Bahasa Pers, Antara Ketaatan Dan Pengingkaran

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 12

BAHASA PERS, ANTARA KETAATAN

DAN PENGINGKARAN
Ahmadun Yosi Herfanda
Redaktur Sastra Republika
ABSTRACT
As public reading, mass media, aspecially newspaper, is most intensive information media
dialogue with society (reader). Newspaper not only presenting any important information, but
also various ideas to smart and enableness of society. Added by control function, newspaper
become important media to forming public opinion, and even agent change of social.
In running the function of as information media, media control and forming of public opinion,
and also agent change of that social, national newspaper exploit Indonesian. In consequence,
what until to reader not merely newspaper content, but also follow the example of or byword in
have Indonesian. Realized or not, newspaper become one of the reference of is necessary for
society in have correct and good Indonesian to.
Especial guidance of journalese, or which was often referred as “mass media Ianguage”, is
standard Indonesian. But, in practice him, each newspaper develop “language style” alone, so
that expand immeasurable mass media Ianguage variant. That variant not only in elocution and
presentation of article, but also in spelling, especially in writing of absorption words of foreign
Ianguage, like Arab Ianguage, English, and Latin.
Difference of mass media Ianguage variant or style will immeasurable more and more if us
perceive writing of absorption words of other foreign Ianguage. Also if us perceive news title
stylistic which eliminating many suffix and prefixes, and also trespass principle forming of word
(morphology). Not to mention if us perceive elocution in writing of news. So that, in mass media
Ianguage variant found by variant again, typically the each newspaper.
So far, mass media circle tend to to assume that mass media Ianguage style as equity, with
argument that mass media Ianguage is true as separate vaian. There is also from mass media
circle assuming that setlement of Ianguage conducted by Pusat Bahasa Depdiknas tend to
dropped behind, so that they intend placed x’self in ” front line” development of Indonesian,
including pioneering setlement of absorbent new terms of vernacular and foreign Ianguage.
Among them there even exist which isn’t it ” setlement” with his own principle. Is seen from
Indonesian dynamics side as Ianguage which is life and continue to spring up, role of just the
journalese of course the best of. But, seen from important side of him permanence of Indonesian,
straggling of variation of in that mass media Ianguage variant of flange can bewilder society of
Indonesian. And, what most harm is society which subscribe to newspaper which the was
Indonesian of ugly mean or far below the mark correct and good Indonesian. On a long term,
condition of like that potential to of course follow to destroy growth of Indonesian as a whole.
Because that ugly possibility, presumably Pusat Bahasa require to construction of Ianguage by
intensive again to journalist circle and newspaper editor, to be more obedient them at 2
principles have correct and good Indonesian. While to depress tendency and straggling of mass
media Ianguage variation, circle organizer of national newspaper require to “formulation with”
mass media Ianguage style having the national character, to become guidance with. Will far
better if national mass media have Ianguage style which relative uniform and do not each other
differing one another.
1. Pendahuluan
Istilah pers, menurut Haris Sumadiria, mengandung dua arti.1 Arti sempit dan arti luas. Dalam
arti sempit, pers hanya menunjuk kepada media cetak berkala, yakni surat kabar, tabloid, dan
majalah. Sedangkan dalam arti luas, istilah pers tidak hanya menunjuk pada media cetak berkala,
tapi juga mencakup media elektronik auditif dan audiovisual berkala, yakni radio, dan televisi,
serta media on line, yakni internet. Dalam arti luas, pers juga disebut media massa.
Karena itu, pengertian bahasa pers dalam arti luas juga menunjuk pada bahasa (Indonesia) yang
dipakai oleh media massa. Namun, karena terlalu luasnya ruang lingkup bahasa pers, maka
pembahasan dalam makalah ini hanya akan difokuskan pada bahasa pers dalam pengertian
sempit tersebut, yakni bahasa (Indonesia) yang digunakan oleh media cetak berkala, seperti surat
kabar, tabloid, dan majalah, khususnya surat-surat kabar nasional. Kalaupun dalam pembahasan
nanti kadang-kadang juga menyebut bahasa Indonesia di media on line (internet), hanya
dimaksudkan untuk memperluas cakupan pemakaian istilah tertentu guna melihat saling
pengaruh ataupun dampak pemakaian bahasa tersebut secara lebih luas.
Dalam pengertian yang lebih spesifik, bahasa pers sering juga disebut bahasa jurnalistik.2 Istilah
spesifik — bahasa
1 Sumadiria, AS Haris, Jurnalistik Indonesia, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, cetakan
ketiga, 2008, halaman 31.
2 Menurut Ensiklopedi Indonesia (Hassan Sadhily, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1992),
jurnalistik adalah bidang profesi yang mengusahakan jurnalistik — ini hanya menunjuk pada
bahasa (Indonesia) yang digunakan oleh wartawan atau jurnalis dalam menulis karya-karya
jurnalistik yang berupa berbagai tipologi berita, seperti berita langsung (straight news), berita
investigatif (investigative news), berita komprehensif (comprehensive news), dan berita kisah
(feature). Karena itu, pembicaraan tentang bahasa jurnalistik tidak pernah memasukkan tipologi
tulisan di luar berita, seperti artikel ilmiah popular dan esei (opini), kolom, advertorial, serta fiksi
(cerpen dan novel), yang juga banyak terdapat di media cetak.
