Professional Documents
Culture Documents
Journal Reading Child Homicide Victims in Forensic Autopsy in Taiwan: A 10-Year Retrospective Study
Journal Reading Child Homicide Victims in Forensic Autopsy in Taiwan: A 10-Year Retrospective Study
PENULIS:
Gracenedy Mutiara Hermawan FK UAJ
Anthony Yauwono FK UAJ
Maryani Kurniawan FK UAJ
Erina Damayanti Ligin FK UAJ
Eunike Amadea FK UAJ
Jessica Trixie FK UAJ
Vian Aprilya FK UNIMUS
Thariq Ahmad FK UNIMUS
KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. KARIADI SEMARANG
PERIODE 22 Oktober 2018 S.D. 04 November 2018
DAFTAR ISI
Puji syukur kami panjatkan kepada tuhan yang maha esa atas rahmat-nya
sehingga tim penulis dapat menyelesaikan journal reading yang berjudul “child
homicide victims in forensic autopsy in Taiwan: a 10 years restrospective study”
penyusunan dan penulisan journal reading ini merupakan salah satu syarat guna
memenuhi tugas kepaniteraan forensic. Tim penulis mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya bagi pihak-pihak yang telah membimbing dan mendukung tim
penulis dalam menyelesaikan referat ini, yaitu :
1. dr. Bianti Hastuti Machroes, MHKes, Sp. KF selaku dosen penguji.
2. dr. suroto … selaku residen pembimbing.
3. Orang tua beserta keluarga kami yang telah memberikan dukungan
moral maupun material.
4. Rekan-rekan lainnya yang telah mendukung dalam penyusunan
journal reading ini.
Tim penulis tentunya menyadari masih terdapat kekurangan-kekurangan pada
journal reading ini. Untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun
untuk memperbaiki kekurangan dan melengkapi journal reading ini kedepannya.
Akhir kata kami berharap journal reading ini dapat bermanfaat menambah wawasan
bagi semua kalangan pembaca.
Tim penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Dari data statistik di Amerika serikat pada tahun 2013 ditemukan sebanyak
679.000 anak adalah korban kekerasan dan penelantaran, 1520 anak meninggal, dan
sebanyak 9 % mengalami kekerasan seksual. Pada tahun 2014, berdasarkan data dari
2
Centers for Disease Control and Prevention ditemukan sebanyak 702.000 korban
kekerasan dan penelantaran, dan dilaporkan sebanyak 27% korban masih berusia di
bawah 3 tahun. 3
Kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia sejak tahun 2007 hingga tahun
2013 terus mengalami peningkatan. Kekerasan terhadap anak sudah terjadi sejak lama
dan saat ini menjadi masalah global. Untuk memecahkan masalah tersebut,
membutuhkan pemahaman tentang kejadian, sebab dan konsekuensinya. Oleh sebab
itu, diperlukan pengetahuan yang cukup mengenai pencegahan tindak kekerasan
terhadap anak dan peran serta dari masyarakat, dan tenaga kesehatan agar dapat
melaporkan apabila menemukan kasus tindak kekerasan pada anak sehingga dapat
memutus rantai tindak kekerasan tersebut dan menekan angka kejadian kekerasan
terhadap anak.
1.2 Rumusan masalah
1. bagaimana cara mendeteksi adanya kekerasan pada anak ?
2. bagaimana hubungan antara korban dan pelaku pada kasus kekerasan pada
anak ?
3. apa yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan pada anak ?
1.3 Tujuan
1. meningkatkan kemampuan dan pengetahuan deteksi kasus kekerasan pada anak
dari dokter melalui pola cedera pada anak .
2. mengetahui hubungan antara korban dan pelaku pada kasus kekerasan pada
anak.
3. mengetahui penyebab yang melatarbelakangi kasus kekerasan pada anak.
Abstrak
Pembunuhan anak adalah masalah medikolegal yang kritis di seluruh dunia.
Data tentang karakteristik kasus-kasus ini di Asia terbatas. Penelitian ini bertujuan
untuk mendeskripsikan karakteristik pembunuhan anak di Taiwan.
Analisis retrospektif dari catatan otopsi forensik korban pembunuhan anak
(usia 0-17 tahun) di Taiwan, selama periode 10 tahun antara tahun 2001 dan 2010,
telah dilakukan. Usia, jenis kelamin, hubungan dengan pelaku, pola cedera korban,
dan penyebab kematian dianalisis.
Secara keseluruhan, 193 otopsi pembunuhan anak diidentifikasi. Ada 38
(19,7%), 82 (42,5%), 25 (13,0%), dan 48 (24,9%) masing masing korban
pembunuhan berusia di bawah 1, 1-5, 6-12, dan 13-17 tahun. Seratus anak laki-laki
(usia rata-rata: 8,4±7,0) dan 93 anak perempuan (usia rata-rata: 3,7±4,3) dimasukkan.
Dominasi wanita tercatat di antara para korban yang berusia 0-5 tahun. Trauma
tumpul (53,4%) adalah metode cedera yang paling sering, diikuti oleh mati lemas /
strangulasi (20,2%) dan trauma tajam (13,0%). Bruise (64,8%) dan cedera otak
(45,1%) adalah jenis cedera yang paling umum. Tengkorak (62,2%) dan wajah
(60,6%) adalah daerah tubuh yang paling sering terluka. Distribusi cedera fatal
bervariasi di antara korban di berbagai kelompok usia. Syok neurogenik, asfiksia, dan
syok hemoragik paling sering terjadi pada korban yang berusia 0-5, 6–12, dan 13–17.
