Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 43

JOURNAL READING

Child homicide victims in forensic autopsy in Taiwan: A 10-year


retrospective study

DOSEN PENGUJI : dr.Bianti Hastuti Machroes, MHKes, Sp.KF


RESIDEN PEMBIMBING : dr. Suroto

PENULIS:
Gracenedy Mutiara Hermawan FK UAJ
Anthony Yauwono FK UAJ
Maryani Kurniawan FK UAJ
Erina Damayanti Ligin FK UAJ
Eunike Amadea FK UAJ
Jessica Trixie FK UAJ
Vian Aprilya FK UNIMUS
Thariq Ahmad FK UNIMUS

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. KARIADI SEMARANG
PERIODE 22 Oktober 2018 S.D. 04 November 2018
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................. Error! Bookmark not defined.

DAFTAR ISI ............................................................................................................................... 2

DAFTAR TABEL ..................................................................... Error! Bookmark not defined.

DAFTAR GAMBAR ................................................................ Error! Bookmark not defined.

BAB I PENDAHULUAN .................................................... Error! Bookmark not defined.

I. LATAR BELAKANG ....................................... Error! Bookmark not defined.

II. PERUMUSAN MASALAH.............................. Error! Bookmark not defined.

III. TUJUAN MASALAH ....................................... Error! Bookmark not defined.

IV. MANFAAT ....................................................... Error! Bookmark not defined.

BAB II JOURNAL READING ............................................... Error! Bookmark not defined.

I. JURNAL BAHASA INGGRIS ......................... Error! Bookmark not defined.

II. JURNAL BAHASA INDONESIA.................... Error! Bookmark not defined.

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 19

I. ANATOMI GIGI ............................................... Error! Bookmark not defined.

A. Bagian Gigi................................................. Error! Bookmark not defined.

B. Jenis Gigi .................................................... Error! Bookmark not defined.

C. Permukaan Gigi .......................................... Error! Bookmark not defined.

II. PERUBAHAN PADA GIGI SEIRING BERJALANNYA USIAError! Bookmark not d

A. Atrisi Gigi ................................................... Error! Bookmark not defined.

III. IDENTIFIKASI GIGI DALAM KEDOKTERAN FORENSIKError! Bookmark not def

A. Metode Demirjian....................................... Error! Bookmark not defined.


B. Metode Gustafson....................................... Error! Bookmark not defined.

BAB IV JURNAL PEMBANDING ....................................... Error! Bookmark not defined.

I. JURNAL PEMBANDING I .............................. Error! Bookmark not defined.

II. JURNAL PEMBANDING II ............................ Error! Bookmark not defined.

III. PERBEDAAN JURNAL UTAMA DAN JURNAL PEMBANDINGError! Bookmark n

BAB V KESIMPULAN ........................................................ Error! Bookmark not defined.

DAFTAR PUSTAKA ............................................................... Error! Bookmark not defined.


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada tuhan yang maha esa atas rahmat-nya
sehingga tim penulis dapat menyelesaikan journal reading yang berjudul “child
homicide victims in forensic autopsy in Taiwan: a 10 years restrospective study”
penyusunan dan penulisan journal reading ini merupakan salah satu syarat guna
memenuhi tugas kepaniteraan forensic. Tim penulis mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya bagi pihak-pihak yang telah membimbing dan mendukung tim
penulis dalam menyelesaikan referat ini, yaitu :
1. dr. Bianti Hastuti Machroes, MHKes, Sp. KF selaku dosen penguji.
2. dr. suroto … selaku residen pembimbing.
3. Orang tua beserta keluarga kami yang telah memberikan dukungan
moral maupun material.
4. Rekan-rekan lainnya yang telah mendukung dalam penyusunan
journal reading ini.
Tim penulis tentunya menyadari masih terdapat kekurangan-kekurangan pada
journal reading ini. Untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun
untuk memperbaiki kekurangan dan melengkapi journal reading ini kedepannya.
Akhir kata kami berharap journal reading ini dapat bermanfaat menambah wawasan
bagi semua kalangan pembaca.

Semarang, Oktober 2018

Tim penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 latar belakang


Kekerasan terhadap anak adalah suatu tindak pidana yang terselubung karena
kebanyakan dari kasus tersebut tidak kelihatan dan tidak dilaporkan. Pelaku
kekerasan biasanya adalah orang terdekat dari korban, sehingga sulit untuk memantau
apa yang terjadi di rumah, lembaga-lembaga dan sekolah. Kekerasan terhadap anak
tidak hanya terjadi di Negara berkembang tetapi juga terjadi di negara maju seperti
Amerika Serikat, Australia dan lain-lain. Di dalam laporan WHO tahun 2006,
diperkirakan bahwa kekerasan terhadap anak hingga mengakibatkan kematian
memiliki angka kejadian lebih tinggi dua kali lebih banyak pada negara dengan
pendapatan rendah (2,58/100.000) dibandingkan di negara dengan pendapatan tinggi
(1,21/100.000). 1

Dari data statistik di Amerika serikat pada tahun 2013 ditemukan sebanyak
679.000 anak adalah korban kekerasan dan penelantaran, 1520 anak meninggal, dan
sebanyak 9 % mengalami kekerasan seksual. Pada tahun 2014, berdasarkan data dari
2

Centers for Disease Control and Prevention ditemukan sebanyak 702.000 korban
kekerasan dan penelantaran, dan dilaporkan sebanyak 27% korban masih berusia di
bawah 3 tahun. 3

Kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia sejak tahun 2007 hingga tahun
2013 terus mengalami peningkatan. Kekerasan terhadap anak sudah terjadi sejak lama
dan saat ini menjadi masalah global. Untuk memecahkan masalah tersebut,
membutuhkan pemahaman tentang kejadian, sebab dan konsekuensinya. Oleh sebab
itu, diperlukan pengetahuan yang cukup mengenai pencegahan tindak kekerasan
terhadap anak dan peran serta dari masyarakat, dan tenaga kesehatan agar dapat
melaporkan apabila menemukan kasus tindak kekerasan pada anak sehingga dapat
memutus rantai tindak kekerasan tersebut dan menekan angka kejadian kekerasan
terhadap anak.
1.2 Rumusan masalah
1. bagaimana cara mendeteksi adanya kekerasan pada anak ?
2. bagaimana hubungan antara korban dan pelaku pada kasus kekerasan pada
anak ?
3. apa yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan pada anak ?

1.3 Tujuan
1. meningkatkan kemampuan dan pengetahuan deteksi kasus kekerasan pada anak
dari dokter melalui pola cedera pada anak .
2. mengetahui hubungan antara korban dan pelaku pada kasus kekerasan pada
anak.
3. mengetahui penyebab yang melatarbelakangi kasus kekerasan pada anak.

1.4 Manfaat Penelitian


1. memberikan informasi yang bermanfaat untuk meningkatkan dan
mengembangkan pengetahuan tentang kekerasan pada anak.
2. Memberikan informasi yang bermanfaat untuk meningkatkan dan
mengembangkan pengetahuan tentang karakteristik identitas korban, ciri-
cirinya dan hubungan antara keduanya sehingga dapat mengidentifikasinya
dikemudian hari.
Journal Reading
Child homicide victims in forensic autopsy in Taiwan: A 10-year retrospective
study

Abstrak
Pembunuhan anak adalah masalah medikolegal yang kritis di seluruh dunia.
Data tentang karakteristik kasus-kasus ini di Asia terbatas. Penelitian ini bertujuan
untuk mendeskripsikan karakteristik pembunuhan anak di Taiwan.
Analisis retrospektif dari catatan otopsi forensik korban pembunuhan anak
(usia 0-17 tahun) di Taiwan, selama periode 10 tahun antara tahun 2001 dan 2010,
telah dilakukan. Usia, jenis kelamin, hubungan dengan pelaku, pola cedera korban,
dan penyebab kematian dianalisis.
Secara keseluruhan, 193 otopsi pembunuhan anak diidentifikasi. Ada 38
(19,7%), 82 (42,5%), 25 (13,0%), dan 48 (24,9%) masing masing korban
pembunuhan berusia di bawah 1, 1-5, 6-12, dan 13-17 tahun. Seratus anak laki-laki
(usia rata-rata: 8,4±7,0) dan 93 anak perempuan (usia rata-rata: 3,7±4,3) dimasukkan.
Dominasi wanita tercatat di antara para korban yang berusia 0-5 tahun. Trauma
tumpul (53,4%) adalah metode cedera yang paling sering, diikuti oleh mati lemas /
strangulasi (20,2%) dan trauma tajam (13,0%). Bruise (64,8%) dan cedera otak
(45,1%) adalah jenis cedera yang paling umum. Tengkorak (62,2%) dan wajah
(60,6%) adalah daerah tubuh yang paling sering terluka. Distribusi cedera fatal
bervariasi di antara korban di berbagai kelompok usia. Syok neurogenik, asfiksia, dan
syok hemoragik paling sering terjadi pada korban yang berusia 0-5, 6–12, dan 13–17.
Penyebab kematian yang paling sering adalah cedera kepala tumpul (40,4%), mati
lemas / strangulasi (20,2%), dan trauma tajam paru (7,3%). Jenis pelaku, metode
cedera, jenis cedera, distribusi cedera, mekanisme kematian, dan penyebab kematian
secara signifikan berbeda di antara korban dari kelompok usia yang berbeda. Delapan
belas (9,33%) korban tidak menunjukkan bukti trauma luar.
Pola cedera, mekanisme kematian, dan penyebab kematian berbeda di antara
korban dari kelompok usia yang berbeda. Dominasi wanita tercatat di antara para
korban yang berusia 0–5 tahun. Autopsi forensik lengkap diperlukan untuk
mengidentifikasi pembunuhan anak. Laporan ini akan membantu pemeriksa forensik
dan ahli patologi forensik mengenali tanda-tanda pembunuhan anak dan berfungsi
sebagai basis kerja bagi para profesional ini.
Kata kunci: Pembunuhan anak, otopsi forensik, pelecehan anak, pembunuhan-
pembunuhan, penyebab kematian.