Pemanfaatan bahasa pers secara spesifik tentu tidak lantas mencerabutnya dari bahasa Indonesia
baku. Bagaimanapun, bahasa pers tetap merupakan bagian dari “keluarga besar” bahasa
Indonesia, bersama anggota-anggota keluarga lainnya, seperti bahasa sastra, bahasa ilmiah,
bahasa politik, bahasa gaul, dan bahasa komedi. Dengan kata lain, bahasa pers adalah salah satu
varian dari bahasa Indonesia. Karena itu, meskipun berkembang dengan karakter khas – singkat,
padat, jelas, lugas, menarik, demokratis, dan progresif3 — bahasa pers tetap berinduk pada
bahasa Indonesia baku. Artinya, dalam pengembangannya, seprogresif apapun dalam
memperkenalkan kosa-kosa kata baru, bahasa pers tetap harus menjadikan bahasa Indonesia
baku sebagai rujukan utama, serta tetap harus taat pada kaidah dan etika berbahasa Indonesia
yang baik dan benar.
penyajian informasi tentang kejadian dan atau kehidupan sehari-hari secara berkala, dengan
menggunakan sarana-sarana penerbitan yang ada.
3 Dalam buku Jurnalistik Indonesia, AS Haris Sumadiria MSi, opcit, memberikan 11 ciri bahasa
pers, yakni sederhana, singkat, padat, lugas, jelas, jernih, menarik, demokratis, mengutamakan
kalimat aktif, menghindari kata atau istilah teknis, dan tunduk kepada kaidah dan etika bahasa
baku. Pakar-pakar pers lain, seperti Ashadi Siregar, umumnya hanya menyebut lima ciri bahasa
pers, yakni singkat, padat, jelas, lugas, dan menarik. Saya kira ada satu ciri lagi yang perlu
ditambahkan pada bahasa pers, yakni progresif. Sebab, bahasa pers selama ini menunjukkan ciri
yang sangat progresif dalam menggali dan memperkenalkan kosa-kosa kata baru, baik yang
diambil dari bahasa daerah, bahasa serumpun, maupun bahasa asing.
2. Posisi Bahasa Pers
Posisi atau kedudukan bahasa pers dapat dilihat dari dua sisi. Dari sisi keudukannya terhadap
bahasa Indonesia baku, bahasa pers adalah salah satu varian, di samping varian-varian yang lain,
seperti bahasa sastra, bahasa gaul, bahasa ilmiah, bahasa politik, dan bahasa komedi. Sedangkan
dari sisi kedudukannya di tengah masyarakat pemakai bahasa Indonesia, bahasa pers adalah
salah satu rujukan penting, dan bahkan “guru bahasa” bagi pembinaan dan pengembangan
bahasa Indoensia yang baik dan benar. Dengan demikian, baik-buruknya perkembangan bahasa
Indonesia di masyarakat juga ikut ditentukan oleh bahasa pers.
Posisi bahasa pers yang sangat strategis tersebut tidak terlepas dari fungsi dan peran pers bagi
masyarakat. Sebagai bacaan publik sehari-hari, media massa cetak, khususnya surat kabar,
merupakan media informasi yang paling intensif berdialog dengan masyarakat (pembaca). Surat
kabar tidak hanya menyajikan berbagai informasi penting, tapi juga berbagai gagasan
pencerdasan dan pemberdayaan masyarakat. Ditambah fungsi kontrol yang diembannya, surat
kabar menjadi media penting pembentukan opini publik, dan bahkan agen perubahan sosial.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, media kontrol dan pembentukan opini
publik, serta agen perubahan sosial itu, surat kabar nasional memanfaatkan bahasa Indonesia.
Karena itu, yang sampai kepada pembaca bukan hanya isi surat kabar bersangkutan, tapi juga
contoh atau keteladanan dalam berbahasa Indonesia. Surat kabar akan menjadi salah satu rujukan
penting bagi masyarakat dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Secara universal, dan diadopsi ke dalam UU Pokok Pers, pers memiliki lima fungsi utama.
Pertama, fungsi informasi (to inform), yakni memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat
secepat-cepatnya. Kedua, fungsi edukasi (to educate), yakni apapun informasi yang
disebarluaskan oleh pers hendaknya dalam rangka mendidik masyarakat.
Ketiga, fungsi koreksi (to influence) atau juga sering disebut fungsi kontrol, yakni ikut
mengontrol kekuasaan legislatif, eksekitif, dan yudikatif, agar tetap berjalan pada rel (aturan
main) yang benar. Keempat, fungsi rekreasi (to entertain), yakni pers juga harus bisa menjadi
wahana hiburan yang sehat dan mencerahkan. Dan, kelima, fungsi mediasi (to mediate), yakni
pers harus dapat menjadi mediator untuk menyampaikan kabar tentang berbagai peristiwa
penting yang terjadi di berbagai belahan dunia.
