senyum pria itu pun merekah tak kalah lebar. Kerlip kebahagiaan yang sekilas
muncul di manik mata Haykal, membuat lutut Nada mendadak seperti semacam
agar-agar.
"Senang sekali kita bertemu lagi," Nada membeo dengan suara parau.
Kebahagiaan yang membanjir ke seluruh sel-sel tubuh, ternyata justru
berdampak buruk pada kinerja otaknya. Kemampuannya merangkai kata-kata
menguap seperti embun bertemu sinar matahari. Dia hanya bisa malu-malu
menatap balik pada pemuda jangkung dengan wajah bengal di hadapannya.
Senang sekali kita bertentu lagi. Tepatnya, sungguh sangat senang sekali, kita
bertemu lagi.
Detik berikutnya, kalimat itu menjelma jadi kebohongan terbesar dalam hidup
Nada.
Dari belakang Haykal, tangga batu biru kini menyembulkan sosok baru. Rambut
kecokelatan yang meriap oleh angin, wajah tirus yang luar biasa memesona,
dan... langkah-langkah yang pasti akan mengingatmu pada top model Kendali
Jenner di atas rznnvay kelas dunia.
"Kendall Jenner" versi Timur Tengah itu melambaikan tangan pada Nada yang
mematung.
Berikutnya, semua bergerak lambat di mata Nada, seperti adegan sloio motion
dalam film.
***
Bagaimana jika...
Bagaimana jika kau terbang melintasi benua demi seorang pria yang
(sepertinya?) kausukai, namun ternyata kautemukan dia sudah bersama orang
lain...?
Nyesek.
Nyesek habis.
Nada ingin tenggelam ke dalam salah satu tembok bani di belakangnya, saat ini
juga.
Ungkapan klise yang di waktu lain pasti bisa membuat Nada memutar bola mata,
menepuk dahi, atau-sekalian-pura-pura pingsan, seperti kebiasaan buruk Rania.
Panorama terbuka dari jendela kamarnya ini, sungguh memesena. Bukan sesuatu
yang bisa dia nikmati setiap hari, dari rumahnya di belahan timur kota Jakarta.
"Means: look at the borns!" jelas pramugari waktu itu, dalam penerbangan
singkatnya dari Casablanca. Pasti karena dia menangkap basah Nada tengah
sibuk berlatih melafalkan pengucapan yang benar dari Chefchaouen, seraya
memelototi artikelnya di inflight magazine.
The Blue Pearl. Mmm, itu juga nama yang sesuai. Nada menyapukan pandangan
pada keluasan lanskap kota. Dilihat dari kejauhan, warna baby blue khas dinding
bangunan Chaouen memang tampak lebih muda dan transparan. Mirip biru
mutiara.
Entah dari mana, samar-samar tercium aroma roti segar yang baru keluar dari
panggangan. Harumnya begitu memancing selera. Menggelitik lambungnya
untuk menyuarakan isi hati. Seketika Nada merasa lima kali lebih lapar daripada
semula. Hhhmm... wangiii!
"Nggak ada perumpaan binatang lain, yang lebih cantik atau imut...?" dengus
Nada pada Rania, yang duduk dengan lutut terlipat di bibir tempat tidurnya.
"Tikus juga imut kok!" tukas Rania cepat. "Lagi pula, kelakuanmu barusan
betul-betul mirip tikus. Mengendus-endus penuh semangat, mencari sumber
aroma nikmat. Kamu tidak sadar kan, tadi tubuhmu sampai menjulur ke luar
jendela? Kalau aku tidak keburu menegur, pasti kamu sudah terjungkal dari sana.
Jatuh di halaman hotel dengan posisi memalukan. Lalu beritanya masuk koran
besok pagi." Rania mengakhiri pidato paginya, tampak puas.
Nada memutar bola matanya.
Berlebihan, seperti biasa. Kadar pengaturan imajinasi Rania sudah begitu dari
dulu.
"Sepagi ini?" Rania memekik. "Bahkan ayam pun belum berkokok!" jeritnya
dramatis, membuat Nada mengerang. Berlebihan. Lagi-lagi, berlebihan.
"Matahari sudah tinggi, Nona. Kamu sih, tidur kayak kerbau. Aku sudah cakep
begini, kamu masih bau bantal. Iih! Mandi sana!"
Rania cengengesan. "Alaaah. Kamu yang sudah mandi toh kalah cakep dengan
aku yang baru bangun tidur...," sahutnya tenang, sambil melenggang ke arah
kamar mandi.
"Heeeh! Lupa, ya, siapa yang membayarimu ke siniii?!" Gadis itu meneriaki
kamar mandi.
Sambil bernyanyi-nyanyi lirih dia mematut diri di depan cermin kecil berbingkai
mozaik keramik warna-warni, memastikan kerudungnya tertutup rapi.
Tangannya bergerak menggerayangi bagian atas meja, dan menemukan kupon
kecil untuk sarapan. Terakhir, meraih tas mungil untuk menyimpan ponsel dan
tisu. Cukup itu rasanya yang harus dia bawa ke restoran hotel untuk sarapan.
Rania muncul dengan wajah lebih segar, tampak habis dibasuh. Lambat-lambat
mendekat.
"Tristan yang bayar. Mau berapa kali pun kamu mencecarku soal itu,
jawabannya tetap sama," ujarnya kalem diiringi tatapan menegur. Rupanya dia
mendengar teriakan Nada tadi, dan memutuskan harus menjawabnya sekarang.
"I-ya. Tapi kan tetap saja, kalau bukan karena aku, kamu juga tidak bakalan
menginjak bumi Maroko, Tristan membayarimu untuk menemaniku. Ingat? Jadi,
jangan macam-macam. Kamu harus berbaik-baik denganku!" Nada
mengacungkan telunjuknya.
"Eh, maaf, ya. Kalau bukan abangmu yang meminta, aku sih memilih santai-
santai di Jakarta. Kakakmu selalu baik kepadaku, tidak seperti adiknya yang
kejan, itu." Rania balas mengacungkan telunjuknya. "Lagi pula, aku berada di
kota idamanmu ini untuk menjagarnu dari begal, rampok, playboy abai-abai,
segala macam godaan yang mengerikan di negeri asing! Jadi, kamu yang jangan
macam-macam kepadaku. Kalau kamu berani macam-macam, aku tinggal kamu
sendirian di sini. Aku pulang ke Jakarta! Dan kalau aku pulang ke Jakarta...."
Mau tak mau Nada mengulum senyuman geli melihat Rania yang berapi-api.
"Oke. Sini peluk dulu. Maaf, yaaa. Sebetulnya aku senang kok kamu di sini.
Sungguh!" Nada mengembangkan kedua lengannya.
Rania menyambut. "Aku juga senaaang sekali ikut kamu ke sini. Sumpah!"
balasnya.
"Yes...?"
"Masa...?"
***
"Jadi, apa rencanamu hari ini?" Nada meletakkan perangkat makannya di piring.
Rania memindahkan perhatian dari rotinya, pada Nada yang kini sibuk mengelap
bibir.
"Rencanaku hari ini? Mengikutimu, kan?" sahutnya dengan wajah heran. Hal
sepasti itu kenapa mesti dipertanyakan lagi?
"Dan di tengahnya, ada area terbuka yang banyak kafe dan restoran. Ada
masjidnya juga, jadi aku tidak perlu balik dulu ke hotel nanti siang!" sahutnya
puas.
"Oke. Aku bisa menunggumu di kafe saat kamu shalat!" Mata Rania berbinar-
binar. "Yang penting, kita belanja dulu!" ujarnya dengan suara berkomplot,
membuat Nada tergelak.
"Belanja" selalu mampu menjadi mantra sulap bagi Rania. Kapan pun di mana
pun, asalkan bisa belanja, Rania pasti ikut.
"Nanti kutemani cari karpet pesanan abangmu," bujuk Rania, sebehun kembali
membenamkan giginya pada roti yang masih wangi.
Seperti yang sudah diulang berkali-kali oleh Rania, faktanya memang Tristan,
kakak Nada-lah yang memberangkatkan mereka berdua. Jadi, jelas Nada tidak
bisa menolak ketika Tristan bersabda, minta dibelikan karpet dari Chaouen.
"Kenapa sih nggak minta oleh-oleh yang simpel saja? Teh celup, misalnya?"
Nada mencoba memohon belas kasihan waktu itu. Bukan apa-apa, kepalanya
langsung pening membayangkan bagaimana dia bisa membawa benda sebesar
itu dari Chaouen ke Jakarta. "Karpet! Astaga. Adikmu yang cantik ini kan bukan
kuli...."
"Minta tolong orang hotel atau portir kan bisa, Dek. Ini kakakmu lho, yang
pengin," dalih Tristan sambil melemparkan lirikan kode ke pintu kamarnya. Di
dalam kamar itu, wanita yang dia sebut "kakakmu" sedang terbaring lemas,
karena didera nurming sickness berkepanjangan.
"Nanti minta tolong Rania bantu bawa," Tristan mencoba menyodorkan solusi
lain. "Kamu kan sudah kuberi bonus berupa teman perjalanan yang berisik
bernama Rania. Silakan kalian menikmati perjalanan berdua. Senang-senang di
kota biru idamanmu itu. Tapi, pulangnya tolong bawakan karpet yang bagus
untuk kakakmu...."
Tristan tertawa. Dia tahu bagaimana fanatiknya Nada akan warna biru. "Boleh.
Asal jangan dua-duanya. Rumah ini sudah kebanyakan warna biru gara-gara
kamu!"
Nada berlagak tidak mengerti maksud kalimat itu. Dan sebagai hadiah, Tristan
menarik hidungnya, sampai Nada berteriak-teriak ribut.
Hhh, karpet!
"Jadi, kamu sekalian beli karpetnya hari ini?" Suara Rania menyadarkannya.
Sekali lagi Nada mendesah keras. "Nanti saja ya, kalau sudah dekat waktu
pulang. Aku tidak mau bungkusan karpet yang besar itu menyesaki kamar kita!"
jawabnya.
Rania tertawa kecil. "Kamar kita cukup luas untuk menampung sepuluh
bungkusan karpet sekalipun. Jangan terlalu cerewet!" sahutnya mengibaskan
tangan. Tangan yang sama kemudian terulur pada ponsel Nada yang tergeletak di
sebelah piringnya.
"Eh, sini pinjam ponselmu. Aku pengin juga foto restoran ini. Table runner-nya
cantik. Juga makanannya.... Buat di Instagram."
Nada mengamati Rania yang sibuk memotret apa pun di sekitar mereka. Kadang,
gaya Rania memotret jauh lebih menarik daripada objek fotonya sendiri. Lihat,
sekarang dia berusaha mengabadikan keranjang roti dari balik punggung kursi.
Wajahnya lebih serius daripada seorang mata-mata.
"Kamu sudah coba kontak Haykal?" mendadak Rania bersuara. Kalimat Rania
sederhana, mudah dimengerti, diucapkan dengan jelas dan tenang. Namun,
efeknya luar biasa bagi Nada. Gadis itu sampai terbatuk-batuk karena cairan
mint-tea-nya tiba-tiba salah jalan. Untung saja dia sudah menelan habis semua
makanannya. Kalau tidak, bisa-bisa potongan rotinya menyembur keluar lewat
hidung.
"Hah?" Hanya respons itu yang berhasil Nada wujudkan dalam gelombang
suara.
"Haykal. Kamu sudah coba kontak dia? Tristan memberimu nomor ponselnya,
kan?" Rania menyahut cepat, sama sekali tidak curiga.
Haykal. jawabannya yang serba tak jelas itu bukan berarti dia tidak mengenal
nama yang disebutkan Rania. Atau tidak ingat siapa pemilik namanya. Jelas-
jelas Nada hafal luar kepala siapa Haykal. Bahkan terlalu hafal. Nama itu juga
yang mendorongnya menyeberangi benua dan samudra untuk mendarat di kota
biru ini.
Haykal sahabat Tristan semasa mereka SMA. Pria unik ini melanglang buana
berkat profesinya sebagai travel writer. Lebih dari setahun yang lalu, kepada pria
ini pula Tristan menitipkan Nada, ketika gadis itu memutuskan solo traveling ke
Marrakesh.
Nada sudah membuang jauh-jauh perasaan itu dan pulang ke Jakarta. Sayang
takdir berkata lain. Di sebuah blog, Nada menemukan fotonya yang diambil
Haykal di Sahara. Beberapa pucuk surel yang beterbangan antara Nada dan si
pemilik blog, membawakan informasi baru bagi Nada, bahwa Haykal ternyata
tinggal di Blue City.
Sebagai pencinta (maniak) warna bini, Nada merasa bahwa kunjungan wisata ke
Blue City adalah semacam kewajiban yang harus ditunaikan. Alasan itu yang dia
katakan pada kakaknya.
"Nada!"
"Ya?"
Kini Rania sudah berhenti memotret. Dia menatap penuh selidik pada Nada yang
masih tertegun-tegun seperti orang bangun tidur.
"Tristan memberimu nomor ponsel Haykal, kan?" ulang Rania lagi, mulai tak
sabar.
Nada mengangguk sekitar sepuluh kali, kuat-kuat. Mirip boneka yang rusak
pernya.
"Iya, kata Tristan suruh simpan. Biar ada yang bantu kalau ada apa-apa," ujarnya
datar, mirip robot. Buru-buru Nada kembali meraih cangkir mint tea-nya.
Berusaha menenangkan diri dalam aroma mint yang segar, sekaligus
menyembunyikan wajah di balik cangkir.
"Aku tidak tahu, Rania! Oke? Nanti saja itu!" sahut Nada putus asa.
"Tapi...."
"Sekarang, kita mesti ke medina, kan? Be-lan-ja? Ingat?" Dengan licik Nada
melontarkan kata kunci favorit Rania. Rupanya masih mujarab. Seketika
perhatian sahabatnya berpindah. Napas Rania tertahan. Matanya membelalak
lebar penuh antusiasme. Nada bahkan nyaris bisa melihat kepala Rania mulai
dipenuhi bayangan tas-sandal-aksesori-kartu pos-segala macam pernak-pernik
khas Maroko yang penuh warna berani.
Rania pun mulai meracau tentang barang-barang yang ingin dia borong dari
pasar, melupakan percakapan mereka sebelumnya. Nada meladeni penuh
semangat. Diam-diam menarik napas lega.
Ponsel Nada belum kembali ke tangan pemiliknya, ketika benda itu mulai
bergetar. Sekejap. Kemudian kembali bergetar.
"Ini, jawab!" Rania meletakkan ponsel di depan Nada. Benda itu masih bergetar.
Rania mendesah keras, dan meraih gawai itu. Dan sebelum Nada sempat
mencegah, Rania menyentuh layar, mengaktifkan panggilan.
"Halo?"
"Rania, jangan!"
"...Iya betul, ini ponsel Nada." Rania tenang menatap Nada, yang ingin
mencincangnya saat itu juga. "Oh, ini Rania, temannya. Nada? Ada kok. Dia
sedang makan, eh, minum di depan saya. Mau bicara?.... Oke... tapi hati-hati,
anaknya sedang marah-marah. Oh? Apa? Sudah sering lihat Nada marah-marah?
Ya, bagus, deh, jadi nggak kaget...." Rania menutup mulutnya dengan satu
tangan. Matanya menyipit tanda tengah tertawa geli.
Nada melotot bengis. Menyesali sumpah setia Rania yang jelas-jelas palsu.
Sahabat macam apa itu! Lihat saja, sekarang dia malah cekikikan bersama
Haykal di telepon.
"Nih, jawab." Rania meletakkan ponsel itu di depan Nada, yang mengatupkan
kedua tangan di wajah tanda frustrasi.
"Nada, jawab itu teleponnya!" titah Rania berwibawa. Sedikit terlalu keras,
membuat beberapa tamu lain menoleh sedikit ke arah mereka berdua. Nada
melirik sekeliling dengan sungkan.
"Assalaamualaikum...," bisiknya.
"Nada...?"
Gadis itu memejamkan mata. Suara yang pernah begitu dikenalnya. Membawa
kembali keping-keping kenangan manis di setiap rooftop restaurant yang mereka
kunjungi, berkendara unta di pasang pasir Sahara yang romantis tersiram cahaya
matahari senja, jalan kaki berdua sepanjang lorong sempit souk-souk di
Marrakesh....
"Halo, Nada....."
Nada bisa membayangkan senyuman malas khas Haykal saat mengucapkan ini.
Haykal tertawa pelan. "Akhirnya, ya? Chefchaouen.. your blue city! You've
made it. Selamat!"
"Iya," sahutnya, mau tak mau tersenyum kecil. Haykal tahu persis, bagaimana
inginnya Nada menginjakkan kaki di kota biru. Bahkan itu pula topik pertama
perbincangan serius mereka dulu.
Haykal berdeham dua kali. "Aku senang kamu menjawab teleponku.... Kupikir
kamu marah padaku, karena sekian lama, kamu sulit dihubungi. Ternyata tidak."
"Kenapa harus bertemu? Dan apa hakmu menentukan?" ujar Nada seketus
mungkin. Refleks memasang perisai pertahanan diri. Selalu seperti ini. Haykal
selalu bisa membuatnya melambung bahagia pada satu waktu, sekaligus
membantingnya sampai hancur berkeping-keping pada detik berikutnya. Dia
mencatatnya sebagai keanehan Haykal nomor 15.
"Nah, kamu sudah tahu kan aku baik-baik saja. Jadi kamu bisa laporan ke
Tristan. Sudah, dong. Apa lagi?"
Telinga Nada menangkap semacam dengusan geli dari Haykal. "Aku suka kalau
kamu marah-marah seperti itu. Jadi yakin, bahwa ini betul-betul Nada yang
kukenal...," suara Haykal melembut. "Asli, Nada yang galak, tapi manis...."
"...."
Bibir Nada membuka, namun dia kehilangan suara. Manis? Manis, dia bilang?
Aduh....
"Aku ke sini kan untuk jalan-jalan menikmati Blue City. Bukan untuk
menemuimu! Jadi, jangan ge-er, ya!" Nada membentak, ditambah mengentakkan
kaki. Bagaimanapun, kata "manis" tadi merusak konsentrasinya. Dia mati-matian
berusaha kembali fokus.
"Ssshh.... Siapa yang menuduhmu ke Chaouen untuk menemuiku? Aku tidak
bilang lho." Suara Haykal terdengar sedikit geli.
"Aaah, jadi begitu, ya. Jadi, kamu ke sini untuk menemuiku?" tembak Haykal
tenang. "Baiklah, kalau itu yang kamu inginkan. Nanti sore sekitar jam empat
aku akan menjemputmu di hotel. Tristan sudah memberitahu nama hotelmu.
Awas, jangan kabur, ya. Kalau kamu tidak muncul, akan aku tunggu di lobi
sampai jam berapa pun. Oke, Nada?"
"Manis, manis! Kau pikir aku kucing!" gerutu Nada menutupi salah tingkahnya.
Haykal mendesah lega. "Good girt.... Oke, hye, Nada..," ujarnya, lantas memutus
hubungan telepon mereka.
Nada menggeleng gagu. "Haykal. Setelah belasan bulan, ternyata efeknya masih
sama. Bikin deg-degan...."
Rania berkacak pinggang menganalisis hasil kerja mereka. "Oke. Jadi, ini pilihan
yang paling kamu sukai. Yang masih banyak sekali, sebetulnya...," ujarnya
seraya mengedarkan pandangan berkeliling. Pada baju-baju yang ditebarkan di
tempat tidur, di sofa, karpet, tersampir di punggung kursi, di mana-mana. Nada
meringis. Dia kesulitan menerka arti tatapan mata sahabatnya itu.
Rania mengangkat kedua tangannya. "You know what? Kan kamu yang desainer.
Kurasa, kamu lebih tahu baju mana yang paling tepat...."
Nada melenguh keras. "Tapi, kamu stylist yang cerdas, Rania. Kamu selalu
mengerti cara memadupadankan baju, sepatu, tas. Aku bisa menciptakan baju
yang cantik. Tapi, kamulah yang bisa membuat baju cantik itu jadi memesona
saat dikenakan!"
Nada menggeleng cepat. Sudah tidak ada waktu. "Sebentar lagi dia datang,"
jawabnya cemas.
"Kalau memang mau bingung, dari tadi dong bingungnya. Biar kita punya waktu
berpikir!" sesal Rania seperti dapat membaca isi kepala Nada.
"Habis, biasanya aku bisa cepat memutuskan mau pakai baju apa! Tidak pernah
sebingung ini...." Nada memindah-mindahkan pandangan pada jajaran kerudung
dan bajunya.
"Itu dia! Cuma mau ketemu Haykal, kan? Kenapa mesti sebingung ini sih pilih-
pilih baju? Seperti mau jamuan presiden saja!" Rania mencibir. "Bukankah
kalian sudah bertemu berkali-kali dulu di Marrakesh? Memangnya waktu itu tiap
kali mau keluar, kamu juga serepot ini?" cecarnya.
Toh, akhirnya Rania mencomot sehelai kaus lengan panjang biru tua dengan
aksen garis sporty serupa kostum olahraga. Lalu, dia mencoba meletakkannya di
atas celana krem untuk melihat hasil perpaduannya.
"Dulu sih, tidak pernah sebingung ini...," Nada menyahut pelan. Dia sendiri
heran kenapa jadi sesulit ini memilih baju. Masa iya dia harus membeli baju
baru?
"Sudah. Ini sajalah!" Nada menyambar sepasang baju sekadarnya. "Kenapa juga
mesti repot-repot. Toh cuma Haykal ini!" putusnya.
Rania tersenyum pada bayangan Nada di cermin, tanda merestui hasil make ouer
mereka. "Cakep. Habis ini dia pasti akan melamarmu," komentarnya percaya
diri.
Rania tidak terima. Dalihnya, "Hei, siapa tahu? Barangkali dia akan
membawamu dinner romantis? Berlatar sunset dan pemandangau Kota Biru di
malam hari? Diam-diam menggenggam tanganmu, lalu berkata...."
Oke? Dan aku akan menghajarnya dengan tas ini kalau dia berani menyentuh
tanganku."
Rania berdecak. "Kamu ini.... Jadi perempuan jangan apatis! Sudah galak, apatis
pula."
"Heh!"
"Stop, diam. Ayo, sudah jam empat. Mau pakai malee up, tidak?
Kamu sepucat tikus ketemu kucing. Ini, ponsel, dompet, botol air... apa lagi yang
mau kamu masukkan ke tas ini?" Sambil terus berkicau, Rania memaksanya
berkemas. Nada mengikuti, memindah-mindahkan barang ke dalam tas ber-
tassel yang dipilihkan Rania. Selesai.
"Kamu yakin nggak mau ikut?" Sekali lagi Nada mencoba membujuk. Dia tahu,
berhadapan dengan Haykal, pasti akan ada acara salah tingkah. Dan drama.
Keberadaan Rania yang kocak dan ramai pasti bisa jadi buffer yang membuat
situasi lebih nyaman.
Dia menatap bayangannya di cermin, Pilihan busana Rania memang manis. Tapi,
dia memang terlihat pucat. Dengan sedikit malu, dia meraih pelembap bibir
berwarna merah muda dari dalam pouch make up. Meratakannya di bibirnya.
Hasilnya segera tampak. Dia terlihat segar.
Pipinya memanas. Apa-apaan ini, dia sengaja mempercantik diri hanya demi
seorang pria?
"Ayo, sudah, sana ke lobi! Jangan-jangan dia sudah sejam duduk di sana
menunggumu!" Rania tidak membiarkannya berpikir terlalu panjang. Suaranya
membahana, bahkan gadis itu sudah membukakan pintu kamar baginya.
"Have fun ya, Cantik!" ujarnya, seperti seorang ibu melepas anak gadisnya ke
pesta prom, Nada mengerling ceria.
Setelah menghabiskan sepuluh menit tanpa guna, Nada bosan. Dia meraih
ponselnya. Ternyata ada pesan dari Haykal bahwa dia sedikit terlambat. Sudah
masuk dari tadi. Nada tidak menyadarinya lantaran terlalu sibuk memilih baju.
Haykal menjawab, dia sedang tertahan sebentar. Ada pemotretan. Tak jauh kok
dari hotel Nada. Apakah Nada bersedia ke sana? Bisa dijangkau dengan jalan
kaki dan tidak sulit arahnya.
Nada mengiyakan.
Entah pada langkah keberapa, Nada merasa dia harus berhenti dan memutar
tubuhnya.
Setelah segala macam kesibukan penyambutan itu, akhirnya yang dinantinya pun
tiba.
Haykal Baztar Malik. Datang dengan tampan. Tepat seperti yang selalu dia
mimpikan.
Satu menit pertama, mereka bertukar senyum dan seluruh bumi Maroko pun
tertawa.
Memeluk Noemie.
***
"Okay. I see."
Akhirnya Nada menangkap kosa kata yang dia pahami, meluncur dari bibir
ranum Noemie. Sepertinya Noemie sengaja berpindah ke bahasa Inggris agar
Nada tidak merasa dikucilkan.
Bahkan hanya dari sepotong kalimat sederhana itu pun muncul aksen khas
Prancis yang sengau memabukkan. Menawan, seksi, glamor... entah apa lagi
deskripsinya. Membuat Nada iri setengah mati. Dia sedikit menyesal kenapa dia
besar di Jakarta sehingga tidak memiliki logat semacam itu dalam suaranya.
"Nada?"
"Y... Ya?" Nada menoleh ragu-ragu pada Haykal. Memastikan memang namanya
yang dipanggil. Matanya menemukan wajah Haykal yang tersenyum.
"Yuk? Kamu tidak keberatan kan, kita ngobrol di kafe?" Akhirnya, setelah
menit-menit penantian yang panjang, Haykal tersenyum khusus kepadanya. Pria
itu mengucapkannya dalam bahasa Inggris agar Noemie mengerti.
"Oh, Oke. Yuk. Aku ikut saja." Nada menatap kedua manusia rupawan di
hadapannya bergantian, dengan perasaan tak tentu.
Pasangan ini, sepertinya wajar saja bila muncul di salah satu halaman mengilap
majalah adibusana atau gaya hidup yang high end. Sementara dia sendiri, lebih
layak menghiasi halaman majalah Bobo....
"Oh, saya tidak ikut," Noemie mengulas senyum, menyadari Nada bergeming
karena menunggunya. "Saya harus kembali bekerja. I hope next time I could
join. Maaf ya, kami membuat Haykal terlambat dan kamu harus menunggu...."
"Oh? Eh, tidak apa-apa. Saya...." Nada menyahut kalang kabut. Tapi, Noemie
sudah menoleh pada Haykal.
"Oke, sampai nanti, Dear...," ujarnya. Mereka berdua saling memeluk dan
mengecup pipi.
Seluruh kegiatan yang sarat keakraban itu tak luput dari pengamatan Nada. Dan
itu bodoh. Karena, ternyata potongan-potongan adegan itu melahirkan tusukan
rasa sakit yang tak dikenalnya. Merayap masuk menekan dada.
"Bye!"
"Bye!"
Nada nyaris memutar bola mata. Dia paham betul makna seluruh kegiatan
Haykal itu.
"Jadi dong. Shall we?" Dengan anggun Haykal mengulurkan lengannya siap
menggandeng.
***
Tidak seperti di Marrakesh yang modem dan fancy, kafe di Chaouen lebih
sederhana. Sarat dengan nuansa tradisional Maroko yang cantik. Suasananya
hangat dan membuat betah.
Haykal memilihkan sepasang kursi berhadapan di teras luar kafe. Nada tidak
menolak, karena walaupun cukup sejuk, udara sore ini terbilang nyaman. Lagi
pula, duduk di luar memberikan pemandangan yang lebih leluasa.
Merasa ada yang mengawasi, Nada menoleh. Lagi-lagi, ada mata Haykal yang
terpaku padanya. Dalam sorot setengah geli, dan senyum miring yang
menjengkelkan itu. Orang ini, sepertinya tidak punya kegiatan lain selain diam-
diam memata-matainya!
Bibir Haykal meloloskan sebuah tawa kecil. "Nggak. Aku hanya senang, kita
bertemu lagi. Terakhir, kamu mengabaikan se- mua pesan yang kukirim lewat
Whatsapp, jadi kupikir...."
"Di sini banyak orang Spanyol, ya? Juga masakan Mediterania. Kalau di
Marrakesh lebih banyak nuansa Perancisnya, ya. Mungkin karena M.aroko
dulunya daerah jajahan Perancis...." Sengaja Nada bersuara keras mengalihkan
pembicaraan, pura-pura tidak mendengar kalimat terakhir Haykal.
Haykal mengangkat alis. Beberapa detik memilih tidak berkata apa pun.
"Mmm... ya, karena letak Chaouen di utara, dekat Spanyol. Juga karena aspek
sejarah," jawab Haykal akhirnya. Nada mengangguk-angguk, sambil asyik
menyobek roti manisnya.
"Jadi... kali ini kamu ke Maroko bersama Rania.... Sahabatmu sejak kecil,
bukan? Tristan yang bercerita padaku," ujar Haykal seraya meletakkan cangkir
kembali ke ratakan.
"Iya. Mestinya aku dan Rania pergi dengan Tristan dan istrinya. Tapi, dia hamil.
Istri Tristan, maksudku, yang hamil. Bukan Tristan. Lalu mereka membatalkan
kepergian. Padahal sebetulnya si kakak yang pengin betul ke Maroko. Dia sudah
merencanakannya berbulan-bulan. Aku tadinya mau cancel juga, tapi nggak
boleh sama Tristan. Lalu, Tristan menyuruhku mengajak Rania. Biar aku tidak
sendirian. Kau tahu sendirilah, dia selalu menganggapku bayi yang harus
ditemani."
Cukup. Dia terlalu banyak meracau. Buru-buru Nada menutup bibirnya rapat-
rapat. Membuang pandangan ke arah jalan di samping tempat duduk mereka.
Samar telinganya mendengar dengusan geli dari Haykal.
"Oh, begitu," ujar pria itu. "Lalu, kudengar kamu sudah jadi desainer kondang
sekarang?" Suara Haykal terdengar antusias.
Otomatis Nada menggeleng kuat-kuat. "Ah. Dengar dari siapa? Belumlah, aku
masih belajar. Klien juga baru berapa. Tukang payet baru dua, menjahitnya
masih dititip di tukang jahit langganan, sebagian besar masih kukerjakan
sendiri...." Nada tersipu. "Tapi ya, itu kegiatan baru yang sangat berarti bagiku.
