Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 38

KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK: DAMPAK DAN PENANGANANNYA

OLEH JACOBA BATLAJERY

Abstract The widespread of media coverage on child sexual abuse has already shocked the society. Child
sexual abuse cases are still in an iceberg phenomenon. This is due to most of the children who have ever
become sexual abuse victims are reluctant to be open. Therefore, parents should be able to recognize the
signs of the children experiencing any sexual abuse. Child Sexual abuse will result continuously terrible
impacts, not only on its victims’ health problems but also on their psychological condition, such as
permanent trauma, even after they have been grown up. The traumatic impacts of sexual abuse
experienced by children are as follows: betrayal (betrayal or trust crisis of the children towards adults);
traumatic sexualization; powerlessness (helpless feeling); and stigmatization. Physically, there is perhaps
nothing to be questioned on sexual abuse victims, but psychologically, it can cause addiction, trauma, and
even revenge. Unless it is treated seriously, child sexual abuse can lead to a broad social impacts in the
society. Handling and healing psychological trauma as a result of sexual abuse should get serious attention
from any related parties, such as family, society and country. Therefore, to protect children, it is necessary
to provide a system approach including social welfare system for children and families, internationally
standardized judicial systems and mechanisms to encourage appropriate behavior in the society
Keywords: child sexual abuse, children, impact, handling.

Abstrak Maraknya pemberitaan di media massa mengenai kekerasan seksual terhadap anak cukup
membuat masyarakat terkejut. Kasus kekerasan seksual terhadap anak masih menjadi fenomena gunung
es. Hal ini disebabkan kebanyakan anak yang menjadi korban kekerasan seksual enggan melapor. Karena
itu, sebagai orang tua harus dapat mengenali tanda-tanda anak yang mengalami kekerasan seksual.
Kekerasan seksual terhadap anak akan berdampak panjang, di samping berdampak pada masalah
kesehatan di kemudian hari, juga berkaitan dengan trauma yang berkepanjangan, bahkan hingga dewasa.
Dampak trauma akibat kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak, antara lain: pengkhianatan atau
hilangnya kepercayaan anak terhadap orang dewasa (betrayal); trauma secara seksual (traumatic
sexualization); merasa tidak berdaya (powerlessness); dan stigma (stigmatization). Secara fisik memang
mungkin tidak ada hal yang harus dipermasalahkan pada anak yang menjadi korban kekerasan seksual,
tapi secara psikis bisa menimbulkan ketagihan, trauma, bahkan pelampiasan dendam. Bila tidak ditangani
serius, kekerasan seksual terhadap anak dapat menimbulkan dampak sosial yang luas di masyarakat.
Penanganan dan penyembuhan trauma psikis akibat kekerasan seksual haruslah mendapat perhatian
besar dari semua pihak yang terkait, seperti keluarga, masyarakat maupun negara. Oleh karena itu,
didalam memberikan perlindungan terhadap anak perlu adanya pendekatan sistem, yang meliputi sistem
kesejahteraan sosial bagi anak-anak dan keluarga, sistem peradilan yang sesuai dengan standar
internasional, dan mekanisme untuk mendorong perilaku yang tepat dalam masyarakat. Kata kunci:
kekerasan seksual, anak, dampak, penanganan.

14 Sosio Informa Vol. 01, No. 1, Januari - April, Tahun 2015


PENDAHULUAN

Di Indonesia kasus kekerasan seksual setiap tahun mengalami peningkatan, korbannya bukan hanya dari
kalangan dewasa saja sekarang sudah merambah ke remaja, anakanak bahkan balita. Fenomena
kekerasan seksual terhadap anak semakin sering terjadi dan menjadi global hampir di berbagai negara.
Kasus kekerasan seksual terhadap anak terus meningkat dari waktu ke waktu. Peningkatan tersebut tidak
hanya dari segi kuantitas atau jumlah kasus yang terjadi, bahkan juga dari kualitas. Dan yang lebih tragis
lagi pelakunya adalah kebanyakan dari lingkungan keluarga atau lingkungan sekitar anak itu berada,
antara lain di dalam rumahnya sendiri, sekolah, lembaga pendidikan, dan lingkungan sosial anak. Peristiwa
pelecehan seksual terhadap anak TK internasional di Jakarta sungguh mengguncang hati setiap orang yang
memiliki nurani. Apalagi berita terakhir, korban ternyata tidak hanya sekali mengalami kekerasan seksual
dengan pelaku yang lebih dari satu orang. Sekolah yang katanya berstandar internasional, dengan bayaran
20 juta per bulan, memiliki ratusan CCTV, ternyata bukan tempat yang aman bagi anak-anak. Kasus JIS,
seolah menjadi pintu pembuka bagi terungkapnya berbagai kasus kekerasan seksual terhadap anak. Di
Medan, seorang ayah tega mencabuli anak perempuannya yang baru berumur 18 bulan. Di Kukar, seorang
guru SD menjadi tersangka kasus sodomi terhadap seorang siswanya. Di Cianjur, pedofilia melibatkan
seorang oknum guru SD di Yayasan Al-Azhar. Pelaku berinisial AS diduga melakukan pelecehan seksual
terhadap belasan muridnya. Sedangkan di Aceh, seorang oknum polisi ditahan setelah mencabuli 5 bocah
(Kompas.com, 23/04/2014). Hal ini menyebabkan tidak ada orangtua yang merasa aman akan keadaan
anak-anaknya.

Anak laki-laki maupun perempuan, semua berpotensi sebagai korban. Menurut Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) pada tahun 2011 saja telah terjadi 2.275 kasus kekerasan terhadap anak, 887 kasus
diantaranya merupakan kekerasan seksual anak. Pada tahun 2012 kekerasan terhadap anak telah terjadi
3.871 kasus, 1.028 kasus diantaranya merupakan kekerasan seksual terhadap anak. Tahun 2013, dari
2.637 kekerasan terhadap anak, 48 persennya atau sekitar 1.266 merupakan kekerasan seksual pada anak.
(http://bakohumas.kominfo.go.id, diakses pada 7 Mei 2014). Anak menjadi kelompok yang sangat rentan
terhadap kekerasan seksual karena anak selalu diposisikan sebagai sosok lemah atau yang tidak berdaya
dan memiliki ketergantungan yang tinggi dengan orang-orang dewasa di sekitarnya. Hal inilah yang
membuat anak tidak berdaya saat diancam untuk tidak memberitahukan apa yang dialaminya. Hampir
dari setiap kasus yang diungkap, pelakunya adalah orang yang dekat korban. Tak sedikit pula pelakunya
adalah orang yang memiliki dominasi atas korban, seperti orang tua dan guru. Tidak ada satupun
karakteristik khusus atau tipe kepribadian yang dapat diidentifikasi dari seorang pelaku kekerasan seksual
terhadap anak. Dengan kata lain, siapa pun dapat menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak atau
pedofilia. Kemampuan pelaku menguasai korban, baik dengan tipu daya maupun ancaman dan kekerasan,
menyebabkan kejahatan ini sulit dihindari. Dari seluruh kasus kekerasan seksual pada anak baru
terungkap setelah peristiwa itu terjadi, dan tak sedikit yang berdampak fatal. Secara umum pengertian
kekerasan seksual pada anak adalah keterlibatan seorang anak dalam segala bentuk aktivitas seksual yang
terjadi sebelum anak mencapai batasan umur
15Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak dan Penanganannya, JACOBA BATLAJERY

tertentu yang ditetapkan oleh hukum negara yang bersangkutan dimana orang dewasa atau anak lain
yang usianya lebih tua atau orang yang dianggap memiliki pengetahuan lebih dari anak memanfaatkannya
untuk kesenangan seksual atau aktivitas seksual (CASAT Programme, Child Development Institute;
Boyscouts of America; Komnas PA). Sementara Lyness (Maslihah, 2006) kekerasan seksual terhadap anak
meliputi tindakan menyentuh atau mencium organ seksual anak, tindakan seksual atau pemerkosaan
terhadap anak, memperlihatkan media/benda porno, menunjukkan alat kelamin pada anak dan
sebagainya. Undang-Undang Perlindungan Anak memberi batasan bahwa yang dimaksud dengan anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Kekerasan seksual pada anak baik perempuan maupun laki-laki tentu tidak boleh dibiarkan.
Kekerasan seksual pada anak adalah pelanggaran moral dan hukum, serta melukai secara fisik dan
psikologis. Kekerasan seksual terhadap anak dapat dilakukan dalam bentuk sodomi, pemerkosaan,
pencabulan, serta incest. Oleh karena itu, menurut Erlinda (Seketaris Jenderal KPAI) kasus kekerasan
seksual terhadap anak itu ibarat fenomena gunung es, atau dapat dikatakan bahwa satu orang korban
yang melapor dibelakangnya ada enam anak bahkan lebih yang menjadi korban tetapi tidak melapor
(http://indonesia.ucanews.com, diakses pada 20 Mei 2014). Fenomena kekerasan seksual terhadap anak
ini, menunjukkan betapa dunia yang aman bagi anak semakin sempit dan sulit ditemukan. Bagaimana
tidak, dunia anakanak yang seharusnya terisi dengan keceriaan, pembinaan dan penanaman kebaikan,
harus berputar balik menjadi sebuah gambaran buram dan potret ketakutan karena anak sekarang telah
menjadi subjek pelecehan seksual.

Kekerasan seksual terhadap anak dapat terjadi kapan saja dan di mana saja. Siapa pun bisa menjadi pelaku
kekerasan seksual terhadap anak, karena tidak adanya karakteristik khusus. Pelaku kekerasan seksual
terhadap anak mungkin dekat dengan anak, yang dapat berasal dari berbagai kalangan. Pedofilia tidak
pernah berhenti, pelaku kekerasan seksual terhadap anak juga cenderung memodifikasi target yang
beragam, dan siapa pun bisa menjadi target kekerasan seksual, bahkan anak ataupun saudaranya sendiri,
itu sebabnya pelaku kekerasan seksual terhadap anak ini dapat dikatakan sebagai predator.
PEMBAHASAN

Kekerasan Seksual Terhadap Anak Menurut Ricard J. Gelles (Hurairah, 2012), kekerasan terhadap anak
merupakan perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak (baik
secara fisik maupun emosional). Bentuk kekerasan terhadap anak dapat diklasifikasikan menjadi
kekerasan secara fisik, kekerasan secara psikologi, kekerasan secara seksual dan kekerasan secara sosial.
Kekerasan seksual terhadap anak menurut End Child Prostitution in Asia Tourism (ECPAT) Internasional
merupakan hubungan atau interaksi antara seorang anak dengan seorang yang lebih tua atau orang
dewasa seperti orang asing, saudara sekandung atau orang tua dimana anak dipergunakan sebagai objek
pemuas kebutuhan seksual pelaku. Perbuatan ini dilakukan dengan menggunakan paksaan, ancaman,
suap, tipuan bahkan tekanan. Kegiatan-kegiatan kekerasan seksual terhadap anak tersebut tidak harus
melibatkan kontak badan antara pelaku dengan anak sebagai korban. Bentuk-bentuk kekerasan seksual
itu sendiri bisa dalam tindakan perkosaan ataupun pencabulan (Sari, 2009).

16 Sosio Informa Vol. 01, No. 1, Januari - April, Tahun 2015

Kekerasan seksual terhadap anak adalah apabila seseorang menggunakan anak untuk mendapatkan
kenikmatan atau kepuasan seksual. Tidak terbatas pada hubungan seks saja, tetapi juga tindakan-tindakan
yang mengarah kepada aktivitas seksual terhadap anak-anak, seperti: menyentuh tubuh anak secara
seksual, baik si anak memakai pakaian atau tidak; segala bentuk penetrasi seks, termasuk penetrasi ke
mulut anak menggunakan benda atau anggota tubuh; membuat atau memaksa anak terlibat dalam
aktivitas seksual; secara sengaja melakukan aktivitas seksual di hadapan anak, atau tidak melindungi dan
mencegah anak menyaksikan aktivitas seksual yang dilakukan orang lain; membuat, mendistribusikan dan
menampilkan gambar atau film yang mengandung adegan anak-anak dalam pose atau tindakan tidak
senonoh; serta memperlihatkan kepada anak, gambar, foto atau film yang menampilkan aktivitas seksual
(www.parenting.co.id, diakses pada 21 Mei 2014). Menurut Lyness (Maslihah, 2006) kekerasan seksual
terhadap anak meliputi tindakan menyentuh atau mencium organ seksual anak, tindakan seksual atau
pemerkosaan terhadap anak, memperlihatkan media/benda porno, menunjukkan alat kelamin pada anak
dan sebagainya. Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan jenis penganiayaan yang biasanya dibagi
dua dalam kategori berdasar identitas pelaku, yaitu: a. Familial Abuse Termasuk familial abuse adalah
incest, yaitu kekerasan seksual dimana antara korban dan pelaku masih dalam hubungan darah, menjadi
bagian dalam keluarga inti. Dalam hal ini termasuk seseorang yang menjadi pengganti orang tua, misalnya
ayah tiri, atau kekasih, pengasuh atau orang yang dipercaya merawat anak. Mayer (Tower, 2002)
menyebutkan kategori

incest dalam keluarga dan mengaitkan dengan kekerasan pada anak, yaitu kategori pertama,
penganiayaan (sexual molestation), hal ini meliputi interaksi noncoitus, petting, fondling, exhibitionism,
dan voyeurism, semua hal yang berkaitan untuk menstimulasi pelaku secara seksual. Kategori kedua,
perkosaan (sexual assault), berupa oral atau hubungan dengan alat kelamin, masturbasi, stimulasi oral
pada penis (fellatio), dan stimulasi oral pada klitoris (cunnilingus). Kategori terakhir yang paling fatal
disebut perkosaan secara paksa (forcible rape), meliputi kontak seksual. Rasa takut, kekerasan, dan
ancaman menjadi sulit bagi korban. Mayer mengatakan bahwa paling banyak ada dua kategori terakhir
yang menimbulkan trauma terberat bagi anak-anak, namun korbankorban sebelumnya tidak mengatakan
demikian. b. Extra Familial Abuse Kekerasan seksual adalah kekerasan yang dilakukan oleh orang lain di
luar keluarga korban. Pada pola pelecehan seksual di luar keluarga, pelaku biasanya orang dewasa yang
dikenal oleh sang anak dan telah membangun relasi dengan anak tersebut, kemudian membujuk sang
anak ke dalam situasi dimana pelecehan seksual tersebut dilakukan, sering dengan memberikan imbalan
tertentu yang tidak didapatkan oleh sang anak di rumahnya. Sang anak biasanya tetap diam karena bila
hal tersebut diketahui mereka takut akan memicu kemarah dari orangtua mereka. Selain itu, beberapa
orangtua kadang kurang peduli tentang di mana dan dengan siapa anak-anak mereka menghabiskan
waktunya. Anak-anak yang sering bolos sekolah cenderung rentan untuk mengalami kejadian ini dan harus
diwaspadai. Kekerasan seksual dengan anak sebagai korban yang dilakukan oleh orang dewasa

17Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak dan Penanganannya, Ivo Noviana

dikenal sebagai pedophile, dan yang menjadi korban utamanya adalah anak-anak. Pedophilia dapat
diartikan ”menyukai anak-anak” (de Yong dalam Tower, 2002). Pengertian anak dalam Pasal 1 Ayat 1 UU
No 23 Tahun 2002 tentang Peradilan anak, “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Sedangkan pengertian perlindungan anak menurut
Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, “Perlindungan anak
adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hakhaknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Menurut Adrianus E. Meliala, ada beberapa
kategori pedophilia, yaitu mereka yang tertarik dengan anak berusia di bawah 5 tahun disebut
infantophilia. Sementara itu, mereka yang tertarik dengan anak perempuan berusia 13-16 tahun disebut
hebophilia, mereka yang tertarik dengan anak laki-laki di usia tersebut, dikenal dengan ephebohiles.
Berdasarkan perilaku, ada yang disebut exhibitionism yaitu bagi mereka yang suka memamerkan, suka
menelanjangi anak; atau disebut voyeurism yaitu suka masturbasi depan anak, atau sekadar meremas
kemaluan anak (http://www.motherandbaby. co.id/, diakses pada 21 Mei 2014). Pedophilia bisa karena
memang kelainan, artinya orang ini (pelaku) mungkin saja pernah mengalami trauma yang sama, sehingga
mengakibatkan perilaku yang menyimpang, bisa juga karena gaya hidup, seperti kebiasaan menonton
pornografi, sehingga membentuk hasrat untuk melakukan hubungan seksual. Psikolog forensik Reza
Indragiri Amriel menjelaskan tak semua kekerasan seksual pada anak dilakukan orang dewasa yang
memiliki orientasi seksual pada anak, tetapi bisa juga terjadi dengan pelakunya orang dewasa normal
(http://kpkpos.com/stop-kekerasanpada-anak/ diakses pada 7 Mei 2014). Kedua macam orang itu bisa
digolongkan pedophilia selama melakukan hubungan seksual dengan anak. Tipe pertama adalah
pedophilia eksklusif yaitu hanya memiliki ketertarikan pada anak. Tipe kedua adalah pedophilia fakultatif
yaitu memiliki orientasi heteroseksual pada orang dewasa, tetapi tidak menemukan penyalurannya
sehingga memilih anak sebagai substitusi. Kekerasan seksual yang dilakukan di bawah kekerasan dan
diikuti ancaman, sehingga korban tak berdaya itu disebut molester. Kondisi itu menyebabkan korban
terdominasi dan mengalami kesulitan untuk mengungkapnya. Namun, tak sedikit pula pelaku kekerasan
seksual pada anak ini melakukan aksinya tanpa kekerasan, tetapi dengan menggunakan manipulasi
psikologi. Anak ditipu, sehingga mengikuti keinginannya. Anak sebagai individu yang belum mencapai
taraf kedewasaan, belum mampu menilai sesuatu sebagai tipu daya atau bukan. Kekerasan seksual
terhadap anak dapat dilihat dari sudut pandang biologis dan sosial, yang kesemuanya berkaitan dengan
dampak psikologis pada anak. Secara biologis, sebelum pubertas, organ-organ vital anak tidak disiapkan
untuk melakukan hubungan intim, apalagi untuk organ yang memang tidak ditujukan untuk hubungan
intim. Jika dipaksakan, maka tindakan tersebut akan merusak jaringan. Ketika terjadi kerusakan secara
fisik, maka telah terjadi tindak kekerasan. Sedangkan dari sudut pandang sosial, karena dorongan seksual
dilampiaskan secara sembunyi-sembunyi, tentu saja pelaku tidak ingin diketahui oleh orang lain. Pelaku
akan berusaha membuat anak yang menjadi sasaran ‘tutup mulut’. Salah satu cara yang paling mungkin
dilakukan adalah dengan melakukan intimidasi. Ketika anak diancam,

18 Sosio Informa Vol. 01, No. 1, Januari - April, Tahun 2015

maka saat itu juga secara alami tubuh anak juga melakukan pertahanan atau penolakan. Ketika secara
biologis tubuh anak menolak, maka paksaan yang dilakukan oleh seorang pedophil akan semakin
menimbulkan cedera dan kesakitan. Saat itu berarti terjadi kekerasan. Rasa sakit dan ancaman ini tentu
saja menjadi pengalaman traumatis bagi anak. Anak akan selalu mengalami perasaan tercekam sampai ia
mengatakannya. Sedangkan untuk mengatakan, anak selalu dihantui oleh intimidasi dan ancaman dari
pelaku. Karena itu, rasa sakit dan intimidasi juga menjadi kekerasan psikologis bagi anak. Pedophilia
apalagi dengan sodomi adalah bentuk kekerasan atau pelanggaran hukum, dan juga merupakan bentuk
kekerasan seksual yang melukai fisik maupun psikis. Oleh karena itu, pedophilia merupakan bentuk
ketertarikan seksual yang tidak wajar. Ketika seseorang tertarik secara seksual terhadap orang yang di luar
rentang usia atau tahap perkembangannya, maka hal tersebut dinilai tidak wajar secara sosial, misalnya
remaja atau orang dewasa tertarik kepada anak-anak. Artinya, orang dewasa atau remaja yang lebih tua
yang tertarik secara seksual primer kepada anak-anak atau sebaliknya dinilai tidak normal. Ketika secara
sosial dianggap menyimpang, maka pelakunya sendiri juga sadar bahwa hal tersebut menyimpang.
Kemungkinan bentuk reaksinya ada dua: mengubah diri atau memuaskan dorongan seksualnya secara
diam-diam. Didalam melakukan kekerasan seksual terhadap anak, biasanya ada tahapan yang dilakukan
oleh pelaku. Dalam hal ini, kemungkinan pelaku mencoba perilaku untuk mengukur kenyamanan korban.
Jika korban menuruti, kekerasan akan berlanjut dan intensif, berupa (Sgroi dalam Tower, 2002): 1) Nudity
(dilakukan oleh orang dewasa); 2) Disrobing (orang dewasa membuka pakaian di

depan anak); 3) Genital exposure (dilakukan oleh orang dewasa); 4) Observation of the child (saat mandi,
telanjang, dan saat membuang air); 5) Mencium anak yang memakai pakaian dalam; 6) Fondling (meraba-
raba dada korban, alat genital, paha, dan bokong); 7) Masturbasi; 8) Fellatio (stimulasi pada penis, korban
atau pelaku sendiri); 9) Cunnilingus (stimulasi pada vulva atau area vagina, pada korban atau pelaku); 10)
Digital penetration (pada anus atau rectum); 11) Penile penetration (pada vagina); 12) Digital penetration
(pada vagina); 13). Penile penetration (pada anus atau rectum); 14) Dry intercourse (mengelus-elus penis
pelaku atau area genital lainnya, paha, atau bokong korban).

Dampak Kekerasan Seksual Terhadap Anak Kekerasan seksual cenderung menimbulkan dampak traumatis
baik pada anak maupun pada orang dewasa. Namun, kasus kekerasan seksual sering tidak terungkap
karena adanya penyangkalan terhadap peristiwa kekerasan seksual yang terjadi. Lebih sulit lagi adalah
jika kekerasan seksual ini terjadi pada anak-anak, karena anak-anak korban kekerasan seksual tidak
mengerti bahwa dirinya menjadi korban. Korban sulit mempercayai orang lain sehingga merahasiakan
peristiwa kekerasan seksualnya. Selain itu, anak cenderung takut melaporkan karena mereka merasa
terancam akan mengalami konsekuensi yang lebih buruk bila melapor, anak merasa malu untuk
menceritakan peristiwa kekerasan seksualnya, anak merasa bahwa peristiwa kekerasan seksual itu terjadi
karena kesalahan dirinya dan peristiwa kekerasan seksual membuat anak merasa bahwa dirinya
mempermalukan nama keluarga. Dampak pelecehan seksual yang terjadi ditandai dengan adanya
powerlessness, dimana korban merasa tidak berdaya dan tersiksa ketika mengungkap peristiwa
pelecehan seksual tersebut

Tindakan kekerasan seksual pada anak membawa dampak emosional dan fisik kepada korbannya. Secara
emosional, anak sebagai korban kekerasan seksual mengalami stress, depresi, goncangan jiwa, adanya
perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri, rasa takut berhubungan dengan orang lain, bayangan
kejadian dimana anak menerima kekerasan seksual, mimpi buruk, insomnia, ketakutan dengan hal yang
berhubungan dengan penyalahgunaan termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter, masalah harga
diri, disfungsi seksual, sakit kronis, kecanduan, keinginan bunuh diri, keluhan somatik, dan kehamilan yang
tidak diinginkan. Selain itu muncul gangguan-gangguan psikologis seperti pasca-trauma stress disorder,
kecemasan, penyakit jiwa lain termasuk gangguan kepribadian dan gangguan identitas disosiatif,
kecenderungan untuk reviktimisasi di masa dewasa, bulimia nervosa, bahkan adanya cedera fisik kepada
anak (Levitan et al, 2003; Messman-Moore, Terri Patricia, 2000; Dinwiddie et al, 2000). Secara fisik, korban
mengalami penurunan nafsu makan, sulit tidur, sakit kepala, tidak nyaman di sekitar vagina atau alat
kelamin, berisiko tertular penyakit menular seksual, luka di tubuh akibat perkosaan dengan kekerasan,
kehamilan yang tidak diinginkan dan lainnya. Sedangkan kekerasan seksual yang dilakukan oleh anggota
keluarga adalah bentuk inses, dan dapat menghasilkan dampak yang lebih serius dan trauma psikologis
jangka panjang, terutama dalam kasus inses orangtua. Trauma akibat kekerasan seksual pada anak akan
sulit dihilangkan jika tidak secepatnya ditangani oleh ahlinya. Anak yang mendapat kekerasan seksual,
dampak jangka pendeknya akan mengalami mimpi-mimpi buruk, ketakutan yang berlebihan pada orang
lain, dan konsentrasi menurun yang akhirnya akan berdampak pada kesehatan. Jangka panjangnya, ketika
dewasa nanti dia akan mengalami fobia pada hubungan seks atau bahkan yang parahnya lagi dia akan
terbiasa dengan kekerasan sebelum melakukan hubungan seksual. Bisa juga setelah menjadi dewasa,
anak tesebut akan mengikuti apa yang dilakukan kepadanya semasa kecilnya. Sementara itu, Weber dan
Smith (2010) mengungkapkan dampak jangka panjang kekerasan seksual terhadap anak yaitu anak yang
menjadi korban kekerasan seksual pada masa kanak-kanak memiliki potensi untuk menjadi pelaku
kekerasan seksual di kemudian hari. Ketidakberdayaan korban saat menghadapi tindakan kekerasan
seksual di masa kanakkanak, tanpa disadari digeneralisasi dalam persepsi mereka bahwa tindakan atau
perilaku seksual bisa dilakukan kepada figur yang lemah atau tidak berdaya. Selain itu, kebanyakan anak
yang mengalami kekerasan seksual merasakan kriteria psychological disorder yang disebut post-traumatic
stress disorder (PTSD), dengan gejala-gejala berupa ketakutan yang intens terjadi, kecemasan yang tinggi,
dan emosi yang kaku setelah peristiwa traumatis. Menurut Beitch-man et.al (Tower, 2002), anak yang
mengalami kekerasan seksual membutuhkan waktu satu hingga tiga tahun untuk terbuka pada orang lain.
Finkelhor dan Browne (Tower, 2002) mengkategorikan empat jenis dampak trauma akibat kekerasan
seksual yang dialami oleh anak-anak, yaitu: 1. Pengkhianatan (Betrayal). Kepercayaan merupakan dasar
utama bagi korban kekerasan seksual. Sebagai seorang anak, mempunyai kepercayaan kepada orangtua
dan kepercayaan itu dimengerti dan dipahami. Namun, kepercayaan anak dan otoritas orangtua menjadi
hal yang mengancam anak.
20 Sosio Informa Vol. 01, No. 1, Januari - April, Tahun 2015

2. Trauma secara Seksual (Traumatic sexualization). Russel (Tower, 2002) menemukan bahwa perempuan
yang mengalami kekerasan seksual cenderung menolak hubungan seksual, dan sebagai konsekuensinya
menjadi korban kekerasan seksual dalam rumah tangga. Finkelhor (Tower, 2002) mencatat bahwa korban
lebih memilih pasangan sesama jenis karena menganggap laki-laki tidak dapat dipercaya. 3. Merasa Tidak
Berdaya (Powerlessness). Rasa takut menembus kehidupan korban. Mimpi buruk, fobia, dan kecemasan
dialami oleh korban disertai dengan rasa sakit. Perasaan tidak berdaya mengakibatkan individu merasa
lemah. Korban merasa dirinya tidak mampu dan kurang efektif dalam bekerja. Beberapa korban juga
merasa sakit pada tubuhnya. Sebaliknya, pada korban lain memiliki intensitas dan dorongan yang
berlebihan dalam dirinya (Finkelhor dan Browne, Briere dalam Tower, 2002). 4. Stigmatization. Korban
kekerasan seksual merasa bersalah, malu, memiliki gambaran diri yang buruk. Rasa bersalah dan malu
terbentuk akibat ketidakberdayaan dan merasa bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol
dirinya. Anak sebagai korban sering merasa berbeda dengan orang lain, dan beberapa korban marah pada
tubuhnya akibat penganiayaan yang dialami. Korban lainnya menggunakan obat-obatan dan minuman
alkohol untuk menghukum tubuhnya, menumpulkan inderanya, atau berusaha menghindari memori
kejadian tersebut (Gelinas, Kinzl dan Biebl dalam Tower, 2002). Secara fisik memang mungkin tidak ada
hal yang harus dipermasalahkan pada anak yang menjadi korban kekerasan seksual, tapi secara psikis bisa
menimbulkan ketagihan, trauma, pelampiasan dendam dan lain-lain. Apa yang menimpa mereka akan
mempengaruhi kematangan dan kemandirian hidup anak di masa depan, caranya melihat dunia serta
masa depannya secara umum. Penanganan Kekerasan Seksual Terhadap Anak Masa kanak-kanak adalah
dimana anak sedang dalam proses tumbuh kembangnya. Oleh karena itu, anak wajib dilindungi dari segala
kemungkinan kekerasan terhadap anak, terutama kekerasan seksual. Setiap anak berhak mendapatkan
perlindungan. Upaya perlindungan terhadap anak harus diberikan secara utuh, menyeluruh dan
komprehensif, tidak memihak kepada suatu golongan atau kelompok anak. Upaya yang diberikan tersebut
dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak dengan mengingat haknya untuk
hidup dan berkembang, serta tetap menghargai pendapatnya. Upaya perlindungan terhadap anak berarti
terwujudnya keadilan dalam suatu masyarakat. Asumsi ini diperkuat dengan pendapat Age yang dikutip
oleh Gosita (1996), yang telah mengemukakan dengan tepat bahwa “melindungi anak pada hakekatnya
melindungi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara di masa depan”. Ungkapan tersebut nampak betapa
pentingnya upaya perlindungan anak demi kelangsungan masa depan sebuah komunitas, baik komunitas
yang terkecil yaitu keluarga, maupun komunitas yang terbesar yaitu negara. Artinya, dengan
mengupayakan perlindungan bagi anak di komunitas-komunitas tersebut tidak hanya telah menegakkan
hak-hak anak, tapi juga sekaligus menanam investasi untuk kehidupan mereka di masa yang akan datang.
Di sini, dapat dikatakan telah terjadi simbiosis mutualisme antara keduanya. Dengan demikian, didalam
penanganan kekerasan seksual terhadap anak, perlu adanya sinergi antara keluarga, masyarakat dan
negara.