Introduksi
Kekerasan terhadap anak-anak (di bawah 18 tahun menurut definisi anak dari WHO)
adalah masalah medis-hukum penting yang menarik perhatian publik di seluruh
dunia. pembunuhan anak, jenis kekerasan ekstrim terhadap anak-anak, adalah salah
satu kasus yang paling menantang bagi ahli patologi forensik. Dari tahun 2002 hingga
2011, tingkat pembunuhan pada anak-anak berusia kurang dari sama dengan 11 tahun
dan 12-17 tahun masing-masing berkisar antara 1,4 hingga 1,6 dan 2,7 hingga 4,1 per
100.000 di AS. Di Taiwan, tingkat pembunuhan anak-anak berusia 0-14 tahun dan
remaja berusia 15-19 tahun masing-masing adalah 0,6 dan 0,5 per 100.000 pada tahun
2012.
Di Taiwan, semua orang yang diduga mengalami kematian tidak wajar harus
dilaporkan ke polisi. Setelah penyelidikan awal oleh polisi dan pemeriksaan jenazah
oleh ahli forensik, jaksa akan memutuskan perlunya mengeluarkan perintah untuk
otopsi forensik. Apabila terdapat kecurigaan atau bukti yang jelas bahwa tindakan
ilegal telah dilakukan, maka otopsi medikolegal harus dilakukan. Namun, insiden
pembunuhan anak kerap diremehkan, karena pola kekerasan atau penganiayaan
terkait kematian anak kerap diabaikan. Pemahaman yang baik tentang pembunuhan
anak akan memungkinkan pemeriksa untuk lebih waspada terhadap kasus-kasus yang
mencurigakan.
Karakteristik pembunuhan anak berbeda dari pembunuhan orang dewasa.
Penganiayaan anak oleh orang tua anak atau orang dewasa lainnya telah dilaporkan
sebagai faktor paling umum dari pembunuhan anak. Trauma tumpul pada kepala dan
eksanguinasi telah dilaporkan sebagai penyebab kematian paling sering dalam
pembunuhan anak. Pembunuhan bersamaan dengan bunuh diri relatif umum terjadi
sebagai kasus pembunuhan anak. Jenis-jenis pembunuhan anak terkait erat dengan
budaya dan penggunaan senjata serta pola cedera dapat bervariasi di berbagai negara.
Ada analisis mendalam tentang pembunuhan anak di Asia, yang diperlukan untuk
mendesain dan memantau upaya pencegahan.
Penelitian ini didesain untuk memeriksa catatan otopsi dari kasus-kasus pembunuhan
sejak lahir hingga 17 tahun di Taiwan. Peneliti bermaksud untuk menganalisis
karakteristik demografi, hubungan pelanggar, metode cedera, pola cedera, dan
penyebab kematian di antara korban pembunuhan anak dari berbagai usia.

Metode
Studi retrospektif ini disetujui oleh Institutional Review Board dan dilakukan
di Institute of Forensic Medicine, Kementrian Keadilan, Republik Rakyat Tionghoa.
Institusi ini menangani 85,5% otopsi medicolegal di Taiwan.
Data dari semua pembunuhan anak-anak (usia 17 dan di bawah) dibawa ke lembaga
ini untuk otopsi medikolegal, kasus dari tahun 2001 hingga 2010 dan dijadikan kasus
untuk diperiksa. Data dikumpulkan dari otopsi forensik termasuk dari investigasi
tempat kejadian peristiwa. Informasi tentang pelaku dan keadaan kriminal dilaporkan
ke polisi dibawah supervisi jaksa. Otopsi medikolegal dilakukan oleh ahli patologis
forensik. Hampir semua kasus dilakukan pemeriksaan histologi dan toksikologi. Tes
DNA dilakukan, bila dibutuhkan identifikasi dari korban. Data yang dikumpulkan
berupa identitas korban, jenis kelamin, usia, tempat kejadian, hubungan antara korban
dengan pelaku, jenis kelamin pelaku, jenis senjata yang digunakan, bagian yang
terluka, jenis dan ukuran dari luka, sebab kematian, mekanisme kematian
(patofisiologi) dan cara kematian. Perdarahan retina tidak diperiksa selama penelitian
dilakukan. Pemeriksaan radiologis untuk memeriksa fraktur tidak dilakukan. Analsis
deskriptif dilakukan dengan program Statistical Analysis System (SAS) versi 9.2.
Statistik deskriptif (mean dan proporsi) dihitung dan dikategorikan dan dibandingkan
dengan tes pear-son x2. Nilai P sebesar 0,05 atau kurang dinilai signifikan

Hasil
Otopsi yang dilakukan di institusi ini dari Januari 2001 hingga Desember 2010 adalah
sebanyak 16.160 otopsi dengan pembunuhan menyumbang sebanyak 2.262 kasus.
Secara keseluruhan terdapat 193 kasus pembunuhan dengan korbannya adalah anak-
anak dengan rata – rata usia 6 tahun dan terbagi menjadi 100 anak laki – laki dengan
rata – rata di usia 7 atau 8 tahun dan 93 anak perempuan dengan rata – rata di usia 3
atau 4 tahun. Pemeriksaan histologi dilakukan di seluruh kasus (100%) dan untuk
pemeriksaan toksikologi dilakukan pada 184 kasus (95,3%).

Pembunuhan dengan usia dibawah 1 tahun sebanyak 38 kasus (19,7%), usia 1 – 5


tahun sebanyak 82 kasus (42,5%), usia 6 – 12 tahun sebanyak 25 kasus (13,0%), dan
usia 13 – 17 tahun sebanyak 48 kasus (24,9%). Distribusi gender para pelaku dan
korban di berbagai kelompok usia didominasi dari kalangan wanita dengan paling
banyak korban dari usia 0–5 tahun, dan laki-laki mendominasi pada korban usia 6–17
tahun (P <0.0001). Pelaku yang paling sering menyerang korban adalah ibu, lalu
diikuti oleh ayah, dan ayah tiri (sah atau tidak) dimana 3 pelaku ini merupakan yang
membantu mengasuh korban. Sedangkan pelaku yang tidak membantu mengasuh
sebagian besar adalah kenalan yang tidak terkait. Secara signifikan ada lebih banyak
korban di antara mereka yang berusia 0-12 tahun daripada usia 13–17 tahun (P
<0.0001).

Cara yang sering digunakan pengasuh untuk memukul anak adalah dengan tinju
(46,5%, 66/142), dan dengan menggunakan tongkat (14,1%, 20/142), tetapi yang
bukan pengasuh biasanya memukul korban dengan pisau (39,2%, 20/51), tinju
(27,5%, 14/51), dan tongkat (21,6%, 11/51). Metode pembunuhan yang paling sering
adalah dengan benda tumpul (53,4%) diikuti oleh mati lemas / leher dicekik (20,2%)
dan kekerasan dengan benda tajam (13,0%). Pola pembunuhan metode berbeda di
antara kelompok usia. Leher dicekik adalah paling umum secara proporsional dalam
kelompok usia 6-12 tahun dan kekerasan dengan benda tumpul terjadi lebih sering
pada kelompok usia lainnya. Jenis kelamin berkaitan dengan pola metode
pembunuhan. Kekerasan dengan benda tumpul paling sering di antara kedua jenis
kelamin. Lebih banyak kematian akibat mati lemas / pencekikan di antara korban
perempuan daripada laki-laki (P = 0,0025), dan secara signifikan lebih banyak
kematian akibat kekerasan benda tajam di antara laki-laki daripada korban perempuan
(P = 0,026). Ada 11 (3 laki-laki dan 8 perempuan) korban yang baru lahir (≤ 28 hari).
Metode cedera pada bayi yang baru lahir yaitu penelantaran (3), tenggelam (3),
terjatuh dari ketinggian (2), mati lemas (2), dan luka bakar (1). Jenis trauma yang
umum termasuk yaitu memar (64,8%), lecet (35,2%), laserasi (20,7%), pemotongan
(18,1%), cedera otak (45,1%), perdarahan intra-toraks (13,0%), perdarahan intra-
abdomen (11,4%), dan fraktur (21,2%).