Dalam kaitannya dengan fungsi edukasi itu pula pers dituntut untuk dapat mendidik pembacanya
dalam pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sebab, fungsi edukasi tidak saja harus
tercermin pada materi isi berita, gambar, fiksi dan artikel-artikelnya, tetapi juga harus tampak
pada bahasanya. Dalam hal ini, pada tingkat wacana, semua pakar dan praktisi pers sepakat,
bahwa bahasa yang dipakai oleh pers, ataupun media massa, harus merujuk pada bahasa
Indonesia baku, yakni bahasa Indonesia resmi sesuai dengan ketentuan tata bahasa dan pedoman
ejaan yang disempurnakan berikut pedoman pembentukan istilah yang menyertainya.
Dewasa ini pers, dengan berbagai rubrikasinya, juga semakin dianggap sebagai salah satu
sumber terpenting ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, tentu juga sumber ilmu pengetahuan bahasa
sekaligus contoh praktek berhasa Indonesia yang baik dan benar. Dalam posisi ini, dan dalam
kaitannya dengan fungsi edukasi tadi, sebenarnya dapat dikatakan bahwa pers adalah “guru
bahasa” yang langsung mencontohkan praktek berbahasa Indonesia yang baik dan benar bagi
masyarakat luas, dan contoh prakteknya adalah bahasa pers itu sendiri.
Dengan demikian, sesungguhnya bahasa pers menempati posisi yang sangat strategis sebagai
rujukan dan teladan berbahasa bagi masyarakat luas. Fungsi keteladanan bahasa pers akan
semakin fital, jika mengingat intensitas dan frekuensinya yang tinggi dalam berdialog dengan
masyarakat (pembaca). Karena itu, tidak ada kata lain bagi bahasa pers
4 Sumadiria, AS Haris, opcit., halaman 58-59.
untuk tidak menaati kaidah dan etika berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Kaidah yang dimaksud meliputi kaidah penyusunan kalimat yang benar (sintaksis), kaidah
pembentukan kata yang benar (morfologi), sampai kaidah pengejaan dan pedoman pembentukan
istilah serta penyerapan kata-kata dari bahasa asing. Sedangkan etika berbahasa menyangkut
kesantunan berbahasa sesuai dengan cita rasa budaya Indonesia. Misalnya, menghindari kata-
kata yang tidak sopan, vulgar, porno, dan berselera rendah.
Pada tingkat wacana, para pakar dan praktisi pers umumnya sepakat bahwa bahasa pers yang
berkualitas adalah bahasa pers yang tetap taat pada kaidah-kaidah bahasa baku, selalu menaati
prinsip-prinsip dan etika berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Kesepakatan ini sering kita
dengar dalam berbagai forum pembahasan dan buku-buku tentang bahasa pers. Tetapi, dalam
praktek masih sangat sering terlihat kenyataan yang berbeda: terjadi banyak pengingkaran
terhadap kesepakatan ideal tersebut.
3. Jutaan Kesalahan
Pada uraian sebelum ini telah dijelaskan bahwa bahasa pers adalah salah satu varian dari bahasa
Indonesia, dan karena itu tetap harus taat pada kaidah dan etika bahasa Indonesia baku. Tesis
tersebut juga mengisyaratkan bahwa bahasa pers adalah satu varian – bukan banyak varian – dari
bahasa Indonesia. Dengan demikian, mestinya varian bahasa semua pers – semua surat kabar,
semua tabloid, semua majalah, dan semua media on line – berada dalam satu varian bahasa yang
sama, dan sama-sama taat pada kaidah dan etika bahasa Indonesia baku.
Namun, dalam prakteknya, masing-masing surat kabar mengembangkan “gaya bahasa”5 sendiri,
termasuk dalam
5 Pemakaian istilah “gaya bahasa” di sini tidak dalam pengertian majas, tapi meliputi gaya
penuturan sampai penulisan kata-kata serapan, seperti terlihat pada buku Gaya Bahasa Republika
2007, yang mengatur sejak gaya penulisan judul berita, teras berita, tubuh berita, kutipan, tanda
baca, gelar penulisan kata-kata serapan, sehingga berkembanglah varian bahasa pers yang
beragam. Dengan kata lain, di dalam varian bahasa pers juga muncul varian-varian tersendiri,
atau yang lebih tepat disebut sub varian. Sehingga, gaya bahasa tiap media massa cetak dan
media massa on line cenderung berbeda-beda. Misalnya, ada “gaya bahasa” khas Republika, ada
“gaya bahasa” khas Koran Tempo, ada “gaya bahasa” khas Kompas, dan bervariasi pula “gaya
bahasa” media-media on line.
Keberagaman varian itu tidak hanya dalam gaya bertutur dan penyajian tulisan untuk memenuhi
prinsip-prinsip bahasa pers — singkat, padat, jelas, lugas, menarik, demokratis, dan progresif —
tetapi juga dalam ejaan, terutama dalam penulisan kata-kata serapan dari bahasa asing, seperti
bahasa Arab, Inggris, dan Latin. Dalam penulisan kata-kata serapan dari bahasa asing itu tidak
ada keseragaman antar-pers, sehinga banyak kata-kata serapan yang ditulis dalam dua sampai
tiga versi.