Selain itu, dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak seharusnya bersifat holistik dan
terintegrasi. Semua sisi memerlukan pembenahan dan penanganan, baik dari sisi medis, sisi individu,
aspek hukum (dalam hal ini masih banyak mengandung kelemahan), maupun dukungan sosial. Apabila
kekerasan seksual terhadap anak tidak ditangani secara serius dapat menimbulkan dampak sosial yang
luas di masyarakat. Penyembuhan trauma psikis akibat kekerasan seksual haruslah mendapat perhatian
besar dari semua pihak yang terlibat.

Peran Individu dan Keluarga Langkah paling sederhana untuk melindungi anak dari kekerasan seksual bisa
dilakukan oleh individu dan keluarga. Orangtua memegang peranan penting dalam menjaga anak-anak
dari ancaman kekerasan seksual. Orangtua harus benar-benar peka jika melihat sinyal yang tak biasa dari
anaknya. Namun, tak semua korban kekerasan seksual bakal menunjukkan tandatanda yang mudah
dikenali. Terutama apabila si pelaku melakukan pendekatan secara persuasif dan meyakinkan korban apa
yang terjadi antara pelaku dan korban merupakan hal wajar. Kesulitan yang umumnya dihadapi oleh pihak
keluarga maupun ahli saat membantu proses pemulihan anak-anak korban kekerasan seksual
dibandingkan dengan korban yang lebih dewasa adalah kesulitan dalam mengenali perasaan dan pikiran
korban saat peristiwa tersebut terjadi. Anak-anak cenderung sulit mendeskripsikan secara verbal dengan
jelas mengenai proses mental yang terjadi saat mereka mengalami peristiwa tersebut. Sedangkan untuk
membicarakan hal tersebut berulang-ulang agar mendapatkan data yang lengkap, dikhawatirkan akan
menambah dampak negatif pada anak karena anak akan memutar ulang peristiwa tersebut dalam benak
mereka. Oleh karena itu, yang pertama harus dilakukan adalah memberikan rasa aman kepada anak untuk

bercerita. Biasanya orang tua yang memang memiliki hubungan yang dekat dengan anak akan lebih
mudah untuk melakukannya. Menurut beberapa penelitian yang dilansir oleh Protective Service for
Children and Young People Department of Health and Community Service (1993) keberadaan dan peranan
keluarga sangat penting dalam membantu anak memulihkan diri pasca pengalaman kekerasan seksual
mereka. Orang tua (bukan pelaku kekerasan) sangat membantu proses penyesuaian dan pemulihan pada
diri anak pasca peristiwa kekerasan seksual tersebut. Pasca peristiwa kekerasan seksual yang sudah
terjadi, orang tua membutuhkan kesempatan untuk mengatasi perasaannya tentang apa yang terjadi dan
menyesuaikan diri terhadap perubahan besar yang terjadi. Selain itu juga, orang tua membutuhkan
kembali kepercayaan diri dan perasaaan untuk dapat mengendalikan situasi yang ada. Proses pemulihan
orang tua berkaitan erat dengan resiliensi yang dimiliki oleh orang tua sebagai individu dan juga resiliensi
keluarga tersebut. Berkaitan dengan kasus kekerasan seksual maka Waskito (2008) menemukan beberapa
faktor yang mempengaruhi resiliensi keluarga terhadap pengalaman kekerasan seksual yang menimpa
anaknya, diantaranya:

1. Dukungan sosial dan emosional yang membuat setiap anggota keluarga merasa disayangi, dicintai,
didukung, dihargai, dipercaya dan menjadi bagian dari keluarga.

2. Kelekatan / ikatan emosional yang dimiliki satu sama lain dalam keluarga dikarenakan adanya
keterbukaan dimana setiap anggota keluarga saling berbagi perasaan, jujur dan terbuka satu sama lain. 3.
Meningkatkan komunikasi dengan anak. Pola komunikasi yang efektif, terbuka, langsung, terarah,
kongruen (sesuai antara

22 Sosio Informa Vol. 01, No. 1, Januari - April, Tahun 2015


verbal dan non verbal). Dengan cara ini akan terbentuk sikap keterbukaan, kepercayaan dan rasa aman
pada anak. Diharapkan anak tidak perlu takut menceritakan berbagai tindakan ganjil yang dialaminya,
seperti mendapat iming-iming, diajak pergi bersama, diancam, bahkan diperdaya oleh seseorang.

4. Keterlibatan orang tua terhadap proses penanganan kekerasan seksual yang dialami anaknya baik itu
penanganan secara hukum maupun penanganan pemulihan secara psikologis layanan psikologis bagi anak
maupun bagi orang tua.

5. Pemahaman orang tua terhadap peristiwa kekerasan seksual yang dialami oleh anaknya. Dampak
peristiwa tersebut bagi anaknya dan juga dirinya serta bagaimana mengatasi dan memulihkan diri.

6. Spiritualitas dan nilai-nilai yang dimiliki dan dianut dengan baik oleh sebuah keluarga. Keyakinan
spiritual ini juga mencakup ritual-ritual agama yang dianggap menguatkan.

7. Sikap positif yang dimiliki keluarga dalam memandang kehidupan termasuk krisis dan permasalahan
yang ada. Cara pandang yang melihat bahwa selalu ada jalan keluar dari kesulitan yang dihadapi oleh
setiap manusia.

8. Ketrampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan yang dimiliki keluarga yang terkait
dengan perencanaan terhadap masa depan yang dimiliki oleh keluarga dan ”kendali” terhadap
permasalahan yang terjadi melalui pelibatan orang tua dalam memutuskan langkahlangkah penanganan
secara mandiri. Peran Masyarakat Penanganan kekerasan seksual terhadap anak, perlu adanya peran
serta masyakarat, dengan memerhatikan aspek pencegahan yang melibatkan warga dan juga melibatkan
anak-anak, yang bertujuan memberikan perlindungan pada anak di tingkat akar rumput. Keterlibatan
anak-anak dibutuhkan sebagai salah satu referensi untuk mendeteksi adanya kasus kekerasan yang
mereka alami. Minimal, anak diajarkan untuk mengenali, menolak dan melaporkan potensi ancaman
kekerasan. Upaya perlindungan anak dilakukan dengan membangun mekanisme lokal, yang bertujuan
untuk menciptakan jaringan dan lingkungan yang protektif. Oleh karena itu, perlindungan anak disini
berbasis pada komunitas. Komunitas yang dimaksud merupakan bagian dari kelompok masyarakat yang
peduli pada berbagai permasalahan di masyarakatnya, khususnya permasalahan kekerasan seksual
terhadap anak. Hal ini sesuai dalam buku Cluetrain Manifesto (Kertajaya dan Hermawan, 2008), bahwa
komunitas adalah sekelompok orang yang saling peduli satu sama lain lebih dari yang seharusnya, dimana
dalam sebuah komunitas terjadi relasi pribadi yang erat antar para anggota komunitas tersebut karena
adanya kesamaan interest atau values. Berkaitan dengan peran masyarakat oleh media massa harus
dilakukan dengan bijaksana demi perlindungan anak karena dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak ditegaskan Pasal 64, “perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media
massa dan untuk menghindari labelisasi”. Artinya dalam hal ini seharusnya masyarakat ikut membantu
memulihkan kondisi kejiwaan korban. Masyarakat diharapkan ikut mengayomi dan melindungi korban
dengan tidak mengucilkan korban, tidak memberi penilaian buruk kepada korban. Perlakuan semacam ini
juga dirasa sebagai salah satu perwujudan perlindungan kepada korban, karena dengan sikap masyarakat
yang baik, korban tidak merasa minder dan takut dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.

Peran Negara Fenomena kekerasan seksual terhadap anak yang semakin memprihatikan dapat ditafsirkan
sebagai kegagalan Negara dalam menjamin rasa aman dan perlindungan terhadap anakanak. Negara telah
melakukan “pembiaran” munculnya kekerasan seksual disekitar anakanak. Oleh karena itu, peran negara
tentu paling besar dalam penanganan kekerasan seksual terhadap anak. Sebab, pada hakikatnya negara
memiliki kemampuan untuk membentuk kesiapan individu, keluarga serta masyarakat. Negara dalam hal
ini pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap kemaslahatan rakyatnya, termasuk
dalam hal ini adalah menjamin masa depan bagi anakanak kita sebagai generasi penerus. Oleh karena itu,
Pemerintah bertanggung jawab untuk melindungi warga negaranya dari korban kekerasan seksual yang
terjadi pada anak-anak. Tetapi dalam kenyataannya, meskipun sudah ada jaminan peraturan yang mampu
melindungi anak, namun fakta membuktikan bahwa peraturan tersebut belum dapat melindungi anak
dari tindakan kekerasan seksual. Oleh karena itu, upaya yang harus menjadi prioritas utama (high priority)
untuk melindungi anak dari tindakan kekerasan seksual adalah melalui reformasi hukum. Reformasi
hukum yang harus dilakukan pertama kali adalah dengan cara mentransformasi paradigma hukum. Spirit
untuk melakukan reformasi hukum dilandasi dengan paradigma pendekatan berpusat pada kepentingan
terbaik bagi anak (a child-centred approach) berbasis pendekatan hak. Para praktisi hukum maupun
pemerintah setiap negara selalu melakukan berbagai usaha untuk menanggulangi kejahatan dalam arti
mencegah sebelum terjadi dan menindak pelaku kejahatan yang telah melakukan perbuatan atau
pelanggaran atau melawan hukum. Usaha

usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan sudah barang tentu tidak hanya
dengan menggunakan hukum pidana, tetapi dapat juga menggunakan sarana yang non hukum pidana
(Lukman Hakim, 2008). Penanggulangan secara hukum pidana yaitu penanggulangan setelah terjadinya
kejahatan atau menjelang terjadinya kejahatan, dengan tujuan agar kejahatan itu tidak terulang kembali.
Penanggulangan secara hukum pidana dalam suatu kebijakan kriminal merupakan penanggulangan
kejahatan dengan memberikan sanksi pidana bagi para pelakunya sehingga menjadi contoh agar orang
lain tidak melakukan kejahatan. Berlakunya sanksi hukum pada pelaku, maka memberikan perlindungan
secara tidak langsung kepada korban perkosaan anak di bawah umur ataupun perlindungan terhadap
calon korban. Ini berarti memberikan hukuman yang setimpal dengan kesalahannya atau dengan kata lain
para pelaku diminta pertanggungjawabannya. Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan
sanksi hukum pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Sampai saat
inipun, hukum pidana masih digunakan dan diandalkan sebagai salah satu sarana politik kriminal. Hukum
pidana hampir selalu digunakan dalam produk legislatif untuk menakuti dan mengamankan bermacam-
macam kejahatan yang mungkin timbul di berbagai bidang. Jika pelaku sudah dijatuhi hukuman tetapi
tidak mampu juga memberikan efek jera, terutama pada pelaku-pelaku lainnya yang melakukan
kekerasan seksual terhadap anak, apa yang harus dilakukan? Maka munculah pandangan bahwa perlu
adanya hukuman yang keras lagi terhadap pera pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Selain
pemberian sanksi kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak,

24 Sosio Informa Vol. 01, No. 1, Januari - April, Tahun 2015

perlu juga adanya perlindungan terhadap anak korban kekerasan seksual. Karena, dalam hal ini, anak tidak
hanya sebagai korban tetapi juga sebagai saksi dalam kasus kekerasan seksual tersebut. Menurut
ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak pasal 64 (3) dan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana Anak pasal 90 mengatur, anak sebagai
korban berhak mendapatkan rehabilitasi dari lembaga maupun di luar lembaga. Kemudian di atur pula ke
dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban bahwa korban
tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum baik medis, rehabilitasi psikososial. Rehabilitasi medis
tersebut adalah proses kegiatan pengobatan secara terpadu dengan memulihkan kondisi fisik anak, anak
korban dan atau anak saksi. Rehabilitasi sosial adalah proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik
fisik, mental maupun sosial, agar anak korban, dan atau anak saksi dapat kembali melaksanakan fungsi
sosial dalam kehidupan di masyarakat. Kenyataannya, tidak sedikit kekerasan seksual yang mengalami
kekerasan seksual maupun keluarganya tidak mau melaporkan ke pihak berwajib dengan alasan hal
tersebut merupakan aib ataupun takut adanya stigma terhadap anak nantinya apabila diketahui oleh
masyarakat luas. Oleh karena itu, perlu dibentuknya lembaga sosial untuk menampung anak yang menjadi
korban tindak kekerasan maupun kekerasan seksual. Oleh karena itu, terkait kekerasan seksual dengan
anak sebagai korbannya, perlu adanya upaya preventif dan represif dari pemerintah. Upaya preventif
perlu dilakukan dengan dibentuknya lembaga yang berskala nasional untuk menampung anak yang
menjadi korban

tindak kekerasan seperti perkosaan. Lembaga penyantun korban semacam ini sudah sangat mendesak,
mengingat viktimisasi yang terjadi di Indonesia pada beberapa tahun terakhir ini sangat memprihatinkan.
Koordinasi dengan pihak kepolisian harus dilakukan, agar kepolisian segera meminta bantuan lembaga ini
ketika mendapat laporan terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan. Lembaga ini perlu didukung
setidaknya oleh pekerja sosial, psikolog, ahli hukum dan dokter. Dalam kondisi daerah yang tidak
memungkinkan, harus diupayakan untuk menempatkan orang-orang dengan kualifikasi yang paling
mendekati para profesional di atas, dengan maksud agar lembaga ini dapat mencapai tujuan yang
diinginkan dengan baik. Pendanaan untuk lembaga ini harus dimulai dari pemerintah sendiri, baik pusat
maupun daerah, dan tentunya dapat melibatkan masyarakat setempat baik secara individu maupun
kelompok. Secara represif diperlukan perlindungan hukum berupa: a) pemberian restitusi dan
kompensasi bertujuan mengembalikan kerugian yang dialami oleh korban baik fisik maupun psikis, serta
penggantian atas biaya yang dikeluarkan sebagai akibat viktimisasi tersebut; b) Konseling diberikan
kepada anak sebagai korban perkosaan yang mengalami trauma berupa rehabilitasi yang bertujuan untuk
mengembalikan kondisi psikis korban semula; c) Pelayanan / bantuan medis, diberikan kepada korban
yang menderita secara medis akibat suatu tindak pidana seperti perkosaan, yang mengakibatkan
penderitaan fisik; d) Pemberian informasi, Hak korban untuk mendapat informasi mengenai
perkembangan kasus dan juga keputusan hakim. Hak korban untuk mendapat informasi mengenai
perkembangan kasus dan juga keputusan hakim, termasuk pula hak untuk diberitahu apabila si pelaku

telah dikeluarkan atau dibebaskan dari penjara (kalau ia dihukum). Apabila tidak dihukum, misalnya
karena bukti yang kurang kuat, seyogyanya korban diberi akses untuk mendapatkan perlindungan agar
tidak terjadi pembalasan dendam oleh pelaku dalam segala bentuknya; dan e) perlindungan yang
diberikan oleh keluarga maupun masyarakat. Keluarga merupakan orang-orang terdekat korban (anak)
yang mempunyai andil besar dalam membantu memberikan perlindungan kepada korban. Hal ini dengan
dapat ditunjukkan dengan selalu menghibur korban (anak), tidak mengungkitungkit dengan menanyakan
peristiwa perkosaan yang telah dialaminya, memberi dorongan dan motivasi bahwa korban tidak boleh
terlalu larut dengan masalah yang dihadapinya, memberi keyakinan bahwa perkosaan yang dialaminya
tidak boleh merusak masa depannya, melindungi dia dari cibiran masyarakat yang menilai buruk dirinya,
dan lain-lain.