Bahagia rasanya melihat orang jadi tambah cantik mengenakan baju-baju
buatanku."
Haykal tersenyum. "Ah, senang mendengarnya. Itu impianmu sejak dulu, kan?
Seperti yang kamu ceritakan saat kita di Sahara mal...."
"Eh!" Nada memotong. "Kalau di daerah sini, Blue City-nya nggak terlihat biru
sekali, ya? Jalannya pakai tegel dan batu-batu biasa. Terus banyak warna lain di
bangunannya. Kupikir tadinya, seluruh Blue City ini bini. Ternyata ada juga
yang tidak. Hm."
Fiuh, hampir saja. Setiap topik pembicaraan tentang masa lalu itu. Entah kenapa
selalu membuatnya salah tingkah dan tak nyaman. Malu? Bingung? Sedih?
Haykal mengangkat alisnya lagi, terlihat agak heran kenapa hari ini Nada begitu
sering meracau, Toh, dia memutuskan menjawab. "Memang tidak seratus persen.
Tapi, sebagian besar memang biru, kan. Kalau kamu lihat dari atas, apalagi.
Kalau mau, kapan-kapan aku temani kamu ke Spanish Mosque. Dari sana kita
bisa menikmati keindahan Chaouen dari ketinggian. Sunset-nv« istimewa, Ajak
Rania juga boleh, kalau kamu takut aku culik."
"Mau!" seru Nada tanpa pikir panjang, terlalu bersemangat sampai tidak
mendengar godaan Haykal di akhir kalimatnya.
Mendadak roti manis Nada terasa hambar. Gadis itu meletakkannya kembali ke
piring, mengelapkan tangannya pada tisu.
Nada menarik napas panjang. Dengan suara yang dibuat lebih riang, dia kembali
berbicara, "Sekarang apa kegiatanmu? Karena kamu masih di sini, kusimpulkan,
kamu masih menulis buku tentang Maroko?"
Haykal menggeleng. "Buku itu sudah selesai. Aku masih seperti dulu kok,
serabutan. Pergi dan menetap sementara di mana saja, ke mana pun nasib dan
pekerjaan membawa. Tadi, aku baru saja menyelesaikan pemotretan pre-
uiedding. Pasangan Indonesia dan Italia. Mereka pertama kali bertemu di kota
ini, karena itu, mereka ingin mengabadikannya. Noemie membantuku, karena
dia sangat lihai urusan menata baju, mengarahkan gaya, make up... semacam
itulah. Dia model."
Tepatnya, model sekelas Victoria Secret babes, Nada membatin dalam hati.
"Jadi, Noemie itu... rekan kerjamu...?" dia bertanya sambil lalu, berusaha
menyarnarkan kesan menyelidik.
Haykal mengerutkan dahi sekejap, berpikir. "Mmm... ya, bisa dibilang begitu.
Tapi, yah, sebetulnya, dia lebih dari sekadar rekan kerjaku...."
Lebih dari sekadar rekan kerja. Kalimat terakhir Haykal berdengung di telinga
Nada.
Tentu saja, bodoh. Nada memaki dirinya sendiri. Kalau sebatas rekan kerja, pasti
tidak memerlukan adegan peluk-pelukan, cium-ciuman, dan saling memanggil
Dear! Semua orang tahu itu. Sungguh tak perlu memancing-mancing dengan
pertanyaan tak berguna seperti itu, karena seharusnya dia bisa menduga
jawabannya. Masalahnya, Nada memang penasaran. Rasa ingin rahunya
melolong-lolong minta perhatian. Memohon jawaban. Siapa sebenarnya Noemie
ini?
"Jadi... kamu sekarang tinggal di sini untuk pekerjaan fotografi?" tanyanya hati-
hati.
"Kind of... Tapi, yang lebih penting daripada itu, aku membantu Noemie
menyiapkan usaha barunya. Sebuah butik hotel kecil, dengan kafe-restoran di
dalamnya...."
"Iya, begitulah...."
Haykal mengangguk pelan. "Sangat lama. Aku rasa malah lebih lama dari
pertemanku dengan abangmu. Kenapa? Kamu tertarik sekali dengan Noemie...?"
Mata Haykal melebar,
"Oh. Nggak.... Mungkin... ehm, karena wajahnya sangat cantik, lalu aku...."
Haykal menjentikkan jari memotong ucapan Nada yang carutmarut. "Ah, aku
tahu! Kamu mau dia jadi model foto bajumu, ya? Iya! Itu gagasan yang hebat.
Dia memang bisa jadi model yang luar biasa untukmu! Kamu mau? Bawa baju
rancanganmu ke sini kan? Noemie bisa mengenakannya, dan aku memotretnya!
Pasti hasilnya spektakuler!"
Nada terpana. Sesungguhnya bukan itu yang terbetik di kepalanya. Sama sekali
bukan.
Namun, begitu darah kembali mengaliri otaknya, dia menyadari betapa brilian
ide Haykal itu. Yang tahutahu muncul begitu saja, out of the blue. Yang tidak
terpikirkan oleh Nada sekalipun, sebelum berangkat ke negeri ini.
Seandainya tidak ingat dia ada di mana dan siapa Haykal, sungguh ingin Nada
melompat memeluknya saat itu juga. Haykal memang cemerlang!
"Mau! Aku mau! Aduh, tapi aku cuma bawa... sebentar... dua baju," suara Nada
tercekat, "itu pun yang casual tuear. Bukan busana couture atau wedding
gown...." Nada tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Dia menelungkup
di atas meja, betul-betul menyesal. Sekalipun tidak ada seorang Noemie,
bukankah dia dan Rania bisa saja bergantian mengenakan dan memorret gaun-
gaun itu? Berlatar pemandangan menakjubkan kota biru, foto-foto mereka tidak
mungkin gagal!
"Kenapa siiih, baru sekarang kasih idenya? Mestinya kan duludulu waktu aku
masih di Jakarta, kamu bisa bilang. Jadi aku kan bisa siap-siap bawa baju-baju
yang signature design-ku!" Nada menjeduk-jedukkan kepalanya ke meja.
Haykal garuk-garuk kepala. Salah siapa, kok mendadak dia kena semprot,
"Kau ingat fotoku, kan!" bentaknya pada Haykal yang masih melongo,
***
"Fotoku yang kamu curi di padang pasir! Kamu berjanji tidak akan
mengunggahnya ke lnstagram, bukan? Kenapa tahu-tahu foto itu muncul di blog
orang gila? Kamu melanggar privasi! Sepanjang ingatanku yang tajam ini, aku
tidak pernah mengizinkanmu menggunakan foto itu!"
Pelan tapi tegas, Haykal menekan jari Nada, meletakkannya kembali ke atas
meja. Ekor matanya menangkap beberapa orang mulai ingin tahu, menoleh ke
arah mereka lantaran suara Nada yang meninggi.
Haykal tidak manjawab, Dengan tatapan dingin dia memaksa Nada bungkam.
Gadis itu menggigit bibirnya, membuang muka. Matanya bersirobok dengan
tetangga mejanya, yang rupanya diam-diam memperhatikan pembicaraan
mereka. Wajahnya memerah malu.
Menyadari Nada sudah mau mengendalikan diri, tenang Haykal meraih kembali
cangkir kopinya, dan menghirup beberapa kali, sedikit demi sedikit tanpa
tergesa-gesa. Seolah dia punya waktu seumur hidup untuk menikmati
minumannya.
Setelah puas memaksa Nada menunggu, Haykal meletakkan kembali cangkir itu.
Lalu dia mulai bicara.
"Nah. Sekarang aku jelaskan. Kamu tidak perlu marah-marah begitu," ujarnya
tenang. "Sebetulnya, pangeran gila pemilik blog itu, yaitu Prince of Morocco,
adalah aku sendiri. Aku iseng coba-coba bikin blog, tapi terhenti lantaran
kesibukanku. Jadi, ketika pada suatu hari muncul sebuah surel dari gadis yang
tampaknya sangat berminat pada foto siluet di Sahara itu, aku langsung tahu
bahwa pengirimnya pasti kamu. Nama samaran yang kamu gunakan masih
terlalu eksplisit. Princess of Dew? Putri Embun? Itu namamu, bukan? Kau
sendiri yang bilang, Nada berarti embun dalam bahasa Arab...."
"Lagi pula, fotomu tidak muncul di Instagram-ku yang berfollower ratusan ribu.
Aku hanya mengunggahnya di blog yang tak laku. Jadi, aku tidak menyalahi
janji...."
"Jadi, bagaimana, besok kamu ingin kuantarkan ke Spanish Mosque? Atau mau
pemotretan baju dengan Noemie? Kebetulan besok kami tidak terlalu sibuk...."
Nada mengeluh dalam hativ Tawaran mana pun yang dia ambil, akan kembali
memperternukannya dengan Noemie, berikut segala macam kemesraan yang
diciptakan gadis itu bersama Haykal. Tapi, tawaran pemotretan itu sungguh
menggoda.
"Barangkali aku terlihat brengsek. Tapi, aku senang membantu orang-orang yang
merintis jalan menuju kemandirian. Aku ikut bahagia bila melihat kawan-
kawanku menemukan passion-nya, berkarya di dalamnya. Seperti kamu
sekarang, dengan desain-desainmu," lanjutnya.
"Umm.... Baiklah. Kalau begitu, bolehkah besok kita foto bajubajuku dulu? Aku
terpikir lokasi bertangga-tangga tempat tadi kita bertemu. Sangat cantik,"
ujarnya.
Haykal mengerutkan dahi, membayangkan lokasi yang disebut oleh Nada dan
titik-titik yang dia rasa sesuai untuk framc pemotretan busana. Sejurus
kemudian, dia mengacungkan ibu jari.
"Setuju. Kita foto di sana saja," putus Haykal. "Kamu masih ingat di mana
tempatnya? Kalau iya, besok kita bertemu di tempat tadi saja. Kamu masih
payah menghafalkan jalan, kan? Tolong yakinkan aku bahwa kamu dan Rania
tak akan tersesat besok pagi...."
"Tentu saja aku masih ingat!" tukas Nada. "Dari hotel rutenya tidak rumit kok."
Nada memberikan tatapan menegur. "Tentu saja aku sudah bangun! Justru aku
mengkhawatirkan kamu. Perlu aku beri morning cal! besok?" Dia membalas
ejekan Haykal. Senyum kecil bermain di bibirnya.
Bukan tawaran morning call dari Nada penyebabnya. Meski tawaran itu memang
terdengar menyenangkan. Tapi, lebih dari itu, ada hal lain yang lebih
menyenangkan di hadapannya sekarang. Yaitu Nada yang akhirnya mau
tersenyum kepadanya. Kepada pria malang yang dari tadi Nada bentak-bentak,
dan Nada hadapi dengan penuh selidik laiknya seorang detektif kepada
tertuduhnya.
Jadi bukan salah Haykal, bila dia tak bisa menahan keinginan mengabadikan
keindahan itu. Sambil lalu, dia merogoh ponsel di sakunya. Lalu berlagak
memeriksa gawai itu.
"A... pa?"
Sekali Haykal memotret jrame yang dia pilih, lalu mengecek hasilnya. Dahinya
berkerut sedikit. jemarinya bergerak menyenruh satu-dua tombol. Memotret
sekali lagi, dan bersiul senang melihat tampilan di layar. Kemudian kakinya
mundur beberapa langkah. Memutar tubuh, lalu matanya terpikat pada sebuah
pintu kuno yang bim menawan. Letaknya menjorok ke dalam, seolah terapit dua
anak tangga di sebelahnya. Haykal memotret sekali, kembali tersenyum puas
akan hasilnya.
Haykal menoleh mendengar kalimat berbahasa Prancis dari suara yang begitu
dia kenal. Noemie melangkah mendekat. Gadis itu sudah mengenakan terusan
panjang dengan belahan di sisi tubuhnya. Ikat pinggang melilit longgar
pinggangnya yang tinggi dan ramping. Kepalanya terbalut apik dengan semacam
turban.
"Melihat senyuman bahagia di wajahmu yang tampan itu, kurasa kamu sudah
menemukan latar belakang foto kita," goda Noemie menaikkan sedikit alisnya.
Haykal tertawa, mendekatkan tubuh.
Haykal mundur tiga langkah agar dapat mengamati keseluruhan busana Noemie
lebih jelas. Gadis itu menaikkan dagu, memasang pose dengan satu tangan di sisi
wajah dan tangan yang lain di pingang. Bahunya melengkung ke arah depan
membentuk siluet menawan,
"Cantik? Kau suka dengan apa yang kamu lihat?" Noemie mengerling anggun.
Haykal mengangkat kedua tangan. Menyerah. "Tentu saja, Cherie. Mana pernah
kamu tak cantik. Nah, bergeser lah sedikit ke kiri. Biarkan aku memotretmu
dengan tangga dan pintu itu. Nice!"
Seandainya saja Haykal memutar tubuhnya 360 derajat saat ini, dia pasti akan
melihat seorang gadis mungil berkerudung biru tengah berdiri membatu.
Wajahnya pias, seperti orang mau pingsan. Gadis itu mengeratkan rahangnya
kuat-kuat. Menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal memalukan. Misalnya,
mendadak kabur meninggalkan lokasi photo shooting yang dia pilih sendiri ini,
atau menembakkan sekitar dua juta panah beracun pada tubuh molek Noemie
yang terbalut baju rancangannya.
Walau tak paham betul isi percakapan Haykal dan Noemie, bahasa tubuh dan
nada bicara keduanya jelas-jelas memproklamasikan kedekatan yang bukan
sekadar kawan.
Sebuah desahan keras memaksa gadis itu menoleh, dan dia mendapati
sahabatnya tengah menutup mulut dengan kedua tangan. Matanya kosong seperti
orang kena sihir.
"Tuhan Mahabesar! Kenapa kamu tidak bilang Haykal lebih ganteng daripada
fotonya, Nada? Oh my goodness. Aura maskulinnya memabukkan! Matanya.
Nakal sekaligus dingin. Aaah...." Rania menempelkan kedua tangannya di pipi.
"Kamu yakin dia bukan Pangeran Maroko yang sedang menyamar?" dia
mencerocos tanpa menatap wajah sahabatnya.
Gemas Nada mencubit lengan Rania kuat-kuat sampai gadis itu mengaduh lirih
dan tercabut dari pesona Haykal.
"Aduh! Sakit, dodol' Kalau cubit tolong pakai kira-kira, ya!" Rania balas
mendesis geram.
Inilah yang selalu disebut Nada dengan "model magic". Gaun panjang bersiluet
A-line yang selalu terlihat biasa-biasa saja di tubuh Nada, menjelma jadi
semacam karya adibusana begitu ditempelkan ke tubuh Noemie. Perbedaan
ukuran tubuh mereka membuat gaun itu hanya menyentuh betis Noemie,
sehingga di bawah gaun ini dia tetap mengenakan legging-nya. Ikat pinggang
pilihan Rania sungguh tepat. Rantai yang menggantung di bagian belakang gaun
memunculkan kesan playful namun anggun. Dan entah apa yang tadi dilakukan
Noemie pada kain kerudung yang mereka siapkan. Tahu-tahu kain itu sudah
bertengger cantik membungkus kepala Noemie dan menjadikannya beberapa
sentimeter lebih tinggi. Membuat Nada dan Rania semakin berukuran kurcaci
dalam flat shoes mereka.
Noemie bergerak sedikit memberikan pose lain. Lutut dilipat keluar, bertumpu
pada ujung sandal Maroko-nya yang penuh manik-manik, Tangannya ditarik ke
atas, menyatu di atas kepala. Tanpa usaha keras, dia sudah terlihat seperti salah
satu gadis pemenang American Next Top Model.
Sebetulnya, apa pun yang dilakukan Noemie, bahkan jika gadis itu sekadar
berjongkok sekalipun, Nada yakin bisa membuat bajunya tampil menawan. Toh,
sebagai desiner dia merasa harus sedikit bersuara.
"Mmm... mungkin aku lebih suka pose yang santun. Lebih lembut...?" ujarnya
ragu.
Seperti diketuk oleh tongkat sulap, Noemie seketika menjelma jadi gadis pemalu
namun anggun. Tatapan matanya yang kuat meluruh. Dia mengubah posenya,
kini berdiri begitu saja dengan santai namun terjaga, wajahnya menghadap sinar
matahari.
"Ya, seperti itu...." Nada kesulitan mengusir kekaguman dari nada suaranya.
"Your eyes, Noemie. Great. Kiri sedikit. Betul, Sayang. Oh! Pretty! Ya, sentuh
pegangan pintu itu. No, only with the tip of your fingers. Lovely. Putar tubuhmu
sedikit. Yes! Cahaya, Sayang. A tiny smile maybe? Yeees, I love you! Tunjukkan
sedikit kaki indahmu? Perfect!" Haykal sibuk memberikan arahan, sengaja
dalam bahasa Inggris, agar Nada juga memahaminya. Namun akhirnya
menyerah. Pria itu lantas berseru penuh semangat, "Je t'adore, Noemie! Jolie!"
Noemie membuat gerakan berputar indah gemulai, sedikit, namun cukup untuk
membuat ujung gaunnya melayang. Sekali lagi Haykal menghujaninya dengan
pujian, mencampurkan bahasa Inggris dan bahasa Prancis.
Noemie memberikan beberapa pose anggun, lalu kembali berputar. Sayang, kali
ini terlalu dekat dengan ujung tangga. Gadis itu kehilangan keseimbangan....
"Ups!"
"Astaghfirullah!"
Nada menatap adegan drama satu babak itu dengan bibir terbuka. Tangannya
yang terulur refleks hendak mencegah Noemie jatuh, kini membeku di
tempatnya.
Noemie tidak perlu bantuannya. Sama sekali. Haykal selalu ada di sana,
untuknya.
Kini, sepertinya mereka berdua enggan melepaskan posisi itu. Seolah berabad-
abad Haykal memeluk Noemie yang setengah terjatuh. Tubuh keduanya begitu
dekat. Wajah mereka nyaris melekat. Sampai Nada merasa malu melihatnya,
Keheningan yang aneh itu dipecahkan oleh suara tawa Noemie. Disusul tawa
Haykal.
Tapi, Nada tidak tertawa. Sama sekali. Dia justru ingin menangis.
"Nada... tangannya dong, sakit nih.... " Bisikan halus di telinga kiri membuat
Nada terbangun.
Bibir Nada mendesiskan kata maaf, lalu dia membebaskan lengan gadis itu.
Dia mendekatkan bibir ke telinga Nada, berbisik pelan tapi memastikan Nada
mendengar setiap ucapannya.
"Aku paham, Nada. Aku tahu bagaimana sakitnya melihat ini semua. Tapi,
tolong jaga ekspresimu. Mereka bisa terkejut bila melihatnya. Kamu sekarang
mirip pembunuh berdarah dingin yang hendak membalas dendam...."
"Ini. Minum dulu...." Rania mengulurkan botol air mineral. Nada menurut. Dia
mencari tempat duduk, lalu meneguk sedikit air dari botol itu.
"Nanti ya kita bicara, kamu boleh curhat sampai aku budek di kamar. Tapi, nanti.
Sekarang, kamu fokus dengan pemotretan ini. Kita berdua tahu, wanita jalang itu
model yang luar biasa, dan Pangeran Maroko gilamu itu fotografer kelas kakap.
Aku yakin hasil foto-foto hari ini bakal...." Rania kesulitan menemukan kata-
kata demi meyakinkan sahabatnya, "bakal... sukses berat! Pasti bisa kamu
gunakan untuk brosur, Instagram, promo, company profile... apa pun. Ya? Kamu
bisa bertahan, kan?"
"Lihat ke atas!" perintah Rania berdesis. "Lihat ke langit. Biru. Tembok itu. Biru.
Ayo, jangan menyerah. Lihat ke atas, jangan biarkan air matamu tumpah. Aku
tidak rela kamu hancur hanya karena pemotretan sialan ini!"
Rania mengibaskan tangan, mengeluarkan "hiiih" keras seperti biasa saat dia
kesal.
"Nada...?"
Nada mengeluh dalam hati. Pertahannya nyaris roboh mendengar nada khawatir
dalam suara rendah itu.
Rania berdiri, memberikan tempat bagi Haykal untuk mendekat. Nada yang
duduk, hanya bisa melihat kedua kaki Haykal yang terbungkus celana kain
warna khaki bergerak mendatanginya. Tepat di hadapan Nada, kaki-kaki itu
berhenti, lalu merendah. Pria itu berjongkok, meletakkan satu lututnya di tanah.
Kini wajahnya hampir sama tinggi dengan Nada. Gadis itu tidak bisa lagi
menghindari kontak mata.
Tatapan Haykal yang sarat perhatian sungguh meluluhkan hati. "Kamu
kenapa...?" Haykal menyentuh lutut Nada, di atas coat panjang biru tuanya.
"Maaf.... Aku... agak pening...," Nada menjawab lirih. Dia tidak berdusta. Tiba-
tiba memang dia merasakan rasa sakit yang kuat mematuk-maruk kepalanya.
Mungkin efek Haykal yang duduk terlalu dekat. Atau bekas tangan pria itu yang
terasa hangat di lututnya.
"Kamu ingin berhenti dulu?" Haykal bertanya dengan suaranya yang berat.
"Tapi...."
"Lanjutkan saja. Tolong, Haykal." Nada meminta dengan suara dan ekspresi
wajahnya.
"Aku... aku izin duduk dulu di sana, ya?" Nada menunjuk bangku kayu dekat
lokasi pemotretan. Bangku itu tampak nyaman dalam keteduhan bayangan
bangunan-bangunan di sekitarnya.
"Jangan khawatir, Rania akan tetap membantu Noemie mengurus bajunya. Ya,
Ran?" Nada melontarkan tatapan penuh permohonan pada Rania yang kini
terbelalak.
"Tinggal satu baju lagi, Rania.... Kamu ingat, kan? Atasan cape itu, dan
bawahannya yang garis-garis...?" bujuk Nada. "Minta Noemie mengurai
rambutnya saja. Karena bajunya bisa sangat casual, bisa untuk siapa pun. Tidak
mesti berhijab. Kamu paham kan, Ran? Please...?" Suaranya begitu mengibakan,
membuat Rania tidak bisa membantah lagi.
Nada menoleh kembali pada Haykal. "Rania tahu semua kok," ujarnya tandas.
"Aku hanya akan istirahat sebentar, duduk, minum. Dan semua akan baik-baik
saja."
Tanpa menunggu Rania menyetujui, Nada bangkit perlahan. Diringi tiga pasang
mata yang bingung dan khawatir, Nada berbalik pergi. Berusaha berjalan sebiasa
mungkin, sementara sebetulnya dia ingin berlari saja.
Bola mata Rania bergerak liar. Kepalanya bekerja keras mencoba mencari alasan
paling wajar tanpa membuat khawatir.
"Umm. Aah, period! You know, she has ber period...." Akhirnya Rania
menemukan kembali kecerdasannya dalam hal berdusta. Dia sibuk mengelus
perutnya untuk menggambarkan sakit perut yang biasa diderita gadis-gadis,
sebulan sekali. Berusaha meyakinkan Noemie pada alasan palsu yang baru saja
dikarangnya.
"Kalau begini, kita ambil foto untuk baju berikutnya, ya?" Rania menunjuk tas
Nada.
Baik Haykal maupun N oemie mengangguk setuju. Mereka pun kembali sibuk.
Tak berapa lama kemudian, Nada sudah kembali bergabung bersama mereka.
Meski begini, sebuah kerutan dalam tidak kunjung hilang dari kening Haykal.
***
Haykal duduk menaikkan satu kaki di kursi. Dia menghadapi laptop. Di layar,
terbuka dua foto yang ingin dia edit, untuk dipasarkan ke penyedia stok foto-foto
Maroko. Tangannya bertengger di atas tetikus, matanya menatap layar. Namun,
pikirannya tidak di sana.
Demi unta-unta Maroko, dia tidak akan pernah terbiasa melihat wanita
menangis!
Betul, gadis itu sekuat tenaga menahan air matanya. Mendongak menatap awan-
awan seperti seniman mencari mspirasi, menggigit bibirnya. Tapi, Haykal tidak
bodoh, sekali lihat dia tahu, sedikit lagi bendungan tangis Nada bakal jebol.
Kedua bola matanya penuh dilapisi air mata, dan wajahnya demikian murung.
Wajahnya kehilangan warna, sementara pucuk hidungnya memerah,
Ada apa?
Nada hampir menangis di depannya, dan dia tidak berbuat apa-apa. Jangankan
membantu, sebabnya pun Haykal tak tahu. Sungguh tak nyaman.
Barangkali dia harus tunjukkan hasil fotonya pada Nada, agar gadis itu bisa
tersenyum lagi? Hasil pemotretan hari ini, spektakuler. Nada pasti menyukainya.
Ya. mungkin sebaiknya dia mengirimkan pesan, sekadar untuk mengurangi
kekhawatiran.
Haykal : Kalau ada yang bisa kubantu, kasih tahu saja ya. Send
Tapi, memang begitulah selalu pengaruh Nada pada dirinya. Membuat dia
mendadak sok romantis, pontang-panting, dan kehilangan orientasi. Sama sekali
bukan Haykal yang normal.
Walau... yah, seandainya Nada memang meminta dia memijat untuk mengurangi
sakitnya, Haykal sama sekali tidak keberatan. Dengan senang hati dia akan
melakukannya.
Haykal melirik arlojinya. Menghitung mundur tujuh jam. Itu waktu Jakarta saat
ini. Haykal mencari dan menemukan nama Tristan. Sebaiknya dia laporan dulu
pada Bos di Jakarta.
Haykal : Bro, gue sudah ketemu Nada sama temannya. Tadi kita photo-shoot
untuk baju-baju adik lo. Modelnya temen gue.
Haykal : Si Nada kenapa, ya? Kok jadi sering banget manyun. Kayak lagi sakit-
sakitan gitu.
Tristan : Thanks, Bro. Dia pasti demen banget bisa bikin foto buat baju-bajunya.
Eh, sakit? Lo yakin dia sakit? Parah? Sakit apa? Nanti gue suruh dia ke dokter!
Haykal : Bukan, Bro. Dont't worry. Bukan yang parah kok. Cuma suka
cemberut. Murung....
Tristan : Oh. Lo bikin dia ngamuk, kali? Tahu sendiri kan kayak apa galaknya
dia.
Nah, kalau Nada marah-marah, justru Haykal tak khawatir. Masalahnya, Nada
jadi pendiam. Wajah sedih itu, membuat Haykal merasa jadi pria paling jahat
sedunia. Pria jahat yang tampan.
Tristan : Yah, macam itu lah. Sakit bulanan. Masa nggak ngerti. Jangan sok
alim deh lo.
Ah, kalau begitu terjawab sudah. Bukan dia penyebab Nada manyun, melainkan
ritual berdarah-darah itu! Tentu saja. Apa lagi? Ah, iya. Sepertinya Rania pun
tadi menyebut-nyebut soal ini waktu bicara dengan Noemie tadi. Walaupun
menurutnya, Rania terlihat kalang kabut, seolah kelabakan mengarang sesuatu.
Gadis itu terang-terangan tak berbakat jadi penipu ulung.
Okelah. Nanti akan dia sampaikan juga pada Noemie. Dari tadi, Noemie berisik
bertanya-tanya, terlalu mengkhawatirkan kondisi Nada.
Haykal melanjutkan bertukar beberapa kalimat dengan Tristan, sebelum
akhirnya mengakhiri percakapan cbntting mereka. Ketika dia baru saja
meletakkan ponselnya, terdengar suara kaki menapaki anak tangga. Dan pintu
kamar diketuk.
"Yaa...?" seru Haykal tanpa mau repot-repot bangkit. Kuranglebih dia tahu siapa
yang datang.
"Sedang apa?" tanyanya seraya mendekat, Gadis itu lalu duduk di ujung meja
Haykal, tepat di samping tetikusnya. Kakinya yang panjang menjuntai santai.
"Foto ya...." Noemie melirik sedikit layar komputer Haykal yang menyala.
"Siap!" ujarnya, menyelipkan kertas itu di bawah ponsel. "Benar ya, kamu cek
barangnya satu-satu. Jangan sampai ada yang salah."
"Siap, Bos!"
"Kamu tahu sendiri, aku harus selalu mengingatkanmu. Kamu kadang suka
teledor, kan? Padahal ini bukan cuma proyekku. Ini milik kita berdua. Jangan
lupa!"
Haykal memberi tanda hormat dengan tangan kanannya, menyeringai. Noemie
memutar kedua bola matanya.
"Oke. Aku pergi, ya... !" kata gadis itu seraya merosot turun dari meja. Dia
mendekatkan tubuh. Mengecup pipi Haykal.
"Satu lagi!" perintah Noemie manja, karena Haykal berhenti pada kecupan
kedua.
"Hhh. Berapa kali sih...." Walau sambil menggerutu, Haykal menurut meni
berikan tambahan kecupan.
"Eh, iya!" Seperti ada yang menghentikan, Noemie mematung di ambang pintu,
"Kawanmu yang mungil ini... Nada...? Kuharap dia sudah membaik. Kasihan
sekali tadi wajahnya pucat...."
"Dia memang selalu memakai penutup kepala, ya? Atau karena di Maroko saja?"
"Yeah, Nada memang lebih religius daripada aku. Dia dibesarkan dalam keluarga
yang taat beragama. Kakaknya kawan dekatku, dia juga begitu."
"Mmm...." Noemie terlihat seperti berpikir. "Oke. Kurasa kapan-kapan aku ingin
mengobrol dengannya," lanjutnya pelan. "She's interesting. Et mignonne. Mercy,
Haykal!"
Sayang, bidang itu kini dipenuhi raut wajah manis Nada yang tengah manyun.
Bergantian dengan suguhan indah dari tubuh m0- lek Noemie saat dia
membungkuk di meja ini tadi.
BAB 4
AZURE BLUE
HAYKAL menatap layar ponselnya dengan kening berkerut.
Kalimat yang baru saja dia lihat, membuatnya merasa perlu mengulang baca
sekali lagi. Ternyata kesalahan memang bukan terletak pada indra visualnya.
Kalimat-kalimat yang tertera di sana, masih sama. Sampai ke titik-titiknya.
