Professional Documents
Culture Documents
Teaching Preparation
Teaching Preparation
after
- Brain Storm
(bringing their mind to talk about
the subject that they will learn, by
giving examples or things around
us, etc. if necessary)
Explaining :
- Difficult Words Goal-art
Example :
Wrestle (resӕl) :
Fight or a sport by holding them and
trying to throw to the ground.
(you pronounce it and they repeat
the word, ask them if one of them
knows the meaning of it, if they
don’t know you may put it in a
complete sentence/s you write it on
the white board)
- Subject
(If it is “conversation” you have to
Presentation
Subject
Chapter (conversation)
Subject
Chapter
Vocabularies
- General Aim Instruction
- Particular Aim Instruction
- Asking questions to them :
Difficult vocabularies and order one of them to put in a complete sentence
- Asking the main point one by one
Pendidikan di Indonesia saat ini masih mengalami krisis, baik krisis secara logistik maupun
fungsional. Keduanya saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Pendidikan yang mengurung mereka di dalam kelas dan membuat mereka takut
menghadapi kenyataan di lapangan.
– Paulus Wirutomo
Demikian diungkapkan Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia, Paulus Wirutomo, dalam
diskusi publik “RAPBN 2011: Anggaran, Proyeksi Pengembangan Bangsa”, di Jakarta, Kamis
(12/8/2010). Paulus mengatakan, krisis logistik menyangkut masalah pendanaan dan fasilitas,
sementara krisis fungsional menyoal pada tujuan hakiki dari pendidikan itu sendiri.
“Tujuan hakiki pendidikan adalah membebaskan diri dari kebodohan, kemiskinan, memberikan
kemandirian, mengembangkan kesadaran tentang hak dan kewajiban warga negara, serta
pengembangan moral, etika, dan estetika,” ujarnya.
Paulus menilai, pendidikan di Indonesia belum mampu memberi kebebasan bagi setiap
warganya. Dia mencontohkan, semakin banyak lulusan sarjana strata satu (S-1) yang tidak
mendapatkan pekerjaan, kemudian melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi dan
seterusnya. Kondisi ini, kata dia, justru akan memupuk rasa ego yang tinggi di dalam diri ketika
memandang sebuah pekerjaan.
“Pendidikan yang mengurung mereka di dalam kelas dan membuat mereka takut menghadapi
kenyataan di lapangan,” tutur Paulus.
Guru Besar UI itu kemudian memaparkan, jika kita tidak mampu mencapai pada pendidikan
yang hakiki, maka kita akan jatuh kepada, antara lain; ritualisme pendidikan (hanya menjalankan
keseharian di dalam kelas), pemborosan biaya, pedagogihitam (sekolah sebagai tempat
pengadilan) yang akan menampik pilihan yang ada di masyarakat layaknya multiple choice.
“Contoh kasusnya adalah ujian nasional (UN). Apakah tujuannya sesuai dengan fungsi
pendidikan?” ujar Paulus.
Pentingnya pendidikan multikultural di Indonesia telah lama diwacanakan oleh para pakar
pendidikan. Wacana tersebut dikemukakan atas dasar fakta bahwa Indonesia merupakan negara
yang memiliki banyak problem tentang etnik, eksistensi sosial, kelompok keagamaan yang
beragam. Problem tersebut disebabkan oleh adanya pengelolaan yang kurang baik terhadap
keberadaan multietnik dan multibudaya yang ada di Indonesia.
Pesantren sebagai basis pendidikan yang menampung santri dari berbagai kalangan dan berbagai
budaya di Indonesia mempunyai posisi strategis untuk mengusung Multikulturalisme di negara
yang mempunyai budaya beragam ini. namun posisi strategis pesantren akan sia-sia jika tidak
diikuti oleh pemilihan kurikulum pendidikan yang tepat dan mengusung nilai kebhinnekaan.
Maka di sinilah, Dr. Abdullah Aly, M. Ag. dalam bukunya, Pendidikan Islam Multikultural di
Pesantren (Telaah terhadap Kurikulum Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam Surakarta)
menawarkan sebuah sistem pendidikan Multikultural di pesantren berdasarkan sebuah kajiannya
terhadap kurikulum pendidikan di Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam Surakarta (PPMI
Assalaam). Dalam kajiannya tersebut, Abdullah Aly menemukan bahwa nilai dasar dari
kurikulum pendidikan di PPMI Assalaam adalah kemajemukan. Beliau mengemukakan bahwa
betapa pentingnya sikap menerima, mengakui, dan menghargai keragaman.
Dalam hal ini, pesantren diharapkan mampu menyadari dan menghargai keberagaman tersebut
untuk kemudian diintegrasikan dalam sistem pendidikan yang dijalankannya. Dalam kajiannya,
penulis buku ini sengaja mengambil PPMI Assalaam sebagai sampel sebagai perwakilan dari
pesantren modern. Hal ini bisa jadi adalah nilai kurang dari buku ini. Corak pesantren di
Indonesia sangatlah beragam, dan tidak cukup satu pesantren dijadikan sebagai acuan kurikulum
pendidikan yang multikultural.
Namun jika kita kaji lebih lanjut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa betapa semua
pesantren modern (tidak melulu PPMI Assalaam) harus mempunyai misi yang sama dalam ranah
memajukan pendidikan Islam yang multikultur dan tentu juga mengusung misi Bhinneka
Tunggal Ika.
Keragaman memang sangat diperlukan dalam kehidupan sosial di masyarakat majemuk,
terutama di Indonesia. Pesantren sebagai basis pendidikan yang ideal harus mengusung nilai
kebhinnekaan dan tidak monoton bahkan tertutup. Buku Pendidikan Islam Multikultural di
Pesantren ini menawarkan sumbangsih pemikiran terhadap pengembangan dan kemajuan
pendidikan, khususnya dunia pendidikan di Pesantren.
* Badrul Munir Chair, mahasiswa jurusan Theologi dan Filsafat fakultas Ushuluddin UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
Share3