Abrasi dan pemotongan / tusukan luka lebih sering terjadi pada korban berusia 6-17
tahun (P = 0,0039 untuk abrasi; P <0,0001 untuk memotong / menusuk). Cedera otak
lebih banyak umum pada korban berusia 0–5 tahun (P = 0,0009). Kepala (62,2%) dan
wajah (60,6%) adalah bagian tubuh yang paling sering terkena yang diikuti oleh
ekstremitas atas (46,6%) dan ekstremitas bawah (46,1%). Tungkai bawah, dan
tempurung kepala menyajikan lebih banyak luka daripada daerah yang lain. Sebagian
besar (88,6%, 171/193) kasus mengalami beberapa cedera yang melibatkan dua atau
lebih daerah tubuh, sedangkan 9,3%, (18/193) kasus sulit diamati penyebab cedera.
Dalam kasus-kasus yang berusia 0–5 tahun, luka biasanya dijumpai, pada tempurung
kepala dan wajah. Pada korban berusia 6-12 tahun, wajah adalah wilayah paling
sering terkena, diikuti oleh leher dan anggota gerak atas dan bawah. Anggota tubuh
bagian atas, tempurung kepala, dan dada adalah daerah yang sering terluka pada
kasus usia 13-17 tahun. Distribusi cedera fatal juga bervariasi di antara korban di
kelompok usia yang berbeda. Cedera kepala yang fatal adalah yang paling umum
pada korban berusia 0–5 dan 13–17 tahun. Perut, leher, dan dada cedera sering terjadi
pada korban yang berusia 1–5, 6–12, dan 13–17 tahun, masing-masing. Trauma
kepala paksa yang tumpul (termasuk sindrom bayi yang terguncang, trauma kepala
yang kasar, dan trauma kepala yang tidak disengaja), bentuk yang paling umum dari
penyebab kematian, menyumbang 40,4% dari korban jiwa, diikuti oleh mati lemas /
strangulasi 20,2% dan tajam memaksa trauma paru-paru di 7,3%. Kekerasan dengan
benda tumpul menyebabkan trauma hati dan Kekerasan dengan benda tajam dapat
menyebabkan trauma paru-paru sangat dominan pada korban yang berusia 1–5 dan
13–17 tahun, masing-masing.

Di antara 18 (9,3%) kasus tanpa cedera yang dapat diamati, penyebab kematian
adalah CO inhalasi (8), pengabaian (4), keracunan (3), mati lemas (2), dan terguncang
sindrom bayi (1). Sekitar 40,9%, 25,9%, dan 23,8% kematian adalah karena syok
neurogenik (termasuk kasus dengan cedera otak dan tekanan intrakranial berat yang
meningkat), asfiksia, dan syok hemoragik, masing-masing. Mekanisme kematian
bervariasi di antara korban dalam kelompok usia yang berbeda (P <0,0001). Syok
neurogenik, asfiksia, dan syok hemoragik paling sering terjadi pada korban berusia 0–
5, 6–12, dan 13–17 tahun, masing-masing. Pembunuhan seksual didokumentasikan
untuk lima korban berusia 6-12 tahun dan dua korban berusia 13–17; ketujuh
korbannya adalah perempuan. Dalam kasus, mati lemas / pencekikan adalah
penyebab paling umum kematian (85,7%, 6/7). Ada satu, sepuluh, dan tujuh
pembunuhan-pembunuhan korban yang berusia kurang dari 1, 1–5, dan 6–12,
masing-masing. CO inhalasi (61,1%) adalah penyebab kematian paling sering di
antara mereka.
Diskusi

Risiko dan pola pembunuhan pada anak-anak berbeda dari satu negara ke
negara lainnya. Tercatat terdapat pembunuhan anak sebesar 17% dari semua
pembunuhan di Taiwan, menyerupai dengan Amerika Serikat, yang berkisar dari 10%
hingga 20% di setiap negara bagian. Distribusi usia pada korban pembunuhan anak-
anak dalam penelitian ini termasuk insiden yang relatif tinggi, yaitu anak berusia di
bawah 1 tahun diikuti oleh mereka yang berusia 1–5 tahun. Angka ini sesuai dengan
distribusi usia dalam laporan anak sebelumnya, dengan insiden puncak dalam dua
tahun pertama kehidupan. Sebab, pengasuh adalah pelaku paling umum pada
kelompok anak-anak di usia ini. Proporsi relatif rendah pada korban yang berusia 6–
12 tahun. Pada korban berusia 0–5 tahun, dengan rasio anak laki-laki dengan
perempuan 1: 1,5 di mana di dominasi oleh anak perempuan. Temuan ini berbeda
dengan laporan yang terdapat di negara lain. Di antara korban berusia 13-17 tahun,
dominasi terdapat pada anak laki-laki dengan rasio anak laki-laki 5: 1. Hasil ini sesuai
dengan hasil laporan dari Amerika Serikat sebelumnya.