Nada : Iya. Kamu janji mau mengantarkan aku ke sana kan? Melihat Blue City
dari atas...?
Nada : Oke. Nanti aku pakai sepatu yang enak untuk hiking.
Haykal : Yakin kamu tidak bakalan pingsan? Wajahmu pucat sekali tadi. Apa
tidak lebih baik besok saja kita ke sana?
Haykal : Mau tak mau. Aku di sini sebagai perwakilannya, bukan? Untuk
menjagamu.
Nada : Nah, kalian persis sekali. Kembaran ya, Kak?
Haykal : Aku tidak yakin bakal bersedia menggendongmu kalau kamu tumbang.
Walaupun kamu memohon dan mengiba, aku tidak bakal mau. Aku bukan ojek
gendong. Jadi pastikan kamu kuat, kalau memang ingin pergi.
Tercipta jeda beberapa saat sementara kursor biru di ponsel Haykal berkedip-
kedip bisu. Sebuah senyuman kecil bermain di bibirnya. Nada pasti tengah
cemberut, atau melotot membaca kalimatkalimat, yang Haykal sendiri akui,
bawel dan mengesalkan itu, lalu berupaya menuliskan balasan yang tak kalah
pedas.
Tawa Haykal tersembur keras karena dia bisa memperkirakan wajah geram Nada
saat menuliskan kalimat-kalimat galak itu di ponselnya. Dia bahkan bisa
membayangkan Nada menghantam petak send kuat-kuat sambil menyipitkan
mata. Atau mungkin mengomel panjang-pendek. Aduh, Tuan Putri ngambekl
Haykal : Hai, Titik. Tidak perlu ngambek begitu, Tik. Pasti aku temani ke
Spanish Mosque. Kan aku yang menawarimu kemarin. Lagi pula, Tristan bisa
membunuhku kalau aku membiarkan adiknya yang manis mendaki bukit
sendirian sore-sore demi sunset.
Beberapa saat tidak ada jawaban. Haykal mengecek jarum penunjuk pada
arlojinya untuk memperhitungkan waktu.
Furnitur yang dipesan Noemie sudah datang dan semua beres setengah jam yang
lalu. Tapi, masih ada beberapa pekerja menggarap ini-itu di bangunan calon
butik hotel mereka.
Hmm. Barangkali Haykal bisa menyuruh orang-orang ini pulang sedikit lebih
awal hari ini, untuk memberinya waktu menemukan taksi, menjemput Nada dan
Rania, bertolak ke Spanish Mosque, dan mendaki bukit sebelum matahari
beranjak lengser.
Dia mengirimkan pesan pendek pada Noemie tentang rencananya. Lalu tanpa
menunggu balasan, dia kembali meluncurkan pesannya pada Nada.
Haykal : Oke. Nanti ku jemput kalian di hotel. Siap-siap saja ya. Begitu dapat
taksi, aku akan mengabari. Jadi kalian bisa menunggu di lobi.
Nada : Oke.
Haykal : Sip. Tidak perlu berterima kasih, Nada. You're welcome. It's my
pleasure.
Nada : Pret.
Pret?
Apa itu pret? Bahkan itu bukan sebuah kata. Haykal yakin, pret tidak tercantum
dalam kosakata bahasa mana pun. Juga dalam Kamus Bahasa Indonesia.
Maupun Inggris, Arab, Jepang, bahasa apa pun.
Nada juga tidak mau repot-repot menjawab kelakar ucapan terirna kasihnya.
Seharusnya Haykal marah. Atau membalas dengan kata makian yang lebih
kejam. Bukankah biasanya dia cukup fasih memakimaki? Tapi, yang terjadi
sebaliknya, dia justru terpingkal-pingkal sampai air matanya keluar.
Dia makin tak sabar untuk segera menemui Nada. Lengkap beserta seluruh pret-
nya.
***
"Ck. Bukaaan. Bukan kekuatan fisik yang membuatku khawatir. Aku tahu kamu
sehat. Hanya Haykal dan modelnya yang tertipu mengira kamu tengah sakit
parah. Padahal sebetulnya kamu kan cuma terkena serangan virus C! Yang
berakibat pusing, mual, lemas, marah-marah nggak jelas, emosi, air mata
membanjir, dan logika yang menguap seketika...."
"Virus Cemburu. Sudahlah, mengaku saja. Kamu sebal setengah mati kan,
melihat kemesraan Haykal dengan Noemie tadi waktu pemotretan?"
"Tapi, tenang saja, dua orang itu terlalu sibuk untuk memperhatikanmu. Jadi,
hanya aku seorang yang tahu, dan jadi korban siksaan fisik tiap kali kamu geram
melihat mereka berdekatan, atau mendengar Haykal memanggil si Eneng model
dengan sayang-sayang, dear-dear, cherie-cherie.." Rania mengangkat wajah dari
kukunya, mengerling dramatis pada bagian lengannya yang tadi kesakitan.
Gadis itu membuang pandangan ke arah jendela. Pada Chefchaouen yang biru
manis, dan langit yang azure blue, dan awanawan yang menyebar.
"Jadi sebetulnya, untuk apa ya, aku jauh-jauh datang ke kota ini...," desahnya
dengan tatapan mengav,ang. Bahunya merosot turun.
"Apa-apaan ini?" bentaknya dengan alis menyatu. "Jadi, secara tak langsung,
kamu ingin mengatakan padaku bahwa kamu jauh-jauh ke Maroko, semata-mata
untuk mengejar cowok? Menyedihkan betul!" sindirnya telak. "Coba jelaskan,
sejak kapan niatmu bergeser dari rencana semula? Bukankah awalnya kamu ke
Maroko untuk menemani Tristan dan istrinya? Juga karena kamu tergilagila pada
warna biru itu!" Rania menunjuk ke arah luar jendela. "Blue City, Nada! Kota
yang kamu idam-idamkan sejak dulu!"
"Jadi jangan biarkan Haykal menghancurkan perjalanan kita di sini. Aku yang
tidak rela. Kau dengar itu? Let's do more fun! Ambil manfaat sebesar mungkin.
Kalau perlu, jadikan kota ini sebagai inspirasimu dalam merancang koleksi
terbaru." Rania terlihat puas dengan idenya.
"Bagaimana? Terbayang kan? Kamu bisa meluncurkan line up 'The Blue of The
Blue City'... atau apalah nanti begitu kita pulang ke Jakarta...." Rania
membentangkan kedua tangannya. Mulai bersemangat lagi. "Akan ditulis di
koran-koran: perancang muda Nada Aleema Shahrir memperkenalkan cita rasa
baru yang diusung langsung dari benua Afrika, khusus untuk para penggemarnya
di Jakarta. Pesona Chefchaouen yang menawan diterjemahkan dalam garis-garis
memukau indah kemilau...."
Gaya Rania yang mulai mirip penyair gadungan, mau tak mau merebut perhatian
Nada, juga sedikit menghiburnya.
"Mana ada koran menulis seperti itu tentangku? Bisa muncul satu senti di kolom
berita online saja sudah anugerah besar!" tukasnya geli.
"Lho, siapa tahu?" Rania tetap optimis. "Lagi pula, lumayan kan, kamu sudah
dapat photo shoot gratisan hari ini?" Dia mengedipkan sebelah mata.
"Iya, ya. Dan aku yakin hasilnya pasti cantik. Haykal berjanji akan memberiku
semua hasilnya nanti dalam bentuk CD atau flash disk, setelah dia edit dan
pilihkan yang bagus-bagus...," ujar Nada malu. Senyum tersipunya
mengambang, Dia merasa jauh lebih positif kini.
"See? It's not that bad.. " Rania kembali mengguncang pelan bahu Nada. Namun,
kali ini dengan lebih bersahabat.
Rania bertepuk tangan. "Oke. Bagus. Jadi, sekarang mari kita putuskan. Kamu
masih ingin mendekam di kamar sambil bermuram durja, atau kita pergi ke suatu
tempat yang indah? Atau makan sesuatu yang lezat? Atau... be-lan-ja?"
Nada terkekeh. Dia tahu persis opsi mana yang sebetulnya paling diminati
sobatnya. Sayang, hari ini dia ingin melakukan sesuatu yang berbeda. Dia
menepuk-nepuk lengan Rania dengan gaya membujuk.
"Belanjanya nanti lagi ya, Cinta. Kemarin kan sudah. Kita jalan-jalan ke tempat
lain dulu."
Entah kenapa, saru-sarunya nama yang muncul dalam otaknya Spanish Mosque.
Spot wisata yang diusulkan Haykal beberapa waktu lalu. Aduh, Haykal lagi.
Nada menggaruk kepalanya yang mendadak gatal. Inilah akibat melibatkan diri
dengan makhluk satu itu. Haykal selalu sulit dilepaskan. Terus melekat seperti
kutukan.
"Aku ingin ke Spanish Mosque...," jelas Nada hati-hati. "Katanya, sunset dari
sana sangat indah. Dan kita bisa melihat Blue City dari atas. Pasti cantik.
Masalahnya...."
"Setuju! Aku mau ke sana. Wow, ternyata kamu sudah riset ya, tentang spot
wisata kota ini."
"Bukan! Itu dia, makanya dengarkan dulu kalau orang ngomong!" tegurnya.
Menghela napas. Lalu, "Nah, masalahnya, yang merekomendasikan adalah
Haykal."
Nada meringis. "Belum!" sahutnya dengan wajah sepolos bayi. "Hah? Jadi
gimana, dong? Kita bisa berdua saja ke sana? Mesti pakai tur?"
Mereka berdua bertatapan, Nada bergidik. Berdua saja dengan Rania, senja
menjelang malam ke tempat yang asing? Ini tidak terdengar bagus. justru agak...
mengerikan.
Pilihan lain adalah.... Duh, masa iya dia mesti minta antar orang itu?
Nada menunduk, sedikit salah tingkah. Perlahan sekali mengangkat wajah dan
menjawab, "Mungkin kita bisa pergi bersama Haykal...?"
Nada cemberut, "Bagaimana lagi? Memangnya, kamu ada ide lain?" sahutnya
gusar. Kemudian menambahkan dengan nada mencemooh, "Lagi pula, aku tidak
terganggu kok."
Nada mengeluh dalam hati. Rania dan dia sama parahnya urusan menentukan
arah. Menyetir dengan bantuan navigasi di Jakarta pun, Rania masih bisa
tersesat. Belum lagi, mereka berdua adalah turis asing di kota ini. Walaupun
masyarakat setempat sangat ramah dan hangat, Nada tahu Chefchaouen tidak
seramai Marrakesh pada malam hari. Kota ini lebih cepat sepi dan tertidur mana
kala matahari menghilang.
Tidak, pilihan ke Spanish Mosque tanpa pendamping itu terlalu ambisius.
"Ya sudahlah, kalau begitu. Kita coret saja Spanish Mosque. Lebih baik kita
jalan-jalan di kota saja.... Lebih aman, Tapi ingat, aku nggak mau belanja lagi,
bosan. Oke?" putus Nada pasrah.
"Aku kan menolak ke sana dengan Haykal demi kamu!" ujar Rania setengah
menggerum, namun jelas mulai bimbang. "Bagaimana nanti, kalau monyetnya
ikut lagi?" cecarnya mencari penegasan.
"Noemie. Dia kan gelendotan terus di Haykal, kayak monyet!" Rania berseru
gemas.
"Ooh...." Nada terkikik. "Gampang. Aku merem saja kalau mereka mulai dekat-
dekatan...."
"Ya sudah. Terserah, deh. Yang penting, jangan sampai pingsan lagi. Basi, tahu."
Nada tersenyum lebar, mengacungkan telapak tangan minta tos pada sahabatnya.
Rania menyambut dengan masih bersungut-sungut.
Diam-diam Nada berbahagia. Harapan bakal bertemu lagi dengan Haykal, entah
kenapa, selalu terasa menyenangkan. Walaupun dia sadar sepenuhnya, akan ada
"monyet" yang bisa menggems habis kegembiraan itu. Tidak apa. Setidaknya,
dia bisa mendengar suara Haykal yang berat. Mengamati cara pria ini bergerak
penuh percaya diri. Mengagumi pahatan wajah tampannya dari jauh. Menunggu-
nunggu drama yang muncul. Menikmati perhatian kecilnya yang sejarang
gerhana matahari,
Ini seperti sesuatu yang tidak nyata.. Mustahil dipahami logika. Bahkan
cenderung mengenaskan. Sayang Nada tak kuasa menolaknya.
Diam-diam Rania berjanji dalam hati, bakal mengawasi Haykal dan Noemie
dengan mata setajam elang. Begitu mereka hendak mengumbar kemesraan, dia
mesti sigap menyeret Nada pergi. Atau menutup mata gadis ini dengan benda
apa pun yang bisa ditemukan.
Nada, tentu saja tidak tahu isi kepala sahabatnya. Dia terlalu sibuk dengan
perasaannya sendiri. jemarinya mengetik cepat. Kadang terlihat geli, kadang
cemberut kesal. Benar-benar telah tenggelam dalam percakapan virtualnya
dengan Haykal.
"Karena... aku ingin shalat di masjid itu!" sahut Nada dalam satu tarikan napas.
Lalu secepat kilat dia berbalik, memunggungi sahabatnya.
***
Dan kabar buruknya adalah, ternyata Spanish Mosque bukanlah masjid seperti
yang Nada bayangkan. Tidak ada yang beribadah di sana. Atau sebetulnya bisa
saja? Tapi dengan begitu banyak turis lalu lalang di bangunan bersejarah ini,
Nada pun memutuskan menunda keinginannya. Masih sangat banyak masjid
menarik lain, yang bisa dijadikan tempat bersujud di bumi Maroko.
Yang ini, entah masuk kategori kandidat kabar baik atau kabar buruk.
Haykal bila tanpa monyetnya, ternyata kembali jadi sosok asli. Yang bengal
mengesalkan. Memancing drama. Rajin menyentil titik-titik emosi Nada yang
sensitif, dan berulang kali membuatnya kehilangan kesabaran.
"Siapa yang nangis?!" sahut Nada ketus, refleks bergeser selangkah. Pertama,
karena suara Haykal terdengar begitu dekat di atas kepalanya, dan itu
membuatnya berdebar. Kedua, karena memang sebaiknya dia berjaga-jaga.
Bersama Haykal, Nada merasa dia harus selalu waspada.
Haykal mengedikkan dagu ke arah Nada. "Kamu. Sepertinya sedih betul, hanya
karena gagal shalat di Spanish Mosque...," Haykal menjawab santai.
"Dan kamu, kenapa menyimpan sendiri informasi itu? Sengaja ya, untuk
membuatku kesal?"
Haykal mengangkat alis santai. "Mana aku tahu kamu berniat shalat di sini. Aku
kan tidak bisa membaca pikiranmu. Walaupun sebetulnya aku sangat ingin dapat
melakukannya."
Nada dan Rania beranjak mengikuti penunjuk jalan mereka. Dalam sekejap,
mereka tiba di area punggung bukit yang menghadap ke arah kota. Dua-tiga
rombongan turis sudah mengambil tempat duduk di sana, berjauhan satu sama
lain. Matahari mulai meredup dan turun, bersembungi di balik awan. Wama
kuning hingga oranye lembut berlarian di langit, kendati di beberapa tempat,
mendung-mendung berat tampak menggantung. Di batas horison, Pegunungan
Rif membentuk siluet kebiruan yang lebih tua. Dan di kakinya, terhampar sang
Kota Biru. Biru dalam berbagai gradasi, diseling warna gelap dari pepohonan di
sela petak-petak rumah. Seluruhnya menyajikan panorama mengesankan.
Nada terpaku, menikmati sensasi damai dan meditatif yang menerjang seluruh
indranya.
Sayang, kedamaian bagi Nada tidak berlangsung lama. Diawali pekikan tertahan,
Rania mulai berseru-seru kagum. Berisik. Tangannya sama sibuk dengan
bibirnya, memotret entah berapa puluh kali. Akhirnya dia menarik bahu Nada,
mengajakselfie.
"Sini, aku foto kalian berdua!" Haykal menawarkan bantuan. Dengan senang
hati Rania menyerahkan kameranya. Beberapa saat pria itu melihat sekeliling,
mencari sudut pengambilan terbaik. "Kalian duduk di sana saja," perintahnya,
menunjukkan arah.
Patuh Rania dan Nada beranjak ke titik yang dimaksud oleh Haykal.
"Aku duduk saja, biar tidak menutupi pemandangan? Sayang soalnya." Nada
merendahkan tubuhnya, siap bersimpuh di atas tanah berumput.
Tas? Dia minta aku membawakan tasnya? Nada melihat kepada sling bag milik
Haykal, lalu mengangkat wajah, menatap pria itu tak mengerti.
Oh.
"Oh. Oke. Terima kasih...." Salah tingkah Nada menerima tas itu. "Tapi, nanti
tasmu kotor. Nggak papa?" tanyanya khawatir. Haykal tidak menyahut.
Nada bergumam tak jelas tentang tas yang kena tanah dan sebagainya. Namun,
karena tidak mendapat tanggapan, pelan-pelan dia meletakkan tas yang menjadi
sengketa itu di tanah sebagai alas duduk. "Sudah kamu periksa?" tanyanya
sangsi. "Tidak ada kamera yang bakal ringsek kena bobot tubuhku...?"
Haykal menatap Nada dengan sorot mata jemu, sedangkan bibirnya menipis
seakan menyembunyikan tawa, "Jawabannya tidak dan tidak. Tidak ada kamera
di dalamnya, karena sore ini aku mendedikasikan waktuku untukmu, bukan
untuk memotret. Dan, tidak ada yang bakal ringsek di sana, karena bobot
tubuhmu, aku yakin tak lebih berat daripada anak umur lima tahun."
Nah, kalimat terakhir itu keterlaluan. Itu pujian atau cemoohan? Bisa jadi juga,
bukan keduanya. Tapi, Nada terlanjur bangkit dengan dahi berkerut.
Tidak mau repot-repot melayani. Dan itu membuat emosi Nada tersulut dua kali
lebih cepat.
"Nih, tasmu. Ambil lagi! Nggak usah pakai alas juga nggak papa!" Nada
menjauhan tas Haykal seolah benda itu bakal menodainya.
Mata Haykal menyipit, wajahnya mengeras. "Pakai. Gunakan itu sebagai alas
kalau kamu memang mau duduk. Kita tidak pernah tahu kan, di tanah itu
binatang apa saja yang sudah buang hajat! Aku ingin bajumu tetap bersih, karena
dari sini, aku akan membawamu ke masjid, shalat maghrib di sana. Repot kalau
kamu harus balik lagi ke hotel untuk ganti baju, hanya gara-gara kamu terlalu
tinggi hati untuk duduk di atas tasku. Paham?"
Suara Haykal memang tidak keras, tapi cukup untuk memberitahu pada seluruh
alam, bahwa dia kesal. Setelah pria ini menutup mulutnya, sekeliling mereka jadi
begitu sunyi.
"Buruan, Nada! Kalau sunset-nya sudah turun, nanti fotonya gelap!" cetus gadis
itu riang. Sedikit terlalu riang. Tapi, tak apa. Justru berguna untuk memecah
suasana. Rania berkacak pinggang. "Nah, sekarang masalahnya, aku duduk di
mana? Aku juga tidak mau bajuku kotor. Ada tas yang lain lagi, Haykal?"
tanyanya dengan alis terangkat.
Haykal mendengus geli. "Tasnya habis. Kamu duduk saja situ, di atas batu." Dia
menunjuk batu di sebelah Nada.
"Diskriminasi! Kesenjangan sosial! Kamu, dapat tas. Aku, dipaksa duduk di atas
batu!" Rania mengomel-ngomel lirih, tepat di telinga Nada. Begitu lucu, sampai
Nada nyaris terbahak dan melupakan kekesalannya.
Toh, wajahnya kembali memanas begitu berhasil memarkir duduknya di atas tas
Haykal. Terutama, karena dia merasakan pria itu mengamati setiap gerak-
geriknya.
"Oke." Rania memeluk Nada dengan satu tangan, sementara tangan satunya lagi
mengacungkan salam dua jari, "Cheeeeese!"
Haykal memotret memotret mereka. Lalu, dia bergeser mengambil angle yang
berbeda.
***
Ada sosok jangkung terbalut atasan putih ketat dan celana palazzo oranye
mendekat, Sekian langkah sebelum benar-benar bergabung dengan mereka,
Noemie berhenti. Berdiri tegak dengan kaki sedikit terbuka, sang fashionista
seperti baru saja meloncat keluar dari halaman cover Vogue, mendarat sempurna
di Spanish Mosque.
Antusiasme Nada akan sunset, selfie, dan bird view Blue City seketika merosot
ke titik minus,
"Haykal bilang dia akan mengantarkan kalian ke sini. Aku juga tak ada kerjaan,
jadi kuputuskan untuk bergabung. Mudah-mudahan kalian tidak keberatan."
Noemie santai menjelaskan.
Rania melontarkan lirikan kilat pada Nada, yang ternyata tanipak biasa-biasa
saja. Tidak memunculkan aura penolakan sama sekali. Atau kalaupun ada,
sepertinya Nada berhasil menyembunyikannya.
Karena tak seorang pun tampak keberatan, Noemie berjalan mendekat.
"Oh, ya. Dan untuk foto, di sini kita bilang tagine", dia tersenyum lebar. "Like
this: say tagiiiiiine!" serunya seraya mengacungkan dua jari menirukan gaya
Rania.
Noemie balas mengerutkan dahi. "Maybe. Why not? Khas Maroko, bukan?
Tagiiiiine!" Noemie bersikeras, tampak seperti anak kecil yang merajuk.
Haykal terkekeh. "Aku yakin itu bikinan dia sendiri sih," ujarnya pada Nada dan
Rania dalam bahasa Indonesia. Dia mengangkat bahu sebagai tanda enggan ikut
bertanggung jawab.
Noemie mendelik pada Haykal. "Did you say something bad about me? Don't
use bahasa...."
Rupanya Noemie tidak berkenan dengan "ops" itu. Dia menyarangkan sikunya di
pinggang Haykal, membuat pria itu meliuk kegelian. Entah serius, atau pura-
pura. Haykal memutuskan membalas, menggelitik pinggang Noemie dengan
telunjuknya. Noemie menggeliat, memaki-maki, dan menampari jari-jari Haykal
dengan kesal. Entah serius, atau pura-pura.
Lagu orisinal ciptaan Rania terdengar begitu aneh sekaligus begitu lucu, sampai
Nada tak kuasa menahan geli yang berkedutkedut di pipinya. Dia tertawa kecil,
memukul lengan sahabatnya.
Tapi, tidak seperti tadi pagi, Nada sudah tidak terkejut lagi. Dia sudah jauh lebih
siap. Dia tahu ini akan terjadi. Jadi alih-alih meratapinya, Nada memutuskan
untuk berlatih bertahan. Dia harus bisa bersikap normal.
Rania mengeluarkan suara seperti orang tersedak. "Sis, jangan cari gara-gara
kenapa, Sis?" desisnya keberatan.
"Ready?" senyumnya terkembang pada Nada dan Rania. Lalu dia memberi aba-
aba, "Tagiiiiiine!"
Ponsel Rania pun menyimpan foto tiga dara berlatar kota biru itu: Nada yang
tersenyum aneh, sang fashionista yang ceria, dan Rania yang seperti ingin
membunuh seseorang.
***
Haykal menepis rumput kering yang bertengger manis di bahunya. Sambil lalu,
dia menatap sekeliling. Beberapa lampu mulai menyala. Beberapa pemilik kios
telah mengemasi dagangan yang kaya warna, dan menutupkan pintu mereka
yang seragam biru tua. Pinggiran jalan Chaouen yang dinamis pada siang hari,
pelan tapi pasti memunculkan wajah yang berbeda begitu malam tiba.
Rania yang... yah, seperti gadis-gadis Indonesia pada umumnya. Terus terang,
Haykal tidak begitu memperhatikan. Laiknya seorang bodyguard, Rania
menggamit erat-erat lengan....
Noemie. Gadis yang sekurus lidi, melangkah rapi dan gaya dengan celananya
yang berkibar-kibar, membuat lorong medina menjelma jadi semacam catwalk
peragaan busana.
Udara membawa suara tawa Nada yang khas ke gendang telinganya. Tawa yang
berdenting. Bukan deskripsi yang sering digunakan Haykal, tentu saja. Tapi
memang beginilah adanya. Tawa Nada selalu berdenting. Tawa itu menjadi
aksen menyenangkan di tengah lantunan suaranya yang senantiasa lembut.
Meski lebih sering diucapkan dalam nada membentak pada Haykal, suara Nada
selalu lembut. Haykal curiga, sebetulnya gadis itu tidak pernah benar-benar bisa
marah. Hanya berlagak.
Cuma disuruh duduk beralaskan tas saja, kenapa mesti serepot itu1 Haykal
teringat pertengkaran kecil mereka di depan Spanish Mosque tadi. Sederhana
sekali, dia cuma ingin baju Nada tidak kotor. Karena dari Spanish Mosque,
Haykal ingin mengajak Nada langsung ke Great Mosque di medina. Lagi pula,
kalau dia sudah menyerahkan tasnya sebagai alas, ya pastilah dia sudah
memperhitungkan baik-baik akibat apa yang bakal diderita tas itu. Kotor sedikit?
Tidak masalah. Ada benda yang tergencet? Tidak masalah juga. Toh isinya cuma
barang-barang kecil lunak seperti buku atau dompet. Ponselnya tersimpan rapi di
saku celana. Tapi, bukan Nada kalau tidak membuat hal kecil jadi besar. Terlalu
banyak berpikir, terlalu banyak pertimbangan, terlalu banyak bicara.
Contoh penggunaan:
Wanita itu ternyata cukup nada / Kami menobatkan Tuti sebagai gadis paling
nada di kelas / Anak yang tidak nada, pasti memiliki banyak kawan,
"Aku hanya terpesona pada artitektur masjid yang kita tuju. Lihat, tepat di
belakang kalian."
Tapi, tidak dengan yang satu ini. Rania masih berada pada posisi semula.
Menghadap Haykal, mendelik penuh curiga.
Sebelum Haykal sempat bereaksi apa pun, Rania sudah berbalik cepat, dan
melaju mengejar Nada dan Noemie yang sudah beberapa langkah di depan.
Baiklah, sepertinya kali ini Nada datang ke Maroko membawa prajurit penjaga
bernama Rama. Haykal menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Mendekati masjid, Haykal menjelaskan pada Noemie dan Rania bahwa mereka
bisa menunggu di plasa yang tak jauh dari situ, selama dia dan Nada menunaikan
shalat maghrib. Noemi tak keberatan, sementara Rania tampak bimbang.
Haykal bisa membaca suasana hati Rania, karena kentara gadis itu menunjukkan
sikap bermusuhan. Buru-buru dia mengeluarkan amunisi kedua. "Aku yang
traktir deh," ujarnya tertawa. Lalu menunggu dengan sabar, ketika Rania
menatap Nada agak lama, meminta pertimbangan. Sementara yang ditatap dian,
saja tampak tak peduli, malah melirik jam tangannya seperti ingin segera
mengakhiri percakapan ini dan masuk ke masjid.
"Oke deh. Tapi, kita nanti makan di dekat hotel saja ya?" putus Rania berat hati.
Itu pilihan yang aman. Seandainya lagi-lagi Haykal dan monyetnya melakukan
adegan film romantis lantas Nada pingsan, setidaknya Rania bisa langsung
menyeret sahabatnya pulang ke hotel.
"Berapa lama kalian akan di dalam?" Noemie mengeluarkan suara. "Kalau tak
lama, kami tunggu di luar sini saja...."
"Well...." Haykal menatap Nada ragu. Dia sendiri punya kebiasaan buruk shalat
dengan kecepatan cahaya, dua menit selesai. Tapi, Nada pasti berbeda. Nada
pasti shalat dengan benar. Bukan sekadar menggugurkan kewajiban seperti
Haykal.
"Give us about ten to fifteen minutes?" sahut Nada. "And I have to go like now!"
ujarnya gelisah.
Tanpa mentu1ggu Haykal, Nada berbalik dan melangkah tergesa ke arah masjid.
Sementara Haykal mengikutinya dengan langkah-langkah panjang.
"Aku ingin banyak bertanya padanya tentang Islam...," gumamnya pelan dalam
bahasa Prancis. Begini pelan, hingga bahkan sisa gelombang suaranya tak
sampai ke telinga Rania.
BAB 5
TIFFANY BLUE
"I'm so hungry, I could eat a horse."
Nada menatap penuh nafsu pada piring-piring berisi aneka makanan semacam
tapas di hadapannya. Semua tampak menggiurkan. Juga pizza sarat topping
jamur yang creamy di tengah meja itu! Uh, betul-betul menantang untuk dilahap!
"Of course not. She's so tiny, she can't eat a borse. Even the baby one...." Ada
suara berat menimpali. Haykal.
Mereka bertukar kata tentang pemotretan tadi pagi, yang kata Haykal, hasilnya
memuaskan. Nada tak sabar untuk melihatnya. Noemie sekali lagi menanyakan
kondisi Nada, apakah dia betul-betul sudah sehat. Nada mengangguk mantap,
lalu menggigit satu potong besar pizza demi meyakinkan Noemie. Ya, dia sudah
sehat, dan punya selera makan luar biasa!
"Lapar apa doyan, Nek?" Rania rupanya sudah kembali. Pelan-pelan gadis ini
menyelipkan tubuh ke kursi di sebelah Nada. Wajahnya sedikit pucat dan
mengernyit.
"Pantas lama bener. Kupikir kamu nyambi jadi penjaga toilet," sindirnya tanpa
belas kasihan.
"Kalau aku balik ke hotel duluan, kamu jangan ngamuk, ya?" bisik Rania.
Rania menggeleng beberapa kali. "Bukan. Makanannya enak kok. Nada suka.
Curna, aku sakit perut, sepertinya harus balik duluan ke hotel. Kuharap kalian
tak keberatan...." Wajahnya berkerut mengenaskan.
Lambat Nada meletakkan kembali potongan pizza yang tersisa satu-dua gigitan
ke atas piring, lalu mengelap tangannya dengan tisu basah. Sembunyi-sembunyi,
tangannya bergerilya mencari tas, siap-siap ikut kabur bila Rania berani-
beraninya meninggalkan tempat ini.