Penyebab kematian yang paling sering adalah cedera kepala tumpul (40,4%), mati
lemas / strangulasi (20,2%), dan trauma tajam paru (7,3%). Jenis pelaku, metode
cedera, jenis cedera, distribusi cedera, mekanisme kematian, dan penyebab kematian
secara signifikan berbeda di antara korban dari kelompok usia yang berbeda. Delapan
belas (9,33%) korban tidak menunjukkan bukti trauma luar.
Pola cedera, mekanisme kematian, dan penyebab kematian berbeda di antara
korban dari kelompok usia yang berbeda. Dominasi wanita tercatat di antara para
korban yang berusia 0–5 tahun. Autopsi forensik lengkap diperlukan untuk
mengidentifikasi pembunuhan anak. Laporan ini akan membantu pemeriksa forensik
dan ahli patologi forensik mengenali tanda-tanda pembunuhan anak dan berfungsi
sebagai basis kerja bagi para profesional ini.
Kata kunci: Pembunuhan anak, otopsi forensik, pelecehan anak, pembunuhan-
pembunuhan, penyebab kematian.
Introduksi
Kekerasan terhadap anak-anak (di bawah 18 tahun menurut definisi anak dari WHO)
adalah masalah medis-hukum penting yang menarik perhatian publik di seluruh
dunia. pembunuhan anak, jenis kekerasan ekstrim terhadap anak-anak, adalah salah
satu kasus yang paling menantang bagi ahli patologi forensik. Dari tahun 2002 hingga
2011, tingkat pembunuhan pada anak-anak berusia kurang dari sama dengan 11 tahun
dan 12-17 tahun masing-masing berkisar antara 1,4 hingga 1,6 dan 2,7 hingga 4,1 per
100.000 di AS. Di Taiwan, tingkat pembunuhan anak-anak berusia 0-14 tahun dan
remaja berusia 15-19 tahun masing-masing adalah 0,6 dan 0,5 per 100.000 pada tahun
2012.
Di Taiwan, semua orang yang diduga mengalami kematian tidak wajar harus
dilaporkan ke polisi. Setelah penyelidikan awal oleh polisi dan pemeriksaan jenazah
oleh ahli forensik, jaksa akan memutuskan perlunya mengeluarkan perintah untuk
otopsi forensik. Apabila terdapat kecurigaan atau bukti yang jelas bahwa tindakan
ilegal telah dilakukan, maka otopsi medikolegal harus dilakukan. Namun, insiden
pembunuhan anak kerap diremehkan, karena pola kekerasan atau penganiayaan
terkait kematian anak kerap diabaikan. Pemahaman yang baik tentang pembunuhan
anak akan memungkinkan pemeriksa untuk lebih waspada terhadap kasus-kasus yang
mencurigakan.
Karakteristik pembunuhan anak berbeda dari pembunuhan orang dewasa.
Penganiayaan anak oleh orang tua anak atau orang dewasa lainnya telah dilaporkan
sebagai faktor paling umum dari pembunuhan anak. Trauma tumpul pada kepala dan
eksanguinasi telah dilaporkan sebagai penyebab kematian paling sering dalam
pembunuhan anak. Pembunuhan bersamaan dengan bunuh diri relatif umum terjadi
sebagai kasus pembunuhan anak. Jenis-jenis pembunuhan anak terkait erat dengan
budaya dan penggunaan senjata serta pola cedera dapat bervariasi di berbagai negara.
Ada analisis mendalam tentang pembunuhan anak di Asia, yang diperlukan untuk
mendesain dan memantau upaya pencegahan.
Penelitian ini didesain untuk memeriksa catatan otopsi dari kasus-kasus pembunuhan
sejak lahir hingga 17 tahun di Taiwan. Peneliti bermaksud untuk menganalisis
karakteristik demografi, hubungan pelanggar, metode cedera, pola cedera, dan
penyebab kematian di antara korban pembunuhan anak dari berbagai usia.
Metode
Studi retrospektif ini disetujui oleh Institutional Review Board dan dilakukan
di Institute of Forensic Medicine, Kementrian Keadilan, Republik Rakyat Tionghoa.
Institusi ini menangani 85,5% otopsi medicolegal di Taiwan.
Data dari semua pembunuhan anak-anak (usia 17 dan di bawah) dibawa ke lembaga
ini untuk otopsi medikolegal, kasus dari tahun 2001 hingga 2010 dan dijadikan kasus
untuk diperiksa. Data dikumpulkan dari otopsi forensik termasuk dari investigasi
tempat kejadian peristiwa. Informasi tentang pelaku dan keadaan kriminal dilaporkan
ke polisi dibawah supervisi jaksa. Otopsi medikolegal dilakukan oleh ahli patologis
forensik. Hampir semua kasus dilakukan pemeriksaan histologi dan toksikologi. Tes
DNA dilakukan, bila dibutuhkan identifikasi dari korban. Data yang dikumpulkan
berupa identitas korban, jenis kelamin, usia, tempat kejadian, hubungan antara korban
dengan pelaku, jenis kelamin pelaku, jenis senjata yang digunakan, bagian yang
terluka, jenis dan ukuran dari luka, sebab kematian, mekanisme kematian
(patofisiologi) dan cara kematian. Perdarahan retina tidak diperiksa selama penelitian
dilakukan. Pemeriksaan radiologis untuk memeriksa fraktur tidak dilakukan. Analsis
deskriptif dilakukan dengan program Statistical Analysis System (SAS) versi 9.2.