Mayoritas pelaku di antara korban berusia 0-12 tahun adalah ibu, sedangkan
mayoritas pelanggar korban berusia 13–17 tahun adalah orang lain. Hasil ini sesuai
dengan laporan sebelumnya. Mayoritas korban pembunuhan anak disebabkan oleh
benda tumpul diikuti oleh asfiksia dan benda tajam. Hal ini berbeda dari temuan
laporan sebelumnya dari beberapa negara lain, di mana ditemukan mayoritas
disebabkan oleh senjata api dan benda tajam . Terdapat peraturan mengenai senjata
yang ketat dan kepemilikan senjata api yang sangat rendah di Taiwan, sehingga pada
penelitian ini luka tembak jarang terjadi.
Memar (64,8%) adalah cedera eksternal yang paling sering terjadi dalam
penelitian ini, diikuti oleh luka lecet (35,2%). Memar (58,1%) dan luka lecet (23,7%)
juga ditemukan normal terdapat pada anak-anak berusia 0–17 tahun dalam laporan
Labbe´ dan Caouette, tetapi frekuensi memar dan luka lecet di antara subjek
penelitian ini tampak lebih tinggi daripada anak normal. Jenis cedera kulit lainnya,
seperti luka robek (20,7%), luka tusuk (18,1%), dan luka bakar (5,7%), hasilnya
ditemukan lebih tinggi dibandingkan anak-anak normal (1,9%). Tingkat fraktur
dicatat dalam penelitian ini (21,2%), di mana lebih rendah dari yang dilaporkan
dalam pembunuhan terkait pelecehan anak (40%). Mungkin salah satu alasannya
mengapa pengambilan gambar x-ray skeletal tidak rutin dilakukan sebelum autopsi
forensik di institut ini.
Distribusi anatomi trauma menunjukkan dominasi pada bagian kranial dan
wajah di antara korban berusia 0-5 tahun. Wajah, leher, dan cedera tungkai atas dan
bawah umum terjadi di antara para korban berusia 6-12 tahun. Luka di bagian atas
dan dada sering terjadi di antara korban berusia 13–17 tahun. Di antara korban bayi,
sejumlah besar kasus-kasus berupa trauma kepala tumpul, sesuai dengan hasil laporan
sebelumnya. Cedera pada anggota tubuh bagian atas pada korban yang berusia 6-17
tahun kemungkinan disebabkan oleh pertahanan korban pada hasil laporan
sebelumnya. Distribusi lokasi cedera dalam pembunuhan dari segala usia bervariasi
dalam laporan dari berbagai negara. Distribusi lokasi cedera korban berusia 13-17
tahun didominasi pada trauma dada sesuai dengan temuan yang dilaporkan oleh Eze
et al. Selain trauma kepala yang fatal, cedera fatal lainnya terutama terjadi pada
bagian perut, leher, dan dada di antara korban berusia 1-5 tahun, 6–12 tahun, dan 13–
17 tahun.
Mekanisme kematian paling umum pada korban berusia 0–5 tahun adalah
syok neurogenik yang disebabkan oleh cedera otak; sedangkan mekanime kematian
yang paling umum di antara korban berusia 13–17 tahun adalah syok hemoragik.
Untuk korban pelecehan anak, cedera kepala adalah
penyebab utama kematian. Cedera akibat benda tajam biasa terjadi pada kejahatan
oleh remaja. Hasil ini sesuai dengan laporan sebelumnya tentang pelecehan anak dan
pembunuhan remaja. Namun, asfiksia adalah mekanisme kematian yang paling sering
terjadi pada korban
berusia 6–12 tahun. Strangulasi telah dilaporkan sebagai penyebab mekanisme
kematian pada usia tersebut. Cedera kepala akibat benda tumpul termasuk shaken
baby syndrome, trauma kepala yang tidak disengaja, dan trauma kepala yang kasar
adalah penyebab kematian paling umum di penelitian ini. Hal ini menyerupai laporan
oleh To¨ ro¨ dkk., Tetapi berbeda dari
hasil Sanvageau dan Racette, yang menunjukkan senjata api danbenda tajam sebagai
penyebab kematian utama. Legislasi senjata api dan adat istiadat di Taiwan dapat
menjadi alasan untuk perbedaan hasil tersebut.
Di Maio membahas tingkat cedera cranio-serebral yang berbeda sebagai penyebab
kematian di antara anak-anak korban pembunuhan pada tahun pertama dan kedua
kehidupan (85,8% vs 53%) dan trauma perut umum (34,9%) di tahun kedua
kehidupan. Dari anak-anak yang meninggal karena cedera perut, 80% meninggal
sebagai akibat laserasi pada hati. Dalam penelitian kami, cedera otak tercatat pada
47,4% (18/38), 72,0% (18/25), 60,0% (15/25), 58,3% (7/12), 42,9% (6/14), dan
33,3% (2/6) dari korban berusia 0, 1, 2, 3, 4, dan 5, masing-masing. Cedera intra-
abdominal (termasuk laserasi pada hati, mesenterium, usus, pankreas, dan limpa)
diidentifikasi pada 5,3% (2/38), 12,0% (3/25), 20,0% (5/25), 16,7% ( 2/12), 7.1%
(1/14), dan 33.3% (2/6) dari subjek yang berusia 0, 1, 2, 3, 4, dan 5, masing-masing.
Laserasi hati ditemukan pada 0%, 8,0% (2/25), 16,0% (4/25), 16,7% (2/12), 7,1%
(1/14) dan 33,3% (2/6) dari korban yang berusia 0, 1, 2, 3, 4, dan 5, masing-masing
(data tidak ditampilkan). Kecenderungan serupa, meskipun, tingkat trauma intra-
abdomen lebih rendah daripada temuan Di Maio. Tingkat cedera perut dalam
penelitian ini sesuai dengan laporan sebelumnya tentang penganiayaan anak usia 0-5.
Pola luka anak dapat bervariasi dalam perkembangannya. Oleh karena itu, distribusi
luka yang dihasilkan dari daerah tubuh akan berbeda.
Pembunuhan seksual ditetapkan memiliki 3,6% korban dalam penelitian kami.
Persentase ini serupa dengan laporan sebelumnya dari Amerika Serikat. Namun, bukti
kekerasan seksual mudah dihilangkan, dan insiden pembunuhan seksual di semua
kelompok usia dapat diremehkan. Pembunuhan seksual dicatat pada 20% korban
yang berusia 6-12 tahun, dan relatif umum dalam kelompok usia ini. Ini sesuai
dengan temuan dalam laporan dari Amerika Serikat
18 korban dalam penelitian ini terlibat dalam kasus pembunuhan-bunuh diri, di mana
pelaku kejahatan setidaknya satu dari orang tua biologis dan korban adalah
keturunannya (s). Di antara korban-korban ini, 13 (72,2%) terbunuh oleh ibu mereka.
Sebagian besar (61,1%) dari korban dibunuh dengan racun CO. Ini sesuai dengan
laporan sebelumnya dari Australia dan Inggris di mana sesak napas dan keracunan
gas yang umumnya digunakan oleh ibu yang membunuh. Hasil kami mirip dengan
laporan dari Hong Kong di mana para ibu menyumbang 69,2% pelaku pembunuhan-
bunuh diri, tetapi berbeda dari laporan itu dalam membuang atau mendorong korban
dari ketinggian, adalah metode yang paling umum digunakan. Metode-metode
pembunuhan anak dapat berbeda-beda wilayah geografis dan lingkungan hidup
bahkan di antara orang-orang dengan latar belakang budaya yang sama.
Seperti halnya pembunuhan orang dewasa, pembunuhan anak-anak tidak selalu
meninggalkan luka luar. Dalam penelitian ini, 18 (9,33%) korban tidak menunjukkan
bukti trauma luar. Di antara mereka, kelalaian /mengabaikan dan keracunan adalah
penyebab kematian yang paling umum. Kelalaian dan pengabaian melibatkan
kelaparan, mengabaikan anak terkena paparan dingin, panas atau situasi berbahaya,
dan lalai memberikan perawatan kesehatan yang diperlukan. Ini adalah cara paling
umum pembunuhan yang melibatkan bayi dan anak kecil. Pengabaian bayi
tampaknya lebih umum pada anak perempuan dalam data kami yang sesuai dengan
laporan sebelumnya dari Afrika Selatan. Keracunan CO umum di Taiwan yang
melibatkan 11 (5,7%) korban dalam penelitian kami. Kulit merah ceri mungkin tidak
diidentifikasi karena pembusukan dalam beberapa kasus. Pada saat ini, sebagian besar
penyelidikan medico-legal di Taiwan terbatas pada investigasi kejadian kematian dan
pemeriksaan tubuh eksternal tanpa otopsi berikutnya. Namun, perbedaan antara
pemeriksaan tubuh luar dan otopsi forensik telah dilaporkan. Cedera kepala,
pencekikan, mati lemas, perdarahan peritoneal karena trauma, keracunan, luka
tikaman kecil, dan luka tembak kaliber kecil mungkin tidak terdeteksi atau diabaikan
oleh pemeriksaan tubuh luar. Penyebab dan cara kematian seorang anak, seperti yang
ditentukan dari penyelidikan TKP, tidak sepenuhnya dapat diandalkan. Oleh karena
itu, beberapa pembunuhan anak mungkin tidak diperhatikan dan tidak masukkan
dalam penelitian ini. Meningkatkan tingkat otopsi forensik anak disarankan sebagai
sarana untuk memastikan data yang diandalkan dari pembunuhan anak dan untuk
membantu dalam pengembangan kebijakan untuk mencegah pembunuhan anak. Kami
menyarankan bahwa pemeriksaan mata dan pemeriksaan radiologi harus dilakukan
secara rutin pada otopsi anak. Investigasi medico-legal post-mortem dengan
pemeriksaan toksikologis dan otopsi forensik lengkap penting dalam penentuan dan
klasifikasi kemungkinan kematian anak yang tidak alami.
Sebagai kesimpulan, penelitian ini menunjukkan pola distribusi usia, distribusi
gender, hubungan pelaku, jenis cedera, distribusi cedera anatomi, mekanisme
kematian, dan penyebab kematian di antara pembunuhan anak-anak di Taiwan.
Dominasi wanita tercatat di antara para korban yang berusia 0–5 tahun. Pola cedera,
mekanisme kematian dan penyebab kematian berbeda secara signifikan di antara
korban dalam kelompok usia yang berbeda. Autopsi forensik lengkap harus dilakukan
untuk mengklarifikasi penyebab kematian dan cara kematian seorang anak. Ciri-ciri
cedera dapat membantu mengklasifikasikan pembunuhan anak, mencegah kejahatan
semacam ini, dan meningkatkan penyelidikan kematian anak.

Penutup
Data dari semua pembunuhan anak-anak (usia 17 dan di bawah) dibawa ke
lembaga ini untuk otopsi medicolegal, kasus dari tahun 2001 hingga 2010 dan
dijadikan kasus untuk diperiksa. Data dikumpulkan dari otopsi forensic termasuk dari
investigasi tempat kejadian peristiwa. Informasi tentang pelaku dan keadaan kriminal
dilaporkan ke polisi dibawah supervisi jaksa. Otopsi medicolegal dilakukan oleh ahli
patologis forensik. Hampir semua kasus dilakukan pemeriksaan histologi dan
toxicologi. Tes DNA dilakukan, bila dibutuhkan identifikasi dari korban. Data yang
dikumpulkan berupa identitas korban, jenis kelamin, usia, tempat kejadian, hubungan
antara korban dengan pelaku, jenis kelamin pelaku, jenis senjata yang digunakan,
bagian yang terluka, jenis dan ukuran dari luka, sebab kematian, mekanisme kematian
(patofisiologi) dan cara kematian. Perdarahan retina tidak diperiksa selama penelitian
dilakukan. Pemeriksaan radiologis untuk memeriksa fraktur tidak dilakukan. Analsis
deskriptif dilakukan dengan program Statistical Analysis System (SAS) versi 9.2.
Statistik deskriptif (mean dan proporsi) dihitung dan dikategorikan dan dibandingkan
dengan tes pear-son x2. Nilai P sebesar 0,05 atau kurang dinilai signifikan
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi Anak
Dalam hukum nasional Indonesia terdapat berbagai macam definisi
mengenai anak, karena dalam tiap perundang-undangan diatur kriteria tersendiri
mengenai pengertian anak. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa perumusan
perundang-undangan yang mengatur mengenai pengertian anak, sebagai berikut:
a. Pasal 1 Convention on the Right of the Child
Anak diartikan sebagai setiap orang dibawah usia 18 (delapan belas) tahun,
kecuali berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah
diperoleh sebelumnya. Artinya yang dimaksud dengan anak adalah mereka
yang belum dewasa dan yang menjadi dewasa karena peraturan tertentu
sedangkan secara mental dan fisik masih belum dewasa.
b. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun
dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal
tersebut adalah demi kepentingannya.
c. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak
Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8
(delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan
belum pernah kawin.
d. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuh
anak yang masih dalam kandungan.
e. Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak
Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun
dan belum pernah kawin.
f. Dalam Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk
Weetbook)
Diatur tentang batasan umur anak bahwa anak adalah yang belum berumur 21
tahun dan belum kawin.
g. Pasal 1 ayat (8) huruf a Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarkatan
Menyebutkan anak pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan
menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai usia 18 (delapan belas)
tahun. Artinya yang dimaksud anak adalah seseorang sampai dengan usia 18
(delapan belas) tahun.
h. RUU Sistem Peradilan Pidana Anak, dalam Pasal 1 ayat (2)
Menyebutkan Anak yang berkonflik dengan hukum, yang selanjutnya disebut
anak adalah orang yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun yang disangka, didakwa atau dijatuhi
pidana karena melakukan tindak pidana.