"Sayang, aku tidak bisa ikut menikmati makanan-makanan lezat ini...," Rania
menunjukkan wajah frustrasi, "tapi Nada masih di sini kok. Dia bilang suka
sekali makanannya, dan dia lapar. Jadi dia masih akan di sini, makan bersama
kalian. Ya kan, Nada...?"
"Kamu tahu jalan balik ke hotel?" Haykal bertanya khawatir. Dia bersiap
bangkit. "Mungkin aku bisa mengantarkanmu dulu. Kan dekat."
"Tidak apa. Aku tahu kok hotelnya. Bisa sendiri. Terima kasih. Bye...."
"Mungkin dia tak sengaja makan atau minum sesuatu yang kurang higienis.
Sering terjadi pada turis di Maroko, kalau tidak hati-hati...," Noemie
berspekulasi, "mudah-mudahan tidak parah...." Nada tersenyum samar,
mengiyakan. Dia meneruskan makannya perlahan-lahan, sama sekali tak sadar
bahwa sepasang mata diam-diam memperhatikannya.
"Jangan khawatir, kami akan mengantarkanmu pulang ke hotel nanti. Jadi kamu
tidak sendirian...." Noemie menepuk punggung tangan Nada yang tergeletak lena
di meja.
Nada memejamkan matanya sesaat. Kami. Tidak perlu menjadi seorang genius
untuk memahami, bahwa kata ganti itu mengacu pada "Noemie dan Haykal".
Satu paket. Satu ikatan. Sepasang. Jodoh.
Nada mengeluh dalam hati. Tapi, di luar, dia tersenyum riang, berterima kasih
atas kebaikan hati Noemie memikirkan kepentingannya. Tidak berhenti di situ,
Noemie bahkan memperhatikan gelas Nada yang hampir kosong. Tangannya
terangkat memanggil pelayan sementara bibirnya yang selalu tersenyum
menawari Nada memesan minuman tambahan.
Noemie sungguh tidak layak dimusuhi. Gadis ini tampaknya baik dan bersih dari
niat jahat. Kesalahannya hanya satu; terlalu dekat dengan Haykal. Seandainya itu
bisa disebut sebagai kesalahan.
Lagi pula, siapa suruh mendadak muncul di kota ini tanpa mengecek terlebih
dahulu situasi terk:ini? Seandainya ternyata Haykal sudah beristri sekalipun,
tidak ada yang bisa dia persalahkan.
Dan jangan lupa, bukankah memang tidak ada apa-apa antara dia dengan
pemuda ini?
Arah pandangan Nada bergeser sekian derajat ke kiri, mencari sosok pemuda itu.
Dan menemukan Haykal,... ternyata tengah menatapnya lurus-lurus. Mata yang
tampak seperti melamun. Tapi, jelas tertuju padanya. Mengamatinya dari
seberang, dengan kedua siku diletakkan di meja, menyangga dagu. Tangannya
menutupi sebagian besar wajah, sehingga hanya pangkal hidung, kedua mata,
dan alis tebalnya saja yang tampak.
Haykal berkedip samar seolah menyadari dia tertangkap basah, tapi sama sekali
tidak berusaha melarikan diri. Justru tatapannya semakin intens.
Nada nyaris tersedak menyadari apa yang sedang terjadi di antara mereka
bertiga.
Entah sejak kapan pria bandel itu melakukan kegiatannya. Mengawasi Nada
diam-diam, sementara di sebelahnya, Noemie duduk begitu dekat. Lengan
mereka berdua hampir tanpa jarak.
Segera Nada membuang muka. Ke arah mana saja, asalkan tidak melihat pada
Haykal. Wajahnya memanas hingga ujung-ujung daun telinga. Terasa seperti
terbakar. Bagaimana bila Noemie melihatnya? Cepat-cepat Nada melarikan
lirikan kilat untuk memastikan. Untunglah, gadis itu masih berkutat dengan buku
menu, mencari minuman baru.
"Oh," Nada geragapan, "sama dengan yang kupesan tadi saja...," sahutnya cepat-
cepat. Noemie menanyakan hal yang sama pada Haykal. Nada mensyukurinya,
karena perhatian pria itu jadi terpecah. Untuk beberapa saat, Nada terbebas dari
perasaan dimata-matai secara ilegal.
"Jadi... kalian adalah kawan lama, ya?" ujarnya berusaha menemukan topik
pembicaraan.
Noemie melirik sedikit pada Haykal, mengangkat bahu. "Ya, cukup lama.
Mungkin Haykal sudah cerita, sekarang dia di sini untuk menemaniku
merenovasi rumah Mama. Rumah itu lama kosong. Padahal letaknya strategis,
jadi sayang. Kami bermaksud menjadikannya semacam butik hotel dan restoran
melalui proyek patungan berdua...."
"Oh.... Ibumu dulu tinggal di sini?" sahut Nada mencoba terdengar antusias.
Sementara setengah benaknya masih disandera tatapan melamun Haykal tadi.
Alis Nada berkerut kecil. Dia terganjal dengan kata "dulu" dan pola kalimat
bentuk lampau yang digunakan oleh Noemie, saat menjelaskan busana muslimah
ibunya. Namun, dia terlalu sungkan untuk mencari tahu apa maksudnya.
Rasanya tidak sopan.
"Manis sekali kamu kembali ke Maroko untuk merombak rumah ibumu. Beliau
pasti senang. Ibumu juga datang kemari?" sahut Nada sambil tersenyum.
"C'est la vie," ujar gadis itu melontarkan tangannya ke udara, "kehidupan dan
kematian, keduanya berpasangan. Bergantian menyambangi. Juga, kenangan dan
harapan. Kesedihan dan kebahagiaan. Right, Mister?" Noemie menyikut Haykal.
Pemuda itu menarik bibirnya sedikit, merangkul bahu Noemie sekejap untuk
menyatakan empatinya.
"Mama adalah wanita yang manis dan menawan. Berada di dekatnya pada
musim panas, kamu akan merasa sejuk. Sebaliknya, duduk di sebelahnya pada
musim dingin, kamu bakal menikmati kehangatan. Seperti inilah aku mengingat
Mama." Mata Noemie menerawang.
"Seandainya saja aku sempat mengenal beliau...," tanpa sadar Nada bergumam
lirih.
"Kau tahu, sejak pertama kali aku melihatmu, aku langsung teringat Mama.
Bukan karena wajah kalian mirip, melainkan karena kalian memiliki aura serupa.
Entah bagaimana aku menjelaskannya. Mungkinkah karena kerudung yang
kalian kenakan?" Noemie tampak berpikir. Kemudian dia menggeleng menjawab
pertanyaannya sendiri. "Sepertinya tidak sesederhana itu. Aku tak tahu. Ada
sesuatu yang mirip antara kamu dan Mama. Kalian berdua tampil santun dan
anggun dengan cara tertentu, terlihat sangat menjaga kehormatan diri sendiri...."
Galak, manja, labil, penakut, cengeng.... Itu bam Nada. Tapi, anggun? Hah. Yang
benar saja!
Spontan tatapan Nada melayang pada Haykal, menduga lelaki itu tengah
mendengus geli, atau terbatuk-batuk menyembunyikan tawa menyikapi pujian
Noemie untuknya,
"Te... terima kasih, Noemie," sahut Nada akhirnya, dengan susah payah. "Aku
sangat tersanjung mendengarnya. Tapi, percayalah, aku tidak sehebat mamamu.
Seujung kuku pun tidak. Aku percaya beliau pasti wanita istimewa, muslimah
yang taat, ibu yang luar biasa.... Sedangkan aku...? Tidak, aku merasa tidak
layak...."
Seperti dapat membaca isi kepala Nada, Haykal berdeham. "Mm.... Kurasa
pertanyaanmu sedikit menyulitkan Nada. Orang Indonesia tidak terbiasa biak-
biakan pada orang yang baru dikenal. Bukan begitu, Nada?" Pandangan Haykal
beralih padanya.
Nada meringis, tidak berusaha menyangkal tapi juga tidak mengiyakan, Namun,
sorot matanya melembut saat menatap pria itu, berusaha mengucapkan terima
kasih tanpa melisankannya.
Bukan topik pembicaraan favorit Nada, tentu saja. Tapi, dia bersyukur Haykal
melakukannya. Dengan demikian, meja mereka terbebas dari suasana canggung
yang ditimbulkan oleh kalimatkalimat Noemie. Sekali lagi, pria itu
membantunya. Entah sengaja atau tidak.
"Selain itu, beberapa kali aku dan Haykal bekerja bersama. Di sana-sini. Kau
tahu sendiri, dia manusia yang sangat nomadik...." Noemie mengedipkan mata,
mengisyarakatkan ekspresi tahusama-tahu. "Begitulah. Tidak ada yang istimewa.
Sama sekali tidak selucu pertemuan pertama kalian!" Dia menutup
penjelasannya dengan tawa kecil.
"Yah, kalau begitu kamu jelas lebih beruntung...." Nada menyeringai. "Bisa
kamu bayangkan, bukan, pria seperti dia, mengendap-endap mengikutimu di
pasar! Siapa pun pasti akan ketakutan!"
Tawa Noemie meledak. "Ya, I knou: Dia memang bisa sangat mengerikan pada
waktu-waktu tertentu. Tapi, di sisi lain, dia sangat baik, kan. Penuh perhatian.
Kau bisa memercayakan hidupmu di tangannya."
"Oh, ya?" Nada membelalak pada Noemie, dan mengirimkan tatapan sangsi
pada Haykal. "Orang ini?" tanyanya seraya menunjuk Haykal.
"Um.... Aku meragukannya," cetus Nada kalem. Tenang dia memandang Haykal
di seberang meja, sementara Noemie terbahak-bahak.
Usai menyelesaikan pembayaran, Haykal meraih jaket hijau tentara yang dia
sampirkan di punggung kursi dan mengajak Nada keluar. Noemie sudah
mendahului, karena harus menjawab panggilan di ponselnya.
"Ke mana, coba?" Haykal bertanya dengan nada sedikit mengejek. Tangannya
terselip di saku, dan sepertinya tidak tertarik untuk memberikan petunjuk apa
pun pada Nada.
"Maaf, aku tidak bisa mengantarmu. Temanku menelepon dan aku harus
menemuinya sekarang. Dia ada di dekat sini. Tapi, tenang, aku pastikan Haykal
melakukan tugasnya. Kalau tidak...." Noemie melakukan gerakan menggorok
leher.
"Promise me that we will meet again, Nada. Masih banyak yang ingin aku
obrolkan denganmu. Aku ingin punya lebih banyak kawan muslim, dan sampai
saat ini, aku tidak memiliki kawan muslim yang 'serius'...." Noemie memberikan
isyarat tanda petik dengan jarinya. Dia berhenti sejenak, melirik Haykal dengan
dramatis. Lalu, berbisik namun cukup keras agar pria itu bisa mendengar, "Jadi
kamu tahu sendiri, dalam hal ini Haykal tidak bisa dihitung."
Nada tertawa tanpa suara. "Insya Allah kita akan bertemu lagi, Noemie...,"
jawabnya tulus.
***
"Terima kasih sudah menemani kami ke Spanish Mosque," ujar Nada membuka
percakapan. Tidak enak juga terus-menerus membisu, "juga menunjukkan jalan
ke Great Mosque, dan makan malamnya...."
"Photo shooting-nya tidak?" Haykal berlagak kecewa Nada melupakan yang satu
itu.
"Iyaaa, juga photo shooting-nya. Pokoknya aku utang budi banyak padamu hari
ini. Sudah kamu catat semuanya? Kapan-kapan silakan ditagih berikut
bunganya!"
Haykal tergelak mendengar nada ketus itu. "Jadi kamu menantangku? Baiklah,
akan kucatat baik-baik dan kutagih mana kala perlu," jawabnya tenang.
Haykal tidak segera menyahut, Dia justru melangkah mundur mendahului Nada,
sehingga keduanya berhadapan sembari tetap berjalan. Bibirnya menipis
menahan senyum geli. "Karena aku suka menggodamu. Seru. Sedikit-sedikit
ngambek, ngamuk, nangis...."
Suara guruh terdengar samar dari kejauhan. Refleks Nada menatap ke langit,
cemas.
Rupanya Haykal berpikiran sama. Pria itu berdecak, lalu spontan menggamitnya.
"Ayo, bergegas. Sepertinya mau hujan."
"Hei, by the way...." panggil Haykal tanpa mengurangi kecepatan. "Kamu yakin
baik-baik saja dengan kehadiran Noemie? Kadang kamu terlihat... apa, ya?
Terintimidasi?"
"Dia memang banyak bicara, dan mungkin terlalu terbuka. Tapi, sebetulnya oke
kok...."
"Ya, ya. Aku mengerti. Dia baik. Aku mulai menyukainya. Dia ramah dan
hangat...." Nada berpaling pada Haykal, untuk mempertegas perkataannya. Dia
tidak bohong, sekarang dia memang lumayan suka pada Noemie. Sejak makan
malam tadi.
Juga berlaku padamu? Jatuh sayang padanya hanya dengan satu jentikan jari?
Nada menggigit bibirnya kuat-kuat agar pertanyaan tolol itu tidak terlontar di
luar kendalinya.
"Kalian tampak akrab sekali...." Tak urung bibirnya kelepasan menyuarakan isi
kepala. Haykal menoleh cepat. Nada buru-buru membuang muka. Tapi sudah
terlambat untuk menarik kembali kalimatnya.
"Akrab bagaimana?"
Haykal berhenti.
Nada ikut berhenti. Mereka berada di pertigaan, dia tidak yakin arah mana
menuju hotel.
"Dan itu membuarmu kesal...?" Haykal terlihat seperti hendak menyentuh lengan
Nada, namun membatalkannya,
"Akrab...." Nada berpikir keras mencari deskripsi yang tepat. Tapi, segera
menyerah. "Sudahlah. Lupakan saja. Ayo, aku takut kehujanan!" ujarnya
setengah merengek.
Bukan Haykal namanya kalau menurut begitu saja. Pria itu menatap Nada
beberapa saat, seperti tengah menyapukan sinar tertentu untuk mendeteksi isi
kepala manusia.
"Try me."
Nada berdecak. Bisa-bisa mereka basah kuyup di tengah jalan kalau debat kusir
ini tak kunjung selesai. Nada bersedekap, mengertakkan rahang.
"Akrab... akrab yang fisik sekali. Kalian sepertinya sangat saling mengenal.
Luar-dalam, jasmani-rohani!" sahutnya gusar. Wajahnya sepanas api, dan dia
sangat sangat ingin meninju Haykal yang mendesaknya hingga harus bicara
seperti itu.
"Ooh...." Wajah Haykal mengendur. Dia mulai berjalan lagi, berbelok ke kanan.
Dengan lega, Nada mengikuti, melangkah lebih cepat dari sebelumnya.
"Mungkin karena dia orang Eropa?" Haykal bersuara. "Budaya mereka kan
memang begitu. Saling peluk, cium pipi, merangkul. Semua orang
melakukannya begitu saja, terdorong kebiasaan...."
Nada tidak menyahut. Dia masih kesal, sekaligus menganggap jawaban Haykal
terlalu defensif.
"Atau kamu juga minta dipeluk? Aku sih tidak keberatan memeluk gadis
semanis dirimu. Cuma, Tristan pasti akan menghujaniku dengan granat kalau dia
sampai tahu. Dan kamu, pasti akan menghajarku dengan batu bata. Jadi, tidak,
terima kasih. Aku masih ingin hidup."
Meski tanpa cermin, Nada sadar, saat ini pasti wajahnya merah padam.
Seandainya saja setiap manusia dikaruniai kemampuan unruk menghilang, atau
menyelinap masuk ke dalam tembok, pasti Nada akan menggunakan keahlian itu
sekarang. Detik ini juga.
"Tidak ada tempat berteduh!" teriak Haykal mengatasi deru air. "Kita harus lari!"
Haykal menyeretnya dengan satu tangan, tangan yang lain melindungi mata dari
rusukan air hujan. Nada mengikutinya tersaruk-saruk. Dia tahu mesti bergerak
lebih cepat, hanya saja tidak mudah berlari di jalan sempit bertangga-tangga ini.
Seluruhnya berair dan licin.
Dalam sekejap Haykal basah kuyup. Bajunya melekat ke tubuh. Air menetes-
netes dari rambutnya. Sementara Nada cukup terlindung beratapkan jaket tahan
air yang dia pegang di atas kepala. Nada sadar, seharusnya dia menawarkan
pelindung itu untuk digunakan berdua, tapi kepalanya terasa kosong. Satu-
satunya hal yang dia inginkan sekarang hanya satu: sampai ke hotel secepatnya.
"Awas!"
"Nada...!"
Nada mengerjap beberapa kali, kehilangan orientasi. Suara siapa tadi? Apa yang
terjadi?
"Nada...? Kamu tidak apa-apa?"
Haykal. Ternyata itu suara Haykal. Suara itu terdengar sangat dekat, hampir
seperti berasal dari dalam dirinya sendiri. Lebih aneh lagi, tubuhnya terasa
hangat. Tapi, juga basah.
Dia tengah berada di bumi bagian Haykal. Tepatnya, di dada Haykal. Pemuda itu
masih memeluknya. Dengan dua tangan. Seperti melindungi Nada. Atau
menyelamatkannya dari sesuatu. Kehangatan itu berasal dari tubuh Haykal. Rasa
basah pada tubuhnya adalah karena sekarang dia menempel rapat pada pemuda
itu, yang sedari tadi tersiram air hujan.
Pria ini, memeluknya. Tubuh mereka saling melekat, hanya dibatasi beberapa
lembar kain!
PLAAKK!
Makian itu terputus. Haykal meraba pipinya yang pedih, terlihat tak percaya
akan apa yang diperbuat Nada padanya. Kejahatan apa yang dia lakukan?
Bukankah dia baru saja menjaga gadis ini agar tidak mencium tanah basah?
Kenapa justru dia mendapatkan hadiah tamparan? Haykal menatap Nada dalam
sorot mata tak terbaca. Kaget, marah, bingung.
Dengan seluruh sisa kekuatan yang dia miliki, Nada menolakkan tubuh Haykal
menjauh. Begitu merasa terbebas, dia pun mulai berlari. Secepat yang dia bisa.
Ke mana pun, dia tak peduli. Yang penting, harus segera pergi dari pria ini!
***
Pengelihatan Haykal pada cahaya seternaram ini memang tidak sempurna. Juga
jarum-jarum hujan ini barangkali mengaburkan pandangannya.
Haykal melihat sebuah kerlipan yang bermakna tertentu dalam kedua mata sayu
itu. Kerlip yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Air muka itu. Sorot yang
melembut itu. Haykal bersumpah melihatnya. Meski hanya sekejap, karena detik
berikutnya, ada sungai bening mengalir keluar.
Kemudian perhatiannya teralihkan pada air mata Nada. Pada jarum-jarum air
hujan di pipi halus yang kian mengacaukan persepsinya.
Nada menangis?
Namun, sebelum Haykal sempat memikirkan solusi apa pun, terdengar gema
yang ditimbulkan telapak tangan beradu dengan kulit pipinya. Lalu, pipinya
seperti terbakar. Nada menamparnya. Dan dia melakukannya dengan sekuat
tenaga. Bahkan dingin air hujan tidak bisa meredakan rasa sakit yang
ditimbulkannya.
Tapi, Haykal bertekad tidak akan melepaskan pelukannya. Dia menikmati setiap
detik kedekatan mereka berdua. Satu tangannya masih melekat di punggung
Nada, ketika tangan yang lain otomatis meraba pipi. Jadi Haykal bisa merasakan
tubuh Nada yang kini gemetar.
"...."
Usahanya meraih tangan Nada, gagal total. Dia berkelit terlalu cepat. Dan
Haykal belum siap.
"Nada!"
Sudah terlambat ketika Haykal tersadar, bahwa suara saja tidak cukup untuk
menghentikan Nada. Membabi buta dia berlari mencoba mengejar gadis itu.
Teorinya, dia pasti bisa melakukannya. Bukankah Haykal punya ukuran langkah
dua kali lebih lebar daripada Nada? Tapi, malam ini, fakta sedang tidak sejalan
dengan logika. Setelah dua kali Haykal terhalang oleh rombongan orang yang
berlari dari arah berlawanan, dia kehilangan jejak.
Jadi, walaupun telah memastikan Nada mengambil arah yang benar, Haykal
tidak betul-betul bisa mengejarnya. Pada satu titik, ternyata bayangan Nada
sudah menghilang.
BAB 6
INDIGO BLUE
BEGITU mendengar cara Nada mengetuk pintu, yang keras, tanpa irama. Begitu
menemukan Nada berdiri kuyup di hadapannya, yang tidak bisa lebih basah lagi.
Begini mendapati Nada menggigil begitu keras, dengan bibir biru dan ungu.
Nada tidak juga beranjak dan seperti tidak mendengar sepatah kata pun, jadi
akhirnya Rania berinisiatif menarik lengan kawannya ke dalam kamar dan
menutup pintu. Juga mengambil jaket dari tangannya. Bergegas dia ke kamar
mandi, menyiapkan bathtub dan mengisinya penuh-penuh dengan air hangat,
setelah melemparkan jaket besar yang basah itu-entah milik siapa-ke kotak
laundry, Bahkan Rama ingat untuk menyambar botol berisi aromatic oil
penghangat tubuh dari make up pouch-nya. Dia meletakkan benda itu di samping
keranjang tempat amenity hotel, agar Nada bisa menggunakannya nanti, bila dia
merasa perlu.
"Sudah. Jangan mikir apa-apa lagi. Mandi dulu. Nanti kusiapkan teh hangat
untukmu!" ujarnya khawatir. Tangannya bagaikan tersengat dingin ketika kulit
mereka bersentuhan.
Nada melangkah masuk ke kamar mandi seperti zombie, Bahkan sepertinya
lupa, bahwa seharusnya dia menutup pintu.
Sambil menghela napas cemas, lagi-lagi akhirnya Rania yang mengambil alih
tugas itu.
Masih di depan pintu kamar mandi yang kini tertutup, Rania tercenung.
Dia hanya tahu satu jawaban untuk lima tanda tanya itu. Siapa. Jelas hanya satu
kemungkinan biang keladi semua kejadian ini. Haykal!
Seharusnya dia tahu! Nada tidak pernah aman bersama buaya darat irul Playboy
cap tikus busuk! Serigala berkedok hamster!
Melihat betapa payahnya kondisi Nada, pasti itu lebih dari akibat dia gusar
melihat Haykal bermesraan dengan Noemie.
Rania nyaris terjungkal saking terkejut. Setelah berhasil menguasai diri, dia
hanya berdiri mematung, menatap telepon dengan nyalang. Sungguh, saat ini dia
sedang tidak berminat bicara pada siapa pun, kecuali Nada.
Sambil memaki-maki Rania menyambar benda putih itu. "Halo!" bentaknya. Dia
terdiam sebentar, mendengarkan suara dari seberang saluran. Lalu menyahut
pendek-pendek. "Hmm? Who? Yes, I will talk to him! Thank you. "
Rania mengertakkan geraham. Betul seperti yang dia kira. Pengacau itu!
"Oh.... Dia belum sampai?" Suara Haykal terdengar khawatir. Tapi, Rania yakin
itu sandiwara.
"Syukurlah." Haykal terdengar begitu lega. Aktor yang hebat, pikir Rania sinis.
"Ya, dia memang sudah pulang. Sayangnya, ada satu masalah di sini," sahut
Rania dingin.
"Masalahnya adalah, dia datang secara mengenaskan, kalau kamu ingin tahu.
Basah kuyup, menggigil... menangis. Ada yang ingin kamu katakan padaku
tentang hal itu?" lanjut Rania tajam.
"Aku tahu." Haykal terdiam sejenak. Dan Rania benci mendengar suaranya yang
tak goyah.
"Apa yang terjadi? Kamu apakan dia? Kenapa dia sampai menangis?" desaknya.
"No. Tidak oke sama sekali." Rania menggeleng keras-keras, meski Haykal tidak
bisa melihatnya, Lantas dia melanjutkan dengan nada mengancam, "You. Cerita.
Sekarang."
"Di depan petugas hotel yang dari tadi mengupingku dengan tampang ingin tahu
ini?"
Mata Rania melebar. "Haykal, tolong. Biarkan saja mereka menguping sampai
besok. Aku yakin seratus dua puluh persen mereka tidak paham bahasa
Indonesia. Sudah, berhentilah menghindar. Kamu apakan Nada, hah? jawab!"
"Hah? Apa?" Seruan kaget Haykal begitu keras sampai Rania harus menjauhkan
pesawat telepon dari telinga kirinya.
"Kau dengar apa yang aku tanyakan. Jangan minta aku mengulanginya!" jerit
Rania.
"Jangan kamu ulang lagi kata kerja mengerikan itu," gerutu Rania risih.
Haykal tertawa getir. "Baiklah. Akan aku jawab. Dan jawabannya adalah 'tidak',
Rania. Aku tidak melakukan perbuatan terkutuk itu. Tidak mungkin aku
melakukannya."
Kedua alis Rania bertaut, Suara Haykal terdengar terhina, sekaligus sedikit...
geli?
"Rania.... Coba kamu tanya dirimu sendiri. Pikirkan baik-baik tanpa emosi.
Apakah masuk akal, pria baik-baik-seperti akumerebut paksa kehormatan
seorang wanita alim seperti Nada?"
Rania mengerutkan dahi, bimbang. "Mmm... kamu tidak terkesan seperti pria
baik-baik sih...."
"Rania.... Rania.... Kurasa kamu terlalu banyak menonton film atau membaca
novel delusional. Merampok orang?! Yang benar, saja!"
"Kami hanya kehujanan. Lalu, dia tertabrak orang yang berlari-lari ingin
berteduh. Aku memang gagal melindunginya dari hantaman, tapi aku sempat
memeganginya agar tidak jatuh. Tapi, yang terjadi kemudian adalah dia
menamparku, lantas kabur. Begini."
Alis Rania terangkat tak percaya. Mudah-mudahan bumi menelan Haykal jika
dia berdusta. Masa iya sesederhana itu? Dan.... Nada menampar dia?
"Aku tidak tahu. Bagian itu, sungguh aku tidak tahu. Kamu lah, tolong tanyakan
padanya."
Rania memberengut. Tukasnya, "Kenapa jadi aku yang repot?"
"Sudah dulu, ya. Aku juga basah seperti Nada, dan aku sudah membanjiri
tempatku berdiri dengan tetesan air dari bajuku. Aku mesti segera pergi sebelum
petugas hotel menyuruhku mengepel sendiri lantai ini." Haykal hendak
mengakhiri pembicaraan.
"Jadi dia sudah di kamar kan? Sudah kering dan hangat?" Kembali pria itu
mencari kepastian.
"Iya, dia sudah di sini. Hangat. Keringnya, aku belum tahu, mungkin dia masih
berendam, belum handukan. Tapi, nanti bisa kupastikan. Yang penting...."
"Rania, aku mengerti. Dia pasti aman bersamamu. Sudah, ya. Terima kasih."
Suara Haykal menghilang digantikan "tut tut tut" tanda pesawat telepon sudah
diletakkan.
Rania tersentak. Entah sejak kapan, ternyata Nada sudah berdiri di belakangnya.
Masih mengenakan jubah handuk. Handuk juga membungkus kepalanya,
meruncing ke atas mirip es krim. Wajahnya sudah jauh lebih segar. Sedikit
kemerahan karena panasnya air.
Nada menunjuk pesawat telepon di tangan Rania. "Itu. Tadi Haykal, kan?"
"Ooh... iya. Dia ingin memastikan kamu sudah sampai di hotel dengan
selamat...." Rania memutuskan bicara apa adanya. Meletakkan telepon, dia
diam-diam mengawasi reaksi Nada. Temannya itu melengos. Bibirnya
membentuk garis lurus. Rupanya suasana hatinya belum membaik betul.
"Pakai baju dulu gih. Biar nggak demam! Sana, sana!" Rania mengibaskan
tangan mengusir Nada. "Oh, dan jangan lupa keringkan rambutmu. Hair dryer
ada di laci putih itu."
Nada tak segera beranjak. Beberapa detik dia memarung. Ketika akhirnya dia
berbalik untuk mengambil pengering rambut, dia berkata, "Aku pengin balik ke
Jakarta. Aku tidak punya muka untuk bertemu Haykal lagi!"
***
"Mau diapakan sih rotinya?" Dia tidak bisa menahan diri buka suara.
"Masih mau makan nggak?' Rania melirik piring sarapan Nada yang baru sedikit
tersentuh. Akhirnya Rania berinisiatif mendorong piring roti menjauhi si tukang
sobek, khawatir lebih banyak lagi roti yang menjadi korban. Sebagai gantinya,
menyorongkan cangkir teh hangat. Berharap cairan sedap beraroma mint itu
dapat memperbaiki suasana hati Nada.
Nada meneguk tehnya. Lalu mendesah keras-keras. "Aku pengin balik ke Jakarta
saja, Ran...," ujarnya seraya memakukan pandangan pada cangkir. Ibu jarinya
mengelus cangkir itu perlahan, seperti sedang melamun.
"Perlu kuingatkan berapa ratus kali lagi, bahwa tragedimu dengan Haykal di
bawah hujan-yang sebetulnya romantis itu-hanya...."
Nada tertunduk. Bekas pelukan Haykal seperti masih terasa membara di lengan
dan punggungnya. Padahal dia sudah mandi berkali-kali. Sayang, setiap titik
yang telah disentuh, merekam jelas sensasi manisnya. Perasaan yang hangat,
walau sekujur tubuhnya basah tersiram bergalon-galon air hujan dingin.
Wajahnya yang melekat pada dada Haykal. Leher yang maskulin itu. Aroma
tanah dan hujan yang melingkupi mereka....
Begitu terus sejak semalam. Rania memang tidak bisa diandalkan untuk
membantunya menjauhkan diri dari perasaan semacam ini. Jangankan
mengalihkan perhatian, sebaliknya, Rania justru sangat tertarik untuk
mendengarkan setiap detail kejadian semalam. Memintanya mengulang berkali-
kali. Dan dia tidak malu-malu mengulik lebih jauh tentang hal-hal aneh seperti
"seperti apa sorot mara Haykal saat dia memelukmu" atau "apakah dadamu
berdegup begitu kencang sampai rasanya mau pecah?". Betul-betul membuat
Nada semakin jengah.