Statistik deskriptif (mean dan proporsi) dihitung dan dikategorikan dan dibandingkan
dengan tes pear-son x2. Nilai P sebesar 0,05 atau kurang dinilai signifikan
Hasil
Otopsi yang dilakukan di institusi ini dari Januari 2001 hingga Desember 2010 adalah
sebanyak 16.160 otopsi dengan pembunuhan menyumbang sebanyak 2.262 kasus.
Secara keseluruhan terdapat 193 kasus pembunuhan dengan korbannya adalah anak-
anak dengan rata – rata usia 6 tahun dan terbagi menjadi 100 anak laki – laki dengan
rata – rata di usia 7 atau 8 tahun dan 93 anak perempuan dengan rata – rata di usia 3
atau 4 tahun. Pemeriksaan histologi dilakukan di seluruh kasus (100%) dan untuk
pemeriksaan toksikologi dilakukan pada 184 kasus (95,3%).
Cara yang sering digunakan pengasuh untuk memukul anak adalah dengan tinju
(46,5%, 66/142), dan dengan menggunakan tongkat (14,1%, 20/142), tetapi yang
bukan pengasuh biasanya memukul korban dengan pisau (39,2%, 20/51), tinju
(27,5%, 14/51), dan tongkat (21,6%, 11/51). Metode pembunuhan yang paling sering
adalah dengan benda tumpul (53,4%) diikuti oleh mati lemas / leher dicekik (20,2%)
dan kekerasan dengan benda tajam (13,0%). Pola pembunuhan metode berbeda di
antara kelompok usia. Leher dicekik adalah paling umum secara proporsional dalam
kelompok usia 6-12 tahun dan kekerasan dengan benda tumpul terjadi lebih sering
pada kelompok usia lainnya. Jenis kelamin berkaitan dengan pola metode
pembunuhan. Kekerasan dengan benda tumpul paling sering di antara kedua jenis
kelamin. Lebih banyak kematian akibat mati lemas / pencekikan di antara korban
perempuan daripada laki-laki (P = 0,0025), dan secara signifikan lebih banyak
kematian akibat kekerasan benda tajam di antara laki-laki daripada korban perempuan
(P = 0,026). Ada 11 (3 laki-laki dan 8 perempuan) korban yang baru lahir (≤ 28 hari).
Metode cedera pada bayi yang baru lahir yaitu penelantaran (3), tenggelam (3),
terjatuh dari ketinggian (2), mati lemas (2), dan luka bakar (1). Jenis trauma yang
umum termasuk yaitu memar (64,8%), lecet (35,2%), laserasi (20,7%), pemotongan
(18,1%), cedera otak (45,1%), perdarahan intra-toraks (13,0%), perdarahan intra-
abdomen (11,4%), dan fraktur (21,2%).
Abrasi dan pemotongan / tusukan luka lebih sering terjadi pada korban berusia 6-17
tahun (P = 0,0039 untuk abrasi; P <0,0001 untuk memotong / menusuk). Cedera otak
lebih banyak umum pada korban berusia 0–5 tahun (P = 0,0009). Kepala (62,2%) dan
wajah (60,6%) adalah bagian tubuh yang paling sering terkena yang diikuti oleh
ekstremitas atas (46,6%) dan ekstremitas bawah (46,1%). Tungkai bawah, dan
tempurung kepala menyajikan lebih banyak luka daripada daerah yang lain. Sebagian
besar (88,6%, 171/193) kasus mengalami beberapa cedera yang melibatkan dua atau
lebih daerah tubuh, sedangkan 9,3%, (18/193) kasus sulit diamati penyebab cedera.
Dalam kasus-kasus yang berusia 0–5 tahun, luka biasanya dijumpai, pada tempurung
kepala dan wajah. Pada korban berusia 6-12 tahun, wajah adalah wilayah paling
sering terkena, diikuti oleh leher dan anggota gerak atas dan bawah. Anggota tubuh
bagian atas, tempurung kepala, dan dada adalah daerah yang sering terluka pada
kasus usia 13-17 tahun. Distribusi cedera fatal juga bervariasi di antara korban di
kelompok usia yang berbeda. Cedera kepala yang fatal adalah yang paling umum
pada korban berusia 0–5 dan 13–17 tahun. Perut, leher, dan dada cedera sering terjadi
pada korban yang berusia 1–5, 6–12, dan 13–17 tahun, masing-masing. Trauma
kepala paksa yang tumpul (termasuk sindrom bayi yang terguncang, trauma kepala
yang kasar, dan trauma kepala yang tidak disengaja), bentuk yang paling umum dari
penyebab kematian, menyumbang 40,4% dari korban jiwa, diikuti oleh mati lemas /
strangulasi 20,2% dan tajam memaksa trauma paru-paru di 7,3%. Kekerasan dengan
benda tumpul menyebabkan trauma hati dan Kekerasan dengan benda tajam dapat
menyebabkan trauma paru-paru sangat dominan pada korban yang berusia 1–5 dan
13–17 tahun, masing-masing.