Ironisnya, sebagian besar penulisan kata-kata serapan itu tidak mengikuti pedoman pembentukan
istilah yang telah dirumuskan oleh Pusat Bahasa Depdiknas. Bahkan, banyak yang melakukan
pengejaan sendiri yang berbeda dengan ejaan kosa kata yang telah dibakukan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dengan kata lain, banyak praktisi pers yang mengingkari
komitmen untuk taat pada kaidah dan etika bahasa Indonesia baku. Jika dicari dan dihitung
melalui google, jumlah pengingkaran (kesalahan) seperti itu bahkan dapat mencapai jutaan
kasus.
Sebagai contoh aktual adalah dalam penulisan kata-kata serapan dari bahasa Arab, yakni kata-
kata yang sebenarnya telah dikenal selama berabad-abad dan menjadi keseharian masyarakat,
seperti salat, takwa, wudu dan ustaz, masing-masing surat kabar memilih ejaan yang berbeda-
beda. Untuk kata salat, misalnya, Koran Tempo dan Kompas, memilih cara penulisan yang telah
dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yakni salat. Sedangkan Republika
memilih
dan nama diri, sampai penulisan partikel, pengejaan, tata kalimat, dan penulisan kata-kata
serapan.
mengembalikannya pada transliterasi6 langsung dari Arab ke Latin, yang lebih dekat dengan
pengucapan Arabnya, yakni shalat. Bahkan, sejak bulan Ramadhan yang lalu, khususnya pada
rubrik Dunia Islam, Republika menulis salat dengan sholat. Begitu juga untuk kata takwa, Koran
Tempo dan Kompas mengikuti cara penulisan yang telah dibakukan dalam KBBI, yakni takwa.
Sedangkan Republika, sama dengan kasus kata salat, memilih taqwa.
Tetapi, Kompas dan Koran Tempo juga tidak selalu benar. Dalam penulisan kata ustaz justru
yang benar (sesuai dengan yang dibakukan dalam KBBI) hanya Koran Sindo dan Suara
Merdeka, yakni ustaz. Sedangkan Kompas dan Koran Tempo memilih ustad, dan Republika lagi-
lagi berpedoman pada prinsip transliterasi Arab-Latin, yakni ustadz. Sedangkan untuk penulisan
kata wudu, tidak ada satupun surat kabar yang mengikuti KBBI, dengan menulis wudu. Rata-rata
surat kabar menulis wudhu, atau wudlu. Begitu juga media-media on line.8
Perbedaan gaya atau varian bahasa pers, atau lebih tepatnya ketidakseragaman penulisan kata-
kata serapan, akan makin terlihat parah kalau kita mengamati penulisan kata-kata serapan dari
bahasa asing lainnya, terutama kata-kata asing yang berasal dari bahasa Inggris, seperti iven
(event) dan gender, dua istilah yang relatif baru dan banyak dipakai di media massa. Rata-rata
surat kabar menulis jender, padahal yang benar menurut KBBI adalah gender. Sedangak untuk
kata iven – belum dibakukan dalam KBBI – hanya Republika yang menulis iven. Sedangkan
Kompas, Koran Tempo, dan Jawa Pos, memilih even.
6 Transliterasi dalam konteks ini adalah penyalinan dengan penggantian huruf dari abjad yang
satu (Arab) ke abjad yang lain (Latin), tanpa penyesuaian dengan kaidah pembentukan istilah
bahasa yang bersangkutan.
7 Bukti-bukti penyimpangan ini dengan mudah dapat ditemukan melalui mesin pencari kata,
google. Sedangkan untuk menguji kebakuannya, atau memilih kata mana yang baku, dapat
memanfaatkan KBBI on line di pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi.
8 Bukti-bukti penyimpangan ini juga dengan gampang dapat ditemukan melalui google.
Dari fakta-fakta tersebut di atas sudah terlihat betapa masih simpang siurnya sistem penulisan
kata-kata serapan dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia, dan betapa banyak kesalahan
atau penyimpangan yang terjadi. Jika dihitung, dalam sehari mungkin ada puluhan, bahkan
ratusan, kesalahan penulisan kata serapan yang terjadi di pers atau media massa Indonesia.
Sebab, pelacakan melalui google, dengan memilih pencarian dalam bahasa Indonesia,
menemukan jutaan kesalahan penulisan kata-kata serapan dari bahasa asing ke bahasa Indonesia,
pada jutaan materi tulisan yang dapat diakses.