Walaupun sebetulnya... jauh, jauh di dalam hatinya, dia bukannya tidak
menikmati detik-detik berada dalam pelukan Haykal. Kenyataan yang mati-
matian berusaha Nada ingkari.
"Nah? Jadi kenapa malu? Sudah, deh. Jangan ge-er. Haykal memelukmu bukan
karena ingin. Melainkan karena harus. Dia terpaksa melakukannya. Sebetulnya
sih, kurasa dia ogah. Tapi, karena tak tega melihat kamu jatuh mencium tanah
berlumpur, dia meraih tubuhmu. Tidak ada jalan lain, kan? Dia cuma kepepet,
tahu."
Nada terbeliak pada Rania yang mulai mengunyah buahnya dengan lagak acuh
tak acuh.
Rania melambai. "Tentu saja tidak, dudul1 Tidak perlu sampai melolong. Itu
analisisku!"
Padahal sebetulnya Rania yakin, tindakan Haykal jelas bukan karena kepepet,
atau dorongan kewajiban. Pelukan itu pasti spesial. Perlakuan khusus bagi
orang-orang tertentu. Seperti Nada. Atau Noemie. Atau isi toko [pacar 'R' us]
Haykal yang lain. Seandainya saja Rania yang berada di jalanan malam itu, dan
serombongan perampok menerkamnya sekalipun, Haykal niscaya akan tetap
membiarkannya terkapar di tanah.
"Jadi kamu ini maunya apa, sih? Nggak ngerti aku. Kamu ingin dia memelukmu
sekadar sebagai tindakan kesatria yang sepenuhnya netral, atau pelukan atas
nama cinta?"
Kecaman Rania begitu telak sampai Nada terpaku. Jangankan Rania, dia sendiri
pun kesulitan memahami dirinya sendiri.
Di satu sisi, dia berharap pelukan Haykal berarti sesuatu, Namun, di sisi lain, dia
ingin menafikannya. Dan parahnya, di atas semua kericuhan ini, Nada merasa
sangat malu. Rasa malu yang begitu menyengat dan menggelegak.
Nada malu, karena dia masih mengingat dengan sempurna sentuhan manis yang
dia rasakan semalam, saat dia dan Haykal begitu dekat. Dia malu, karena dia
membiarkan Haykal memeluknya begitu saja, begitu mudah, begitu lama. Dia
malu, karena Haykal pasti bisa melihat dengan jelas wajahnya yang memerah
penuh luapan perasaan. Juga malu, karena Haykal juga pasti mendengar jelas
degup jantungnya yang lebih lantang daripada suara petasan Tahun Baru.
Dia jelas-jelas menampakkan citra seperti wanita murahan. Dan pasti kini
Haykal berhasil membaca isi hatinya. Padahal pria itu sudah punya Noemie.
Bahkan shalat malam tidak bisa banyak mengurangi huru-hara ini. Perasaan
bersalahnya pada diri sendiri. Pada Noemie. Pada semua yang dia yakini.
Alih-alih berterima kasih, Nada justru menyakiti pria itu. Bahkan kabur
meninggalkannya tanpa pamit. Padahal apa sebetulnya kejahatan Haykal?
Menjaganya agar tidak jatuh? Meminjamkan jaketnya sebagai peneduh?
Menatapnya dengan begitu lembut?
Nada sadar, tiga hal itu tidak terdengar sebagai dosa. Sama sekali.
Rania diam, menunggu dengan prihatin. Butuh sekitar tiga menit, sampai Nada
mendongakkan wajahnya kembali. Mata sayunya terlihat makin tak bertenaga.
Rania berkedip tiga kali. Menelan ludah. Lalu memutuskan berkata apa adanya.
"Menurutku, pertama, kamu harus minta maaf pada Haykal," jawabnya pelan-
pelan. "Dia kan nggak salah, Nad. Tapi, kamu menghajarnya."
Tapi, baru memikirkannya saja, sudah membuat wajah Nada seperti kepiting
rebus. Apalagi melaksanakannya dalam kehidupan nyata. Mustahil. Nada
mengenyit penuh kengerian.
"Lihatlah! Aku masih punya space oleh-oleh seluas itu!" cetusnya menghiba.
"Lagi pula, kamu kan juga belum beli karpet untuk Tristan dan istrinya!" Rania
mengingatkan. "Lebih baik segera membeli. Jadi, kalau-kalau nanti kamu
mendadak pengin pulang ke Jakarta, pesanan karpet sudah aman di tangan!"
bujuknya licik.
Nada menepuk dahinya. Ah, karpet itu. Dia sudah hampir lupa. "Karpet, Iya ya,"
ujarnya pelan. Nada memejamkan matanya beberapa saat. Mendesah keras. Lalu
membuka matanya.
"Baiklah...," ujarnya berat hati, "beri aku waktu untuk menghabiskan sarapan
dan mengompres mata dulu, ya. Habis itu baru kita keluar...." Nada menarik
piring makanannya mendekat. Tangan kanannya mencomot sekerat roti, mulai
melapisinya dengan selai, lantas menggigitnya.
Saat ini dia dan Rania duduk nyaman di ruangan cantik berdesain interior khas
nuansa Mediterania, Ada teh nikmat yang bisa disesap kapan pun mereka ingin,
dan pelayan sigap memenuhi lagi cangkir teh tiap kali berkurang. Di hadapan
mereka, sepasukan pria Maroko-beberapa di antaranya begitu ganteng, sampai
Rania bolak-balik cekikikan tak jelas-sibuk menurunkan selembar demi
selembar karpet indah. Dan yang harus dilakukan Nada (juga Rania kalau dia
kebetulan tidak sedang jelalatan memandangi pelayan toko tampan) adalah
berteriak "YES" dan "NO" dalam bahasa setempat, sementara pelayan toko akan
menumpukkan karpet "yes" di satu sisi untuk dipilih lagi nanti, dan karpet "no"
di sisi lain untuk disingkirkan.
Rasanya sangat... ningrat. Seperti ratu yang tinggal main tunjuk. Sementara
sekelilingnya adalah para ajudan yang siap melaksanakan titah.
Setelah pelayan selesai membagi karpet menjadi dua tumpukan, Nada harus
mempersempit pilihan dengan lebih serius. Dibantu Rania yang masih saja
cekikikan dan jelalatan, pelan tapi pasti Nada mengurangi jumlah karpet dalam
tumpukan "yes"-nya. Dan itu sungguh tak mudah, Warna serta corak karpet-
karpet itu begitu cantik. Sementara dia hanya perlu beberapa, sebab tidak
mungkin membawa pulang seluruh karpet dari wol alami ini. Betapapun dia
menginginkannya.
"Aku akan beli yang biru itu, berapa pun harganya," bisik Nada penuh tekad.
Rania mengamati baik-baik karpet berukuran sedang yang ditunjuk Nada, dan
dia sepakat. Memang indah. "Tapi, tetap kamu harus menawar. Kurasa kita bisa
mulai dari setengah harga yang disebutkan. Seperti di pasar Jakarta!" Rania balik
berbisik. Padahal sebetulnya mereka tidak perlu bersuara selirih itu. Toh, tak
seorang pun paham bahasa Indonesia, kecuali mereka berdua.
Sekitar setengah jam berikutnya, pelayan membungkus rapi dua karpet yang
dipilih Nada, serta selembar table runner" untuk Rania. Baik Nada maupun
Rania masih perlu satu lembar lagi, tapi tidak menemukan yang betul-betul
disukai. Mereka memutuskan akan mencarinya di toko lain.
"Nada?"
"Hai.... Noemie...." Rania yang akhirnya menyahut ragu. "Eh... um, kamu
sendirian?" tanyanya setelah celingukan mencari sosok yang membuat Nada
mendadak main petak umpet, Tanpa bertanya pun Rania bisa menebak apa-atau
siapa-yang menjadi sebab kelakuan aneh sahabatnya.
Noemie mengerutkan alis. "Iya, aku sendirian. Ooh, kamu menanyakan Haykal?
Tidak, dia tidak bersamaku," jawabnya sambil memindah-mindahkan tatapan
heran pada Rania yang tegang, dan Nada yang mengintip dari balik semacam tas
warna-warni,
"Oh, beli karpet? Aku juga!" Mata Noemie melebar oleh antusiasme.
"Maksudku, aku kemari hendak membeli beberapa m,g27 yang kecil-kecil,
untuk menghias lantai hotel. Duuuh, seandainya aku tahu kalian punya agenda
membeli barang yang sama, tadi kita bisa belanja bersama, ya...."
Ekspresi kecewa Noemie menyebabkan tangan Nada begitu saja terulur,
mengelus lengan gadis itu, menghiburnya.
"Jangan sedih, kami juga masih perlu tambahan kok. Kita bisa membelinya
bersama nanti," ujarnya ramah. "Ya kan, Ran?" Nada menyikut sahabatnya yang
mendadak bungkam.
Nada berusaha tidak menampakkan reaksi tertentu mendengar nama pria yang
mengobrak-abrik hidupnya semalam ini disebutkan. Dia menarik bibirnya,
tersenyum kecil.
"Oke, Noemie. Light brunch! Kau pilih tempatnya, kami ikut saja," jawabnya
tenang.
Noemie menyebut nama sebuah kafe atau restoran, yang menurutnya tak jauh
dari situ, dan ketiganya ke sana. Sepanjang jalan, Noemie bicara ini-itu. Dia
memang gadis yang suka bercakap-cakap. Semua bisa menjadi bahan
pembicaraan. Dari kerinduannya mengunjungi Indonesia, menceritakan
kemajuan proyek hotelnya, sampai melanjutkan curhat tentang keterlambatan
Haykal.
"Tidak biasanya Haykal terlambat datang. Malah, tadi sepagian dia tidak bisa
kuhubungi. Ternyata dia telat bangun! Ada-ada saja. Dia bilang semaian,
kehujanan. Sulit bangun tepat waktu karena sedikit pening. Untunglah dia bukan
pria cengeng. Dia tetap ngotot bekerja sesuai rencana. Pusing sedikit tidak
masalah katanya," ujarnya dengan tangan terus bergerak.
Nada dan Rania sembunyi-sembunyi bertukar pandang.
"Oh iya, dia mengantarkanmu ke hotel kan semalam?" Tibatiba Noemie berhenti
melangkah dan memutar tubuhnya menghadap Nada. "Awas kalau dia berani-
berani menyuruhmu ke hotel sendirian! Hujan deras begitu. Aku sendiri
beruntung bisa pulang dengan mobil temanku...."
"Ya!" Nada menyahut, menatap ke arah lain. "Dia melakukan tugasnya. Terima
kasih atas perhatianmu, Noemie."
"Kamu berhasil tiba di hotel sebelum hujan turun?" Noemie belum puas.
"Aaaww... manis sekali. Ya kan, Rania?" Noemie mengerling jenaka pada Rania,
yang membalasnya dengan senyuman janggal.
Noemie tertawa ringan. "Tidak perlu merasa bersalah, Nada. Itulah gunanya
berjalan dengan seorang pria. Dia memang harus melindungimu dari panas-
hujan-angin, juga serangan orang jahat kalau memang ada!"
"Aku minum saja, sepertinya. Masih kenyang," ujar Nada seraya melepaskan tali
sling bag-nya melewati kepala, lalu mencantelkannya di punggung kursi.
Noemie sepertinya sudah tahu ingin memesan apa, jadi dia langsung
mengangkat tangan memanggil pelayan. Dia juga memaksa memesankan salad
dengan dressing yogurt untuk mereka santap bersama.
"Jangan menolak. Lagi pula, ini hanya salad. Sehat. Dijamin tidak akan
membuatmu gemuk," ujarnya sambil mengacungkan tangan membentuk huruf o
dengan telunjuk dan ibu jari.
"Kegiatan kecil yang mengingatkan aku pada Mama." Suaranya terdengar jauh.
"Dulu aku tidak pernah beres mengenakan kerudung. Mencong sana-sini.
Apalagi rambutku licin, selalu bandel muncul-muncul di dahi. Mama-lah yang
telaten merapikannya."
Noemie tersenyum. "Terakhir aku memakai penutup kepala adalah beberapa hari
setelah Mama meninggal. Setelah itu, tidak pernah menyentuh kain kerudung
lagi. Juga busana tertutup, "
"Begitu...." Nada kehilangan kata-kata. Ini informasi baru baginya. Dari cerita
Noemie semalam, sedikit-banyak dia bisa menebak bahwa mama Noemie
seorang muslimah Maroko yang taat. Hanya saja dia tidak menyangka bahwa
Noemie sempat berhijab.
"Kurasa, waktu itu aku masih terlalu muda untuk tampil berbeda dengan teman
sebayaku, yang rata-rata tergila-gila pada tank top dan bot pants. Aku tidak siap.
Apalagi pada masa itu, di kampungku beberapa orang masih begitu diskriminatif
pada penampilan yang berbeda." Noemie menelan ludah. Dia mengistirahatkan
cangkirnya di atas alas, mulai bercerita.
"Kurang ajar sekali, kan? Padahal siapa pun bisa saja kesulitan memarkir mobil,
Dia tidak perlu bicara sekejam ini, hanya karena melihat Mama berbaju panjang
dan berkerudung!
"Saat itu yang kurasakan hanya ketakutan. Barangkali seharusnya kami balas
memaki-maki orang itu. Sayang, mamaku terlalu penyabar, seperti orang
Maroko pada umumnya. Dengan mudah dia memaafkan dan melupakannya.
Sementara aku, ternyata sampai saat ini masih terus mengingat kejadian
menyakitkan itu. Padahal ini kejadian lama...," paparnya getir.
"Tapi, tentu saja tidak semua orang Eropa sekasar itu, bukan?" Rania menyela.
"Oh ya, tentu saja. Kami memiliki banyak kawan baik. Keluarga dari pihak Papa
semua sayang padaku. Apalagi lingkungan terupat aku tinggal sekarang, mereka
sangat hangat dan ramah. Memang kebetulan saja waktu itu kami bertemu
oknum jahat. Hanya... entahlah, ingatan buruk itu sulit aku hapus dari ingatanku.
Dan membuatku kurang nyaman untuk mengungkapkan identitas sebagai
muslimah...." Noemie menggeleng lemah.
"Selain iru, aku juga capek melayani pertanyaan orang-orang yang melihatku
berkerudung. 'Vous etes musulmane? Apakah kamu muslim? Vous etes
religieuse? Kamu religius?'... Atau 'Kenapa bajumu panjang, apa tidak panas?
Muslim itu apa?' Dan jutaan pertanyaan lainnya. Melelahkan' Sungguh tidak
mudah memberikan jawaban yang memuaskan semua orang.
"Bisa kalian tebak, kan, setelah Mama pergi, situasi jadi dua kali lebih sulit
bagiku...." Noemie tersenyum putus asa. Tangannya mulai mengaduk-aduk salad
dalam gerakan tanpa pola.
Noemie menghentikan tangannya. "Ya, papaku ada. Dia orangtua yang baik,
penyayang. Kadang malah membuatku jengkel karena terlalu protektif Tapi,
Papa seorang muslim conuert"..., jadi... yah, kau tahu sendirilah...." Noemie
membiarkan kalimatnya menggantung.
Nada merasa dadanya seperti ditikam. Mereka satu iman, na- mun tekanan
kehidupan Noemie sebagai muslim sungguh berbeda dengan hari-hari nyaman
Nada bersama keluarganya.
"Tapi, sungguh, aku ingin kembali belajar tentang Islam. Apalagi belakangan,
beberapa kali aku melihat gadis-gadis berkerudung warna-warni di kotaku. Aku
senang mengamati gaya busana mereka. Mereka pandai memadukan baju dan
penutup kepala. Dan jelas bangga dengan identitas mereka," ujar Noemie
bersemangat.
"Oya? Syukurlah!" sambar Rania lega. Walaupun dia sendiri bukan muslimah,
kenyataan bahwa suatu masyarakat sudah lebih ramah kepada pemeluk agama
Islam, terdengar menyenangkan. Permusuhan, diskrimasi, perang, apa pun
bentuknya, bukanlah sesuatu yang dia sukai. Lebih baik dunia ini berputar
dengan damai sehingga orang-orang awam seperti dia bisa menikmati halhal
membahagiakan--belanja, misalrrya--tanpa takut ditembak sewaktu-waktu.
"Lalu, kamu sendiri tidak ingin kembali berhijab?" tanya Rania polos.
Nada menendang kaki Rania di bawah meja. Pertanyaan itu terlalu pribadi. Tapi,
Rania adalah Rania, selalu apa adanya, sepolos balita.
"Tidak semudah itu. Aku sudah sangat jauh dari Islam, Sejak Mama meninggal,
tidak ada yang betul-betul membimbingku. Semakin dewasa, aku sendiri pun
seperti kehilangan motivasi untuk mempertahankan keyakinan itu...," jawabnya
ringan, seolah mereka hanya sedang membicarakan warna karpet favorit masing-
masing. "Apalagi, suatu hari aku direkrut sebuah agen modelling. Aku mulai
melupakan semuanya. Tawaran menjadi model mengalir deras, dan aku
menyukai dunia baru ini. Sama sekali tidak terlintas untuk kembali
berkerudung." Noemie berhenti sejenak, menelengkan kepala seolah berpikir.
"Modelling dan hijab? Hmm.... Dua hal yang tidak bisa dipersatukan, bukan?
Keharusan mengenakan busana serba tertutup seperti itu, terlalu bertentangan
dengan profesiku. Bisa-bisa agen akan menendangku keluar, kalau berani
menolak tawaran pemotretan baju musim panas yang tipis dan minim, atau
mengudeta peragaan pakaian renang," lanjutnya sambil tertawa, lalu menyuap
salad-nya.
"Apa yang salah?" tukas Noemie melihat Nada menggelenggeleng tak setuju.
"Kamu yang salah, gadis cantik!" Nada menepuk lengannya. "Modelling dan
hijab masih bisa dipersatukan. Jadilah model di Indonesia. Kami punya banyak
sekali desainer modest toear yang aktif meluncurkan koleksi. Para modelnya
juga berbusana santun lho, sehari-hari!"
"Iya! Dan asal kamu tahu saja, banyak dari mereka yang sudah mendunia."
"Oya?"
"Tidak percaya? Coba nanti kamu googling nama Dian Pelangi, Norma Hauri,
Nurzahra...."
Noemie tidak menyadari perubahan suasana hati kawan bicaranya. Dia masih
terlalu bersemangat. "Ya! Kita bisa jalan-jalan berempat nanti. Pasti seru sekali!"
Bagaimana tidak? Haykal dan Noemie, berdua ke Indonesia. Untuk apa lagi
kalau bukan meresmikan hubungan mereka?
***
"Sorry? Kamu bilang apa tadi?" Rania menoleh dengan mata bertanya. Dari tadi
dia sibuk menjinakkan es krimnya sendiri sehingga tidak terlalu memperhatikan
ucapan Nada, yang kebetulan memang dilontarkan begitu pelan mirip orang
berbicara pada dirinya sendiri.
"Tidak bisa. Karena posisi istimewa itu sudah kuberikan pada satu spesies
langka."
Sepuluh menit kemudian, Rania bangkit, membuang tisunya yang lengket bekas
es krim. Porsinya sudah habis. Saat kembali ke bangku kayu tempat mereka
duduk, gadis ini menadahkan tangan pada sahabatnya. Meminta sesuatu. Nada
mengais-ngais ke dalam sling bag-nya, mengeluarkan tisu basah untuk Rania.
"Kalau begitu ya biarkan saja...." Rania bersuara. Nada menoleh dengan kerut di
dahi. Tidak mengerti arah pembicaraan Rania.
Rania meneruskan petuahnya, "Kita kan tidak selamanya berada di kota ini,
bersama Noemie dan Haykal. Anggap saja ini intermezzo liburan. Yang baik-
baik kita bawa pulang. Yang buruk, kita tinggalkan saja agar terlupakan. What
happens in Blue City, stays in Blue City "
"Yah...." Nada tersenyum sumir, "dan mudah-mudahan yang buruk itu tidak
bertambah lagi setelah ini. Kurasa sudah cukup banyak...." Ucapannya terhenti.
Wajahnya mengernyit, karena ingatan tentang kejadian memalukan semalam di
bawah hujan, muncul di otaknya. "Dan semoga aku tidak perlu terlibat drama
apa pun dengan manusia tak beradab yang bernama Haykal lagi. Aamiin!"
tambahnya cepat-cepat.
Sayang, doa mereka sepertinya belum dikabulkan dalam waktu dekat. Buktinya,
sebuah benda bergetar dalam tas Nada.
"Kok bisa bunyi...?" gumamnya. Begitu Nada berhasil menarik ponselnya keluar
dari tas, baru dia tahu, ternyata ada sinyal Wi-Fi entah dari mana, menyangkut di
gawainya. Dan berkat sinyal gratisan itu, sebuah text message dari luar berhasil
menyelinap masuk.
Nada mengacungkan ponselnya, agar Rania bisa melihat layar, lalu memberikan
pengtm1uman singkat, "Haykal."
Rania bertepuk tangan. "Bagus. Yah, memang sudah waktunya kamu minta
maaf!"
BAB 8
CYAN BLUE
HAYKAL masih menggenggam ponselnya, berulang kali menatap benda itu
penuh harap. Dia hampir tidak mendengar, ketika perancang interior yang dia
sewa memanggil namanya untuk menanyakan sesuatu. Pemuda berjenggot rapi
itu sampai harus mengulang pertanyaannya dua kali, baru Haykal
memperhatikan sepenuhnya. Di sebelah mereka, asisten desainer dengan tangkas
menunjukkan beberapa ornamen penghias kamar.
"Baiklah. Kita gunakan yang ini, ini, itu, dan yang sekarang sedang kamu
pegang. Kalian tidak perlu menatanya terlalu simetris. Aturlah lebih santai, agar
kamar-kamar kita lebih terasa 'rumahan',"putusnya.Desainer melirik asistennya,
memastikan gadis itu mencatat baik-baik instruksi Haykal.
"Oke. Kalau tidak ada lagi, aku ada di tempat yang biasa, kalau nanti kamu
membutuhkanku," ujar Haykal sambil menunjuk ruangannya. Kedua lawan
bicaranya segera menangkap maksud di balik kalimat itu, mereka pun
meninggalkan Haykal sendirian.
Di kamar, dia memijit keningnya yang masih terasa pening. Obat yang
ditinggalkan Noemie sejak pagi, masih tergeletak di sebelah cangkir kopinya.
Haykal meraih cangkir itu dan meneguk isinya sampai tandas, namun memilih
mengabaikan obatnya. Sekaligus mencoba mengabaikan sakit kepalanya.
Matanya meneliti check list yang dicetak besar dan ditempelkan ke dinding.
Semua sesuai rencana. Hanya saja urusan hias-menghias ini yang ternyata
makan waktu lebih lama dari yang dia duga.
Dulu, pertama kali Noemie datang kepadanya membawa kertas itu-dan dua
kertas lainnya yang juga ungu-serta menempelkan lembaran-lembaran ungunya
ke dinding tanpa permisi, Haykal sudah protes keras. Tapi, Noemie tidak
memberinya pilihan lain, karena sudah terlanjur dicetak. Berkat kelancangan
Noemie, sekarang satu sisi ruangannya terlihat semanis gulali.
Haykal sungguh menantikan waktu saat kertas-kertas gulali itu boleh dia lepas
dari dindingnya. Dan melihat kemajuan pekerjaan mereka saat ini, sepertinya itu
tidak lama lagi.
Barangkali dia tidak terlalu keberatan bila yang ditempelkan adalah kertas
berwarna biru?
Bukan karena biru lebih maskulin atau apa, hanya karena warna itu selalu
mengingatkannya pada seorang dara galak bernama Nada.
Orang selalu menyebut Chefchaouen sangat biru, seluruh kampanye wisata pun
menjualnya seperti itu. Teman-teman sesama fotografer menyebut Chaouen
sebagai salah satu surga fotografi terunik di Maroko. Barangkali di seluruh
dunia, bahkan. Tentu saja. Memangnya ada berapa banyak kota berwarna biru
masif di bumi ini?
Pendek kata, Haykal memiliki ekspektasi besar pada kadar kebiruan Chaouen.
Siapa nyana, awalnya dia harus menelan kekecewaan, Jalanjalan yang dia lalui
dari gerbang kota tampak biasa saja. Normal kecokelatan seperti pemandangan
kota-kota lain di Maroko pada umumnya. Juga pasar-pasarnya, memang
berwarna-warni, tapi bukan melulu biru seperti kata orang-orang. Dia mulai
bertanyatanya, di mana bininya? Apa mungkin sumber-sumbernya salah?
Tapi, Haykal memutuskan tidak berhenti, balik arah, atau pergi. Dia yakin, pasti
ada sesuatu yang menarik dari kota ini. Dan sesuatu itu menunggunya, entah di
mana.
Lalu pada satu titik, mulai bermunculan pintu-pintu biru di tengah deretan
tembok kecokelatan. Dan pintu-pintu itu semakin banyak, semakin biru. Biru
dalam berbagai intensitas warna. Akhirnya, mendadak dia seperti berada dalam
akuarium raksasa yang sangat biru. Biru 360 derajat, ke mana pun matanya
menatap. Jalan berbatu yang biru, tembok biru di selilingnya, juga langit biru
yang mengatapi kota.
Selama beberapa hari pertamanya di kota ini, Haykal terjebak semacam euforia
biru. Dia tidak bisa berhenti mengagumi seluruh sudut kota, serta membuat
ratusan (ribuan?) foto darinya. Banyak foto Chaouen yang dia unggah ke
Instagram, akhirnya dimuat pula dalam berbagai akun fotografi berkelas
internasional. Penggemarnya meluas, dan mereka selalu menagih foto-foto
terbaru si kota bini. Tentu saja ini menyenangkan,
Namun, Chaouen tidak menyenangkan selalu. Ada salah satu efek yang tak
terduga, kerena semua begitu biru. Yaitu, bahwa dia semakin kesulitan
melepaskan ingatannya pada Nada. Gadis bermata sayu penggemar warna biru,
adik sahabatnya.
Nada Aleema.
Haykal membuka foto Nada yang dia curi kemarin di kafe. Tersenyum.
Keterikatannya pada Nada, tumbuh seperti cara dia jatuh cinta pada pesona biru
Chaouen.
Muncul perlahan, sedikit demi sedikit, tapi tahu-tahu semua bergerak begitu
cepat dan akhirnya dia sudah terjebak di dalamnya. Terjebak dengan senang hati,
dan menolak untuk keluar.
Di matanya, Nada memang luar biasa cantik. Mata sayunya itu, Haykal percaya,
bisa membuat ratusan pria bertekuk lutut dalam sekali kerling. Sepertinya itu
pulalah awal mula rasa tertariknya pada adik sahabat SMA-nya itu. Berawal dari
foto yang dikirimkan Tristan melalui Whatsapp.
Setelah Tuhan benar-benar mempertemukan mereka di Marrakesh, Dia bekerja
sangat cepat, sampai Haykal kesulitan melepaskan diri. Hanya Dia yang tahu,
bagaimana rernuknya Haykal, ketika mereka berpisah, dan dia harus melepaskan
Nada kembali ke Indonesia. Seluruh upayanya menghubungi Nada gagal total.
Sekalipun setelah dia memutus setiap urat malu, berusaha mencari kabar Nada
melalui Tristan melalui berjuta sandiwara,
Sampai akhirnya-out of the blue-muncul email itu. Dari Princess of Dew yang
serba-ingin tahu tentang sebuah foto siluet di padang pasir.
Membaca email-email yang bawel itu, Haykal langsung tersadar, Tuhan memang
berniat menjodohkan dia dengan Nada. Atau setidaknya, begini yang Haykal
harapkan. Detik itu pula dia bertekad, tidak akan kembali melepaskan Nada.
Meski dia juga tahu, telah melibatkan diri dalam sesuatu yang pelik.
Ah. Barangkali kecuali Noemie. Gadis itu sangat mudah dibaca dan selalu
memahami dirinya. Noemie adalah anomali. Satu-satunya wanita yang tidak
pelik di dunia ini.
Kedua, Nada sendiri lebih pelik daripada sekian banyak wanita yang dikenalkan.
Sepertinya tombol marah-marah Nada selalu mendadak ON tiap kali mereka
berbicara. Padahal saat gadis itu mendengarkan cerita Noemie, misalnya, dia
bisa bersikap begitu lembut dan penuh empati. Tapi, Haykal bisa apa,
perjalanannya bersama Nada memang tidak pernah mulus.
Bertemu pertama kali di pasar dan Nada menghajarnya karena mengira dia
adalah copet.
Bertikai nyaris tiap hari gara-gara berbagai hal kecil, atau besar--menurut Nada.
Walau yah, sejujurnya, Haykal tidak keberatan ditampar bolak-balik, asalkan dia
bisa memeluk Nada beberapa menit lebih lama. Atau beberapa jam pun boleh.
Haykal mencatat baik-baik sorot mata Nada malam itu. Ada sesuatu di mata
sayunya. Sangat pekat dan kuat, seolah mengisap Haykal ke dalamnya.
Membuat dia lupa bahwa sebetulnya mereka sedang berada di pinggir jalan,
diterpa ribuan jarum hujan.
Segalak apa pun, sebenci apa pun gadis itu kepadanya, Haykal yakin, Nada
punya perasaan tertentu kepadanya. Tekadnya untuk mendapatkan Nada pun
semakin menguat.
***
Haykal menatap sekeliling, sebelum beranjak masuk dan meneliti lebih detail.
Dia menggangguk-angguk, menyukai hasil kerja orang-orang intenor ini.
"Tiap kamar tidak akan memiliki tatanan yang seragam, kan?" tanyanya.
"Tidak, Bos. Seperti yang kalian inginkan, semua berlainan tapi senada.... Kau
mau melihatnya? Kami sudah menyelesaikan yang sebelah sana...."
Tepat sebelum Haykal beranjak, ponselnya bergetar. Dua kali, menandakan dua
pesan masuk, Haykal mencabut benda itu dari sakunya, dan matanya melebar
melihat layar.
"Mmm.... tidak jadi. Aku akan memeriksanya nanti sekalian kalau semua sudah
selesai. Aku ada di ruanganku kalau kamu butuh apa-apa lagi."