Pendekatan Berbasis Sistem Menilik penanganan terhadap anak sebagai korban kekerasan seksual, maka
pendekatan perlindungan terhadap anak yang perlu dilakukan haruslah berbasis sistem. Pendekatan
perlindungan anak berbasis sistem bertujuan memperkuat lingkungan yang melindungi anak dari segala
hal yang membahayakan. Pendekatan perlindungan anak berbasis sistem sebagai pendekatan yang
menekankan tanggung jawab atau kewajiban dari negara sebagai primary duty bearer dalam
menyediakan layanan untuk pemenuhan hak-hak anak dan perlindungan anak. Negara mengakui anak
sebagai pemegang hak dan berhak atas perlindungan dan merupakan tanggung jawab negara untuk
kesejahteraan anak. Oleh karena itu, negara melakukan penanganan anak sebagai korban kekerasan
seksual berfokus pada pencegahan kekerasan di sumber masalahnya dan merespon semua permasalahan
anak secara

terpadu, negara melaksanakan pengembangan sistem kesejahteraan yang komprehensif bukan jejaring
kerja, menjangkau semua anak dan fokus pada keluarga dan masyarakat. Kerangka kerja yang berbasis
sistem ini lebih terorganisir, interaktif dan komponen yang ada didalamnya saling terkait. Komponen-
kompenen didalam perlindungan terhadap anak yang berbasis sistem (UNICEF, 2012) meliputi: 1. Sistem
Kesejahteraan Sosial bagi anak-anak dan keluarga. Sistem ini bertujuan mencegah terjadi dan terulangnya
perlakuan salah, kekerasan, penelantaran dan eksploitasi terhadap anak melalui peningkatan kapasitas
keluarga yang bertanggung jawab agar tercapainya kesejahteraan dan perlindungan anak. Layanan
kesejahteraan sosial merupakan bentuk sistem kesejahteraan sosial bagi anak dan keluarga. Melalui
layanan kesejahteraan sosial, diharapkan adanya penguatan dan pemberian pelayanan kesejahteraan
serta perlindungan anak. Akan didapatkan gambaran yang jelas tentang tugas, tanggung jawab dan proses
kelembagaan di setiap tingkat. 2. Sistem peradilan yang sesuai dengan standar internasional. Sistem
peradilan disini terkait dengan kerangka hukum dan peraturan perundang-undangan perlu ditingkatkan
dan sesuai dengan standard internasional. Kerangka hukum yang menyeluruh dan mengikat diperlukan di
tingkat pusat. Selanjutnya, kerangka hukum dan peraturan di tingkat provinsi dan kabupaten harus sejalan
dengan kerangka hukum nasional bahkan internasional. Kerangka hukum dan kebijakan yang mendukung
sistem perlindungan anak tersebut meliputi sistem data dan informasi untuk perlindungan anak.

26 Sosio Informa Vol. 01, No. 1, Januari - April, Tahun 2015

3. Mekanisme untuk mendorong perilaku yang tepat dalam masyarakat. Di tingkat masyarakat, berbagai
komponen tersebut (sistem kesejahteraan sosial bagi anakanak dan keluarga serta sistem peradilan yang
sesuai dengan standar internasional harus disatukan dalam rangkaian kesatuan pelayanan perlindungan
anak yang mendorong kesejahteraan dan perlindungan anak dan meningkatkan kapasitas keluarga dan
masyarakat untuk memenuhi tanggung jawab mereka. Rangkaian pelayanan perlindungan anak di tingkat
masyarakat dimulai dari pencegahan sebagai intervensi primer yang ditujukan ke semua anak dan
keluarganya, pengurangan resiko sebagai intervensi sekunder, yang ditujukan kepada anak-anak dan
keluarga rentan atau yang beresiko mengalami kekerasan seksual anak. Orang tua yang yang masih
mempunyai anak-anak usia dibawah 18 tahun, lembaga-lembaga pendidikan anak seperti, PAUD, TK, SD,
SMP, SMA, TPA, Madrasah, pondok pesantren, dan lainlain. Materi kegiatan pencegahan antara lain
tentang pendidikan sex pada orang tua dan anak yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak.
Pelaku kegiatan ini adalah instansi terkait yang mempunyai tugas dalam perlindungan dan pengasuhan
anak; penanganan (intervensi tersier) yang ditujukan kepada anak yang telah menjadi korban kekerasan
seksual dan keluarganya. Intervensi ini wajib dilakukan oleh negara dengan memberikan perlindungan
terhadap korban dan orang tuanya. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Tentang Perlindungan
Anak Nomor 23 Tahun 2002. Pasal 59 yang menyebutkan bahwa Pemerintah dan lembaga negara lainnya
berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi
darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak

dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/ seksual, anak yang
diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya, anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan
mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Oleh karena
itu intervensi ini bertujuan untuk membebaskan anak-anak dari dampak buruk atau, jika dianggap layak,
melakukan pengawasan terstruktur dan memberikan layanan dukungan. Mekanisme pencegahan
(intervensi primer) dianggap lebih tepat dibandingkan intervensi tersier atau reaktif. PENUTUP Semakin
banyaknya kasus-kasus kekerasan pada anak terutama kasus kekerasan seksual (sexual violence againts)
dan menjadi fenomena tersendiri pada masyarakat modern saat ini. Anak-anak rentan untuk menjadi
korban kekerasan seksual karena tingkat ketergantungan mereka yang tinggi. Sementara kemampuan
untuk melindungi diri sendiri terbatas. Berbagai faktor penyebab sehingga terjadinya kasus kekerasan
seksual terhadap anak dan dampak yang dirasakan oleh anak sebagai korban baik secara fisik, psikologis
dan sosial. Trauma pada anak yang mengalami kekerasan seksual akan mereka alami seumur hidupnya.
Luka fisik mungkin saja bisa sembuh, tapi luka yang tersimpan dalam pikiran belum tentu hilang dengan
mudah. Hal itu harus menjadi perhatian karena anak-anak. Selain memang wajib dilindungi, juga karena
di tangan anak-anaklah masa depan suatu daerah atau bangsa akan berkembang. Kekerasan seksual pada
anak dapat terjadi di mana saja dan kapan saja serta dapat dilakukan oleh siapa saja, baik itu anggota
keluarga, pihak sekolah, maupun orang lain. Oleh karena itu, anak perlu

dibekali dengan pengetahuan seksualitas yang benar agar anak dapat terhindar dari kekerasan seksual.
Melihat dampak yang diakibatkan oleh kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak yang menjadi
korban, maka dalam penanganan kekerasan seksual terhadap anak sangat penting peran aktif
masyarakat, individu, dan pemerintah. Perlu adanya pendekatan berbasis sistem dalam penanganan
kekerasan seksual anak. Sistem perlindungan anak yang efektif mensyarakatkan adanya komponen-
komponen yang saling terkait. Komponen-komponen ini meliputi sistem kesejahteraan sosial bagi
anakanak dan keluarga, sistem peradilan yang sesuai dengan standar internasional, dan mekanisme untuk
mendorong perilaku yang tepat dalam masyarakat. Selain itu, juga diperlukan kerangka hukum dan
kebijakan yang mendukung serta sistem data dan informasi untuk perlindungan anak.
KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA DALAM PERSPEKTIF FAKTA SOSIAL

ABSTRACT This research aimed to explain the factors causing children abuse within family. This research
was taken place in Klunggen Village of Slogohimo Sub District of Wonogiri Regency with purposive
sampling as the sampling technique. The informant selected in this research was parents with children
above 15 years, parents with different occupation background, members of society in Klunggen Village,
and children living in that neighborhood. This study was a qualitative research with descriptive qualitative
approach with case study type. The data used included primary and secondary data collected using
interview, observation, and documentation techniques. Data validation was carried out using method and
source triangulations. Data analysis in this research started with data collection, data reduction, data
display, and ended with conclusion drawing. The result of research showed that there were three factors
causing children abuse occurring within family: (1) violence inheritance from one generation to another,
(2) children abuse within family was difficult to disclose to public space, and (3) cultural background (There
was a relationship between positions within society that always puts the children on the lowest position).
Durkheim’s social fact theory explained that the children as a weak individual are always put on the lowest
position within society. Thus, all of they do should be consistent with what the parents/adult instructs and
teaches within family. When they did something beyond adult’s rule, they would be punished.

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan faktor yang meneyebabkan terjadinya kasus
kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Penelitian ini dilaksanakan Desa Klunggen Kecamatan
Slogohimo Kabupaten Wonogiri dengan teknik pemilihan informan berupa purposive sampling. Informan
yang dipilih dalam penelitian ini adalah orangtua yang telah memiliki anak selama lebih dari 15 tahun,
orangtua dengan latar belakang pekerjaan yang berbeda, masyarakat di Desa Klunggen, dan anak – anak
yang tinggal di lingkungan tersebut. Penelitian ini berjenis kualitatif dengan pendekatan deskriptif
kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Data yang digunakan berupa data primer dan sekunder
melalui teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Uji validitas data menggunakan triangulasi
metode dan triangulasi sumber. Analisis data dalam penelitian ini diawali dengan pengumpulan data,
mereduksi data, menyajikan data, dan terakhir menarik kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
faktor yang menyebabkan kekerasan terhadap anak terjadi dalam keluarga ada tiga yaitu, (1) Pewarisan
kekerasan antar generasi (2) Kekerasan terhadap anak dalam keluarga sulit diungkap ke ruang publik (3)
Latar belakang budaya (Adanya hubungan kedudukan dalam masyarakat yang selalu menempatkan anak
dalam posisi terbawah). Teori fakta sosial Durkheim menjelaskan bahwa anak sebagai individu yang
lemah selalu diposisikan terbawah dalam masyarakat. Sehingga semua yang dia lakukan harus sesuai
dengan apa yang diperintahkan dan diajarkan oleh orang dewasa/orangtua dalam keluarga. Ketika anak
melakukan sesuatu yang diluar aturan orang dewasa tersebut, maka anak tersebut akan mendapat sanksi
dari perbuatannya.

Kata Kunci : kekerasan, anak, keluarga

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Saat ini, kekerasan terhadap anak tidak hanya di kota besar saja seperti Jakarta, Bandung, Bali, dan kota
– kota besar saja yang terekspos media. Namun belakangan ini ramai diperbincangkan kekerasan anak
yang

terjadi di pelosok negeri ini, seperti Wonogiri. Dua kasus yang sangat menyita perhatian publik adalah
kasus seorang anak berusia di bawah lima tahun (balita) berinisial Sy (4) warga Slogohimo, Kabupaten
Wonogiri, diduga menjadi korban penganiayaan. Bocah itu mengalami luka lebam di mukanya. muncul

dugaan pelaku penganiayaan adalah ibu kandung Sy, berinisial Sry (35) (Solopos.com, Rabu 2/9/2015).
Kasus penganiayaan itu terbongkar ketika ada salah satu tetangga yang datang ke rumah korban. Warga
curiga karena mata korban yang sedang tidur kondisinya lebam dan bengkak. Setelah ditanyakan kepada
ibu kandungnya, dijelaskan bahwa anak tersebut jatuh. Tapi warga tidak percaya dan melaporkannya
kepada kepala desa setempat. Laporan itu pun dilanjutkan ke Polsek Slogohimo, yang kemudian
dilimpahkan ke Polres Wonogiri. Belakangan, diketahui perempuan itu sering menganiaya anak mungilnya
itu.

Berdasarkan data yang penulis peroleh dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan
bahwa kekerasan pada anak selalu meningkat setiap tahun. Hasil pemantauan KPAI dari 2011 sampai
2014, terjadi peningkatan yang sifnifikan. “Tahun 2011 terjadi 2178 kasus kekerasan, 2012 ada 3512 kasus,
2013 ada 4311 kasus, 2014 ada 5066 kasus. Wakil Ketua KPAI, Maria Advianti mengatakan bahwa anak
bisa menjadi korban ataupun

pelaku kekerasan dengan lokasi kasus kekerasan pada anak ada 3, yaitu di lingkungan keluarga, di
lingkungan sekolah dan di lingkungan masyarakat. Hasil monitoring dan evaluasi KPAI tahun 2012 di 9
provinsi menunjukkan bahwa 91 persen anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, 87.6
persen di lingkungan sekolah dan 17.9 persen di lingkungan masyarakat. Harian Terbit, Minggu
(14/6/2015). Berdasarkan data dari KPAI di atas, anak korban kekerasan di lingkungan masyarakat
jumlahnya termasuk rendah yaitu 17,9 persen. Artinya, anak rentan menjadi korban kekerasan justru di
lingkungan keluarga dan sekolah. Lingkungan yang mengenal anak-anak tersebut cukup dekat. Pelaku
kekerasan pada anak justru lebih banyak berasal dari kalangan yang dekat dengan anak. Pada hakikatnya
keluarga merupakan tempat pertama bagi anak untuk memeperoleh pengetahuan, pembinaan mental,
dan pembentukan kepribadian yang nantinya akan ditambah dan disempurnakan oleh lingkungan sekolah
maupun

lingkungan sosial diamana anak tinggal, tumbuh, dan berkembang. terlihat sekali bagaimana pentingnya
peran keluarga sangat signifikan dalam perkembangan, pembentukan karakter, serta masa depan anak.
Bukan hal yang mustahil ketika sebuah keluarga khususnya orangtua yang merupakan elemen awal
pembentukan kepribadian anak mampu memberikan dan menjalankan peran maupun tanggungjawab
secara maksimal akan mampu meciptakan generasi penerus bangsa yang bertanggungjawab terhadap
agama, nusa, dan bangsa. Sehingga apa yang selama ini dicita – citakan oleh suatu bangsa akan dicapai.
Namun kenyataan di masyarakat seringkali berbanding terbalik dengan harapan ataupun yang dicita –
citakan selama ini. Salah satu yang menjadi pusat perhatian dan menjadi bahan pembicaraan dewasa ini
adalah mengenai kekerasan terhadap anak. Kekerasan pada anak dapat kita jumpai kapanpun dan
dimanapun, baik di kota maupun di desa, di keluarga maupun di lingkungan masyarakat, bahkan saat

ini sudah banyak kekerasan pada anak yang terjadi di lembaga pendidikan seperti sekolah, pesantren, dan
lembaga pendidikan lainnya. Hal ini menjadi ironi yang ada dalam masyarakat. Bagaimana tidak, anak
sebagai penerus bangsa yang berhak mendapatkan perlindungan, pendidikan, dan pendampingan yang
baik dari keluarga, lingkungan masyarakat, maupun sekolah justru mendapatkan perlakuan yang salah
bahkan mengarah ke kerasan fisik maupun ferbal dan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Berdasarkan fenomena tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terkait kekerasan anak yang
terjadi di Kabupaten Wonogiri. Yang menarik dari penelitian kali ini adalah dalam penelitian ini akan
menfokuskan pada alasan mengapa kekerasan terhadap anak justru banyak terjadi di lingkungan keluarga.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk Menjelaskan alasan kekerasan terhadap anak banyak terjadi di lingkungan
keluarga.