Untuk kata salat, misalnya, ditemukan 3.000.000 materi tulisan dengan kata shalat dan 746.000
materi tulisan dengan kata sholat, termasuk materi-materi tulisan yang dimuat Republika. Berarti
ada 3.746.000 kesalahan penulisan kata salat. Untuk penulisan kata ustaz, ditemukan 2.280.0000
materi tulisan dengan kata ustad dan 694.000 materi tulisan dengan kata ustadz, termasuk materi
tulisan di Kompas, Koran Tempo, dan Republika. Berarti ada 2.974.000 kesalahan penulisan
kata ustaz. Sedangkan untuk penulisan kata takwa, ditemukan 887.000 materi tulisan dengan
kata taqwa. Dan, untuk penulisan kata wudu, ditemukan 331.000 materi tulisan dengan kata
wudhu, dan 59.800 materi tulisan dengan kata wudlu.
Jika dijumlah, terhitung sampai tanggal 20 September 2008, ketika pencarian dilakukan, hanya
dalam penulisan empat kata serapan saja – salat, ustaz, takwa, dan wudu – terjadi 7.997.000
(hampir delapan juta) kesalahan penulisan di berbagai media masaa cetak dan on line berbahasa
Indonesia yang dapat diakses melalui google. Jumlah kesalahan penulisan kata serapan akan
lebih banyak lagi jika ditambah semua kata serapan yang ada dalam bahasa Indonesia dan juga
ditambah yang terjadi di media-media yang tidak dapat diakses melalui google.
Jika pengamatan diperluas lagi, akan banyak ditemukan lagi gaya penulisan judul berita yang
banyak menghilangkan awalan dan akhiran, serta menyalahi kaidah pembentukan kata jadian
(morfologi). Belum lagi kalau kita mengamati gaya bertutur dalam penulisan berita di berbagai
surat kabar, yang sering dipenuhi kalimat-kalimat yang tidak logis dan tidak baku.
Begitu juga kalau kita mencermati media-media cetak bersegmen remaja, yang ditaburi gaya
bahasa gaul yang sama sekali tidak baku, tidak hanya pada kutipan langsung tapi juga pada
narasi-narasi yang mestinya menggunakan bahasa Indonesia baku.
Ketidakbakuan, atau ketidakseragaman, menjadi parah terutama karena keterbatasan kemampuan
wartawan dan redaktur masing-masing media massa dalam berbahasa tulis, serta kurangnya
wawasan dan persepsi mereka tentang bahasa Indonesia yang baik dan benar. Yang lebih banyak
mereka sumbang bisa jadi adalah “kesalahan” berbahasa, tapi pembaca bisa jadi menganggapnya
sebagai contoh berbahasa Indonesia yang baik dan benar, atau bahasa Indonesia yang sedang
tren, sehingga mereka tiru begitu saja. Dan, di sinilah letak bahayanya, karena tanpa sadar media
massa dan masyarakat secara bersama-sama akan merusak bahasa Indonesia.
4. Penyebab dan Solusi
Jika ditelusur dan dikaji dengan seksama, ada beberapa faktor penyebab terjadinya pengingkaran
oleh kalangan pers terhadap kaidah bahasa Indonesia baku.
Pertama, perbedaan pedoman pembentukan istilah yang diserap dari bahasa asing, khususnya
Arab, ke bahasa Indonesia. Beberapa surat kabar dan media on line, seperti Republika dan
eramuslim.com, berpedoman pada kaidah transliterasi internasional, yakni sebatas penyalinan
dengan penggantian huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain, yakni dari abjad Arab ke
abjad Latin. Jadi, kata-kata seperti sholat hanya diganti huruf-hurufnya dari abjad Arab ke abjad
Latin, sehingga pengucapannya tetap dibiarkan dalam pengucapan bahasa aslinya. Dengan kata
lain, kata-kata tersebut tidak diindonesiakan.
Sedangkan KBBI berpedoman pada Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), dengan semangat
mengindonesiakan atau menyerap penuh kata-kata tersebut menjadi kata-kata dalam citarasa
bahasa Indonesia. Karena dalam dalam EYD tidak dikenal gabungan konsonan sh, maka shalat
ditulis salat. Tapi, karena Republika berpedoman pada prinsip transliterasi tadi, maka tetap
menulisnya dengan shalat atau sholat. Jadi, kata tersebut tidak diindonesiakan, tapi hanya disalin
abjadnya saja.
Kedua, KBBI mengubah cita rasa kata sholat dari cita rasa bahasa Arab ke cita rasa bahasa
Indonesia, sehingga menulisnya dengan salat. Sedangkan Republika dan beberapa media lain,
khususnya media yang sangat kental semangat Islamnya, tetap mempertahankan cita rasa bahasa
aslinya, yakni bahasa Arab, sehingga menulisnya dengan sholat.
Ketiga, ada semacam kekhawatiran di kalangan praktisi media Islam, dan sementara
cendekiawan Muslim, jika kata sholat sepenuhnya diindonesiakan menjadi salat, maknanya akan
terdistorsi, sehingga kesan sakralnya menjadi hilang. Jadi, ada semacam alasan ideologis di
antara mereka. Begitu juga halnya dengan kata taqwa dan ramadhan, dengan alas an ideologis
yang sama juga dipilih yang tetap memiliki cita rasa bahasa aslinya, tanpa sepenuhnya
diindonesiakan. Belakangan, bahkan beberapa media massa Islam, cetak maupun on line, lebih
memilih kata saum daripada puasa. Sedangkan Pusat Bahasa, dalam melakukan pembakuan ke
dalam KBBI kurang mempertimbangkan aspek-aspek non-kebahasaan tersebut, sehingga terlalu
“nasionalis”.