Si asisten hanya bisa menatap dengan mulut terbuka ketika Haykal begitu saja
berbalik keluar. Melangkah riang sambil tersenyum-senyum tanpa sebab, seperti
orang sakit ingatan.
***
Nada : Hai. Terima kasih sudah bertanya. Aku baik-baik saja kok.
Haykal : Jangan khawatir soal jaket. Khawatirkan saja tentang pria malang yang
semalam kehujanan dan hari ini terbaring sakit di tempat tidurnya.
Haykal : Iya, kepalaku pening. Demam. Dan harus terkapar di tempat tidurku.
Sendirian.
Nada : Pria lajang sebesar kamu tentu saja harus sendiran di tempat tidurnya.
Memangnya siapa yang kamu suruh menemani? Mamamu? Yang benar saja!
Haykal : Yah, barangkali ada yang berbaik hati. Kurasa aku perlu dirawat oleh
bidadari.
Nada : Akan kukirim Noemie ke sana, kalau begitu. Oya, tadi aku bertemu dia
di kota. Dia cerita tidak?
Haykal : Tidak dan tidak. Tidak untuk tawaranmu mengirimkan Noemie. Tidak
untuk cerita. Bagaimana dengan bidadari yang lain? Sama sekali tidak ada lagi
bidadari baik hati di kota ini ya? Kau bertemu Noemie? Itu kabar bagus, berarti
kamu cukup sehat untuk jalan-jalan.
Nada : Sudah semua? Aku tidak menyangka kamu cerewet begini kalau
chatting. Jawabannya: Tidak dan Ya. Tidak, untuk availability bidadari lain di
Blue City. They're all already taken. Dan ya, aku cukup sehat. Bahkan aku sama
sekali tidak sakit. Tidak seperti pria cengeng yang langsung demam hanya
karena kena hujan beberapa menit.
Haykal : Yeah, hujan beberapa menit yang membuatku basah kuyup. Apa pun
istilahmu.
Haykal bisa membayangkan, di ujung sana, Nada pasti tengah tersenyum penuh
kemenangan. Biarkan saja. Dia rela, asalkan Nada mau mengobrol bermanis-
manis seperti ini.
Haykal : Kenapa lambat sekali membalas pesanku? Kupikir kamu sakit atau
apa....
Nada : Kamu lupa aku fakir Wi-Fi? Aku harus kembali ke kamar hotel dulu
untuk melayani omong kosongmu ini. Jadi jangan protes. Kamu sudah cukup
beruntung aku mau membalas pesanmu, terlambat atau tidak.
Haykal : Oya, tentang bidadari lain di Blue City. Kau yakin, semua sudah
dipesan?
Nada : Maaf. Ini bidadari istimewa. Hanya bisa dipesan setelah membayar
mahar. Dan maharnya supermahal. Saya tidak yakin Bapak bisa memenuhi
permintaannya.
Haykal : Kalau begitu, sebagai ganti nya Anda harus mau menjawab pertanyaan
berikut.
Nada : Saya tidak bisa berjanji ya, Pak. Jangan terlalu memaksakan
peruntunganmu.
Reaksi pertama Haykal setelah membaca pesan itu adalah mengerutkan dahi.
Sarkasme yang sangat Nada. Terlalu tipis batas antara serius dan bercanda. Perlu
setengah menit baginya untuk menebak-nebak dan memilih kalimat balasan
yang tepat.
Haykal : Setahuku, aku jenis pria yang lebih layak disayang-sayang. Bukan
disakiti.
***
Nada mengetuk tombol send di layar ponselnya kuat-kuat, meski dia tahu itu
tidak akan memunculkan efek apa pun pada penerima pesannya.
Pria yang layak disayang-sayang, dia bilang? Huh, dasar besar kepala. Enak
saja!
"So? Sudah minta maaf belum?"
Rania mengangkat alis, bertanya, "Lalu dari tadi kalian ngobrol apa?"
"Ngobrol hal-hal yang lain," sahutnya pendek. "Kenapa sih, kamu mau tahu?"
rukasnya.
"Tentu saja aku ingin tahu. Sejak kamu mendapatkan pesan darinya di tempat
kita makan es krim tadi, kamu kayak orang stres. Membuat aku tidak betah
belanja lama-lama dan akhirnya kita harus kembali ke hotel lebih cepat," sesal
Rania, "merugikan sekali."
Nada mencibir. "Tidak betah belanja lama-lama" versi Rania itu sebenarnya
adalah "sekitar dua jam mengukur toko demi toko, dan mengangkut pulang
sekitar dua lusin aneka kantong berisi suvenir".
"Aku minta pulang bukan hanya karena ini!" Nada mengacungkan ponselnya.
"Melainkan karena kakiku sudah mau patah. Selain toko karpet yang kita datangi
bersama Noemie, sudah berapa toko yang kita masuki tadi? Kurasa para
pedagang cendera mata itu sekarang harus tutup lapak sementara, karena
barangnya habis kamu borong...."
Rania menyeringai.
"Oke, oke. Sudah cukup kamu mencela belanjaanku. Sekarang sebaiknya kamu
segera minta maaf pada Haykal soal semalam. Agar urusan ini segera beres.
Ingat, kamu menampar orang yang rela basah kuyup demi melindungimu dari
hujan, juga mempertaruhnya nyawanya demi menyelamatkanmu dari
gerombolan perampok."
"Dia hanya memegangku agar tidak jatuh! Kamu sendiri yang bilang."
Nada melengos.
"Sudah deh. Kamu sama sekali tidak membantu. Sana, pikirkan saja bagaimana
kamu harus mengemas gunung oleh-oleh itu!" Nada mendesah keras.
Rania juga balas mendesah keras. Teringat kembali pada pekerjaannya yang
terbengkalai. Tangannya kembali sibuk menata barang-barangnya, yang
sepertinya tidak kunjung menyusut.
"Jadi apa?"
Haykal : Jadi, sayang itu harus diperjuangkan ya. Kalau begitu, beri aku
kesempatan untuk memperjuangkan sayangmu.
***
Astaga! Suara apa itu!
Rania menyipitkan mata berusaha mengintip sedikit layar ponsel yang sebagian
besar tertutup telapak tangan Nada. Walau tak jelas, masih terbaca olehnya,
dengan siapa Nada bercakap-cakap.
"Oh, Haykal lagi," komentarnya datar. Kemudian beringsut turun dari tempat
tidur. Kembali pada barang-barangnya dengan tenang. "Menangis, mengamuk,
galau, dan sekarang melolong. Astaga...," gerutunya, menggeleng-geleng.
Rania tahu, dia harus segera terbiasa pada Nada yang menjadi gila tiap kali
berurusan dengan Haykal. Menurut Rania, selama tidak ada nyawa yang
terancam, dia boleh melanjutkan kehidupannya sendiri.
***
Haykal : Untuk banyak hal. Aku menikmati setiap waktu yang kita lewatkan
bersama, walaupun belum seberapa. Aku ingin menghabiskan lebih banyak hari-
hari denganmu. Rasanya itu mustahil terjadi tanpa sayang darimu. Jadi, aku
harus memperjuangkannya.
Nada seolah merasa jantungnya berhenti berdetak. Tapi, dia masih bernapas.
Haykal : Aku tahu itu tidak mudah, karena sepertinya kamu begitu
membenciku.
Namun, seketika terempas kembali ke bumi begitu dia teringat satu nama.
Haykal : Jangan menggunakan kalimat yang terlalu berbelit saat kamu bicara
dengan laki-laki. Kami adalah makhluk bodoh yang tidak ahli membaca pikiran,
tidak pandai menggali makna tersembunyi, bukan pakar permainan
tebaktebakan.
Nada mengembuskan napas berat. Baiklah, kalau itu yang makhluk bodoh ini
inginkan. Perlahan dia mengetik enam huruf. N, o, e, m, i, e.
Haykal : Jadi benar kecurigaanku. Kamu mengira aku dan Noemie pacaran?
Haykal : Ceritanya panjang, Nada. Tapi seingatku aku masih lajang. Perjaka.
Tidak berpasangan. Kamu tak perlu mengkhawatirkan bagian "istri yang sibuk
membangun hotel" itu.
***
Haykal baru saja menekan tombol send ketika pintunya yang memang tak
pernah ditutup, diketuk pelan. Disusul kemudian, sebuah kepala berambut merah
kecokelatan melongok. Tanpa menunggu permisi, pemilik rambut itu pun
melangkah masuk. Dan mendekati Haykal yang masih terbaring di tempat tidur.
Wajahnya sarat tatapan khawa tir.
"Kamu merasa lebih baik sekarang? Obatnya sudah kamu minum?" ujarnya
lembut. Kemudian melirik meja tempat dia meletakkan obat tadi pagi.
"Kau tidak meminumnya?" tegur Noemie seperti seorang ibu pada anaknya yang
bengal.
Haykal mengangkat bahu. "Aku tidak merasa membutuhkan itu," sahutnya keras
kepala.
Haykal tertawa, "Ya, sampah yang lezat itu cukup untukku siang tadi. Tapi
sekarang aku lapar. Kelaparan."
Noemie ikut tertawa. "Jangan khawatir, mon chou. Aku akan memberimu
makanan, Mudah-mudahan kamu tidak lupa, Papa datang hari ini. Dia sudah
mendarat dan sedang menuju ke sini. Kalau kamu malas makan di luar, aku akan
minta belper memasak sesuatu untuk kita bertiga."
"Kamu tidak bisa kabur sekarang. l'tn bere to take care of you."
"Oh ya. Aku bertemu Nada dan Rania tadi pagi. Kami brunch bersama, lalu
membeli karpet, Seru juga. Tugas berbelanja jadi semacam girls day out
jadinya." Noemie mengedipkan satu mata.
"Yup. Gadis mungil yang cengeng. Dari kecil dia begitu. Dulu lebih parah,
malah. Bukan cuma menangis, dia juga hobi meraung kencang-kencang
membuat telingaku sakit."
"Nope. Tidak ada tanduk di kepalamu. Kalaupun ada, kamu pantas-pantas saja
mengenakannya. Jangan khawatir." Noemie tergelak oleh kata-katanya sendiri,
menepuk pipi Haykal.
Sejurus kemudian gadis itu bangkit dari tempat tidur, menghampiri check list di
dinding kamar, memeriksanya.
Haykal menyentuh layar ponselnya, mencari tahu apakah Nada sudah membalas
pesan. Ternyata sudah.
Nada : Terus terang aku meragukan bagian "masih perjaka" itu, tapi aku tidak
tertarik untuk mendengarkan ceritanya. Yang ingin kudengar adalah cerita
tentang Noemie. Aku tidak keberatan sekalipun ceritanya panjang. Masih cukup
waktu sampai saat aku kembali pulang ke Jakarta.
Setelah berpikir beberapa saat, Haykal merasa perlu sedikit memaksa, karena
khawatir Nada menolak ajakannya.
Haykal : Tentu saja aku ada waktu. Kabari saja jam berapa pun kamu siap lusa.
Haykal berhenti sejenak. Pasti Nada akan menghadapi tugas berat untuk
meyakinkan Rania bahwa Haykal bakal menjaga Nada baik-baik. Terutama
setelah semalam dia memulangkan gadis itu dalam keadaan basah kuyup dan
menangis.
Tapi, Haykal sungguh berharap bisa punya waktu berdua saja dengan Nada. Jadi,
kalau sampai Rania muncul lagi besok malam, Haykal siap memulangkannya
saat itu juga. Rela tak rela.
Haykal menunggu sekitar lima menit, tapi tidak ada lagi balasan dari lawan
bicaranya. Barangkali Nada sudah menyimpan kembali ponselnya, karena suara
azan maghrib mengalun bersahutan dari masjid-masjid Kota Biru. Indah dan
syahdu.
BAB 9
NAVY BLUE
NADA berbaring tertelungkup di atas tempat tidurnya. Kakinya menekuk ke atas
dan bergoyang-goyang seperti orang menari. Dari tadi bibirnya terus tersenyum,
bahkan kadang tertawa kecil. Gadis itu tak peduli Rania berulang kali memutar
bola mata secara mencolok, atau terang-terangan geleng-geleng melihat
kelakukannya.
Bagaimana lagi, dia memang sedang bahagia! Sekuat apa pun dia menahan,
selalu saja ada senyuman lolos terkembang di wajahnya.
"Seceria bunga matahari," sindir Rania. Nada tertawa. "Tiap kali balik ke hotel,
kamu langsung menerkam ponsel dan benda itu menempel terus di tanganmu.
Seperti sudah dilekatkan dengan magnet," gerutu Rania.
"Aku jadi kayak kambing congek, menemani orang pacaran," keluh Rania.
Nada masih tertawa tapi menyahut, "Aku tidak pacaran! Cuma ngobrol."
"Aku di balkon ya, kalau kamu peri.... Sudahlah." Rania menelan suaranya
kembali, Penjelasannya tidak berguna, karena perhatian Nada sepenuhnya telah
terebut gawai di tangannya.
Haykal : Menurutmu, apa kata Tristan kalau dia tahu aku menyukaimu?
Nada : Biasa saja, mestinya. Sudah banyak pria mengaku begitu.
Haykal : Berarti mereka tidak cukup istimewa sampai kamu lupa. Good. Dari
awal aku sudah tahu, aku memang kandidat terbaik.
***
Nada : Wow, sepertinya kamu paham sekali tentang gadis-gadis. Tapi, aku tidak
seperti mereka, aku membutuhkan jawaban yang jujur.
Nada : Aku biasa saja, makan ma I am dengan kena I an baru. Beberapa pria
Eropa. Rania meninggalkanku karena dia lagi-lagi sakit perut. Jadi aku sendirian
di sini....
***
Nada : Waktu pertama kali melihat kucing melakukan proses reproduksi. Aku
teriak-teriak lapor ke Tristan karena kupikir kucing-kucing kami berkelahi, dan
si Bel Ia tampak sangat tersiksa. Aku bahkan menangis keras sekali, saking
ngerinya. Tapi, Tristan menertawaiku habishabisan.
Nada : Iya.
Haykal : Hahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahaha.
Pertandingan ini dianulir karena salah satu peserta tidak bisa berhenti tertawa.
Sungguh menjengkelkan.
***
Molin'arte memiliki banyak pilihan tempat duduk yang nyaman untuk makan
dan berleha-leha. Di kebun, pengunjung dapat bersantap di tengah ruang hijau
yang tertata indah sekaligus menikmati pemandangan ke arah bagian kota yang
berbukit. Sedangkan di dalam ruangan, sofa-sofa menawan dan interior bercita
rasa seni siap memanjakan siapa pun yang datang.
Selain dinding berlukis mozaik dari pecahan-pecahan tegel berwarna bergaya art
deco di pintu masuk, di setiap sudut restoran tersebar objek seni dari aneka
material. Tidak heran, banyak turis yang sibuk mengambil gambar.
"Aku mau-mau saja memotret orang itu, seandainya dia meminta," gumamnya
pada diri sendiri. Noemie yang kebetulan mendengar, berhenti bicara lalu
mengikuti arah pandangan Haykal. Dia tersenyum kecil.
Haykal menyeringai. "Tapi, dia kan tidak minta. Barangkali dia memang lebih
suka foto-foto selfie."
"Barangkali juga dia terlalu sungkan untuk minta bantuan? Atau malu? Tidak
semua orang berani menegur orang yang tak dikenalnya...." Mr. Anderson buka
suara.
"Nah, dengarkan kata Papa, Haykal. Bantulah orang itu." oernie menyikutnya,
tertawa.
Rupanya Haykal belum beruntung. Belum juga dia sampai, si nona rupanya
sudah merasa cukup. Dia memasukkan kameranya ke tas, dan pergi begitu saja.
"Assalaamualaikum."
Dari sedikit wanita yang dikenalnya di kota ini, hanya segelintir yang membuka
percakapan telepon dengan salam. Dan dia hafal betul siapa pemilik suara ini.
"Hai, Nada," ujarnya begitu menemukan tempat yang sepi. "Sudah kembali dari
Fes?"
"Ya, dari tadi sebetulnya. Bagaimana kau ingin mengatur meeting kita?"
Haykal tersenyum mendengar suara Nada yang santai, dan bagaimana gadis itu
memilih kata meeting untuk menyebut rencana pertemuan mereka.
"Sebetulnya aku bisa sih, ke sana. Mobil sewaanku masih bisa kupakai, jadi
tidak perlu taksi. Molin'arte restoran yang banyak karya seninya itu, bukan?
Yang dekat sungai? Beberapa kali orang hotelku merekomendasikannya sebagai
tempat makan...."
"Ya, restoran itu! Kau mau ke sini?" Senyum perlahan terkembang di wajah
Haykal. "Jangan khawatir urusan pulang, aku pasti akan mengantarmu!"
desaknya.
"Kau yakin aku tidak mengganggu acaramu dengan Noemie dan ayahnya?"
"Great. Aku akan memesan meja untuk kita. Setelah kamu tiba, bilang saja
reservasi atas nama Haykal Malik."
"Oke."
Hati itu masih sibuk berdendang tatkala dia kembali ke meja Mr. Anderson.
Melihat Haykal yang tampak riang, pria tinggi besar itu mengangkat alisnya
dengan gaya bercanda.
"Kalau kulihat dari raut wajahmu, bisa kutebak telepon tadi berisi kabar
gembira, Kau menang undian? Berita pekerjaan yang menarik? Atau, panggilan
dari seorang model cantik?" ujarnya.
Haykal tertawa. "Sayang Anda belum beruntung. Salah semua." Dia kembali
duduk di kursinya yang berhadapan dengan Mr. Anderson. "Anda ingat cerita
Noemie tadi tentang dua kawan kami dari Indonesia yang traveling di sini? Nah,
satu dari mereka akan kemari."
"Nada akan ke sini?" tanya Noemie. Haykal mengangguk. "Kebetulan dia sudah
pernah mendengar tentang Molin'arte. Mobil sewaannya bisa dipakai sampai
malam. Dan dia harus mengembalikan jaketku. Jadi kupikir, sekalian saja aku
menemuinya di sini," jelasnya.
Menyadari tatapan ganjil dari Mr. Anderson, Haykal berdeham. Sepertinya dia
terlalu banyak menyampaikan alasan kedatangan Nada. Terlalu banyak alasan itu
menimbulkan kesan bersalah. Haykal sedikit merasa tak nyaman. Maka dia
menyibukkan diri dengan gelas minumannya, untuk mencegah bibirnya kembali
kelepasan kalimat yang bersifat merugikan.
"Uuh, seandainya saja aku juga bisa menemani kalian," sesal Noemie, sama
sekali tidak menyadari kejanggalan sikap Haykal dan papanya.
"Tapi kita harus ke rumah paman dan bibimu sebentar lagi," Mr. Anderson
mengingatkan putrinya, membuat Noemie mengangguk pasrah. "Iya, Papa. Aku
tahu."
"Kalau kamu masih ingin menemuinya, akan aku aturkan nanti dengan Nada,"
ujar Haykal, berusaha menghibur Noemie yang sedikit merajuk. "Kau ada waktu
besok?"
Noemie berpikir sejenak. "Bagaimana jika waktu antara setelah makan siang
sampai sore? Undanglah dia dan Rania ke calon hotel kita. Sekalian food testing.
Barangkali ada baiknya kita mendapatkan masukan dari orang luar...."
"Biar aku yang menyelesaikannya, anak muda." Mr. Anderson menarik sampul
kulit berisi bon makan mereka dari tangan Haykal. "Dan ingat, aku tidak suka
ditolak," lanjutnya pura-pura mengancam. Haykal tertawa kecil, mengangkat
kedua tangan tanda menyerah, dan membiarkan Mr. Anderson menyelipkan
kartu kreditnya ke dalam sampul berwarna gelap itu.
"Terima kasih, Sir," ujar Haykal sementara pelayan mengambil kembali sampul
tersebut.
Haykal tersenyum. "Noemie cukup mandiri dan tangkas untuk menjaga dirinya
sendiri, Sir. Dia tidak pernah membutuhkan aku...."
"Jangan merendah. Bagaimanapun dia adalah putri kecilku. Aku merasa aman
melepasnya, karena ada kamu di sini. Oya, dan sudah berapa kali aku ingatkan,
jangan panggil aku 'Sir'? Tidak adil, kamu dulu memanggil istriku dengan
Mamari'" sementara aku harus puas dengan 'Sir'. Bahkan 'Tonton' pun tidak...,"
gerutunya.
Haykal tertawa. Mereka sudah sering membahas urusan nama panggilan ini.
Tapi memang sulit menggantinya, Haykal terlanjur menggunakan sebutan "Sir"
dan "Mr. Anderson" dari awal. Tidak mudah memindahkannya pada kata ganti
lain sesuai permintaan.
"Dengar, Haykal. Ada sesuatu yang serius, yang ingin kusampaikan kepadamu."
Mr. Anderson mengangkat wajahnya sekejap, melihat sekeliling seolah
memastikan tak ada yang menguping, meski itu putrinya sendiri.
"Kau sudah memikirkan pembicaraan kita waktu itu, bukan? Tentang Noemie?"
lanjut pria itu dengan suara rendah, dalam bahasa Inggris, seolah ingin
memastikan Haykal paham setiap kata yang dia ucapkan. Matanya menatap
Haykal lurus-lurus.
"Nah. Aku ingin kau tahu. Aku masih pada niat yang sama." Mr. Anderson
berhenti, menunggu tanggapan Haykal. Namun pria itu diam saja. Hanya
mendengarkan dengan raut sopan.
"Aku ingin kau menjaga Noemie tidak hanya di kota ini, Son. Tidak hanya
selama kalian menyelesaikan hotel itu. Tidak." Mr. Anderson menggeleng untuk
menegaskan maksudnya. "Aku tetap pada keinginanku, agar kau mau menjaga
Noemie seumur hidupmu...."
Haykal mengangguk takjim, menjawab pelan tapi jelas. "Saya tahu, Sir...."
"Aku ingin Noemie menikah dengan pria muslim, Haykal. Agar dia dapat
menjaga agamanya. Satu-satunya peninggalan ibunya." Suara Mr. Anderson
mendadak parau. Dia perlu berdeham beberapa kali sebehun kembali bersuara.
"Aku sadar, aku bukan orangtua yang baik dalam urusan agama. Dan sungguh
tolol betapa aku baru menyadari itu setelah mama Noemie tiada. Aku bukan
muslim yang baik Haykal, tapi setidaknya aku ingin Noemie kembali pada
Islam...."
"Joemie pun belum kuberitahu tentang hal ini. Dia baru akan kukabari jika dan
hanya jika kau berkata 'ya'. Mengerti? Jadi ini rahasia kita berdua...."
"Saya mengerti."
Mr. Anderson masih menatap Haykal beberapa lama, seolah meneliti keteguhan
hati Haykal untuk betul-betul mempertimbangkan keinginannya. Sejurus
kemudian, mata tersebut mengerjap, dan beralih fokus pada sesuatu di belakang
Haykal.
Noemie menunggu dengan tidak sabar saat papanya mengguratkan tanda tangan
di slip kartu kredit. Bahkan sebelum papanya selesai menyelipkan kartu kembali
ke dalam dompet, dia sudah berdiri.
"Aku ingin menemui Nada sekalian keluar. Papa ikut?" Noemie mengemasi tas
tangannya. Mr. Anderson mengiyakan. Maka mereka bertiga mengikuti pelayan
yang akan menunjukkan letak meja pesanan Haykal.
Nada terlihat begitu mungil di meja sudut yang diperuntukkan bagi empat orang
itu. Seolah menyadari sekelompok orang tengah mendekat ke arahnya, gadis itu
menoleh. Wajahnya terlihat sedikit bingung melihat Haykal tidak sendirian,
melainkan bertiga.
Dia berdiri, tersenyum lebar pada Noemie yang seperti biasa langsung memeluk
dan mendaratkan beberapa ciuman di pipi. Dia juga menyalami Mr. Anderson
setelah Haykal memperkenalkan mereka berdua.
"Apakah besok kalian sudah ada rencana khusus?" Noemie bertanya. "Kalau
belum, mampirlah ke hotel bersama Rania, Aku ingin tahu apakah kalian
menyukai hotel kami. Jangan khawatir soal makanan. Besok ada food tasting
dengan chef past1y kami yang baru. Kita bisa mencicipi hidangan sampai perut
meletus!" Noemie mengedip mengajak berkomplot.
Nada mengangguk dua kali. "Wah, aku suka sekali hidangan penutup! Oke, akan
kubicarakan dengan Rania."
Noemie tertawa dan menjejalkan kartu nama berisi alamat ke tangan Nada.
Sekali lagi dia berseru memastikan Nada harus datang, sementara Mr. Anderson
setengah menyeret putrinya pergi. Berkat-kali dia mengingatkan, mereka sudah
sedikit kemalaman untuk memenuhi janji dengan seorang paman.
Nada melambaikan tangan sekali pada Noemie yang menjauh. Lalu sekali lagi.
Sampai Noemie betul-betul tidak kelihatan.
Kemudian pelan-pelan dia kembali duduk. Tatapannya terpaku pada sebuah titik
di meja.
"Kamu ingin aku duduk di sebelahmu, seperti teman yang baik, atau kita
berhadapan seperti sedang wawancara pekerjaan?" tawarnya santai. Sebagai
jawaban, Nada mengangkat wajahnya sedikit, lantas menunjuk kursi di tangan
Haykal sambil meringis.
Haykal menarik mundur kursi yang dipegangnya. "Baik. Tapi, bisakah kamu
berjanji dulu, tidak akan marah-marah malam ini? Kalau kamu marah sekali
saja, aku akan pindah ke sebelahmu. Untuk menjinakkanmu. Ekspresi wajahmu
sekarang terlihat mengkhawatirkan...."
"Kamu capek, ya?" Dahi Haykal berkerut tanda khawatir, karena merasa Nada
tiba-tiba jadi pendiam. "Seharusnya aku yang datang ke hotelmu tadi," sesalnya.
"Maaf, aku membuatmu datang ke sini.... Banyak hal terjadi di luar rencana.
Termasuk papa Noemie yang mendadak mengajak kami makan malam bersama.
Asal kamu tahu, beliau bukan orang yang mudah ditolak. Persis seperti
putrinya," lanjut Haykal karena Nada tak kunjung bersuara.
Begitu senyumnya menghilang, gadis itu terpekur, tanpa menyadari bahwa setiap
kegiatan sederhananya tidak luput dari mata Haykal, dan menciptakan sebuah
kerutan di dahinya.
"Nada," Haykal memanggil. Dia mengulangnya sekali lagi, sampai gadis ini
betul-betul mengangkat kepala untuk menatapnya.
"Selama di Fes sepertinya kamu baik-baik saja. Terakhir kita bicara tadi di
telepon, kamu masih sangat riang. Lalu sekarang, mendadak kamu jadi patung
begini...."
Nada menggeleng seperti tak paham. "Aku tidak diam, kan? Aku menjawab
setiap pertanyaanmu," kilahnya.
"Ya, tapi sepertinya kamu tidak berada di sini. Kamu menjawab pertanyaan ku
seperti robot." Haykal memajukan tubuh. "Ada masalah tadi di jalan? Atau ada
hal lain yang ingin kamu ceritakan padaku?" dia bertanya.
Jangankan menjawab, Nada malah berpaling pada gelas minumannya, dan
Haykal mengembuskan napas berat lantaran kehilangan kontak mata,
Pelan, pelan sekali, kelopak mata Nada terangkat. Dia membiarkan matanya
beradu dengan mata Haykal beberapa detik. Wajahnya terlihat begitu sedih,
membuat Haykal ingin merengkuh pemiliknya dan berbisik "tidak apa-apa, aku
ada di sini...."
Pelayan mendekat, lalu dengan sopan meletakkan dua piring makanan pembuka
yang mereka pesan. Tepatnya, yang dipesan oleh Haykal. Tapi tak seorang pun
dari mereka berdua yang tertarik untuk mulai menyentuhnya.
Haykal masih menatapnya dengan ganjil, seolah baru saja melihat Nada
menembak seseorang, atau apa. Dia duduk tegak dengan wajah tegang penuh
pertanyaan.
"Ya.... Tapi...."
Suara Haykal terdengar begitu sarat luka, membuat Nada tertunduk lunglai,
karena dia tahu, dialah penyebab luka itu. Lalu tanpa berhasil dia cegah, dua
butir air mata mengalir menuruni pipinya. Kiri dan kanan. Cepat dia
menyekanya dengan punggung tangan.
"Aku... sudah tahu kisahmu dengan Noemie, Haykal. Aku tadi ada di sana,"
bisik Nada setelah mengerahkan seluruh tenaganya.
Bibir Haykal terbuka, tapi tak sepatah kata pun meluncur keluar.
Ketika dia berhasil bicara, yang pertama terlantar adalah makian. Wajahnya
mengernyit menahan sesuatu, dan tangannya mengepal kuat-kuat menahan
emosi. Barangkali kalau tidak sedang berada di dalam restoran serapi Molin'arte,
Haykal sudah meninju atau menendang sesuatu keras-keras.
***
Dia menjadi lebih riang lagi saat melihat betapa cantiknya restoran yang dia
datangi. Ke arah mana pun kepalanya berputar, semua terlihat apik dan nyaman.
Apalagi ketika pelayan langsung menghampirinya dalam sikap santun dan
ramah.
Pada saat inilah dia mendengar potongan kalimat yang mengalir satu per satu
dari bibir ayah Noemie. Yang diucapkan dengan serius, sambil menatap tepat
kepada Haykal. Jadi pasti mereka tidak sedang membicarakan orang lain.
"Aku ingin dia menikah... pria muslim, Haykal. Agar dia dapat menjaga
agamanya. Satu-satunya peninggalan...."
Nada memang tidak mendengar percakapan kedua pria itu secara utuh, lantaran
jarak mereka masih cukup jauh.Juga terdistraksi oleh suara-suara dari meja
lainnya. Tapi, dia cukup cerdas untuk bisa meraba-raba apa sebenarnya yang
tengah mereka bicarakan.
Itu membuat sekujur tubuhnya menjadi dingin, dan lemas seolah tak bertulang.
Sebetulnya, yang serta-merta ingin dia lakukan adalah berbalik dan berlari
secepat dia bisa, kembali ke mobilnya, dan minta diantarkan balik ke hotel. Ke
kamarnya yang nyaman, tempat dia bisa bersandar pada Rania. Berpura-pura
bahwa dia tidak mendengar apa pun tentang Noemie.