Kajian Pustaka

1. Konsep Keluarga

Hildred Geertz (1985) menjelasakan bahwa secara universal keluarga merupakan jembatan antara
individu dan budayanya, nilai-nilai kemasyarakatan umum tertentu yang tersebar memberikan
pembenaran serta makna bagi lembaga kekeluargaan dan berlaku pula sebagai petunjuk normative untuk
tenggang – menenggang di antara para anggota keluarga setiap hari juga di lingkungan sosial sekitarnya.
Jadi secara umum menurut Geertz bahwa keluarga merupakan miniatur suatu masyarakat, karena semua
norma – norma, maupun aturan dalam bertingkah laku serta nilai – nilai dalam keluarga tersebut dapat
diterapkan dalam masyarakat secara umum.

Abdullah (1997) menjelaskan bahwa dalam kebudayaan masyarakat jawa mengenal ideologi Familialisme.
Ideologi familialisme ini dilestarikan dan secara terus menerus diredefinisikan melalui hukum – hukum
adat yang berlaku, kepercayaan – kepercayaan, serta

negara dan pemerintah yang pernah ada dalam sejarah masyarakat Jawa. Ideologi ini menekankan pada
peran reproduksi dan domestik perempuan sangat ditekankan pada perempuan kelas atas di zaman
kerajaan – kerajaan Jawa. Perempuan digambarkan sebagai makhluk yang anggun, halus, rapi tetapi tidak
memiliki daya pikir yang tinggi, dan kurang memiliki kemampuan serta kekuatan spiritual, sehingga ia
dianggap tidak mampu menduduki jabatan – jabatan strategis dalam pemerintahan dan masyarakat.

Berdasarkan ideologi familiarisme peran utama laki – laki adalah sebagai penguasa utama rumah tangga
yang memiliki hak istimewa dan otoritas terbesar dalam keluarga. Laki – laki dalam posisinya sebagai
suami dan ayah merupakan figur sentral dalam keluarga. Dengan demikian, anggota keluarga lain seperti
istri dan anak harus tunduk pada penguasa utama tersebut. Kewibawaan seorang laki – laki/ayah harus
dijaga oleh anggota keluarga karena atribut tersebut sangat menentukan status dan kedudukan keluarga
dalam masyarakat. Dalam

masyarakat, kelaurga diibaratkan sebagai bentuk mikro dari masyarakat, maka kedudukan laki – laki
dalam keluarga memberikan legimitasi bagi laki – laki untuk mendapatkan prestise dan kekuasaan dalam
masyarakat.
2. Kedudukan Anak dalam Keluarga

Dalam keluarga Jawa, anak merupakan sosok yang istimewa dalam keluarga dan perlu mendapatkan
perlakuan dan bimbingan khusus dari seluruh anggota keluarga tersebut. Hildred Geertz (1985)
menjelaskan bahwa dalam keluarga jawa memandang bahwa anak-anak adalah hal yang disenangi dan
diinginkan karena anaklah yang dipandang akan mampu meneruskan juga mengurusi orang tuanya kelak
ketika tua sehingga keinginan memiliki anak-anak sangat besar dalam masyarakat jawa.

Hubungan sosial seorang anak baik dengan anggota keluarga maupun dengan lingkungannya juga menjadi
perhatian bagi masyarakat Jawa, untuk dapat tumbuh sebagai seorang yang baik, anak-anak

masyarakat Jawa telah mendapatkan latihan kesopanan sejak mereka masih bayi, dalam berkomunikasi
sang anak juga diajarkan dan dibiasakan untuk menggunakan kalimat-kalimat yang sopan serta santun
terhadap orang lain. Seorang anak diajarkan untuk dapat hidup harmonis dengan sanak saudaranya juga
bahkan dengan orang lain, jika sang anak tidak bertingkah laku baik maka ia akan mendapatkan sanksi
langsung berupa hukuman agar anak tersebut tidak mengulanginya dan dapat bersikap patuh.

Pelajaran penting yang harus dikuasai oleh anak sebagai bagian dari pertumbuhannya ialah bagaimana
dan bilamana harus bertindak-tanduk dengan tata karma. Yang menjadi komponen dalam “Hormat”
dalam masyarakat jawa adalah wedi, isin, dan sungkan. Wedi berarti takut, isin dapat diartikan sebagai
malu, enggan ataupun canggung.

Dari pemaparan mengenai kedudukan anak dalam keluarga yang disampaikan Geertz di atas menjelaskan
bahwa secara

keseluruhan anak merupakan seseorang yang penting dalam keluarga. Ketika orangtua berhasil mendidik
anak dengan baik, maka masyarakat menganggap bahwa keluarga tersebut merupakan keluarga yang
berhasil. Ataupun sebaliknya, ketika orangtua tersebut gagal dalam mendidik anak, maka masyarakat
menganggap bahwa keluarga tersebut merupakan keluarga yang gagal. Dari hal inilah maka orangtua
melakukan segala upaya untuk mendidik anak mereka dengan baik karena seolah – olah ada tuntutan dari
masyarakat untuk melakukan hal tersebut. Bahkan tidak jarang pula orangtua melakukan kekerasan
terhadap anak dengan alasan untuk mendidik supaya si anak dapat terlihat baik dalam masyarakat.

3. Kekerasan terhadap Anak

Secara teoritis, kekerasan terhadap anak dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental, atau
seksual yang umumnya dilakukan oleh orang – orang yang memiliki tanggung jawab terhadap
kesejahteraan anak, yang mana itu semua diindikasikan dengan kerugian

dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak (Suyanto, 2010:28). Sedangkan Henry Kempe
menyebut kasus kasus penelantaran dan penganiayaan yang dialami anak – anak dengan istilah Batered
Child Syndrome yaitu: “setiap keadaan yang disebabkan kurangnya perawatan dan perlindungan terhadap
anak oleh orangtua atau pengasuh lain.” Disini yang diartikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak
tidak hanya luka berat saja, tetapi termasuk juga luka memar atau membengkak sekalipun dan diikuti
kegagalan anak untuk berkembang baik secara fisik maupun intelektualnya (Suyanto, 2010:27).

Menurut Suyanto (2010:29), ada lima bentuk kekerasan terhadap anak, yaitu : (1) kekerasan fisik, bentuk
ini paling mudah dikenali. Korban kekerasan jenis ini biasanya tampak secara langsung pada fisik korban
seperti; luka memar, berdarah, dan bentuk lain yang kondisinya lebih berat. (2) Kekerasan Psikis, bentuk
ini tidak begitu mudah dikenali. Wujud dari kekerasan ini bisa berupa kata – kata kasar, ejekan,
mempermalukan, dan sebagainya. Dampak kekerasan

jenis ini akan berpengaruh pada situasi perasaan yang tidak aman dan nyaman, minder, lemah dalam
mengambil keputusan, dan bahkan menurunnya harga diri serta martabat korban. (3) Kekerasan seksual,
termasuk dalam kategori ini adalah segala tindakan yang mencul dalam bentuk paksaan untuk melakukan
hubungan seksual. (4) Kekerasan Ekonomi, kekerasan jenis ini sangat sering terjadi di lingkungan
keluaraga. Pada anak, kekerasan ini sering terjadi ketika orang tua memaksa anak yang masih usia di
bawah umur untuk dapat memebrikan kontribusi ekonomi keluarga, sehingga fenomena penjualan anak,
pengamen jalanan, pengemis anak, dan lain – lain kian merebak. (5) Kekerasan anak secara sosial,
kekerasan anak jenis ini mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah
sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh
kembang anak.

4. Kekerasan terhadap Anak dalam Perspektif Budaya

Sumjati (2001:28) menjelaskan secara sederhana tindak kekerasan diartikan sebagai setiap perilaku yang
dapat menyebabkan perasaan atau tubuh (fisik) orang lain tidak nyaman. Perasaan tidak nyaman itu bisa
berupa: kekhawatiran, ketakutan, kesedihan, ketersinggungan, kejengkelan, atau kemarahan, sedangkan
keadaan fisik yang tidak nyaman bisa berupa: lecet, luka, memar, patah tulang, dan sebagainya.

Berkenaan dengan ini, aspek kualitatif dari tindakan ini dianggap lebih penting untuk diketahui daripada
aspek kuantitatifnya, karena tindak kekerasan ini memberikan akibat serius terhadap kualitas kehidupan
manusia (Sumjati, 2001:29). Selain itu, berbagai penelitian mengenai kekerasan terhadap anak ternyata
sangat jarang yang memberikan perhatian pada bentuk – bentuk kekerasannya sendiri. Oleh karena itu,
pembicaraan kali ini akan lebih difokuskan pada bentuk – bentuk kekerasan yang dialami oleh anak – anak
di Indonesia dalam proses sosialisasi mereka.

4. Kekerasan terhadap Anak dalam Perspektif Budaya

Sumjati (2001:28) menjelaskan secara sederhana tindak kekerasan diartikan sebagai setiap perilaku yang
dapat menyebabkan perasaan atau tubuh (fisik) orang lain tidak nyaman. Perasaan tidak nyaman itu bisa
berupa: kekhawatiran, ketakutan, kesedihan, ketersinggungan, kejengkelan, atau kemarahan, sedangkan
keadaan fisik yang tidak nyaman bisa berupa: lecet, luka, memar, patah tulang, dan sebagainya.
Berkenaan dengan ini, aspek kualitatif dari tindakan ini dianggap lebih penting untuk diketahui daripada
aspek kuantitatifnya, karena tindak kekerasan ini memberikan akibat serius terhadap kualitas kehidupan
manusia (Sumjati, 2001:29). Selain itu, berbagai penelitian mengenai kekerasan terhadap anak ternyata
sangat jarang yang memberikan perhatian pada bentuk – bentuk kekerasannya sendiri. Oleh karena itu,
pembicaraan kali ini akan lebih difokuskan pada bentuk – bentuk kekerasan yang dialami oleh anak – anak
di Indonesia dalam proses sosialisasi mereka.

Sebagai gejala sosial budaya, tindak kekerasan terhadap anak tidak muncul begitu saja dalam situasi yang
kosong atau netral. Ada kondisi – kondisi budaya tertentu dalam masyarakat, yakni berbagai pandangan,
nilai dan norma sosial, yang seolah memudahkan terjadinya atau mendorong dilakukannya tindak
kekerasan terhadap anak tersebut. Hal inilah yang dimaksud dengan latar belakang budaya terjadinya
kekerasan terhadap anak.

5. Teori Fakta Sosial

Emile Durkheim berpendapat bahwa sosiologi adalah ilmu yang memepelajari apa yag dimaksud fakta
sosial (fait social). Menurut Durkheim fakta sosial merupakan cara bertindak, berpikir, dan berperasaan,
yang berada di luar inidividu, dan mempunyai kekuatan memaksa yang mengendalikannya (Sunarto,
2000:11). Ada tiga karakteristik fakta sosial, yaitu : (1) bersifat eksternal, bahwa cara bertindak, berpikir,
dan berperasaan yang memperlihatkan sifat patut dilihat sebagai sesuatu yang berada di luar kesadaran
individu. (2) bersifat

memaksa individu, individu dipaksa dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dengan cara tertentu
dipengaruhi oleh berbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya. Tipe fakta sosial ini mempunyai
kekuatan memaksa individu terlepas dari kemauan individu itu sendiri. (3) Bersifat umum dan tersebar,
dengan kata lain, fakta sosial itu merupakan milik bersama, bukan sifat individu perorangan, tetapi benar-
benar bersifat kolektif, dan pengaruhnya terhadap individu merupakan hasil dari sifat kolektifnya.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif kualitatif dengan jenis
penelitian studi kasus. Penelitian ini dilaksanakan Desa Klunggen Kecamatan Slogohimo Kabupaten
Wonogiri dengan teknik pemilihan informan berupa purposive sampling. Informan yang dipilih dalam
penelitian ini adalah orangtua yang telah memiliki anak selama lebih dari 15 tahun, orangtua dengan latar
belakang pekerjaan yang berbeda, masyarakat di Desa

Klunggen, dan anak – anak yang tinggal di lingkungan tersebut. Data yang digunakan berupa data primer
dan sekunder melalui teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Uji validitas data menggunakan
triangulasi metode dan triangulasi sumber. Analisis data dalam penelitian ini diawali dengan
pengumpulan data, mereduksi data, menyajikan data, dan terakhir menarik kesimpulan.

HASIL PENELITIAN

1. Pendidikan Anak dalam Keluarga yang Mengedepankan Kekerasan Berdasarkan wawancara yang
peneliti lakukan dengan informan menunjukan bahwa mereka seolah menghalalkan kekerasan dengan
tujuan mendidik anak. Bahkan salah satu informan menyebutkan bahwa cara mendidik anaknya saat ini
meniru apa yang orangtuanya dulu lakukan padanya. Hal ini membuktikan bahwa pola pendidikan itu
sebenarnya menurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Pandangan yang salah ini masih banyak digunakan oleh orangtua lainnya sampai saat ini. Mereka
menganggap bahwa perlakuan keras dan kasar malah justru mampu membentuk karakter yang kuat dan
baik anak di massa yang akan datang atau massa dimana anak tumbuh dewasa.

Anak – anak yang mengalami tindak kekerasan di rumah biasanya akan bersikap murung, ketakutan, tidak
bersemangat, dan memprihatinkan, tidak jarang akan kehilangan kepercayaan diri (Anita Lie dalam
Suyanto, 2010:77). Abu Huraerah juga menjelaskan dampak kekerasan terhadap kondisi psikologis anak.
Dijelaskan bahwa anak - anak yang masih kecil sering susah tidur dan bangu di tengah malam menjerit
ketakutan. Mereka juga ada yang menderita Psikosomatik, misalnya asma. Ketika mereka semakin besar,
anak laki – laki cenderung menjadi sangat agresif dan bermusuhan dengan orang lain, sementara anak
perempuan sering mengalami kemunduran dan menarik diri ke dalam dunia fantasi sendiri.