Di antara 18 (9,3%) kasus tanpa cedera yang dapat diamati, penyebab kematian
adalah CO inhalasi (8), pengabaian (4), keracunan (3), mati lemas (2), dan terguncang
sindrom bayi (1). Sekitar 40,9%, 25,9%, dan 23,8% kematian adalah karena syok
neurogenik (termasuk kasus dengan cedera otak dan tekanan intrakranial berat yang
meningkat), asfiksia, dan syok hemoragik, masing-masing. Mekanisme kematian
bervariasi di antara korban dalam kelompok usia yang berbeda (P <0,0001). Syok
neurogenik, asfiksia, dan syok hemoragik paling sering terjadi pada korban berusia 0–
5, 6–12, dan 13–17 tahun, masing-masing. Pembunuhan seksual didokumentasikan
untuk lima korban berusia 6-12 tahun dan dua korban berusia 13–17; ketujuh
korbannya adalah perempuan. Dalam kasus, mati lemas / pencekikan adalah
penyebab paling umum kematian (85,7%, 6/7). Ada satu, sepuluh, dan tujuh
pembunuhan-pembunuhan korban yang berusia kurang dari 1, 1–5, dan 6–12,
masing-masing. CO inhalasi (61,1%) adalah penyebab kematian paling sering di
antara mereka.
Diskusi
Risiko dan pola pembunuhan pada anak-anak berbeda dari satu negara ke
negara lainnya. Tercatat terdapat pembunuhan anak sebesar 17% dari semua
pembunuhan di Taiwan, menyerupai dengan Amerika Serikat, yang berkisar dari 10%
hingga 20% di setiap negara bagian. Distribusi usia pada korban pembunuhan anak-
anak dalam penelitian ini termasuk insiden yang relatif tinggi, yaitu anak berusia di
bawah 1 tahun diikuti oleh mereka yang berusia 1–5 tahun. Angka ini sesuai dengan
distribusi usia dalam laporan anak sebelumnya, dengan insiden puncak dalam dua
tahun pertama kehidupan. Sebab, pengasuh adalah pelaku paling umum pada
kelompok anak-anak di usia ini. Proporsi relatif rendah pada korban yang berusia 6–
12 tahun. Pada korban berusia 0–5 tahun, dengan rasio anak laki-laki dengan
perempuan 1: 1,5 di mana di dominasi oleh anak perempuan. Temuan ini berbeda
dengan laporan yang terdapat di negara lain. Di antara korban berusia 13-17 tahun,
dominasi terdapat pada anak laki-laki dengan rasio anak laki-laki 5: 1. Hasil ini sesuai
dengan hasil laporan dari Amerika Serikat sebelumnya.
Mayoritas pelaku di antara korban berusia 0-12 tahun adalah ibu, sedangkan
mayoritas pelanggar korban berusia 13–17 tahun adalah orang lain. Hasil ini sesuai
dengan laporan sebelumnya. Mayoritas korban pembunuhan anak disebabkan oleh
benda tumpul diikuti oleh asfiksia dan benda tajam. Hal ini berbeda dari temuan
laporan sebelumnya dari beberapa negara lain, di mana ditemukan mayoritas
disebabkan oleh senjata api dan benda tajam . Terdapat peraturan mengenai senjata
yang ketat dan kepemilikan senjata api yang sangat rendah di Taiwan, sehingga pada
penelitian ini luka tembak jarang terjadi.
Memar (64,8%) adalah cedera eksternal yang paling sering terjadi dalam
penelitian ini, diikuti oleh luka lecet (35,2%). Memar (58,1%) dan luka lecet (23,7%)
juga ditemukan normal terdapat pada anak-anak berusia 0–17 tahun dalam laporan
Labbe´ dan Caouette, tetapi frekuensi memar dan luka lecet di antara subjek
penelitian ini tampak lebih tinggi daripada anak normal. Jenis cedera kulit lainnya,
seperti luka robek (20,7%), luka tusuk (18,1%), dan luka bakar (5,7%), hasilnya
ditemukan lebih tinggi dibandingkan anak-anak normal (1,9%). Tingkat fraktur
dicatat dalam penelitian ini (21,2%), di mana lebih rendah dari yang dilaporkan
dalam pembunuhan terkait pelecehan anak (40%). Mungkin salah satu alasannya
mengapa pengambilan gambar x-ray skeletal tidak rutin dilakukan sebelum autopsi
forensik di institut ini.
Distribusi anatomi trauma menunjukkan dominasi pada bagian kranial dan
wajah di antara korban berusia 0-5 tahun. Wajah, leher, dan cedera tungkai atas dan
bawah umum terjadi di antara para korban berusia 6-12 tahun. Luka di bagian atas
dan dada sering terjadi di antara korban berusia 13–17 tahun. Di antara korban bayi,
sejumlah besar kasus-kasus berupa trauma kepala tumpul, sesuai dengan hasil laporan
sebelumnya. Cedera pada anggota tubuh bagian atas pada korban yang berusia 6-17
tahun kemungkinan disebabkan oleh pertahanan korban pada hasil laporan
sebelumnya. Distribusi lokasi cedera dalam pembunuhan dari segala usia bervariasi
dalam laporan dari berbagai negara. Distribusi lokasi cedera korban berusia 13-17
tahun didominasi pada trauma dada sesuai dengan temuan yang dilaporkan oleh Eze
et al. Selain trauma kepala yang fatal, cedera fatal lainnya terutama terjadi pada
bagian perut, leher, dan dada di antara korban berusia 1-5 tahun, 6–12 tahun, dan 13–
17 tahun.
Mekanisme kematian paling umum pada korban berusia 0–5 tahun adalah
syok neurogenik yang disebabkan oleh cedera otak; sedangkan mekanime kematian
yang paling umum di antara korban berusia 13–17 tahun adalah syok hemoragik.