Dan akhirnya memang itulah yang dia lakukan. Walau tidak berhasil
menyelesaikan semua.
Saat inilah, Nada tahu, sudah terlambat untuk mundur. Kalau dia nekat
menghambur keluar restoran, bisa jadi pelayan yang setia itu bakal berseru
mencegah atau memanggil namanya. Lalu, Haykal akan terpancing menoleh,
kemudian mengetahui bahwa Nada ada di sana. Menguping pembicaraan
rahasianya.
Bukan sesuatu yang Nada inginkan. justru itu adalah kemungkinan yang lebih
buruk.
***
Dia berjanji tidak akan menangis, tapi ternyata air matanya menolak dibendung.
Dia bertekad untuk memaparkan semuanya dengan otak jernih, tapi ternyata
otaknya memilih berlaku sebaliknya.
Dia yakin bisa menerima setiap berita dengan hati terbuka, tapi ternyata hatinya
memiliki peraturan sendiri yang berbeda.
Nada merasa betul-betul kacau. Dunianya berputar tanpa kendali. Semua serba
melayang tanpa gravitasi.
"Nada...."
Suara Haykal membuat Nada mengangkat kepala. Kedua mata yang biasanya
bersorot bengal itu terlihat kelam dan menusuk, Nada tergugu.
Nada menggeleng sangat pelan, nyaris tak kentara. "Aku tidak tahu," bisiknya.
"Nah, sekarang biarkan aku bercerita. Jangan menyela kecuali aku sudah selesai.
"Mr. Anderson memang dari dulu berniat menjodohkan aku dengan putrinya.
Demi menjaga keislaman Noemie, karena beliau merasa tidak mampu. Beliau
merasa aku adalah pilihan terbaik, karena keluarga kami saling mengenal, Aku
dan Noemie juga berkawan sejak lama, jadi menurut beliau, semestinya mudah
saja menggiring hubungan pertemanan itu ke arah pernikahan."
"Sejauh ini, urusan perjodohanku dengan Noemie itu tidak lebih dari niat baik
seorang ayah untuk putri yang sangat dia sayangi. Titik."
Haykal menggeleng. "Tidak ada orang lain yang tahu, kecuali aku dan Mr.
Anderson. Dan sekarang, kamu. Justru sebetulnya, aku belum bisa
membayangkan reaksi Noemie mendengar rencana papanya ini. Bisa jadi dia
tersinggung, menolak, menertawakannya, atau...."
Haykal mengerjap dua kali, seperti mengumpulkan daya. Lalu berkata tegas,
"Aku tidak pernah menyayangi dia dengan cara seperti aku menyayangimu."
"Dan aku juga sudah menentukan keputusanku," sahut Nada pelan, berusaha
menahan air matanya agar tidak merebak, "kuputuskan bahwa kamu harus
menikahi Noemie."
Haykal tersentak. Sama sekali tidak menduga kalimat itu bakal meluncur dari
gadis di hadapannya. Matanya bertanya-tanya, meragukan apa yang
didengarnya. Sebagai jawaban rasa tidak percaya itu, Nada pun mengangguk.
Ya, dia serius. Tidak salah lagi.
"Kenapa?!" Haykal setengah mati menahan diri untuk tidak berteriak. Sama
sekali mengabaikan tatapan ingin tahu dari orang-orang di sekitar mereka.
"Dia lebih membutuhkanmu, Haykal." Nada menentang mata pemuda itu. "Dia.
Membutuhkan. Kamu!" tandasnya sekali lagi. Halus tapi tegas.
"Dan aku harus mengorbankan diri menikahi wanita yang tidak kuinginkan?"
"Oke. Let's say aku sanggup berjihad seperti yang kamu titahkan. Untuk
membimbing seseorang ke jalan yang dia inginkan, seperti misi suci yang kamu
agung-agungkan itu. Lalu bagaimana denganmu? Kamu pikir aku bisa
melepaskanmu begitu saja?"
Rahang Haykal mengeras, "Apa sulitnya, kamu bilang? Tentu saja sangat sulit.
Bahkan mustahil. Memangnya kamu pikir aku ini semacam bidak catur yang
bisa kamu pindah-pindahkan semaumu sendiri? Coba bila kamu berada di
posisiku. Bisakah kamu tiba-tiba menikahi teman priamu? Teman yang sama
sekali tidak menimbulkan perasaan cinta di hatimu? Bisa?"
Nada menatap lekat sebuah titik di kancing kemeja Haykal. Menolak bersitatap.
Kepalanya pelan-pelan mengangguk, berkeras hati.
"Ya. Kurasa aku bisa melakukannya. Asalkan untuk tujuan yang baik."
"Bullshit, Nada. Bullshit!"
Nada hanya bisa menangkupkan kedua tangan pada wajahnya. Lalu menangis
tanpa suara.
***
Tuhan memang memiliki banyak skenario cerita. Dan Dia punya BANYAK
sekali variasi yang alurnya sama sekali tidak tertebak oleh keterbatasan otak
manusia.
Entah skenario apa yang sedang Dia mainkan untuk Haykal dan Nada saat ini.
Yang pasti, Dia sudah mengatur agar Nada datang lebih cepat, mampir lebih dulu
ke mejanya untuk mendengar celotehan Mr. Anderson, baru menempatkan
mereka berdua-Haykal dan Nada-di meja sudut ini, untuk bertikai. Berdarah-
darah berdua.
Dia sepertinya juga sudah mengatur agar para pelayan disibukkan oleh tamu-
tamu lain, sehingga sepertinya tidak ada yang peduli mengapa makanan dan
minuman di meja sudut ini tetap utuh, padahal mereka berdua sudah duduk
berhadapan begitu lama.
Juga sudah menebalkan telinga setiap tamu, agar tidak ada yang menguping
pembicaraan, lalu iseng bertanya kenapa gadis itu menangis dan pria itu seperti
ingin menghajar seseorang.
Dia juga sudah merancang agar Haykal duduk di hadapan Nada sehingga tidak
punya akses untuk memeluk gadis itu, atau menyandarkan dia ke bahunya mana
kala Nada menangis parah seperti sekarang. Tanpa sadar Haykal meraba
dadanya, karena baru saja seperti ada yang menikamkan pisau bermata dua ke
sana. Nada terus-menerus menangis di depannya, dan dia tidak bisa melakukan
apa pun untuk menenangkan gadis itu.
"Noemie membutuhkanmu," desis Nada di sela isaknya. Begitu pelan seolah dia
tidak mengucapkannya untuk Haykal, melainkan bagi dirinya sendiri. Untuk
membenarkan apa yang sudah dia pilih dan yakini.
Ketika dia kembali menatap Nada, seluruh energinya seperti telah terkuras.
"Tapi... kamu memang benar, Nada. Papa Noemie juga benar. Noemie memang
membutuhkan seseorang untuk mendampinginya dalam Islam. Kalian semua
benar." Haykal kembali menghela napas. "Sementara aku, dari tadi yang
kupikirkan cuma aku, dan kita. Betapa piciknya. Sungguh berbeda dengan
niatrnu yang suci itu...."
Seharusnya dia tahu dari semula, Nada terlalu agung, terlalu bersih, terlalu tinggi
baginya. Berani-beraninya pria bejat seperti dia berusaha meraih hati wanita
seindah itu.
Jelas mereka tidak setara. Bukan pria seperti Haykal yang berhak menyunting
Nada.Jelas bukan. Barangkali seseorang yang mirip Tristan yang layak. Pria
yang nyaris sempurna--baik otak, hati, maupun akhlaknya. Manusia yang bisa
menjanjikan kepada Nada kebahagiaan dunia-akhirat,
Tentu saja.
Masalahnya ini urusan hati. Yang kadang menolak diajak berembuk dengan
logika.
"Haykal...?"
Panggilan lembut itu menyadarkan Haykal dari pikirannya yang bercabang. Dia
mengembalikan perhatian pada Nada, menyahuti panggilan itu dengan embusan
napas panjang.
Berbeda dengan Haykal yang masih kacau-balau, Nada sudah terlihat lebih
tenang. Kedua matanya memang masih merah dan berkaca-kaca, tapi tangisnya
sudah pergi.
"Haykal, aku tidak sebaik yang kamu pikirkan. Dan jangan menjelek-jelekkan
dirimu sendiri. Aku sedih mendengarnya. Aku tahu kamu tidak begitu...," ujar
Nada. Gadis itu memaksakan seulas senyuman, sebelum kembali menunduk.
"Can I hold your hands?" Haykal memohon, hampir mengemis.
Nada tidak mengiyakan, namun juga tidak menarik tangannya ketika Haykal
menyentuh ujung-ujung jari tangan kirinya.
"Aku tahu, saat ini aku belum sesuai untukmu. Tapi, aku tidak akan menyerah.
Kamu ingat, pernah bilang bahwa sayang itu untuk diperjuangkan? Nah, itu yang
akan kulakukan. Dan kamu tidak berhak melarangnya. Secuil pun tidak ada hak
itu padamu."
"Terserah, kalau memang kamu tak mau mendengarkan aku," cetusnya, tertawa
pahit. "Tapi ingat, kamu juga tidak berhak melarangku untuk menolakmu. Secuil
pun tidak. Karena aku yakin, hidupmu akan lebih bahagia bersama Noemie.
Lebih berkah. Karena kamu akan melakukannya tidak hanya untuk kebahagiaan
dunia, melainkan juga untuk meraih surga."
"Aku pun tidak menyangka kamu bisa sekeras ini," dengusnya kesal, menatap
lekat. "Setahuku, kamu lembut, berperasaan halus, dan tidak tegaan...."
"Baiklah, Nada." Haykal tersenyum setengah hati. Dia menarik tangan Nada ke
arahnya, sehingga mau tak mau gadis ini tersentak ke depan. Lalu dia
memajukan tubuhnya menyeberangi meja. Kini wajah mereka hanya berjarak
sekitar dua puluh sentimeter.
"Biarkan aku membuat urusan ini jadi lebih mudah," geramnya. "Sekarang,
katakan padaku. Katakan bahwa kamu tidak menyukaiku. Bila benar begitu, aku
akan mundur. Dengan suka rela. Dan bersumpah tidak akan mengganggumu
lagi."
"Ak... aku... aku tidak tahu...," desisnya dengan sangat terpaksa. Haykal pun
melepaskan tangan Nada, tersenyum lega, dan menyimpulkan dengan satu kata.
"Nah."
BAB 11
MIDNIGHT BLUE
RANIA memang tengah menyumpal telinganya dengan earphone, namun sayup-
sayup dia bisa mendengar suara pintu diketuk. Dengan mencabut salah satu
earphone-nya dari telinga, dia berusaha mendengar lebih baik. Betul, ada
ketukan di pintu. Pasti Nada.
Tanpa langkah tergesa Rania memperpendek jaraknya dengan pintu biru tua ini.
Sebuah senyuman kecil bermain di bibirnya, sementara otaknya sibuk
mempersiapkan penyambutan khusus untuk meledek Nada, yang bisa dipastikan
bakal muncul dengan wajah berseri-seri. Atau tersipu. Atau tertawa-tawa sinting.
Bukankah tadi pun Nada bersiap pergi kencan sambil bernyanyi-nyanyi?
Dan mendadak dia kena serangan deja vu. Senyumnya membatu. Ingatannya
terbang ke beberapa hari lalu, pada malam kejadian tamparan di pipi.
Nada yang berdiri linglung di depan pintu. Mata basah. Raut muka mirip orang
mau bunuh diri. Hanya bedanya, kali ini Nada kering kerontang.
Rania menghela napas sepanjang yang dia bisa, untuk menyabarkan diri.
Mengembuskannya perlahan dengan hitungan, seperti yang dilakukan para
master yoga. Sabar, sabar, sabar....
Dia menarik lengan Nada untuk masuk, lalu mengunci pintu baik-baik.
Tangannya bersedekap, sementara dia menunggu Nada yang melepas sepatu
dengan gerakan sepelan siput.
Nada tidak segera melayani omelannya. Masih sepelan siput, dia menata
sepatunya. Satu demi satu. Lalu meletakkan tas, mengambil baju bersih, dan
berjalan ke kamar mandi.
"Hoi. Masih punya telinga, hoi?" Rania yang merasa diabaikan, menegurnya.
"Lain kali ya, kalau dia mengajakmu kencan lagi, pokoknya aku harus ikut!"
omel Rania seraya mengekori sahabatnya.
"Tidak akan ada lain kali, Ran. Jadi kamu bisa simpan alat sunatmu baik-baik.
Sudah ya, aku mau bersih-bersih dulu."
Begitu saja. Nada menutup pintu di depan hidung Rania yang melongo
penasaran.
"Tidak ada lain kali bagaimana?" teriak Rania kepada pintu ka- mar mandi.
***
Sekitar dua puluh menit berikutnya, Nada keluar. Jauh lebih segar, lebih wangi,
namun masih sepelan siput. Dia hanya melirik sedikit pada Rania, yang duduk di
kursi dengan satu earphone terpasang. Pura-pura acuh tak acuh, tapi jelas
sebetulnya menginginkan update cerita terbaru.
Setelah acara makan malam yang berat tadi, saat ini yang dia inginkan hanyalah
tengkurap di bantalnya, menangis diam-diam selama tiga hari, dan sendirian.
Sayang, kemewahan ini tidak mungkin didapatkannya dalam kamar ini, karena
Rania pasti akan bertanya, atau melimpahinya dengan perhatian yang tak perlu.
Nada sempat memeriksa ponselnya sejenak, karena benda itu tidak henti
berbunyi sejak dia masuk ke area sinyal Wi-Fi hotel. Tapi, begitu melihat siapa
yang menghujaninya dengan pesan, Nada memilih men-silent ponsel itu dan
menenggelamkannya dalam-dalam ke dasar tas.
"Raaan...," panggilnya.
"Haykal itu ternyata dijodohkan dengan Noemie. Intinya begitu. Tapi, aku nggak
pengin cerita sekarang. Satu-satunya hal yang kuinginkan adalah sendirian dan
menangis. Boleh, ya?"
Beberapa detik Rania hanya tertegun dengan bibir sedikit terbuka dan alis
terangkat.
"Kamu ingin aku menyingkir ke balkon atau ke lobi?" ujarnya. Suaranya sarat
nada sayang.
"Kamu yakin tidak perlu ditemani?" ujarnya. Dia khawatir Nada bakal terjun
dari balkon mereka di lantai dua begitu dia sendirian.
Nada menggeleng. "Kalau boleh, biar ini yang menemaniku," tunjuknya pada
gawai dan earphone Rania yang tergeletak di atas meja. Tanpa menungg11
persetujuan empunya, Nada meraih benda itu dan menjejalkannya ke telinga
sebelum Rania kembali bersuara.
Pintu menuju balkon berdebum pelan ketika Nada menutupnya dari luar.
Mana mungkin dia bisa menerima Haykal, bila dia tahu wanita seperti Noemie
lebih membutuhkan pria itu sebagai pendamping? Noemie sangat ingin kembali
pada Islam, dan begini bersemangat, Tentu saja tidak ada pasangan yang lebih
tepat untuk gadis itu sekarang daripada Haykal. Haykal dapat menjaga Noemie
dalam ijab kabul-nya. Hanya Haykal.
Haykal yang nekat dan keras kepala itu! Yang tidak mau mendengar setiap
argumen orang lain. Yang lebih suka bergerak dengan aturannya sendiri.
Tapi, Nada juga bertekad tidak akan mundur sejengkal pun dari niatnya, untuk
membujuk Haykal memenuhi permintaan Mr. Anderson. Jelas itu yang lebih
baik untuk semua orang. Meskipun dia sendiri hancur, itu tidak penting.
Nada menyandarkan tubuh pada kursi, melipat lutut dan memeluknya. Dia
mengembuskan napas panjang.
Dia sudah mengejar begitu jauh. Menahan diri begini lama. Berharap begitu
banyak.
Dan ternyata yang terberat adalah melepaskan apa yang sudah dikejarnya.
....
....
Lagu manis itu berdendang seolah mengejeknya. Nada membuka matanya yang
basah.
Menengadah.
Malam ini, langit kelam negeri Maroko hanya menyisakan satu bintang
untuknya.
***
Sepasang mata juga tengah menatap sang bintang tunggal. Bukan dari balkon,
melainkan dari jendela kamarnya yang terbuka lebar, hanya dibatasi teralis.
Bintang itu, bermiliar cahaya jaraknya dari tempat dia berbaring sekarang. Tidak
teraih.
Nada, hanya terpisah satu-dua kilometer dengannya sekarang. Namun, juga tidak
teraih.
Ada titian tipis di antara mereka berdua. Kendati Haykal siap merayapinya demi
sang putri, bisa saja Nada sewaktu-waktu memotong putus titian itu. Gadis ini
punya kuasa melakukannya.
Cepat atau lambat memang, Nada harus tahu cerita panjang yang melatari
hubungannya dengan Noemie. Tapi, seandainya boleh memilih, Haykal ingin
gadis itu mendengarnya langsung dari mulutnya sendiri. Bukan dari hasil
menguping tak sengaja pembicaraan yang bukan haknya.
Sayang Nada sudah mengambil keputusan. Dan dia menjelma jadi sekeras bani.
Haykal sadar, kalau dia tidak bergerak cepat, Nada pasti akan menghilang lagi.
Masa tinggal Nada di Chaouen hanya tersisa puluhan jam. Haykal tidak ingin
kembali melepaskan gadis itu, lalu didera kecewa beratus-ratus hari sesudahnya.
Memerlukan waktu beberapa lama hingga akhirnya dia berhasil menemukan rug
kecil yang biasa dia gunakan sebagai alas shalat. Kain itu berada jauh di dalam
tumpukan, tanda Haykal tidak terlalu sering mengeluarkannya.
Untuk pertama kali, setelah sekian lama, Haykal bermunajat khusyuk kepada
Rabb-nya.
Ya Allah,
Jika memang dia yang Ktruanggap terbaik untukku, maka mudahkanlah dan
dekatkanlah kami.
Namun, bila bukan dia yang terbaik, maka berikanlah aku petunjuk.
Hanya kepada-Mu. aku bisa mengadu, dan hanya kepada-Mu bamba memohon
pertolongan.
BAB 12
ULTRAMARINE BLUE
NOEMIE mengawasi Haykal dengan kening berkerut.
Sudah tiga kali pria itu mengomeli pekerja mereka hanya karena alasan sepele.
Padahal mereka baru bekerja sekitar dua jam. Noemie tidak bisa membayangkan
berapa orang lagi yang akan jadi korban seharian ini nanti.
"Mereka lamban sekali!" gerutu Haykal membela diri, menyadari mata Noemie
terpaku padanya. "Mesti berapa kali aku harus mengulang instruksi yang sama
agar mereka tidak lupa!"
"Dan mesti berapa orang lagi yang ingin kamu semprot hari ini agar kamu
puas?"
Haykal menoleh dengan mimik kesal. "Jadi kamu membela mereka?" cetusnya
dengan alis beradu.
Noemie memutar bola matanya. "Sini. Ikut aku!" ujarnya, melangkah keluar.
Noemie mengerling tanpa berkata sepatah kata pun. Namun, tangannya bergerak
menggandeng lengan Haykal, menyeret pria itu mengikutinya. Di bawah tatapan
beberapa tukang.
"Duduk." Noemie menunjuk sofa di mang yang bakal jadi lobi hotel mereka.
Tempat itu sepi karena para pekerja sedang sibuk di kamar-kamar dan dapur
restoran.
Haykal tetap berdiri, tangannya bersedekap seperti lelaki cilik yang merajuk.
Noemie menghela napas. Boys will be boys. Meskipun mereka sudah sebesar
raksasa, wajah penuh rambut, berotot, dan berumur hampir kepala tiga seperti
pria di depannya ini.
"Nah, sekarang bicaralah. Sepagian ini kamu lebih sensitif daripada ibu hamil,
lebih cerewet daripada nenek-nenek, dan lebih galak daripada sejuta orang galak
yang dikumpulkan. Stop, jangan bilang 'tidak ada apa-apa'. Itu berarti kamu
melecehkan kualitas otakku. Aku tahu, pasti ada sesuatu. Dan kalau kamu
menolak bicara, aku akan menendangmu keluar dari bangunan hotel ini.
Mengirimmu balik ke kamar dan menguncinya. Agar kamu tidak punya
kesempatan untuk marah-marah pada orang lain tanpa alasan yang jelas!"
"Aku bukan marah tanpa alasan yang jelas! Kamu lihat sendiri betapa lamban
dan tololnya mereka!" Suara Haykal meninggi.
"Dari dulu mereka bekerja dengan tempo itu. Memang tidak secepat yang kita
inginkan. Tapi, kita berdua tahu, memang beginilah mereka dan kita sudah
memutuskan untuk beradaptasi. Lalu, soal tolol, yang kamu omeli hanya tukang-
tukang. Kalau mereka secerdas kamu, mereka tidak akan jadi pekerja kasar.
Melainkan menggantikan posisimu di sini sebagai owner,"
Haykal ber-haah dengan keras, lalu menendang kaki meja rendah di depannya.
Noemie sampai terpekik.
"This is me. Kalau kamu tidak bisa melihat aku yang seperti ini, pergilah jauh-
jauh."
Kedua alis Noemie terangkat begitu tinggi. Pria ini berubah jadi anak umur
empat tahun!
Tapi, Noemie tahu dia tidak boleh terpancing. Dia merosot turun dari sofanya,
berlutut di hadapan Haykal agar mau tak mau pria itu bersitatap dengannya.
"You. Talk to me. Please," Noemie memohon. Sepenuhnya bicara dalam bahasa
Inggris sebagai tanda bahwa dia tidak main-main. Kedua tangannya mengunci
wajah Haykal yang hendak berpaling menghindar.
"I'm fine."
"No, you are not fine. Look at you. Your eyes are full with pain."
Haykal menelan ludah. Dia tahu sudah tidak bisa lagi melarikan diri. Noemie
sudah bisa membacanya.
Noemie berlutut, memeluk Haykal. Awalnya tubuh pria itu menegang, menolak.
Tapi, akhirnya mengalah.
Beberapa saat mereka diam. Hanya samar terdengar tepukan ringan tangan
Noemie di punggung Haykal, berusaha menenangkannya.
"Thanks. I know I made a mess." Haykal menyeringai sedih. Tapi, dia sudah
lebih tenang.
Noemie tersenyum, mengedikkan bahu. "It's okay. You feel better now?"
Dia meraih pegangan tas itu, mengintip isinya. Sesuatu berwarna hijau tentara,
terbalut plastik bening. Haykal mengenalinya sebagai jaketnya. Yang terbawa
oleh Nada malam itu.
***
"Masih, dong."
"O iya. Omong-omong, karpet apa kabar? Sudah beli, kan?" tanya Tristan.
"Hah? Biru semua? Gawat. Aku tidak pesan begitu!" abangnya menjawab panik.
Nada terkekeh. Selalu seru menggoda Tristan, karena abangnya ini mudah
terpancing-sebenarnya sama seperti dirinya.
Nada meletakkan telepon setelah menitipkan salam untuk si kakak yang hobi
muntah-muntah. Ujung bibirnya masih sedikit terjungkit. Tiba-tiba dia rindu
untuk kembali berada di rumahnya di Jakarta. Sarapan bersama Tristan dan si
kakak yang mondarmandir ke toilet tanpa kenal menyerah, tengkurap nonton TV
di sofa raksasa ruang keluarga, bergelung nyaman di kamar birunya sendiri, juga
merindukan workshop-nya yang penuh gulungan kain, plastik berisi payet,
kertas-kertas pola....
Mengingat nama itu, ada rasa pahit-manis yang tak dikenal menyentuh
benaknya.
Suara Rania membuatnya memutar kepala dari nakas tempat pesawat telepon
hotel disimpan. Gadis itu sudah rapi dengan tas dan jaket tipis. Sejak tadi dia
mengeluh soal jumlah oleh-oleh yang kurang, salah menghitung jumlah teman,
dan sebagainya. Yang intinya adalah bahwa dia buruh belanja lagi. Nada
mengusirnya untuk pergi saja ke pasar, atas nama unn-unn solution.
"Siapa tahu jalan-jalan bisa memperbaiki mood-ttiu yang sekelam dasar lautan
ini. Dan mau menceritakannya padaku...."
Sejak semalam Nada memang memutuskan mengunci mulut. Hanya satu kalimat
yang rela dia keluarkan tentang perkembangan baru urusan Haykal dan Noemie,
yaitu bahwa si papa menjodohkan mereka berdua. Di luar itu, Nada memilih
menyimpannya sendiri. Kembali mengungkit-ungkit hal itu, membuatnya selalu
ingin menangis. Dan dia sudah lelah memeras air mata. Sudah cukup banyak
yang dikeluarkan. Bila lebih banyak dari itu, dia terancam dehidrasi.
"Tadi kulihat wajahmu lebih cerah waktu bicara dengan Tristan di telepon. Tapi,
sekarang, kerutan di dahimu muncul lagi. Kamu betul-betul membuatku
khawatir...." Rania mengerang.
"Sudahlah, Rania. Berangkat sana. Bawakan aku es krim pistachio yang enak
nanti."
"Yakin?"
Nada mengangguk tegas. Lalu, dia memberikan keputusan final dengan cara
mendorong tubuh sahabatnya menuju pintu kamar mereka. Rania mengalah. Dia
menutup pintu setelah meninggalkan sekitar dua ratus pesan tentang menjaga
diri, makan yang cukup, menyuruhnya bersenang-senang, jangan bunuh diri, dan
yang semacamnya. Membuat Nada geleng-geleng.
Tidak Tristan, tidak Rania. Orang-orang selalu menganggap dia seperti bayi.
Kecuali Hayk....
Cukup. Jangan sebut lagi nama itu.
Dengan gerakan tegas, Nada mengunci pintu kamar, bahkan memastikannya dua
kali, sekadar untuk mengalihkan perhatian dari si pria terlarang.
Pandangan Nada tertambat pada novel Rania yang tergeletak di rak kecil di atas
meja. Hinin.... barangkali membaca novel sambil menyesap teh wangi di balkon
yang hangat oleh matahari pagi? Ya, terdengar menyenangkan, Kembali pada
kebiasaan lamanya saat berwisata, yaitu berdiam diri di hotel, menikmati waktu
yang berjalan lambat. Di Jakarta tidak akan ada kemewahan seperti itu untuk
urusan waktu,
Tanpa tergesa, Nada menuangkan air panas dan membuat teh untuk dirinya
sendiri. Dengan cangkir di tangan kiri, dia memanjangkan tubuh hendak meraih
novel Rania dengan tangan satunya. Dan kakinya terantuk benda di bawah meja.
Nada menunduk.
Sebuah tas kertas putih dengan logo hotel, berisi sesuatu berwarna hijau tentara
yang terbungkus plastik bening. Tanpa membukanya, Nada tahu benda apa itu.
Jaket itu. Semalam sebelum pergi, Rania sudah berbaik hati mencarikan
paperbag dan mengemasnya, agar Nada tinggal menenteng dan menyerahkan
benda itu kepada si empunya.
Tapi Nada lupa. Maka sampai sekarang, tas itu masih di tempat semula, di
bawah meja.
Bagus sekali. Jadi sekarang siapa yang bisa dia karyakan untuk mengembalikan
benda jelek ini? Rania tidak ada. Petugas hotel? Ugh, pilihan itu terdengar
meragukan.
Sekarang juga.
Mudah-mudahan H maupun Noemie terlalu sibuk sampai tidak sadar dia datang.
Aamiin.
Tidak buruh waktu lama, Nada sampai di tujuan. Dia tidak sempat mengagumi
bangunan bakal hotel itu, karena benaknya melompat-lompat gugup. Setelah
memastikan sopir mobilnya bakal menunggu, Nada meloncat turun dan berjalan
cepat-cepat dengan dada berdentam. Sungguh-sungguh dia tidak ingin bertemu
Haykal.
Untunglah, sepertinya semua orang sedang tidak perlu berada di area pintu
masuk hotel. Tempat itu terlihat sepi. Hanya ada seorang penjaga yang duduk
tertunduk. Sempurna. Dia akan menitipkan tas pada bapak itu, lalu kabur.
Suara Noemie.
Nada tahu seharusnya dia melemparkan saja tas putihnya dan melarikan diri, tapi
kakinya seperti masuk ke pasir isap. Justru dia melangkah mendekat, menyelinap
masuk dari pintu yang sedikit terbuka.
Dan dia melihatnya. Pemandangan menyakitkan itu.
Haykal yang duduk di sofa, Noemi yang berlutut di depannya. Berciuman? Jelas,
mereka pasti berciuman. Apa lagi?
Dia harus segera pergi kalau tak ingin orang-orang itu menemukannya tergeletak
pingsan di sini. Tanpa pikir panjang Nada menaruh tas putihnya di sebuah meja,
lalu menyelinap keluar.
"Yes, Ma'am?"
Mereka melakukannya.
Tentu saja. Bukankah Nada sendiri yang memaksa Haykal untuk menikahi
Noemie? Lalu kenapa sekarang dia harus sesedih ini? Betapa plin-plannya!
Tapi, ini menyakitkan, ya Allah. Rasa sakit yang hampir tidak dapat dia
tanggung.
"Ma'am.... But...."
"Ma'am...."
"WHAT?"
Di depan sana, tepat di depan bumper depan mobilnya, ada sesosok tubuh
berdiri, berkacak pinggang tanpa tanda-tanda berkenan menyingkir. Sopir tidak
berani menginjak pedal gas sedikit pun, karena dia takut menabrak orang.
Duh!
***
BAB 13
ZAFFER BLUE
MENDENGAR tapak-tapak kaki yang mendekat dengan cepat, Noemie
mengangkat wajah dari kesibukannya meneliti daftar kebutuhan dapur bersama
chef.
Alisnya terangkat tinggi melihat Haykal yang berlari masuk dengan tampang
linglung.
Noemie berlagak memutar pandangan sekeliling. Melihat apa? Panci? Ya. Oven?
Tentu saja.
"Nada!" ujarnya frustrasi. "Dia tadi ke sini, dan aku tidak bisa menemukannya.
Ke mana dia pergi? Dia meninggalkan jaketku di lobi !"
"Jadi apa? Nada, tadi kamu bilang? Kamu ingin bertemu dengan dia? Nah, sabar
saja sedikit. Bukankah kemarin dia janji bakal kemari setelah makan siang,
untuk mencicipi hidangan?" ujar Noemie, setelah memastikan Haykal tidak
bakal berteriak-teriak lagi.