II. Definisi Kekerasan pada Anak


Menurut WHO kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan,
ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang
atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan
memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau
perampasan hak. Kekerasan umumnya ditujukan kepada kelompok yang
dianggap lemah. Anak merupakan salah satu kelompok yang rentan mendapatkan
perilaku kekerasan.
Awal mulanya istilah tindak kekerasan pada anak atau child abuse dan neglect
dikenal dari dunia kedokteran. Sekitar tahun 1946, Caffey-seorang radiologist
melaporkan kasus cidera yang berupa gejala-gejala klinik seperti patah tulang
panjang yang majemuk (multiple fractures) pada anak-anak atau bayi disertai
pendarahan subdural tanpa mengetahui sebabnya (unrecognized trauma). Dalam
dunia kedokteran, istilah ini dikenal dengan istilah Caffey Syndrome. Barker
mendefinisikan child abuse merupakan tindakan melukai beulang-ulang secara
fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat,
hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau
kekerasan seksual.
Berdasarkan uraian tersebut, kekerasan terhadap anak merupakan perilaku
yang dengan sengaja menyakiti secara fisik dan atau psikis dengan tujuan untuk
merusak, melukai, dan merugikan anak.

III. Epidemiologi
Angka kekerasan terhadap anak dari tahun ke tahun terus meningkat. Menurut
data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (Komnas PAI) terjadi
peningkatan kasus kekerasan terhadap anak, dimana pada tahun 2013 jumlah
kasus kekerasan pada anak meningkat 60% jika dibandingkan dengan tahun
2012. Pada tahun 2013, Komnas PAI mencatat, telah terjadi 1.620 kasus
kekerasan pada anak. Dari jumlah itu terbagi menjadi 490 kasus kekerasan fisik
(sebesar 30%), 313 kasus kekerasan psikis (sebesar 19%), dan yang terbanyak
adalah kasus kekerasan seksual sebanyak 817 kasus (sebesar 51%). Pada hasil
rekapitulasi akhir data korban kekerasan terhadap anak, yang tercatat oleh Badan
Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana
(BP3AKB) Provinsi Jawa Tengah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Tengah
pada tahun 2013 telah terjadi 209 kasus kekerasan fisik, 163 kasus kekerasan
psikis, dan 636 kasus kekerasan seksual.
IV. Faktor Penyebab Kekerasan pada Anak
Terjadinya kekerasan terhadap anak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu:
1. Faktor Internal
a. Berasal dalam diri anak
Terjadinya kekerasan terhadap anak dapat disebabkan oleh kondisi
dan tingkah laku anak. Kondisi anak tersebut misalnya: Anak menderita
gangguan perkembangan, ketergantungan anak pada lingkungannya, anak
mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, anak yang
memiliki perilaku menyimpang dan tipe kepribadian dari anak itu sendiri.

b. Keluarga / orang tua


Faktor orang tua atau keluarga memegang peranan penting terhadap
terjadinya kekerasan pada anak. Beberapa contoh seperti orang tua yang
memiliki pola asuh membesarkan anaknya dengan kekerasan atau
penganiayaan, keluarga yang sering bertengkar mempunyai tingkat tindakan
kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga
yang tanpa masalah, orangtua tunggal lebih memungkinkan melakukan
tindakan kekerasan terhadap anak karena faktor stres yang dialami orang tua
tersebut, orang tua atau keluarga belum memiliki kematangan psikologis
sehingga melakukan kekerasan terhadap anak, riwayat orang tua dengan
kekerasan pada masa kecil juga memungkinkan melakukan kekerasan pada
anaknya.

2. Faktor Eksternal
a. Lingkungan luar
Kondisi lingkungan juga dapat menjadi penyebab terjadinya kekerasan
terhadap anak, diantaranya seperti kondisi lingkungan yang buruk, terdapat
sejarah penelantaran anak dan tingkat kriminalitas yang tinggi dalam
lingkungannya.

b. Media massa
Media massa merupakan salah satu alat informasi. Media massa telah
menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari – hari dan media ini tentu
mempengaruhi penerimaan konsep, sikap, nilai dan pokok moral. Seperti
halnya dalam media cetak menyediakan berita – berita tentang kejahatan,
kekerasan, pembunuhan. Kemudian media elektronik seperti radio, televisi,
video, kaset dan film sangat mempengaruhi perkembangan kejahatan yang
menampilkan adegan kekerasan, menayangkan film action dengan
perkelahian, acara berita kriminal, penganiayaan, kekerasan bahkan
pembunuhan dalam lingkup keluarga. Pada hakekatnya media massa memiliki
fungsi yang positif, namun kadang dapat menjadi negatif.

c. Budaya
Budaya yang masih menganut pemikiran bahwa status anak yang
dipandang rendah sehingga ketika anak tidak dapat memenuhi harapan
orangtua maka anak harus dihukum. Bagi anak laki – laki, adanya nilai dalam
masyarakat bahwa anak laki – laki tidak boleh cengeng atau anak laki – laki
harus tahan uji. Pemahaman itu mempengaruhi dan membuat orangtua ketika
memukul, menendang, atau menindas anak adalah suatu hal yang wajar untuk
menjadikan anak sebagai pribadi yang kuat dan tidak boleh lemah.

V. Bentuk-bentuk Kekerasan pada Anak


Terdapat lima bentuk kekerasan pada anak (1999 WHO Consultation on
child abuse prevention) yaitu :
1. Kekerasan Fisik
Kekerasan yang mengakibatkan cidera fisik nyata ataupun potensial
terhadap anak sebagai akibat dari tindakan kekerasan yang dilakukan orang
lain. Kekerasan fisik merupakan kekerasan yang mengakibatkan cedera fisik
nyata ataupun potensial terhadap anak, sebagai akibat dari interaksi atau tidak
adanya interaksi, yang layaknya berada dalam kendali orang tua atau orang
dalam posisi hubungan tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan. Bentuk
kekerasan yang sifatnya bukan kecelakaan yang membuat anak terluka.
Contoh: menendang, menjambak (menarik rambut), menggigit, membakar,
menampar.

2. Kekerasan Seksual
Kekerasan terhadap anak dalam kegiatan seksual yang tidak
dipahaminya, tidak mampu memberikan persetujuan atau oleh karena
perkembangannya belum siap atau tidak dapat memberi persetujuan, atau
yang melanggar hukum atau pantangan masyarakat, atau merupakan segala
tingkah laku seksual yang dilakukan antara anak dan orang dewasa. Contoh,
pelacuran anak-anak, intercourse, pornografi, eksibionisme, oral sex, dan
lain-lain.

3. Kekerasan Emosional
Suatu perbuatan terhadap anak yang mengakibatkan atau sangat
mungkin akan mengakibatkan gangguan kesehatan atau perkembangan fisik,
mental, spiritual, moral dan sosial. Contohnya seperti pembatasan gerak,
sikap tindak yang meremehkan anak, mengancam, menakut-nakuti,
mendiskriminasi, mengejek atau menertawakan, atau perlakuan lain yang
kasar atau penolakan. Contoh: tidak pernah memberikan pujian/
reinforcemen yang positif, membandingkannya dengan anak yang lain, tidak
pernah memberikan pelukan antara orang tua dan anak.
4. Penelantaran anak
Ketidakpedulian orang tua atau orang yang bertanggung jawab atas
anak pada kebutuhan mereka. Kelalaian di bidang kesehatan seperti
penolakan atau penundaan memperoleh layanan kesehatan, tidak memperoleh
kecukupan gizi dan perawatan medis. Kelalaian di bidang pendidikan
meliputi pembiaran mangkir (membolos) sekolah yang berulang, tidak
menyekolahkan pada pendidikan yang wajib diikuti setiap anak, atau
kegagalan memenuhi kebutuhan pendidikan yang khusus. Kelalaian di bidang
fisik meliputi pengusiran dari rumah dan pengawasan yang tidak memadai.
Kelalaian di bidang emosional meliputi kurangnya perhatian, penolakan atau
kegagalan memberikan. perawatan psikologis, kekerasan terhadap pasangan
di hadapan anak dan pembiaran penggunaan rokok, alkohol dan narkoba oleh
anak.

5. Eksploitasi anak
Penggunaan anak dalam pekerjaan atau aktivitas lain untuk
keuntungan orang lain, termasuk pekerja anak dan prostitusi. Kegiatan ini
merusak atau merugikan kesehatan fisik dan mental, perkembangan
pendidikan, spiritual, moral dan sosial - emosional anak.

VI. Dampak Kekerasan pada Anak


Kekerasan yang terjadi terhadap anak dapat mengakibatkan dampak sebagai
berikut:
1. Dampak Fisik
Dampak dari kekerasan secara fisik dapat mengakibatkan organ-organ
tubuh siswa mengalami kerusakan seperti memar, luka-luka, trauma pada
korban, kecacatan, bahkan dapat mengakibatkan korban meninggal.

2. Dampak psikologis
Dampak psikologis dapat berupa rasa takut, rasa tidak aman, gelisah,
dendam, menurunnya semangat belajar, hilangnya konsentrasi, menjadi
pendiam, serta mental anak menjadi lemah, menurunnya rasa percaya diri,
bahkan depresi. Dampak psikologi dapat dibagi menjadi ringan, sedang, dan
berat. Dampak psikologi ringan seperti resistensi terhadap lingkungan.
Dampak psikologi sedang seperti pendiam, menutup diri atau dikenal dengan
introvert. Dampak psikologi yang berat seperti bunuh diri.