Untuk korban pelecehan anak, cedera kepala adalah
penyebab utama kematian. Cedera akibat benda tajam biasa terjadi pada kejahatan
oleh remaja. Hasil ini sesuai dengan laporan sebelumnya tentang pelecehan anak dan
pembunuhan remaja. Namun, asfiksia adalah mekanisme kematian yang paling sering
terjadi pada korban
berusia 6–12 tahun. Strangulasi telah dilaporkan sebagai penyebab mekanisme
kematian pada usia tersebut. Cedera kepala akibat benda tumpul termasuk shaken
baby syndrome, trauma kepala yang tidak disengaja, dan trauma kepala yang kasar
adalah penyebab kematian paling umum di penelitian ini. Hal ini menyerupai laporan
oleh To¨ ro¨ dkk., Tetapi berbeda dari
hasil Sanvageau dan Racette, yang menunjukkan senjata api danbenda tajam sebagai
penyebab kematian utama. Legislasi senjata api dan adat istiadat di Taiwan dapat
menjadi alasan untuk perbedaan hasil tersebut.
Di Maio membahas tingkat cedera cranio-serebral yang berbeda sebagai penyebab
kematian di antara anak-anak korban pembunuhan pada tahun pertama dan kedua
kehidupan (85,8% vs 53%) dan trauma perut umum (34,9%) di tahun kedua
kehidupan. Dari anak-anak yang meninggal karena cedera perut, 80% meninggal
sebagai akibat laserasi pada hati. Dalam penelitian kami, cedera otak tercatat pada
47,4% (18/38), 72,0% (18/25), 60,0% (15/25), 58,3% (7/12), 42,9% (6/14), dan
33,3% (2/6) dari korban berusia 0, 1, 2, 3, 4, dan 5, masing-masing. Cedera intra-
abdominal (termasuk laserasi pada hati, mesenterium, usus, pankreas, dan limpa)
diidentifikasi pada 5,3% (2/38), 12,0% (3/25), 20,0% (5/25), 16,7% ( 2/12), 7.1%
(1/14), dan 33.3% (2/6) dari subjek yang berusia 0, 1, 2, 3, 4, dan 5, masing-masing.
Laserasi hati ditemukan pada 0%, 8,0% (2/25), 16,0% (4/25), 16,7% (2/12), 7,1%
(1/14) dan 33,3% (2/6) dari korban yang berusia 0, 1, 2, 3, 4, dan 5, masing-masing
(data tidak ditampilkan). Kecenderungan serupa, meskipun, tingkat trauma intra-
abdomen lebih rendah daripada temuan Di Maio. Tingkat cedera perut dalam
penelitian ini sesuai dengan laporan sebelumnya tentang penganiayaan anak usia 0-5.
Pola luka anak dapat bervariasi dalam perkembangannya. Oleh karena itu, distribusi
luka yang dihasilkan dari daerah tubuh akan berbeda.
Pembunuhan seksual ditetapkan memiliki 3,6% korban dalam penelitian kami.
Persentase ini serupa dengan laporan sebelumnya dari Amerika Serikat. Namun, bukti
kekerasan seksual mudah dihilangkan, dan insiden pembunuhan seksual di semua
kelompok usia dapat diremehkan. Pembunuhan seksual dicatat pada 20% korban
yang berusia 6-12 tahun, dan relatif umum dalam kelompok usia ini. Ini sesuai
dengan temuan dalam laporan dari Amerika Serikat
18 korban dalam penelitian ini terlibat dalam kasus pembunuhan-bunuh diri, di mana
pelaku kejahatan setidaknya satu dari orang tua biologis dan korban adalah
keturunannya (s). Di antara korban-korban ini, 13 (72,2%) terbunuh oleh ibu mereka.
Sebagian besar (61,1%) dari korban dibunuh dengan racun CO. Ini sesuai dengan
laporan sebelumnya dari Australia dan Inggris di mana sesak napas dan keracunan
gas yang umumnya digunakan oleh ibu yang membunuh. Hasil kami mirip dengan
laporan dari Hong Kong di mana para ibu menyumbang 69,2% pelaku pembunuhan-
bunuh diri, tetapi berbeda dari laporan itu dalam membuang atau mendorong korban
dari ketinggian, adalah metode yang paling umum digunakan. Metode-metode
pembunuhan anak dapat berbeda-beda wilayah geografis dan lingkungan hidup
bahkan di antara orang-orang dengan latar belakang budaya yang sama.
Seperti halnya pembunuhan orang dewasa, pembunuhan anak-anak tidak selalu
meninggalkan luka luar. Dalam penelitian ini, 18 (9,33%) korban tidak menunjukkan
bukti trauma luar. Di antara mereka, kelalaian /mengabaikan dan keracunan adalah
penyebab kematian yang paling umum. Kelalaian dan pengabaian melibatkan
kelaparan, mengabaikan anak terkena paparan dingin, panas atau situasi berbahaya,
dan lalai memberikan perawatan kesehatan yang diperlukan. Ini adalah cara paling
umum pembunuhan yang melibatkan bayi dan anak kecil. Pengabaian bayi
tampaknya lebih umum pada anak perempuan dalam data kami yang sesuai dengan
laporan sebelumnya dari Afrika Selatan. Keracunan CO umum di Taiwan yang
melibatkan 11 (5,7%) korban dalam penelitian kami. Kulit merah ceri mungkin tidak
diidentifikasi karena pembusukan dalam beberapa kasus. Pada saat ini, sebagian besar
penyelidikan medico-legal di Taiwan terbatas pada investigasi kejadian kematian dan
pemeriksaan tubuh eksternal tanpa otopsi berikutnya. Namun, perbedaan antara
pemeriksaan tubuh luar dan otopsi forensik telah dilaporkan. Cedera kepala,
pencekikan, mati lemas, perdarahan peritoneal karena trauma, keracunan, luka
tikaman kecil, dan luka tembak kaliber kecil mungkin tidak terdeteksi atau diabaikan
oleh pemeriksaan tubuh luar. Penyebab dan cara kematian seorang anak, seperti yang
ditentukan dari penyelidikan TKP, tidak sepenuhnya dapat diandalkan. Oleh karena
itu, beberapa pembunuhan anak mungkin tidak diperhatikan dan tidak masukkan
dalam penelitian ini. Meningkatkan tingkat otopsi forensik anak disarankan sebagai
sarana untuk memastikan data yang diandalkan dari pembunuhan anak dan untuk
membantu dalam pengembangan kebijakan untuk mencegah pembunuhan anak. Kami
menyarankan bahwa pemeriksaan mata dan pemeriksaan radiologi harus dilakukan
secara rutin pada otopsi anak. Investigasi medico-legal post-mortem dengan
pemeriksaan toksikologis dan otopsi forensik lengkap penting dalam penentuan dan
klasifikasi kemungkinan kematian anak yang tidak alami.