2. Pelanggaran terhadap Hak Anak dalam Menentukan Pilihan Sekolah

Setiap orangtua pasti selektif dan menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Namun saat ini masih banyak
kita temui dalam masyarakat orangtua yang memaksakan kehendak kepada anaknya untuk bersekolah
sesuai dengan pilihan mereka, baik ke sekolah negeri, pondok pesantren, ataupun sekolah – sekolah
swasta yang menurut mereka memiliki kualitas terbaik.

Anak dalam posisi yang paling berkepentingan untuk mendapatkan pendidikan justru tidak memiliki
kesempatan untuk menyampaikan pilihan mereka untuk menentukan dimana dia akan sekolah. Anak
seringkali dijadikan sebagai objek demi gengsi bahkan ego orangtuanya agar terlihat memiliki tingkatan
yang lebih tinggi dalam masyarakat. Sementara sesuai atau tidaknya sekolah tersebut dengan

minat, kebutuhan, dan gaya bagi anak sering kali diabaikan oleh orangtua.

Selain alasan gengsi dalam masyarakat, bayak alasan lain orangtua dalam memilih sekolah bagi anaknya.
Misalnya karena alasan ekonomi, khawatir akan pengaruh buruk lingkungan, bahkan ada yang ikut –
ikutan tren saja. Kita ambil contoh orangtua yang memilih memasukkan anaknya ke pondok pesantren.
Salah satu alasan mereka memilih memasukkan anaknya ke pondok pesantren dengan alasan khawatir
dengan pergaulan di lingkungan tempat mereka tinggal.

Akibat yang muncul pada anak yang dipaksa oleh orangtuanya untuk bersekolah sesuai pilihan
orangtuanya adalah anak tidak mampu mengikuti peajaran dengan baik karena adanya rasa paksaan dari
orangtuanya, karena memiliki prestasi yang kurang baik di sekolah, maka anak menjadi sosok yang minder
dan kurang percaya diri.

PEMBAHASAN

Faktor terjadi kekerasan terhadap anak dalam keluarga

Berdasarkan temuan penelitian, maka terdapat beberapa alasan mengapa kasus kekerasan terhadap anak
dalam keluarga selalu ada dalam masyarakat, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Pewarisan kekerasan antar generasi

Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orangtuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa mereka
melakukan tindakan kekerasan terhadap anaknya. Dengan demikian, perilaku kekerasan yang diwarisi
(transmintted) dari generasi ke generasi. Seperti yang dikemukakan oleh salah satu informat berinisial AI
bahwa ketika dia kecil dia dididik keras oleh orangtuanya, bahkan ketika beliau melakukan kesalahan,
tidak jarang orangtuanya menghukumnya dengan cara menjewer ataupun memukul, dengan dalih untuk
mendidiknya.

Kebanyakan orangtua menganggap bahwa pendidikan yang keras merupakan hal yang wajar. “Keras tidak
apa – apa asal mendidik”. Yang dimaksud keras disini adalah menerapkan aturan – aturan yang ketat dan
disertai dengan sanksi – sanksi jika anak melanggar berupa bentakan, ataupun pukulan. Tidak jarang
ketika pendidikan yang keras dalam keluarga menimbulkan perilaku kasar dari orangtuanya. Anggapan
yang salah ini terus berlanjut dari dulu hingga sekarang, karena mereka belum menyadari akibat dari
perlakuan keras dan kasar bagi perkembangan psikologis anak – anaknya.

Anak – anak memang selalu peka. Sering orangtua tidak menyadari bahwa apa yang terjadi di antara
mereka begitu mempengaruhi anak. Sering dikatakannya, anak merupakan cermin dari apa yang terjadi
dalam suatu rumah tangga (Huraerah, 2012: 56). Jika suasana keluaraga sehat dan bahagia, maka wajah
anak begitu ceria dan bersih.

Sebaliknya jika mereka murung dan sedih, biasanya terjadi sesuatu yang berkaitan dengan orangtuanya.
Sebagai wadah sosialisasi primer, dimana anak belajar untuk pertama kalinya mengenal nilai – nilai dan
cara bertingkah laku, perilaku orangtua sering mempengaruhi perilaku anak – anaknya kelak. Jika
kekerasan begitu domonan, tidak mengherankan jika kemudian melakukannya dan bahkan terbawa
sampai dia diwasa. Karena kekerasan begitu sering dalam keluarganya, maka ia menganggap hal tersebut
sebagai hal yang “normal” dan sudah seharusnya dilakukan.

2. Kekerasan terhadap anak dalam keluarga sulit diungkap ke ruang publik

Sebagai suatu kasus yang tergolong tabu dan disadari melanggar batas – batas etika, kesus – kasus
kekerasan terhadap anak dalam keluarga jarang terekspos keluar. Hanya kasus – kasus kekerasan berat
yang seringkali muncul ke ruang publik,

seperti pembunihan ataupun pemerkosaan. Kalaupun kemudian diketahui umum biasanya berkat peran
dan keterlibatan media massa atau karena kejadian yang menghebohkan.

Sebagai contoh seorang ayah atau ibu yang memukul kepala anaknya atau menghajar keras anaknya
sekalipun, sepanjang apa yang mereka lakukan tidak sampai menimbulkan luka fisik yang serius atau
kematian, maka kejadian itu akan lewat dan menguap begitu saja. Kesulitan dalam mengungkapkan kasus
kekerasan terhadap anak bisa disebabkan oleh faktor internal maupun eksternak (Suharto dalam
Huraerah, 2012: 60). Yang dimaksud faktor internal adalah faktor dari korbannya itu sendiri yang menolak
melaporkan ke masyarakat, sedangkan faktor eksternal adalah faktor dari masyarakat yang menganggap
biasa suatu kekerasan terhadap anak dalam keluarga.

Selain itu ada dua faktor lain yang menyebabkan kasus

kekerasan terhadap anak dalam keluarga sulit diungkap ke ruang publik, yaitu tidak adanya kontrol sosial
terhadap terjadinya kasus atau tindakan kekerasan terhadap anak dalam keluarga dan penolakan dari
korban/anggota lain dalam keluarga sendiri untuk melaporkan ke ranah publik/masyarakat.
3. Latar belakang budaya (Adanya hubungan kedudukan dalam masyarakat yang selalu menempatkan
anak dalam posisi terbawah)

Pandangan masyarakat yang menyebutkan anak harus patuh pada orangtua sangat berkembang luas
dalam masyarakat dan bahkan seringkali pandangan ini disalah artikan oleh orangtua. Berdasarkan
pandangan ini kalau si anak lalai dalam menjalankan tugas membantu meringankan beban orangtua
sebagaimana yang diharapkan orangtua mereka, dia akan memperoleh berabagai macam sanksi atau
hukuman, yang kemudian sampai pada tindak kekerasan.

Dalam teori fakta sosial, Durkheim menjelaskan bahwa semua aktivitas seorang inidividu dalam
masyarakat dipengaruhi oleh faktor eksternal atau faktor di luar dirinya yang bersifat memaksa.
Kenyataan itu juga terjadi pada anak yang hidup dalam lingkungan keluarganya. Durkheim menjelaskan
bahwa semua perilaku anak sejak lahir hingga dewasa selalu mendapat kontrol dari luar dirinya, dan ketika
dia melakukan perbuatan yang tidak sesuai denganapa yang ditetapkan oleh keluarga dan masyarakat
maka ia akan mendapatkan sanksi dari luar, dalam hal ini yang dimaksud luar adalah keluarga dan
masyarakat.

Masyarakat selalu memposisikan anak pada tangga terbawah, sehingga orang dewasa seolah – olah
cenderung memiliki hak untuk memperlakukan anak – anak sesuka hati mereka, sementara anak sendiri
seolah tidak memiliki hak apapun, baik hak untuk bersuara ataupun hak untuk protes. Anak dipaksa untuk
tunduk terhadap aturan yang dibuat oleh orang yang lebih dewasa darinya.

Nilai, norma, dan kebiasaan yang berkembang di masyarakat, tanpa sadar selalu menempatkan anak
hanya sebagai objek bagi orang dewasa, dan bahkan seolah orangtua berhak melakukan apapun terhadap
anak – anaknya, dengan alasan karena mereka yang melahirkan, membesarkan, dan membiayai anaknya.
Ketika seoarang anak berani membantah atau bahkan melawan orangtua, selain dicap sebagai anak
durhaka, tidak jarang kemudian orangtua memperlakukan anak – anaknya secara kasar, memaki atau
bahkan memukul dengan harapan anak akan jera dan kembali ke sikapnya sebagai anak yang patuh. Anak
– anak yang menjadi korban tindak kekerasan dan perlakuan kasar dari orangtua atau orang dewasa
lainnya hanya akan bersikap pasrah dan tidak mampu untuk berbuat apa – apa. Seorang anak yag dipukul
orangtuanya, pasti ia akan sama sekali tidak berani melawan. Ketidakseimbangan hubungan antara anak
– anak

dengan orang dewasa diperkuat dengan ketidakseimbangan kultural yang ditanamkan oleh orang dewasa
kepada anak – anak (Sumjati, 2001:45). Dengan kata lain melalui ketidakseimbangan ini, orang
dewasa/orangtua sadar atau tidak sadar telah membangun ketidakseimbangan kultural
(ketidakseimbangan secara budaya) dalam hubungan mereka dengan anak, yang menguntungkan orang
dewasa. Hasilnya adalah anak – anak menerima hubungan yang tidak seimbang antara mereka dengan
orang dewas/orangtua di sekelilingnya. Disini anak tanpa sadar telah mereproduksi hubungan asimetris
yang merugikan. Inilah realita yang terjadi di dalam keluarga dan masyarakat saat ini, dan ini pula
gambaran nyata kondisi kultural yang menyebabkan kekerasan terhadap anak akan terjadi kapanpun dan
dimanapun selama pemahan kutural tersebut terus berkembang dan hidup dalam masyarakat.
SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan bahwa ada tiga faktor yang
menyebabkan kasus kekerasan terhadap anak dalam keluaraga, yaitu:

(1) Pewarisan kekerasan antar generasi

(2) Kekerasan terhadap anak dalam keluarga sulit diungkap ke ruang publik.

(3) Latar belakang budaya (Adanya hubungan kedudukan dalam masyarakat yang selalu menempatkan
anak dalam posisi terbawah).

Berdasarkan temuan penelitian maka peneliti menyarankan pada masyarakat hendaknya lebih peka
terhadap kekerasan terhadap anak yang terjadi di lingkungan mereka, sehingga ketika ada kasus
kekerasan bisa menasihati atau memberitahukan ke pihak yang berwajib dan pada orangtua untuk
mengetahui dampak – dampak negatif yang ditimbulan dari kekerasan (kekerasan fisik dan kekerasan
psikis) yang dilakukan kepada anak terhadap perkembangan fisik dan psikis anak serta orangtua harus
mengetahui metode yang tepat untuk mendidik anak – anaknya tanpa menggunakan kekerasan.

PENANGANAN KEKERASAN ANAK BERBASIS MASYARAKAT

ABSTRAK Anak merupakan aset bangsa yang kelak akan memelihara, mempertahankan, serta
mengembangkan kekayaan hasil perjuangan bangsa. Kekerasan terhadap anak menjadi fenomena yang
tidak ada habisnya. Kasus dan korbannya selalu meningkat setiap tahunnya. Kekerasan dapat terjadi di
lingkungan dalam maupun luar keluarga. Anak yang menjadi korban kekerasan tentu akan mengalami
trauma baik fisik maupun psikisnya. Anak yang mengalami kekerasan di masa lalunya akan berpotensi
untuk melakukan tindak kekerasan (pelaku) ketika mereka dewasa. Anak yang menjadi korban kekerasan
perlu mendapatkan perhatian khusus dan penanganan secara khusus yang melibatkan orang tua,
keluarga, pemerintah, dan peran serta masyarakat. Dibutuhkan strategi dalam penanganan kekerasan
terhadap anak. Strategi yang dilakukan harus mampu mencegah dan menangani tindak kekerasan. Dalam
hal ini dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak agar strategi yang dilakukan berjalan secara holistik dan
komprehensif. Kata Kunci : Kekerasan Anak, Strategi Penanganan Kekerasan
ABSTRACT Chidren are an asset of the nation who would maintain, retain, and develop the wealth and
national struggle. Violence against children became a phenomenon that is endless. Cases and victims is
increasing every year. Violence can occur in the environment inside and outside the family. Children who
are victims of violence will certainly experience both physical and psychological trauma. Children who
have experienced violence in the past would have the potential for violent action (actors) when they are
adults. Children who are victims of violence need special attention and special handling involving parents,
family, government, and community participation. Strategy is needed in the handling of child abuse.
Strategies that do need to be able to prevent and deal with violence. In this case it takes the cooperation
of various parties in order to run the strategy undertaken holistically and comprehensively. Keyword :
Child Abuse, Violence Treatment Strategies

PENDAHULUAN

Anak merupakan asset bangsa sekaligus amanah yang kelak akan memelihara, mempertahankan, serta
mengembangkan kekayaan dan perjuangan bangsa. Oleh karena itu anak harus sehat, baik secara jasmani
maupun rohani agar terjamin tumbuh kembang mereka sesuai dengan hakhaknya. Setiap anak pada
hakikatnya membutuhkan perawatan, perlindungan, pengajaran, dan kasih sayang oleh orang-orang
dewasa (orang tua terutama), agar menjamin kebutuhan fisik, mental, sosial dan spiritual mereka. Tidak
dapat dipungkiri bahwa orang tua memperoleh tangung jawab pertama dan utama yang berkewajiban
memenuhi hak dan kebutuhan anak mereka. Semua anak memiliki hak untuk dilindungi dari kekerasan,
eksploitasi dan pelecehan. Oleh karena itu orang tua dan orang dewasa (termasuk pemerintah)
berkewajiban melindungi mereka. Hal ini sesuai dengan yang tercantum di dalam Undang-Undang
tentang Perlindungan Anak yaitu UU Nomor 23 Tahun 2002 pada Bab III Pasal 13, yang berbunyi :
“Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun bertanggung jawab atas
pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan : diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi
maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan.”

Pernyataan tersebut memiliki arti bahwa anak sudah seharusnya mendapatkan perlindungan dari para
pihak yang memberikan pengasuhan. Namun pada kenyataannya, saat ini orang tua sering melupakan
fungsi dan peranan mereka sehingga seringkali para orang tua tidak menyadari mereka telah melakukan
perilaku kekerasan pada anaknya. Bahkan ada orang tua yang tidak tahu bahwa anaknya sebenarnya
sedang mendapatkan perilaku kekerasan dari pihak luar atau lingkungannya. Fenomena kekerasan
terhadap anak saat ini selalu menjadi topik utama dalam pemberitaan (nasional.kompas.com)

Kekerasan terhadap anak menjadi fenomena yang tidak ada habisnya. Kasus dan korbannya selalu
meningkat setiap tahunnya. Seperti data yang didapatkan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
, sebagai berikut :

Tabel 1.1 Data Kasus Kekerasan Terhadap Anak Tahun 2010-2015

KEKERASAN PADA ANAK

Dari data kasus yang di dapatkan dari laporan KPAI, data tersebut menjelaskan bahwa kasus kekerasan
terhadap anak mengalami peningkatan setiap tahunnya. Begitupun dengan jumlah korban, dari data
kasus Anak Berhadapan Dengan Hukum yang menjadi korban jumlahnya tertera pada tabel di atas yang
setiap tahun pun mengalami peningkatan jumlah korban. Dari laporan data korban diatas, sisanya yang
termasuk dalam laporan data kasus adalah pelaku kekerasan anak.