3. Dampak seksual
Kebanyakan korban perkosaan merasakan kriteria psychological
disorder yang disebut post-traumatic stress disorder (PTSD), simtom-
simtomnya berupa ketakutan yang intens terjadi, kecemasan yang tinggi,
emosi yang kaku setelah peristiwa traumatis. Finkelhor dan Browne (dalam
Tower, 2002) menggagas empat jenis dari efek trauma akibat kekerasan
seksual, yaitu:
1) Betrayal (penghianatan)
Kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban kekerasan seksual.
Sebagai anak individu percaya kepada orangtua dan kepercayaan itu
dimengerti dan dipahami. Namun, kepercayaan anak dan otoritas orangtua
menjadi hal yang mengancam anak.
2) Traumatic sexualization (trauma secara seksual)
Russel menemukan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan
seksual cenderung menolak hubungan seksual, dan sebagai konsekuensinya
menjadi korban kekerasan seksual dalam rumah tangga.

3) Powerlessness (merasa tidak berdaya)


Rasa takut menembus kehidupan korban. Mimpi buruk, fobia, dan
kecemasan dialami oleh korban disertai dengan rasa sakit. Perasaan tidak
berdaya mengakibatkan individu merasa lemah.
4) Stigmatization
Korban kekerasan seksual merasa bersalah, malu, memiliki gambaran
diri yang buruk. Rasa bersalah dan malu terbentuk akibat ketidakberdayaan
dan merasa bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol dirinya.
Korban sering merasa berbeda dengan orang lain, dan beberapa korban marah
pada tubuhnya akibat penganiayaan yang dialami. Korban lainnya
menggunakan obat-obatan dan minuman alkohol untuk menghukum
tubuhnya, menumpulkan inderanya, atau berusaha menghindari memori
kejadian tersebut.

VII. Upaya Pencegahan Kekerasan pada Anak


Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah tindak kekerasan di
sekolah:
1. Upaya yang dilakukan oleh sekolah dalam mencegah tindak kekerasan
salah satunya menerapkan pendidikan tanpa kekerasan di sekolah
2. Mensosialisasikan tindakan - tindakan yang tergolong sebagai kekerasan
terhadap anak beserta peraturan - peraturannya.
3. Mensosialisasikan pada anak bahaya kekerasan yang mengancam mereka
sehingga anak dapat menghindari bahaya kekerasan.
4. Memberi dorongan kepada siswa untuk melaporkan kekerasan yang di
alami. Beri pemahaman kepada siswa bahwa melaporkan tindak kekerasan
di sekolah akan mencegah akibat yang lebih buruk. Pencantuman nomor
telepon guru atau kepala sekolah, di sudut-sudut sekolah memudahkan
siswa untuk melaporkan tindak kekerasan. Lindungi dan berikan
penghargaan siswa-siswa yang melaporkan tindak kekerasan.
5. Membentuk atau menjalin kerjasama antara kepala sekolah, guru, dan
orangtua siswa. Kerjasama yang lebih dalam berbagai program yang
intens antara guru, kepala sekolah dan orang tua harus ditingkatkan.
6. Menjalin komunikasi yang efektif antara orangtua dan guru. Komunikasi
antara guru atau kepala sekolah tidak hanya sebatas masalah akademik
atau keuangan saja tetapi yang lebih dalam menyangkut aktivitas anak di
sekolah. Aktivitas siswa baik kegiatan intra kurikuler ataupun ekstra
kurikuler dapat dijadikan topik dalam menjalin komunikasi dengan orang
tua siswa.
7. Orangtua menerapkan pola asuh yang menekankan dukungan daripada
hukuman. Hukuman tidak selamanya efektif membangun karakter siswa.
Tidak sedikit hukuman yang menimbulkan ketakutan, trauma dan dendam
pada siswa sehingga menimbulkan gangguan psikologis bagi siswa.
Menyadarkan orang tua dan pendidik tentang pentingnya pendekatan yang
memotivasi siswa untuk berubah adalah hal yang sangat penting.
8. Penegak hukum harus lebih serius menindak lanjuti laporan - laporan
kekerasan terhadap anak hingga tuntas.

I. Traumatologi

Traumatologi berasal dari kata trauma dan logos. Trauma berarti


kekerasan atas jaringan tubuh yang hidup (living tissue), sedangkan logos
berarti ilmu. Traumatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang luka dan
cedera serta hubunganya berbagai kekerasan (ruda paksa), sedangkan yang
dimaksud dengan luka adalah suatu keadaan yang tidak sinambungan jaringan
tubuh akibat kekerasan.
Pemeriksaan yang paling banyak dilayani dokter untuk vissum et
repertum adalah untuk korban yang mengalami trauma (cedera), baik yang
masih hidup, atau yang meninggal dunia. Berbeda dengan pelayanan luka
untuk penyembuhan, untuk visum seorang dokter melayaninya bagi
kepentingan medicolegal. Dimana dokter memeriksa dan merekam pendapat
tentang hubungan sebab akibat, karena pemeriksaan yang menyeluruh dan
menentukan proses hukum di pengadilan nanti. Diperlukan kejelasan
mengenai jenis trauma, alat yang digunakan, hubungan sebab akibat,
perkiraan umur luka serta derajad kualifikasi luka. Pada orang mati ditambah
dengan penentuan sebab, cara dan mekanisme kematiannya.

1. Trauma

Pengertian dari trauma yaitu, kekerasan yang mengenai tubuh


seseorang dapat menimbulkan efek pada fisik ataupun psikisnya. Dalam ilmu
kedokteran forensik efek fisik berupa luka-luka yang ditemukan dalam
tubuh/fisik korban lebih diperiksa dengan teliti.
Sehingga ditinjau dari berbagai sudut dan kepentingan, luka itu sendiri
dapat diklasifikasikan berdasarkan:
A. Etiologi.
I. Trauma Mekanik.
1. Kekerasan tumpul.
a) Luka memar (bruise,contusion).
Memar merupakan salah satu bnetuk luka yang ditandai oleh
kerusakan jaringa tanpa disertai diskontinuitas permukaan kulit.
Kerusakan ini disebabkan oleh pecahnya kapiler sehingga darah keluar
dan meresap ke jaringan di sekitarnya.
Mula-mula terjadi pembengkakan, menjadi berwarna merah
kebiruan, sesudah 4 atau 5 hari berubah menjadi kuning kehijauan dan
setelahnya menjadi kuning.
b) Luka lecet (abration).
Luka lecet adalah luka yang disebabkan oleh rusaknya lapisan luar
kulit.
Ciri-ciri luka lecet adalah:
- bentuk tidak teratur
- batas luka tidak rata
- Tepi luk aitdak rata
- Dapat ditemukan sedikit perdarahan
- Permukaannya tertutup oleh krusta
- Warna coklat kemerahan
- Pada pemeriksaan mikroskopisk terlihat epitel dan inflamasi
c) Luka robek (laceration).
Luka robek atau terbuka adalah luka yang disebabkan oleh
pesentuhan dengan benda tumpul dengan kekuatan yamg mampu
merobek kulit serta jaringan di bawahnya.
Ciri-ciri luka robek adalah:
- Batas luka tidak teratur
- Tepi tidak rata
- Tebing luka tak rata
- Terdapat jembatan jaringan
- Lokasi luka leibh muda terjadi pada dareah yang dekat dengan
tulang

d) Patah tulang pergeseran sendi (fraktur, dislocation).

2. Kekerasan tajam.
Trauma tajam adalah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka
pada permukaantubuh oleh benda-benda tajam.
Ciri-ciri umum dari luka benda tajam adalah:
a. Garis batas luka biasanya teratur, tepinya rata, dan sudutnya
runcing.
b. Jika disambung akan mejadi rapat karena benda tersebut hanya
memisahkan, tidakmenghancurkan jaringan dan membentuk
garis lurus dari sedikit lengkung.
c. Tidak ada jembatan jaringan.
d. Daerah di sekitar garis batas luka tidak ada memar.