Sebagai kesimpulan, penelitian ini menunjukkan pola distribusi usia, distribusi
gender, hubungan pelaku, jenis cedera, distribusi cedera anatomi, mekanisme
kematian, dan penyebab kematian di antara pembunuhan anak-anak di Taiwan.
Dominasi wanita tercatat di antara para korban yang berusia 0–5 tahun. Pola cedera,
mekanisme kematian dan penyebab kematian berbeda secara signifikan di antara
korban dalam kelompok usia yang berbeda. Autopsi forensik lengkap harus dilakukan
untuk mengklarifikasi penyebab kematian dan cara kematian seorang anak. Ciri-ciri
cedera dapat membantu mengklasifikasikan pembunuhan anak, mencegah kejahatan
semacam ini, dan meningkatkan penyelidikan kematian anak.
Penutup
Data dari semua pembunuhan anak-anak (usia 17 dan di bawah) dibawa ke
lembaga ini untuk otopsi medicolegal, kasus dari tahun 2001 hingga 2010 dan
dijadikan kasus untuk diperiksa. Data dikumpulkan dari otopsi forensic termasuk dari
investigasi tempat kejadian peristiwa. Informasi tentang pelaku dan keadaan kriminal
dilaporkan ke polisi dibawah supervisi jaksa. Otopsi medicolegal dilakukan oleh ahli
patologis forensik. Hampir semua kasus dilakukan pemeriksaan histologi dan
toxicologi. Tes DNA dilakukan, bila dibutuhkan identifikasi dari korban. Data yang
dikumpulkan berupa identitas korban, jenis kelamin, usia, tempat kejadian, hubungan
antara korban dengan pelaku, jenis kelamin pelaku, jenis senjata yang digunakan,
bagian yang terluka, jenis dan ukuran dari luka, sebab kematian, mekanisme kematian
(patofisiologi) dan cara kematian. Perdarahan retina tidak diperiksa selama penelitian
dilakukan. Pemeriksaan radiologis untuk memeriksa fraktur tidak dilakukan. Analsis
deskriptif dilakukan dengan program Statistical Analysis System (SAS) versi 9.2.
Statistik deskriptif (mean dan proporsi) dihitung dan dikategorikan dan dibandingkan
dengan tes pear-son x2. Nilai P sebesar 0,05 atau kurang dinilai signifikan
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi Anak
Dalam hukum nasional Indonesia terdapat berbagai macam definisi
mengenai anak, karena dalam tiap perundang-undangan diatur kriteria tersendiri
mengenai pengertian anak. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa perumusan
perundang-undangan yang mengatur mengenai pengertian anak, sebagai berikut:
a. Pasal 1 Convention on the Right of the Child
Anak diartikan sebagai setiap orang dibawah usia 18 (delapan belas) tahun,
kecuali berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah
diperoleh sebelumnya. Artinya yang dimaksud dengan anak adalah mereka
yang belum dewasa dan yang menjadi dewasa karena peraturan tertentu
sedangkan secara mental dan fisik masih belum dewasa.
b. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun
dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal
tersebut adalah demi kepentingannya.
c. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak
Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8
(delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan
belum pernah kawin.
d. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuh
anak yang masih dalam kandungan.
e. Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak
Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun
dan belum pernah kawin.
f. Dalam Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk
Weetbook)
Diatur tentang batasan umur anak bahwa anak adalah yang belum berumur 21
tahun dan belum kawin.
g. Pasal 1 ayat (8) huruf a Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarkatan
Menyebutkan anak pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan
menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai usia 18 (delapan belas)
tahun. Artinya yang dimaksud anak adalah seseorang sampai dengan usia 18
(delapan belas) tahun.
h. RUU Sistem Peradilan Pidana Anak, dalam Pasal 1 ayat (2)
Menyebutkan Anak yang berkonflik dengan hukum, yang selanjutnya disebut
anak adalah orang yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun yang disangka, didakwa atau dijatuhi
pidana karena melakukan tindak pidana.
III. Epidemiologi
Angka kekerasan terhadap anak dari tahun ke tahun terus meningkat. Menurut
data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (Komnas PAI) terjadi
peningkatan kasus kekerasan terhadap anak, dimana pada tahun 2013 jumlah
kasus kekerasan pada anak meningkat 60% jika dibandingkan dengan tahun
2012. Pada tahun 2013, Komnas PAI mencatat, telah terjadi 1.620 kasus
kekerasan pada anak. Dari jumlah itu terbagi menjadi 490 kasus kekerasan fisik
(sebesar 30%), 313 kasus kekerasan psikis (sebesar 19%), dan yang terbanyak
adalah kasus kekerasan seksual sebanyak 817 kasus (sebesar 51%). Pada hasil
rekapitulasi akhir data korban kekerasan terhadap anak, yang tercatat oleh Badan
Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana
(BP3AKB) Provinsi Jawa Tengah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Tengah
pada tahun 2013 telah terjadi 209 kasus kekerasan fisik, 163 kasus kekerasan
psikis, dan 636 kasus kekerasan seksual.