Seluruh perubahan itu tidak luput dari pengamatan Noemie yang peka. Pasti ada
yang tidak beres antara Haykal dan Nada. Gadis ini berkacak pinggang.
"Nah, sekarang apa ini?" Suaranya menjadi dingin. "Apa yang terjadi di antara
kalian? Siapa yang mengacau? Dan kenapa aku belum tahu? Inikah yang
menyebabkanmu uring-uringan hari ini?"
Haykal memaki pelan. Dia tidak bisa mundur lagi. Cepat atau lambat, Noemie
memang harus mendengarnya.
Noemie menatap Haykal lurus-lurus. Dia menurut, ketika pria itu menarik
sebuah kursi untuknya seraya berkata, "Duduklah. Akan kuceritakan semuanya.
Dan ini bakal panjang."
***
Nada menghantamkan tinjunya. Dua kali. Pada jok kulit mobil yang dia duduki.
Pengganggu!
Dengan geram dia membuka kaca jendelanya, menjulurkan kepala agar dapat
melihat langsung manusia yang menyebabkan mobilnya terpasung.
Menyadari kepala Nada yang muncul dari jendela samping seperti jera pah,
Rania menurunkan tangan dari pinggang, lalu melambai tanpa dosa.
"Untung aku melihatmu tadi keluar dari bangunan cantik itu. Bawa mobil pula.
Duh, hampir putus rasanya bahuku membawa barang-barang ini...." Rania
menunjuk tumpukan kantong belanja di kakinya. Nada hanya melirik sekejap.
Kemampuan Rania untuk memborong memang luar biasa. Hanya dalam durasi
sekian puluh menit, sudah sebegitu banyak yang berhasil dia beli.
Rania mengambil botol air dari tasnya, membuka tutup dan meneguk dua-tiga
kali. Lalu dia kembali menoleh pada Nada.
"Kamu dari mana tadi? Bangunan apa sih itu? Kayak masih 1mder
construction...."
"Spa, ya? Atau butik tersembunyi? Atau... lho, lho, lho. Nada...? Lho, kok
nangis...?"
***
Sebagai balasan, Nada hanya rela menarik senyuman kaku. Kalaupun sedang
ingin meracau, setidaknya dia ingin Rania bisa memilih kalimat yang lebih
sesuai dengan kondisi batin sahabatnya. Bukannya membahas hidup yang indah.
Terus terang, hidupnya saat ini sangat tidak indah'
Nada menatap tangannya yang memegang sendok kecil, lalu pada es krim
dengan kacang kehijauan yang di beberapa tempat sudah menjelma jadi
semacam bubur kental.
"Baru di Maroko ini aku tahu, kebiasaan burukmu kalau sedang kalut. Ternyata
kamu suka menyiksa makanan...." Tanpa menunggu permisi, Rania
menyelamatkan es krim lezat itu.
Yang dipanggil masih tidak menyahut. Malah dia menutup wajah, memutuskan
hubungan dengan dunia luar.
"Aku tidak menyindirmu, kok. Aku mau bilang, hidup ini selalu indah kalau kita
pandai bersyukur. Kalau kita ikhlas menerima skenario Tuhan, apa pun
bentuknya. Kan kadang yang menurut kita baik, belum tentu baik menurut Dia.
Seberapa pun kita menginginkan sesuatu dan berusaha keras mendapatkannya,
kalau itu mengingkari takdir, ya pasti luput...."
"Kamu menyindirku."
"Kamu serius kan waktu menyuruh Haykal memenuhi permintaan papa Noemie?
Bukan sekadar pencitraan agar dia semakin mengagumimu, atau...."
"Aku serius."
"...."
"Then why?"
Setiap ucapan Rania seolah menaburkan garam pada luka Nada yang masih
menganga.
"Aku manusia, Ran. Otak dan hatiku barangkali disusun oleh sel-sel yang
serupa, tapi keduanya bekerja dengan cara yang tidak sama. Otakku tahu,
Noemie harus diutamakan, aku tidak boleh egois menyekap Haykal untukku
sendiri. Tapi, hatiku berkhianat. Dia bersikukuh mempertahankan rasa sayang
pada pria itu. Menolak menutup kembali tempat yang sudah disediakan bagi
Haykal...." Nada menggeleng nelangsa. "Kamu tidak akan mengerti bagaimana
sulitnya aku menghadapi situasi ini," putusnya. "Ini adalah kenyataan yang
dilemparkan telak mengenai wajahmu, tanpa kamu sempat mengelak. Membuat
duniamu tiba-tiba terasa pahit dan gelap."
Dia tahu tidak boleh menanyakannya, namun toh dia membiarkan kalimat itu
meluncur, "Kalau memang sesakit itu, kenapa tidak kamu ambil jalan yang lebih
mudah? Kamu lanjut saja dengan Haykal. Tidak perlu terlalu memikirkan
Noemie. Kita tidak bisa kan selalu menyenangkan orang-orang di sekitar kita.
Hidup memang tidak sempurna.Jadi, tidak ada kewajibanmu untuk selalu
memikirkan orang lain."
Tawa Nada pecah, walau jelas itu sebuah tawa yang sumir. "Rania, kalau aku
tega mengambil pilihan itu, seumur hidup aku akan tersiksa. Aku tidak akan bisa
berhenti menyalahkan diri atas pengkhianatanku pada Noemie. Mustahil aku
melakukannya."
Dalam satu helaan napas berat, Nada bangkit. "Sudah, aku mau balik ke kamar,
mau shalat, terus tidur. Pusing. Nanti bill-nya minta ditagihkan ke kamar saja,"
ujarnya pelan, mengemasi ponsel, kunci kamar, dan tasnya.
"Mmm, jadi kamu tidak akan pergi ke Noemie untuk acara mencicipi hidangan
ini? Bukankah kamu sudah berjanji? Jangan-jangan dia masih menunggumu...."
Rania berusaha mengulur waktu.
Nada melontarkan tatapan yang membuat Rania salah tingkah. "Kamu pikir aku
mampu duduk manis, menikmati makanan satu demi satu, tepat di hadapan
mereka berdua? Kamu pikir aku bisa menahan diri untuk tidak melemparkan
garpu, seandainya mereka berpelukan, saling mengecup, membisikkan kata-kata
mesra dalam bahasa yang tak kupahami?" Nada meringis ironis.
Tapi, kesadaran lain mengingatkannya bahwa Rania benar. Janji adalah janji.
Tidak bisa lain, lesu Nada meraih ponselnya. Membuka aplikasi chatting dan
menemukan nama Noemie. Cepat dan singkat dia mengirimkan pesan, bahwa
dia mohon maaf tidak akan datang siang ini, dan mengarang-ngarang alasan.
"Kalaupun Noemie memerlukan informasi lebih banyak, dia bisa bertanya pada
orang itu," gumam Nada pada dirinya sendiri, menolak menyebut nama Haykal.
Rania mengangguk beberapa kali. Matanya tak berkedip mengawasi Nada yang
berbalik pergi. "Kamu mau kubangunkan jam berapa...?" serunya, masih
berusaha.
***
"Seperti yang kita duga, Nada membatalkan janjinya untuk food testing." Dia
mendesah kecewa.
"Yeah. I told you." Haykal menyahut pendek. Jelas pikirannya terbang ke tempat
lain.
"Ya sudah...."
"Tapi, kalian harus bicara!" Noemie hampir meraung, kesal dengan respons
Haykal yang minim antusiasme.
"Nanti...."
"Nanti kapan? Setelah dia balik ke Jakarta? Ini tidak bisa selesai hanya melalui
telepon atau chatting, Hay! Kalian harus bertemu. Tete-a-tete!"
"Dia pasti menampiknya."
"Kamu yakin tidak akan menemuinya?" desaknya lagi. Dia memang bukan gadis
yang gampang menyerah.
"Haykal!"
"Aku tidak akan ke mana-mana. Sekarang aku punya tanggung jawab di sini.
Sebentar lagi chef pastry akan kembali dan mulai mengolah calon hidangan
penutup hotel kita. Jadi, aku harus di sini, mengamati, mencicipi, memberikan
komentar, menyelesaikan tugas ini.
"Ada kekuatan besar yang mengatur seluruh kejadian di alam semesta, Noemie.
Termasuk peristiwa kecil antara kita dan Nada ini. Semua pasti memiliki
skenarionya. Sekarang aku percaya itu. Jadi aku tidak akan lagi berlari ke sana
kemari seperti orang gila, karena aku yakin, Dia sudah menentukan yang terbaik
untuk semua hamba-Nya."
Noemie tidak kunjung bersuara. Hanya dalam beberapa jam, dia sudah bertemu
dengan "beberapa Haykal yang berbeda". Mencengangkan sekaligus
mengerikan,
Haykal menoleh ke belakang, menatap Noemie dengan sudut mata, dari atas
bahunya.
"Oke. Bila tidak ada yang ingin kamu ucapkan, sekarang biarkan aku
berkonsentrasi dengan puding, kurma, es krim, dan roti-roti ini," sahut Haykal
dengan nada sempa. Sama sekali tanpa senyum. Lantas dia menunduk, mulai
menekuri kertas-kertas menu.
"Kurasa ini bukan saat yang tepat untuk mengatakannya. Tapi, aku ingin kamu
tahu. Bahkan saat mengamuk pun ternyata kamu masih sangat tampan, Dear.
Kalau menikah, kurasa kita bakal menghasilkan anak-anak yang rupawan...,"
ujar Noemie setengah melamun.
***
Dia tidak bisa memutuskan, halusinasi yang melayang-layang di otaknya saat ini
akan menjadi doa yang berdampak apa pada dirinya sendiri.
Sebuah acara ijab kabul yang manis di masjid. Cincin dan mahar yang ditata rapi
seperti yang dia ingat dari pernikahan Tristan. Bunga sedap malam dan daun
asparagus. Haykal yang menjabat mantap tangan Mr. Anderson. Noemie yang
kecantikannya semakin menyilaukan dalam busana pengantin muslimah dan
hijab putih. Suasana hening yang sakral ketika pengantin pria mengucapkan
kalimat ijab kabulnya.
Saya terima nikahnya dan kawinnya Noemie binti Anderson, dengan maskaunn
tersebut, dibayar tunai.
Lalu sang pengantin wanita tertunduk semakin dalam, menyembunyikan titik air
mata harunya. Pipinya memerah, jemarinya gemetar ketika tangannya
menengadah untuk berdoa....
Ya, Allah...!
***
Saat ini, Haykal bermaksud menafikan itu. Tapi dia tidak sela- mat dari garis
kodrat.
Sementara sebetulnya dia sibuk memikirkan hal lain. Banyak hal lainnya.
"Jadi mana yang kamu sukai? Yang murni manis, atau sedikit dibubuhi garam?"
Noemie menatap Haykal. Tangan asisten chef memegang alat tulis di atas kertas
memonya, siap mencatat.
***
Suara guntur membangunkan Nada dari sujudnya yang panjang penuh doa, usai
magrib yang sedikit tertunda, Nada masih sibuk mengasihani diri sendiri tadi
waktu azan berkumandang.
Refleks dia melihat ke arah balkon, mencari informasi cuaca. Titik-titik air
mpanya sudah mulai menyapa Bumi Maroko, menimbulkan bunyi keletak-
keletuk yang nyaman di telinga.
"Iya, aku tahu!" Yang dipanggil sudah menghambur ke balkon untuk memunguti
bantal dan kain alas, yang tadi mereka hamparkan di sana untuk berleha-leha.
Fiuh.
Nada dan Rania bersitatap. Rania masih memeluk tumpukan bantal dan kain
yang menjuntai-juntai menyapu lantai, sementara Nada hanya memegang
sajadahnya. Mereka berdua sama-sama enggan menyentuh pesawat telepon.
Buru-buru dia berlalu menjauhi nakas, tidak menggubris tatapan mengiba dari
Nada. Dia tahu kenapa gadis itu malas mengangkat telepon. Suaranya sengau
dan kepalanya pening lantaran terlalu banyak menangis sesiangan.
"Halo?"
Kening Nada berkerut, Rasanya dia tidak punya janji dengan siapa pun.
"Saya tidak punya teman bernama Haykal. Maaf, saya tidak bisa menerimanya."
Entah muncul dari mana kemampuan itu, tahutahu Nada mahir berdusta.
"Yes, Ma'am?"
"Oke, Pak Ayoub, dengar. Tolong katakan pada tamu saya itu, entah siapa tadi
namanya saya lupa. Bahwa saya tidak mau... maksud saya, tidak butuh bicara
dengan dia. Saya tidak bisa bicara dengan orang tak dikenal!"
"Ma'am, masalahnya, dia bilang akan menunggu di lobi hotel sampai Anda
berkenan turun menemuinya."
Nada menggigit bibir. Kepala batu. Khas Haykal.
"Lobi hotel terbuka dua puluh empat jam, bukan? Ya biarkan saja dia menunggu
di situ sampai puas."
"Dia bilang, kalau dalam waktu sejam Anda tidak turun menemuinya, dia akan
memanjat dinding dan masuk ke kamar Anda melalui balkon...."
"Saya tidak takut diancam dengan cara bodoh seperti ini. Dia kan tidak tahu
nomor kamarku, Bagaimana mungkin dia bisa menerka harus memanjat kamar
yang mana!"
Gemeresik lagi.
"Ma'am....," Suara Ayoub bernada horor. "Dia bilang: 'Persetan, aku pasti akan
menemukan jalan untuk mendatangi balkon kamar itu!'... Astagfirullah! Ma'am,
maafkan saya mengumpat. Maaf, saya bukan memaki Anda, tapi... hanya...."
"Oke, Ayoub, oke. Bilang pada tamu kurang ajar ini, saya akan turun. Terima
kasih atas bantuanmu yang tidak membantu sama sekali!"
Brakk!
Dari pintu kamar mandi, Rania yang terpancing suara gebrakan pesawat telepon,
memunculkan kepala. Sekali lihat, dia bisa menebak sumber huru-hara yang
terjadi.
Nada menyambar sengit, "Tidak! Kecuali kamu punya seregu sniper yang bisa
kita tempatkan di atap-atap, dan menargetkan orang gila itu sebagai sasaran
tembak!"
"Atau, Rania. Kamu akan sangat membantu seandainya kamu punya light saber
untuk melumpuhkannya! Karena kuyakin dia itu sebetulnya jelmaan Oarth
Vader!" serunya gusar sebelum menghilang di balik pintu.
BAB 14
SAPPHIRE BLUE
HAYKAL sudah tahu, kedatangannya ke hotel ini bagaikan membangunkan
singa lapar. Singa cantik yang lapar, dan siap mengamuk. Tapi, dia sudah siap
menghadapi setiap kemungkinan.
Hanya saja, singa cantik yang sekarang tengah melangkah cepat-cepat seperti
dikejar hantu (atau copet?) ke arahnya ini, terlihat betul-betul marah. Seolah ada
api berasap menyala-nyala keluar dari sekujur tubuhnya. Rupanya bukan hanya
Haykal yang merasakan iru. Ayoub yang semula berdiri manis tepat di belakang
meja resepsionis, sampai mundur dua langkah. Nyata-nyata enggan terlibat
pertempuran hebat yang dia yakin, bakal meledak sesaat lagi.
Wow, singa pemarah ini ternyata wangi. Semoga dia bergeser lebih dekat lagi.
Sedikit saja.
Haykal sampai harus pura-pura batuk untuk mengenyahkan pikiran liar itu.
Yah. Ini memang bukan pertama kalinya Haykal dibentak oleh wanita.
Normalnya, dia akan menunduk, menghindari pandangan. Atau memasang
tampang tak berdosa. Atau langsung saja memeluk wanita yang marah-marah
itu. Mengecapnya dengan kurang ajar bila perlu. Biasanya, jurus-jurus itu
mujarab untuk meredakan ketegangan.
Tapi, kepada Nada, Haykal masih cukup waras untuk tidak melancarkan jurus
terakhir.
Jadi yang dia lakukan hanyalah jurus pertama dan kedua. Menunduk, lalu
mengangkat wajah perlahan, menunjukkan wajah inosen yang tak berdaya.
Gawat, mpanya jurus itu pun tidak mempan pada Nada. Singa cantik berwarna
biru di hadapannya ini, justru tampak makin galak. Siap mencakar atau
mengamuk setiap saat.
Sebabnya, pertama: Ayoub (dan sekitar lima kawannya, yang sebehunnya sama
sekali tidak kelihatan) sudah memperhatikan mereka penuh rasa ingin tahu.
Kedua: Haykal percaya, berbincang dengan posisi duduk akan lebih nyaman
daripada berdiri berhadapan seperti ini.
Detik berikutnya, Haykal hanya bisa mengeluh dalam hati. Pelan tapi pasti,
wajah Nada memerah. Gadis itu mengatupkan bibirnya erat-erat, menahan
emosi. Tapi, bendungannya sudah retak. Dua bulir air mata bergulir menuruni
pipinya.
Haykal mengetatkan geraham. Kenapa sih wanita suka sekali menangis? Inikah
strategi mereka untuk selalu mendapatkan apa yang diinginkan dari seorang
pria? Sungguh tidak adil.
Kalau seorang pria menangis ketika tertekan, dunia mengejeknya cengeng. Tapi
bila wanita yang melakukannya, dunia akan menggelarinya makhluk lembut
yang rapuh.
Haykal menelan ludah salah tingkah. Sungguh dia ingin menghapus dua anak
sungai yang tak kunjung putus di wajah Nada itu, Dia tidak pernah tahan melihat
wanita menangis. Membuatnya merasa jadi manusia paling jahat di seluruh
bumi.
"Maaf aku tidak bawa saputangan atau apa untuk mengeringkan air matamu,"
ujar Haykal lembut. "Kamu bisa pakai lengan bajuku untuk mengusapnya, kalau
kamu mau...," tambahnya mencoba bercanda.
Nada hanya berdiam diri. Mengelap air mata dengan punggung tangannya, dan
lambat laun, sedu sedannya mereda. Telapak tangan kirinya dilengkungkan di
atas dahi, mencoba menutupi wajahnya yang basah dan sembap.
"Mau apa lagi kamu ke sini?" bisiknya. "Bukankah semua sudah kita bicarakan
kemarin di restoran...?" Nada menundukkan kepala, menghindari bertatap muka.
"Aku sudah mengabari Noemie soal batal datang food tasting, bila itu yang
kamu maksud."
"Karena dua kawanku ini sedang begitu sibuknya sampai mereka tidak
menyadari kedatanganku!" Nada menancapkan tatapan kesal, yang segera
disesalinya. Dia kembali menunduk.
Tapi, Haykal terlanjur melihatnya. Sesuatu itu muncul kembali, Sorot yang sama
dengan dulu ketika gadis itu berada dalam pelukannya, di bawah hujan malam-
malam di pinggir jalan.
"Aku menyesal kami terlalu sibuk waktu kamu datang...." Gagal membaca lagi
sorot mata Nada, Haykal mencoba menggali lebih banyak informasi lewat
percakapan.
"Menyesal? Yakin? Sepertinya sih waktu itu kalian sama sekali tidak terlihat
menyesal!"
Haykal mengerutkan dahi. Nada tidak terdengar marah, melainkan lebih pada...
sinis? Kecewa? Sakit hati? Haykal kesulitan merumuskannya.
"Jadi kamu melihat kami sedang sibuk...? Apa yang kami lakukan waktu itu?"
Bibir Haykal bergerak-gerak menahan geli. Naifnya gadis ini. Jadi dia cemburu?
"Tapi bukan urusanku sih. Lagi pula, bukankah aku sendiri yang menyarankan
kamu untuk bersama Noemie. Membimbingnya. Dia membutuhkan kamu. Ya,
aku yang menyuruhmu memilih itu. Jadi aku tidak berhak untuk menghakimi
atau menyalahkan atau melarang kalian yang berpelukan... atau melakukan
kegiatan-kegiatan lainnya "
"Tapi, kamu boleh kok melarang aku peluk-peluk Noemie. Atau dia peluk-peluk
aku."
***
Rania paham, Nada pasti tidak mengizinkan dia melakukan ini. Tapi Rania
merasa dia harus.
Maka diam-diam, setelah merasa Nada cukup jauh, Rania mengikutinya keluar
kamar. Menguntitnya sampai ke lobi. Ikut tegang ketika Nada melabrak Haykal.
Ikut merasakan panas di kedua matanya ketika melihat bahu Nada bergerak-
gerak menahan tangis.
Dia hampir memanggil petugas keamanan ketika melihat Haykal menyeret Nada
pergi. "rapi, menyadari bahwa tidak tampak adanya penolakan dari bahasa tubuh
sahabatnya, Rania mengurungkan niat.
"Nah, sekarang kamu harus memberitahuku, ide gila dari siapa itu?" Noemie
memohon.
"Siapa?" ulangnya lebih keras, berusaha mengalahkan suara azan Zuhur yang
mengalun dari seluruh penjuru kota.
Sekian menit berikutnya, gadis itu terkesiap. Bibirnya terbuka sementara dia
menggeleng-geleng tak percaya. Lalu, berdecak memaki kebodohannya sendiri.
"Papa, ya? Astaga. Ini pasti pekerjaan Papa1 Oh my, aku harus meneleponnya
sekarang juga!" Noemie menyambar tasnya, merogoh-rogoh mencari ponsel.
"Aku harus bicara dengan Papa! Seenaknya saja! Dia pikir aku masih remaja
labil yang tidak bisa menentukan arah hidupnya sendiri!" Gadis itu kembali
menerkam tasnya. Haykal langsung mengangkat tinggi-tinggi benda itu.
Gadis itu menolak minum. Tapi, dia bisa menuruti perintah Haykal untuk
menenangkan diri.
Haykal mengawasi gadis molek itu, lega karena Noemie sudah bisa menguasai
dirinya sendiri. Bahkan berhasil menemukan sisi lucu skenario yang tadi sempat
membuatnya kalap.
"Astaga.... Aku menikah denganmu? Papa pikir aku mau?" Noemie terbahak-
bahak.
"Tidak perlu merajuk begitu, mon chou!" Noemie mencubit pipi Haykal main-
main. "Aku tahu kok, kamu baik, bertanggung jawab, lucu, punya tatapan mata
memabukkan, dan sejuta kualitas lainnya. Aku akan merasa sangat beruntung
bila bisa menikah denganmu. Sungguh. Masalahnya... eew, itu pasti bakal
mengerikan. Seperti berkasih-kasihan dengan saudaramu sendiri!" Noemie
mengangkat kedua bahunya, menyeringai jijik.
"Yaaaa!" Haykal sampai terlompat berdiri. "Sama! Seperti itulah yang aku
pikirkan. Syukurlah, ternyata kita sependapat. Aku tidak bisa mencintaimu
sebagai pasangan, karena kamu sudah seperti adikku sendiri, Noemie...."
"Atau kakakmu, mengingat kelakuanmu yang selalu mirip kanak-kanak dan aku
yang harus membereskan setiap kekacauan yang kamu timbulkan!" Noemie
memukulkan tinjunya ke lengan Haykal.
"Hanya, aku selalu kesulitan menemukan penjelasan yang tepat bagi papamu.
Aku takut menyakiti hati beliau. Maksud beliau kan sebetulnya baik...," lanjut
Haykal seraya menangkis tinju Noemie dangan mudah.
"Ya, aku mengerti...." Tatapan Noemie melembut, "Biar aku yang bicara pada
Papa...."
Noemie melambaikan tangannya. "Ya ya ya, aku tahu. Tenang saja, Mister. Aku
mengenal Papa jauh lebih lama sebelum dirimu. Aku paham betul cara
menjinakkan beliau...."
Tawa Haykal pecah. "Tidak hanya papamu, kamu bisa menjinakkan semua
lelaki, kurasa."
Mengabaikan sindiran Haykal, Noemie meraih tangan pria itu. "Sekarang, mari
kita selesaikan urusan tetek bengek ini secepatnya, supaya kamu bisa cepat
menemui dia," titahnya berwibawa.
Haykal tahu dia tersenyum begitu lebar, dari telinga ke telinga. Dia mengecup
pipi Noemie beberapa kali, entahlah, dia tak mau repot-repot menghitung. Lalu
sebagai wujud rasa terima kasihnya, dia menambahkan lagi satu kecupan. Kuat-
kuat. Sampai Noemie nyaris terjengkang. Tapi, Haykal tidak peduli. Dia tertawa.
Ya, dia harus menyelesaikan semua urusan tetek bengek hotel ini secepatnya lalu
segera terbang keluar, menuju bidadarinya.
"Noemie. I love you."
***
Transformasi mimik wajah Nada begitu drastis dan terbuka, nyaris menggelikan.
Kini bibirnya terbuka lebar, sampai Haykal khawatir ada unta bisa menyelinap
masuk ke sana. M.atanya terbelalak dengan sorot berganti-ganti. Tangannya
yang terangkat membatu.
"Suamimu. Aku."
Haykal merogoh saku jaketnya. Mengeluarkan sebuah kotak beledu biru tua.
Perlahan tapi pasti, Nada mulai memahami peristiwa besar apa yang sedang
terjadi.
"Tapi.... Noemie...?" Sepasang mata sayu itu mengintip keluar dari jemarinya.
"Baiklah kalau kamu menolakku dan memilih Noemie. Kamu bisa bicara
dengannya sekarang."
"Allfi?"
"Nada, kutitipkan Haykal padamu, ya. Tolong jaga dia baik-baik. Pukuli saja
pantatnya kalau dia bawel atau bikin ulah!"
Haykal melirik, mencari tahu reaksi Nada. Wajah gadis itu merah padam.
Sepertinya kalimat terakhir Noemie terlalu vulgar untuk telinganya yang halus.
"Now I am single by choice. Belum butuh kekasih. Lagi pula, kenapa aku harus
mencukupkan diriku dengan satu Haykal, bila aku sebetulnya bisa memiliki
kalian berdua sebagai pembimbingku?"
"Kalian berdua, berbahagialah untukku. Aku akan selalu bahagia untuk kalian.
Okay, see you soon, love birds!"
Nada menangis.
***
Telinganya memang tidak bisa mendengar seluruh kalimat yang meluncur dari
bibir Haykal. Suara hujan menenggelamkannya. Namun, tak apa. Hatinya tetap
dapat memahami semua rencana indah itu, bahkan yang tak terucapkan
sekalipun.
Nada gemetar karena rasa syukur yang nyaris terlalu besar untuk ditanggungnya.
Cincin sederhana dalam kotak beledu biru tua itu begitu cemerlang. Meski basah
tersiram jutaan titik air mata sang bidadari. Air mata bahagia.
BAB 15
ROYAL BLUE
"BAGAIMANA Lebaran di Tokyo?"
"Indonesia banget, walaupun jauh dari rumah. Pagi tadi shalat Id ke SRIT. Rame.
Rasanya sudah lama sekali aku tidak bertemu orang Indonesia sebanyak itu
berkumpul di satu tempat. Banyak ibu buka stan makanan Indonesia. Bakso,
somai, martabak, sate.... Aku borong bumbu masak instan tadi. Ngobrol-ngobrol.
Sekarang sama anak-anak ke restoran Indonesia dekat KBRI yang katanya
dijamin enak dan halal. Nanti sore ke Wisma, ada acara open house Bapak-Ibu
Dubes. Mesti berangkat agak awal, biar nggak perlu ngantre ambil lontong
opornya...."
Suara tawa yang menyenangkan itu. Yang selalu membuatnya rindu. Nada
tersenyum, membiarkan jeda sejenak hadir di antara mereka, sementara
merekam tawa Haykal dalam hatinya.
"Dua hari lagi ya? Aku tidak sabar," ujarnya dengan suara rendah yang membuat
Nada berdebar. Gadis itu membuat satu putaran dengan tubuhnya, sehingga
ujung-ujung gamis biru koralnya mengelus daun-daun bunga melati.
"Iya, insya Allah dua hari lagi...." Nada tidak bisa menahan senyuman yang
merekah begitu lebar di wajahnya. Dadanya diluapi kebahagiaan.
Telinga Nada seperti berdiri mendengar selingan suara yang tidak dibutuhkannya
itu. Disusul, sebuah tarikan di ujung belakang kerudungnya, memaksanya
berhenti berputar-putar. Tanpa melihat pun Nada tahu siapa biang keroknya.
Kesal, dia menepiskan tangan Tristan yang jail. Juga berkelit menghindari uluran
tangan yang hendak merampas ponsel yang masih menempel di pipinya.
"Apa sih!" hardik Nada galak. "Siapa bilang ini Haykal? Sok tahu!" sangkalnya.
Gadis itu melindungi ponselnya dengan kedua tangan.
"Hai, Bro. Dua hari lagi ya. Pakai baju yang rapi ya lo. Jangan gendong
backpack. Hahaha. Semua persiapan beres, kan?" ujarnya dalam senyum. "Oh,
begitu. Ya, bagus. Jadi ortu lo langsung dari Singapura? Mmm.... Ya. Mmm...."
Nada berlari-lari kecil berusaha mengejar abangnya yang terus menjauh dalam
langkah-langkah lebar. Nada bertekad menghentikannya. Dia tahu persis
kelakukan Tristan bila berurusan dengan Haykal. Kejailan Tristan tidak kenal
kata setengah-setengah.
"Lo udah belajar bacaan surat yang panjang belom, Bro? Lha, kok buat apa. Lo
belum tahu, bakal disuruh ngimanin shalat di rumah nanti? Mmm. Yah, kan
ospek dari Bokap memang begitu. Lo bisa ditendang keluar Jakarta kalau berani
jadi imam cuma bermodal hafalan Juz 'Amma. Hahaha." Dengan tangannya
yang bebas, Tristan menepis lengan adiknya, lalu melompati pot-pot bunga,
melarikan diri. "Bokap galak? Bukan galak lagi, bokap gue killer. Mmm.... Apa
ya? Yaah, minimal surah Ali 'Imran, deh. Oh, berapa ayat? Yaah. Kira-kira 200
ayat...."
"Apa, Bro? Mati? Wah, jangan Bro. Jangan mati dulu, Bro. Adik gue patah hati
nanti.... Belajar saja dulu surahnya ya, hafalin yang banyak, benerin tajwid-
nya...."
"TRISTAAAAN1 Ngacoooo!"
END