Sebab kematian pada luka tajam:


a. Kerusakan organ vital
b. Emboli udara
c. Aspirasi darah
d. Sepsis / infeksi

1. Luka sayat (vulnus schissum)


Luka sayat adalah luka karena alat yang tepinya tajam dan
timbulnya luka karena alatditekan pada kulit dengan kekuatan
relatif ringan kemudian digeserkan sepanjang kulit.Komplikasi
fatal dari luka iris yang paling sering terjadi adalah perdarahan
sepsis. Luka sayatpada kasus bunuh diri paling sering terjadi di
kerongkongan, pergelangan tangan dan, lenganbawah sisi fleksor.
Seseorang biasanya memegang senjata dengan tangan kanannya
danmemulai irisan dari sisi kiri ke sisi kanan, atau mungkin dia
mengiris dari sisi kanan leher kedepan dan ke bawah. Seseorang
yang kidal akan mengiris dirinya dengan cara yang sama,pada
umumnya memulai irisan dari sisi kanan leher.
Ciri luka sayat adalah:
- pinggir luka rata
- sudut luka tajam
- rambut ikut terpotong
- jembatan jaringan tidak ada
- biasanya mengenai kulit, otot, pembuluh darah, tidak
sampai tulang.
.
2. Luka tusuk (vulnus ictum)
Luka tusuk adalah luka akibat alat yang berujung runcing
dan bermata tajam atautumpul yang terjadi dengan suatu tekanan
tegak lurus atau serong pada permukaan tubuh.Efek yang terjadi
pada luka tusuk tergantung dari lokasinya pada tubuh. Luka dapat
terjadipada dada, abdomen tulang belakang, leher, kepala dan
ekstremitas. Contohnya pisau danbayonet.
Ciri-ciri luka tusuk (misalnya senjata pisau / bayonet) adalah:
- tepi luka rata
- dalam luka lebih besar dari panjang luka
- sudut luka tajam
- sisi tumpul pisau menyebabkan sudut luka kurang tajam
- sering ada memar / echymosis di sekitarnya
Luka tusukan biasanya lebih dalam (melalui kulit dan masuk
ke dalam tubuh)daripada yang lebar (pada permukaan kulit),
seperti yang ditunjukkan pada gambar di bawah.Pada luka tusuk,
sudut luka dapat menunjukkan perkiraan benda penyebabnya,
apakahberupa pisau bermata satu atau bermata dua. Bila satu sudut
luka lancip dan yang lain tumpul,berarti benda penyebabnya
adalah benda tajam bermata satu. Bila kedua sudut luka lancip,luka
tersebut dapat diakibatkan oleh benda tajam bermata dua.
Pada luka tusuk, panjang luka biasanya tidak
mencerminkan lebar benda tajampenyebabnya, demikian pula
panjang saluran luka biasanya tidak menunjukkan panjangbenda
tajam tersebut. Hal ini disebabkan oleh faktor elastisitas jaringan
dan gerakan korban.
Umumnya luka akibat kekerasan benda tajam pada kasus
pembunuhan, bunuh diri,atau kecelakaan memiliki ciri-ciri berikut:
- Pembunuhan Bunuh diri Kecelakaan
- Lokasi luka Sembarang Terpilih Terpapar
- Jumlah luka Banyak Banyak Tunggal/banyak
- Pakaian Terkena Tidak terkena Terkena
- Luka tangkis
- Luka percobaan
- Cedera sekunder
Karakteristik luka tusuk antara lain:
1. Panjang dan kedalaman luka
Pada luka tusuk, panjang luka pada kulit dapat sama, lebih
kecil ataupun lebih besardibandingkan dengan lebar pisau.
Kebanyakan luka tusuk akan menganga bukan karena sifatbenda
yang masuk tetapi sebagai akibat elastisitas dari kulit. Pada bagian
tertentu pada tubuh,dimana terdapat dasar berupa tulang atau serat
otot, luka itu mungkin nampak berbentukseperti kurva. Panjang
luka penting diukur dengan cara merapatkan kedua tepi luka sebab
ituakan mewakili lebar alat. Panjang luka di permukaan kulit
tampak lebih kecil dari lebar alat,apalagi bila luka melintang
terhadap otot. Jika luka masuk dan keluar melalui alur yang
samamaka lebar luka sama dengan lebar alat. Namun, sering yang
terjadi lebar luka melebihi lebaralat kerena tarikan ke samping
waktu menusuk dan waktu menarik. Demikian juga bilaalat/pisau
yang masuk kejaringan dengan posisi yang miring.
Pemakaian istilah ‘luka penetrasi’ ditunjukkan untuk
menjelaskan dimana dalamanluka yang diakibatkan oleh benda itu
melebihi lebar luka yang tampak pada permukaan kulit. Dalamnya
luka sulit ditentukan pada daerah tanpa tulang seperti di daerah
abdomen olehkarena elastisitas dinding perut tersebut. Panjang
saluran luka atau kedalaman luka dapatmengindikasikan panjang
minimum dari senjata yang digunakan, jika bagian pangkal
senjatamasuk kedalam tubuh. Umumnya dalam luka lebih pendek
dari panjang senjata, karenajarang ditusukan sampai ke pangkal
senjata.
2. Bentuk Luka
Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi bentuk luka,
yaitu bentuk dan ukuransenjata yang digunakan, arah dorongan,
gerakan senjata pada luka, gerakan korban yangditusuk, dan
keadaan elastisitas kulit. Bentuk luka merupakan gambaran yang
penting dariluka tusuk karena hal itu akan sangat membantu dalam
membedakan berbagai jenis senjatayang mungkin telah
dikumpulkan oleh polisi dan dibawa untuk diperiksa. Daerah tepi
lukadapat memberikan informasi ketajaman senjata yang
digunakan. Senjata yang tumpulmisalnya akan membuat tepi luka
mengalami abrasi. Pinggir luka dapat menunjukan bagianyang
tajam (sudut lancip) dan tumpul (sudut tumpul) dari pisau
berpinggir tajam satu sisi.Pisau dengan kedua sisi tajam akan
menghasilkan luka dengan dua pinggir tajam.Bentuk luka juga
tergantung seberapa banyak bagian pisau (senjata) yang masuk
kedalam tubuh, oleh karena itu penting mengetahui berbagai
kemungkinan bentuk senjata yangdigunakan.
Beberapa pola luka yang dapat ditemukan seperti tusukan
masuk, yang kemudian dikeluarkan sebagian, dan kemudian
ditusukkankembali melalui saluran yang berbeda. Pada keadaan
tersebut luka tidak sesuai dengangambaran biasanya dan lebih dari
satu saluran dapat ditemui pada jaringan yang lebihdalam maupun
pada organ.

- Tusukan masuk kemudian dikeluarkan dengan mengarahkan ke


salah satu sudut sehinggaluka yang terbentuk lebih lebar dan
memberikan luka pada permukaan kulit seperti ekor.
- Tusukan masuk kemuadian saat masih di dalam ditusukkan ke
arah lain, sehingga saluranluka menjadi lebih luas. Luka luar yang
terlihat juga lebih luas dibandingkan denganlebar senjata yang
digunakan.
- Tusukan masuk yang kemudian dikeluarkan dengan
mengggunakan titik terdalamsebagai landasan sehingga saluran
luka sempit pada titik terdalam dan terlebar padabagian superfisial.
Luka luar lebih besar dibandingkan lebar senjata yang digunakan.
- Tusukan diputar saat masuk, keluar, maupun keduanya. Sudut
luka berbentuk iregulerdan besar.

3. Luka bacok (vulnus caesum)


Luka bacok disebabkan oleh kombinasi luka akibat kekerasan
benda tumpul dan kekerasanbenda tajam yang dihasilkan oleh
benda tajam yang dipegang dengan kecepatan masuk yangsangat
kuat. Benda yang digunakan sering merupakan benda berat dan
bergerak dengankecepatan tinggi kecepatan atau dengan
percepatan sudut yang signifikan. Karena jumlahyang lebih besar
dari kekuatan, luka bacok memiliki tampilan dari kedua cedera
senjatatajam dan tumpul. Dengan demikian, luka bacok sering
memiliki lecet dan memar marginal,dan kadang-kadang laserasi,
seperti yang digambarkan di bawah ini. Luka bacok adalah luka
akibat benda atau alat yang berat dengan mata tajam atauagak
tumpul yang terjadi dengan suatu ayunan disertai tenaga yang
cukup besar. Contohnyapedang, clurit, dan kapak.
Ciri luka bacok adalah:
- luka biasanya besar.
- pinggir luka rata.
- sudut luka tajam.
- hampir selalu menimbulkan kerusakan pada tulang, dapat
memutuskan bagian tubuh yangterkena bacokan.
- kadang-kadang pada tepi luka terdapat memar, aberasi

Cara Kematian pada luka bacok :


- Pembunuhan (terbanyak)
- Kecelakaan

II. Trauma thermis (suhu).


1. Temperatur panas.
a) Terpapar suhu panas (heat stroke, heat exhaustion, heat cramp).
b) Benda panas (luka bakar dan scald).
2. Temperatur dingin.
a) Terpapar dingin (hipothermia).
b) Efek local (frost bite).
III. Trauma kimiawi. Zat iritatif.
1. Golongan asam
Ciri-ciri luka yang terjadi akibat zat-zat asam adalah:
- Terlihat kering
- Berwarna coklat kehitaman keculai yang disebabkan asam nitrat
berwarna kuning kehijauan
- Perabaan keras dan kasar
2. Golongan basa
Ciri-ciri luka yang terjadi akibat zat basa adalah
- Terlihat basah dan edematous
- Berwarna merah kecoklatan
- Perabaan lunak dan licin
IV. Trauma listrik, ledakan dan petir.
1. Sengatan listrik dapat menimbulkan luka bakar sebagai akibat berubahnya
energi listrik menjadi panas. Bentuk luka pada daerah kontak berupa
kerusakan lapisan kulit dengan tepi agak menonjol dan di sekitarnya terdapat
daerah pucat, dikelilingi daerah hypermis. Sering ditemukan adanya
metalisasi.
2. Sengatan petir
Sengatan petir sebenarnya merupakan luka-luka gabungan akibat listrik,
panas, dan ledakan udara. Luka akibat panas merupakan luka bakar, luka akibat
ledakan udara berupa luka yang mirip dengan luka akibat kekerasan tumpul. Pada
korban mati sering ditemukan adanya aborescent mark (percabangan pembuluh
darah terlihat seperti percabangan pohon), metalisasi benda dari logam yang
dipakai, magnetisasi benda-benda logam yang dipakai.