IV. Faktor Penyebab Kekerasan pada Anak
Terjadinya kekerasan terhadap anak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu:
1. Faktor Internal
a. Berasal dalam diri anak
Terjadinya kekerasan terhadap anak dapat disebabkan oleh kondisi
dan tingkah laku anak. Kondisi anak tersebut misalnya: Anak menderita
gangguan perkembangan, ketergantungan anak pada lingkungannya, anak
mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, anak yang
memiliki perilaku menyimpang dan tipe kepribadian dari anak itu sendiri.
2. Faktor Eksternal
a. Lingkungan luar
Kondisi lingkungan juga dapat menjadi penyebab terjadinya kekerasan
terhadap anak, diantaranya seperti kondisi lingkungan yang buruk, terdapat
sejarah penelantaran anak dan tingkat kriminalitas yang tinggi dalam
lingkungannya.
b. Media massa
Media massa merupakan salah satu alat informasi. Media massa telah
menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari – hari dan media ini tentu
mempengaruhi penerimaan konsep, sikap, nilai dan pokok moral. Seperti
halnya dalam media cetak menyediakan berita – berita tentang kejahatan,
kekerasan, pembunuhan. Kemudian media elektronik seperti radio, televisi,
video, kaset dan film sangat mempengaruhi perkembangan kejahatan yang
menampilkan adegan kekerasan, menayangkan film action dengan
perkelahian, acara berita kriminal, penganiayaan, kekerasan bahkan
pembunuhan dalam lingkup keluarga. Pada hakekatnya media massa memiliki
fungsi yang positif, namun kadang dapat menjadi negatif.
c. Budaya
Budaya yang masih menganut pemikiran bahwa status anak yang
dipandang rendah sehingga ketika anak tidak dapat memenuhi harapan
orangtua maka anak harus dihukum. Bagi anak laki – laki, adanya nilai dalam
masyarakat bahwa anak laki – laki tidak boleh cengeng atau anak laki – laki
harus tahan uji. Pemahaman itu mempengaruhi dan membuat orangtua ketika
memukul, menendang, atau menindas anak adalah suatu hal yang wajar untuk
menjadikan anak sebagai pribadi yang kuat dan tidak boleh lemah.
2. Kekerasan Seksual
Kekerasan terhadap anak dalam kegiatan seksual yang tidak
dipahaminya, tidak mampu memberikan persetujuan atau oleh karena
perkembangannya belum siap atau tidak dapat memberi persetujuan, atau
yang melanggar hukum atau pantangan masyarakat, atau merupakan segala
tingkah laku seksual yang dilakukan antara anak dan orang dewasa. Contoh,
pelacuran anak-anak, intercourse, pornografi, eksibionisme, oral sex, dan
lain-lain.
3. Kekerasan Emosional
Suatu perbuatan terhadap anak yang mengakibatkan atau sangat
mungkin akan mengakibatkan gangguan kesehatan atau perkembangan fisik,
mental, spiritual, moral dan sosial. Contohnya seperti pembatasan gerak,
sikap tindak yang meremehkan anak, mengancam, menakut-nakuti,
mendiskriminasi, mengejek atau menertawakan, atau perlakuan lain yang
kasar atau penolakan. Contoh: tidak pernah memberikan pujian/
reinforcemen yang positif, membandingkannya dengan anak yang lain, tidak
pernah memberikan pelukan antara orang tua dan anak.
4. Penelantaran anak
Ketidakpedulian orang tua atau orang yang bertanggung jawab atas
anak pada kebutuhan mereka. Kelalaian di bidang kesehatan seperti
penolakan atau penundaan memperoleh layanan kesehatan, tidak memperoleh
kecukupan gizi dan perawatan medis. Kelalaian di bidang pendidikan
meliputi pembiaran mangkir (membolos) sekolah yang berulang, tidak
menyekolahkan pada pendidikan yang wajib diikuti setiap anak, atau
kegagalan memenuhi kebutuhan pendidikan yang khusus. Kelalaian di bidang
fisik meliputi pengusiran dari rumah dan pengawasan yang tidak memadai.
Kelalaian di bidang emosional meliputi kurangnya perhatian, penolakan atau
kegagalan memberikan. perawatan psikologis, kekerasan terhadap pasangan
di hadapan anak dan pembiaran penggunaan rokok, alkohol dan narkoba oleh
anak.
5. Eksploitasi anak
Penggunaan anak dalam pekerjaan atau aktivitas lain untuk
keuntungan orang lain, termasuk pekerja anak dan prostitusi. Kegiatan ini
merusak atau merugikan kesehatan fisik dan mental, perkembangan
pendidikan, spiritual, moral dan sosial - emosional anak.
2. Dampak psikologis
Dampak psikologis dapat berupa rasa takut, rasa tidak aman, gelisah,
dendam, menurunnya semangat belajar, hilangnya konsentrasi, menjadi
pendiam, serta mental anak menjadi lemah, menurunnya rasa percaya diri,
bahkan depresi. Dampak psikologi dapat dibagi menjadi ringan, sedang, dan
berat. Dampak psikologi ringan seperti resistensi terhadap lingkungan.