Keempat, khusus untuk kata-kata serapan baru, yang dewasa ini bertaburan di media massa dan
komunikasi masyarakat sehari-hari, baik dari bahasa asing maupun dari bahasa gaul dan bahasa
daerah, seperti iven (event), dan jomblo, Pusat Bahasa dengan KBBI, yang diperbaharui hanya
lima tahun sekali, terkesan tertinggal atau terlambat, sehingga media massa melakukan
pembakuan sendiri dengan cara masing-masing.
Dan, faktor penyebab kelima, tentu adalah kurangnya wawasan dan kemampuan para wartawan
serta redaktur media massa dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar, sehingga tulisan-
tulisan mereka tidak mencerminkan sebagai contoh bahasa tulis yang baik dan benar.
Selain fator-faktor tersebut di atas, selama ini juga banyak kalangan pers yang cenderung
menganggap bahwa keberagaman gaya bahasa pers sebagai kewajaran, dengan argumentasi
bahwa bahasa pers memang merupakan vaian tersendiri yang dipraktekkan secara luwes,
progresif dan kontekstual, agar bahasa pers selalu menarik dan sangat dekat dengan realitas
bahasa yang berkembang di masyarakat. Dan, persoalan sering muncul, karena dalam praktek
tersebut banyak kalangan pers yang mengabaikan kaidah-kaidah bahasa Indonesia baku.
Tidak kurang pula dari kalangan pers yang menganggap bahwa media massa memang
merupakan “pelopor” pengembangan dan pembakuan bahasa Indonesia, sehingga mereka
sengaja menempatkan diri di “garis depan” pengembangan bahasa Indonesia, termasuk
memelopori pembakuan istilah-istilah baru yang diserap dari bahasa asing dan bahasa daerah
guna memperkaya kosa kata bahasa Indonesia. Hanya masalahnya, sekali lagi, mereka
melakukan “pembakuan” dengan aturan sendiri, sehingga menyalahi prosedur pembakuan yang
telah dipedomankan oleh Pusat Bahasa Depdiknas.
Dilihat dari sisi dinamika bahasa Indonesia sebagai bahasa yang hidup dan terus bertumbuh,
peran kebahasaan media massa yang progresif tersebut tentu baik-baik saja asal tetap
berpedoman pada kaidah yang baku dan ada keseragaman antar-media massa. Jika tidak ada
keseragaman, dilihat dari sisi pentingnya kebakuan bahasa Indonesia, keliaran variasi di dalam
varian bahasa pers itu tentu dapat mengarah pada pijinisasi bahasa dan dapat membingungkan
masyarakat pemakai bahasa Indonesia. Dan, yang paling dirugikan adalah masyarakat yang
berlangganan surat kabar yang bahasa Indonesianya rata-rata buruk atau jauh di bawah standar
bahasa Indonesia yang baik dan benar. Karena mengganggap bahasa surat kabar yang dibacanya
adalah benar — padahal penuh kesalahan — maka bahasa Indonesia mereka bisa ikut rusak.
Dalam jangka panjang, kondisi seperti itu tentu potensial ikut merusak perkembangan bahasa
Indonesia secara keseluruhan.
Karena kemungkinan buruk itulah, kiranya Pusat Bahasa perlu melakukan pembinaan bahasa
secara lebih intensif lagi terhadap kalangan wartawan dan redaktur media massa, agar mereka
lebih taat pada kaidah-kaidah dan etika berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Untuk
menekan kecenderungan pijinisasi dan keliaran variasi bahasa pers, kalangan pengelola media
massa nasional juga perlu melakukan semacam “perumusan bersama” gaya bahasa pers yang
bersifat nasional, untuk menjadi pedoman bersama.
Sedangkan untuk mengurangi ketertinggalan, kiranya Pusat Bahasa perlu memperpendek
frekuensi pembakuan kata-kata serapan baru, yang semula lima tahun sekali menjadi setahun
sekali. Hal ini sangat dimungkinkan dengan telah adanya KBBI on line, agar dapat menjadi
rujukan yang tetap aktual bagi semua pemakai bahasa Indonesia, khususnya kalangan pers, guna
menghindari kesimpangsiuran penulisan kata-kata seraan baru. Hal yang juga sangat penting
adalah memasyarakatkan KBBI on line secara lebih luas dan intensif.
5. Penutup
Meskipun tetap diperlakukan sebagai varian bahasa tersendiri, tetap akan jauh lebih baik jika
pers nasional memiliki gaya bahasa yang seragam, dan masing-masing surat kabar tidak
mengembangkan gaya bahasanya sendiri yang saling berbeda satu sama lain. Tentu, gaya bahasa
pers nasional yang disepakati bersama itu diupayakan betul-betul berdasarkan kaidah bahasa
Indonesia baku, gaya bahasa Indonesia yang baik dan benar, seperti yang telah dipedomankan
oleh Pusat Bahasa Depdiknas.