B. Derajat kualifikasi luka


1. Luka ringan.
Luka ringan adalah luka yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
dalam menjalankan perkerjaan jabatan atau pekerjaan mata pencahariannya
2. Luka sedang.
Luka sedang adalah luka yang dapat menimbulkan penyakit atau halangan
dalam menjalankan pekerjaan jabatan/pekerjaan mata pencaharian untuk
sementara waktu
3. Luka berat.
Beberapa syarat luka berat:
- Penyakit atau luka yang tak dapat diharapkan sembuh dengan
sempurna
- Luka yang datang mendatangkan bahaya maut
- Rintangan tetap menjalankan pekerjaan jabatan atau pekerjaan
mata pencaharian
C. Medikolegal.
1. Perbuatan sendiri (suicide), kadang dijumpailuka percobaan (tentative
wound).
Ciri-ciri lukanya:
- Lokasi luka pada daerah yang dapat mematikan secara cepat
- Lokasi tersebut dapat dijangkau oleh tangan yang bersangkutan
- Pakaian yang menutupi luka tidak ikut robek
- Ditemukan luka-luka percobaan
2. Perbuatan orang lain (homicide), kadangdijumpai luka tangkis (defence
wound).
Ciri-ciri luka:
- Letak di sembarang tempat, yaitu di daerah yang mematikan maupun
yang tidak mematikan
- Lokasi tersebut di daerah yang dapat dijangkau maupun yang tidak
dapat di jangkau
- Pakaian yang menutupi daerah luka ikut robek terkena senjata
- Dapat ditemukan luka tangkisan yaitu pada korban yang sadar ketikda
mengalmi serangan
I. ASFIKSIA

1. Definisi

Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan


pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia)
disertai dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Organ tubuh dapat
mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hpoksik) dan terjadi kematian.
Asfiksia dapat disebabkan oleh:
1. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran
pernafasan. Contohnya difteri dan fibrosis paru.
2. Trauma mekanik. Trauma yang mengakibatkan asfiksia mekanik misalnya
trauma yang mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak,
pneumotoraks bilateral, sumbatan atau halangan pada saluran napas.
3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya
narkotika.
4 fase dan gejala klinis pada asfiksia:
• Fase dyspnea:
• Penurunan kadar oksigen dan penimbunan karbondioksida
• Perangsangan medula oblongata
• Peningkatan frekuensi napas, peningkatan nadi, peningkatan tekanan
darah, mulai tampak sianosis
• Fase konvulsi:
• Peningkatan kadar karbon dioksida  Perangsangan sistem saraf
pusat
• Kejang klonik, tonik, spasme opistotonik
• Hipoksia pada otak: dilatasi pupil, penurunan denyut jantung,
penurunan tekanan darah
• Fase apnea:
• Napas melemah hingga terhenti
• Penurunan kesadaran, terjadi relaksasi sfingter (keluar urin, feses, dan
cairan sperma)
• Fase Akhir:
• Paralisis pusat napas lengkap
• Kontraksi otot pernapasan mengecil pada leher sehingga terjadi henti
napas

Pemeriksaan jenazah yang mengalami asfiksia


Pemeriksaan luar jenazah Pemeriksaan bedah jenazah (tanda
klasik asfiksia)
Sianosis pada bibir, ujung jari Petekie pada mukosa usus halus,
tangan dan kaki epicardium, subpleura viseralis
paru
Pembendungan sistemik maupun Kongesti sirkulasi seluruh organ
pulmoner dan dilatasi jantung kanan dalam tubuh, berwarna lebih gelap
dan pengirisan banyak
mengeluarkan darah
Warna lebam mayat merah-kebiruan Edema paru akibat hipoksia
gelap dan terbentuk lebih cepat
Terdapat busa halus pada hidung Kelainan yang berhubungan dengan
dan mulut akibat peningkatan kekerasan, seperti fraktur laring
aktivitas pernapasan dan sekresi
selaput lendir saluran napas bagian
atas
Gambaran pembendungan pada Busa halus pada saluran pernapasan
mata akibat pelebaran pembuluh
darah konjungtiva bulbi dan
palpebra
Darah berwarna lebih gelap dan
lebih encer akibat fibrinolisin
meningkat pasca kematian

Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan
terhalang memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan yang bersifat
mekanik, misalnya:
1. Penutupan lubang saluran pernapasan bagian atas:
a. Pembekapan (smothering)
b. Penyumbatan(Gagging dan choking)
2. Penekanan dinding saluran pernapasan:
a. Penjeratan (strangulation)
b. Pencekikan (manual strangulation)
c. Gantung (hanging)
3. Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik)
4. Saluran pernapasan terisi air (tenggelam, drowning)
1. Pembekapan adalah penutupan lubang hidung dan mulut yang
menghambat pemasukan udara ke paru-paru.
Cara kematian pembekapan dapat berupa:
a. Bunuh diri
b. Kecelakaan, bayi dalam bulan awal kehidupannya, contoh bayi
premature
c. Pembunuhan, biasanya pada pembunuhan anak sendiri
Kekerasan yang mungkin terdapat adalah luka memar atau lecet pada
bagian bibir akibat terdorong dan menekan gigi, gusi dan lidah.
2. Gagging atau choking adalah sumbatan jalan nafas oleh benda asing,
gagging pada orofaring dan choking pada laringofaring.
Cara kematian berupa:
a. Bunuh diri
b. Kecelakaan
c. Pembunuhan
Terjadi asfiksia atau reflex vagal akibat rangsangan reseptor nervus
vagus di arkus faring yang menimbulkan inibisi kerja jantung.
3. Manual Strangulation (pencekikan) adalah salah satu bentuk asfiksia
yang diakibatkan oleh adanya penyumbatan pada pembuluh darah atau
saluran pernafasan dikarenakan penekanan pada leher dengan tangan.
Mekanisme yang terjadi:
a. Asfiksia
b. Refleks vagal, akibat kompresi a. karotis atau v. jugularis ->
kompresi laring, trakea, atau laringofaring -> reflex sinus
karotis
Ditemukan perbendungan pada daerah wajah, tanda kekerasan pada
leher berupa luka lecet, dangkal dan berbentuk bulan sabit akibat
penekanan kuku jari, luka memar.
4. Strangulation (penjeratan) adalah penekanan benda asing berupa tali,
ikat pinggang, dan sebagainya, yang melingkari atau mengikat leher
yang makin lama semakin kuat, sehingga saluran napas tertutup.
Mekanisme yang terjadi:
a. Asfiksia
b. Refleks vagal, akibat kompresi a. karotis atau v. jugularis ->
kompresi laring, trakea, atau laringofaring -> reflex sinus
karotis
Dua jenis simpul jerat:
a. Simpul hidup: lingkar jerat dapat diperbsesar dan diperkecil
b. Simpul mati: lingkar jerat tidak dapat diubah
Simpul harus diamankan dengan melakukan pengikatan dengan
benang agar tidak berubah pada waktu mengangkat jerat. Untuk
melepaskan jerat, jerat digunting pada tempat yang berlawanan dari
letak simpul.
Pada pemeriksaan jenazah perlu diperhatikan jejas jerat dan bahan tali
jerat. Jejas jerat pada leher biasanya mendatar, melingkari leher, dan
lebih rendah daripada jejas jerat kasus gantung. Bila bahan tali jerat
lunak dan lebar, akan ditemukan sedikit resapan darah.
Cara kematian berupa:
1. Bunuh diri, berupa simpul hidup atau bahan hanya dililitkan saja
2. Pembunuhan, berupa simpul mati
3. Kecelakaan

5. Gantung (hanging)
Pada penjeratan, tenaga tersebut dating dari luar, namun pada kasus
jantung penjeratan pada berat badan sendiri.
Mekanisme kematian pada kasus gantung:
1. Kerusakan pada batang otak dan medulla spinalis akibat dislokasi
fraktur vertebrae laeher
2. Asfiksia
3. Iskemia otak akibat terhambatnya arteri pada leher
4. Refleks vagal

Posisi korban pada kasus gantung diri:


1. Kedua kaki tidak menyentuh lantai
2. Duduk berlutut
3. Berbaring
Jenis gantung diri:
1. Typical hanging, titik penggantungan pada daerah oksiput dan
tekanan pada a. karotis paling besar
2. Atypical hanging, titik penggantungan disamping sehingga leher
dalam posisi miring dan terjadi hambatan pada . vertebralis dan a.
karotis Jejas jerat relatif lebih tinggi pada leher dan tidak mendatar,
melainkan meninggi di bagian simpul, kulit mencekung sesuai
bahan penjeratannya, berwarna cokelat, perabaan kaku, pada tepi
jejas dapat ditemukan luka lecet. Distribusi lebam mayat pada
kasus gantung mengarah ke bawah, yaitu kaki, tangan dan
genitalia eksterna.

You might also like