Dampak psikologi sedang seperti pendiam, menutup diri atau dikenal dengan
introvert. Dampak psikologi yang berat seperti bunuh diri.
3. Dampak seksual
Kebanyakan korban perkosaan merasakan kriteria psychological
disorder yang disebut post-traumatic stress disorder (PTSD), simtom-
simtomnya berupa ketakutan yang intens terjadi, kecemasan yang tinggi,
emosi yang kaku setelah peristiwa traumatis. Finkelhor dan Browne (dalam
Tower, 2002) menggagas empat jenis dari efek trauma akibat kekerasan
seksual, yaitu:
1) Betrayal (penghianatan)
Kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban kekerasan seksual.
Sebagai anak individu percaya kepada orangtua dan kepercayaan itu
dimengerti dan dipahami. Namun, kepercayaan anak dan otoritas orangtua
menjadi hal yang mengancam anak.
2) Traumatic sexualization (trauma secara seksual)
Russel menemukan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan
seksual cenderung menolak hubungan seksual, dan sebagai konsekuensinya
menjadi korban kekerasan seksual dalam rumah tangga.
I. Traumatologi
1. Trauma
2. Kekerasan tajam.
Trauma tajam adalah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka
pada permukaantubuh oleh benda-benda tajam.
Ciri-ciri umum dari luka benda tajam adalah:
a. Garis batas luka biasanya teratur, tepinya rata, dan sudutnya
runcing.
b. Jika disambung akan mejadi rapat karena benda tersebut hanya
memisahkan, tidakmenghancurkan jaringan dan membentuk
garis lurus dari sedikit lengkung.
c. Tidak ada jembatan jaringan.
d. Daerah di sekitar garis batas luka tidak ada memar.
1. Definisi
Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan
terhalang memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan yang bersifat
mekanik, misalnya:
1. Penutupan lubang saluran pernapasan bagian atas:
a. Pembekapan (smothering)
b. Penyumbatan(Gagging dan choking)
2. Penekanan dinding saluran pernapasan:
a. Penjeratan (strangulation)
b. Pencekikan (manual strangulation)
c. Gantung (hanging)
3. Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik)
4. Saluran pernapasan terisi air (tenggelam, drowning)
1. Pembekapan adalah penutupan lubang hidung dan mulut yang
menghambat pemasukan udara ke paru-paru.
Cara kematian pembekapan dapat berupa:
a. Bunuh diri
b. Kecelakaan, bayi dalam bulan awal kehidupannya, contoh bayi
premature
c. Pembunuhan, biasanya pada pembunuhan anak sendiri
Kekerasan yang mungkin terdapat adalah luka memar atau lecet pada
bagian bibir akibat terdorong dan menekan gigi, gusi dan lidah.
2. Gagging atau choking adalah sumbatan jalan nafas oleh benda asing,
gagging pada orofaring dan choking pada laringofaring.
Cara kematian berupa:
a. Bunuh diri
b. Kecelakaan
c. Pembunuhan
Terjadi asfiksia atau reflex vagal akibat rangsangan reseptor nervus
vagus di arkus faring yang menimbulkan inibisi kerja jantung.
3. Manual Strangulation (pencekikan) adalah salah satu bentuk asfiksia
yang diakibatkan oleh adanya penyumbatan pada pembuluh darah atau
saluran pernafasan dikarenakan penekanan pada leher dengan tangan.
Mekanisme yang terjadi:
a. Asfiksia
b. Refleks vagal, akibat kompresi a. karotis atau v. jugularis ->
kompresi laring, trakea, atau laringofaring -> reflex sinus
karotis
Ditemukan perbendungan pada daerah wajah, tanda kekerasan pada
leher berupa luka lecet, dangkal dan berbentuk bulan sabit akibat
penekanan kuku jari, luka memar.
4. Strangulation (penjeratan) adalah penekanan benda asing berupa tali,
ikat pinggang, dan sebagainya, yang melingkari atau mengikat leher
yang makin lama semakin kuat, sehingga saluran napas tertutup.
Mekanisme yang terjadi:
a. Asfiksia
b. Refleks vagal, akibat kompresi a. karotis atau v. jugularis ->
kompresi laring, trakea, atau laringofaring -> reflex sinus
karotis
Dua jenis simpul jerat:
a. Simpul hidup: lingkar jerat dapat diperbsesar dan diperkecil
b. Simpul mati: lingkar jerat tidak dapat diubah
Simpul harus diamankan dengan melakukan pengikatan dengan
benang agar tidak berubah pada waktu mengangkat jerat. Untuk
melepaskan jerat, jerat digunting pada tempat yang berlawanan dari
letak simpul.
Pada pemeriksaan jenazah perlu diperhatikan jejas jerat dan bahan tali
jerat. Jejas jerat pada leher biasanya mendatar, melingkari leher, dan
lebih rendah daripada jejas jerat kasus gantung. Bila bahan tali jerat
lunak dan lebar, akan ditemukan sedikit resapan darah.
Cara kematian berupa:
1. Bunuh diri, berupa simpul hidup atau bahan hanya dililitkan saja
2. Pembunuhan, berupa simpul mati
3. Kecelakaan
5. Gantung (hanging)
Pada penjeratan, tenaga tersebut dating dari luar, namun pada kasus
jantung penjeratan pada berat badan sendiri.
Mekanisme kematian pada kasus gantung:
1. Kerusakan pada batang otak dan medulla spinalis akibat dislokasi
fraktur vertebrae laeher
2. Asfiksia
3. Iskemia otak akibat terhambatnya arteri pada leher
4. Refleks vagal