Bagaimanapun, Pusat Bahasa telah bekerja keras selama puluhan tahun untuk melakukan
pembakuan bahasa Indonesia berdasarkan kaidah-kaidah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sangatlah tidak bertanggung jawab jika upaya tersebut malah diingkari oleh kalangan media
massa, yang mestinya justru harus mendukung penuh upaya pembakuan tersebut.
Jakarta, 20 September 2008
DAFTAR RUJUKAN
1. Anderson, Douglas A., News Writing and Reporting for Today’s Media, McGraw-Hill Inc,
New York, 1994.
2. Connery, Thomas B., A Sourcebook of American Literary Journalism, Greenwood Press, New
York, 1992.
3. Charity, Arthur, Doing Public Journalism, The Guilford Press, New York, 1995.
4. Hadimaja, Aoh K., Seni Mengarang, Pustaka Jaya, Jakarta, 1982.
5. Mansoor, Sofia, dan Nik Solihin, Peristilahan, Penerbit ITB, Bandung, 1993.
6. Mappatoto, Andi Baso, Teknik Penulisan Feature, Gramedia, Jakarta, 1992.
7. PWI Pusat, Pers Nasional, Himpunan Peraturan dan Perundang-Undangan, Yayasan Pengelola
Sarana Pers Nasional, Jakarta, 1989.
8. Provost, Gary, 100 Cara untuk Meningkatkan Penulisan Anda, Dahara Prize, Semarang, 1987.
9. Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), edisi III, 2008.
10. Razak, Abdul, Kalimat Efektif, Struktur, Gaya dan Variasi, Gramedia, Jakarta, 1986.
11. Republika, Redaksi, Gaya Bahasa Republika 2007, Republika, Jakarta, 2007.
12. Rivers, William L., Etika Media Massa dan Kecenderungan untuk Melanggarnya, Gramedia,
Jakarta, 1997.
13. Siregar, Ashadi dkk., Bagaimana Menjadi Penulis Media Massa, Karya Unipress,
Yogyakarta, 1982.
14. Strentz, Herbert, Reporter dan Sumber Berita, Gramedia, Jakarta, 1993.
15. Sudarsana, Gunawan, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan,
Indonesia Tera, Magelang, cetakan kelima, 2008.
16. Sumadiria, AS Haris, Drs., MSi, Jurnalistik Indonesia, Simbiosa Rekatama Media, Bandung,
cetakan ketiga, Juli 2008.
17. Tarigan, Henry Guntur, Menulis sebagai Keterampilan Berbahasa, Angkasa, Bandung, 1983.
18. Tim Pustaka Widyatama, EYD Lengkap, Pustaka Widiatama, Yogyakarta, cetakan pertama,
2008.
BIOGRAFI
AHMADUN YOSI HERFANDA, lahir di Kaliwungu, Kendal, 17 Januari 1958. Alumnus FPBS
IKIP Yogyakarta ini menyelesaikan S-2 jurusan Magister Teknologi Informasi pada Universitas
Paramadina Mulia, Jakarta. Ia pernah menjadi Ketua III Himpunan Sarjana Kesastraan Indonesia
(HISKI, 1993-1995), dan ketua Presidium Komunitas Sastra Indonesia (KSI, 1999-2002). Tahun
2003, bersama cerpenis Hudan Hidayat dan Maman S. Mahayana, mendirikan Creative Writing
Institute (CWI).
Ahmadun juga sempat menjadi anggota Dewan Penasihat dan (kini) anggota Mejelis Penulis
Forum Lingkar Pena (FLP). Tahun 2006 terpilih menjadi anggota DKJ, tapi kemudian
mengundurkan diri. Tahun 2007 terpilih menjadi ketua umum Komunitas Cerpenis Indonesia
(periode 2007-2010), dan tahun 2008 terpilih sebagai ketua umum Komunitas Sastra Indonesia
(KSI). Sehari-hari kini ia menjadi redaktur sastra Harian Umum Republika Jakarta, dan tutor
sastra Pusat Bahasa Depdiknas.
Selain puisi, Ahmadun juga banyak menulis cerpen dan esei. Karya-karyanya dipublikasikan di
berbagai media sastra dan antologi puisi yang terbit di dalam dan luar negeri. Antara lain,
Horison, Ulumul Qur’an, Kompas, Media Indonesia, Republika, Bahana (Brunei), antaologi
puisi Secreets Need Words (Harry Aveling, ed, Ohio University, USA, 2001), Waves of Wonder
(Heather Leah Huddleston, ed, The International Library of Poetry, Maryland, USA, 2002),
jurnal Indonesia and The Malay World (London, Ingris, November 1998), The Poets’ Chant (The
Literary Section, Committee of The Istiqlal Festival II, Jakarta, 1995).