Data korban di atas jelas menggambarkan bahwa banyaknya anak yang mendapatkan perilaku kekerasan
baik dari lingkungan dekat (orang tua, saudara kandung, keluarga) maupun lingkungan luar (sekolah,
teman sebaya, tetangga, masyarakat). Kekerasan dapat terjadi di lingkungan dalam maupun luar keluarga.
Kekerasan yang terjadi di dalam lingkungan keluarga seringkali terjadi karena ketidakharmonisan keluarga
seperti tingkat stress yang tinggi, kurangnya komunikasi, kurangnya pengetahuan tentang pengasuhan
yang baik, tidak mendengarkan keinginan anak sehingga memposisikan anak harus “nurut” dengan orang
tua sehingga orang tua seringkali mengatasnamakan “kekerasan” sebagai usaha untuk “mendidik”.
Kekerasan yang terjadi di luar terjadi karena keterbatasan yang dimiliki anak, kurangnya kontrol orang
tua, sekolah, tetangga dan aparat setempat, hilangnya nilai dan norma yang ada di

masyarakat, tidak adanya akses tempat pengaduan tindak kekerasan di sekitar tempat tinggal, dan
kurangnya pemahaman mengenai cara mendidik anak. (Cynthia Crosson-Tower, Child Abuse And Neglect,
65 : 2002) Anak yang menjadi korban kekerasan tentu akan mengalami trauma baik fisik maupun
psikisnya. Anak yang mengalami kekerasan di masa lalunya akan berpotensi untuk melakukan tindak
kekerasan (pelaku) ketika mereka dewasa. Oleh karena itu anak yang menjadi korban kekerasan perlu
mendapatkan perhatian khusus dan penanganan secara khusus yang melibatkan orang tua, keluarga,
pemerintah, dan peran serta masyarakat. Sesuai yang tercantum pada pasal 20 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah : “Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang
tua berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.” Dari pasal
diatas, terlihat mengenai bahwa setiap warga Negara wajib ikut sera berperan dalam penyelenggaraan
perlindungan anak. Jadi ketika ada kasus kekerasan terhadap anak, maka sudah menjadi perhatian dan
tanggungjawab setiap warga Negara. Berdasarkan kondisi tersebut, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut : “ Bagaimana Upaya Penanganan Kekerasan Anak Berbasis Masyarakat?”

PEMBAHASAN

Anak yang menjadi korban kekerasan sudah seharusnya mendapatkan perlindungan dan penanganan dari
berbagai pihak. Dibutuhkan strategi dalam penanganan kekerasan terhadap anak. Strategi yang dilakukan
harus mampu mencegah dan menangani tindak kekerasan. Dalam hal ini dibutuhkan kerjasama dari
berbagai pihak agar strategi yang dilakukan berjalan secara holistik dan komprehensif. Seperti yang telah
disusun oleh UNICEF yaitu strategi penanganan dan pencegahan kekerasan terhadap anak dan
perlidungan anak : 1. Supporting parents, caregivers and families Pendekatan ini berusaha untuk
mencegah kekerasan terjadi, mengurangi faktor-faktor yang membuat keluarga rentan terhadap perilaku
kekerasan dengan memperkuat keterampilan pengasuhan anak. Menyediakan layanan dukungan
lembaga seperti mempersiapkan penyalur pengasuh anak yang terlatih. Home visit yang dilakukan oleh
pekerja sosial dan ahli lainnya untuk meningkatkan dan memberikan pengetahuan kepada orang tua dan
pengasuh tentang interaksi orang tua dan anak yang positif termasuk penerapan disiplin anti kekerasan
dalam pengasuhan anak. Strategi ini berupaya penuh dalam mendukung orang tua, pengasuh, dan
keluarga dalam penyediaan informasi, pendidikan dan pengetahuan mengenai “parenting skill”. Dengan
tujuan mengurangi
atau dapat mencegah potensi perilaku kekerasan terhadap anak. 2. Helping children and adolescents
manage risk and challenges Pendekatan ini memberikan keterampilan terhadap anak-anak dan remaja
untuk mengatasi dan mengelola risiko kekerasan sehingga dapat membantu anak untuk mengurangi
terjadinya kekerasan di sekolah dan masyarakat. Mengajarkan anak berpikir kritis, bertindak asertif,
berani menolak dan mengeluarkan pendapat, memecahkan masalah secara kooperatif sehingga mereka
dapat melindungi dirinya sendiri dari tindak kekerasan yang terjadi di lingkungannya. 3. Changing
attitudes and social norms that encourage violence and discrimination Pendekatan ini memberikan
pengetahuan mengenai cara merespon ketika melihat dan mengalami tindak kekerasan. Memahami
ketika ada perbedaan yang terjadi pada norma dan nilai yang berlaku di masyarakat sehingga ketika kita
melihat ada perilaku salah, itu dapat dikatakan sebagai tindakan yang wajar atau tidak, dapat di toleransi
atau tidak. Mengubah pola pikir masyarakat yang menganggap kekerasan adalah bentuk dari disiplin
sehingga dapat membedakan antara norma yang sesuai dan norma sosial yang membahayakan bagi anak.
Disini terlihat peran dari masyarakat yang turut menjadi agen perubahan. 4. Promoting and providing
support services for children

Pendekatan ini berupaya menyediakan layanan bagi anak, seperti layanan pengaduan ketika mengalami
tindak kekerasan. Memberikan informasi dan bantuan agar anak mendapatkan pemulihan dan tindakan
yang tepat. Pemerintah dan masyarakat harus sadar akan pentingnya ketersediaan layanan di lingkungan
tempat tinggal. 5. Implementing laws and policies that protect children Pembuat kebijakan memainkan
peran penting untuk melindungi anak-anak. Mereka dapat memastikan bahwa Negara memiliki proses
nasional untuk mencegah dan menanggapi kekerasan terhadap anak. Pemerintah harus membangun
kerangka hukum yang kuat bahwa implementasi dan monitoring perlu dilakukan. 6. Carrying out data
collection and research Peningkatan pengumpulan data nasional dan sistem informasi untuk
mengidentifikasi kelompok rentan. Hal ini dilakukan untuk memantau kekerasan yang terjadi pada anak.
Mengoptimalkan ketersediaan data tentang isu-isu kekerasan anak (Ending Violence Against Children : Six
Strategies for Action, UNICEF : 2014). Bagi masyarakat, keluarga, atau orang tua diperlukan kebijakan,
layanan, sumberdaya, dan pelatihan pencegahan kekerasan pada anak yang konsisten dan terus menerus.
Dalam hal ini strategi pencegahan kekerasan terhadap anak meliputi : Pencegahan primer untuk semua
orang tua dalam upaya meningkatkan

kemampuan pengasuhan dan menjaga agar perlakuan salah atau abuse tidak terjadi, meliputi perawatan
anak dan layanan yang memadai, kebijakan tempat bekerja yang medukung, serta pelatihan life skill bagi
anak. Yang dimaksud dengan pelatihan life skill meliputi penyelesaian konflik tanpa kekerasan,
ketrampilan menangani stress, manajemen sumber daya, membuat keputusan efektif, komunikasi
interpersonal secara efektif, tuntunan atau guidance dan perkembangan anak, termasuk penyalahgunaan
narkoba; Pencegahan sekunder ditujukan bagi kelompok masyarakat dengan risiko tinggi dalam upaya
meningkatkan ketrampilan pengasuhan, termasuk pelatihan dan layanan korban untuk menjaga agar
perlakuan salah tidak terjadi pada generasi berikut. Kegiatan yang dilakukan di sini di antaranya dengan
melalukan kunjungan rumah bagi orang tua yang baru mempunyai anak untuk melakukan self assessment
apakah mereka berisiko melakukan kekerasan pada anak di kemudian hari; Pencegahan tersier
dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan pengasuhan yang menjaga agar perlakuan salah tidak
terulang lagi, di sini yang dilakukan adalah layanan terpadu untuk anak yang mengalami korban kekerasan,
konseling, pelatihan tatalaksana stres. Pada saat kasus kekerasan pada anak ditemukan, sebenarnya ada
masalah dalam pengasuhan anak (parenting disorder). Maka dari itu, strategi pencegahan kekerasan pada

anak yang mendasar adalah dengan memberikan informasi pengasuhan bagi para orang tua khususnya.
Di sisi lain, para orang tua harus diyakinkan bahwa mereka adalah orang yang paling bertanggung jawab
atas semua pemenuhan hak anak. Maka semua usaha yang dilakukan dalam rangka mengubah perilaku
orang tua agar melek informasi pengasuhan dan hak anak membutuhkan upaya edukasi yang terus
menerus. Dengan demikian, pendidikan pengasuhan bagi orangtua sebagai bagian dari strategi
pencegahan kekerasan pada anak menjadi sangat penting. Intervesi sosial merupakan sebuah konsep
yang digunakan dan atau dikembangkan di dalam praktik pekerjaan sosial, baik pada pendekatan mikro,
masso maupun makro. Intervensi sosial adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan
terencana oleh pekerja sosial dalam pemecahan masalah sosial, peningkatan keberfungsian sosial orang,
perluasan aksesibilitas sosial dan pengembangan potensi dan sumber-sumber kesejahteraan (Adi, 2008).
Berdasarkan pembahasan di atas, intervensi sosial dalam penanganan kekerasan anak, deskripsikan
sebagai berikut: 1. Prevensi Prevensi merupakan serangkaian kegiatan yang ditujukan untuk mencegah
terjadinya kekerasan terhadap anak, baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan luar keluarga,
seperti di lingkungan sosial dan bermain anak.

Berbagai sistem sumber yang dapat dayagunakan dalam upaya prevensi kekerasan terhadap anak, yaitu:
a. Keluarga Keluarga yang dimaksud di sini bukan hanya keluarga dalam pengertian keluarga inti (nucleur
family), tetapi juga keluarga dalam pengertian keluarga luas (extended family). Keluarga sebagai
lingkungan pertama bagi setiap orang, akan memberikan berbagai jenis kebutuhan bagi seseorang, baik
ú sikorganis maupun psiko-sosial seperti dukungan emosional, kasih sayang, nasehat, informasi dan
perhatian. Selain pemenuhan kebutuhan yang bersifat dometik, kelurga perlu memilihkan teman bagi
anak, dan atau memantau pertemanan anak. Prinsipnya anak mendapatkan teman yang aman, nyaman
dan mendukung tumbuh kembang. Ikatan kekerabatan perlu aktualisasikan kembali untuk dilembagakan
nilai dan norma kekeluargaan dan kepedulian sosial.

b. Institusi Pendidikan Institusi pendidikan yang dimaksud mencakup sekolah negeri, swasta dan pondok
pesantren. Institusi-institusi ini sesuai dengan peranannya telah menyelenggarakan proses pendidikan,
baik dalam kaitannya dengan aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik anak didik. Namun masih
diperlukan materi pelayanan atau mata kuliah yang bermuatan moral dan kepribadian. Anak didik perlu
diberikan ruang untuk mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan kondisi, permasalahan dan seluk
beluk yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial anak.

c. Lembaga Kesejahteraan Sosial Upaya prevensi dilakukan oleh Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) lokal,
baik yang tumbuh secara alamiah di tingkat lokal (kelompok agama, rukun lingkungan, paguyuban dan
lainlain), maupun yang tumbuh dari inisiasi pemerintah (Posyandu, PAUD, Dasa Wisma, Family Care Unit
dan lain-lain). Berbagai LKS tersebut memerlukan sebuah media agar potensi dan sumber daya yang
dimiliki dapat disinergikan, sehingga memberikan hasil yang lebih optimal. LKS yang ada di akar rumput
perlu diberikan kesempatan yang luas sebagai media pertolongan bagi anak, remaja dan orang dewasa
yang berpotensi menjadi korban, pelaku atau pemicu terjadinya tindak kekerasan. d. Institusi Peradilan
Institusi hukum sesungguhnya merupakan aras ketiga yang diperlukan dalam mewujudkan kesejahteraan
anak, serelah keluarga dan masyarakat. Ketiga keluarga dan masyarakat sudah tidak berdungsi dalam
mengendalikan perilaku masyarakat, maka diperlukan pendekatan secara hukum melalui instir-tusi
peradilan. Permasalahnnya, bahwa hukuman terhadap pelaku tindak kekerasan terhdaap anak, saat ini
dinilai belum memberikan efek jera kepada pelaku maupun orang-orang yang potensial menjadi pelaku.
Hal ini disebabkan, ada kecenderungan

hukuman pidana yang dikenakan terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap anak menggunakan
referensi KUHP dan belum sepenuhnya menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak. Sistem
sumber tersebut ada di tengahtengah masyarakat. Persoalannya, bagaimana sistem sumber tersebut
dapat didekatkan dengan dunia anak, sehingga mampu menjadi sistem sumber bagi upaya mencegah
tindak kekerasan terhadap anak. Menurut hemat penulis, Kementerian Sosial cq Direktorat Kesejahteraan
Sosial Anak perlu mengambil peranan sebagai pihak yang menginisiasi terbentuknya jaringan kerja antara
sistem sumber tersebut. Unit kerja ini dapat menawarkan model-model atau skema pencegahan tindak
kekerasan terhadap anak kepada jaringan kerja tersebut. Mencegah berarti segala upaya yang dilakukan
agar suatu tindakan terentu atau risiko dari suatu tindakan tidak akan terjadi. Sehubungan dengan
bahasan dalam tulisan ini, mencegah berarti mengoptimalkan fungsi dan peranan sistem sumber yang
ada di masyarakat maupun di instansi pemerintah, sehingga tindak kekerasan terhadap anak tidak terjadi.
Selain setiap sitem sumber melaksanakan programprogram secara parsial sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya, maka perlu dikembangkan jaringan kerja antara sistem sumber tersebut, misalnya digunakan
nama: kelompok kerja atau forum komunikasi atau komunitas peduli anak dan sebagainya. Apapun nama
jaringan kerja itu, yang paling

penting adalah adanya aksi bersama pada sistem sumber tersebut secara terencana dan
berkesinambungan. Berdasarkan kelembagaan yang menjadi sistem sumber prevensi tindak kekerasan
terhadap anak, maka strategi yang perlu dikembangkan adalah:

a. Optimalisasi Penyuluhan Sosial Penyuluhan sosial untuk mencegah tejadinya tindak kekerasan terhadap
anak dijadikan gerakan nasional. Sehubungan dengan itu, semua orang secara individu, kelompok dan
komunitas memiliki tugas untuk melakukan penyuluhan sosial tersebut. Khusus di lingkungan
Kementerian Sosial, terdapat satuan kerja yang memiliki kegiatan yang berkaitan dengan penyuluhan
sosial untuk kegiatan prevensi ini, yaitu Pusat Penyuluhan Sosial, Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak,
Sub Direktorat Ketahanan Sosial Keluarga dan Sub Direktorat Pemberdayaan Keluaraga. Berkaitan dengan
itu diperlukan sinergitas pada satuan-satuan kerja tersebut dalam upaya optimalisasi prevensi terjadinya
kekerasan terhadap anak.

b. Optimalisasi peranan Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarag (LK3), Family Care Unit (FCU) dan
Lembaga Kesejahteraan Sosial lokal yang diorganisasikan melalaui Wahana Kesejahteraan Sosial Berbasis
Masyarakat (WKSBM). Potensi dan sumber kesejahteraan sosial (PSKS) merupakan program yang diinisiasi
oleh Kementerian Sosial RI. LK3
memiliki wilayah kerja pada tingkat kabupaten/ kota, sementara itu FCU dan WKSBM memiliki wilayah
kerja pada tingkat desa/kelurahan. Pada tahun 2013 ini Direktorat Pemberdayaan Keluarga dan
Kelembagaan Sosial mengembangkan kebijakan yang diarahkan untuk mengoptimalkan peranan PSKS
tersebut melalui penataan manajemen program. Pada beberapa kali FGD yang dilakukan (yang diikuti
penulis), tindak kekerasan terhadap anak ini belum menjadi isu penting. Padahal, posisi PSKS tersebut
sangat tersebut, terutama FCU dan WKSBM yang berada di akar rumput, karena mudah dijangkau, murah
dan tidak birokratis sebagai penyedia pelayanan sosial bagi masyarakat. Oleh karena itu, ke depan perlu
optimalisasi peranan PSKS tersebut.