Beberapa kali sajak-sajak Ahmadun dibahas dalam Sajak-Sajak Bulan Ini Radio Suara Jerman
(Deutsche Welle). Cerpennya, Sebutir Kepala dan Seekor Kucing memenangkan salah satu
penghargaan dalam Sayembara Cerpen Kincir Emas 1988 Radio Nederland (Belanda) dan
dibukukan dalam Paradoks Kilas Balik (Radio Nederland, 1989). Tahun 1997 ia meraih
penghargaan tertinggi dalam Peraduan Puisi Islam MABIMS (forum informal Menteri Agama
Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura).
Sebagai sastrawan dan jurnalis, Ahmadun sering diundang untuk menjadi pembicara dan
membaca puisi dalam berbagai seminar serta iven sastra nasional maupun internasional. Tahun
1998 ia diundang untuk membacakan sajak-sajaknya dalam Festival Kesenian Perak di Ipoh,
Malaysia. Tahun 1997 ia menjadi pembicara dalam Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) IX
Padang. Tahun 1999 ia mengikuti PSN X di Johor Baharu, Malaysia, dan menjadi pembicara
pada Pertemuan Sastrawan Muda Nusantara Pra-PSN di Malaka. Tahun 2002 ia menjadi
pembicara dan membacakan sajak-sajaknya dalam festival kesenian Islam di Universitas Al
Azhar, Cairo, Mesir.
Kemudian, pada Agustus 2003 Ahmadun diundang untuk membacakan sajak-sajaknya dalam
simposium penyair The International Society of Poets di New York, AS. September 2004
menjadi pembicara dalam PSN XIII di Surabaya. Mei 2007 menjadi pembicara dalam Pesta
Penyair Indonesia 2007, Sempena The 1st Medan International PoetryGathering, Taman Budaya
Sumatera Utara, Medan. Oktober 2005 dan Oktober 2007 menjadi pembicara dan Kongres
Cerpen Indonesia (KCI) IV di Pekanbaru, dan KCI V di Banjarmasin. Januari 2008 menjadi
pembicara dan ketua siding pada Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Kudus.
Buku-buku Ahmadun yang telah terbit adalah Sang Matahari (puisi, Nusa Indah, Ende, 1984),
Sajak Penari (puisi, Masyarakat Poetika Indonesia, Yogyakarta, 1991), Fragmen-Fragmen
Kekalahan (puisi, Penerbit Angkasa, Bandung, 1996), Sembahyang Rumputan (puisi, Yayasan
Bentang Budaya, Yogyakarta, 1996), Sebelum Tertawa Dilarang (cerpen, Balai Pustaka, Jakarta,
1997), Ciuman Pertama Untuk Tuhan (puisi dwi-bahasa, Logung Pustaka, 2004), Sebutir Kepala
dan Seekor Kucing (cerpen, Being Publishing, 2004), Badai Laut Biru (cerpen, Senayan Abadi
Publishing, Jakarta, 2004), dan The Worshipping Grass (puisi dwi bahasa, Bening Publishing,
Jakarta, 2005).
Buku-buku terbaru Ahmadun yang sedang dalam proses terbit, antara lain Resonansi Indonesia
(kumpulan puisi), Metafor Cinta, Dialektika Antara Sastra, Alquran dan Tasawuf (esei panjang),
Kolusi (kumpulan cerpen) dan Koridor yang Terbelah (kumpulan esei). Sajak-sajak dan tentang
dirinya dapat ditemukan di www.wikipedia.com, www.poetry.com, www.yahoo.com,
www.google.com, dan www.cybersastra.net. Kini tinggal di Vila Pamulang Mas Blok L-3 No. 9,
Phone/Fax (62-21)-7444765, Pamulang, Ciputat 15415, Indonesia. Email:
ahmadun21@yahoo.com. Mobile: 081315382096.*

Mei 8, 2009
Kategori: bahasa . . Penulis: bangkit . Komentar: Tinggalkan sebuah Komentar
Newspaper
From Wikipedia, the free encyclopedia

Jump to: navigation, search

Front page of The New York Times on Armistice Day, November 11, 1918.

Composing room of the New York Herald with linotype machines, 1902.
A newspaper is a scheduled publication containing news of current events, informative articles,
diverse features, editorials, and advertising. It usually is printed on relatively inexpensive, low-
grade paper such as newsprint. By 2007, there were 6580 daily newspapers in the world selling
395 million copies a day. The worldwide recession of 2008, combined with the rapid growth of
web-based alternatives, caused a serious decline in advertising and circulation, as many papers
closed or sharply retrenched operations.[1]

General-interest newspapers typically publish stories on local and national political events and
personalities, crime, business, entertainment, society and sports. Most traditional papers also
feature an editorial page containing editorials written by an editor and columns that express the
personal opinions of writers. The newspaper is typically funded by paid subscriptions and
advertising.

A wide variety of material has been published in newspapers, including editorial opinions,
criticism, persuasion and op-eds; obituaries; entertainment features such as crosswords, sudoku
and horoscopes; weather news and forecasts; advice, food and other columns; reviews of radio,
movies, television, plays and restaurants; classified ads; display ads, radio and television listings,
inserts from local merchants, editorial cartoons, gag cartoons and comic strips.

You might also like