2. Rehabilitasi

a. Sistem Dasar Perubahan Ada beberapa pihak yang tidak dapat dilepaskan dalam intervensi sosial dalam
penanganan kekerasan anak, yang merupakan system dasar perubahan. Pihak-pihak tersebut, yaitu anak,
keluarga, teman dekat, masyarakat dan negara/pemerintah serta pekerja sosial, psikolog dan lembaga
pelayanan sosial. Pihakpihak tersebut sekaligus menjadi unsur dalam sistem dasar perubahan pada praktik
pekerjaan sosial (Suradi, 2005), yaitu: 1) Sistem penerima manfaat (client system), yaitu anak korban
kekerasan 2) Sistem sasaran/target (target system), yaitu orang tua/keluarga, teman dekat dan orang-
orang

yang secara sosial-psikologis mampu memberikan dukungan dalam proses rehabilitasi sosial. 3) Sistem
kegiatan (action system), yaitu masyarakat, instansi pemerintah sektoral, lembaga pelayanan sosial 4)
Sistem pelaksana kegiatan (change agen system), yaitu pekerja sosial profesional, psikolog, dan psikiater.
Sistem dasar perubahan tersebut harus dapat diidentiô kasi dengan benar dan tepat. Hal ini dikarenakan
keberadaan dan keterlibatan mereka dalam proses rehabilitasi sosial, sangat menentukan tujuan
pemulihan pada korban. Dalam hal ini, pekerja sosial profesional merupakan pihak yang memiliki peran
utama untuk menentukan sistem dasar tersebut. Pekerja sosial dengan kompetensinya memetakan
unsur-unsur yang masuk ke dalam sistem dasar tersebut. Ketidakcermatan dalam menentukan unsur-
unsur dalam sistem dasar, maka sangat berpotensi c. Pengembangan Kebijakan Pengembangan kebijakan
yang dimaksud di sini adalah upaya memasukkan problema kekerasan pada anak sebagai bagian tidak
terpisahkan dari pembangunan nasional. Pada saat ini elemen masyarakat patut memberikan apresiasi
kepada pemerintah karena telah memasukkan tindakan kekerasan anak pada RPJM 2010 – 2014. Hal ini
menuntut komitmen dan sikap semua pihak dan seluruh elemen bangsa untuk melakukan
penanggulangan terjadinya kekerasan pada anak di mana pun dan kapan pun, serta juga menyediakan
pusat-pusat pelayanan untuk

melakukan rehabilitasi medis maupun psikososial pada anak. Berkaitan dengan itu, maka selain melalui
sosialisasi dengan memanfaatkan berbagai media, baik tradisional maupun modern, upaya yang dapat
dipetempuh dalam rangka penanggulangan kekerasan terhadap anak adalah: a. Memasukkan
“Perlindungan Anak dari Kekerasan” ke dalam kurikulum yang dimulai dari tingkat sekolah dasar.
Diharapkan, anakanak, orang tua dan guru sudah memahami berbagai aspek (sosial, kesehatan, hukum,
mental) yang berkaitan dengan kekerasan pada anak. b. Sebagaimana diuraikan terdahulu, bahwa
terjadinya kekerasan pada anak didorong oleh berbagai alasan. Dari berbagai alasan tersebut, faktor
kemiskinan merupakan salah satu faktor yang menyumbang pada terjadinya kekerasan terhadap anak.
Sehubungan dengan itu, maka upaya penanggulangan kemiskinan hendaknya dipahami dalam kerangka
peniadaan tindak kekerasan terhadap anak. Program-program kemiskinan tidak semata-mata
meningkatkan pendapatan rumah tangga, tetapi juga meningkatkan harmonisasi sosial di dalam keluarga.
Sehubungan dengan itu, di dalam skema penanggulangan kemiskinan diperlukan satu kegiatan bimbingan
sosial yang dikaitkan dengan isu-isu kekerasan anak. c. Pemerintah dan Komisi Penyiaran Indonesia
merupakan pihak yang memiliki tugas dan kewenangan untuk melakukan pengendalian terhadap
tayangan di media massa. Namun

demikian, sampai saat ini masih seringkali terjadi penayangan acara atau game yang mempertontonkan
tindak kekerasan. Sebagai upaya optimalisasi tugas dan kewenangan KPI, maka perlu ditempuh langkah-
langkah, yaitu (1) penataan kelembagaan KPI sebagai organisasi independen, (3) penataan manajemen
dan (3) adanya kontrol dari masyarakat atas tugastugas KPI tersebut. Prinsip yang perlu dipegang, bahwa
informasi apapun yang ditayangkan melalui media massa haraus berorientasi dan berpihak pada “yang
terbaik bagi “. Terdapat beberapa pilihan strategi yang dapat dilakukan dalam pencegahan dan
penanganan masalah kekerasan terhadap anak seperti yang disebutkan di atas. Dalam implementasinya
sangat membutuhkan peran aktif dari semua pihak. Selain orang tua, keluarga, pemerintah, masyarakat
pun menjadi komponen penting yang turut dilibatkan dalam gerakan pencegahan dan penanganan
masalah kekerasan anak. Peran aktif masyarakat setempat yang sadar akan pentingnya pencegahan dan
penanganan kekerasan terhadap anak akan memudahkan perancangan strategi apa yang akan dilakukan
karena masyarakat turut mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan apa saja yang ada di lingkungan
mereka. Adapun kekerasan terhadap anak dilihat dari perspektif ekologi. Bronfenbrenner (1979) dalam
studinya mengenai perkembangan anak, menjelaskan adanya

lapisan-lapisan sistem ekologi yang mempengaruhi perkembangan anak. Belsky (1980) menjelaskan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kekerasan pada anak disusun menurut lapisan tertentu.
Bagaimana lapisanlapisan tersebut saling mempengaruhi dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Pada lapisan ontogenics menjelaskan tentang bagaimana faktor individu berkaitan dengan kekerasan
pada anak. Faktor-faktor tersebut antara lain masa lalu orangtua, tahap perkembangan orangtua,
perasaan terhadap anak, pemahaman terhadap perkembangan anak, dan kesehatan mental orangtua(
Zigler dan Hall, 1989). Salah satu isu yang cukup berkembang adalah mengenai sejarah masa kecil
orangtua. Orangtua yang mengalami pola asuh dengan kekerasan apakah ketika dewasa akan menjadi
pelaku kekerasan. Cicchetti dan Barnett (dalam Scannapieco dan ConnellCarrick, 2005) menyatakan salah
satu konstruk yang dapat menjelaskan adalah kelekatan (attachment). Anak yang mengalami kekerasan
mengalami kelekatan yang tidak aman atau tipe D (disorganized-disoriented).

ontogenics

mikrosystem

exosystem

makrosystem
Bowlby (1982) menjelaskan bahwa representasi mental dari bagaimana seseorang menjalin hubungan
interpersonal berakar dari kelekatan dengan primary caregiver di masa kecil.Representasi mental meliputi
sistem afek, kognitif, dan harapan mengenai bagaimana interaksi social yang ingin dibentuk. Pada lapisan
microsystem adalah mengenai faktor yang berpengaruh secara langsung terhadap anak. Contohnya
adalah kondisi keluarga, banyaknya anggota keluarga, hubungan suami-istri, kondisi kesehatan anak(
Zigler dan Hall, 1989). Anak-anak dengan karakteristik tertentu seperti lahir dengan kondisi premature,
berpenampilan kurang menarik, atau memiliki kekurangan fisik atau mental lebih beresiko untuk menjadi
korban kekerasan orangtua. Anak yang mengalami kekerasan adalah anak yang lebih sering menampilkan
perilaku negatif dibandingkan kelompok kontrol, anak yang tidak mengalami kekerasan orantua (Burgess
dan Conger dalam Scannapieco dan Connell-Carrick, 2005). Kemudian, dalam sistem keluarga, faktor anak
dan keluarga saling berinteraksi.Anak dapat menjadi penyebab utama orangtua melakukan kekerasan,
namun faktor ini tidak berdiri sendiri.Anak dapat mempengaruhi orangtua tetapi kondisi orangtua juga
dapat berpengaruh. Lapisan exosystem mengaitkan anak dan keluarga pada sistem yang lebih luas.
Faktor-faktornya antara lain keluarga besar,

status social ekonomi, komunitas, dan system pendukung lainnya. Sistem pendukung menjadi sumber
stress bagi orangtua yang dapat mempengaruhi pola asuh orang tua( Zigler dan Hall, 1989). Hubungan
dengan tetangga juga dapat mempengaruhi perilaku kekerasan terhadap anak. Lapisan macrosystem
adalah lapisan terluar yang terus-menerus saling berinteraksi dengan lapisan ontogenics, microsystem,
dan exosystem. Faktor-faktor yang masuk kategori ini adalah sikap masyarakat terhadap
kekerasan,harapan masyarakat terhadap pola pendisiplinan di rumah dan sekolah, dan kekerasan yang
terjadi di masyarakat(Zigler dan Hall, 1989). Lapisan-lapisan dalam pendekatan ekologi tersebut saling
berkaitan satu sama lainnya. Sehingga dalam penanganan masalah kekerasan terhadap kekerasan perlu
dilakukan secara holistik dan keterlibatan semua pihak yang ada di lingkungan sekitar.

PENUTUP

Kekerasan terhadap anak menjadi fenomena yang tidak habisnya. Masih banyak kasus kekerasan anak
yang masih belum ditangani secara optimal karena masih adanya keengganan dari pihak keluarga korban
untuk melaporkan tindak kekerasan tersebut. Mata rantai tindak kekerasan terhadap anak perlu diputus
mata rantainya karena anak dengan masa lalu mengalami kekerasan akan ada kencenderungan
menimbulkan trauma untuk

melakukan kekerasan pula ketika mereka dewasa nanti. Anak yang menjadi korban kekerasan perlu
ditangani secara khusus karena korban kekerasan akan mengalami trauma baik fisik maupun mental.
Penanganan kekerasan terhadap anak memerlukan kerjasama dari orang tua, keluarga, masyarakat dan
pemerintah. Oleh karena itu upaya penanganan kekerasan anak berbasis masyarakat perlu dilakukan
untuk memutus mata rantai tindak kekerasan. Selain itu upaya pencegahan menjadi bagian penting dari
upaya memutus mata rantai tindak kekerasan tersebut. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui dari
lingkungan sosial yang paling awal dan paling dekat yaitu keluarga, kerabat, dan hingga seterusnya meluas
ke masyarakat serta pengendalian media sosial dan media massa oleh pemerintah. Perlu kesadaran
bersama, bahwa tindak kekerasan sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa yang dapat
mengganggu tumbuh kembang anak di masa yang akan datang, serta akan berimbas pada
terganggungnya proses pendidikan dan pengasuhan anak dalam institusi-institusi sosial yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

Buku- buku Adi, Isbandi Rukminto. 2008. Intervensi Komunitas Pengembangan Masyarakat Sebagai Upaya

Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Rajawali Pers Buku Panduan Pelatihan tentang Deteksi Dini dan
Penatalaksanaan Child Abuse and Neglect untuk para Profesional Kesehatan. Budi Keliat, Anna. 1998.
Penganiayaan Dan Kekerasan Pada Anak. Jakarta: FKUI Cicchetti, Dc& Carlson, V. Child Maltreatment:
Theory and Research on The Causes and Consequence of Child Abuse and Neglect. Cambrige University
Press: Cambridge. Huraerah, Abu. 2012. Kekerasan terhadap Anak. Bandung: Nuansa Cendekia
Departemen Nelson, S. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC. Soeroso, Moerti Hadiati. 2010.
Kekerasan dalam rumah tangga. Jakarta: Sinar Grafika Suhendi, Hendi dan Wahyu Ramdani 2001.
Pengantar studi Sosiologi Keluarga. Bandung: Pustaka Setia Susana, T. 2007. Mempertimbangkan
Hukuman Pada Anak. Yogyakarta: Kanisius. Swoden, L.A. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta:
EGC. Supeno, H. 2010. Kriminalisasi Anak. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Tower,Cynthia Crosson
.2002. Child Abuse and Neglect : Fifth Edition. Unites States of America. Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 Perlindungan Anak. Wong, D.L. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC. Laporan
Bulanan KPAI Kasus Pengaduan Anak Berdasarkan Klaster Perlindungan Anak : Kasus dan Korban
Kekerasan Terhadap Anak.

SHARE: SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 6 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 -- 153

ISSN:2339 -0042 (cetak) ISSN: 2528-1577 (elektronik)

92

Zigler, E & Hall, N. W. 1989. Physical child abuse in America: past, present, and future. In

E-book Ending Violence Against Children : Six Strategies for Action, UNICEF : 2014 For Every Child, A Fair
Chance, UNICEF : 2015 Website http://nasional.kompas.com/read/2016/02/14/
14175531/Menteri.Yohana.Terus.Me ningkat.Kekerasan.pada.Anak.bak.Fe nomena.Gunung.Es (diunduh
pada

tanggal 25 Mei 2016, pukul 20.00 WIB) http://health.liputan6.com/read/2460844/kakseto-kasus-


kekerasan-anak-terusmeningkat (diunduh pada tanggal 25 Mei 2016, pukul 20.20 WIB)
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/655 240-kpai--kekerasan-terhadap-anakmeningkat-tajam
(diunduh pada tanggal 25 Mei 2016, pukul 21.00

You might also like